Membaca Dan Permasalahannya
Membaca Dan Permasalahannya
Disusun oleh:
Kurnia Indrayanti
NIM 15706251019
Meidiana Insania A.
NIM 15706251045
A. Pertanyaan Kajian
1. Apakah pengertian membaca itu?
2. Apa saja jenis-jenis membaca?
3. Apa saja tingkatan membaca?
4. Apa saja model pembelajaran membaca?
5. Bagaimana proses pembelajaran membaca bagi anak-anak pra-sekolah?
6. Apa manfaat dari membaca dini bagi atau pra-sekolah?
7. Apa saja permasalahan dalam membaca?
8. Bagaimana cara menangani permasalahan membaca?
9. Apa pengertian pembaca terampil dan pembaca kurang terampil?
B. Outline Kajian
1. Pengertian Membaca
2. Jenis-jenis Membaca
3. Level membaca
4. Pembelajaran membaca menggunakan pendekatan whole-word
5. Pembelajaran membaca bagi anak pra-sekolah
6. Tahapan program membaca secara umum untuk anak pra-sekolah
7. Manfaat membaca dini bagi anak usia pra sekolah
8. Permasalahan dalam membaca
9. Cara menangani permasalahan membaca
10. Pembaca terampil dan pembaca kurang terampil
BAB I
PENDAHULUAN
Sejak bayi dilahirkan, mereka telah diajarkan berbagai kata baik verbal maupun nonverbal. Pada awalnya mereka mendengar kata-kata tersebut, lalu belajar mengolah kata
menjadi sebuah kalimat. Setelah usia pra-sekolah, di usia inilah mereka memulai belajar
membaca dan menuliskan kata-kata yang telah dipelajarinya.Pada masa anak-anak
merupakan usia dimana mampu menangkap memori yang lebih banyak dibandingkan
dengan usia lanjut. Oleh sebab itu membutuhkan pengajaran yang baik agar mampu
mencapai tujuan pembelajaran dengan baik sejak dini.
Membaca merupakan sebuah proses yang mengubah bentuk tertuliske dalam bentuk
pengucapan bertujuan untuk mencari maknanya (Ehri dkk.via Steinberg, 2006: 68-69).
Membaca berutujuan untuk memecahkan makna yang terkandung dalam bacaan tersebut.
Dalam pembelajaran membaca, harus mengetahui tahap-tahap yang benar dalam
membaca agar tidak mengalamikesalahan dalam membaca.
Dalam bahasan ini, kita akan membahas tentang pengertian membaca, jenis-jenis
membaca, tingkatan-tingkatan dalam membaca, model pembelajaran membaca,
permasalahan membaca, tingkatan-tingkatan dalam membaca, dan lain-lain.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Membaca
1. Pengertian Membaca
Membaca adalahsebuah prosesyang mengubah bentuk tertulis ke dalam bentuk
pengucapan yang bertujuan untuk mencari maknanya (Ehri dkk. via Steinberg, 2006: 6869).Steinberg dan Sciarini juga menambahkan, belajar membaca membutuhkan
kemampuan visual untuk mengidentifikasi kata-kata yang tertulis dengan makna bahasa
lisan yang bertujuan untuk mengubah tulisan menjadi bunyi yang bermakna.Adapun
pendapat lain dari Steinberg dan Nagata (2001: 97), bahwa membaca adalah sebuah
bentuk komunikasi yang bertujuan menerima informasi melalui bentuk-bentuk tertulis.
2. Jenis-jenis Membaca
Menurut Field (2003: 29), jenis-jenis membaca terdiri dari dua jenis, yaitu membaca
nyaring dan membaca dalam hati. Membaca dalam hati merupakan proses membaca suatu
teks dalam hati atau tidak bersuara.AdapunField (2003: 9) menambahkan, membaca
nyaring merupakan kebalikan dari membaca dalam hati, yaitu membaca dengan bersuara.
Membaca dalam hati membutuhkan konsentrasi yang lebih tinggi untuk memahami
makna dari bacaan tersebut. Manfaat dari membaca dalam hati yaitu agar pembaca lebih
fokus membaca bacaan teks yang sulit untuk dipahami. Sebaliknya, membaca nyaring
bertujuan untuk menyalurkan informasi dalam tulisan yang dibacanya kedalam bentuk
ucapan. Field (2003:29) mengidentifikasi kelebihan dari membaca nyaring:
1) Informasi yang diperoleh secara lisan biasanya lebih tahan lama untuk diingat dari pada
kita memperolehnya secara visual.
