Anda di halaman 1dari 7

PEMBENTUKAN MINERAL

Mineral tanah adalah mineral yang terkandung di dalam tanah dan


merupakan salah satu bahan utama penyusun tanah. Mineral dalam tanah
berasal dari pelapukan fisik dan kimia dari batuan yang merupakan bahan
induk tanah, rekristalisasi dari senyawa-senyawa hasil pelapukan lainnya
atau pelapukan (alterasi) dari mineral primer dan sekunder yang ada.
Mineral mempunyai peran yang sangat penting dalam suatu tanah,
antara lain sebagai indikator cadangan sumber hara dalam tanah dan
indikator muatan tanah beserta lingkungan pembentukannya. Jenis mineral
tanah secara garis besar dapat dibedakan atas mineral primer dan mineral
sekunder.
MINERAL PRIMER
Mineral primer adalah mineral tanah yang umumnya mempunyai ukuran
butir fraksi pasir (2 0,05 mm). Contoh dari mineral primer yang banyak
terdapat di Indonesia beserta sumbernya disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Beberapa jenis mineral primer


Analisis jenis dan jumlah mineral primer dilakukan di laboratorium mineral
dengan bantuan alat mikroskop polarisasi. Pekerjaan analisis mineral primer
dilaksanakan dalam dua tahapan, yaitu pemisahan fraksi pasir dan
identifikasi jenis mineral.
Pemisahan fraksi pasir
Prinsip dasar pemisahan fraksi pasir adalah menghilangkan material
penyemen yang menyelimuti atau menyemen butir-butir pasir dan
memisahkan butir mineral berukuran fraksi pasir dari fraksi debu dan liat.
Material yang menyeliputi butir pasir dalam tanah umumnya berupa bahan
organik. Namun pada beberapa jenis tanah, material penyeliput tersebut
selain oleh bahan organik, juga oleh besi (pada tanah merah) dan oleh

karbonat (pada tanah kapur). Bahan organik dihilangkan dengan hidrogen


peroksida (H2O2) besi dengan sodium dithionit (Na2S2O4) dan karbonat
dengan Chlorida (HCl).
Setelah butir mineral terlepas dilakukan pemisahan fraksi pasir
dengan menggunakan ayakan yang berukuran 1-0,05 mm. Jenis analisis
mineral primer yang biasa dilaksanakan adalah fraksi berat, fraksi ringan,
dan fraksi total. Untuk analisis mineral pasir fraksi berat, terlebih dahulu
harus dipisahkan antara pasir fraksi berat dengan fraksi ringan. Yang
tergolong dalam mineral pasir fraksi berat adalah mineral pasir yang
tenggelam dalam larutan bromoform dengan BJ 2,87. Untuk analisis mineral
pasir fraksi total, hasil pengayakan bisa langsung diperiksa.
Indentifikasi mineral pasir
Untuk keperluan identifikasi jenis mineral pasir, diperlukan lempeng
kaca berukuran 2,5 cm x 5 cm, cairan nitro bensol, dan mikroskop
polarisasi. Butir pasir ditebarkan di atas lempeng kaca hingga merata
kemudian ditetesi nitro bensol dan diaduk sampai tidak ada pasir yang
mengambang. Lempeng kaca di taruh di mikroskop dan mulai diamati
(Gambar 1).

Gambar 1. Kenampakan mineral pasir dilihat


dengan mikroskop polarisasi Pengamatan dilakukan mengikuti metode
line counting artinya hanya mineral pasir yang terletak pada garis
horizontal pada bidang pandang mikroskop yang dihitung. Untuk analisis
rutin penghitungan dilakukan hingga 100 butir, tapi untuk keperluan
penelitian yang lebih detail, penghitungan dapat dilakukan hingga 300 butir.
MINERAL SEKUNDER
Yang dimaksud dengan mineral sekunder atau mineral liat adalah
mineral-mineral hasil pembentukan baru atau hasil pelapukan mineral
primer yang terjadi selama proses pembentukan tanah yang komposisi
maupun strukturnya sudah berbeda dengan mineral yang terlapuk. Jenis
mineral ini berukuran halus (<2), sehingga untuk identifikasinya
digunakan alat XRD.

Contoh dari mineral sekunder yang banyak terdapat di Indonesia


disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Beberapa jenis mineral sekunder


Analisis mineral liat terdiri atas pemisahan fraksi liat dan identifikasi
mineral liat.
Pemisahan fraksi liat
Prinsip dasar pemisahan fraksi liat adalah menghilangkan bahan
penyeliput dan penyemen, serta memisahkan fraksi liat dari fraksi debu dan
pasir. Dalam proses pemisahan fraksi ini dapat digunakan contoh yang sama
dengan contoh yang digunakan untuk analisis fraksi pasir, sehingga proses
destruksi bahan organik, besi, dan karbonat bisa dilakukan sekaligus.
Pemisahan fraksi liat dilakukan dengan cara yang sama seperti
pemisahan fraksi untuk tekstur yaitu dengan cara pengendapan yang
didasarkan pada hukum Stoke.
Identifikasi mineral liat
Identifikasi mineral liat dilakukan dengan bantuan alat difraktometer
sinar X (XRD). Terlebih dahulu dibuat preparatnya dengan mengendapkan
fraksi liat pada lempeng kramik, setelah siap, preparat tersebut dijenuhkan
dengan Mg2+, Mg2+ + glycerol, K+ dan K+ dipanaskan pada suhu 550oC
selama 1 jam (Gambar 2).

