PENDAHULUAN
Hampir setiap tindakan medik menyimpan potensi risiko. Hal ini paling tidak telah dibuktikan
dari laporan the IOM (Institute of Medicine) yang menyebutkan bahwa setiap tahun sekitar 48.000
hingga 100.000 pasien meninggal dunia di Amerika Serikat akibat medical error yang terjadi di pusatpusat pelayanan kesehatan.
Studi paling ekstensif mengenai adverse event telah dilakukan oleh the Harvard Medical
Practice yang melibatkan lebih dari 30.000 pasien yang dipilih secara acak dari 51 rumah sakit di New
York pada tahun 1984. Adverse events yang manifestasinya antara lain berupa perpanjangan masa
rawat inap atau timbulnya kecacatan pasien saat meninggalkan rumah sakit pasca perawatan, terjadi
pada 3,7% pasien rawat inap. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa lebih dari 58% adverse event
tersebut sebetulnya dapat dicegah (preventable adverse events), sedangkan 27,6% terjadi akibat
kelalaian klinik (clinical negligence) (Brennan et al, 1991).
Temuan tersebut kemudian juga dikuatkan oleh studi di Utah dan Colorado pada tahun 1992
yang melaporkan bahwa adverse event terjadi pada 2,9% pasien rawat inap. Studi ini membukukan
angka kelalaian klinik yang lebih besar (29,2%) dengan adverse event yang dapat dicegah mendekati
53% (Thomas et al, 1999). Robert and Robert (1988) melakukan telaah terhadap pasien rawat inap
dengan infark myokard atau komplikasi pasca operasi. Di antara 182 kematian yang dialami oleh
penderita pneumonia, infark myokard, dan gangguan serebrovaskular, sekitar 27%nya sebetulnya
dapat dicegah (Dubois, 1988).
Dalam kenyataannya masalah medical error dalam sistem pelayanan kesehatan mencerminkan
fenomena gunung es, karena yang terdeteksi umumnya adalah adverse event yang ditemukan secara
kebetulan saja. Sebagian besar yang lain cenderung tidak dilaporkan, tidak dicatat, atau justru luput
dari perhatian kita semua. Classen et al. (1997) misalnya hanya berhasil mengidentifikasi 731
medication error pada 648 pasien di antara 36.653 pasien yang menjalani rawat inap. Dari angka
tersebut ternyata hanya sebagian kecil saja yang dilaporkan oleh dokter, perawat, maupun farmasis,
sedangkan sebagian besar kasus dapat terdeteksi melalui automated signals yang dikembangkan
oleh rumah sakit.
tentang
Rumah
Sakit
dan
ketentuan
pasal
Permenkes
1691/Menkes/
Per/VIII/2011 ttg Keselamatan Pasien Rumah Sakit, Menteri Kesehatan membentuk Komite
Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS), dengan SK Menteri Kesehatan RI No 251 tahun 2012.
KARS bekerjasama dengan Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit PERSI pertama kali
memasukkan Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit kedalam Standar Akreditasi Rumah Sakit
versi 2007. Dua standar dengan 3 parameter Keselamatan Pasien Rumah Sakit masuk kedalam
Standar Pelayanan Medis pada standar 3 parameter 4 dan 5 (S3.P4 dan S3.P5) dan standar 7
parameter 4 (S7.P4). Sedangkan 5 standar dengan 6 parameter masuk kedalam Standar Administrasi
dan Manajemen yaitu pada standar 2, 5, 6 dan 7 (S2.P4, S5.P4, S5P5, S6.P2, S7.P3, S7.P4).
Standar akreditasi rumah sakit dengan masuknya standar KPRS diberlakukan 1 Januari 2008. Pada
Standar Akreditasi Rumah Sakit versi 2012 elemen-elemen keselamatan pasien rumah sakit tercakup
dalam standar akreditasi sebagai berikut : Sasaran Keselamatan Pasien Rumah Sakit, Kelompok
StandarPelayanan Berfokus pada Pasien dan dalam Kelompok Standar Manajemen Rumah Sakit.
