Anda di halaman 1dari 64

BAB 1

PENDAHULUAN

Saat ini stroke merupakan penyebab kematian dan kecacatan utama di


dunia. Hal tersebut teramati pula di Indonesia. Data Kementerian Kesehatan RI
(2009) menunjukkan bahwa stroke merupakan penyebab kematian nomor 1
diantara pasien yang dirawat di rumah sakit. Peningkatan kejadian stroke secara
jelas teramati di Negara Asia (terutama RRC, India, dan Indonesia). Peningkatan
kejadian stroke dihubungkan dengan peningkatan faktor risiko stroke (hipertensi,
merokok, kolesterol tinggi, diabetes, dan sebagainya).
Perubahan pola hidup (urbanisasi dan westernisasi) dalam bentuk
peningkatan stres, peningkatan inaktivitas fisik, merokok, peningkatan stres
emosional, dan perubahan pola konsumsi makanan berkontribusi sangat besar
terhadap peningkatan kejadian stroke. Organisasi stroke sedunia (2012)
mengingatkan bahwa 1 diantara 6 orang di seluruh dunia akan terkena stroke
selama hidupnya. Angka yang sedemikian besar ini menuntut langkah nyata dari
semua pihak yang terkait. Kepedulian semua pihak sangat ditunggu untuk
menurunkan angka catat dan kematian akibat stroke. Pada masa penyembuhan
pasca stroke telah banyak dilakukan usaha untuk membantu rehabilitasi pasca
stroke. Pada tahun 2010 Zainal Fanani dan kawan-kawan melakukan penelitian
yaitu Perancangan Alat Bantu Permainan Pasca Stroke. Penelitian ini hanya
melatih otak penderita pasca stroke dalam bentuk permainan gambar. Pada
penelitian ini penderita pasca stroke tidak bisa melatih otot kaki dan otot tangan
secara maksimal.
Disamping itu juga banyak dikembangkan alat terapi pabrik bagi penderita pasca
stroke. Namun demikian seluruh alat bantu yang dibuat bersifat statis, dimana
penderita hanya bisa bergerak atau melakukan latihan terapi disuatu tempat,
misalkan didalam ruangan atau didalam rumah juga. Padahal penderita pasca
stroke juga membutuhkan mobilitas untuk menambah motivasi hidupnya. Pada

gambar 1.1 di bawah ini ditunjukan salah satu contoh sepeda statis yang
digunakan di dalam ruangan.

Gambar 1.1 Sepeda Statis


(http://www.distributor001.com/2012/03/jual-sepeda-statis-murah-platinumbike.htm1)
Kekurangan dari sepeda statis ini adalah tidak dapat berpindah tempat saat
pemakai mengayuh dan penderita pasca stroke hanya bisa melatih otot kaki
sedangkan otot tangan tidak dapat dilatih.
Untuk itu dirancang dan dibuat sebuah sepeda roda tigasepeda pasca stroke
tahun 2014. Sepeda yang dibuat harus diuji fungsi dan kemampuannya. Untuk itu
pada tesis ini akan dilakukan uji fungsi terhadap sepeda pasca stroke yang telah
dibuat, yang meliputi uji risiko cedera tubuh dengan metode RULA dengan alat
bantu goneoset, uji jumlah detak jantung (detak/menit) dan konsumsi energi
(kkal/menit) menggunakan alat bantu heartrate. Disamping itu dilakukan evaluasi
kegunaan dari sepeda pasca stroke, yaitu dengan rekaman gerakan pengendara
(pengayuh) sepeda roda tiga oleh responden pasca stroke dengan video. Untuk
melengkapi uji coba tersebut akan diukur tegangan otot kaki responden sehat
sebelum dan sesudah mengayuh dengan alat ukur leg dynamometer.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengukuran Detak Jantung


