Anda di halaman 1dari 26

Tinjauan Pustaka

IKTERUS NEONATORUM

Oleh :
A.A Ayu Indah Cynthia Dewi
1070121057
Pembimbing :
dr. Putu Triyasa, Sp.A
KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD SANJIWANI GIANYAR / PROGRAM STUDI KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS WARMADEWA
2015

KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat-Nya maka tinjauan pustaka yang berjudul Ikterus Neonatorum ini dapat
terselesaikan.
Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada pihakpihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini. Tinjauan pustaka ini
disusun sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Sanjiwani, Gianyar.
Ucapan terima kasih kami tujukan kepada :
1. dr. Putu Triyasa, SpA sebagai pembimbing tugas ini,
1

2. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan satu-persatu,
Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna oleh karena
itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi
penyusunan selanjutnya dan semoga bermanfaat bagi pembaca.

Denpasar, September 2015


Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...............................................................................
DAFTAR ISI..............................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN.........................................................................
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA................................................................

2
3
4
6

2.1. Definis hiperbilirubinemia ............................................................

2.2. Metabolisme Bilirubin........................................................................


2.3. Faktor Risiko......................................................................................
2.4. Klasifikasi ikterus ..............................................................................
2.5. Manifestasi klinis ...
2.6. Diagnosis ...........................................................................................
2.7. Penatalaksanaan .................................................................................
2.8. Komplikasi .........................................................................................

6
8
9
13
13
16
22
2

BAB 3 KESIMPULAN ............................................................................

25

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia, pada tahun 1997 tercatat sebanyak 41,4
per 1000 kelahiran hidup. Dimana indicator pembangunan kesehatan suatu negara
adalah angka kematian ibu dan bayi atau anak. Kematian bayi baru lahir (Neonatus)
merupakan penyumbang kematian terbesar pada tingginya angka kematian bayi.
Angka kematian neonatal (0-28 hari) adalah 19/1000 kelahiran hidup. Penyebab
kematian utama kematian neonatal pada minggu pertama menurut Riskesdas tahun
2007 adalah gangguan pernapasan (35,9%), prematuritas dan berat badan lahir rendah
(BBLR) 32,4%, sepsis (12%), hipotermi (6,3%), kelainan darah/hiperbilirubinemia
3

(5,6%), post matur (2,8%) dan kelainan kongenital.Kelainan darah/hiperbilirubinemia


memiliki persentase yang kecil (5,6%) sebagai penyebab kematian neonatal, namun
mempunyai komplikasi yang dapat menyebabkan kecacatan.1
Ikterus selama usia minggu pertama terdapat pada sekitar 60% bayi cukup bulan
dan 80% bayi preterm. Di amerika serikat, dari 4 juta bayi yang lahir setiap
tahunnya , sekitar 65% mengalami icterus. Catania, italia mendapatkan insiden
hiperbilirubinemia 19% dari bulan Januari 2006 sampai januari 2007. Insiden
hiperbilirubinemia neonatus pada bayi cukup bulan di beberapa RS pendidikan
anatara lain RSCM, RS Dr. Soetomo, RS dr kariadi bervariasi dari 13,7% hingga
85%. Tahun 2003 didapatkan data hiperbilirubinemia dari beberapa rumah sakit
pendidikan seperti rumah sakit cipto mangunkusumo (RSCM), rs dr sardjito, RS
kariadi, rs dr soetomo. Penelitian di RSCM menemukan 58% kadar bilirubin >5
mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin >12 mg/dL. Di RS Dr sardjito, 82% bayi
cukup bulan dan 95% bayi kurang bulan mengalami hiperbilirubinemia fisiologis. Di
RS dr kariadi semarang pada tahun 2003, 10,7% bayi menderita hiperbilirubinemia.
Sedangkan di rsu dr soetomo Surabaya kejadian hiperbilirubinemia sekitar 30%
(tahun 2000), 13% (tahun 2002), dan 15,66% (tahun 2003).1,2

Hiperbilirubinemia adalah kadar bilirubin serum total >5mg/dL yang ditandai


oleh pewarnaan icterus pada kulit dan sclera akibat akumulasi bilirubin tak
terkonjugasi yang berlebihan yang sering disebut icterus neonatorum. Icterus terjadi
apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah. Pada sebagian besar neonatus,
icterus akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya. Dikemukankan bahwa
angka kejadian icterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi kurang
bulan. Hiperbilirubinemia merupakan salah satu keadaan klinis yang paling sering
ditemukan pada bayi baru lahir. Hiperbilirubinemia bisa disebabkan proses fisiologis
dan patologis. Hiperbilirubinemia fisiologis merupakan masalah yang sering terjadi
pada neonatus cukup maupun kurang bulan selama minggu pertama kehidupan.1,2,3

Selain itu icterus neonatorum merupakan kompetensi 4A bagi dokter sehingga


sebagai dokter nantinya kita harus dapat mendiagnosis dan menterapi pasien dengan
hiperbillirubin. Maka dari itu penulis tertarik untuk membuat tinjauan pustaka tentang
icterus neonatorum agar menambah pengetahuan dan menjadi bekal nantinya sebagai
dokter.