Sejak awal tahun 1900 Institusi rumah sakit selalu meningkatkan mutu pada 3 (tiga) elemen
yaitu struktur, proses dan outcome dengan bermacam-macam konsep dasar dan regulasi, misalnya
antara lain penerapan Standar Pelayanan Rumah Sakit, Quality Assurance, Total Quality
Management, Countinuous Quality Improvement, Perizinan, Akreditasi, Kredensialing, Audit Medis,
Indikator Klinis, Clinical Governance, ISO, dan lain sebagainya. Harus diakui program-program
tersebut telah meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit baik pada aspek struktur, proses maupun
output dan outcome. Namun harus diakui, pada pelayanan yang telah berkualitas tersebut masih
terjadi kesalahan dalam asuhan pasien yaitu insiden keselamatan pasien (IKP) antara lain kejadian
tidak diharapkan (KTD), yang tidak jarang berakhir dengan tuntutan hukum. Oleh sebab itu perlu
program untuk lebih memperbaiki proses pelayanan, karena KTD dalam proses pelayanan sebetulnya
dapat dicegah melalui rencana pelayanan yang komprehensif dengan melibatkan pasien berdasarkan
hak-nya. Program tersebut yang kemudian dikenal dengan istilah keselamatan pasien (patient safety).
WHO menjelaskan secara singkat tentang apa itu keselamatan pasien sebagai berikut:
Patient safety is the absence of preventable harm to a patient during the process of health
care. The discipline of patient safety is the coordinated efforts to prevent harm, caused by the
process of health care itself, from occurring to patients. Over the past ten years, patient safety
has been increasingly recognized as an issue of global importance, but much work remains to
be done.
Dari penjelasan tersebut perlu digaris bawahi bahwa intinya keselamatan pasien terkait dengan
asuhan pasien, insiden yang dapat dicegah atau yang seharusnya tidak terjadi, dan sudah
dikategorikan sebagai suatu disiplin.
Belajar dari dunia penerbangan, yang telah mengalami kemajuan pesat dalam bidang
teknologinya, ternyata faktor human error cukup tinggi kontribusinya. Selain kemampuan teknikal,
ternyata 70-80% penyebab kejadian yang tak diinginkan adalah kegagalan pada kemampuan non
teknikal / behavioral skills dari para kru. Karena itu sejak 30 tahun yang lalu mereka telah
mengembangkan kemampuan Crew Resource Management. Menerapkan konsep tersebut, maka
dalam pelayanan kesehatan, perlu diperhatikan selain kemampuan teknikal yaitu kemampuan medis
(diagnosis dan terapi) dan ketrampilan klinis, serta juga kemampuan non teknikal / behavioral skills
(a.l. dalam hal mental, kognitif, sosial dan interpersonal) terdiri dari leadership, kemampuan
komunikasi dan kerjasama, serta situation awareness atau kesadaran situasi. Amerika dan Eropa
yang dalam 10 tahun belakangan ini telah menerapkan kemampuan ini dalam pelayanan kesehatan,
juga menemukan bahwa 70-80% IKP disebabkan oleh kurangnya kemampuan non teknikal tersebut.
Dengan meningkatnya keselamatan pasien rumah sakit diharapkan kepercayaan masyarakat
terhadap pelayanan rumah sakit dapat meningkat. Selain itu keselamatan pasien juga dapat
mengurangi IKP, yang selain berdampak terhadap peningkatan biaya pelayanan juga dapat
membawa rumah sakit ke arena blaming, menimbulkan konflik antara dokter/petugas kesehatan dan
pasien, menimbulkan sengketa medis, tuntutan dan proses hukum, tuduhan malpraktek, blow-up ke
mass media yang akhirnya menimbulkan opini negatif terhadap pelayanan rumah sakit, selain itu
rumah sakit dan dokter bersusah payah melindungi dirinya dengan asuransi, pengacara dsb. Tetapi
pada akhirnya tidak ada pihak yang menang, bahkan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap
pelayanan rumah sakit.