Detak jantung merupakan getaran dari jantung selama dia melakukan
aktifitasnya. Detak jantung ini dapat direpresentasikan dengan denyut nadi,
Pengukuran denyut nadi dan tekanan darah merupakan hal yang sangat penting
dalam bidang kesehatan. Karena denyut nadi dan tekanan darah merupakan faktor
yang digunakan untuk sebagai indikator untuk menilai sistem cardiovaskuler.
Denyut nadi dan tekanan darah seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor,
diantaranya adalah perubahan posisi tubuh dan aktifitas fisik. Berdasarkan gambar
grafik 2.1 dapat diketahui berbagai kondisi kerja yang dapat menaikkan denyut
nadi

Dynamic under hot


Condition

Static muscular
work

Dynamic work including


few muscles
Dynamic work including
many muscles

Gambar 2.1 Meningkatnya detak jantung yang berhubungan dengan berbagai


macam kondisi kerja. (Grandjean, 1986 )
Berdasarkan gambar 2.1 diketahui bahwa setiap kerja yang dilakukan
mempunyai pengaruh tertentu terhadap detak jantung. Sehingga pengukuran
kebutuhan kalori untuk suatu pekerjaan dapat direpresentasikan dengan perubahan
detak jantung. Karena itulah detak jantung digunakan sebagai salah satu metode
untuk mengukur energi yang dikonsumsi selama

melakukan suatu kerja.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Astrand dan Christensen menyebutkan bahwa
terdapat hubungan langsung antara pengeluaran energi dari tingkat detak jantung,
sehingga tingkat pulsa dan detak jantung per menit dapat digunakan untuk
menghitung pengeluaran energi [Retno Megawati, 2003]..
Pengukuran detak jantung dapat dilakukan dengan berbagai cara
1. Merasakan detak jantung yang ada pada arteri radial pada pergelangan
tangan
2. Mendengarkan detak jantung dengan stethoscope.
3. Menggunakan ECG ( Electrocardiograph ), yaitu mengukur sinyal l
elektrik yang diukur dari otot jantung pada permukaan kulit dada
4. Menggunakan cyclometer, yaitu alat yang digunakan untuk mengetahui
kecepatan dan jarak ketika sepeda dikendarai namun bisa juga digunakan
untuk mengetahui detak jantung pengendara sepeda dengan hasil
pengeluaran berupa kalori.
Cara yang lebih mudah untuk mengetahui detak jantung dapat dilakukan
dengan perhitungan denyut nadi nadi dapat diketahui dengan menggunakan
metode 15 atau 30 detik. Penggunaan denyut nadi kerja untuk menilai berat
ringanya beban kerja memiliki beberapa keuntungan, yaitu mudah, cepat, murah,
tidak memerlukan peralatan yang mahal, dan tidak menggangu aktivitas obyek
yang dilakukan pengukuran. Selain itu kepekaan denyut nadi akan segera berubah
dengan perubahan pembebanan. [Muller,1962] mendefinisikan jenis-jenis. Denyut
nadi untuk mengestimasi index beban kerja, antara lain :
1. Detak jantung pada saat istirahat (resting pulse) adalah rata-rata denyut
jantung sebelum suatu pekerjaan dimulai.
2. Detak jantung selama bekerja (working pulse) adalah rata-rata denyut
jantung pada saat seseorang bekerja.
3. Detak jantung untuk bekerja (work pulse) adalah selisish antara detak
jantung selama bekerja dan selama istirahat.

