PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa adalah fungsi luhur yang paling utama bagi manusia selain fungsi
daya mengingat, persepsi, kognisi, dan emosi. Kerusakan atau kelainan di otak dapat
menimbulkan gangguan kemampuan berbahasa yang disebut afasia. Afasia adalah
gangguan kemampuan berbahasa seseorang (baik lisan maupun tulis) yang
disebabkan oleh gangguan atau kerusakan di otak . Kerusakan otak itu sendiri dapat
disebabkan oleh berbagai macam penyakit, tetapi yang paling sering oleh penyakit
gangguan peredaran darah di otak dan cedera otak (strok dan trauma) . Seringkali
orang mengira mereka mengalami gangguan kejiwaan, padahal menderita afasia. 1
Afasia adalah suatu gangguan berbahasa yang diakibatkan oleh kerusakan otak.
Afasia tidak termasuk gangguan perkembangan bahasa (disebut juga disfasia),
gangguan bicara motorik murni, ataupun gangguan berbahasa sekunder akibat
gangguan pikiran primer, misalnya skizofrenia. 1,2,3,4,5
Afasia mencakup gangguan berbahasa secara menyeluruh walaupun biasanya
terdapat gangguan yang lebih menonjol daripada gangguan lainnya. Tercakup di
dalam afasia adalah gangguan yang lebih selektif, misalnya gangguan membaca
(alexia) atau gangguan menulis (agrafia). Gangguan yang berkaitan misalnya apraksia
(gangguan belajar atau ketrampilan), gangguan mengenal (agnosia), gangguan
menghitung (akalkulias), serta defisit perilaku neurologis seperti demensia dan
delirium. Ini semua bisa muncul bersama-sama dengan afasia atau muncul sendiri.1,2,3
Banyak orang mengalami frustasi saat berlibur di negara lain. Frustasi tersebut
berasal dari ketidakmampuan mengungkapkan dengan jelas apa yang mereka
maksudkan atau tidak sepenuhnya mengerti apa yang dikatakan orang lain. Pada
penderita afasia mengalami hal-hal seperti ini sehari-hari. Dengan demikian, afasia
adalah gangguan kemampuan berbahasa.4
Tidak ada dua penderita afasia yang persis sama. Afasia berbeda dari satu
orang dengan yang lain. Tingkat keparahan dan luasnya cakupan afasia tergantung
dari lokasi dan keparahan cedera otak, kemampuan berbahasa sebelum afasia, dan
kepribadian seseorang. Beberapa penderita afasia dapat mengerti bahasa dengan baik,
tetapi mengalami kesulitan untuk mendapatkan kata-kata yang tepat atau membuat
kalimat-kalimat. Penderita yang lain dapat berbicara panjang lebar, tetapi apa yang
diucapkan susah atau tidak dapat dimengerti oleh lawan bicaranya. Penderita seperti
ini sering mengalami masalah besar dalam memahami bahasa. Kemampuan
berbahasa dari kebanyakan penderita afasia berada diantara dua situasi tadi.4
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Afasia
merupakan
gangguan
berbahasa.
Dalam
hal
ini
pasien
Etiologi
Afasia adalah suatu tanda klinis dan bukan penyakit. Afasia dapat timbul
akibat cedera otak atau proses patologik pada area lobus frontal, temporal atau
parietal yang mengatur kemampuan berbahasa, yaitu Area Broa, Area Wernicke, dan
jalur yang menghubungkan antara keduanya. Kedua area ini biasanya terletak di
hemisfer kiri otak dan pada kebanyakan orang, bagian hemisfer kiri merupakan
tempat kemampuan berbahasa diatur.1,2,3,6,7,8
Pada dasarnya kerusakan otak yang menimbulkan afasia disebabkan oleh
stroke, cedera otak traumatik, perdarahan otak aku dan sebagainya. Afasia dapat
muncul perlahan-lahan seperti pada kasus tumor otak. Afasia juga terdaftar sebagai
efek samping yang langka dari fentanyl, suatu opioid untuk penanganan nyeri
kronis.2,3
C.
Patofisiologi
Afasia terjadi akibat kerusakan pada area pengaturan bahasa di otak. Pada
manusia, fungsi pengaturan bahasa mengalami lateralisasi ke hemisfer kiri otak pada
96-99% orang yang dominan tangan kanan (kinan) dan 60% orang yang dominan
tangan kiri (kidal). Pada pasien yang menderita afasia, sebagian besar lesi terletak
pada hemisfer kiri.2,3,6,7,8
Afasia paling sering muncul akibat stroke, cedera kepala, tumor otak, atau
penyakit degeneratif. Kerusakan ini terletak pada bagian otak yang mengatur
kemampuan berbahasa, yaitu area Broca dan area Wernicke.2,3
Area Broca atau area 44 dan 45 Broadmann, bertanggung jawab atas
pelaksanaan motorik berbicara. Lesi pada area ini akan mengakibatkan kersulitan
dalam artikulasi tetapi penderita bisa memahami bahasa dan tulisan.6,7,8,9
Area Wernicke atau area 41 dan 42 Broadmann, merupakan area sensorik
penerima untuk impuls pendengaran. Lesi pada area ini akan mengakibatkan
penurunan hebat kemampuan memahami serta mengerti suatu bahasa.6,7,8,9
Secara umum afasia muncul akibat lesi pada kedua area pengaturan bahasa di
atas. Selain itu lesi pada area disekitarnya juga dapat menyebabkan afasia
transkortikal. Afasia juga dapat muncul akibat lesi pada fasikulus arkuatus, yaitu
penghubung antara area Broca dan area Wernicke.6
D. Manifestasi Klinis
Gejala dan Gambaran klinik Afasia: 3,9
1.Afasia global.