2) Jika kita menyimpan kata dalam bentuk lisan, maka ucapan tersebut tidak mengganggu
proses visual dalam memproses (decoding) kata-kata pada sebuah halaman.
Waktu yang dibutuhkan untuk membaca nyaring yaiturata-rata sekitar 300 kata per
menit. Sebaliknya, Field menambahkan, membaca nyaring akanmemakan waktu lebih lama
daripada membaca dalam hati, yaitu dengan rata-rata sekitar 150-200 kata per menit(Field,
2003:29).
3. Level Membaca
Ada beberapa tingkatan membaca yang dikemukakan oleh Alvermann (2013:694):
a. Bottom-up (gelombang 1)
One second of reading adalah sebuah model yang menggambarkan sebuah proses
yang dimulai dari representasi sensor yang rendah (letter input) dan dilanjutkan melalu
fonemik dan representasi lexical level untuk menuju representasi struktur yang lebih
dalam. Proses informasinya adalah murni bottom-up dengan tidak ada lagi proses yang
lebih tinggi, seperti informasi pada lon-term memory, yang berakibat pada representasi
tingkat rendah.
b. Top-Down (gelombang 2)
Gelombang kedua dari model Top-Down berfokus pada apa yang diingat pembaca
setelah membaca sebuah text, dan penemuan dari memori teks yang sistematik.
Pertanyaan yang memandu pembaca untuk berpikir seperti itu adalah apa yang
pembaca ingat tentang teks yang mereka baca, dan apa yang ingatan itu sampaikan
tentang asal dari representasi memori dari hasil yang telah dibaca? Teori ini yang
berfokus pada top-down memori mempengaruhi, terutama, struktur teks. Struktur cerita,
naskah teori (script theory), dan teori hierarki (hierarcial theories) yang berdasar pada
struktur teks muncul sebagai jawaban atas pertanyaan panduan yang telah dibuat.
c. Top-Down (gelombang 3)
Hampir sama dengan gelombang yang kedua, pada gelombang ketika ini berfokus
pada pandangan yang lebih luas yang dibawa pembaca pada sebuah teks. Pada tahap
ini hanya berfokus pada hubungan antara latar belakang pengetahuan (background
knowledge) yang mana pembaca bawa ke dalam teks dan pemahaman
pembaca.Provocative (pertanyaan yang bersifat propokatip), yang menjadi gelombang
ketiga, adalah pengaruh apa yang dilakukan oleh pengetahuan latar belakang
(background knowledge) pada arti yang terstruktur saat membaca? teori schema muncul
untuk menjawabnya.
d. Bottom-up / Top-Down (gelombang 4)
Model gelombang keempat adalah model yang berfokus pada interaksi bottom up
dan top down yang membentuk pemahaman. Pertanyannya, apa yang pembaca lakukan
ketika membaca melalui teks (move through a text)?. Gelombang keempat cukup
menarik perhatian tentang usaha pembaca untuk membuat gagasan representative
tentang teks yang koheren dengan tidak melupakan panduan (referential) teks dan
penyebab (causal) struktur pada teks.
e. Bottom-Up / Top-Down + Konteks sosial budaya (gelombang 5)
Gelombang kelima dari model pembentukan (building) menempatkan pembaca pada
teks dalam konteks sosial atau kultural. Konteks tersebut dapat membentuk dan
menegaskan, atau mempengaruhi respon dari teks tersebut. Model sosio kognitif dari
membaca (reading) yang mana maksud (meaning) nya terstruktur/terbentuk (constructed)
selama proses membaca bottom up/top down dalam konteks sosio kultural. Pembaca
menginterpretasikan dan memikirkan maksudnya, tidak hanya dari pandangan linguistik
berbasis pada tells tapi juga tugas (tasks), sumber dari penulis, dan faktor sosiokultural.
metode induksi bahwa anak-anak berlaku dalam segmentasi kata berbicara dalam fonem
dan suku kata dalam pembelajaran bahasa asli mereka(Steinberg dan Sciarini, 2006: 78).
c) Membaca harus melibatkan makna kata, frasa, dan kalimat
Hal yang perlu diajarkan kepada anak-anak yaitu bentuk tertulis dari suatu kata, frasa,
atau kalimat yang anak-anak telah diketahui maksud atau arti dari ucapan tersebut.Anak
akanlebih sulit belajar dan mengingat jika tidak diajarkan menggunakan konteks sehari-hari.