BAB II
TINJUAN PUSTAKA

2.1 Definisi hiperbilirubinemia


Neonatal hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana kadar bilirubin total > 5 mg/dl
(86 mol/L). hiperbilirubinemia tampak secara klinis sebagai icterus. Icterus
neonaturum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan icterus
pada kulit dan sclera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebihan.
Secara klinis icterus tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7 md/dl,
bila kurang dari itu maka tidak akan tampak secara klinis.2,3

2.2 Metabolisme bilirubin


Icterus muncul sebagai hasil dari penumpukan bilirubin dalam serum. Kondisi ini
dapat terjadi secara fisiologis maupun patologis yang didasari oleh adanya
pemecahan hemoglobin.2,3
Eritrosit yang lisis membebaskan hemoglobin dimana hemoglobin akan diuraikan
menjadi heme dan globin. Heme akan teruai kembali menjadi besi (Fe) dan
biliverdin. Oleh enzim biliverdin reduktase, biliverdin diubah menjadi bilirubin yang
tidak larut dalam air atau bilirubin yang tak terkonjugasi (bilirubin indirek). Transport
bilirubin inderik pada sirkulasi darah terjadi setelah terikat dengan albumin. Ketika
sirkulasi mencapai hepar, ikatan bilirubin indirek dengan albumin dilepaskan dan
selanjutnya bilirubin ini terikat oleh asam glukoronat sehingga menjadi bentuk yang
larut air atau bilirubin terkonjugasi (bilirubin direk). 2,3
Bilirubin direk diekskresikan ke dalam empedu lalu memasuki usus. Di dalam
usus, bakteri kolon mengurikan bilirubin ini menjadi urobilirubinogen yang dapat
berubah menjadi sterkobilin untuk diekskresikan bersama dengan feses. Sebagian
urobilinogen diubah kembali menjadi bilirubin indirek oleh enzim beta glukoronidase
yang kemudian direabsorsi untuk dibawa kembali ke hepar. Siklus ini dikenal sebagai
jalur enterohepatik. Disamping itu, sebagian urobilinogen yang diserap kembali dari
usus dibawa ke ginjal untuk dikeluarkan bersama urin. 2,3
Fungsi organ hepar pada bayi masih belum sempurna (terlebih lagi pada bayi
premtur) mengakibatkan defisiensi konjugasi bilirubin. Sementara itu, usia eritrosit
yang pendek menyebabkan terjadinya perombakan (turnover) yang cepat. Kedua hal
tersebut menjadi dasar terjadinya hiperbilirunemia yang seringkali dijumpai pada
bayi. 3
ASI memegang peran penting dalam mencegah terjadi hiperbilirubinemia dengan
mempercepat waktu transit makanan di usus dan memfasilitasi ekskresi meconium

degan hasil mengurangi terjadinya sirkulasi enteroheptik bilirubin dan selanjutnya


menurunkan kadar bilirubin indirek dalam serum. 4

Gambar 1. Metabolisme Bilirubin

2.3 Faktor risiko


Faktor risiko untuk timbulnya icterus: 1,6,7
a. Faktor maternal
-

Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American, Yunani)

Komplikasi kehamilan ( DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)

Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik

ASI

b. Faktor perinatal
-

Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)


7

Infeksi (bakteri, virus, protozoa)

c. Faktor neonatus
-

Prematuritas

Faktor genetic

Polisitemia

Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)

Rendahnya asupan ASI

Hipoglikemia

Hipoalbuminemia

2.4 Klasifikasi Icterus


1. Icterus fisiologis
Sebagian neonatus, terutama bayi premature menunjukkan gejala icterus pada
hari pertama. Icterus ini biasanya timbul pada hari kedua, kemudian
menghilang pada hari ke sepuluh atau pada akhir minggu ke dua kadar
bilirubin total <15 mg/dL. Bayi dengan gejala icterus ini tidak sakit dan tidak
memerlukan pengobatan, kecuali dalam pengertian mencegah terjadinya
penumpukan bilirubin tidak langsung yang berlebihan. Icterus dengan
kemungkinan besar menjadi patologik dan memerlukan pemeriksaan yang
mendalam antara lain :1,5,6
a. Icterus yang timbul dalam 24 jam pertama
8

b. Bilirubin serum meningkat lebih dari 5 mg% per hari


c. Bilirubin melebihi 10mg% pada bayi cukup bulan
d. Bilirubin melebihi 15mg% pada bayi premature
e. Icterus yang menetap sesudah minggu pertama
f. Icterus yang mempunyai hubungan dengan penyakit hemoglobin, infeksi
atau suatu keadaan patologik lain yang telah diketahui