Afasia global ialah bentuk afasia yang paling berat. Koadaan ini ditandai oleh
tidak adanya lagi bahasa spontan atau berkurang sekali dan menjadi beberapa patah
kata yang diucapkan secara stereotip (itu-itu saja, berulang), misalnya : "iiya, iiya,
iiya", atau: "baaah, baaaah, baaaaah" atau: "amaaang, amaaang, amaaang".
pulih
ialah
buruk. Afasia global hampir selalu disertai hemiparese atau hemiplegia yang
menyebabkan invaliditas khronis yang parah. 3,9
2.Afasia Broca.
Bentuk afasia ini sering kita lihat di klinik dan ditandai oleh bicara yang tidak
lancar, dan disartria, serta tampak melakukan upaya bila berbicara. Pasien sering atau
paling banyak mengucapkan kata-benda dan kata-kerja. Bicaranya bergaya telegram
atau
tanpa
tata-bahasa
(tanpa
grammar).
"Saya....sembuh....rumah....kontrol....ya..kon..trol."
Contoh:
"Periksa...lagi...makan...
banyak.."3,9
Mengulang (repetisi) dan membaca kuat-kuat sama terganggunya seperti
berbicara spontan. Pemahaman auditif dan pemahaman membaca tampaknya tidak
terganggu, namun pemahaman kalimat dengan tatabahasa yang kompleks sering
terganggu (misalnya memahami kalimat: "Seandainya anda berupaya untuk tidak
gagal, bagaimana rencana anda untuk maksud ini").3,9
Ciri klinik afasia Broca:3
Kesalahan parafasia
menyebabkan afasia Broca mencakup daerah Brodmann 44 dan sekitarnya. Lesi yang
mengakibatkan afasia Broca biasanya melibatkan operkulum frontal (area Brodmann
45 dan 44) dan massa alba frontal dalam (tidak melibatkan korteks motorik bawah
dan massa alba paraventrikular tengah). Selain itu, ada pasien dengan lesi dikorteks
peri-rolandik, terutama daerah Brodmann 4; ada pula yang terganggu di daerah perirolandik dengan kerusakan massa alba yang ekstensif. 3,9
Ada pakar yang menyatakan bahwa bila kerusakan terjadi hanya di area
Broca di korteks, tanpa melibatkan jaringan di sekitarnya, maka tidak akan terjadi
afasia. Penderita afasia Broca sering mengalami perubahan emosional. seperti
frustasi dan depresi. Apakah hal ini disebabkan oleh gangguan berbahasanya
atau merupakan gejala yang menyertai lesi di lobus frontal kiri belum dapat
dipastikan. 3,9
Pemulihan terhadap berbahasa (prognosis) umumnya lebih baik daripada
afasia global. Karena pemahaman relatif baik, pasien dapat lebih baik beradaptasi
dengan keadaannya.9
3.Afasia Wernicke.
