IKTERUS NEONATORUM
Oleh :
A.A Ayu Indah Cynthia Dewi
1070121057
Pembimbing :
dr. Putu Triyasa, Sp.A
KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD SANJIWANI GIANYAR / PROGRAM STUDI KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS WARMADEWA
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat-Nya maka tinjauan pustaka yang berjudul Ikterus Neonatorum ini dapat
terselesaikan.
Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada pihakpihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini. Tinjauan pustaka ini
disusun sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Sanjiwani, Gianyar.
Ucapan terima kasih kami tujukan kepada :
1. dr. Putu Triyasa, SpA sebagai pembimbing tugas ini,
1
2. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan satu-persatu,
Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna oleh karena
itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi
penyusunan selanjutnya dan semoga bermanfaat bagi pembaca.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...............................................................................
DAFTAR ISI..............................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN.........................................................................
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA................................................................
2
3
4
6
6
8
9
13
13
16
22
2
25
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia, pada tahun 1997 tercatat sebanyak 41,4
per 1000 kelahiran hidup. Dimana indicator pembangunan kesehatan suatu negara
adalah angka kematian ibu dan bayi atau anak. Kematian bayi baru lahir (Neonatus)
merupakan penyumbang kematian terbesar pada tingginya angka kematian bayi.
Angka kematian neonatal (0-28 hari) adalah 19/1000 kelahiran hidup. Penyebab
kematian utama kematian neonatal pada minggu pertama menurut Riskesdas tahun
2007 adalah gangguan pernapasan (35,9%), prematuritas dan berat badan lahir rendah
(BBLR) 32,4%, sepsis (12%), hipotermi (6,3%), kelainan darah/hiperbilirubinemia
3
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
ASI
b. Faktor perinatal
-
c. Faktor neonatus
-
Prematuritas
Faktor genetic
Polisitemia
Hipoglikemia
Hipoalbuminemia
2. Icterus patologis
Icterus dikatakan patologik apabila pigmennya, konsentrasinya dalam serum,
waktu timbulnya, dan waktu menghilangnya berbeda dari kriteria yang telah
disebut pada icterus fisiologik. Walaupun kadar bilirubin masih dalam batasbatas fisiologik, tetapi klinis mulai terdapat tanda-tanda icterus klinis dalam
24 jam pertama kehidupan bayi, adanya kenaikan bilirubin 5 mg/dL setiap
24 jam, icterus dengan proses hemolysis, icterus yang menetap setelah bayi
berumur 8 hari (bayi cukup bulan) atau 14 hari pada bayi kurang bulan,
icterus yang disertai oleh beberapa kondisi diantaranya : berat badan lahir <
2000 gram, usia kehamilan ibu < 36 minggu, asfiksia, hipoksia, distress nafas,
hipoglikemia dan infeksi, maka keadaan ini disebut icterus patologik 1,5,6
Icterus patologik dapat terjadi karena beberapa faktor yaitu:1,5,6
-
3. Icterus hemolitik
Icterus hemolitik pada umumnya merupakan suatu golongan penyakit yang
disebut erythroblastosis fetalis atau morbus hemolitik neonatorum (hemolytic
disease of the new born). Penyakit hemolitik ini biasanya disebabkan oleh
inkompatibilitas golongan darah ibu dan bayi. 1,5,6
a. Inkompatibilitas Rhesus
Penyakit ini sangat jarang ada di Indonesia. Penyakit ini terutama terdapat
di negeri barat karena 15% penduduknya mempunyai golongan darah
rhesus negative. Di Indonesia, dimana penduduknya hamper 100% rhesus
positif, terutama terdapat di kota besar, tempat adanya pencampuran
penduduk dengan orang barat. Walaupun demikian, kadang-kadang
dilakukan transfuse tukar darah pada bayi dengan icterus karena
antagonismus rhesus, dimana tidak didapatkan campuran darah dengan
orang asing pada susunan keluarga orang tuanya. Bayi rhesus positif dari
rhesus negative tidak selamanya menunjukkan gejala klinik pada waktu
lahir, tetapi dapat terlihat icterus pada hari pertama kemudian makin lama,
makin berat ikterusnya, disertai dengan anemia yang makin lama makin
berat pula. Bila mana sebelum kelahiran terdapat hemilisis yang berat
maka bayi dapat lahir dengan edema umum disertai icterus dan
pembesaran hepar dan lien (hydropsfoetalis). 1,5,6
b. Inkompatibilitas ABO
Penderita ikterik akibat hemolysis karena inkompatibilitas golongan darah
ABO lebih sering ditemukan di Indonesia daripada inkompatibilitas Rh.
