Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
Fasilitas pelayanan kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan
upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif. Upaya
pelayanan kesehatan dibagi menjadi dua, yaitu pelayanan kesehatan masyarakat dan
perorangan. Pelayanan kesehatan perorangan terdiri dari 3 (tiga) tingkatan yaitu: (1)
Pelayanan kesehatan tingkat pertama, (2) Pelayanan kesehatan tingkat kedua, dan (3)
Pelayanan kesehatan tingkat ketiga.
Pelayanan kesehatan tingkat pertama merupakan pelayanan kesehatan dasar yang
diberikan oleh dokter dan dokter gigi di puskesmas, puskesmas perawatan, tempat praktik
perorangan, klinik pratama, klinik umum di balai/lembaga pelayanan kesehatan, dan rumah
sakit pratama. Dalam keadaan tertentu, bidan atau perawat dapat memberikan pelayanan
kesehatan tingkat pertama sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelayanan
kesehatan tingkat kedua merupakan pelayanan kesehatan spesialistik yang dilakukan oleh
dokter spesialis atau dokter gigi spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi
kesehatan spesialistik. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga merupakan pelayanan kesehatan
sub spesialistik yang dilakukan oleh dokter sub spesialis atau dokter gigi sub spesialis yang
menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan sub spesialistik. Setiap fasilitas
pelayanan kesehatan mempunyai kewajiban untuk merujuk pasien yang memerlukan
pelayanan di luar kemampuan pelayanan rumah sakit.
Sejak tanggal 1 Januari 2014, kegiatan operasional Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) dimulai sesuai dengan amanat UU nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS). BPJS Kesehatan merupakan badan pelaksana yang dibentuk untuk
menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tujuan
diberlakukannya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini adalah untuk memenuhi
kebutuhan kesehatan masyarakat yang diberikan kepada semua orang yang telah membayar
iuran atau yang iurannya dibayar oleh pemerintah (Idris, 2014).
Pemenuhan kebutuhan kesehatan masyarakat seharusnya bermutu, merata, dan
terjangkau. Namun, faktanya saat ini jangkauan pelayanan kesehatan belum merata. Hal ini
salah satunya disebabkan sistem rujukan pasien yang kurang optimal sehingga terjadi
penumpukan pasien di rumah sakit besar tertentu dan banyaknya kasus pasien yang ditangani
1

oleh dokter spesialis yang sebenarnya dapat ditangani oleh layanan primer. Sedangkan di sisi
lain, banyak tempat layanan primer yang sepi. Penumpukan pasien tentu menyebabkan
pelayanan kesehatan menjadi tidak optimal. Oleh karena itu, diperlukan adanya
pengembangan sistem rujukan yang lebih baik dengan mengembangkan sistem rujukan
regional yang terstruktur dan berjenjang (Kemenkes, 2014).
Laporan ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi para masyarakat, mahasiswa,
dan para tenaga medis mengenai sistem rujukan dan koordinasi antar sistem kesehatan,
khususnya di RSUD Kota Surakarta. Dengan demikian, semua masyarakat Indonesia dapat
berpartisipasi dalam usaha mencapai derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya,
terutama melalui program JKN ini.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Sistem Rujukan
Sistem rujukan (referral system) adalah penyelenggaraan pelayanan kesehatan
yang mengatur dan melaksanakan pelimpahan tanggung jawab pengelolaan suatu kasus
penyakit dan ataupun masalah kesehatan secara timbal balik secara vertikal, dalam arti
antar sarana pelayanan kesehatan yang berbeda stratanya, atau secara horizontal dalam
arti antar sarana pelayanan kesehatan yang sama stratanya (Permenkes, 2012a).
Sistem Rujukan pelayanan kesehatan adalah penyelenggaraan pelayanan
kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan
secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal yang wajib dilaksanakan oleh peserta
jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan sosial dan seluruh fasilitas kesehatan
(Idris,2014).
Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo (2008) mendefinisikan sistem rujukan sebagai
suatu sistem penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang melaksanakan pelimpahan
tanggung jawab timbal balik terhadap satu kasus penyakit atau masalah kesehatan secara
vertikal (dari unit yang lebih mampu menangani), atau secara horizontal (antar unit-unit
yang setingkat kemampuannya) (Dinkes NTB, 2011).
B. Tujuan Sistem Rujukan
1. Tujuan Umum
Untuk meningkatkan mutu, cakupan, dan efisiensi pelayanan kesehatan secara
terpadu dengan didasarkan atas tanggung jawab bersama antara semua unit
pelayanan kesehatan.
2. Tujuan Khusus
1. Menghasilkan upaya pelayanan kesehatan klinik yang bersifat kuratif dan
rehabilitatif secara berhasil guna dan berdaya guna.
2. Dihasilkannya upaya kesehatan masyarakat yang bersifat preventif secara berhasil
guna dan berdaya guna.