Pada kelainan ini pemahaman bahasa terganggu. Di klinik, pasien afasia
Wernicke ditandai oleh ketidakmampuan memahami bahasa lisan, dan bila ia
menjawab iapun tidak mampu mengetahui apakah jawabannya salah. la tidak mampu
memahami kata yahg diucapkannya, dan tidak mampu mengetahui kata yang
diucapkannya, apakah benar atau salah. Maka terjadilah kalimat yang isinya kosong,
berisi parafasia, dan neologisme. Misalnya menjawab pertanyaan: Bagaimana
keadaan ibu sekarang ? Pasien mungkin menjawab: "Anal saya lalu sana sakit tanding
tak berabir". Pengulangan (repetisi) terganggu berat. Menamai (naming) umumnya
parafasik. Membaca dan menulis juga terganggu berat. 9
Gambaran klinik afasia Wernicke:3
Artikulasi baik
Prosodi baik
Repetisi terganggu
Penderita afasia jenis Wernicke ada yang menderita hemiparese, ada pula
yang tidak. Penderita yang tanpa hemiparese, karena kelainannya hanya atau terutama
pada berbahasa, yaitu bicara yang kacau disertai banyak parafasia, dan neologisme,
bisa-bisa disangka menderita psikosis. 9
Lesi yang menyebabkan afasia jenis Wernicke terletak di daerah bahasa
bagian posterior. Semakin berat defek dalam komprehensi auditif, semakin besar
kemungkinan lesi mencakup bagian posterior dari girus temporal superior. Bila
pemahaman kata tunggal terpelihara, namun kata kompleks terganggu, lesi cenderung
mengenai daerah lobus parietal, ketimbang lobus temporal superior. Afasia jenis
Wernicke dapat juga dijumpai pada lesi subkortikal yang merusak isthmus temporal
memblokir signal aferen inferior ke korteks temporal. 9
Penderita
dengan
defisit
komprehensi
yang
berat,
pronosis
memahami dan membaca, namun dalam bicara -spontan terbatas, seperti pasien
dengan afasia Broca. Sebaliknya, pasien dengan afasia sensorik transkortikal dapat
mengulang (repetisi) dengan baik, namun tidak memahami apa yang didengarnya
atau yang diulanginya. Bicara spontannya dan menamai lancar, tetapi parafasik
seperti afasia jenis Wernicke. Sesekali ada pasien yang menderita kombinasi dari
afasia transkortikal motorik dan sensorik. Pasien ini mampu mengulangi kalimat yang
panjang, juga dalam bahasa asing, dengan tepat. Mudah mencetuskan repetisi pada
pasien ini, dan mereka cenderung menjadi ekholalia (mengulang apa yang
didengarnya).
Gambaran klinik afasia sensorik transkortikal: 3,9
Pemahaman buruk
Repetisi baik
Ekholalia
Repetisi baik
Inisiasi ot/fpunerlambat
Ungkapan-ungkapan singkat
Parafasia semantik
Ekholalia
Komprehensi buruk
Repetisi baik
Ekholalia mencolok
Afasia transkortikal disebabkan oleh lesi yang luas, berupa infark
berbentuk bulan sabit, di dalam zona perbatasan antara pembuluh darah serebral
mayor (misalnya di lobus frontal antara daerah arteri serebri anterior dan media).
Afasia transkortikal motorik terlihat pada lesi di perbatasan anterior yang menyerupai
huruf C terbalik (gambar 9-1). Lesi ini tidak mengenai atau tidak melibatkan korteks
temporal superior dan frontal inferior (area 22 dan 44 dan lingkungan sekitar) dan
korteks peri sylvian parietal. Korteks peri sylvian yang utuh ini dibutuhkan untuk
kemampuan mengulang yang baik.3,9
Demensia.
5.Afasia anomik.
Ada pasien afasia yang defek berbahasanya berupa kesulitan dalam menemukan
kata dan tidak mampu menamai benda yang dihadapkan kepadanya. Keadaan ini
disebut sebagai afasia anomik, nominal atau amnestik. Berbicara spontan biasanya
lancar dan kaya dengan gramatika, namun sering tertegun mencari kata dan terdapat
parafasia mengenai nama objek. 3,9
Gambaran klinik afasia anomik:3
Keluaran lancar
Komprehensi baik
Repetisi baik
anomik, dengan demikian nilai lokalisasi jenis afasia ini terbatas. Anomia dapat
demikian ringannya sehingga hampir tidak terdeteksi pada percakapan biasa atau
dapat pula demikian beratnya sehingga keluaran spontan tidak lancar dan isinya
kosong. Prognosis untuk penyembuhan bergantung kepada beratnya defek inisial.
Karena output bahasa relatif terpelihara dan komprehensi lumayan utuh, pasien
demikian dapat menyesuaikan diri dengan lebih baik daripada jenis afasia lain yang
lebih berat. 3,9
Afasia dapat juga terjadi oleh lesi subkortikal, bukan oleh lesi kortikal
saja. Lesi di talamus, putamen-kaudatus, atau di kapsula interna, misalnya oleh
perdarahan atau infark, dapat menyebabkan afasia anomik. Mekanisme terjadinya
afasia dalam hal ini belum jelas, mungkin antara lain oleh berubahnya input ke serta
fungsi korteks di sekitarnya. 9
Beberapa bentuk afasia mayor:
E.