Sebaliknya, anak-anak akan lebih mudah belajar dan mengingat tentang kata, frasa, dan
kalimat jika menggunakan objek, pengalaman, tindakan, situasi, atau kejadian di lingkungan
sekitar anak, misalnya mobil, televisi, panas, minum jus, pergi ke toko, dll.(Steinberg dan
Sciarini, 2006: 78-79).
d) Membaca tidak harus bergantung pada pengajaran bahasa baru atau konsep baru
Dalam proses awal belajar membaca untuk anak-anak pra-sekolah,akan lebih baik
untuk mengajarkan anak membaca kata-kata dan struktur kata yang telah anak ketahui
dibandingkan menghabiskan waktu untuk mengajar kosakata baru dan aspek lain dari
bahasa. Anak diberikan bacaan atau tulisan yang tidak asing bagi anak tanpa harus
membebaninya dengan konsep baru (Steinberg dan Sciarini, 2006: 79).
e) Membaca tanpa memahami konteks
Ada banyak cara lain dalam pembelajaran membaca, salah satunya yaitu membaca
tanpa harus memahami konteks untuk mengenali kata-kata. Menurut Thompson (1993:
105), ada beberapa model pembelajaran tanpa menggunakan konteks, yaitu:
Model Goodman
Dalam penggunaan model ini, pembaca yang baik akan menebak, atau
memprediksi, makna teks, dan terkadang akan menimbulkan kesalahan, namun hal ini
diharapkan untuk tidak menimbulkan masalah dalam pemahaman. Oleh sebab itu,
pembaca yang baik akan memahami makna dari teks tersebut daripada
mengidentifikasi kata yang tepat (Thompson, 1993: 105).
Model Gough
Menurut Gough (via Thompson, 1993: 105), tugas anak adalah belajar untuk
memecahkan kode, yaitu untuk mengkonversi karakter grafis menjadi fonem, sehingga
bentuk tertulis bisa digambarkan ke dalam bentuk lisan. Jika anak melakukan proses
membaca dengan benar, anak tersebut akan memahami teks tersebut dan akan
memecahkan kode dari bacaan tersebut.
Kekuatan model Gough menurut Thompson (1993: 106) juga disebut sebagai
model bottom-up, yaitu menunjukkan bagaimana pembaca yang baik dengan
memproses kata yang tertulis tanpa menggunakan konteks. Hal ini menunjukkan
kesepadanan ejaan suara dan mengapa anak-anak sulit untuk mengakuisisi
(acquisition).
Model Stanovich
Model Stanovich hampir sama dengan model Gough, yaitu memecahkan kode
(decoding). Stanovich (via Thompson 1993: 110) berpendapat bahwa ketika proses
bottom-up gagal, pembaca akan menggunakan proses top-down sebagai
gantinya.Kesalahan kontekstual terjadi ketika anak-anak tidak dapat menggunakan
keterampilan decoding mereka, dan harus menggunakan konteks dalam bacaan.
Dalam model Stanovich, Thompson (1993: 110) berpendapat bahwa masalahyang
dihadapi oleh pembaca buruk adalah ketidakmampuan untuk memecahkan kode
daripada ketidakmampuan untuk menggunakan konteks.
6
Rea d s
s lo w ly
D o e s n 't
u n d e r s ta n
d
D o e s n 't
e n jo y
r e a d in g
D o e s n 't
re a d
m uch
(Source: Nuttall, 1982: 167)
Dari diagram tersebut, dapat kita ambil kesimpulan bahwa slow readers jarang tertarik
dengan apa yang dia baca, mereka tidak menikmati ketika membaca suatu teks. Oleh
karena mereka tidak menikmati (enjoy), mereka menjadi membaca teks lebih sedikit.
Kemudian, karena kurangnya latihan membaca, mereka menjadi sulit memahami isi bacaan
dan menyebabkan mereka membaca dengan lambat (Nuttall, 1982: 167).
