Sociological Perspective on Auditing: Postmodernisme Perspective
Internal Auditor dan Dilema Etika: Menuju
Jalan yang Lebih Etis
Robiatul Auliyah Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi, Universitas Trunojoyo Abstrak Inti dari teori postmodernisme adalah menyatukan teori dan praktek (akuntansi) yang dianggap dualistik atau dikotomis dalam dunia modern dalam jaringan yang sinergis. Auditing adalah proses pengumpulan pengolahan dan pengevaluasian bahan bukti tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu entitas ekonomi yang dilakukan seorang yang kompeten dan independen untuk dapat menentukan kesesuaian informasi dimaksud dengan kriteria yang telah ditetapkan. Internal auditor dalam melaksanakan tugas seringkali dihadapkan pada suatu masalah dilema etika dalam membuat suatu keputusan etis atau tidak etis. Tulisan ini mencoba untuk menjawab masalah dilema etika internal auditor. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh seorang internal auditor adalah faktor individual (pengalaman, komitmen profesional, orientasi etika, moral dan keimanan) dan faktor situasional (nilai etika organisasi). Apabila kedua faktor tersebut diatas dipadukan dan diimplementasikan dengan baik dan benar dalam pekerjaan internal auditor maka akan menghasikan keputusan yang etis menuju jalan yang benar. Kata kunci: postmodernisme, internal Auditor, internal auditor, keputusan etis Abstract The main theory of postmodernism is to unity the theory and practice of accounting which is considered as dualistic or dichotomy of modern era on the synergy link. Auditing is a process of collecting, processing and evaluating proofs of information that can be measured about economic entity by credible people who has an independency and competency in an appropriate criteria. In doing his duty, internal auditor always faces ethical and non ethical dilemma. This article try to answer those problems. There are two factors that must be considered by internal auditor. Firstly, some individuals factor such as (experiences, professional commitment, ethics orientation, moral and faith). Secondly, situational factor like organizational ethic value. If both factors are connected and well implemented in the internal auditor as a result an ethical decision will be resulted. Keywords: postmodernism, internal auditor, ethical decision
Etika merupakan topik yang menyita perhatian
banyak orang atau kelompok dalam masyarakat. Perhatian yang besar tersebut memberikan indikasi akan arti pentingya perilaku beretika dalam masyarakat, dan beberapa catatan penting tentang perilaku tidak beretika. Perilaku beretika merupakan tulang punggung praktek akuntansi yang harus ditanggapi secara serius oleh para akuntan. Perhatian tentang tema independensi dan etika dalam profesi akuntan menjadi sangat menarik perhatian masyarakat karena munculnya beberapa skandal yang merugikan yang melibatkan
para 1
akuntan. Begley, P and Jacquile P. (2007) menyatakan
bahwa akuntan seringkali dihadapkan pada situasi adanya dilema yang menyebabkan dan memungkinkan akuntan tidak dapat independen. Akuntan diminta untuk tetap independen dari klien, tetapi pada saat yang sama kebutuhan mereka tergantung dari klien karena fee yang diterimanya; sehingga seringkali akuntan dihadapkan pada situasi yang sangat dilematis. Hal ini akan berlanjut jika hasil temuan auditor tidak sesuai dengan harapan klien, sehingga menimbulkan konflik antara auditor dan klien. Konflik audit ini akan berkembang menjadi sebuah dilema etika
Korespondensi: Robiatul Auliyah, Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Program Studi Akuntansi, Universitas Trunojoyo, Jalan Raya Telang PO BOX 2 Kamal, Madura, 69162. Telp.: 031-3011146. E-mail: robixx_utm@yahoo.com
Robiatul Auliyah, Sociological Perspective on Auditing: Postmodernisme Perspective
ketika auditor diharuskan membuat keputusan yang
bertentangan dengan independensi dan integritasnya dengan imbalan ekonomis yang mungkin terjadi atau ada tekanan pada sisi yang lainnya . Auditor pada sisi sosial juga bertanggungjawab kepada masyarakat dan profesinya daripada mengutamakan kepentingan dan pertimbangan pragmatis pribadi atau kepentingan ekonomis semata. Auditor internal mendapatkan hasil dari organisasi dimana dia bekerja, hal ini berarti internal auditor sangat bergantung kepada organisasinya sebagai pemberi kerja. Namun harus diingat bahwa internal auditor juga dituntut untuk tetap independen sebagai bentuk dari tanggungjawab terhadap profesi dan juga kepada publik. Internal auditor akan mempunyai masalah ketika harus melaporkan hasil temuan-temuan yang mungkin tidak menguntungkan dalam penilaian kinerja manajemen atau objek audit yang dilakukannya. Ketika manajemen atau subjek audit menawarkan sebuah imbalan atau tekanan kepada internal auditor untuk menghasilkan laporan audit yang diinginkan oleh manajemen maka menjadi dilema