C. Jenis Rujukan
Rujukan dibagi dalam rujukan medik dan rujukan kesehatan (Hatmoko, 2006).
1. Rujukan medik yang berkaitan dengan pengobatan dan pemulihan berupa pengiriman
pasien (kasus), spesimen, dan pengetahuan tentang penyakit, meliputi:
a. Konsultasi penderita untuk keperluan diagnostik, pengobatan, tindakan
operatif.
3

b. Pengiriman bahan (spesimen) untuk pemeriksaan laboratorium yang lebih


lengkap.
c. Mendatangkan atau mengirim tenaga yang lebih kompeten atau ahli untuk
mutu pelayanan pengobatan.
2. Rujukan kesehatan menyangkut masalah kesehatan masyarakat yang bersifat
preventif dan promotif yang antara lain meliputi bantuan:
a) Survey epidemiologi dan pemberantasan penyakit atas kejadian luar biasa atau
terjangkitnya penyakit menular.
b) Pemberian pangan atas terjadinya kelaparan di suatu wilayah.
c) Pendidikan penyebab keracunan, bantuan teknologi penanggulangan keracunan
dan bantuan obat-obatan atas terjadinya keracunan masal.
d) Saran dan teknologi untuk penyediaan air bersih atas masalah kekurangan air
bersih bagi masyarakat umum.
e) Pemeriksaan spesimen air di laboratorium kesehatan dan lain-lain.
D. Metode Rujukan
Rujukan dapat dilakukan dengan beberapa metode:
1.

Secara tertulis, langsung (dibawa/sertakan dengan pasien)


atau tidak langsung (per kurir/pos).

2.

Komunikasi audio (radio medik, telepon)

3.

Komunikasi audiovideo (telemedicine, video stream)

4.

Komunikasi tulisan (morse, e-mail, fax, SMS)

E. Kriteria Pasien Dirujuk


Adapun kriteria pasien yang dirujuk menurut Pranoko & Dhanabhalan (2012) adalah
apabila memenuhi salah satu dari:
1. Hasil pemeriksaan fisik sudah dapat dipastikan tidak mampu diatasi.
2. Hasil pemeriksaan fisik dengan pemeriksaan penunjang medis ternyata tidak mampu
diatasi.
3. Memerlukan pemeriksaan penunjang medis yang lebih lengkap, tetapi pemeriksaan
harus disertai pasien yang bersangkutan.
4. Apabila telah diobati dan dirawat ternyata memerlukan pemeriksaan, pengobatan,
dan perawatan di sarana kesehatan yang lebih mampu.
F. Ketentuan Umum
Ketentuan umum sistem rujukan BPJS adalah sebagai berikut:
1) Pelayanan kesehatan perorangan terdiri dari 3 (tiga) tingkatan yaitu:
a) Pelayanan kesehatan tingkat pertama;
b) Pelayanan kesehatan tingkat kedua; dan
4

c) Pelayanan kesehatan tingkat ketiga.