Gambar 2. Preparat mineral liat untuk analisis


Prinsip analisis dengan XRD adalah merekam dan memvisualisasikan
pantulan sinar X dari kisikisi kristal dalam bentuk grafik. Grafik tersebut
kemudian dianalisis, terdiri atas mineral liat apa saja dan relatif
komposisinya.Analisis mineral liat juga dapat dilakukan dengan contoh
berupa serbuk halus (powder). Analisis ini biasanya dilakukan untuk
menganalisis pupuk, mineral standar, atau mineral primer yang sulit
diidentifikasi dengan mikroskop.
KLASIFIKASI ENDAPAN MINERAL
Dalam kuliah Endapan Mineral untuk mahasiswa tingkat akhir
Jurusan Teknik Geologi biasanya diperkenalkan klasifikasi endapan mineral
menurut Lindgren (1933), yang terdiri atas epitermal, mesotermal, dan
hipotermal. Pembagian ini didasarkan atas kontras suhu dan kedalaman
pembentukan endapan ini. Namun, pada perkembangan selanjutnya dua dari
tiga istilah tersebut sangat jarang digunakan, bahkan istilah hipotermal yang
dulu diperuntukkan pada endapan yang terbentuk pada lingkungan yang
dalam (3-15 km) dengan suhu ~300-600oC tidak pernah lagi digunakan.
Orang lebih mudah memahami istilah sistem porfiri dibandingkan
hipotermal. Hal ini didasarkan atas karakteristik tekstur dan proses
pembentukannya.
Bagimana dengan istilah mesotermal? Apakah begitu suhu
pembentukan mineral mencapai/melebihi 300oC suatu endapan bisa
dikelompokkan ke dalam mesotermal, seperti pada presentasi di IAGI
November 2007 yang lalu? Menurut Lindgren (1933), endapan mesotermal
terbentuk pada kedalaman sedang (1,2-4,5 km) dengan kisaran suhu 200300oC. Namun, pada perkembangan modern, istilah mesotermal lebih
difokuskan pada mineralisasi yang berhubungan dengan proses orogenesa
(orogenic gold), seperti zear zone, metamorphic lode, orogenic, atau
greenstone belt. Jadi, endapan mesotermal difokuskan pada endapan logam
(emas) yang berasosiasi dengan proses pembentukan batuan metamorfik.
Jadi kalau dilihat dari suhu pembentukannya, memang endapan
mesotermal pasti di antara 200-300oC bahkan lebih dari 300oC. Meskipun

demikian, mineralisasi yang masih berhubungan dengan sistem porfiri,


mendekati 300-an deg masih dianggap sebagai endapan epitermal, jadi
bukan termasuk mesotermal. Sebenarnya, faktor suhu ini akan berhubungan
dengan logam apa yang akan terdeposisi dan ligan apa yang akan
mengantarkan logam pada tempat pengendapannya. Penelitian terhadap
suhu pembentukan saat ini tidak menjadi pusat perhatian dalam endapan
logam, tetapi lebih ditekankan kepada mekanisme pengangkutan (jenis
larutan dan ligan) dan sumber larutan pembentuk endapan itu sendiri (isotop
stabil).
Bagaimana ciri-ciri endapan mesotermal atau yang lebih dikenal
dengan istilah shear zone, lode atau orogenic? Endapan mesotermal
terbentuk oleh hasil ekstraksi logam dari batuan pembawanya, misalnya
batuan pelitik (lempung, lanau) atau basalt pada proses pembentukan
pegunungan (orogenesa). Ekstraksi logam khususnya emas dikontrol oleh
penyangga karbon dioksida (diistilahkan sebagai sekresi metamorfik). Jadi,
kalau kita mendapatkan conto urat kuarsa dan dianalisis inklusi fluidanya
akan diperoleh inklusi yang kaya akan CO2.
Proses Pembentukan
Minyak dan gas dihasilkan dari pembusukan organisma,
kebanyakannya tumbuhan laut (terutama ganggang dan tumbuhan sejenis)
dan juga binatang kecil seperti ikan, yang terkubur dalam lumpur yang
berubah menjadi bebatuan. Proses pemanasan dan tekanan di lapisan-lapisan
bumi membantu proses terjadinya minyak dan gas bumi. Cairan dan gas
yang membusuk berpindah dari lokasi awal dan terperangkap pada struktur
tertentu. Lokasi awalnya sendiri telah mengeras, setelah lumpur itu berubah
menjadi bebatuan.
Minyak dan gas berpindah dari lokasi yang lebih dalam menuju
bebatuan yang cocok. Tempat ini biasanya berupa bebatuan-pasir yang
berporos (berlubang-lubang kecil) atau juga batu kapur dan patahan yang
terbentuk dari aktifitas gunung berapi bisa berpeluang menyimpan minyak.
Yang paling penting adalah bebatuan tempat tersimpannya minyak ini,
paling tidak bagian atasnya, tertutup lapisan bebatuan kedap. Minyak dan
gas ini biasanya berada dalam tekanan dan akan keluar ke permukaan bumi,
apakah dikarenakan pergerakan alami sebagian lapisan permukaan bumi
atau dengan penetrasi pengeboran. Bila tekanan cukup tinggi, maka minyak
dan gas akan keluar ke permukaan dengan sendirinya, tetapi jika tekanan tak
cukup maka diperlukan pompa untuk mengeluarkannya.
Proses Eksplorasi: Pemetaan Lineaments, Lithologic dan Geo-botanic
Eksplorasi sumber minyak dimulai dengan pencarian karakteristik
pada permukaan bumi yang menggambarkan lokasi deposit. Pemetaan