2. Icterus patologis
Icterus dikatakan patologik apabila pigmennya, konsentrasinya dalam serum,
waktu timbulnya, dan waktu menghilangnya berbeda dari kriteria yang telah
disebut pada icterus fisiologik. Walaupun kadar bilirubin masih dalam batasbatas fisiologik, tetapi klinis mulai terdapat tanda-tanda icterus klinis dalam
24 jam pertama kehidupan bayi, adanya kenaikan bilirubin 5 mg/dL setiap
24 jam, icterus dengan proses hemolysis, icterus yang menetap setelah bayi
berumur 8 hari (bayi cukup bulan) atau 14 hari pada bayi kurang bulan,
icterus yang disertai oleh beberapa kondisi diantaranya : berat badan lahir <
2000 gram, usia kehamilan ibu < 36 minggu, asfiksia, hipoksia, distress nafas,
hipoglikemia dan infeksi, maka keadaan ini disebut icterus patologik 1,5,6
Icterus patologik dapat terjadi karena beberapa faktor yaitu:1,5,6
-

Meningkatnya produksi bilirubin, sehingga melampaui batas kemampuan


hepar untuk dikeluarkan

Faktor-faktor yang menghalangi itu mengadakan obstruksi pengeluaran


bilirubin.

Faktor yang mengurangi atau menghalangi kemampuan hepar untuk


mengadakan konjugasi bilirubin

3. Icterus hemolitik
Icterus hemolitik pada umumnya merupakan suatu golongan penyakit yang
disebut erythroblastosis fetalis atau morbus hemolitik neonatorum (hemolytic
disease of the new born). Penyakit hemolitik ini biasanya disebabkan oleh
inkompatibilitas golongan darah ibu dan bayi. 1,5,6
a. Inkompatibilitas Rhesus
Penyakit ini sangat jarang ada di Indonesia. Penyakit ini terutama terdapat
di negeri barat karena 15% penduduknya mempunyai golongan darah
rhesus negative. Di Indonesia, dimana penduduknya hamper 100% rhesus
positif, terutama terdapat di kota besar, tempat adanya pencampuran
penduduk dengan orang barat. Walaupun demikian, kadang-kadang
dilakukan transfuse tukar darah pada bayi dengan icterus karena
antagonismus rhesus, dimana tidak didapatkan campuran darah dengan
orang asing pada susunan keluarga orang tuanya. Bayi rhesus positif dari
rhesus negative tidak selamanya menunjukkan gejala klinik pada waktu
lahir, tetapi dapat terlihat icterus pada hari pertama kemudian makin lama,
makin berat ikterusnya, disertai dengan anemia yang makin lama makin
berat pula. Bila mana sebelum kelahiran terdapat hemilisis yang berat
maka bayi dapat lahir dengan edema umum disertai icterus dan
pembesaran hepar dan lien (hydropsfoetalis). 1,5,6

b. Inkompatibilitas ABO
Penderita ikterik akibat hemolysis karena inkompatibilitas golongan darah
ABO lebih sering ditemukan di Indonesia daripada inkompatibilitas Rh.
Transfuse tukar darah pada neonatus ditunjukkan untuk mengatasi
hiperbilirubinemia karena inkompatibilitas ABO. 1,5,6
10

Icterus dapat terjadi pada hari pertama dan kedua yang sifatnya
biasanya ringan. Bayi tidak tampak sakit, anemianya ringan, hepar dan
lien tidak membesar, icterus dapat menghilang dalam beberapa hari. Kalau
hemolisisnya berat, seringkali diperlukan juga transfuse tukar darah untuk
mencegah terjadinya kern icterus. 1,5,6

c. Icterus hemolitik karena inkompatibilitas golongan darah lain


Selain inkompatibilitas darah golongan ABO dan Rh, hemolysis dapat
pula terjadi bila terdapat inkompatibilitas golongan kell, duffy, MN, dan
lain-lain. hemolysis dan icterus biasanya ringan pada neonatus dengan
icterus hemolitik, dimana pemeriksaan kearah inkompatibilitas ABO dan
Rh hasilnya negative, sedang coombs test positif, kemungkinan icterus
akibat hemolysis inkompatibilitas golongan darah lain. 1,5,6