2) Pelayanan kesehatan tingkat pertama merupakan pelayanan kesehatan dasar yang
diberikan oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama.
3) Pelayanan kesehatan tingkat kedua merupakan pelayanan kesehatan spesialistik yang
dilakukan oleh dokter spesialis atau dokter gigi spesialis yang menggunakan
pengetahuan dan teknologi kesehatan spesialistik.
4) Pelayanan kesehatan tingkat ketiga merupakan pelayanan kesehatan sub spesialistik
yang dilakukan oleh dokter sub spesialis atau dokter gigi sub spesialis yang
menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan sub spesialistik.
5) Dalam menjalankan pelayanan kesehatan, fasilitas kesehatan tingkat pertama dan
tingkat lanjutan wajib melakukan sistem rujukan dengan mengacu pada peraturan
perundang undangan yang berlaku.
6) Peserta yang ingin mendapatkan pelayanan yang tidak sesuai dengan sistem rujukan
dapat dimasukkan dalam kategori pelayanan yang tidak sesuai dengan prosedur
sehingga tidak dapat dibayarkan oleh BPJS Kesehatan.
7) Fasilitas Kesehatan yang tidak menerapkan sistem rujukan maka BPJS Kesehatan
akan melakukan recredentialing terhadap kinerja fasilitas kesehatan tersebut dan
dapat berdampak pada kelanjutan kerjasama.
8) Pelayanan rujukan dapat dilakukan secara horizontal maupun vertikal.
9) Rujukan horizontal/ internal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan
kesehatan dalam satu tingkatan apabila perujuk tidak dapat memberikan pelayanan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan
dan/atau ketenagaan yang sifatnya sementara atau menetap.
10) Rujukan vertikal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan yang
berbeda tingkatan, dapat dilakukan dari tingkat pelayanan yang lebih rendah ke
tingkat pelayanan yang lebih tinggi atau sebaliknya.
11) Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih rendah ke tingkatan pelayanan
yang lebih tinggi dilakukan apabila:
a) pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik atau subspesialistik;
b) perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/ atau ketenagaan.
12) Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih tinggi ke tingkatan pelayanan
yang lebih rendah dilakukan apabila :
5

a) permasalahan kesehatan pasien dapat ditangani oleh tingkatan pelayanan


kesehatan yang lebih rendah sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya;
b) kompetensi dan kewenangan pelayanan tingkat pertama atau kedua lebih baik
dalam menangani pasien tersebut;
c) pasien membutuhkan pelayanan lanjutan yang dapat ditangani oleh tingkatan
pelayanan kesehatan yang lebih rendah dan untuk alasan kemudahan, efisiensi
dan pelayanan jangka panjang; dan atau
d) perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
pasien karena keterbatasan sarana, prasarana, peralatan dan atau ketenagaan
(Idris, 2014).
13) Rujukan Parsial
a. Rujukan parsial adalah pengiriman pasien atau spesimen ke pemberi pelayanan
kesehatan lain dalam rangka menegakkan diagnosis atau pemberian terapi, yang
merupakan satu rangkaian perawatan pasien di Faskes tersebut.
b. Rujukan parsial dapat berupa:
1.
pengiriman pasien untuk dilakukan pemeriksaan penunjang atau
tindakan
pengiriman spesimen untuk pemeriksaan penunjang

2.
c.

Apabila
pasien
tersebut
adalah pasien
rujukan
parsial, maka
penjaminan
pasien
dilakukan
oleh fasilitas
kesehatan
perujuk.

Gambar 1 Sistem Rujukan Berjenjang (Idris, 2014)

Gambar 2 Skema Sistem Rujukan Pelayanan


Kesehatan di Indonesia (DepKes RI, 2009)
Pelaksanaan sistem rujukan di indonesia telah diatur dengan bentuk bertingkat
atau berjenjang, yaitu pelayanan kesehatan tingkat pertama, kedua dan ketiga, seperti
pada gambar 1 dimana dalam pelaksanaannya tidak berdiri sendiri-sendiri namun berada
di suatu sistem dan saling berhubungan. Apabila pelayanan kesehatan primer tidak dapat
melakukan tindakan medis tingkat primer maka ia menyerahkan tanggung jawab tersebut
ke tingkat pelayanan di atasnya, demikian seterusnya. Apabila seluruh faktor pendukung
7

(pemerintah, teknologi, transportasi) terpenuhi maka proses ini akan berjalan dengan baik
dan masyarakat awam akan segera tertangani dengan tepat (DepKes RI, 2009).
Ada beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam alur rujukan yaitu:
a. Klasifikasi Fasilitas Kesehatan.
b. Lokasi / Wilayah Kabupaten/Kota
c. Koordinasi unsur-unsur pelaksana
Alur rujukan kasus kegawat daruratan dari Kader dapat langsung merujuk ke:
Puskesmas pembantu, pondok bersalin atau bidan di desa, puskesmas rawat inap, rumah
sakit swasta/ RS pemerintah (DepKes RI, 2009).
G. Alur Rujukan
Untuk memahami tentang alur rujukan dan ketentuannya, perlu diketahui tentang
tahapan pelayanan kesehatan. Ada tiga tahapan dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan,
yaitu sebagai berikut :
1.

Pelayanan tingkat primer


Pelayanan di sini diselenggarakan oleh Dokter Praktek Umum (DPU). Tahap
ini disebut tahap awal atau kontak pertama pasien dengan dokter yang biasanya
bertempat di klinik pribadi, klinik dokter bersama, Puskesmas, balai pengobatan,
klinik perusahaan, atau poliklinik umum di rumah sakit. Setiap pasien semestinya
harus ke DPU dulu kecuali bila terjadi kasus gawat darurat.