Bentuk
Afasia
Ekspresi
(Broca)
Ekspre
si
Tak
lancar
Komprehensi
verbal
Relatif
terpelihara
Repetisi
Menamai
Terganggu
Terganggu
Komprehensi
membaca
Bervariasi
Reseptif
(Wermic
ke)
Lancar
Terganggu
Terganggu
Terganggu
Terganggu
Terganggu
Global
Terganggu
Terganggu
Terganggu
Terganggu
Terganggu
Konduksi
Tak
lancar
Lancar
Relatif
terpelihara
Terganggu
Terganggu
Bervariasi
Terganggu
Nominal
Lancar
Relatif
terpelihara
Terpelihara
Terganggu
Bervariasi
Bervariasi
Transkort
ikal
motor
Transkort
ikal
sensorik
Tak
lancar
Relatif
terpelihara
Terpelihara
Terganggu
Bervariasi
Terganggu
Lancar
Terganggu
Terpelihara
Terganggu
Terganggu
Terganggu
DIAGNOSIS
Menulis
Lesi
Terganggu
Fronta
Inferio
poster
Tempo
Superi
Poster
(Area
Werni
Fronto
tempo
Fasiku
arkual
girus
supram
inal
Girus
angula
tempo
superi
poster
Peri
sylvia
anterio
Perisy
nPoste
Diagnosis afasia ialah berdasarkan tanda dan gejala klinis yang ditemukan
pada pemeriksaan fisik dan kejiwaan. Sedangkan pemeriksaan tambahan lainnya
dilakukan untuk mengetahui penyebab kerusakan otaknya.2,3
F. DIAGNOSIS BANDING2,3
Kelainan psikiatri
Kelainan perkembangan
Mutism
G. PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan afasia terlebih dahulu didasarkan pada penyebabnya,
misalnya stroke, perdarahan akut, tumor otak, dan sebagainya.2,3
Tidak ada penanganan atau terapi untuk afasia yang benar-benar efektif dan
terbukti mengobati. Saat ini, penanganan yang paling efektif untuk mengobati afasia
adalah dengan melakukan terapi wicara/bina wicara. 1,2,3,10,11
Prinsip umum dari terapi wicara adalah:
Terlepas dari jenis terapi afasia yang digunakan, hasilnya akan lebih baik jika
intensitas terapi ditingkatkan. Dengan kata lain, hasil terapi akan lebih baik
jika pasien melakukan beberapa sesi terapi selama beberapa hari dibandingkan
dengan melakukan banyak sesi terapi dalam sehari dengan jumlah hari yang
lebih banyak pula.
stimulus ini sebaiknya digunakan secara rutin selama mengikuti sesi terapi afasia.
Peningkatan kesulitan dalam praktek latihan tes berbahasa selama mengikuti sesi
terapi akan memberikan hasil yang lebih baik.
Berikut merupakan beberapa bentuk terapi afasia yang paling sering digunakan,
seperti diuraikan dalan situs about: (10,11)
Terapi kognitif linguistik. Bentuk terapi ini menekankan pada komponen-komponen
emosional bahasa. Sebagai contoh, beberapa latihan akan mengharuskan pasien untuk
menginterpretasikan karakteristik dari suara dengan nada emosi yang berbeda-beda.
Ada juga yang meminta pasien mendeskripsikan arti kata seperti kata "gembira."
Latihan-latihan seperti ini akan membantu pasien mempraktekkan kemampuan
komprehensif sementara tetap fokus pada pemahaman komponen emosi dari bahasa.
Program stimulus. Jenis terapi ini menggunakan berbagai modalitas sensori.
Termasuk gambar-gambar dan musik. Program ini diperkenalkan denngan tingkat
kesukaran yang meningkat dari tingkat yang mudah ke tingkat yang sulit.
Stimulation-Fascilitation Therapy. Jeni terapi afasia ini lebih fokus pada semantik
(arti) dan sintaksis (sususan kalimat) dari bahasa. Stimulus utama yang digunakan
selama terapi adalah stimulus audio. Prinsip terapi ini yaitu, peningkatan kemampuan
berbahasa akan lebih baik jika dilakukan dengan pengulangan.
Terapi kelompok (group therapy). Dalam terapi ini, pasien disediakan konteks
sosial untuk mempraktekkan kemampuan berkomunikasi yang telah mereka pelajari
selama sesi pribadi. Selain itu, mereka juga akan mendapatkan umpan balik dari para
terapis dan pasien lainnya. Hal ini bisa juga dilakukan dengan anggota keluarga.
Efeknya akan sama sekaligus juga mempererat komunikasi pasien dengan orangorang tercinta mereka.
PACE (Promoting Aphasic's Communicative Effectiveness). Ini merupakan
bentuk terapi pragmatik yang paling terkenal. Jenis terapi afasia ini bertujuan
meningkatkan kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan percakapan
AFASIA 9
sebagai alatnya. Dalam terapi ini, pasien akan terlibat percakapan dengan terapis.
Untuk menstimulus komunikasi yang spontan, jenis terapi ini akan menggunakan
lukisan-lukisan, gambar, serta benda-benda visual. Benda-benda ini akan digunakan
oleh pasien sebagai sumber ide untuk dikomunikasikan dalam percakapan. Pasien dan
terapi secara bergiliran akan menyampaikan ide-ide mereka.
Transcranial Magnetic Stimulation (TMS). Terapi ini dilakukan dengan
mendekatkan magnet langsung ke area otak yang diduga menghambat pemulihan
kemampuan berbahasa setelah stroke. Dengan menekan fungsi dari bagian otak
tersebut, maka pemulihan diharapakan akan semakin cepat. Beberapa studi telah
menunjukkan hasil yang menggembirakan. Tetapi, masih diperlukan studi yang lebih
besar untuk membuktikan efektivitas terapi ini.