4. Detak jantung selama istirahat total (recovery cost or recovery cost) adalah
jumlah aljabar detak jantung dan berhentinya detak pada suatu pekerjaan
selesai dikerjakannya sampai dengan detak berada pada kondisi
istirahatnya.
5. Detak jantung kerja total (total work pulse or cardiac cost) adalah jumlah
detak jantung dari mulainya suatu pekerjaan sampai dengan detak berada
pada kondisi istirahatnya (resting level ).( Nurmianto, 2004)
Setelah besaran kecepatan detak jantung dikonversi dalam bentuk energi, maka
konsumsi energi untuk kegiatan kerja tertentu dapat diketahui menggunakan
persamaan :
KE = Et - Ei .( 2.1)
Dimana :
KE = Konsumsi energi (kkal/menit)
Et = Pengeluaran energi pada saat melakukan kerja (kkal/menit)
Ei = Pengeluaran energi pada saat istirahat (kkal/menit)

2.2 Biomekanika
Biomekanika menggunakan hukum-hukum fisika dan konsep-konsep
teknik untuk mendeskripsikan gerakan yang dialami oleh berbagai segmen tubuh
dan gaya-gaya pada bagian-bagian tubuh selama melakukan aktivitas [Frankel dan
Nordin (1980) dalam Chaffin and Andersson (1984)]. Biomekanika dapat dibagi
lagi ke dalam dua bagian utama yaitu biostatika dan biodinamika. Biostatika
adalah metode analisis yang memfokuskan pada besarnya gaya dan momen yang
terjadi pada bagian tubuh tertentu saat tubuh dalam kondisi tanpa gerakan,
sedangkan biodinamika adalah metode analisis yang memfokuskan besarnya gaya
dan momen yang terjadi pada bagian-bagian tubuh tertentu saat tubuh dalam
kondisi bergerak.

Proses analisa biodinamika dapat dilakukan dengan menggunakan


peralatan photography atau cinemathography untuk merekam gerakan tubuh pada
saat sedang melakukan kegiatan atau pekerjaan. Berdasarkan foto atau rekaman
video ini yang kemudian digunakan untuk menganalisa gaya-gaya pada setiap
posisi segmen tubuh. Menurut Chaffin and Andersson (1984), tubuh manusia
terdiri dari enam link, yaitu :
1. Link lengan bawah yang dibatasi oleh joint telapak tangan dan siku.
2. Link lengan atas yang dibatasi oleh joint siku dan bahu
3. Link punggung yang dibatasi oleh joint bahu dan pinggul
4. Link paha yang dibatasi oleh joint pinggul dan lutut
5. Link betis yang dibatasi oleh joint lutut dan mata kaki
6. Link kaki yang dibatasi oleh joint mata kaki dan telapak kaki
Enam macam link yang telah disebutkan diatas mewakili segmen-segmen tubuh
tertentu. Sedangkan tiap jointnya menggambarkan sendi yang ada. Berikut
merupakan gambar tiap segmen tubuh sesuai dengan yang disebutkan diatas

Gambar 2.2 Tubuh sebagai sistem enam Link (Eko Nurmanto, 2004)
Setelah ditetapkan link-link tubuh mana saja yang akan dianalisa, maka
harus diketahui gaya-gaya yang terjadi pada link-link tubuh tersebut dan

ditentukan FBDnya (Free Body Diagram)

yang nantinya digunakan sebagai

parameter dalam perhitungan. Dari parameter-parameter yang telah diketahui


maka perhitungan biomekanika dilanjutkan menggunakan hukum Newton I
tentang kesetimbangan gaya. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut :
Fy = 0..(2.2)
Fx = 0..(2.3)
MC = 0.(2.4)
Dimana :
Fy = Resultan gaya-gaya yang terjadi pada sumbu y (vertical)
Fx = Resultan gaya-gaya yang terjadi pada sumbu x (horizontal)
MC = Resultan momen yang terjadi pada segmen yang dianalisa

2.3 Kekuatan Tegangan Otot


Tegangan otot adalah kemampuan maksimal dari otot berkontraksi. Kekuatan
otot ini dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin, ukuran coss section otot, jenis
serabut, tipe kontraksi otot, ketersediaan energi dalam darah, hubungan antara
panjang dan tegangan otot pada waktu kontraksi dan recruitment unit. Untuk
meningkatkan kekuatan tegangan otot berbagai cara latihan,diantaranya dengan
metode De Lorme dan Metode Oxford. Metode De Lorme dan metode Oxpord
merupakan

metode isotonic resistance exercise adalah suatu bentuk latihan

dengan melakukan gerakan dinamis melawan tahanan sepanjang lingkup gerak


sendi (Nancy Keiser,1998). Pada pelatihan metode De Lorme dilakukan dengan
memberikan beban dari rendak ke tinggi, Sebaliknya latihan metode Oxford
memberikan beban dari tinggi kerendah.

