Anda di halaman 1dari 3

Why To Move (Mengapa Karyawan

Meninggalkan Perusahaan)
15 07 2009
Rate This

Mengapa karyawan meningggalkan perusahaan (atau paling tidak sering ngedumel)?


Berikut ini petikan dari bukunya Haris Priyatna yang berjudul Azim Premji, “Bill Gates”
dari India (terbitan Mizania 2007).

Azim Premji adalah milyuner muslim dari India yang telah menyulap Wipro, dari sebuah
perusahaan minyak goreng menjadi konglomerasi perusahaan dengan salah satunya
adalah Wipro Technologies yang merupakan ikon kebangkitan industri teknologi
informasi di India . Dia urutan ke-21 orang terkaya di dunia versi Forbes 2007. Azim
dikenal sebagai milyuner yang bergaya hidup sederhana.

Berikut ini pandangan Premji tentang mengapa karyawan betah dan tidak betah dengan
perusahaan. Wipro sendiri memiliki tinkat turn-over (kepindahan) karyawan yang sangat
rendah, padahal gajinya tidak lebih tinggi dibandingkan perusahaan sejenis seperti
Infosys dan TCS.

Mengapa KARYAWAN meninggalkan perusahaan?


Banyak perusahaan yang mengalami persoalan tingginya tingkat pergantian karyawan.
Betapa orang mudah keluar-masuk perusahaan itu. Orang meninggalkan perusahaan
untuk gaji yang lebih besar, karier yang lebih menjanjikan, lingkungan kerja yang lebih
nyaman, atau sekedar alasan pribadi. Tulisan ini mencoba menjelaskan persoalan ini.

Belum lama ini, Sanjay, seorang teman lama yang merupakan desainer software senior,
mendapatkan tawaran dari sebuah perusahaan internasional prestisius untuk bekerja di
cabang operasinya di India sebagai pengembang software. Dia tergetar oleh tawaran itu.
Sanjay telah mendengar banyak tentang CEO perusahaan ini, pria karismatik yang sering
dikutip di berita-berita bisnis karena sikap visionernya. Gajinya hebat. Perusahaan itu
memiliki kebijakan SDM ramah karyawan yang bagus, kantor yang masih baru, dan
teknologi mutakhir, bahkan sebuah kantin yang menyediakan makanan lezat.

Sanjay segera menerima tawaran itu. Dua kali dia dikirim ke luar negeri untuk pelatihan.
“Saya sekarang menguasai pengetahuan yang paling baru”, katanya tak lama setelah
bergabung. Ini betul-betul pekerjaan yang hebat dengan teknologi mutakhir. Ternyata,
kurang dari delapan bulan setelah dia bergabung, Sanjay keluar dari pekerjaan itu. Dia
tidak punya tawaran lain di tangannya, tetapi dia mengatakan tidak bisa bekerja di sana
lagi. Beberapa orang lain di departemennya pun berhenti baru-baru ini.

Sang CEO pusing terhadap tingginya tingkat pergantian karyawan. Dia pusing akan uang
yang dia habiskan dalam melatih mereka. Dia bingung karena tidak tahu apa yang terjadi.
Mengapa karyawan berbakat ini pergi walaupun gajinya besar ? Sanjay berhenti untuk
satu alasan yang sama yang mendorong banyak orang berbakat pergi. Jawabannya
terletak pada salah satu penelitian terbesar yang dilakukan oleh Gallup Organization.
Penelitian ini menyurvei lebih dari satu juta karyawan dan delapan puluh ribu manajer,
lalu dipublikasikan dalam sebuah buku berjudul First Break All the Rules.

Penemuannya adalah sebagai berikut :

Jika orang-orang yang bagus meninggalkan perusahaan, lihatlah


atasan langsung/tertinggi di departemen mereka. Lebih dari alasan apapun, dia adalah
alasan orang bertahan dan berkembang dalam organisasi. Dan dia adalah alasan mengapa
mereka berhenti, membawa pengetahuan, pengalaman, dan relasi bersama mereka.
Biasanya langsung ke pesaing. Orang meninggalkan manajer/direktur anda, bukan
perusahaan, tulis Marcus Buckingham dan Curt Hoffman penulis buku First Break All
the Rules.