etika, dimana auditor dihadapkan pada pilihan-pilihan keputusan yang terkait dengan etis atau tidak etis, dan apakah keputusannya sudah benar sesuai dengan prinsip moral dan keimanan sebagai manusia yang beragama. Hal ini akan bisa dijawab dengan kembali kepada pribadi seseorang yang merupakan pembawaan sejak lahir sperti umur,gender, pengalaman dan sebagainya ; serta faktor lainnya seperti faktor organisasi,lingkungan kerja, profesi dan sebagainya. Perspektif Postmodernisme Menurut Muhadjir, (2000) mengatakan bahwa karateristik posmo dalam pengembangan ilmu adalah karakteristik sikap ilmiah dalam memaknai perubahan sosial masyarakat. Untuk memahami laju percepatan perubahan sosial yang luar biasa membuat kita terus mencari filsafat, teori, dan metodologi pengembangan ilmu yang tepat. Selanjutnya mengenal karakteristik posmo tidak hanya untuk mengubah sikap ilmiah, melainkan juga dimaksudkan agar substansi telaahnya dikenal baik, dan selanjutnya diolah dengan lebih baik. Menurut Loytard (1942) dalam Muhadjir (2000) Posmo menolak hirarki, genealogit,kontinuitas dan perkembangan.Posmo bukan membuat destruksi terhadap modernitas, tetapi berupaya mempresentasikan yang tidak dapat direpresentasikan oleh modernisme. Pertanyaannya mengapa modernisme tidak dapat
89
mempresentasikan; adalah karena logika masih
terikat pada standart logic, sedangkan posmo mengembangkan kemampuan kreatif membuat makna baru, menggunakan unstandart logic. Internal Auditor Auditor adalah seseorang yang memiliki keahlian dalam menghimpun dan menafsirkan bukti hasil pemeriksaan. Auditor independent bertanggungjawab atas audit laporan keuangan histories dari seluruh perusahaan yang diauditnya (Renyowijoyo, 2005). Akuntan intern bekerja di suatu perusahaan untuk melakukan audit bagi kepentingan manajemen perusahaan. Sebagian besar tugasnya melakukan audit ketaatan, dan kegitan audit operasional. Dalam menjalankan tugas akuntan intern harus berada diluar fungsi lini suatu organisasi, tetapi harus memberikan informasi yang berharga bagi manajemen untuk pengambilan keputusan yang berkaitan dengan operasi perusahaan. Definisi Etika Etika menurut Keraf dalam Martadi dan Suranta (2006), secara harfiah berasal dari bahasa Yunani ethos (jamaknya: ta etha) yang berarti adat istiadat atau kebiasaan yang baik. Dalam hal ini etika berkaitan dengan hidup yang baik, meliputi kehidupan individu, kelompok atau sekelompok masyarakat. Kebiasaan ini merupakan suatu nilai-nilai mengenai aturan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, dan juga etika biasanya diwariskan dari seseorang ke orang lain, dari suatu generasi ke generasi lain. Sedangkan menurut Susanto dalam Hermawati (2007), etika atau dalam bahasa Inggris ethics adalah sebuah ilmu tentang kesusilaan yang memperhatikan atau mempertimbangkan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan moral, etika mengarahkan atau menghubungkan penggunaan akal budi individual dengan obyektivitas untuk menentukan kebenaran atau kesalahan dan tingkah laku seseorang terhadap orang lain. Di Indonesia biasanya etika diterjemahkan menjadi kesusilaan, karena sila berarti dasar, kaidah atau aturan, sedangkan su berarti benar, baik, dan bagus. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998) etika adalah: Pertama, ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral. Kedua, kumpulan asas/ nilai yang berkenaan dengan akhlak. Ketiga, nilai mengenai yang benar dan salah yang dianut masyarakat.
90
Pamator, Volume 4, Nomor 1, April 2011
Etika secara umum didefinisikan sebagai perangkat
prinsip moral atau nilai. Masing-masing orang memiliki perangkat nilai, sekalipun tidak dapat diungkapkan secara eksplisit. Para filsuf, organisasi-organisasi keagamaan dan kelompok lain mempunyai berbagai cara mengungkapkan perangkat prinsip moral atau nilai (Arens dan Loebbecke, 1995: 71). Pengertian etika sering disamaartikan dengan pengertian moral. Moral berasal dari bahasa Latin, yaitu mos yang berarti adat kebiasaan. Menurut Lubis dalam Hermawati (2007), istilah latin ethos atau ethicos selalu disebut dengan mos sehingga dari perkataan tersebut lahirlah moralitas atau yang sering diistilahkan dengan perkataan moral. Namun demikian, apabila dibandingkan dalam pemakaian yang lebih luas perkataan etika dipandang lebih luas dari perkataan moral, sebab terkadang istilah moral sering dipergunakan hanya untuk menerangkan sikap lahiriah seseorang yang biasa dinilai dari wujud tingkah laku atau perbuatnnya saja. Sedangkan etika dipandang selain menunjukkan sikap lahiriah seseorang juga meliputi kaidah-kaidah dan motif-motif perbuatan seseorang itu. Menurut Keraf dalam Wibowo (2006), moralitas adalah sistem tentang bagaimana kita harus hidup dengan baik sebagai manusia. Di dalam moralitas lebih ditekankan bagaimana cara dalam melakukan tindakan atau perbuatan. Moral lebih kepada karsa dan rasa manusia dalam segala