2.

Pelayanan tingkat sekunder


Jika dianggap perlu, pasien akan dirujuk ke pelayanan tingkat sekunder. Untuk
itu DPU akan menulis surat konsultasi atau rujukan yang menjelaskan masalah medis
dan kendala yang dihadapi pada pasien yang bersangkutan. Di sini pasien akan
dilayani oleh dokter spesialis (DSp) di rumah sakit (kelas C atau B), klinik spesialis
atau klinik pribadi. Jika masalah kesehatan yang sulit telah diselesaikan pasien akan
dikirim balik ke DPU yang mengirimnya dengan bekal surat rujuk balik yang berisi
anjuran kelanjutan pengobatannya.

3.

Pelayanan tingkat tersier


Jika masalahnya juga tidak dapat atau tidak mungkin diselesaikan oleh DSp di
tingkat sekunder maka pasien yang bersangkutan akan dikirim ke pelayanan tingkat
tersier (top referral). Di sini pasien akan dilayani oleh para dokter super/sub spesialis
atau Spesialis Konsultan (DSpK) di rumah sakit pendidikan atau rumah sakit besar
yang mempunyai berbagai pusat riset yang mapan (kelas A). Pelayanan kesehatan di
faskes primer yang dapat dirujuk langsung ke faskes tersier hanya untuk kasus yang
sudah ditegakkan diagnosis dan rencana terapinya, merupakan pelayanan berulang dan
8

hanya tersedia di faskes tersier. Rujuk balik pun tetap berlaku di sini dan bukan tidak
mungkin berisi anjuran untuk kembali ke DPU-nya jika masalah telah diatasi. Jika
masalahnya tidak mungkin dapat diatasi lagi (stadium terminal), sehingga diputuskan
untuk dilanjutkan dengan perawatan di rumah, maka yang terakhir ini pun menjadi
tugas DPU.
Ketentuan pelayanan rujukan berjenjang dapat dikecualikan dalam kondisi:
a. Terjadi keadaan gawat darurat;
Kondisi kegawatdaruratan mengikuti ketentuan yang berlaku
b. Bencana;
Kriteria bencana ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah Daerah
c. Kekhususan permasalahan kesehatan pasien; untuk kasus yang sudah ditegakkan
rencana terapinya dan terapi tersebut hanya dapat dilakukan di fasilitas kesehatan
lanjutan
d. Pertimbangan geografis; dan
e. Pertimbangan ketersediaan fasilitas
Selain tiga tahapan di atas masih ada tahapan pelayanan kesehatan yang
kedudukannya lebih rendah dari pelayanan tingkat primer, yaitu seperti pelayanan tingkat
rumah tangga dan tingkat masyarakat yang bergerak secara swadana, misalnya: Bidan,
Perawat, Posyandu, Polindes, Sakabhakti Husada, dan lain-lain.
Dalam keadaan tertentu, bidan atau perawat dapat memberikan pelayanan
kesehatan tingkat pertama sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Bidan dan
perawat hanya dapat melakukan rujukan ke dokter dan/atau dokter gigi pemberi
pelayanan kesehatan tingkat pertama kecuali dalam kondisi gawat darurat dan
kekhususan permasalahan kesehatan pasien, yaitu kondisi di luar kompetensi dokter
dan/atau dokter gigi pemberipelayanan kesehatan tingkat pertama.
H. Regionalisasi Sistem Rujukan
Kabupaten/kota dibagi dalam beberapa wilayah rujukan/region, berdasarkan hasil
mapping sarpras, SDM, dan kondisi geografis, setiap wilayah mempunyai pusat rujukan.
1. Definisi
Regionalisasi sistem rujukan adalah pengaturan sistem rujukan dengan
penetapan batas wilayah administrasi daerah berdasarkan kemampuan pelayanan