d. Penyakit hemolitik karena kelainan eritrosit kongenital


Golongan penyakit ini dpaat menimbulkan gambaran klinik yang
menyerupai erythroblasthosis foetalis akibat isoimunisasi. Pada penyakit
ini coombs test biasanya negative. Beberapa penyakit lain yang dapat
disebut ialah sperositosis kongenital, anemia sel sabit ( sichle cell anemia)
dan elyptocystosis herediter. 1,5,6

e. Hemolysis karena diferensi enzyme glukosa-6-phospat dehydrogenase (G6-PD deficiency)


Penyakit ini mungkin banyak terdapat di Indonesia tetapi angka
kejadiannya belum diketahui dengan pasti defisiensi G-6-PD ini
11

merupakan salah satu sebab utama icterus neonatorum yang memerlukan


transfuse tukar darah. Icterus walaupun tidak terdapat faktor oksigen,
misalnya obat-obat sebagai faktor pencetusnya walaupun hemolysis
merupakan penyebab icterus pada defisiensi G-6-PD, kemubgkinan besar
ada faktor lain yang ikut berperan, misalnya faktor kematangan hepar. 1,5,6

4. Icterus obstruktiva
Obstruksi dalam penyakuran empedu dapat terjadi di dalam hepar dan di luar
hepar. Akibat obstruksi itu terjadi penumpukan bilirubin tidak langsung dan
bilirubin langsung. Bila kadar bilirubin langsung melebihi 1mg%, maka harus
curiga akan terjadi hal-hal yang menyebabkan obstruksi, misalnya hepatitis,
sepsis, pyelonephritis, atau obstruksi saluran empedu, peningkatan kadar
bilirubin langsung dalam serum, walaupun kadar bilirubin total masih dalam
batas normal, selamanya berhubungan dengan keadaan patologik. Bisa terjadi
karena sumbatan penyaluran empedu baik dalam hati maupun luar hati. Akibat
kadar bilirubin direk maupun indirek meningkat. Bila sampai dengan terjadi
obstruksi (penyumbatan) penyaluran empedu maka pengaruhnya adalah
tindakan operatif, bila keadaan bayi mengizinkan. 1,5,6

2.5 Manifestasi klinis


Secara klinis ikterik pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau beberapa
hari kemudian. Ikterik akan terlihat dengan peningkatan kadar bilirubin serum
mencapai 5-6 mg/dL dan lebih tampak jelas dengan penyinaran yang cukup. Ikterik
dapat hilang timbul menyerupai warna kulit terutama pada neonatus yang kulitnya
gelap dan tidak tampak jika total bilirubin serum <4 mg/dL (68 mol/L). Ikterus
biasanya dimulai dari bagian wajah kemudian turun ke batang tubuh sampai
ekstremitas. Gejala lain yang menyertai meliputi warna kulit (pucat), petekie,
plethora,

ekstravasasi

darah

(misalnya

sefalhematom

atau

memar),
12

hepatosplenomegali (karena anemia hemolitik atau infeksi), tanda sepsis neonatorum,


mikrosefali (infeksi kongenital), kehilangan berat badan, dan tanda dehidrasi. 1,6

2.6 Diagnosis

Pendekatan menentukan kemungkinan penyebab


Menetabkan penyebab icterus tidak selamanya mudah dan membutuhkan
pemeriksaan yang banyak dan mahal, sehingga dibutuhkan pendekatan khusus
untuk apat memperkirakan penyebab. Pendekatan yang dapat digunakan
adalah saat timbulnya icterus. 1,6,7

1. Icterus yang timbul pada 24 jam pertama


-

Inkompatibilitas dahar Rh, ABO, atau golongan lain

Infeksi intrauterine (oleh virus, toksoplasmosis, lues dan kadangkadang bakteri)

Kadang-kadang oleh defisiensi G6PD

2. Icterus yang timbul 24-72 jam sesudah lahir


-

Biasanya icterus fisiologis

Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh atau


golongan lain. hal ini dapat diduga kalau peningkatan bilirubin
cepet, misalnya 5 mg% 24 jam

Defisiensi G6PD masih memungkinkan

Polisitemia

Hemolysis perdarahan tertutup ( perdarahan subaponeurosis,


perdarahan hepar subkapsuler, dan lain-lain)