Transfuse tukar darah pada neonatus ditunjukkan untuk mengatasi
hiperbilirubinemia karena inkompatibilitas ABO. 1,5,6
10
Icterus dapat terjadi pada hari pertama dan kedua yang sifatnya
biasanya ringan. Bayi tidak tampak sakit, anemianya ringan, hepar dan
lien tidak membesar, icterus dapat menghilang dalam beberapa hari. Kalau
hemolisisnya berat, seringkali diperlukan juga transfuse tukar darah untuk
mencegah terjadinya kern icterus. 1,5,6
4. Icterus obstruktiva
Obstruksi dalam penyakuran empedu dapat terjadi di dalam hepar dan di luar
hepar. Akibat obstruksi itu terjadi penumpukan bilirubin tidak langsung dan
bilirubin langsung. Bila kadar bilirubin langsung melebihi 1mg%, maka harus
curiga akan terjadi hal-hal yang menyebabkan obstruksi, misalnya hepatitis,
sepsis, pyelonephritis, atau obstruksi saluran empedu, peningkatan kadar
bilirubin langsung dalam serum, walaupun kadar bilirubin total masih dalam
batas normal, selamanya berhubungan dengan keadaan patologik. Bisa terjadi
karena sumbatan penyaluran empedu baik dalam hati maupun luar hati. Akibat
kadar bilirubin direk maupun indirek meningkat. Bila sampai dengan terjadi
obstruksi (penyumbatan) penyaluran empedu maka pengaruhnya adalah
tindakan operatif, bila keadaan bayi mengizinkan. 1,5,6
ekstravasasi
darah
(misalnya
sefalhematom
atau
memar),
12
2.6 Diagnosis
Polisitemia
Hipoksia
13
Dehidrasi asidosis
3. Icterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama
-
Dehidrasi asidosis
Pengaruh obat
Sindrom crigler-najjar
Sindrom gilbert
Hipotiroidisme
Breastmilk jaundice
Infeksi
Neonatal hepatitis
Pemeriksaan fisik
Icterus akan tampak secara visual jika kadar bilirubin lebih dari 5 mg/dL.
Secara klinis icterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau
beberapa hari kemudian. Amati icterus pada siang hari dengan lampu sinar
yang cukup. Icterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak
terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang
14
kulitnya gelap. Penilaian icterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang
mendapatkan terapi sinar. Tekan kulit secara ringan memakai jari tangan
untuk memastikan warna kulit dan jaringan subkutan. Waktu timbulnya
icterus mempunyai arti penting dalam diagnosis dan penatalaksanaan
penderita karena saat timbulnya icterus mempunyai kaitan erat dengan
kemungkinan penyebab icterus tersebut. Caranya dengan jari telunjuk
ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang
hidung, dada, lutut, dan lain-lain. tempat yang ditekan akan tampak pucat atau
kuning. Penilaian kadar bilirubin pada masinh-masing tempat tersebut
disesuaikan degan table yang telah diperkirakan kadar bilirubinnya. 1,6,7
15
Laboratorium :
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakkan diagnosis
icterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebh lanjut.
Pemeriksaan serum bilirubin harus dilakukan pada neonatus yang mengalami
icterus. Transcutaneous bilirubin (TcB) dapat digumakan untuk menentukan
kadar serum bilirubin total, tanpa harus mengambil sampel darah. Namun alat
ini hanya valid untuk kadar bilirubin total <15 mg/dL (<257 mol/L), dan
tidak reliable pada kasus icterus yang sedang mendapat terapi sinar.
Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung
usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. 1,6,7
2.7 Penatalaksanaan
Tatalaksana umum meliputi, hidrasi pemberian cairan sesuai dengan berat badan dan
usia postnatal, obat-obatan (fenobarbital, tin-protoporphyrin), dan pemberian
albumin. Namun terapi yang paling banyak digunakan adalah foto terapi. Pada bayi
ikterus fisiologis dilakukan penjemuran (memapar) di bawah sinar matahari pagi
yang dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh paparan sinar matahari
pagi sehingga dapat mengurangi tanda ikterus (warna kuning) yang tampak di kulit
bayi. Pada saat penelitian dilakukan, pemaparan bayi ikterus di bawah sinar matahari
dilakukan antara pukul 06.00-07.00. Hal ini dilakukan berdasarkan penelitian
Cheremisinoff dan Regino (1978) yang menguji tentang kekuatan radiasi sinar
matahari yang dilakukan selama 1 x 24 jam yang berhasil menemukan bahwa antara
pukul 06.00-07.00 radiasi sinar matahari hampir tidak ada sama sekali atau nol
persen. Sehingga pemaparan dilakukan pada jam 06.00-07.00 untuk meminimalkan
efek samping dari penjemuran seperti efek sinar ultraviolet yang dapat menimbulkan
luka bakar pada kulit, dehidrasi akibat paparan sinar matahari yang terlalu kuat
seperti pada siang hari, hingga kemungkinan terjadinya keganasan (kanker) kulit
akibat paparan sinar matahari yang terlalu lama. Lamanya penjemuran pada saat
16
penelitian dilakukan adalah 30 menit. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa
menjemur bayi di bawah sinar matahari sebaiknya dilakukan maksimal selama 30
menit, sebab penjemuran yang lebih dari itu dikhawatirkan akan terjadi dehidrasi
pada bayi, luka bakar pada kulit akibat terlalu lama dijemur, dan resiko terjadi
keganasan pada kulit. Sebaiknya bayi diberikan ASI terlebih dahulu 15-30 menit
sebelum memulai pemaparan untuk mencegah dehidrasi. 3,7,8,9
Untuk mencegah perburukan kondisi icterus neonatorum akibat tingginya kadar
bilirubin serum, terapi yang tepat diperlukan untuk menurunkan kadar bilirubin
serum atau mencegah peningkatannya. Salah satu terapi yang paling umum
digunakan adalah fototerapi. Fototerapi memanfaatkan sinar spectrum biru untuk
mengubah bilirubin indirek bebas menjadi bentuk terkonjugasi mengabsorpsi cahaya,
terjadi suatu reaksi kimia yakni isomerisasi, disamping pula terjadi perubhan bilirubin
menjadi lumirubin. Sebagian kecil bilirubin tak terkonjugasi diubah menjadi dipyrole,
suatu produk foto oksidan yang dapat diekskresikan melalui urin. 3,7,8
Produk atau fotoisomer bilirubin bersifat kurang lipofilik atau lebih polar
dibandingkan dengan bilirubin indirek sehingga dapat diekskresikan tanpa melalui
proses konjugasi pada hepar. Produk ini juga diketahui tidak toksik terhadap SSP.
Keberhasilan pembentukkan fotoisomer bilirubin sangat bergantung pada beberapa
faktor, yaitu : 3,7,8
a. Panjang gelombang sinar
Penyerapan sinar oleh bilirubin paling baik dilakukan oleh sinar atau spectrum
biru, hijau atau tourqise (spectrum biru-hijau) dengan panjang gelombang 560
nm atau dalam rentang 460 nm hingga 520 nm
b. Intensitas radiasi
Intensitas yang dimaksud adalah jumlah foton yang diemisikan ketika radiasi
berlangsung yang diukur dalam satuan spektroradiometer (W/cm 2/nm).
17
Beberapa hal yang penting diperhatikan dalam penerapan fototerapi adalah: 1,6
a. Hidrasi
Beberapa penelitian menunjukkan adanya kehilangan cairan tubuh bayi
melalui epidermis ketika fototerapi berlangsung. Hidrasi diperlukan untuk
mengganti cairan tubuh tersebut disamping pula bahwa peningkatan asupan
cairan dapat memperpendek durasi fototerapi. Hidrasi dapat diberikan melalui
asi atau pasi pada bayi yang mengalami dehidrasi. Sebagaimana diketahui
bahwa sejumlah asi yang adekuat akan membantu pencernaan bayi untuk
mengekskresikan meconium bersamaan dengan bilirubin.
b. Pelindung mata
18
total
bilirubin
serum).
Petunjuk fototerapi
dari WHO
19
15
13
18
16
20
17
*) faktor risiko meliputi BBLR (<2500 gram), prematur (<37 minggu), hemolisis, dan
sepsis
Pertimbangkan
terapi sinar
Terapi
sinar
>9
>12
>20
>25
49-72
>12
>15
>25
>30
>72
>15
>17
>25
>30
20
Kini telah hadir selimut fototerapi sebagai solusi penggunaan fototerapi dengan
lampu fluoresen. Selimut fototerapi ini dikembangkan oleh Philips Children's
Medical Ventures. Selimut fototerapi ini akan memberikan rasa yang nyaman pada
bayi karena Ibu dapat melakukan fototerapi sambil memeluk bayinya atau
21
memberikan air susu Ibu (ASI) pada bayi. Alat selimut fototerapi yang diberi nama
Bili blanked Phototherapy ini menggunakan teknologi serat optic yang memiliki
beberapa keunggulan. Menawarkan orang tua dan perawat aksesibilitas yang lebih
besar, dan memungkinkan bayi untuk dirawat sepenuhnya berpakaian. Untuk
memaksimalkan efektivitasnya, biliblanket harus ditempatkan pada kulit langsung di
bawah pakaian bayi dengan cahaya biru dari biliblanket menghadap ke dalam ke arah
kulit bayi. Untuk manfaat terbaik, pengaturan cahaya harus tinggi, yang memberikan
hingga 35 sampai 40 W / cm per nm dari intensitas cahaya.10
Penelitian telah menunjukkan bahwa baik konvensional dan fototerapi serat optik
efektif untuk mengurangi kadar bilirubin serum pada hiperbilirubinemia neonatal,
meskipun fototerapi konvensional lebih unggul dari pada fototerapi serat optik.
Biliblankets dapat digunakan sebagai tambahan untuk fototerapi rutin atau selama
menyusui ketika fototerapi dengan fluoresen dihentikan. Fototerapi baik yang
konvensional ataupun dengan serat optic tidak boleh digunakan untuk mengobati
penyakit kuning patologis atau untuk bayi dengan kadar bilirubin yang sangat tinggi
yang mungkin memerlukan transfusi tukar. Kedua fototerapi konvensional dan serat
optik umumnya aman, namun, bayi tersebut harus dipantau terhadap efek samping,
seperti luka bakar, ketidakstabilan termoregulasi, dehidrasi, ruam kulit, dan mencret.
10
22
2.8 Komplikasi
Bahaya hiperbilirubinemia adalah kern icterus. Kern icterus atau ensefalopati
bilirubin adalah sindrom neurologis yang disebabkan oleh deposisi bilirubin tidak
terkonjugasi (bilirubin tidak langsung atau bilirubin indirek) di basal ganglia dan
nuclei batang otak. Pathogenesis kern icterus bersifat multifaktoral dan melibatkan
interaksi antara kadar bilirubin indirek, pengikatan oleh albumin, kadar bilirubin yang
tidak terikat, kemungkinan melewati sawar darah otak dan suseptibilitas saraf
terhadap cidera. Kerusakan sawar darah otak, asfiksia dan perubahan permeabilitas
sawar darah otak mempengaruhi risiko terjadinya kern icterus. 1,6
Pada bayi sehat yang menyusu, kern icterus terjadi saat kadar bilirubin >30mg/dL
dengan rentang antara 21-50 mg/dL. Onset umumnya pada minggu pertama kelhiran
tapi dapat tertunda hingga umur 2-3 minggu. Gambaran kern icterus anatara lain: 1,6
1. Bentuk akut
-
2. Bentuk kronis
23
(choreoathetosis,
BAB III
KESIMPULAN
24
Hiperbilirubinemia adalah kadar bilirubin serum total >5 mg/dL. Keadaan klinis pada
bayi yang mengalami hiperbilirubinemia ditandai oleh pewarnaan icterus pada kulit
dan sclera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih yang sering
disebut icterus neonatorum. Icterus selama usia minggu pertama terdapat pada sekitar
60% bayi cukup bulan dan 80% bayi preterm. Insiden hiperbilirubinemia neonatus
pada bayi cukup bulan di beberapa RS pendidikan antara lain RSCM, RS sardjito, RS
Soetomo, RS Kariadi bervariasi dari 13,7 % hingga 85 %.
Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuyk yang berbeda yaitu bilirubin tak
terkonjugasi dalam serum, bilirubin bebas, bilirubin terkonjugasi (terutama
monoglukoronida dan diglukoronida) yaitu bilirubin yang siap diekskresikan melalui
ginjal atau system bilier dan memiliki angka produksi bilirubin yang lebih tinggi.
Bilirubin indirek pada neonatus tidak dapat langsng diekskresikan serta kemampuan
untuk
mengkonjugasi
bilirubin
masih
terbatas.
Keterbatasan
inilah
yang
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
Maisels MJ & McDonagh AF. Phototherapy for neonatal jaundice. N Engl J Med
4.
2008; 358:920-8.
Almeida MF, Draque CM. Neonatal jaundice and breastfeeding. NeoReviews
5.
2007; 8(7):e282-8.
Nadir SJ. Rational use of phototherapy in the treatment of physiologic jaundice
6.
7.
2010, pp.417-22.
Stokowski LA. Fundamentals of phototherapy for neonatal jaundice. Advances in
8.
9.
26