hal tindakan yang dilakukan manusia di kehidupannya. Sedangkan dalam etika lebih cenderung kepada alasan mengapa untuk melakukan suatu tindakan menggunakan cara tersebut. Jadi moral lebih kepada dorongan untuk menaati etika. Dari beberapa definisi dapat disimpulkan bahwa etika merupakan seperangkat aturan/ norma/ pedoman yang mengatur perilaku manusia baik perilaku yang harus dilakukan atau perilaku yang harus ditinggalkan yang dianut oleh sekelompok atau segolongan manusia atau masyarakat atau profesi. Etika yang dinyatakan secara tertulis atau etika yang telah diformalkan disebut sebagai kode etik. Etika yang telah disepakati bersama oleh anggota suatu profesi disebut kode etik profesi. Kode etik yang disepakati bersama oleh anggota suatu profesi disebut kode etik profesi. Etika professional dikeluarkan untuk mengatur perilaku anggotanya dalam menjalankan praktek profesinya bagi masyarakat. Etika Profesi Akuntan Indonesia Menurut Suseno (1997), etika merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-
ajaran dan pandangan moral. Sedangkan pendapat
Ward, S.P., Ward & A.B. Deck. (1993) mengungkapkan bahwa etika (ethos) adalah sebanding dengan moral (mos), di mana keduanya merupakan filsafat tentang adat istiadat (sitten). Karenanya secara umum etika atau moral adalah filsafat, ilmu atau disiplin tentang tingkah laku manusia atau konstansi-konstansi tindakan manusia.Ludigdo, U. (2007) mengemukakan bahwa etika meliputi sifat-sifat manusia yang ideal atau disiplin atas diri sendiri diatas atau melebihi persyaratan atau kewajiban menurut undang-undang. Sedangkan menurut Triyuwono, I. (2002) mendefenisikan bahwa etika merupakan suatu prinsip moral dan perbuatan yang menjadi landasan bertindak seseorang, sehingga apa yang dilakukannya dapat dipandang oleh masyarakat umum sebagai perbuatan yang terpuji dan meningkatkan martabat dan kehormatan seseorang. Menurut Gutirezz and Green, C. (2004) mengatakan bahwa etika profesi merupakan karakteristik suatu profesi yang membedakannya dengan profesi yang lain yang berfungsi mengatur tingkah laku para anggotanya. Etika profesi disusun untuk suatu organisasi profesi dalam bentuk kode etik. Kode etik bertujuan memberitahu anggota profesi tentang standar perilaku yang diyakini dapat menarik kepercayaan masyarakat dalam memberi tahu masyarakat bahwa profesi berkehendak untuk melakukan pekerjaan yang berkualitas bagi kepentingan masyarakat. Keberadaan kode etik merupakan imbalan masyarakat atas kepercayaan yang diberikannya. Etika profesi akuntan di Indonesia diatur dalam kode etik akuntan Indonesia. Kode etik ini mengikat para anggota Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan akuntan lainnya yang bukan anggota. Dengan adanya kode etik maka para anggota profesi akan lebih dapat memahami apa yang diharapkan profesi terhadap para anggotanya. Kode etik untuk akuntan berperan sebagai panduan dan bukan sebagai bentuk regulasi atau peraturan. Prinsip-Prinsip Etika Secara umum prinsip-prinsip etika yang dirumuskan oleh IAI (1998) dan dianggap menjadi kode etik Akuntan Indonesia adalah sebagai berikut: a) tanggung jawab, artinya bahwa dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesional, para anggota harus mewujudkan kepekaan profesional dan pertimbangan moral dalam semua aktivitas mereka b) kepentingan publik, artinya bahwa para anggota
Robiatul Auliyah, Sociological Perspective on Auditing: Postmodernisme Perspective
harus menerima kewajiban untuk melakukan tindakan
yang mendahulukan kepentingan publik, menghargai kepercayaan publik, dan menunjukan komitmen pada profesionalisme, c) integritas. Bahwa untuk mempertahankan dan memperluas kepercayaan masyarakat, para anggota harus melaksanakan semua tanggung jawab pofesional denga integritas tertinggi, d) objektivitas dan independensi seorang anggota harus mempertahankan objektivitas dan bebas dari pertentangan kepentingan dalam melakukan tanggung jawab professional. Seorang anggota yang berpraktek sebagai akuntan harus bersikap independent dalam kenyataan dan penampilan pada waktu melaksanakan audit, e) kecermatan dan keseksamaan seorang anggota harus mengamati standart teknis dan etika profesi, terus meningkatkan kompetensi serta mutu jasa, dan melaksanakan tanggungjawab professional dengan kemampuan terbaik, f) lingkup dan sifat jasa.Seorang anggota yang berpraktek sebagai akuntan publik, harus mematuhi prinsip-prinsip dalam kode etika profesional dalam menentukan lingkup dan sifat jasa yang diberikan. Perilaku Perilaku pasti akan ada dalam setiap individu. Perilaku berawal dari sebuah kebutuhan. Dari kebutuhan-kebutuhan tersebut akan lahir motivasi yang merupakan kekuatan atau energi yang mendorong individu untuk mencapai tujuan tersebut. Menurut Sudrajat (2008) untuk memahami perilaku individu dilakukan dengan dua pendekatan yang saling bertolak belakang, yaitu: behaviorisme dan holistik atau