Hipoksia
13

Sferositosis dan eliptosis

Dehidrasi asidosis

Defisiensi enzim eritrosit lainnya

3. Icterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama
-

Biasanya karena sepsis

Dehidrasi asidosis

Defisiensi enzim G6PD

Pengaruh obat

Sindrom crigler-najjar

Sindrom gilbert

4. Icterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya

Umumnya karena obstruktif

Hipotiroidisme

Breastmilk jaundice

Infeksi

Neonatal hepatitis

Pemeriksaan fisik
Icterus akan tampak secara visual jika kadar bilirubin lebih dari 5 mg/dL.
Secara klinis icterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau
beberapa hari kemudian. Amati icterus pada siang hari dengan lampu sinar
yang cukup. Icterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak
terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang
14

kulitnya gelap. Penilaian icterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang
mendapatkan terapi sinar. Tekan kulit secara ringan memakai jari tangan
untuk memastikan warna kulit dan jaringan subkutan. Waktu timbulnya
icterus mempunyai arti penting dalam diagnosis dan penatalaksanaan
penderita karena saat timbulnya icterus mempunyai kaitan erat dengan
kemungkinan penyebab icterus tersebut. Caranya dengan jari telunjuk
ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang
hidung, dada, lutut, dan lain-lain. tempat yang ditekan akan tampak pucat atau
kuning. Penilaian kadar bilirubin pada masinh-masing tempat tersebut
disesuaikan degan table yang telah diperkirakan kadar bilirubinnya. 1,6,7

Gambar 2. Derajat Ikterus

15

Laboratorium :
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakkan diagnosis
icterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebh lanjut.
Pemeriksaan serum bilirubin harus dilakukan pada neonatus yang mengalami
icterus. Transcutaneous bilirubin (TcB) dapat digumakan untuk menentukan
kadar serum bilirubin total, tanpa harus mengambil sampel darah. Namun alat
ini hanya valid untuk kadar bilirubin total <15 mg/dL (<257 mol/L), dan
tidak reliable pada kasus icterus yang sedang mendapat terapi sinar.
Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung
usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. 1,6,7

2.7 Penatalaksanaan
Tatalaksana umum meliputi, hidrasi pemberian cairan sesuai dengan berat badan dan
usia postnatal, obat-obatan (fenobarbital, tin-protoporphyrin), dan pemberian
albumin. Namun terapi yang paling banyak digunakan adalah foto terapi. Pada bayi
ikterus fisiologis dilakukan penjemuran (memapar) di bawah sinar matahari pagi
yang dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh paparan sinar matahari
pagi sehingga dapat mengurangi tanda ikterus (warna kuning) yang tampak di kulit
bayi. Pada saat penelitian dilakukan, pemaparan bayi ikterus di bawah sinar matahari
dilakukan antara pukul 06.00-07.00. Hal ini dilakukan berdasarkan penelitian
Cheremisinoff dan Regino (1978) yang menguji tentang kekuatan radiasi sinar
matahari yang dilakukan selama 1 x 24 jam yang berhasil menemukan bahwa antara
pukul 06.00-07.00 radiasi sinar matahari hampir tidak ada sama sekali atau nol
persen. Sehingga pemaparan dilakukan pada jam 06.00-07.00 untuk meminimalkan
efek samping dari penjemuran seperti efek sinar ultraviolet yang dapat menimbulkan
luka bakar pada kulit, dehidrasi akibat paparan sinar matahari yang terlalu kuat
seperti pada siang hari, hingga kemungkinan terjadinya keganasan (kanker) kulit
akibat paparan sinar matahari yang terlalu lama. Lamanya penjemuran pada saat

16

penelitian dilakukan adalah 30 menit. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa
menjemur bayi di bawah sinar matahari sebaiknya dilakukan maksimal selama 30
menit, sebab penjemuran yang lebih dari itu dikhawatirkan akan terjadi dehidrasi
pada bayi, luka bakar pada kulit akibat terlalu lama dijemur, dan resiko terjadi
keganasan pada kulit. Sebaiknya bayi diberikan ASI terlebih dahulu 15-30 menit
sebelum memulai pemaparan untuk mencegah dehidrasi. 3,7,8,9
Untuk mencegah perburukan kondisi icterus neonatorum akibat tingginya kadar
bilirubin serum, terapi yang tepat diperlukan untuk menurunkan kadar bilirubin
serum atau mencegah peningkatannya. Salah satu terapi yang paling umum
digunakan adalah fototerapi. Fototerapi memanfaatkan sinar spectrum biru untuk
mengubah bilirubin indirek bebas menjadi bentuk terkonjugasi mengabsorpsi cahaya,
terjadi suatu reaksi kimia yakni isomerisasi, disamping pula terjadi perubhan bilirubin
menjadi lumirubin. Sebagian kecil bilirubin tak terkonjugasi diubah menjadi dipyrole,
suatu produk foto oksidan yang dapat diekskresikan melalui urin. 3,7,8
Produk atau fotoisomer bilirubin bersifat kurang lipofilik atau lebih polar
dibandingkan dengan bilirubin indirek sehingga dapat diekskresikan tanpa melalui
proses konjugasi pada hepar. Produk ini juga diketahui tidak toksik terhadap SSP.
Keberhasilan pembentukkan fotoisomer bilirubin sangat bergantung pada beberapa
faktor, yaitu : 3,7,8
a. Panjang gelombang sinar
Penyerapan sinar oleh bilirubin paling baik dilakukan oleh sinar atau spectrum
biru, hijau atau tourqise (spectrum biru-hijau) dengan panjang gelombang 560
nm atau dalam rentang 460 nm hingga 520 nm
b. Intensitas radiasi
Intensitas yang dimaksud adalah jumlah foton yang diemisikan ketika radiasi
berlangsung yang diukur dalam satuan spektroradiometer (W/cm 2/nm).

17

Fototerapi standar umumnya menggunakan energy sebesar 10 W/cm 2/nm


dan fototerapi intensif memerlukan energi sebesar 30 W/cm2/nm.
c. Jarak sumber radiasi dengan kulit atau permukaan tubuh bayi
Pada umumnya alat fototerapi diletakkan sejauh 30 cm diatas tubuh bayi
untuk memperoleh radiasi maksimal.
d. Luas permukaan tubuh bayi yang terpapar sinar
Semakin luas permukaan tubuh bayi yang terpapar sinar, semakin cepat pula
kadar bilirubin dapat diturunkan. Dari arah ventral bayi terpapar sinar secara
langsung dari alat fototerapi yang diletakkan di atas tubuhnya, sementara dari
arah dorsal sinar diperoleh dari matras yang terpapar sinar. Meskipun begitu,
mengubah posisi bayi setiap 2-3 jam sekali penting dilakukan untuk
memberikan peluang pada seluruh permukaan tubuh bayi terpapar sinar secara
langsung. Penggunaan popok dan pelindung mata membatasi jumlah paparan
sinar yang masuk

Beberapa hal yang penting diperhatikan dalam penerapan fototerapi adalah: 1,6
a. Hidrasi
Beberapa penelitian menunjukkan adanya kehilangan cairan tubuh bayi
melalui epidermis ketika fototerapi berlangsung. Hidrasi diperlukan untuk
mengganti cairan tubuh tersebut disamping pula bahwa peningkatan asupan
cairan dapat memperpendek durasi fototerapi. Hidrasi dapat diberikan melalui
asi atau pasi pada bayi yang mengalami dehidrasi. Sebagaimana diketahui
bahwa sejumlah asi yang adekuat akan membantu pencernaan bayi untuk
mengekskresikan meconium bersamaan dengan bilirubin.
b. Pelindung mata

18

Pelindung mata pada fototerapi dimaksudkan untuk mencegah kerusakan


retina. Evaluasi pada mata harus dilakukan beberapa kali selama fototerapi
untuk menilai drainage air mata, edema atau kemungkinan adanya infeksi.
c. Observasi feses dan urin bayi
Pengamatan popok bayi selama observasi dianjurkan untuk melihat warna
feses atau urin bayi. Feses kehijauan menandakan adanya ekskresi bilirubin
tak terkonjugasi.

d. Pemeriksaan ulang kadar bilirubin setelah fototerapi


Sebuah literature menyebutkan bpenurunan kadar bilirubin secara signifikan
terjadi dalam 4-6 jam setelah fototerapi. Fototerapi konvensional (single
phototherapy) dapat menurunkan kadar bilirubin sebanyak 22% dalam durasi
24 jam. Sedangkan fototerapi intensive dapat menurunkan kadar bilirubin
hingga 5 mg/dL/jam. Fenomena rebound atau peningkatan kembali kadar
bilirubin setelah fototerapi dapat saja terjadi sehingga membutuhkan observasi
yang lebih ketat. Fenomena ini dapat terjadi pada bayi premature, bayi dengan
hemolysis ( uji coombs positif) dan bayi yang memperoleh fototerapi sebelum
usia 72 jam.

Indikasi fototerapi umumnya berdasarkan kadar total bilirubin serum


(TSB atau

total

bilirubin

serum).