H.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
5 - 7.
kursi (suruhan ini dapat gagal pada pasien dengan apraksia dan gangguan motorik,
walaupun pemahamannya baik; hal ini harus diperhatikan oleh pemeriksa).
Pemeriksa dapat pula mengeluarkan beberapa benda, misalnya kunci,
duit, arloji, pulpen. Suruh pasien menunjukkan salah satu benda tersebut, misalnya
arloji. Kemudian suruhan dapat dlpermilit, misalnya: tunjukkan jendela, setelah itu
arloji, kemudian pulpen. Pasien tanpa afasia dengan tingkat inteligensi yang rata-rata
mampu menunjukkan 4 atau lebih objek pada suruhan yang beruntun. Pasien dengan
Afasia mungkin hanya mampu menunjuk sampai 1 atau 2 objek saja. Jadi, pada
pemeriksaan ini pemeriksa (dokter) menambah jumlah objek yang hams ditunjuk,
sampai jumlah berapa pasien selalu gagal.
Ya atau tidak.
pertanyaan yang dijawab dengan "ya" atau "tidak". Mengingat kemungkinan salah
ialah
50%, jumlah
pertanyaan
harus
banyak,
misalnya :
"Andakah yang bernama Santoso?"
"Apakah AC dalam ruangan ini mati ?"
"Apakah ruangan ini kamar di hotel ?"
"Apakah diluar sedang hujan?"
"Apakah saat ini malam hari?"
Menunjuk. Kita mulai dengan suruhan yang mudah difahami dan
kemudian meningkat pada yang lebih sulit. Misalnya: "tunjukkan lampu", kemudian
"tunjukkan gelas yang ada disamping televisi".
Pemeriksaan sederhana ini, yang dapat dilakukan di sisi-ranjang, kurang
mampu menilai kemampuan pemahaman dengan baik sekali, namun dapat
memberikan gambaran kasar mengenai gangguan serta beratnya. Korelasi anatomis
dengan komprehensi adalah kompleks.
Pemeriksaan repetisi (mengulang)
Map
Bola
Kereta
Rumah Sakit
Sungai Barito
Lapangan Latihan
ekstra-sylvian
kasus
afasia
Bila pasien tidak mampu atau sulit menamai, ia dapat dibantu dengan memberikan
suku
kata
pemula
atau
dengan
menggunakan
kalimat
ialah sampainya pasien pada kata yang dibutuhkan, kemampuannya (memberi nama
objek). Ada pula pasien yang mengenal objek dan mampu melukiskan kegunaannya
(sirkumlokusi) namun tidak dapat menamainya. Misalnya bila ditunjukkan kunci ia
mengatakan : "Anu ... itu...untuk masuk rumah...kita putar".
Cara pemeriksaan. Terangkan kepada pasien bahwa ia akan disuruh menyebutkan
nama beberapa objek juga warna dan
bagian dari
kemudian
bagian dari arloji (jarum menit, detik), lensa kaca mata. Objek atau gambar objek
berikut dapat digunakan:
jendela. Bagian dari tubuh: mata, hidung, gigi, ibu jari, lutut
Warna: merah, biru, hijau, kuning, kelabu.
Bagian dari objek:
jarum jam, lensa kaca mata, sol sepatu, kepala ikat pinggang,
pasien
berbicara
spontan,
komprehensi
(pemahaman),
repetisi
cukup untuk menentukan npakah seseorang kandal atau kidal. Suruh pasien
memperagakan tangan mana yang digunakannya untuk memegang pisau, melempar
bola, dsb.
Tanyakan pula apakah ada juga kecenderungannya menggunakan tangan yang
lainnya. Spektrum penggunaan tangan bervariasi dari kandal yang kuat; kanan sedikit
lebih kuat dari kiri; kiri sedikit lebih kuat dan kanan dan kidal yang kuat. Ada
individu yang kecenderungan kandal dan kidalnya hampir sama (ambi-dextrous)
Pemeriksaan berbicara - spontan
Langkah pertama dalam menilai berbahasa ialah mendengarkan bagaimana pasien
berbicara spontan atau bercerita. Dengan mendengnrknn pasien berbicara spontan
atau bercerita, kita dapat memperoleh data yang sangat berharga mengenai
kemampuan pasien berbahasa. Cara Ini tidak kalah pentingnya dari tes-tes bahasa
yang formal.
Kita dapat mengajak pasien berbicara spontan atau berceritera melalui pertanyaan
berikut : Coba ceriterakan kenapa anda sampai dirawat di rumah sakit. Coba ceritakan
mengenai pekerjaan anda serta hobi anda.
Bila mendengarkan pasien berbicara spontan atau bercerita, perhatikan:
1. Apakah bicaranya pelo, cadel, tertegun-tegun, disprosodik (irama, ritme,
intonasi bicara terganggu).
irama (disprosodi).
2. Apakah
ada
(parafasia,
afasia,
kesalahan
sintaks,
salah
menggunakan
kata
pada afasia.