humanisme. Mekanisme pembentukan perilaku menurut aliran behaviorisme memandang bahwa pola-pola perilaku itu dapat dibentuk melalui proses pembiasaan dan penguatan dengan menciptakan rangsangan atau stimulus tertentu dalam lingkungan. Yang dimaksud lingkungan dalam hal ini ada dua jenis, yaitu: lingkungan objektif dan lingkungan efektif. Lingkungan obyektif merupakan segala sesuatu yang dapat melahirkan sebuah rangsangan yang ada disekitar individu. Lingkungan efektif merupakan segala sesuatu yang dapat merangsang inividu karena sesuai dengan pribadinya sehingga dapat memberikan kesadaran pada individu tersebut yang kemudian dilanjutkan dengan meresponnya. Mekanisme pembentukan perilaku menurut aliran holistik atau humanisme memandang, bahwa setiap perilaku itu mempunyai tujuan. Dalam aliran ini
91
faktor yang menjadi penentu perilaku bukan adanya
rangsangan atau stimulus akan tetapi aspek-aspek intrinsik yang ada di dalam diri individu seperti niat, tekad, dan motif. Dalam aliran ini menjelaskan mekanisme perilaku individu dalam konteks what (apa) yang berarti menunjukkan kepada tujuan apa yang akan dicapai dari perilaku tersebut, how (bagaimana) menunjukkan bagaimana jenis dan bentuk cara perilaku individu tersebut untuk mencapai tujuan itu, dan why (mengapa) menunjukkan bahwa motivasi yang menggerakkan terjadinya dan berlangsungnya perilaku, baik motivasi yang ada didalam diri individu (motivasi intrinsik) atau motivasi yang ada di luar individu (motivasi ekstrinsik). Motif individu dapat dikelompokkan menjadi dua golongan menurut Sudrajat (2008), yaitu: motif primer dan motif sekunder. Motif primer menunjukkan kepada motif yang tidak dipelajari. Biasanya motif ini dikenal dengan istilah drive, misalnya dorongan untuk makan, minum, melarikan diri, menyelamatkan diri dan sebagainya. Motif sekunder menunjukkan kepada motif yang berkembang dalam individu karena pengalaman dan dipelajari, misalnya: motif-motif sosial (seperti ingin diterima konformitas dan sebagainya), motifmotif obyektif dan interest (eksplorasi, manipulasi, minat), maksud dan aspirasi serta motif berprestasi. Taksonomi Perilaku Bloom dalam Sudrajat (2008), mengungkapkan tiga kawasan (domain) perilaku individu, yaitu: (1) kawasan kognitif, (2) kawasan afektif, dan (3) kawasan psikomotorik. Taksonomi di atas menjadi rujukan penting dalam hal pendidikan terutama dalam proses maupun hasil pendidikan. Karena dalam proses pendidikan diarahkan secara menyeluruh untuk perubahan perilaku individu dengan mencakup seluruh kawasan perilaku individu. Dengan merujuk pada tulisan Gulo (2005) dalam Sudrajat (2008), telah dijelaskan sebagai berikut: kawasan kognitif yaitu kawasan yang berkaitan dengan aspek-aspek intelektual atau berfikir nalar, yang meliputi: (a) pengetahuan (knowledge) yang dalam hal ini merupakan aspek kognitif yang paling rendah tetapi paling mendasar. Dengan pengetahuan individu dapat mengenal dan mengingat kembali suatu objek, ide prosedur, konsep, peristiwa, teori, kesimpulan dan sebagainya, (b) pemahaman (comprehension) yang biasanya dapat disebut juga dengan istilah mengerti merupakan kegiatan mental intelektual yang mengorganisasikan materi yang telah diketahui. Dari
92
Pamator, Volume 4, Nomor 1, April 2011
temuan yang diketahui seperti definisi, peristiwa,
fakta, informasi akan disusun kembali dalam struktur kognitif yang ada. Kawasan selanjutnya yaitu: (c)penerapan (application) dalam hal ini digunakan pengetahuan untuk memecahkan masalah atau menerapkan pengetahuan dalam kehidupan seharihari. Individu dapat dikatakan menguasai kemampuan jika ia dapat memberikan contoh, menggunakan, mengklasifikasikan, memanfaatkan, menyelesaikan dan mengidentifikasi hal-hal yang sama, (d) penguraian (analysis) menentukan bagian-bagian dari suatu masalah dan menunjukkan hubungan antara bagianbagian tersebut, melihat penyebab-penyebab dari suatu peristiwa atau memberi argumen-argumen yang menyokong suatu pernyataan, (e) memadukan (synthesis) berarti menggabungkan, meramu, atau merangkai berbagai informasi menjadi satu kesimpulan atau menjadi suatu hal yang baru. Kemampuan berfikir induktif dan konvergen merupakan ciri kemampuan ini, (f) penilaian (evaluation) mempertimbangkan, menilai dan mengambil keputusan benar-salah, baikburuk, atau bermanfaattidak bermanfaat berdasarkan kriteria-kriteria tertentu baik kualitatif maupun kuantitatif. Kawasan afektif merupakan kawasan yang berkaitan dengan aspek-aspek emosional, seperti perasaan, minat, sikap, kepatuhan terhadap moral dan sebagainya, terdiri dari: (1) Penerimaan (receiving/attending). Kawasan penerimaan diperinci ke dalam tiga tahap, yaitu: kesiapan untuk menerima (awareness), yaitu adanya kesiapan untuk berinteraksi dengan stimulus (fenomena atau objek yang akan dipelajari), yang ditandai dengan kehadiran dan usaha untuk memberi perhatian pada stimulus yang bersangkutan, kemauan untuk