kondisi permukaan bumi diawali dengan pemetaan umum (reconnaissance),


dan apabila ada indikasi tersimpannya mineral, dimulailah pemetaan detil.
Kedua pemetaan ini membutuhkan kerja validasi lapangan, akan tetapi kerja
pemetaan ini sering lebih mudah jika dibantu foto udara atau citra satelit.
Setelah proses pemetaan, kerja eksplorasi lebih intensif pada metodametoda geo-fisika, terutama seismik, yang dapat memetakan konstruksi
bawah permukaan bumi secara 3-dimensi untuk menemukan lokasi deposit
secara tepat. Kemudian dilakukan uji pengeboran.
Eksplorasi minyak dan gas bumi selalu bergantung pada peta
permukaan bumi dan peta jenis-jenis bebatuan serta struktur-struktur yang
memberi petunjuk akan kondisi di bawah permukaan bumi dengan yang
cocok untuk terjadinya akumulasi minyak dan gas. Remote sensing
berpotensi dalam penentuan lokasi deposit mineral ini melalui pemetaan
lineaments. Lineaments adalah penampakan garis dalam skala regional
sebagai akibat sifat geo-morfologis seperti alur air, lereng, garis
pegunungan, dan sifat menonjol lain yang menampak dalam bentuk zonazona patahan. Dengan menggunakan citra satelit gambaran keruangan alur
air misalnya dapat dilihat dalam skala luas, sehingga kemungkinan mencari
relasi keruangan untuk lokasi deposit mineral lebih besar.
Pemetaan lineament walaupun dapat dilakukan secara monoskopik
(menggunakan satu citra), tetapi akan lebih produktif jika digabungkan
dengan pemetaan lithologic atau pemetaan unit-unit bebatuan yang
dilakukan secara stereoskopik (yang dapat mendeteksi ketinggian, karena
dilakukan pada dua buah citra stereo). Kalangan ahli geologi meyakini
bahwa refleksi gelombang elektromagnetik pada kisaran 1,6 sampai 2,2
mikrometer (=10-6 meter) atau pada spektrum pertengahan infra-merah (1,3
3,0 mikrometer) sangat cocok untuk eksplorasi mineral dan pemetaan
lithologic. Keberhasilan pemetaan ini bergantung pada bentuk topografi dan
karakteristik spektral sebagaimana diamati citra satelit. Untuk kawasan yang
dipenuhi tumbuhan, mesti dilakukan pendekatan geo-botanic, yaitu
pengetahuan tentang hubungan antara jenis tetumbuhan dengan kebutuhan
nutrisi serta air pada tanah tempat tumbuhan ini tumbuh. Dengan demikian
distribusi tetumbuhan pun dapat menjadi indikator dalam mendeteksi
komposisi tanah dan material bebatuan di bawahnya.
Interpretasi citra dalam menemukan garis-garis patahan geologis
memang membutuhkan keahlian tersendiri. Jika hanya mengandalkan
lineaments, maka beberapa riset menunjukkan cukup banyak perbedaan
interpretasi. Karenannya data garis ini dikorelasikan dengan karakteristik
lain yang tertangkap sensor remote sensing, yaitu jenis bebatuan, yang
merupakan cerminan mineralisasi permukaan bumi. Studi tentang jenis
bebatuan dan respon spektral sangat membantu pencarian permukaan di
mana deposit mineral tersimpan.

DAFTAR PUSTAKA
http//www. kuliah-3-diagenesis-klastik//google
http//www. lab_mineral//google
http//www. meso-dan-hipotermal-//google
Subroto E,A, H.L Omg dan Sudrajat D,Mineralogi,2007

Anda mungkin juga menyukai