Tujuan dilakukannya kegiatan Patient Safety di rumah sakit adalah untuk menciptakan
budaya keselamatan pasien di rumah sakit, meningkatkan akuntabilitas rumah sakit, menurunkan
KTD di rumah sakit, terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan
kejadian tidak diharapkan.
STANDAR KESELAMATAN PASIEN
Mengingat masalah keselamatan pasien merupakan masalah yang penting dalam sebuah
rumah sakit, maka diperlukan standar keselamatan pasien rumah sakit yang dapat digunakan sebagai
acuan bagi rumah sakit di Indonesia. Standar keselamatan pasien rumah sakit yang saat ini
digunakan mengacu pada Hospital Patient Safety Standards yang dikeluarkan oleh Join Commision
on Accreditation of Health Organization di Illinois pada tahun 2002 yang kemudian disesuaikan
dengan situasi dan kondisi di Indonesia. Penilaian keselamatan yang dipakai Indonesia saat ini
dilakukan dengan menggunakan instrumen Akreditasi Rumah Sakit yang dikeluarkan oleh KARS.
Departemen Kesehatan RI telah menerbitkan Pedoman Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit
(Patient Safety) edisi ketiga pada tahun 2015 yang terdiri dari dari 7 standar, yakni:
1. Hak pasien
2. Mendididik pasien dan keluarga
3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
4. Penggunaan metoda metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program
peningkatan keselamatan pasien
5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien
LANGKAH MENUJU KESELAMATAN PASIEN RS
Untuk mencapai ke tujuh standar di atas Panduan Nasional tersebut menganjurkan Tujuh Langkah
Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit yang terdiri dari:
1. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien
2. Pimpin dan dukung staf
3. Integrasikan aktivitas pengelolaan risiko
4. Kembangkan sistem pelaporan
5. Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien
7. Cegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien
SASARAN KESELAMATAN PASIEN
Dalam pedoman nasional tersebut juga dijelaskan tentang sasaran keselamatan pasien, yang terdiri
dari :
1. Ketepatan identifikasi pasien
Keselamatan Pasien. Beberapa program kerja dari Tim KPRS pun masuk ke dalam program kerja
Komite.
Sesuai dengan Sasaran Keselamatan Pasien, maka RS telah melakukan beberapa langkah
penerapan sesuai dengan panduan nasional KPRS.
1. Ketepatan Identifikasi Pasien
Rumah Sakit membuat Pedoman/ Panduan Identifikasi Pasien yang dijadikan acuan
seluruh unit.
Rumah Sakit merancang SPO Identifikasi Pasien melalui pemasangan gelang identitas
(min. 2 identitas, kapan dipasang? Dimana dipasang?)
Rumah sakit mengembangkan SPO pemasangan dan pelepasan tanda identitas risiko
bagi pasien yang datang ke rumah sakit.
Rumah sakit merancang SPO tentang Pemasangan dan pelepasan gelang identitas
Rumah sakit membuat Daftar Singkatan resmi yang digunakan oleh seluruh unit.
Rumah sakit membuat Pedoman/ Panduan Pengelolaan Obat (high alert & norum) yang
akan dijadikan acuan bagi seluruh unit/
Rumah sakit merancang SPO Identifikasi, Pelabelan dan Penyimpanan obat High Alert
Rumah sakit merancang SPO Penyiapan dan Penyerahan obat Hight Alert
5.
Rumah sakit merancang SPO tentang Surgical Patient Safety Check List
6.
70
60
62
Jml Laporan
50
40
30
33
30
20
20
15
10
14
0
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Tahun
Berdasarkan jenis kejadian/insiden KTD merupakan insiden yang paling banyak dilaporkan.
Hal ini dikarenakan insiden ini merupakan isu yang harus segera ditindaklanjuti karena terlihat secara
visual dan time dimensional. Hal yang sama juga terlihat pada kejadian sentinel. Sedangkan jenis
kejadian yang lain akan cenderung under managed padahal juga potensial untuk menyebabkan
insiden. Distribusi jenis insiden dapat dilihat pada Gambar 3.