menerima (willingness to receive), yaitu usaha untuk mengalokasikan perhatian pada stimulus yang bersangkutan, mengkhususkan perhatian (controlled or selected attention). Mungkin perhatian itu hanya tertuju pada warna, suara atau kata-kata tertentu saja. Kawasan afektif (2) Sambutan (responding) yang mengadakan aksi terhadap stimulus, yang meliputi proses sebagai berikut: kesiapan menanggapi (acquiescene of responding), kemauan menanggapi (willingness to respond) yaitu usaha untuk melihat hal-hal khusus di dalam bagian yang diperhatikan, kepuasan menanggapi (satisfaction in response) yaitu adanya aksi atau kegiatan yang berhubungan dengan usaha untuk memuaskan keinginan mengetahui, (3) Penilaian (valuing), pada tahap ini sudah mulai timbul proses internalisasi untuk memiliki dan menghayati nilai dari stimulus yang dihadapi, (4) Pengorganisasian
(organization), pada tahap ini yang bersangkutan tidak
hanya menginternalisasi satu nilai tertentu seperti pada tahap komitmen, tetapi mulai melihat beberapa nilai yang relevan untuk disusun menjadi satu sistem nilai, (5) Karakterisasi (characterization) yaitu kemampuan untuk menghayati atau mempribadikan sistem nilai Kalau pada tahap pengorganisasian di atas sistem nilai sudah dapat disusun, maka susunan itu belum konsisten di dalam diri yang bersangkutan. Artinya mudah berubah-ubah sesuai situasi yang dihadapi. Kawasan yang terakhir adalah kawasan psikomotorik yaitu kawasan yang berkaitan dengan aspek-aspek keterampilan yang melibatkan fungsi sistem syaraf dan otot (neuronmuscular system) dan fungsi psikis. Kawasan ini terdiri dari: (a) kesiapan (set) yaitu berhubungan dengan kesediaan untuk melatih diri tentang keterampilan tertentu yang dinyatakan dengan usaha untuk melaporkan kehadirannya, mempersiapkan alat, menyesuaikan diri dengan situasi, menjawab pertanyaan, (b) peniruan (imitation) adalah kemampuan untuk melakukan sesuai dengan contoh yang diamatinya walaupun belum mengerti hakikat atau makna dari keterampilan itu. Seperti anak yang baru belajar bahasa meniru katakata orang tanpa mengerti artinya, (c) membiasakan (habitual) yaitu seseorang dapat melakukan suatu keterampilan tanpa harus melihat contoh, sekalipun ia belum dapat mengubah polanya, (d) menyesuaikan (adaptation) yaitu seseorang sudah mampu melakukan modifikasi untuk disesuaikan dengan kebutuhan atau situasi tempat keterampilan itu dilaksanakan dan (e) menciptakan (origination) di mana seseorang sudah mampu menciptakan sendiri suatu karya. Perilaku Etis dan Perilaku Tidak Etis Perilaku etis merupakan suatu tindakan yang dipercayai bahwa tindakan tersebut tepat dilakukan dalam situasi tertentu. Tindakan yang dilakukan ini tidak melanggar atau sesuai dengan aturan-aturan norma yang ada di dalam masyarakat. Misalnya perilaku etis dala etika pergaulan baik akademik maupun kehidupan sehari-hari biasanya ditandai dengan sikap jujur, bersikap positif, bertatakrama, dan taat hukum. Sikap jujur seperti tidak melakukan plagiat, berani mengakui kesalahan, mampu menyampaikan pendapat sesuai dengan fakta yang ada dan sebagainya. Bersikap positif misalnya bersikap adil dan obyektif, dapat bekerja sama dengan semua orang tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan dan sebainya. Sikap
Robiatul Auliyah, Sociological Perspective on Auditing: Postmodernisme Perspective
bertatakrama biasanya ditandai dengan bertutur kata
santun, berpakaian secara sopan, serta menghormati tradisi serta norma masyarakat setempat. Sikap taat hukum ditandai dengan sikap dan perilaku yang sesuai dengan peraturan yang ada seperti tidak mengkonsumsi narkotika, tidak memiliki barang illegal, tidak melakukan perusakan terhadap lingkungan dan sebagainya. Perilaku tidak etis merupakan suatu tindakan dimana tindakan tersebut berbeda dengan tindakan yang dipercayai bahwa tindakan tersebut merupakan tindakan yang tepat dilakukan dalam situasi tertentu. Hal-hal yang mempengaruhi seseorang berperilaku tidak etis biasanya dikarenakan karena standar etika seseorang berbeda dengan standar etika yang berlaku dimasyarakat, seseorang lebih memilih untuk bertindak egois. Rasionalisasi dari perilaku tidak etis, setiap orang melakukannya, jika merupakan hal yang sah menurut hukum maka hal itu etis, kemungkinan penemuan dan konsekuensinya. Mengapa Orang Bertindak Tidak Beretika! Sebagian orang mendefenisikan perilaku tidak beretika sebagai perilaku yang berbeda dari sesuatu yang seharusnya dilakukan. Masing-masing orang menentukan apa yang dianggap tidak beretika, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Terdapat dua alasan utama mengapa orang bertindak tidak beretika (Tang et al, 2002) yaitu: 1) Standart etika seorang berbeda dari masyarakat umum; artinya apa yang dilakukan menurut dia itu tidak bersalah tetapi menurut orang lain itu salah. 