2.4 Otot Kaki


Setiap bagian tubuh mempunyai otot-otot yang berperan penting dalam
mendukung peran kerja dari masing-masing bagian tubuh. Kaki merupakan
bagian tubuh yang penting dalam melakukan aktivitas seperti berjalan dan
bersepeda. Beberapa otot utama yang terdapat pada kaki adalah sebagai berikut :
1. Quadriceps
Merupakan gabungan dari otot-otot yang menempel pada lutut dan pinggul
(terdiri dari 4 otot, dimana 3 otot yang dapat terlihat secara langsung
sedangkan 1 otot yang lain berada tepat dibelakang otot rectus femoris).
Berfungsi untuk melakukan gerakan mengayun kaki kedepan.
2. Biceps femoris /hamstrings
Merupakan gabungan 4 otot yang terletak di paha bagian belakang.
Hamstrings berfungsi untuk melakukan gerakan memutar lutut.
3. Triceps Surae
Merupakan gabungan dari 2 otot, yaitu gastrocnemius dan soleus dimana
kedua otot tersambung ke tumit dengan Achilles tendon.
4. Tibialis anterior & peroneus longus
Tibialis anterior terletak disamping tulang kering, sedangkan peroneus
longus sangat jarang terlihat. Pada gambar berikut dijelaskan bagianbagian otot kaki serta posisinya

(a)

(b)

Gambar 2.3 Otot pada kaki [Muscles of the leg (a); Back of the leg (b)]
(http://hippie.nu)

2.5 Indek Massa Tubuh (IMT)


Indek massa tubuh biasa dikenal dengan IMT merupakan suatu
pengukuran yang menunjukan hubungan antara berat badan dan tinggi badan dan
salah satu cara untuk menganalisa bagaimana berat badan memiliki risiko
terhadap penyakit. Untuk menghitung indek masaa tubuh menggunakan rumus
sebagai berikut [Marekenssen,2004]

IMT =

Berat badan (kg)


Tinggi badan

.(2.5)

(m)2

Klasifikasi indek massa tubuh (IMT) berdasarkan WHO seperti tabel 2.5 berikut
Tabel 2.1 Klasifikasi IMT (WHO,2004)
Klasifikasi

IMT ( kg/m2)

Nilai Batas Dasar

Nilai Batas Tambahan

Kurus

< 18.50

< 18.50

Sangat Kurus

< 16.00

< 16.00

Kurus

16.00 - 16.99

16.00 - 16.99

Agak Kurus

17.00 18.49

17.00 18.49

Normal

18.50 24.99

Kegemukan

25.00 29.99

Pra- obesitas

25.00 29.99

18.50 22.99
23.00 24.99
25.00 27.49
25.00 27.49
27.50 29.99

Obesitas

>=30.00

Obesitas kelas I

30.00 34.99

>=30.00
30.00 32.49
32.50 34.99

Obesitas kelas II

35.00 39.99

35.00 37.49
37.50 39.99

Obesitas kelas III

>=40.00

>=40.00

Keterangan :
Ukuran IMT untuk pengayuh/responden yang bisa dimasukan/dikatagorikan boleh
mengayuh adalah berkisar antara 19 25

2.6 Teori Kegagalan (Failure Theories)


Ada dua jenis kegagalan mekanis pada material, yaitu: peluluhan
(yielding) dan patah (fracture). Yielding atau deformasi permanen adalah bentuk
sliding sepanjang bidang sudut tertentu pada material. Fracture adalah terpisahnya
luas penampang akibat adanya beban tarik. Beberapa teori yang digunakan untuk
menghitung kegagalan diantaranya:

Teori Tegangan Normal Maksimum (Rankine)

2.6.1

Teori Tegangan Geser Maksimum (Tresca)

Teori Energi Distori (Von Mises)

Teori Tegangan Normal Maksimum (Rankine)

Teori ini berdasarkan

hasil eksperimen insinyur Inggris W.J.M. Rankine.

Kegagalan suatu material terjadi bila tegangan normal maksimum mencapai suatu
harga tegangan luluh atau tegangan patahnya, tanpa memperhatikan tegangan
utama (principal stress) lainnya. Kriteria ini cocok untuk material getas (brittle
materials).
Secara sederhana, kegagalan terjadi apabila :

dimana
1 2 3 = tegangan normal utama
Sut = kekuatan ultimate material terhadap tarik
Suc = kekuatan ultimate material terhadap tekan

2.6.2

Teori Tegangan Geser Maksimum (Tresca)


Ide tentang tegangan geser yang berperan dalam menimbulkan kegagalan

pertama kali diperkenalkan oleh ilmuwan Perancis, Coulomb (1376-1806).


Formula kriteria tegangan geser maksimum dipublikasikan oleh Tresca (1864) dan
Guest (1900) membuktikannya lewat experimen. Sehingga teori ini sering disebut
teori Tresca atau Guest law.
Teori ini menyatakan bahwa Kegagalan diprediksi terjadi pada keadaan
tegangan multiaksial jika nilai tegangan geser maksimum sama atau lebih besar

dibandingkan tegangan geser maksimum pada saat terjadinya kegagalan dalam


pengujian tegangan uniaksial sederhana yang menggunakan spesimen dengan
material yang sama.
Secara sederhana, kegagalan terjadi apabila :

di mana Su adalah Kekuatan material pada saat uji tarik. Jadi kegagalan akan
terjadi jika salah satu persamaan di atas terpenuhi.

2.6.3

Teori Energi Distori (Von Mises)


Kriteria lain untuk menyatakan tegangan dua dimensi adalah teori energi

distorsi yang menyatakan sebuah formula.


S 2 = 12 + 22 1 2
Dari lingkaran Mohr diperoleh persamaan untuk dua tegangan, yaitu:
x + y
x y 2

1 =
+ (
) + 2xy
2
2

2 =

x + y
x y 2
(
) + 2xy
2
2

Dengan demikian dapat diperoleh persamaan baru, yaitu:


Sy 2 = 2x x y + 2y + 32xy
(2.4)
Kegagalan akan terjadi bila :

2.7 Faktor Keamanan (Safety Factor)


Faktor keamanan merupakan rasio dari tegangan maksimum dengan
tegangan kerja atau desain, yang secara matematis sebagai berikut :

FaktorKeamanan

Tegangan Maksimum
Tegangan Kerja atau Desain

Pada kasus material yang ulet misalnya baja lunak dimana tegangan luluhnya
telah diketahui maka dibagi dengan tegangan kerja. Sedangkan pada material yang
getas misalnya besi tuang dimana tegangan luluhnya sulit diprediksi maka faktor
keamanannya diambil dari tegangan maksimum (Ultimate Strength) material
dibagi dengan tegangan kerja. Rumus tersebut di atas hanya berlaku pada
pembebanan statis.

(Sunardi, Diktat Tegangan Kerja)

BAB 3
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah, merancang sepeda
untuk pasien pasca stroke sebagai alat bantu terapi fisik yang diharapkan dapat
digunakan untuk membantu proses pemulihan penderita pasca stroke.
3.2 Manfaat
Manfaat yang ingin dicapai dalam melakukan penelitian ini adalah untuk
mengetahui apakah sepeda yang dirancang dan dibuat dapat membantu penderita
pasca stroke meningkatkan kesehatan tubuhnya, sehingga dapat menjadi sehat
kembali seperti orang normal.

BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1 Langkah-Langkah Penelitian


Sebagai lanjutan dari penelitian I, maka langkah-langkah dalam penelitian
ini dilakukan berdasarkan tahapan-tahapan sebagai berikut :
a) Persiapan Penyunan Prosedsur Pengujian
b) Persiapan Peralatan Uji
c) Uji kayuh
d) Uji manfaat Sepeda
e) Pengambilan data komsumsi energi, jumlah detak jantung, tegangan otot
kaki dan rekaman video anggota tubuh pada saat pengayuh
f) Pengolahan data
g) Kesimpulan dan saran

4.1.1 Penyusunan Prosedur Pengujian Sepeda Pasca Stroke


Penyusunan prosedur pengujian bertujuan untuk memudahkan pada saat
proses pengambilan data pengukuran/pengujian sepeda pasca stroke. Prosedur
pengujian terdiri dari uji fungsi, evaluasi risiko cedera tubuh dengan metode
RULA, uji kayuh dan uji tegangan otot kaki pengayuh sepeda pasca stroke dan
pengambilan gambar gerakan kaki saat responden penderita pasca stroke
mengayuh sepeda dengan video gambar (rekaman)

4.1.2 Persiapan Peralatan Uji


Pada tahapan ini dipersiapkan peralatan pengujian yang terdiri dari ;
a) Heart rate
b) Cyclometer

c) Leg dynamometer
d) Camera digital
e) Goneoset

4.1.3 Uji Kayuh


Pada tahapan ini dilakukan pengayuhan pedal sepeda oleh responden yang
sehat (orang normal) dan penderita pasca stroke, tujuannya untuk mengetahui
kebutuhan energi oleh responden. Uji kayuh dibantu dengan Tabel 3.4 dan Tabel
3.5 dimana denyut nadi responden diukur dengan alat ukur heart rate, sedangkan
pengukuran tegangan otot dilakukan dengan bantuan Tabel 3.6 dan Tabel 3.7
dimana setiap otot kaki responden diukur pada saat sebelum dan sesudah
mengayuh dengan alat bantu leg dynamometer
Tabel 4.1 Uji Detak Jantung Orang Sehat (Normal)

Lembar Pengujian Denyut Nadi

Detak jantung dengan


No

Responden

Kecepatan
(Km/H)

Heart rate
(detak/menit)

Enegi kayuh
Keterangan
(kkal/menit)

Tabel 4.2 Uji Detak Jantung Penderita Pasca Stroke

Lembar Pengujian Detak Jantung

No

Responden

Detak jantung dengan

Enegi kayuh

Heart rate

(kkal/menit)

Kecepatan
(Km/H)

Keterangan

(detak/menit)

Uji tegangan otot pengayuh dilakukan dengan bantuan batuan alat leg
dynamometer dan hasilnya ddicatat ke tabel berikut
Tabel 4.3 Uji Tegangan Otot Kaki Pengayuh Orang Sehat

Lembar Pengujian Tegangan Otot Kaki


Tegangan ( kgs)

Waktu
No

Responden
(menit)

Sebelum

Sesudah

Percobaan

Percobaan

Keterangan
Tegangan

4.1.3.1 Prosedur Uji Kayuh


Peralatan yang digunakan sebagai berikut:
a) Heart rate
b) Cyclometer
-

Tahapan mengukur detak jantung pemakai sepeda


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Siapkan heart rate


Siapkan cyclometer
Pasangkan heart rate pada pergelangan tangan pemakai sepeda
Pasangkan cyclometer pada rangka sepeda
Pasangkan penyangga letakkan sepeda diatas penyangga
Lakukan kayuhan dalam selama waktu yang telah ditentukan
Catat hasil denyut nadi pemakai sepeda

4.1.3.2 Uji Tegangan Otot


Peralatan yang digunakan
-

Leg dynamometer

Tahapan uji
1. Siapkan leg dynamometer
2. Lakukan uji tegangan otot kaki masing-masing responden
3. Catat hasil uji (kg)
4.1.3.3 Pengambilan Gambar dengan Video Gambar
Peralatan yang digunakan
-

Kamera digital

Tahapan pengambilan gambar video


1. Pasang penyangga, letakan sepeda diatas penyangga
2. Pasangkan cyclometer pada rangka (frame) sepeda dan pencatat digital di
tuas
3. Pasangkan peralatan digital
4. Catat hasil ukur kecepatan gerak kayuh
5. Ambil gambar rekaman kayuh dengan kamera digital video
6. Simpan rekaman gerak kayuh
4.1.4 Pengolahan Data
Pada tahapan ini dilakukan pengolahan data yang telah diperoleh dari hasil
uji RULA, komsumsi energi, jumlah detak jantung, tegangan otot kaki pengayuh,
dan hasil dari rekaman video gambar gerakan kayuhan kaki responden penderita
pasca stroke dalam selang waktu tertentu

4.2. Diagram Alir Penelitian


Untuk melakukan penelitian pengujian sepeda pasca stroke, maka dibuat diagram
alir sebagai berikut
Mulai

Studi pustaka dan lapangan

Penyusunan prosedur pengujian sepeda pasca stroke

Persiapan peralatan uji

Uji fungsi
Pengukuran posisi risiko cedera anggota tubuh saat
mengayuh (RULA)
Uji kayuh
Pengambilan Data
- Denyut nadi
- Tegangan otot kaki
- Gambar anggota tubuh pengayuh yang bergerak
Evaluasi Rancangan
Kesimpulan dan saran

Selesai

Gambar 4.1 Diagram alir penelitian

BAB 5
HASIL YANG DICAPAI

5.1 Performansi Sepeda


5.1.1 Hasil Percobaan Kayuh Penderita Pasca Stroke
5.1.1.1 Pengumpulan Data dan Perhitungan Indek Massa Tubuh Responden
Sesuai dengan standar pengujian sepeda, maka sebelum uji kayuh
dilakukan, harus dievaluasi nilai Indeks Massa Tubuh (IMT) pengayuh, yang
didapat dari pembagian berat badan pengayuh (kg) dengan tinggi badan (m)
kuadrat. IMT pengayuh yang memenuhi standar mempunyai nilai 18 22,50.
Data pengayuh dan hasil perhitungan IMT masing-masing pengayuh dari 4
responden pasca stroke dapat dilihat pada tabel 5.1.
Tabel 5.1. Data pengayuh dan indek masa tubuhnya

No

Nama
Responden

Umur

Berat Badan Tinggi

Indek Masa

(kg)

Badan (m)

Tubuh

Fuad

49

81

1,63

20,78

Surya

51

84

1,59

21,91

Nasru

43

70

1,64

20,4

Afkan

52

54,4

1,69

20,1

Dari hasil perhitungan IMT masing-masing responden, didapat bahwa semua


responden memenuhi standar uji kayuh dan boleh melakukan kayuhan sepeda.
5.1.1.2 Pengukuran Energi Kayuh dan Denyut Jantung
Energi kayuh dan denyut nadi (jantung) pengayuh diukur selama
mengayuh. Dari 4 responden pasca stroke (A, B, C dan D), dapat diketahui bahwa

secara umum makin banyak penderita stroke melakukan gerakan kaki atau tangan
dan semakin tinggi kecepatan, makin besar energi kayuh yang dibutuhkan oleh
responden. Energi kayuh diukur dengan alat ukur heart rate. Disamping itu heart
rate bisa dipakai untuk mengukur detak jantung pengayuh. Hal tersebut
dimanfaatkan untuk mengevaluasi sekaligus membandingkan, bagaimana
hubungan kecepatan kayuh dengan energi kayuh dan intensitas jantung pengayuh
sepeda. Pengukuran energi kayuh dilakukan untuk mendapatkan besar jumlah
komsumsi energi (kkal/menit) yang dibutuhkan oleh masing-masing penderita
pasca stroke saat mengayuh sepeda, mulai dari kecepatan 3 km/h, 5 km/h, 8
Km/h, 10 km/h hingga kecepatan 11 km/h. Dengan standar uji lama waktu
pengayuhan pada masing-masing kecepatan adalah 6 menit. Hasil lengkap uji
kayuh dan perhitungan energi kayuh dapat dilihat pada gambar 5.1.