Begitu banyak uang yang telah dibuang untuk menjawab tantangan mempertahankan
orang yang bagus – dalam bentuk gaji yang lebih besar, fasilitas dan pelatihan yang lebih
baik. Namun, pada akhirnya, penyebab kebanyakan orang keluar adalah manajer. Kalau
Anda punya masalah pergantian karyawan yang tinggi, lihatlah para manajer/direktur
Anda terlebih dahulu. Apakah mereka membuat orang-orang pergi? Dari satu sisi,
kebutuhan utama seorang karyawan tidak terlalu terkait dengan uang, dan lebih terkait
dengan bagaimana dia diperlakukan dan dihargai. Kebanyakan hal ini bergantung
langsung dengan manajer di atasnya.

Uniknya, bos yang buruk tampaknya selalu dialami oleh orang-orang yang bagus. Sebuah
survei majalah Fortune beberapa tahun lalu menemukan bahwa hampir 75 persen
karyawan telah menderita di tangan para atasan yang sulit.
Dari semua penyebab stres di tempat kerja, bos yang buruk kemungkinan yang paling
parah. Hal ini langsung berdampak pada kesehatan emosional dan produktivitas
karyawan. Pakar SDM menyatakan bahwa dari semua bentuk tekanan, karyawan
menganggap penghinaan di depan umum adalah hal yang paling tidak bisa diterima. Pada
kesempatan pertama, seorang karyawan mungkin tidak pergi, tetapi pikiran untuk
melakukannya telah tertanam. Pada saat yang kedua, pikiran itu diperkuat. Saat yang
ketiga kalinya, dia mulai mencari pekerjaan yang lain. Ketika orang tidak bisa membalas
kemarahan secara terbuka, mereka melakukannya dengan serangan pasif, seperti: dengan
membandel dan memperlambat kerja, dengan melakukan apa yang diperintahkan saja dan
tidak memberi lebih, juga dengan tidak menyampaikan informasi yang krusial kepada
sang bos.

Seorang pakar manajemen mengatakan, jika Anda bekerja untuk atasan yang tidak
menyenangkan, Anda biasanya ingin membuat dia mendapat masalah. Anda tidak
mencurahkan hati dan jiwa di pekerjaan itu. Para manajer bisa membuat karyawan stres
dengan cara yang berbeda-beda: dengan terlalu mengontrol, terlalu curiga, terlalu
mencampuri, sok tahu, juga terlalu mengecam. Mereka lupa bahwa para pekerja bukanlah
aset tetap, mereka adalah agen bebas. Jika hal ini berlangsung terlalu lama, seorang
karyawan akan berhenti – biasanya karena masalah yang tampak remeh. Bukan pukulan
ke-100 yang merobohkan seorang yang baik, melainkan 99 pukulan sebelumnya. Dan
meskipun benar bahwa orang meninggalkan pekerjaan karena berbagai alasan, untuk
kesempatan yang lebih baik atau alasan khusus, mereka yang keluar itu sebetulnya bisa
saja bertahan, kalau bukan karena satu orang yang mengatakan kepada mereka, seperti
yang dilakukan bos Sanjay: Kamu tidak penting. Saya bisa mencari puluhan orang
seperti kamu.

Meskipun tampaknya mudah mencari karyawan, pertimbangkanlah untuk sesaat biaya


kehilangan seorang karyawan yang berbakat. Ada biaya untuk mencari penggantinya.
Biaya melatih penggantinya. Biaya karena tidak memiliki seseorang untuk melakukan
pekerjaan itu sementara waktu. Kehilangan klien dan relasi yang telah dibina oleh orang
tersebut. Kehilangan moril sejawat kerjanya. Kehilangan rahasia perusahaan yang
mungkin sekarang dibocorkan oleh orang tersebut kepada perusahaan lain. Plus, tentu
saja, kehilangan reputasi perusahaan. Setiap orang yang meninggalkan sebuah korporasi
akan menjadi dutanya, entah tentang kebaikan atau keburukan.

Demikian pesan Azim Premji. Bagaimana pendapat Anda (sebagai bawahan maupun
atasan) ?

Anda mungkin juga menyukai