2) Seorang memilih bertindak semaunya; contoh orang yang menemukan dompet yang didalamnya terdapat beberapa barang berharga termasuk uang. Perilaku dari setiap orang yang menemukannya mungkin akan berbeda antara, ada yang memilih untuk mengambil uangnya saja, ada yang mau mengembalikan kepada pemiliknya dan masih banyak lagi perilaku yang akan dilakukan. Dari pernyataan tersebut diatas bermaksud mengatakan bahwa sebenarnya perilaku seseorang dalam memahami standart etika yang disepakati akan sangat berbeda tergantung dari pribadi (Ward, SP., DR. Ward & AB. Deck. 1993). Faktorfaktor individual tersebut meliputi variabel-variabel pembawaan sejak lahir (gender, umur, kebangsaan dan sebagainya), sedangkan faktor lainnya adalah faktor organisasi, lingkungan kerja, profesi dan sebagainya. Dan tiga bentuk watak moral yang tidak dikehendaki, atau jahat, yakni: kemaksiatan, ketidakmampuan
93
dalam menahan diri dan kebrutalan. Kemaksiatan
adalah perilaku yang ekstrem yang di antaranya terdapat perilaku yang baik (lihat bagian sebelumnya, Keseimbangan Emas). Kebrutalan seringkali digunakan sebagai istilah untuk menegur (kamu brutal!), tetapi pada kenyataannya perilaku seperti binatang yang berdasarkan instink dan yang tidak dikehendaki ini (demikian menurut Aristoteles) agak jarang ditemukan dalam diri manusia. Tidak semua jenis kebrutalan atau kekasaran itu jelek. Misalnya, menggigit kuku adalah suatu perilaku yang kasar, yang mungkin tidak indah, tetapi tidak mempengaruhi moral pelakunya. Namun, berperilaku sempurna berarti mengatasi sifat-sifat kebinatangan kita yang brutal, seperti yang dilakukan oleh para pahlawan dan para dewa. Ketidakmampuan menahan diri adalah perilaku yang buruk yang didorong oleh nafsu akan kesenangan yang dapat segera dicapai, sementara menahan diri (yang dianggap lebih baik) berarti secara rasional memperhitungkan tindakan dan dengan demikian menahan di dari melakukan hal-hal yang buruk. Cepat naik darah adalah suatu bentuk ketidakmampuan untuk menahan diri. Aristoteles mencatat bahwa Sokrates menyatakan bahwa ketidakmampuan menahan diri itu tidak ada, tetapi hal ini tampaknya untuk melawan pendapat umum. Sementara orang seringkali menyadari bahwa tindakan-tindakan yang tidak menahan diri itu buruk, mereka tetap takluk kepada kelemahan ini mengejar kesenangan yang mudah dicapai ini. Ketidakmampuan menahan diri dapat dibedakan dengan kemaksiatan yang berlebih-lebihan; dalam hal ini seseorang tidak melihat alasan untuk menghindari kegiatan yang menyenangkan yang berlebih-lebihan. Aristoteles mengklaim bahwa ketidakmampuan menahan diri itu lebih baik daripada hal yang berlebihlebihan karena sifatnya yang sementara dan alamiah daripada sesuatu yang direncanakan terlebih dahulu. Ia merasa bahwa walaupun hal yang berlebih-lebihan itu kronis dan tidak dapat dihilangkan, ketidakmampuan menahan diri itu adalah suatu perilaku yang kambuhan dan dapat disembuhkan. Konflik Audit dan Dilema Etika Dalam suatu perusahaan ada banyak pihak yang berkepentingan antara lain investor yang menanamkan dananya dalam perusahaan atau kreditur yang yang meminjamkan dananya, sehingga pihak-pihak yang berkepentingan terhadap laporan keuangan perusahaan tidak terbatas kepada manajemen saja, tetapi meluas
94
Pamator, Volume 4, Nomor 1, April 2011
kepada investor dan kreditur serta calon investor dan
calon kreditur. Pihak pihak tersebut memerlukan informasi mengenai perusahaan, sehingga seringkali ada dua pihak yang berlawanan dalam situasi ini. Di satu pihak manajemen perusahaan ingin menyampaikan informasi mengenai pertanggungjawaban pengelolaan dana yang berasal dari pihak luar, dilain pihak-pihak eksternal ingin memperoleh informasi yang andal dari manajemen perusahaan. Dalam situasi seperti ini profesi akuntan muncul untuk memberi informasi yang terpercaya bagi kedua belah pihak. Konflik dalam sebuah audit akan berkembang pada saat auditor mengungkapkan informasi, tetapi informasi tersebut oleh klien atau manajemen tidak ingin dipublikasikan kepada umum. Konflik ini akan menjadi sebuah dilema etika ketika auditor diharuskan membuat keputusan yang menyangkut independensi dan integritasnya dengan imbalan ekonomis yang mungkin terjadi disisi lainnya. Karena auditor seharusnya secara sosial juga bertanggungjawab kepada masyarakat dan profesi daripada kepentingan pribadi dan ekonomis semata sehingga auditor seringkali dihadapkan pada masalah dilema etika (Fachruddin, 2004). Internal auditor mendapatkan penghasilan dari organisasi di mana dia bekerja; hal ini berarti internal auditor sangat bergantung pada organisasinya sebagai pemberi kerja. Bersamaan dengan itu dia juga dituntut untuk tetap independent sebagai bentuk tanggung jawab kepada publik dan kepada profesinya. Disini konflik audit muncul ketika auditor internal melakukan pekerjaan auditing internal. Internal auditor sebagai pekerja dalam organisasi yang diauditnya akan menemukan masalah ketika akan atau harus melaporkan temuan-temuan yang mungkin tidak menguntungkan dalam penilaian kinerja manajemen atau objek audit yang dilakukannya. Ketika manajemen menawarkan sebuah imbalan ataupun tekanan kepada internal auditor maka hal ini menjadi sebuah dilema etika. Dilema Etika Dilema etika merupakan suatu keadaan dimana seseorang harus membuat keputusan tentang perilaku seperti apa yang tepat akan dilakukannya. Menurut Arens dan Loebbecke (1995: 74) yang dimaksud dengan dilema etika adalah situasi yang dihadapi seseorang dimana keputusan mengenai perilaku yang pantas harus dibuat. Ada beberapa alternatif pemecahan dilema etika, tetapi harus berhati-hati untuk menghindari cara yang merupakan rasionalisasi perilaku