Parafasia. Parafasia ialah men-substitusi kata. Kita mengenai 2 jenis parafasia, yaitu
parafasia semantik (verbal) dan parafasia fonomik (literal). Parafasia semantik ialah
mensubstitusi satu kata dengan kata yang lain misalnya: "kucing" dengan "anjing".
Parafasia fonemik, ialah mensubstitusi suatu bunyi dengan bunyi yang lain, misalnya
bir dengan kir, balon dengan galon.
Afasia motorik yang berat biasanya mudah dideteksi. Pasien berbicaranya sangat
terbatas atau hampir tidak ada; mungkin ia hanya mengucapkan: "ayaa, ayaa, aaai,
Hi".
Sesekali ditemukan kasus dimana pasien sangat terbatas kemampuan bicaranya,
namun bila ia marah, beremosi tinggi, keluar ucapan makian yang cara
mengucapkannya cukup baik.
Afasia ialah kesulitan dalam memahami dan/atau memproduksi bahasa yang
disebabkan oleh gangguan (kelainan, penyakit) yang melibatkan hemisfer otak.
Didapatkan berbagai jenis afasia, masing-masing mempunyai pola abnormalitas yang
dapat dikenali, bila kita berbincang dengan pasien serta melakukan beberapa tes
sederhana.
Pada semua pasien dengan afasia didapatkan juga gangguan membaca dan
menulis (aleksia dan agrafia)
Pada afasia semua modalitas berbahasa sedikit-banyak terganggu, yaitu bicara
spontan, mengulang (repetisi), namai (naming), pemahaman bahasa, membaca dan
menulis.
Pada lesi di frontal, pasien tidak bicara atau sangat sedikit bicara, dan mengalami
kesulitan atau memerlukan banyak upaya dalam berbicara. Selain itu gramatikanya
miskin (sedikit) dan menyisipkan atau mengimbuh huruf atau bunyi yang salah, serta
terdapat perseverasi. Pasien sadar akan kekurangan atau kelemahannya. Pemahaman
terhadap bahasa lisan dan tulisan kurang terganggu dibandingkan dengan kemampuan
mengemukakan isi pikiran. Menulis sering tidak mungkin atau sangat terganggu, baik
motorik menulis maupun isi tulisan.
Pada lesi di temporo-parietal pasien justru bicara terlalu banyak, cara mengucapkan
baik dan irama kalimat juga baik, namun didapat gangguan berat pada, mem-
formulasi dan menamai sehingga kalimat yang diucapkan tidak mempunyai arti.
Bahasa fisan dan tulisan tidak atau kurang difahami, dan menulis secara motorik
terpelihara, namun isi tulisan tak menentu. Pasien tidak begitu sadar akan
kekurangannya.
Afasia jenis yang disebutkan pertama disebut afasia Broca, atau afasia motorik atau
afasia ekspresif. Afasia jenis ke dua disebut jenis Wernicke atau sensorik atau
reseptif.
Kadang dijumpai pasien dengan gangguan yang berat pada semua modalitas bahasa.
Pasien sama sekali tidak bicara atau hanya bicara sepatah kata atau frasa,
yang
selalu
diulang-ulang,
dengan
artikulasi
Prognosa hidup untuk pendertia afasia tergantung pada penyebab afasia. Suatu
tumor otak dapat dihubungkan dengan angka harapan hidup yang kecil, sedangkan
afasia dengan stroke minor mungkin memiliki prognosis yang sangat baik. Prognosis
hidup ditentukan oleh penyebab afasia tersebut.
Prognosis kesembuhan kemampuan berbahasa bervariasi, tergantung pada
ukuran lesi dan umur serta keadaan umum pasien. Secara umum, pasien dengan tanda
klinis yang lebih ringan memiliki kemungkinan sembuh yang lebih baik. Afasia
Broca secara fungsional memiliki prognosis yang lebih baik daripada afasia
Wernicke. Terakhir, afasia akibat penyakit yang tidak dapat atau sulit disembuhkan,
misalnya tumor otak, memiliki tingkat prognosis yang buruk
KLASIFIKASI
KELANCARAN
PEMAHAMAN
BAIK
PENGULANGAN
BAIK
BURUK
LANCAR
BAIK
ANONIK
KONDUKSI
TRANSKORTIKAL
SENSORIK
BURUK
BAIK
JENIS
BURUK
WERNICKE
BAIK
TRANSKORTIKAL
MOTORIK
BURUK
TAK LANCAR
BAIK
BURUK
BROCA
TRANSKORTIKAL
CAMP
BURUK
GLOBAL
AFASIA
Oleh :
Wendri Dewi Fitrianingrum
14710047
Pembimbing
dr.Supraptiningsih, Sp.S
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2016
A F A S I A AFASIA 1
PATOFISIOLOGI
Afasia terjadi akibat kerusakan pada area pengaturan bahasa di otak. Pada
manusia, fungsi pengaturan bahasa mengalami lateralisasi ke hemisfer kiri otak
pada 96-99% orang yang dominan tangan kanan (kinan) dan 60% orang yang
dominan tangan kiri (kidal). Pada pasien yang menderita afasia, sebagian besar
lesi terletak pada hemisfer kiri.(2,3,6,7,8)
Afasia paling sering muncul akibat stroke, cedera kepala, tumor otak, atau
penyakit degeneratif. Kerusakan ini terletak pada bagian otak yang mengatur
kemampuan berbahasa, yaitu area Broca dan area Wernicke.(2,3)
Area Broca atau area 44 dan 45 Broadmann, bertanggung jawab atas pelaksanaan
motorik berbicara. Lesi pada area ini akan mengakibatkan kersulitan dalam
artikulasi tetapi penderita bisa memahami bahasa dan tulisan.(6,7,8,9)
Area Wernicke atau area 41 dan 42 Broadmann, merupakan area sensorik
penerima untuk impuls pendengaran. Lesi pada area ini akan mengakibatkan
penurunan hebat kemampuan memahami serta mengerti suatu bahasa.(6,7,8,9)
Secara umum afasia muncul akibat lesi pada kedua area pengaturan bahasa di atas.