medis, penunjang, dan fasilitas pelayanan kesehatan yang terstuktur sesuai dengan
kemampuan, kecuali dalam kondisi emergensi (KemenKes,2014) .
2. Tujuan
a) Mengembangkan regionalisasi sistem rujukan berjenjang di Provinsi dan
Kabupaten/Kota.
b) Meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan rujukan RS.
c) Meningkatkan pemerataan pelayanan kesehatan rujukan sampai ke daerah
terpencil dan daerah miskin.
d) Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan rujukan RS
(KemenKes, 2014).
3. Manfaat
a) Pasien tidak menumpuk di RS besar tertentu.
b) Pengembangan seluruh RS di provinsi dan kabupaten/kota dapat direncanakan
secara sistematis efisien dan efektif.
c) Pelayanan rujukan dapat lebih dekat ke daerah terpencil, miskin, dan daerah
perbatasan karena pusat rujukan lebih dekat.
d) Regionalisasi rujukan dapat dimanfaatkan untuk pendidikan tenaga kesehatan
terutama pada RS Pusat Rujukan Regional.
4. Alur sistem rujukan regional
a) Pelayanan kesehatan rujukan menerapkan pelayanan berjenjang yang dimulai
dari Puskesmas, kemudian kelas D atau C, selanjutnya RS kelas B dan akhirnya
ke RS kelas A.
b) Pelayanan kesehatan rujukan dapat berupa rujukan rawat jalan dan rawat inap
yang diberikan berdasarkan indikasi medis dari dokter disertai surat rujukan,
dilakukan atas pertimbangan tertentu atau kesepakatan antara rumah sakit
dengan pasien atau keluarga pasien.
c) RS kelas C/D dapat melakukan rujukan ke RS kelas B atau RS kelas A antar atau
lintas kabupaten/kota yang telah ditetapkan. yang dimaksud dengan antar
kabupaten/ kota adalah pelayanan ke RS kabupaten/ kota yang masih dalam
satu region yang telah ditetapkan. Sedangkan lintas kabupaten/kota adalah
pelayanan ke RS kabupaten/kota di luar wilayah region yang telah ditetapkan
(KemenKes, 2014).

10

BAB III
PEMBAHASAN
Pada umumnya, proses rujukan yang dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Kota Surakarta sudah berjalan sesuai prosedur. RSUD Kota Surakarta yang
merupakan rumah sakit tipe C milik pemerintah Kota Surakarta berperan sebagai Penyedia
Pelayanan Kesehatan (PPK) tingkat 2 menerima maupun merujuk pasien dari PPK tingkat
yang lain. Dalam pelaksanaan teknisnya, RSUD Kota Surakarta menerima pasien rujukan dari
fasilitas layanan kesehatan terutama tingkat pertama/primer, yaitu puskesmas dan dokter
keluarga yang bekerja sama dengan BPJS. Jenis pasien yang dilayani di RSUD Kota
Surakarta terdiri dari pasien umum, pasien peserta JKN/BPJS (baik PBI maupun non PBI) dan
pasien peserta Jamkesda Karanganyar. Memang ada beberapa pasien Jamkesda Karanganyar
yang memeriksakan diri dengan membawa rujukan dari puskesmas/dokter keluarga
Karanganyar ke RSUD Kota Surakarta karena letak RSUD ini di daerah Ngipang yang dekat
dengan daerah Karanganyar. Selanjutnya, RSUD Kota Surakarta dapat merujuk pasien ke
rumah sakit tipe B, meliputi Rumah Sakit Kasih Ibu Surakarta, Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Surakarta, dan Rumah Sakit Dr OEN Solo Baru, serta rumah sakit tipe A,
yaitu RSUD Dr. Moewardi. Untuk metode rujukan yang digunakan saat ini adalah berupa
surat rujukan tertulis disertai dengan bukti rujukan online. Metode ini sudah berjalan sesuai
prosedur di RSUD Kota Surakarta.
Mengenai sistem rujukan di RSUD Kota Surakarta yang juga terkait dengan jaminan
kesehatan, masih sering ditemui beberapa masalah. Salah satu contohnya adalah pasien yang
datang ke poli tidak membawa persyaratan secara lengkap, seperti surat rujukan dari
puskesmas/dokter keluarga, fotokopi kartu BPJS, fotokopi kartu keluarga, dan fotokopi KTP.
Pasien kerap kali lupa membawa persyaratan yang diperlukan. Hal ini dapat menghambat
pelayanan dan menyebabkan pasien yang mau datang berobat tidak dapat dilayani segera
karena harus melengkapi semua persyaratan terlebih dahulu. Untuk mengatasi masalah ini,
perlu ada edukasi yang optimal dari petugas di bagian pendaftaran tentang pentingnya
memenuhi semua persyaratan untuk bisa mendapat claim dari BPJS. Selain itu dari pihak
pasien pun harus didapatkan kepedulian dan kesadaran yang tinggi untuk mau memenuhi
semua persyaratan yang ada.
Sistem rujukan berjenjang diberlakukan salah satunya agar terjadi pemerataan pasien,
sehingga pasien tidak menumpuk di satu tingkat pelayanan kesehatan. Pelayanan tingkat
11