tidak beretika. Berikut ini merupakan enam langkah
pendekatan sederhana untuk memecahkan dilemma etika: Pertama dengan memperoleh fakta-fakta yang relevan. Kedua, mengidentifikasi issue-issue etika dari fakta-fakta yang ada. Ketiga, menentukan siapa dan bagaimana orang atau kelompok yang dipengaruhi oleh dilema. Keempat, mengidentifikasi alternatif yang tersedia bagi orang yang harus memecahkan dilema. Kelima, mengidentifikasi konsekuensi yang mungkin timbul dari setiap alternatif. Keenam, adalah dengan memutuskan tindakan yang tepat untuk dilakukan. Pengambilan Keputusan Etis: Menuju Jalan yang Benar Menurut Zainuddin (2003), mengatakan bahwa keputusan etis adalah sebuah keputusan yang baik secara legal maupun moral dapat diterima oleh masyarakat luas. Beberapa review tentang penelitian etika mengungkapkan beberapa penelitian empirik tentang pengambilan keputusan etis, menyatakan bahwa salah satu salah satu determinan penting dalam pengambilan keputusan etis adalah faktor-faktor yang secara unik berhubungan dengan individu pembuat keputusan dan variabel-variabel yang merupakan hasil dari proses sosialisasi dan pengembangan masingmasing individu. Faktor-faktor individu tersebut tersebut meliputi yang mrupakan ciri pembawaan sejak lahir seperti: gender, umur, kebangsaan dan sebagainya. Sedangkan faktor lainnya adalah faktor organisasi lingkungan organisasi, lingkungan kerja profesi dan sebagainya. Pengambilan keputusan etis telah banyak dilakukan dengan berbagai pendekatan yang dilakukan dari psikologi sosial ekonomi dan moral. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan adalah Marshall, Gordon. (1998) menyatakan bahwa model pengambilan keputusan etis terdiri dari empat tahapan, yaitu: pertama pemahaman tentang adanya isu moral dalam sebuah dilema etika. Dalam tahapan ini menggambarkan bagaimana tanggapan seseorang terhadap isu moral dalam sebuah dilema etika. Kedua, adalah pengambilan keputusan etis; yaitu bagaimana orang membuat keputusan etis. Ketiga, moral intention yaitu bagaimana seorang bertujuan/bermaksud untuk berkelakuan etis atau tidak etis. Keempat, adalah moral behavior, yaitu bagaimana seorang bertindak atau berprilaku etis atau tidak etis. Marshall, Gordon. 1(998) menyatakan ada tiga unsur utama didalam pengambilan keputusan etis yaitu, moral issue yaitu menyatakan seberapa jauh
Robiatul Auliyah, Sociological Perspective on Auditing: Postmodernisme Perspective
ketika seorang melakukan tindakan itu, maka akan
mengakibatkan kerugian (harm) atau keuntungan (benefit) bagi orang lain. Kedua adalah moral agent, yaitu seorang yang membuat keputusan moral (moral decision). Ketiga adalah keputusan etis (ethical decision) itu sendiri yaitu keputusan yang secara legal dan moral dapat diterima oleh masyarakat luas. Begley, P and Jacquile P. (2007) menyusun sebuah model pengambilan keputusan etis dengan menyatakan bahwa keputusan etis adalah dengan menyatakan bahwa keputusan etis adalah sebuah interaksi antara faktor individu dengan faktor situasional. Dia menyatakan bahwa pengambilan keputusan etis seseorang akan sangat tergantung kepada faktor-faktor individu yang terdiri dari pengalaman kerja auditor, komitmen profesional, dan orientasi etika auditor; dan faktor situasional adalah nilai etika organisasi. Pengalaman kerja auditor Pengalaman kerja telah dipandang sebagai suatu faktor penting dalam memprediksi kinerja auditor. Pengalaman auditor akan semakin berkembang dengan bertambahnya pengalaman audit, diskusi mengenai audit dengan rekan sejawat, pengawasan dan review oleh rekan senior, mengikuti program pelatihan dan penggunaan standar auditing. Komitmen Profesional Komitmen profesional diartikan sebagai intentitas identifikasi dan keterlibatan individu denga profesinya. Identifikasi ini membutuhkan beberapa tingkat kesepakatan antara individu dengan tujuan dan nilainilai yang ada dalam profesi termasuk nilai moral dan etika. Jeffrey dan Weatherholt dalam Budisusetyo (2005) menguji hubungan antara komitmen profesional, pemahaman etika dan sikap ketaatan terhadap aturan, dengan hasil menunjukan akuntan dengan komitmen profesional yang kuat perilakunya lebih mengarah kepada ketaatan terhadap aturan dibandingkan dengan akuntan dengan komitmen profesional rendah. Orientasi Etika: Orientasi etika berarti mengenai konsep diri dan perilaku pribadi yang berhubungan dengan individu dalam diri seseorang. Orientasi etika dapat dioperasionalisasikan sebagi kemampuan individu untuk mengevaluasi dan mempertimbangkan nilai etika dalam suatu kejadian. Orientasi etika menunjukkan pandangan yang diadopsi oleh masing-masing individu