Selain itu lesi pada area disekitarnya juga dapat menyebabkan afasia transkortikal.
Afasia juga dapat muncul akibat lesi pada fasikulus arkuatus, yaitu penghubung
antara area Broca dan area Wernicke.(6)
KLASIFIKASI
Dasar untuk mengklasifikasi afasia beragam, diantaranya ada yang mendasarkan
kepada:
Manifestasi klinik
Distribusi anatomi dari lesi yang bertanggung jawab bagi defek
Gabungan pendekatan manifestasi klinik dengan lesi anatomik
AFASIA 3
Gambar 1. Area pengaturan bahasa pada otak. Lesi pada area ini akan
menyebabkan afasia
Berdasarkan manifestasi klinik, afasia dapat dibedakan atas: (1,2,3,4,5,6)
Afasia tidak lancar atau non-fluent
Afasia lancar atau fluent
Berdasarkan lesi anatomik, afasia dapat dibedakan berdasarkan: (1,2,3,4,5,6,7,8,9)
Sindrom afasia peri-silvian
Afasia Broca (motorik, ekspresif)
Afasia Wernicke (sensorik, reseptif)
Afasia konduksi
Sindrom afasia daerah perbatasan (borderzone)
Afasia transkortikal motorik
Afasia transkortikal sensorik
Afasia transkortikal campuran
AFASIA 4
AFASIA 5
Afasia lancar. Pada afasia ini penderita bicara lancar, artikulasi dan irama
baik, tetapi isi bicara tidak bermakna dan tidak dapat dimengerti artinya. Penderita
tidak dapat mengerti bahasa sehingga tidak dapat berbicara kembali. Gambaran
klinisnya ialah:
Keluaran bicara yang lancar
Panjang kalimat normal
Artikulasi dan irama bicara baik
Terdapat parafasia
Kemampuan memahami pendengaran dan membaca buruk
Repetisis terganggu
Menulis lancar tadi tidak ada arti
Seorang afasia yang non-fluen mungkin akan mengatakan dengan tidak lancar dan
tertegun-tegun: mana rokok beli.
Sedangkan seorang afasia fluen mungkin akan mengatakan dengan lancar: rokok
beli tembakau kemana situ tadi gimana dia toko jalan
Afasia Broca (motorik, ekspresif). Disebabkan lesi di area Broca.
Pemahaman auditif dan membaca tidak terganggu, tetapi sulit mengungkapkan isi
pikiran. Gambaran klinis afasia Broca ialah bergaya afasia non-fluent.
Afasia Wernicke (sensorik, reseptif). Disebabkan lesi di area Wernicke. Pada
kelainan ini pemahaman bahasa terganggu. Penderita tidak mampu memahami
bahasa lisan dan tulisan sehingga ia juga tidak mampu menjawab dan tidak
mengerti apa yang dia sendiri katakan. Gambaran klinis afasia Wernicke ialah
bergaya afasia fluent.
Afasia Konduksi. Disebabkan lesi di area fasciculus arcuatus yaitu
penghubung antara area sensorik (wernicke) dan area motorik (broca). Lesi ini
menyebabkan kemampuan berbahasa dan pemahaman yang baik tetapi didapati
adanya gangguan repetisi atau pengulangan.
AFASIA 6
baaah, baaah atau maaa, maaa, maaa. Pemahaman bahasa hilang atau
berkurang. Repetisi, membaca dan menulis
AFASIA 7
juga terganggu berat. Afasia global hampir selalu disertai dengan hemiparese atau
hemiplegia.