primer, sekunder, maupun tersier telah memiliki standar dan cakupan pelayanan masingmasing. Namun, pada kenyataannya masih ada pasien yang datang ke poli PPK tingkat 2
dengan permasalahan atau diagnosis penyakit yang seharusnya cukup untuk ditangani di PPK
tingkat 1. Untuk itu, dari RSUD kota Surakarta meminta konfirmasi ke PPK tingkat 1 terlebih
dahulu. Jika ini memang murni karena kesalahan diagnosis dari PPK tingkat 1 maka pasien
tetap dilayani dengan biaya ditanggung oleh PPK tingkat 1 sebagai bentuk tanggung jawab
atas kelalaiannya karena biaya tidak mendapat claim dari BPJS di PPK tingkat 2. Namun, ada
juga kasus dimana rujukan tersebut dibuat karena pasien memaksa untuk dirujuk, maka pasien
akan dikembalikan ke PPK tingkat 1. Atau pasien tetap dilayani sebagai pasien umum. Hal ini
dilakukan agar PPK tingkat 1 lebih memperhatikan kriteria pasien yang dapat dirujuk dan
juga menghindari penumpukan pasien di PPK tingkat 2.
Selain itu, juga terdapat masalah tentang kasus gigi. Dari BPJS telah menetapkan dokter
keluarga untuk setiap anggota JKN. Namun pada kartu tidak tertera layanan dokter gigi untuk
PPK tingkat 1. Sedangkan kasus gigi tidak dapat ditangani oleh dokter keluarga sebagai
dokter umum. Akhirnya dokter umum akan merujuk pasien kasus gigi ke PPK tingkat 2.
Masalahnya diagnosis pasien tersebut seharusnya dapat ditangani di PPK tingkat 1. Untuk
masalah seperti ini, RSUD kota Surakarta akan memberikan surat pengantar ke BPJS agar
pasien tersebut mendapat dokter gigi untuk PPK tingkat 1.
Permasalahan lain terkait sistem rujukan dengan jaminan kesehatan adalah pasien yang
datang ke IGD. Seperti yang sudah dipaparkan dalam tinjauan pustaka, pasien gawat darurat
tidak perlu mengikuti alur sistem rujukan berjenjang. Pasien dengan BPJS dapat ditangani
dengan pelayanan IGD jika diagnosisnya sesuai dengan daftar diagnosis gawat darurat dari
BPJS. Masalah pada pasien yang datang ke IGD terjadi apabila pasien dengan jaminan
kesehatan BPJS, meminta penanganan gawat darurat, dan setelah diperiksa ternyata tidak
didapatkan diagnosis pada pasien yang sesuai dengan kriteria kegawatdaruratan dari BPJS.
Di satu sisi, tidak baik rasanya menolak pasien yang meminta penanganan. Namun di sisi lain,
jika RS memberikan pelayanan maka RS tidak akan bisa mengajukan claim pada BPJS untuk
mendapatkan penggantian pendanaan. Maka, pasien harus dimotivasi untuk membayar seperti
pasien umum, karena di sini kartu BPJSnya tidak dapat digunakan. Permasalahan lain muncul
jika sampai pasien pada akhirnya tetap tidak bersedia untuk membayar namun tetap meminta
pelayanan karena keterbatasan pengetahuannya mengenai regulasi-regulasi BPJS. Jika pasien
tetap tidak ingin membayar, maka tenaga kesehatan memotivasi pasien untuk meminta
rujukan dari PPK tingkat 1 untuk kemudian mendaftar ke Poliklinik RSUD Kota Surakarta,
12