95
ketika menghadapi situasi/masalah yang membutuhkan
pemecahan dan penyelesaian etika atau dilema etika. Nilai Etika Organisasi Nilai etika organisasi dapat digunakan untuk menetapkan dan sebagai patokan dalam menggambarkan apa-apa yang dikerjakan apakah merupakan hal yang baik atau etis dan hal tidak baik atau tidak etis dalam organisasi. Hunt, et al. dalam Budisusetyo (2005) menyatakan nilai etika organisasi adalah sebuah derajat pemahaman organisasi tentang bagaimana organisasi bersikap dan bertindak dalam menghadapi isu-isu etika. Nilai-Nilai Moral Etika merupakan suatu prinsip moral dan perbuatan yang menjadi landasan bertindak seseorang, sehingga apa yang dilakukannya dapat dipandang oleh masyarakat sebagai perbuatan yang terpuji dan dapat meningkatkan martabat dan kehormatan seseorang. Penjelasan ini menunjukkan bahwa etika merupakan penjabaran dari nilai atau prinsip dasar moral. Ketika orang hendak dalam suatu dilema maka prinsip moral harus menjadi dasar dalam pengambilan keputusannya. Keimanan (religius) Inti dari ajaran agama adalah mengajarkan tentang kebaikan, kejujuran, keadilan dan sebagainya yang harus dimiliki oleh setiap umatnya dalam hubungan dengan Tuhan dan sesama serta seluruh makluk ciptaan-Nya. Perbuatan baik akan mendapat pahala diakhirat; sedangkan ketika berbuat dosa maka kita akan mendapat sangsi diakhirat. Ini adalah suatu keyakinan/keimanan yang dimiliki oleh setiap umat beragama termasuk seorang auditor internal. Pada
saat di mana kita dihadapkan dalam situasi dilema
maka keputusan yang diambil pasti benar; apabila kita bersandar pada Allah. Karena itu maka nilai-nilai yang diajarkan oleh agama menjadi sumber dari setiap umatnya, dalam seluruh perkataan dan perbuatan. Penutup Paradigma posmodernisme menyatukan teori (praktek) yang dianggap dualistik atau dikhotomis dalam dunia modern dalam jaringan yang sinergis. Karateristik posmo tidak hanya untuk mengubah sikap ilmiah, melainkan juga dimaksudkan agar substansi telaahnya dikenal baik dan selanjutnya diolah dengan
96
Pamator, Volume 4, Nomor 1, April 2011
lebih baik. Posmo mengembangkan kemampuan
kreatif membuat makna-makna baru, menggunakan unstandard logic (Loytard dalam Muhadjir, 2000). Beberapa hal yang perlu dipertmbangkan oleh seorang internal auditor adalah faktor individual (pengalaman, komitmen profesional, orientasi etika, moral dan keimanan) dan faktor situasional (nilai etika organisasi). Apabila kedua faktor tersebut di atas dipadukan dan diimplementasikan dengan baik dan benar dalam pekerjaan internal auditor maka akan menghasikan keputusan yang etis menuju jalan yang benar. Daftar Pustaka Begley, P and Jacquile P. (2007) Integrating value and Ethics Into Post Secondary Teaching For Leadership Development: Principles, Concepts, and Strategy. Journal of Education Administration, Vol. 45, No. 4: 398412. Fachruddin, Rudy. (2004) Pengaruh Orientasi Profesional Penggunaan Anggaran Sebagai Alat Evaluasi Kinerja dan Partisipasi Penganggaran terhadap Timbulnya Konflik Peran. Simposium Nasional Akuntansi VII Denpasar Bali. Gutirezz and Green, C. (2004) Re-examining Racebased Admissions Proceses of American Institutions of Higher Education Using MultiDimensional Ethical Perspectives. Journal of Educational Administration. Vol. 42. No. 2: 236248, 2004.
Muhajir, Neong. (2000) Metodologi Penelitian
Kualitatif. Edisi Empat. Yogyakarta, Rake Sarasin. Maliki, Zainuddin. (2003) Narasi Agung: Tiga Teori Sosial Hegemonik. Surabaya: Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat (LPAM). Ludigdo, U. (2007) Paradoks Etika Akuntan. Cetatakan Pertama. Penerbit Pustaka Pelajar. Satria, Riri. (2008) Personal Blog: Etika Dalam Berbisnis, (Online), File://localhost/G:/teorietika-bisnis.htm, Diakses 20 Mei 2010 Sudrajat, Akhmad. (2008) Taksonomi Perilaku Individu, (Online), File://localhost/G:/perilakuindividu. Diakses 30 Januari 2008 Sugiyono. (2005) Memahami Pendekatan Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Tang et al. (2002) Endorsement of The Money Ethic, Income, and Life Satisfaction: A Comparison of Full-Time Employees, Part-Time Employees, and non-employeed University Students. Journal of Managerial Psychology Vol. 17. no. 6: 442467. Triyuwono, I. (2002) Strategi Pendidikan Etika Bisnis dan Prefesi Pada Pendidikan Akuntansi. TEMA. Vol. 2. Ward, S.P., D.R. Ward & A.B. Deck. (1993) Certified Public Accountants: Ethical Perception Skills and Attitudes on Ethics Education. Journal of Businwess Ethics 12: 601610.