Pemeriksaan tambahan
Pemeriksaan laboratorium, hanya diperlukan tergantung dari penyebab kerusakan
otaknya. Diagnosis afasia terutama berasal dari pemeriksaan klinik dan kejiwaan
karena afasia merupakan tanda klinis.(2)
Pemeriksaan radiologi, biasanya dilakukan dalam hal untuk melokalisasi lesi dan
mendiagnosa penyebab kerusakan otak. CT (Computed Tomography) Scan efektif
untuk mengetahui adanya perdarahan otak atau stroke iskemik yang sudah lebih
dari 48 jam. MRI (Magnetic Resonance Imaging) mampu mendeteksi stroke
sesegera mungkin sampai 1 jam setelah onset. Penggunaan kontras mungkin perlu
untuk mendeteksi tumor.(2)
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan afasia terlebih dahulu didasarkan pada penyebabnya, misalnya
stroke, perdarahan akut, tumor otak, dan sebagainya.(2,3)
Tidak ada penanganan atau terapi untuk afasia yang benar-benar efektif dan
terbukti mengobati. Saat ini, penanganan yang paling efektif untuk mengobati
afasia adalah dengan melakukan terapi wicara/bina wicara. (1,2,3,10,11)
Prinsip umum dari terapi wicara adalah:
Terlepas dari jenis terapi afasia yang digunakan, hasilnya akan lebih baik jika
intensitas terapi ditingkatkan. Dengan kata lain, hasil terapi akan lebih baik jika
pasien melakukan beberapa sesi terapi selama beberapa hari dibandingkan dengan
melakukan banyak sesi terapi dalam sehari dengan jumlah hari yang lebih banyak
pula.
Efektivitas terapi afasia akan meningkat jika terapis menggunakan berbagai
bentuk stimulus sensori. Sebagai contoh, stimulus audio dalam bentuk musik, dan
stimulus visual dalam bentuk gambar-gambar, serta lukisan. Jenis
AFASIA 8
stimulus ini sebaiknya digunakan secara rutin selama mengikuti sesi terapi afasia.
emosional
bahasa.
Sebagai
contoh,
beberapa
latihan
akan
kemampuan
komprehensif
sementara
tetap
fokus
pada
sebagai alatnya. Dalam terapi ini, pasien akan terlibat percakapan dengan terapis.
Untuk menstimulus komunikasi yang spontan, jenis terapi ini akan menggunakan
lukisan-lukisan, gambar, serta benda-benda visual. Benda-benda ini akan
digunakan oleh pasien sebagai sumber ide untuk dikomunikasikan dalam
percakapan. Pasien dan terapi secara bergiliran akan menyampaikan ide-ide
mereka.
Transcranial Magnetic Stimulation (TMS). Terapi ini dilakukan dengan
mendekatkan magnet langsung ke area otak yang diduga menghambat pemulihan
kemampuan berbahasa setelah stroke. Dengan menekan fungsi dari bagian otak
tersebut, maka pemulihan diharapakan akan semakin cepat. Beberapa studi telah
menunjukkan hasil yang menggembirakan. Tetapi, masih diperlukan studi yang
lebih besar untuk membuktikan efektivitas terapi ini.
PROGNOSA
Prognosa hidup untuk pendertia afasia tergantung pada penyebab afasia. Suatu
tumor otak dapat dihubungkan dengan angka harapan hidup yang kecil,
sedangkan afasia dengan stroke minor mungkin memiliki prognosis yang sangat
baik. Prognosis hidup ditentukan oleh penyebab afasia tersebut.(2)
Prognosis kesembuhan kemampuan berbahasa bervariasi, tergantung pada ukuran
lesi dan umur serta keadaan umum pasien. Secara umum, pasien dengan tanda
klinis yang lebih ringan memiliki kemungkinan sembuh yang lebih baik. Afasia
Broca secara fungsional memiliki prognosis yang lebih baik daripada afasia
Wernicke. Terakhir, afasia akibat penyakit yang tidak dapat atau sulit
disembuhkan, misalnya tumor otak, memiliki tingkat prognosis yang buruk.(2)
AFASIA 10
DAFTAR PUSTAKA
Speech
and
Language
Health
Info.
2010.
Available
at:
http://www.nidcd.nih.gov/health/voice/aphasia.html
6. Lumbantobing SM, 2008. Neurologi Klinis, Pemeriksaan Fisik dan Mental. Bab
XI: Berbahasa. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
7. Guyton AC, Hall JE. Bab 57: Korteks Serebri; Fungsi Intelektual Otak; dan Proses
Belajar dan Mengingat. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta. 1997.
8. Price SA, Wilson LM. Bagian IX: Penyakit Neurologi, Pemeriksaan Neurologis,
Evaluasi Penderita Neurologis. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Penyakit Edisi
4. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 1995.
9. Suwono WJ. Afasia Sensorik atau Wernicke. Diagnosis Topik Neurologi:
Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala Edisi II. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta. 1995.
10. Media Indonesia. Terapi Afasia Perbaiki Gangguan Bahasa. 2010 Available at:
http://www.mediaindonesia.com/mediahidupsehat/index.php/read/2009/04/28/110
9/13/Terapi Afasia-Perbaiki-Gangguan-Bahasa
11. About.com:
Aphasia
Treatment.
2010
http://stroke.about.com/od/caregiverresources/a/Aphasiarx.htm
Available
at: