Referat PQWDASDsdrint
Referat PQWDASDsdrint
PENDAHULUAN
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang merupakan bagian dari
media refraksi, kornea juga berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela
yang dilalui berkas cahaya menuju retina. Kornea terdiri atas 5 lapis yaitu epitel,
membran bowman, stroma, membran descemet, dan endotel. Endotel lebih
penting daripada epitel dalam mekanisme dehidrasi dan cedera kimiawi atau fisik
pada endotel jauh lebih berat daripada cedera pada epitel. Kerusakan sel-sel
endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya
cedera pada epitel hanya menyebabkan edema lokal sesaat pada stroma kornea
yang akan menghilang bila sel-sel epitel itu telah beregenerasi.1,2
Keratitis adalah suatu peradangan kornea yang disebabkan oleh bakteri,
virus, dan jamur. Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan lapis kornea yang
terkena seperti keratitis superficial dan profunda, atau berdasarkan penyebabnya.
Keratitis diklasifikasikan berdasarkan lapisan pada kornea yang terkena, keratitis
superfisial dan keratitis profunda, atau berdasarkan penyebabnya yaitu keratitis
karena berkurangnya sekresi air mata, keratitis karena keracunan obat, keratitis
reaksi alergi, infeksi, reaksi kekebalan, reaksi terhadap konjungtivitis menahun.
2,3,4
Pada Keratitis sering timbul rasa sakit yang berat oleh karena kornea
bergesekan dengan palpebra, karena kornea berfungsi sebagai media untuk
refraksi sinar dan merupakan media pembiasan terhadap sinar yang yang masuk
ke mata maka lesi pada kornea umumnya akan mengaburkan penglihatan terutama
apabila lesi terletak sentral dari kornea. Fotofobia terutama disebabkan oleh iris
yang meradang Keratitis dapat memberikan gejala mata merah, rasa silau dan
merasa ada yang mengganjal atau kelilipan.3,4
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan Fisiologi Kornea
Gambar 1.
Kornea
Kornea (latin cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening mata, bagian
selaput mata yang tembus cahaya. Kornea transparan (jernih), bentuknya hampir
sebagian lingkaran dengan diameter vertikal 10-11mm dan horizontal 11-12mm,
tebal 0,6-1mm terdiri dari 5 lapis .Kemudian indeks bias 1,375 dengan kekutan
pembiasan 80%. Sifat kornea yang dapat ditembus cahaya ini disebabkan oleh
struktur kornea yang uniform, avaskuler dan diturgesens atau keadaan dehidrasi
relative jaringan kornea, yang dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada
endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Endotel lebih penting daripada
epitel dalam mencegah dehidrasi, dan cedera kimiawi atau fisik pada endotel jauh
lebih berat daripada cedera pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel jauh
menyebabkan sifat transparan hilang dan edema kornea, sedangkan kerusakan
epitel hanya menyebabkan edema lokal sesaat karena akan menghilang seiring
dengan regenerasi epitel.2
Kornea dipersarafi oleh banyak serat saraf sensoris terutama saraf siliaris
longus, saraf nasosiliaris, saraf ke V saraf siliaris longus berjalan supra koroid ,
Gambar 2.
Lapisan
Kornea
Kornea merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan
dan terdiri atas lapis:
1. Epitel
Bentuk epitel gepeng berlapis tanpa tanduk. Bersifat fat soluble substance.
Ujung saraf kornea berakhir di epitel oleh karena itu kelaianan pada epitel
akan menyebabkan gangguan sensibilatas korena dan rasa sakit dan
mengganjal. Daya regenerasi cukup besar, perbaikan dalam beberapa hari
tanpa membentuk jaringan parut. Tebalnya 50um, terdiri atas sel epitel tidak
4
bertanduk yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan
sel gepeng. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini
terdorong kedepan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju kedepan menjadi
sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal disampingnya dan sel
poligonal didepannya
bercabang. Stroma bersifat higroskopis yang menarik air, kadar air diatur oleh
fungsi pompa sel endotel dan penguapan oleh sel epitel. Gangguan dari
susunan serat kornea terlihat keruh.
palpebra (terutama palpebra superior) pada kornea dan menetap sampai sembuh.
Lesi kornea pada umumnya dapat mengaburkan penglihatan terutama pada lesi di
tengah kornea.2
Fotofobia kornea terjadi akibat kontraksi dari iris yang meradang. Dilatasi
pembuluh darah iris merupakan fenomena refleks yang disebabkan oleh iritasi
pada ujung saraf kornea. Meskipun mata berair dan fotofobia umumnya menyertai
penyakit kornea namun kotoran mata hanya terjadi pada ulkus bakteri purulenta.2
2.2 Keratitis
2.2.1 Definisi
Keratitis adalah suatu kondisi dimana kornea bagian depan mata
mengalami inflamasi. Kondisi ini sering ditandai dengan rasa nyeri,kemudian
berkembang menjadi photofobia atau rasa silau bila terkena cahaya dan dapat
terjadi gangguan penglihatan.2
Keratitis dapat terjadi pada setiap kelompok usia dan tidak dipengaruhi
oleh jenis kelamin.2
Gambar 3. Keratitis 8
2.2.2 Etiologi
Penyebab keratitis bermacam-macam, seperti infeksi bakteri, virus
maupun jamur (virus herpes simpleks merupakan penyebab tersering), kekeringan
7
kornea, pajanan cahaya yang terlalu terang, benda asing, reaksi alergi terhadap
kosmetik, debu, polusi atau bahan iritan lainnya, kekurangan vitamin A dan
penggunaan lensa kontak yang kurang baik.2
2.2.3 Gejala dan Tanda Keratitis
a. Gejala keratitis 1,2,4
sekitarnya,
segera bekerja sebagai makrofag baru kemudian disusul oleh pembuluh darah
yang terdapat di limbus dan tampak sebagi Injeksi perikornea. Sesudahnya baru
terjadi infiltrat, yang tampak sebagai bercak bewarna kelabu, keruh, dan
permukaan yang licin. Kemudian dapat terjadi kerusakan epitel kornea dan timbul
ulkus yang dapat menyebar ke permukaan dalam stroma. Pada peradangan yang
hebat, toksin dari kornea dapat menyebar ke iris dan badan siliar dengan melalui
membran descemet dan endotel kornea. Baru demikian iris dan Badan siliar
meradang dan timbullah kekeruhan dicairan COA, disusul dengan terbentuknya
hipopion. Bila peradangan terus mendalam, tetapi tidak mengenai membran
descemet dapat timbul tonjolan membran descement yang disebut mata lalat atau
descementocele. Pada peradangan dipermukaan kornea, penyembuhan dapat
berlangsung tanpa pembentukan jaringan parut. Pada peradangan yang lebih
dalam, penyembuhan berakhir dengan terbentuknya jaringan parut yang dapat
berupa nebula, makula, atau leukoma. Bila ulkusnya lebih mendalam Lagi dapat
timbul perforasi yang dapat mengakibatkan endoftalmitis, panoftalmitis, dan
berakhir dengan ptisis bulbi.2
2.4. Klasifikasi Keratitis
Keratitis diklasifikasikan menurut lapisan kornea yang terkena yaitu keratitis
superfisialis apabila mengenal lapisan epitel atau Bowman dan keratitis profunda
atau interstisialis (atau disebut juga keratitis parenkimatosa) yang mengenai
lapisan stroma. Pada keratitis epitelial dan keratitis stromal, tes fluoresin (+),
sedangkan pada keratitis subepitelial dan keratitis profunda, tes fluoresin (-).7
Menurut tempatnya, keratitis diklasifikasikan sebagai berikut:7
I. Keratitis Superfisial
1. Keratitis epitelial
a. Keratitis punctata superfisialis
b. Herpes simpleks
c. Herpes zoster
2. Keratitis subepitelial
a. Keratitis nummularis
b. Keratitis disiformis
3. Keratitis stromal
a. Keratitis neuroparalitik
b. Keratitis et lagoftalmus
9
10
11
dan
mungkin
diikuti
parut
datar
atau
pembentukan
simbelfaron.2,4
Konjungtivitis berlangsung paling lama 3-4 minggu. Kekeruhan subepitel
terutama terdapat di pusat kornea, bukan di tepi, dan menetap berbulan-bulan
namun tidak meninggalkan jaringan parut ketika sembuh. 4 Keratokonjungtivitis
epidemika pada orang dewasa terbatas pada bagian luar mata. Namun, pada anakanak mungkin terdapat gejala sistemik infeksi virus seperti demam, sakit
tenggorokan, otitis media, dan diare.4 Keratokonjungtivitis epidemika disebabkan
oleh adenovirus tipe 8, 19, 29, dan 37 (subgroub D dari adenovirus manusia).
Virus-virus ini dapat diisolasi dalam biakan sel dan diidentifikasi dengan tes
netralisasi. Kerokan konjungtiva menampakkan reaksi radang mononuklear
primer; bila terbentuk pseudomembran, juga terdapat banyak neutrofil.2
12
Bentuk
ditemukannya
keratitis
infiltrat
dengan
dan
gambaran
neovaskularisasi
bermacam-macam,
pada
kornea.
dengan
Gambaran
infeksi virus herpes simpleks tipe 1 maupun tipe 2. Kelainan mata akibat infeksi
herpes simpleks dapat bersifat primer dan kambuhan. lnfeksi primer ditandai oleh
adanya demam, malaise, limfadenopati preaurikuler, konjungtivitis folikutans,
bleparitis, dan 2/3 kasus terjadi keratitis epitelial. Kebanyakan kasus bersifat
unilateral, walaupun dapat terjadi bilateral khususnya pada pasien-pasien atopi.8
Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi
epitel, berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini harus
diwaspadai terhadap keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea, misalnya
14
pada: herpes zoster oftalmikus, keratitis akibat pemaparan dan mata kering,
pengguna lensa kontak, keratopati bulosa, dan keratitis kronik. Gejala spesifik
pada keratitis herpes simpleks ringan adalah tidak adanya fotofobia.8
Infeksi herpes simpleks laten terjadi setelah 2-3 minggu paska infeksi
primer dengan mekanisme yang tidak jelas. Virus menjadi inaktif dalam neuron
sensorik atau ganglion otonom. Dalam hal ini ganglion servikalis superior,
ganglion nervus trigeminus, dan ganglion siliaris berperan sebagai penyimpan
virus. Namun akhir-akhir ini dibuktikan bahwa jaringan kornea sendiri berperan
sebagai tempat berlindung virus herpes simpleks.6
ulkus. Keratitis herpes simpleks bentuk dendrit harus dibedakan dengan keratitis
herpes zoster, pada herpes zoster bukan suatu ulserasi tetapi suatu hipertropi epitel
yang dikelilingi mucus plaques; selain itu, bentuk dendriform lebih kecil.8
Keratitis epitelial dapat berkembang menjadi ulkus metaherpetik, dalam
hal ini terjadi perobekan membrana basalis. Ulkus metaherpetik bersifat steril,
deepitelisasi meluas sampai stroma. Ulkus ini berbentuk bulat atau lonjong
dengan ukuran beberapa milimeter dan bersifat tunggal. Pada kasus ini dapat
dijumpai adanya edema stroma yang berat disertai lipatan membrana descemet.
Reaksi iritasi konjungtiva bersifat ringan akibat adanya hipestesia. Reflek
lakrimasi berkurang, sehingga produksi tear film menjadi relatif tidak cukup.
Ulkus metaherpetik dapat menetap dalam beberapa minggu sampai beberapa
bulan. Untuk penyembuhannya memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6
minggu.8
Klasifikasi Diagnosis:
Hogan dkk. (1964) membuat klasifikasi diagnosis keratitis herpes
simpleks sebagai berikut:8
1. Superfisial, dibedakan atas bentuk dendritika, dendritika dan stroma,
geografika.
2. Profunda, dibedakan atas stroma dan disciform, stroma dan penyembuhan,
stroma dan ulserasi.
3. Uveitis, dibedakan atas kerato uveitis dan uveitis; dalam hal ini
keratouveitis dibedakan atas bentuk ulserasi dan non ulserasi.
Klasifikasi tersebut ternyata kurang sempurna, karena bentuk keratitis
pungtata yang merupakan awal keratitis dendritik tidak dimasukkan. Selain itu,
pada beberapa kasus yang berat ternyata dijumpai glaukoma sekunder yang
diakibatkan oleh radang jaringan trabekulum.8
Untuk membuat diagnosis, sekarang ini dianut kiasifikasi yang dibuat oleh
Pavan-Langston (1983) sebagai berikut:8
1. Ulserasi epitelial, dibedakan atas bentuk pungtata, dendritika,
dendrogeografika, geografika.
2. Ulserasi trophik atau meta herpetika.
3. Stroma, dibedakan atas bentuk keratitis disciform, keratitis interstitialis.
4. Uveitis anterior dan trabekulitis.
16
d. Keratokonjungtivitis Sika
2.6.1
18
bekas namun apabila telah terjadi ulkus akibat infeksi sekunder dapat
terjadi parut kornea. Dalam keadaan yang berat dapat terjadi perforasi
kornea.9
c. Keratitis Herpetika
Pengobatan kadang-kadang tidak diperlukan karena dapat sembuh
spontan atau dapat sembuh dengan melakukan debridement. Dapat juga
dengan memberikan obat antivirus topikal dan antibiotika topikal.
Antivirus seperti IDU 0.1% diberikan setiap 1 jam atau asiklovir.9
Sebagian besar para pakar menganjurkan melakukan debridement
sebelumnya.
Debridement
epitel
kornea
selain
berperan
untuk
yang
kortikosteroid
berhubungan
dosis
rendah
dengan
dan
Sjogren
topikal
sindrom
siklosporin
menunjukkan keefektifan.9
2.7. Prognosis
Prognosis pada setiap kasus tergantung pada beberapa faktor, termasuk
luas dan dalamnya lapisan kornea yang terlibat, ada atau tidaknya perluasan ke
jaringan orbita lain, status kesehatan pasien (contohnya immunocompromised),
virulensi
didalam sklera atau struktur intraokular sangat sulit. Diagnosis awal dan terapi
tepat dapat membantu mengurangi kejadian hilangnya penglihatan. Imunitas
tubuh merupakan hal yang penting dalam kasus ini karena diketahui reaksi
imunologik tubuh pasien sendiri yang memberikan respon terhadap virus ataupun
bakteri. Pada keratitis superfisialis pungtata penyembuhan biasanya berlangsung
baik meskipun tanpa pengobatan.9
.
BAB III
KESIMPULAN
Keratitis adalah peradangan pada kornea yang ditandai dengan adanya
infiltrat di lapisan kornea. Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasinya,
yaitu superfisial, interstisial dan profunda. Keratitis superfisial adalah radang
kornea yang mengenai lapisan epitel dan membran bowman. Keratitis dapat
terjadi pada anak-anak maupun dewasa. Keratitis dapat memberikan gejala mata
merah, rasa silau, epifora, nyeri, kelilipan, dan penglihatan menjadi sedikit kabur.
Keratitis superfisial dapat dibagi menjadi :
Keratitis superfisial nonulseratif, yang terdiri atas:
1. Keratitis pungtata superfisial dari Fuchs
2. Keratitis numularis dari Dimmer
3. Keratitis disiformis dari Westhoff
20
4. Keratokonjungtivitis epidemika
Keratitis superfisial ulseratif, yang terdiri atas :
1. Keratitis pungtata superfisial ulserativa
2. Keratitis flikten
3. Keratitis herpertika
4. Keratitis sika
Setiap etiologi menunjukan gejala yang berbeda-beda tergantung dari jenis
pathogen dan lapisan kornea yang terkena. Diagnosis keratitis dapat ditegakkan
melalui
pemeriksaan
lampu
penatalaksanaan keratitis
celah.
Dengan
pemeriksaan
lampu
celah,
sesuai dengan
DAFTAR PUSTAKA
1. American Academy of Ophthalmology. Externa disease and cornea. San
Fransisco 2007
2. Vaughan, Daniel G et al. 2010. Oftalmologi Umum edisi-14. Jakarta:
Widya Medika. Hal: 129 152
3. ILyas S. Mata merah dengan penglihatan turun mendadak. Dalam : Ilyas S.
Ilmu Penyakit Mata edisi 3; 2004. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Hal ; 149
4. Srinivasan M, et al. Distinguishing infectious versus non infectious
keratitis. Indian Journal of Opthalmology. 2006. 56:3; 50-56
5. Radjiman T, dkk. Ilmu Penyakit Mata. Airlangga. Surabaya, 1984
6. Zorab RA, Straus H, Dondrea, et.al. Fundamental and Principles of
Ophtalmology. Section 2. International ophtalmology american academy
of ophtalmology. The Eye M.D;2008-2009. p.43
7. Lang G. Infectious Keratitis dalam Opthamology.A textbook Atlas.2 nd
Edition 2006.
21
8. Kaye SB, Lynas C, Patterson A, Risk JM, McCarthy K, Hart CA. Evidence
for herpes simplex viral latency in the human cornea, Bri Ophthalmol
1991; 75: 195200
9. Anonym. 2010. Keratitis. Faculty of Harvard Medical School, National
Eye Institute. Diakses tanggal 29 Maret 2013
10. Wilson SA. 2008. Management of Corneal Abrasion. www.aafp.com,
diakses tanggal 30 Maret 2013
11. Anatomy of Eye. 2010. www.medscape.com, diakses tanggal 30 Maret
2013
12. Opthalmology of Evaluation. 2010. www.medscape.com, diakses tanggal
30 Maret 2013
13. Keratitis. 2012. www.medscape.com, diakses tanggal 30 Maret 2013
22