Kata-kata yang terlalu banyak pada teks juga dapat menyebabkan seseorang
mengalami malas baca. Pada anak sebaiknya memberikan 1 sampai tiga kalimat cerita
pendek secara acak kepada si anak, kemudian biarkan dia menyusun kalimat tersebut
menjadi sebuah cerita (Steinberg dan Sciarini, 2006: 85).
Oleh karena itu, perlu adanya pembaharuan minat pembaca. Tidak hanya anak-anak
tetapi juga pembaca yang berusia lebih dewasa. Pembaharuan minat pembaca dalam
proses membaca selain yang terkait dengan membaca akuisisi samahalnya dengan tema
yang disesuaikan di umur perspektif perkembangan (Gray via Alvermann, 2013: 33).
2. Salah Baca
8
Salah satu permasalahan dalam membaca menurut psikolinguistik adalah salah baca.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi salah baca adalah:
a) Dyslexia
Sejak bayi lahir, mereka telah diajarkan berbagai kata baik verbal maupun nonverbal. Pada awalnya manusia mendengar kata-kata tersebut, lalu belajar mengolah
kata-kata tersebut menjadi sebuah kalimat, kemudian belajar membaca dan menuliskan
kata-kata yang telah dipelajarinya.
For a child, print is just another face of the world, not yet comprehended perhaps,
but not different from all the complex sights, sounds, smells, tastes, and textures in
the environmentnot especially mysterious or intimidating (Frank Smith, 1:2013).
Namun, ada sebuah penyakit yang menyerang otak yang menyebabkan anak sulit
atau bahkan tidak bisa membaca. Penyakit tersebut dikenal dengan nama dyslexia. Hal
tersebut dapat terjadi karena adanya penyebab neurologis dan genetik atau faktor
keturunan (Field, 2004: 100). Apabila ayah atau ibu dari anak tersebut menderita
dyslexia, maka ada kemungkinan besar sang anak juga akan menderita dyslexia.
Seseorang yang menderita dyslexia biasanya lamban dalam mempelajari alfabet
dan bunyinya. Misalnya sulit membedakan antara huruf d dan b. Karena kesulitan
dalam membedakan alfabet, akhirnya mereka menjadi sering salah dan pelan saat
membaca sebuah tulisan. Penderita disleksia menjadi orang-orang yang mengalami
kesulitan membaca meskipun kecerdasan dan fungsi sensorik normal, kesempatan yang
memadai untuk belajar, dan tidak adanya kecacatan neurologis atau fisik yang parah,
kesulitan emosional atau sosial, atau kerugian sosial ekonomi (Vellutino via Thompson,
1993: 10).
Menurut Harley (2008: 220-224) terdapat tiga jenis dyslexia:
Surface dyslexia
Orang dengan surface dyslexia memiliki gangguan selektif dalam kemampuan
membaca irregularwords. Oleh karena itu merekaakan mengalami kesulitan
membaca "steak" dibandingkan dengan regular words yang hampir sama seperti
"speak (Harley, 2008: 220).
Surface dyslexia sering membuat over-regularisasi kesalahan ketika mencoba
untuk membaca irregular words. Misalnya, mereka mengucapkan "broad" sebagai
"brode", "steak" sebagai "steek", dan "island" sebagai "eyesland. Mereka masih
tahu apa itu "island", bahkan jika mereka tidak bisa membaca kata, dan mereka
masih bisa mengerti jika Anda mengatakan kata tersebut kepada mereka (Harley,
2008: 221).
Phonological dyslexia
Orang dengan disleksia fonologi memiliki gangguan selektif dalam kemampuan
membaca nonwords atau dapat disebut pseudowords (seperti "sleeb"), sementara
kemampuan mereka untuk membaca kata-kata yang cocok atau hampir mirip
(misalnya, "sleep"). Disleksia fonologi tidak sulit dalam hal membaca irregular
words daripada regular words. Gejala ini menunjukkan bahwa pasien ini hanya bisa
membaca menggunakan rute leksikal, dan karena itu disleksia fonologi adalah
penurunan dari non-leksikal (GPC) pengolahan rute (Harley, 2008: 222). Orang
dengan disleksia fonologi menunjukkan masalah fonologi kompleks yang tidak ada
hubungannya dengan ortografi. Disleksia fonologi merupakan konsekuensi dari
masalah umum dengan pengolahan fonologi (Farah dkk. via Harley, 2008: 222223).