bukan melalui IGD, dengan itu kartu BPJSnya bisa digunakan dan pasien tidak perlu
membayar umum. Disinilah pemahaman petugas kesehatan mengenai hal-hal teknis serta
komunikasi yang baik dengan pasien perlu dilakukan, agar dapat memberikan pelayanan yang
benar-benar terbaik bagi pasien.
Kasus IGD yang lain, adalah kasus Obsgyn. Pasien mau melahirkan dirujuk ke RSUD
Kota Surakarta dari PPK tingkat 1 tanpa disertai adanya indikasi rujukan dan skor poedji
rochjati. Dalam hal ini, RSUD Kota Surakarta menangani pasien terlebih dahulu kemudian
meminta konfirmasi dari pihak PPK tingkat 1 atas indikasi rujukannya, serta memberikan
peringatan kepada PPK tingkat 1 untuk ke depannya agar lebih memperhatikan masalah
rujukan ini. Karena nantinya akan berhubungan dengan claim BPJS, agar tidak ada pihak
yang dirugikan.
Contoh permasalahan lain di IGD yang sering kali tidak terpikirkan namun menjadi
beban tersendiri adalah ketika pasien tersebut merupakan gelandangan dan fakir miskin yang
tidak terdaftar sebagai pasien BPJS. Hanya ada 7 RS di Provinsi Jawa Tengah yang
mendapatkan dana dari Kemenkes untuk menangani pasien seperti ini, seperti RSUD Dr.
Moewardi dan RSJ Surakarta. Namun ketika pasien ini dirujuk ke RSUD Dr Moewardi,
RSUD Dr. Moewardi menolak karena kasus penyakit pasien tersebut seharusnya dapat
ditangani oleh RSUD Kota Surakarta sebagai layanan kesehatan sekunder. Akibatnya dana
untuk menangani pasien ini ditanggung oleh RSUD Kota Surakarta. Pasien seperti ini perlu
didiskusikan dengan banyak pihak terkait mengenai sistem rujukan dan pembiayaannya
sehingga pasien dapat ditangani dengan baik dan pihak rumah sakit tidak ada yang dirugikan.
Sejauh pengamatan yang kami lakukan, yang menjadi kelemahan dalam sistem
rujukan di RSUD Kota Surakarta adalah pada sistem rujukan balik. Seharusnya pada setiap
rujukan yang masuk ke RSUD Kota Surakarta, perlu diberikan rujukan balik kepada
puskesmas/dokter keluarga yang merujuk, baik untuk memberi informasi bahwa pasien
tersebut sudah diterima dan akan dirawat di RSUD Kota Surakarta dengan diagnosis tertentu,
maupun untuk merujuk kembali pasien ke puskesmas/dokter keluarga yang bersangkutan
karena kondisi pasien sudah dapat ditangani oleh layanan kesehatan primer. Demikian pula
belum adanya sistem rujukan balik apabila pasien dirujuk dari RSUD Kota Surakarta ke
fasilitas kesehatan tersier, seperti ke RSUD Dr. Moewardi. Hal ini menunjukkan bahwa
banyak tenaga medis yang belum menyadari tentang pentingnya rujukan balik. Rujukan balik
menjamin komunikasi yang baik antar sesama pelaku kesehatan. Rujukan balik juga dapat
menjadi wadah transfer informasi antar sesama tenaga medis yang bersangkutan. Namun
13

seringkali kendala rujukan balik juga terletak pada pasien yang tidak mau dikembalikan untuk
dirawat di layanan kesehatan di bawahnya, seperti di puskesmas. Masih ada paradigma di
masyarakat bahwa layanan kesehatan di puskesmas dengan ditangani dokter umum tidak
sebagus layanan kesehatan di rumah sakit yang ditangani oleh dokter spesialis. Apabila
menemui keadaan seperti ini, pihak dokter RSUD Kota Surakarta harus bersikap tegas dan
memberikan informasi yang cukup bahwa dokter umum di puskesmas cakap sesuai dengan
kompetensinya.
Seperti yang sudah kita ketahui dari tinjauan pustaka, rujukan vertikal dari tingkatan
pelayanan yang lebih rendah ke tingkatan pelayanan yang lebih tinggi dilakukan apabila:
a. pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik atau subspesialistik;
b. perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien
karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/ atau ketenagaan.
Dalam hal ini, RSUD Kota Surakarta juga sudah melakukan sesuai dengan prosedur
yang ada. Dari beberapa Poli yang kami kunjungi, kami mendapati bahwa dokter di RSUD
Kota Surakarta akan merujuk pasien ke PPK tingkat 3 jika memang diperlukan rujukan, atau
dengan kata lain memang karena terdapat keterbatasan kompetensi, fasilitas, tenaga,
peralatan, dan lain-lain. Seperti pada Poli Interna misalnya, rujukan ke PPK tingkat 3
biasanya hanya dilakukan jika pasien membutuhkan pemasangan AV shunt yang mana
memang tidak dapat dilakukan di RSUD Kota Surakarta karena keterbatasan kompetensi dan
fasilitas.
Permasalahan terkait sistem rujukan berjenjang dan jaminan kesehatan ini pada
dasarnya sangat kompleks dan menyangkut banyak pihak, namun sebagian besar bisa
ditangani dengan pemahaman teknis-teknis kecil oleh tenaga kesehatan, dan tentunya kerja
sama yang baik dengan pihak keluarga serta penyedia pelayanan kesehatan yang lain.