Petunjuk fototerapi

dari WHO

memperlihatkan kadar TSB yang sedikit berbeda dengan petunjuk AAP


(American Academy of Pediatric) untuk pelaksanaan foto terapi. Table berikut
memperlihatkan indikasi fototerapi berdasarkan kedua organisasi tersebut. 1,6
Table 1. indikasi fototerapi berdasarkan TSB (WHO)
Usia (hari)

Bilirubin total (mg/dL)

Bilirubin total (mg/dL)

19

pada BCB sehat


1

pada bayi faktor risiko*

Kuning terlihat pada bagian tubuh manapun

15

13

18

16

20

17

*) faktor risiko meliputi BBLR (<2500 gram), prematur (<37 minggu), hemolisis, dan
sepsis

Table 2. Indikasi Fototerapi berdasarkan TSB pada BCB (AAP)


Usia (jam)

Pertimbangkan
terapi sinar

Terapi
sinar

Transfusi sinar Transfusi tukar


bila terapi sinar dan terapi sinar
intensif gagal
intensif

Kadar TSB (mg/dL)


<24
25-48

>9

>12

>20

>25

49-72

>12

>15

>25

>30

>72

>15

>17

>25

>30

Untuk mengetahui kelompok risiko bayi yang mengalami icterus neonatorum,


nomogram bhutani dapat digunakan untuk tujuan tersebut. . 1,6

Gambar 3. Nomogram bhutani

20

Gambar 4. Bayi yang sedang mendapatkan fototerapi

Kini telah hadir selimut fototerapi sebagai solusi penggunaan fototerapi dengan
lampu fluoresen. Selimut fototerapi ini dikembangkan oleh Philips Children's
Medical Ventures. Selimut fototerapi ini akan memberikan rasa yang nyaman pada
bayi karena Ibu dapat melakukan fototerapi sambil memeluk bayinya atau
21

memberikan air susu Ibu (ASI) pada bayi. Alat selimut fototerapi yang diberi nama
Bili blanked Phototherapy ini menggunakan teknologi serat optic yang memiliki
beberapa keunggulan. Menawarkan orang tua dan perawat aksesibilitas yang lebih
besar, dan memungkinkan bayi untuk dirawat sepenuhnya berpakaian. Untuk
memaksimalkan efektivitasnya, biliblanket harus ditempatkan pada kulit langsung di
bawah pakaian bayi dengan cahaya biru dari biliblanket menghadap ke dalam ke arah
kulit bayi. Untuk manfaat terbaik, pengaturan cahaya harus tinggi, yang memberikan
hingga 35 sampai 40 W / cm per nm dari intensitas cahaya.10
Penelitian telah menunjukkan bahwa baik konvensional dan fototerapi serat optik
efektif untuk mengurangi kadar bilirubin serum pada hiperbilirubinemia neonatal,
meskipun fototerapi konvensional lebih unggul dari pada fototerapi serat optik.
Biliblankets dapat digunakan sebagai tambahan untuk fototerapi rutin atau selama
menyusui ketika fototerapi dengan fluoresen dihentikan. Fototerapi baik yang
konvensional ataupun dengan serat optic tidak boleh digunakan untuk mengobati
penyakit kuning patologis atau untuk bayi dengan kadar bilirubin yang sangat tinggi
yang mungkin memerlukan transfusi tukar. Kedua fototerapi konvensional dan serat
optik umumnya aman, namun, bayi tersebut harus dipantau terhadap efek samping,
seperti luka bakar, ketidakstabilan termoregulasi, dehidrasi, ruam kulit, dan mencret.
10

Gambar 5. Bayi yang menggunakan Biliblanked fototerapi

22

2.8 Komplikasi
Bahaya hiperbilirubinemia adalah kern icterus. Kern icterus atau ensefalopati
bilirubin adalah sindrom neurologis yang disebabkan oleh deposisi bilirubin tidak
terkonjugasi (bilirubin tidak langsung atau bilirubin indirek) di basal ganglia dan
nuclei batang otak. Pathogenesis kern icterus bersifat multifaktoral dan melibatkan
interaksi antara kadar bilirubin indirek, pengikatan oleh albumin, kadar bilirubin yang
tidak terikat, kemungkinan melewati sawar darah otak dan suseptibilitas saraf
terhadap cidera. Kerusakan sawar darah otak, asfiksia dan perubahan permeabilitas
sawar darah otak mempengaruhi risiko terjadinya kern icterus. 1,6
Pada bayi sehat yang menyusu, kern icterus terjadi saat kadar bilirubin >30mg/dL
dengan rentang antara 21-50 mg/dL. Onset umumnya pada minggu pertama kelhiran
tapi dapat tertunda hingga umur 2-3 minggu. Gambaran kern icterus anatara lain: 1,6
1. Bentuk akut
-