Pelaksanaan pencatatan dan pelaporan (dari tingkat unit kerja, penyampaian laporan
internal, eksternal ke IKPRS, evaluasi untuk peningkatan pelayanan RS)
PENUTUP
Dengan semakin meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap pelayanan dirumah sakit maka
pelaksanaan kegiatan keselamatan pasien rumah sakit sangatlah penting. Melalui kegiatan ini
diharapkan terjadi penekanan / penurunan insiden sehingga dapat lebih meningkatkan kepercayaan
masyarakat terhadap rumah sakit di Indonesia. Program Keselamatan Pasien merupakan never
ending proses, karena itu diperlukan budaya termasuk motivasi yang tinggi untuk bersedia
melaksanakan program keselamatan pasien secara berkesinambungan dan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Andrews LB, Stocking C, Krizek T, Gottlieb L, Krizek C, Vargish T, et al. 1997. An alternative strategy
for studying adverse events in medical care. Lancet; 349: 309.13.
2. Bates DW, Cullen DJ, Laird N, Petersen LA, Small SD, Servi D, 1995. Incidence of adverse drug
events and potential adverse drug events. JAMA; 274: 29. 34.
3. Bhasale AL, Miller GC, Reid SE, Britt HC. 1998. Analysing potential harm in Australian general
practice: an incident. monitoring study. Med J Aust;169:73-6.
4. Brennan TA, Leape LL, Laird L, et al. 1991. Incidence of adverse events and negligence in
hospitalized patients: results of the Harvard Medical Practice Study I. N Engl J Med; 324 : 370. 6.
5. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2004. Guidelines for Preventing Health-Care
Associated Pneumonia, 2003. Atlanta: Centers for Disease Control and Prevention.
6. Chassin MR. 1991. Quality of care: Time to act. JAMA 266, 3472-3473
7. Classen, David C.; Pestonik, Stanley, L.; Evans, Scott; Burke, John P., 1997 Computerized
Surveillance of Adverse Drug Events in Hospital Patients. JAMA. 266(20):28472851.
8. Donabedian A 1980. Explorations in Quality Assessment and Monitoring Vol. 1 Ann Arbor, Mich.:
Health administration Press.
9. Dubois, Robert W. and Brook, Robert H. 1988 Preventable Deaths: Who, How Often, and Why? Ann
Intern Med. 109:582589.
10. Herkutanto, Lumenta, NA, Sutoto, Wahid, U., Yahya, A., Trisnantoro, L., et al. 2015. Pedoman
Nasional Keselamatan Pasien RS Edisi III. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
11. Institute of Medicine (IOM). 2001. Crossing the quality chasm. Washington, DC: National Academy
Press.
10
12. Kable AK, Gibberd RW and Spigelman AD. 2002. Adverse events in surgical patients in Australia.
International J. for Quality in Health Care 14, 269-276.
13. Kohn LT, Corrian JM, and Donaldson MS (Eds). 2000. To err is human: building a safer health system.
National Academy of Sciences.
14. McGuire, Hunter H.; Horsley, J. Shelton; Salter, David R. 1992. Measuring and Managing Quality of
Surgery: Statistical vs Incidental Approaches. Arch Surg. 127:733737.
15. Mermel LA. 2000. Prevention of intravascular catheter-related infections. Annals of Internal Medicine
132:391-402; Correction at 133:395.
16. OGrady NP et al. 2002. Guidelines for the prevention of intravascular catheter-related infections.
MMWR 51(RR-10
17. Thomas, Eric J.; Studdert, David M.; Newhouse, Joseph P. 1999. Costs of Medical Injuries in Utah
and Colorado. Inquiry. 36:255264.
18. Wilson R. McL., Runciman W.B., Gibberd R.W., Harrison B.T., Newby L., and Hamilton J.D. The
Quality in Australian Health Care Study. 1995. The Medical Journal of Australia 163(9), 458-471.
11