14

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pada umumnya, proses rujukan yang dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Kota Surakarta sudah berjalan sesuai prosedur. Namun masih ada beberapa
hambatan dan permasalahan antara lain, kurangnya sosialisasi tentang persyaratan
administrasi rujukan, kurangnya pemahaman masyarakat tentang ketentuan sistem
rujukan, kesalahan merujuk karena tidak memenuhi kriteria diagnosis dan tanpa
indikasi, belum ada pembagian dokter gigi pada PPK tingkat 1, dan belum ada
kebijakan untuk gelandangan yang tidak terdaftar JKN.
2. RSUD Kota Surakarta melayani pasien rujukan BPJS sesuai dengan regional yang
telah ditetapkan. Kecuali kasus kegawatdaruratan.
3. Rujukan balik masih kurang berjalan dengan baik
B. Saran
1. Perlunya sosialisasi dan komunikasi efektif dari tenaga kesehatan kepada masyarakat
tentang persyaratan administrasi rujukan dan ketentuan sistem rujukan
2. Perlunya dilakukan evaluasi oleh dinas kesehatan setempat kepada seluruh tenaga
kesehatan baik tingkat primer maupun tingkat lanjutan, untuk menyamakan persepsi
atas suatu penyakit, dan memberi batasan yang jelas pada suatu penyakit, sehingga
rujukan dapat tepat sasaran
3. Perlu adanya pelaporan dan masukan untuk BPJS terkait pembagian dokter gigi untuk
PPK tingkat 1 dan kasus gelandangan yang tidak mempunyai JKN agar BPJS dapat
menambahkan aturan dan kebijakan khusus
4. Perlunya sosialisasi kepada masyarakat tentang regionalisasi sistem rujukan, dan
perlunya sosialisasi untuk merubah paradigma masyarakat tentang kualitas PPK 1,
seperti Puskesmas sehingga sistem rujukan berjenjang dapat berjalan dengan baik di
masyarakat, dan tidak terjadi penumpukan pasien di rumah sakit.
5. Masalah rujukan balik yang saat ini masih menjadi kendala transfer pengetahuan
antara pelayanan sekunder dengan pelayanan primer hendaknya dilakukan dengan
sebaik-baiknya.

15

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2009). Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta.
http://pppl.depkes.go.id/_asset/_regulasi/KEPMENKES_374-2009_TTG_SKN2009.pdf - diunduh Februari 2016
Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat. 2011. Petunjuk Teknis Sistem Rujukan
Pelayanan

Kesehatan

Provinsi

Nusa

Tenggara

Barat.

https://servicedeliveryighealth.files.wordpress.com/2011/12/buku_rujukanbinder.pdf
diunduh Februari 2016
Hatmoko. 2006. Sistem pelayanan kesehatan dasar Puskesmas. Samarinda, Universitas
Mulawarman.
Idris, Fachmi (2014). Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan. Jakarta: BPJS Kesehatan.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2014). Sistem Rujukan Terstruktur dan
Berjenjang dalam Rangka Menyongsong Jaminan Kesehatan Nasional (Regionalisasi
Sistem Rujukan). Jakarta.
Permenkes. 2012a. Peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia nomor 001 tahun 2012
tentang

sistem

rujukan

pelayanan

kesehatan

perorangan.

http://www.rsstroke.com/files/peraturan/BUK/2012/PMK_No_001_Ttg_Sistem_Rujuk
an_Pelayanan_Kesehatan_Perorangan.pdf - diunduh Februari 2016
Pranoko & Dhanabhalan (2012). Sistem Rujukan Puskesmas Batealit Jepara. Semarang.
Tim penyusun bahan sosialisasi dan advokasi JKN (2014). Buku Pegangan Sosialisasi
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional. Jakarta.

16

LAMPIRAN

Lampiran 1 Formulir Rujukan Eksternal

17

Lampiran 2 Formulir Rujukan Internal

Lampiran 3 Contoh Bukti Rujukan Online


18

Anda mungkin juga menyukai