Fase I (hari 1-2) : menetek tidak kuat, stupor, hipotonia, kejang

Fase 2 ( pertengahan minggu 1) : hipertoni otot ekstensor,


opistotonus, retrocollis, demam

Fase 3 (setelah minggu 1 ) hipertoni

2. Bentuk kronis
23

Tahun pertama : hipotoni, active deep tendon reflexes, obligatory


tonic neck reflexes, keterampilan motoric terlambat

Setelah tahun pertama : gangguan gerakan

(choreoathetosis,

ballismus, tremor), gangguan pendengaran


Oleh karena itu terhadap bayi yang menderita hiperbilirubinemia perlu dilakukan
tindak lanjut sebagai berikut: 1,6
1. Penilaian berkala tumbuh kembang
2. Penilaian berkala pendengaran
3. Fisioterapi dengan rehabilitasi bila terdapat gejala sisa

BAB III
KESIMPULAN

24

Hiperbilirubinemia adalah kadar bilirubin serum total >5 mg/dL. Keadaan klinis pada
bayi yang mengalami hiperbilirubinemia ditandai oleh pewarnaan icterus pada kulit
dan sclera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih yang sering
disebut icterus neonatorum. Icterus selama usia minggu pertama terdapat pada sekitar
60% bayi cukup bulan dan 80% bayi preterm. Insiden hiperbilirubinemia neonatus
pada bayi cukup bulan di beberapa RS pendidikan antara lain RSCM, RS sardjito, RS
Soetomo, RS Kariadi bervariasi dari 13,7 % hingga 85 %.
Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuyk yang berbeda yaitu bilirubin tak
terkonjugasi dalam serum, bilirubin bebas, bilirubin terkonjugasi (terutama
monoglukoronida dan diglukoronida) yaitu bilirubin yang siap diekskresikan melalui
ginjal atau system bilier dan memiliki angka produksi bilirubin yang lebih tinggi.
Bilirubin indirek pada neonatus tidak dapat langsng diekskresikan serta kemampuan
untuk

mengkonjugasi

bilirubin

masih

terbatas.

Keterbatasan

inilah

yang

menyebabkan terjadinya icterus. Konsentrasi bilirubin puncak pada neonatus aterm


adalah 5-6 mg./dL (86-103 mol/L).
Faktor risiko icterus neonatorum dapat dilihat dari faktor maternal, perinatal dan
juga neonatus. Icterus neonatorum dapat diklasifikasikan menjadi beberapa klasifikasi
secara klinis icterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau beberapa
hari kemudian. Penatalaksanaan dari icterus neonatorum dapat dilakukan secara
farmakoterapi dan juga terapi sinar. Bahaya atau komplikasi dari hiperbilirubinemia
adalah kern icterus atau ensefalopati bilirubin.

DAFTAR PUSTAKA
1.
2.

Usma A. Ensefalopati bilirubin. Sari Pediatri 2007; 8(Supp 4):94-104.


Moerschel SK, Cianciaruso LB, Tracy LR. A practice approach to neonatal
jaundice. Am Fam Physician 2008; 77(9):1255-62.
25

3.

Maisels MJ & McDonagh AF. Phototherapy for neonatal jaundice. N Engl J Med

4.

2008; 358:920-8.
Almeida MF, Draque CM. Neonatal jaundice and breastfeeding. NeoReviews

5.

2007; 8(7):e282-8.
Nadir SJ. Rational use of phototherapy in the treatment of physiologic jaundice

6.

Neonatorum. J Pham Sci & Res 2011; 3(1):273-9.


SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar. 10 th ed. Pedoman
Pelayanan Medis Ilmu Kesehatan Anak, RSUP Sanglah Denpasar. Denpasar

7.

2010, pp.417-22.
Stokowski LA. Fundamentals of phototherapy for neonatal jaundice. Advances in

8.

Neonatal Care; 2011; 11(5S):S10-21.


Bhutani VK. Phototherapy to prevent severe neonatal hyperbilirubinemia in the

9.

newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics 2011; 128:e104652.


Puspitosari RD, Sumarno, Susatia B. Pengaruh paparan sinar matahari pagi
terhadap penurunan tanda ikterus pada ikterus neonatorum fisiologis. Jurnal

Kedokteran Brawijaya. 2006;22(3):131-40


10. Robinson BR, Rao S. A 5-Day-Old Neonate with Jaundice. Available at :
http://www.turner-white.com/memberfile.php?PubCode=hp_dec08_jaundice.pdf.
Diakses tanggal 9 September 2015.

26

Anda mungkin juga menyukai