Deep dyslexia
Dalam banyak hal deep dyslexia menyerupai disleksia fonologi. Pasien
mengalami kesulitan besar dalam membaca nonwords, dan kesulitan yang cukup
besar dalam membaca tata bahasa, dan kata-kata fungsi (function words). Seperti
disleksia fonologi, mereka membuat kesalahan visual dan derivatif. Karakteristik
deep dyslexia adalah adanya kesalahan membaca semantik atau paralexias
semantik, ketika orang menghasilkan kata terkait dalam arti target bukan target,
seperti dalam contoh berikut ini (Harley, 2008: 223) :
Daughter
sister
Pray
chapel
Rose
flower
Kill
hate
(Source: Harley: 2008: 223)
The imageability dari sebuah kata merupakan faktor penentu penting dari
probabilitas keberhasilan dalam membaca bagi deep dyslexia. Semakin mudah
untuk membentuk citra mental dari sebuah kata, semakin mudah mereka
membaca. Efek imageability dalam membaca tidak berarti bahwa pasien dengan
deep dyslexia lebih baik dalam semua tugas yang melibatkan kata-kata yang lebih
konkret (Harley 2008: 223).
Terdapat 12 gejala umum yang ditunjukan oleh penderita deep dyslexia
(Coltheart via Harley, 2008: 223-224):
- Membuat kesalahan semantik
- Membuat kesalahan visual
- Mengganti kata-kata fungsi yang salah untuk target
- Membuat kesalahan derivative
- Tidak bisa mengucapkan nonwords
- Menunjukkan efek imageability
- Lebih mudah membaca kata benda daripada kata sifat
- Lebih mudah membaca kata sifat daripada kata kerja
- Lebih sulit membaca fungsi kata (function words) daripada content words
- tulisan mereka terganggu
- memori jangka pendek pendengaran mereka terganggu
- Kemampuan membaca mereka tergantung pada konteks kata (misalnya,
FLY lebih mudah dibaca ketika itu adalah kata benda dalam kalimat dari
kata kerja)
10
tampaknya terkait dengan ketidakmampuan untuk memperoleh bentuk fonologis katakata baru (Field, 2004: 212).
c) Terlalu banyak informasi visual yang harus diproses
Informasi visual dapat membantu pembaca memahami isi teks. Misalnya beberapa
kata yang dicampur dengan informasi bergambar dan diagram, Sehingga seseorang
dengan membaca kosakata, minimal mampu memahami inti dari apa yang sedang
dikomunikasikan (Calfee via Thompson, 1993: 8).
Adanya gambar-gambar yang ada pada teks juga dapat menyebabkan seseorang
menjadi salah dalam membaca atau memahami sebuah teks. Oleh karena itu perlu
adanya informasi non-visual yang mendukung informasi visual tersebut agar pembaca
lebih mudah memahami isi bacaan. Terdapat sebuah perangkat yang digunakan dalam
membaca penelitian yang memungkinkan suatu percobaan untuk mengontrol jumlah
informasi visual yang dipasok ke subjek dan durasi paparan yang disebut tachistoscope
(Field, 2004: 301).
d) Kalimat yang ambigu
Seringkali dalam bacaan terdapat kalimat-kalimat yang ambigu. Ambiguitas terjadi
ketika terdapat kalimat yang memiliki lebih dari satu interpretasi (Clark and Clark, 1977:
80). Hal tersebut dapat menyebabkan pembaca berinterpretasi lain atau salah baca.
Kalimat yang menyesatkan atau ambigu tersebut dapat terjadi ketika pembaca membaca
kata demi kata (Field, 2004: 121).
The farmer put the straw on a pile beside his treshing machine.
(Source: Clark and Clark, 1977: 80)
Ketika kita membaca contoh kalimat di atas sepintas, kalimat tersebut tidak terlihat
ambigu. Akan tetapi, apabila kita menelusuri kalimat tersebut lebih dalam, kita akan
menemukan bahwa straw memiliki dua arti, yaitu grain stalk dan drinking tube (Clark
and Clark, 1977: 80). Ketika pembaca menemui kalimat yang ambigu mereka akan
menjadi gagap, mengulang membacanya, dan juga gugup (Clark and Clark, 1977: 81).
e) Pergerakan mata saat membaca
Seorang pembaca yang baik akan dengan cepat membaca sebuah teks. Mereka
dapat memahami isi teks tanpa harus membaca keseluruhan teks. Seorang pembaca
yang buruk mungkin akan kesulitan ketika diharuskan untuk membaca cepat, yang akan
menyebabkan mereka salah baca. Membaca melibatkan serangkaian gerakan mata yang
cepat (dikenal sebagai saccades) sepanjang garis cetakan atau tulisan, diikuti oleh
periode fiksasi ketika mata bersandar pada titik dalam teks(Field, 2003: 73).
Seorang pembaca yang baik tidak membaca kata demi kata, mata mereka
langsung menangkap beberapa kata dalam satu waktu. Pergerakan mata pembaca yang
baik lebih sedikit dibandingkan dengan seorang pembaca yang buruk (Nuttall, 1982: 33).
Seorang pembaca yang baik akan membaca seperti contoh di bawah ini:
The good old man/raised his hand/in blessing.
(Source: Nuttall, 1982: 33)
12
Dalam kutipan di atas dikatakan bahwa perlu adanya informasi nonvisual atau
penjelasan dari informasi visual untuk mengurangi atau meminimalisir kebingungan
pembaca ketika harus memproses atau membaca informasi visual yang terdapat dalam
teks.
b) Pandangan Bottom-Up
Pada analisis ini, kunci agar menjadi pembaca yang terampil adalah cepat dan
efisien dalam mengolah kata-kata yang ada dalam bacaan. Pembaca hanya mampu
memahami makna di tingkat yang lebih tinggi serta latar belakang pengetahuan jika
mereka telah sepenuhnya menguasai mekanisme decoding. Pengolahan yang cepat dan
efisien dari kata adalah kunci untuk membaca terampil (Field, 2003: 119).
2. Bukti dalam konteks
Menurut Perfetti (via Field, 2003: 119), konteks dalam keterampilan membaca ada 3
jenis:
a) Mudah diprediksi
Contoh: A cooking context mentioning corned beef and CABBAGE
13
Dari contoh tersebut, ketika membahas mengenai memasak, terdapat daging dan
kubis. Hal tersebut dapat di prediksi dengan mudah.
b) Tidak dapat diprediksi
Contoh: A gardening context mentioning carrots, beans and CABBAGE
c) Hal yang ganjil
Contoh: A woman checks her handbag and finds a passport, a plane ticket and a
CABBAGE.
Dari contoh tersebut, konteks dalam bacaan tersebut tidak dapat diprediksi karena
barang-barang yang wanita itu temukan tidak sejenis dan ganjil.
3. Peran Konteks
Menurut Stavonich (via Field, 2013: 121) tidak ada bukti yang jelas bahwa pembaca
yang baik menggunakan konteks untuk meningkatkan kepekaan terhadap kata. Pembaca
yang berkemampuan baik dapat dengan mudah mengenali perubahan topik dalam teks.
Fungsi konteks dalam membaca adalah dapat digunakan tambahan infomasi dalam sebuah
bacaan, serta menambah pemahaman kita tentang bacaan tersebut (Stavonich via Field,
2003: 121).
BAB III
KESIMPULAN
a) Malas baca
b) Salah baca dapat disebabkan oleh adanya kesulitan membedakan alphabet,
mengakses informasi visual yang salah, dan pergerakan mata yang dalam
membaca, dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Alvermann, D.E., Unrau, N.J., & Ruddell, R.B. 2013. Models and Process Reading. Newark,
DE: International Reading Association.
Field, John. 2003. Psycholinguistics A Resource Book for Students. Routledge: Routledge
English Language Introductions.
Field, John. 2004. Psycholinguistics The Key Concepts. Routledge: Routledge Key
Guides.
Harley, Trevor, A. 2008. The Psychology and Language From Data to Theory. New York:
The Psychology Press.
Nuttall, Christine. 1982. Teaching Reading Skills in a Foreign Language. Oxford: Heinemann
Internasional Publishing.
15
16