Komsumsi energi
(kkal/menit)

Rata-rata komsumsi energi (kkal/menit) responden


terhadap kecepatan (Km/H)

Kecepatan (Km/H)

Gambar 5.1. Grafik rata-rata komsumsi energi (kkal/menit) terhadap kecepatan


(Km/h) 4 responden penderita pasca stroke
Untuk mengevaluasi dan mengalisis efek pada jantung seorang pengayuh
dilakukan pengukuran detak jantung responden selama 6 menit mengayuh.
Sebelumnya, diawal percobaan detak jantung masing-masing responden diukur
dan berada dalam kondisi normal, yaitu 90 110 detak/menit. Hasil pengukuran
detak jantung presponden penderita pasca stroke saat mengayuh seperti
ditunjukkan oleh gambar 5.2.

Heart Rate (pulse/minute)

170
160

150
Respondents A

140

Respondents B

130

Respondents C
Respondents D

120
110
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Velocity (Km/h)

Gambar 5.2. Rata-rata jumlah detak jantung (detak/menit) terhadap kecepatan


(km/h)

Berdasarkan grafik pada gambar 5.2, peningkatan rata-rata jumlah detak


jantung (detak/menit) yang terjadi dari 4 responden penderita pasca stroke saat
melakukan kayuhan sepeda dengan kaki adalah sebagai berikut, pada kecepatan 3
km/h hingga 5 km/h peningkatan jumlah detak jantung (detak/menit) sebesar
4,84%, pada kecepatan 5 km/h hingga 6 km/h peningkatan jumlah detak jantung
(detak/menit) sebesar 5,62%, pada kecepatan 6 km/h hingga 8 km/h peningkatan
jumlah detak jantung (detak/menit) sebesar 23,79%, pada kecepatan

8 km/h

hingga 10 km/h peningkatan jumlah detak jantung (detak/menit) sebesar 2,46%.


Sedangkan pada kecepatan 10 km/h hingga 11 km/h peningkatan jumlah detak
jantung (detak/menit) sebesar 7,54%.
Dari hasil kedua pengukuran diatas menunjukkan, bahwa makin tinggi
kecepatan mengayuh, makin tinggi energi yang dibutuhkan (dikonsumsi) oleh
pengayuh, dan detak jantungnyapun meningkat dan masih dalam batas normal,
yaitu masih dibawah 160 detak/menit.
5.1.1.3 Pengukuran Kecepatan Putar Kaki Mengayuh
Uji

kecepetan

putar

(kecepatan

mengayuh)

dimaksudkan

untuk

mengetahui efek langsung (efek positif) dari latihan mengayuh penderita pasca

stroke terhadap kesehatannya, khususnya efek gerakan kaki terhadap kelenturan


otot penderita pasca stroke. Makin lama latihan (secara periodik) akan
memberikan efek positif bagi kesehatan penderita, dimana dalam 30 hari
kecekapan kaki menggerakan pedal sepeda mengalami kenaikan yang signifikan,
yaitu kenaikan kecepatan rata-rata 4 orang responden sebesar 139%. Artinya
setiap melakukan latihan mengayuh dalam 3 hari, kecepatan mengayuh kaki
penderita naik 15-20%. Hasil lengkap dari pengukuran kecepatan kaki penderita
pasca stroke dalam 30 hari dapat dilihat pada tabel 5.2.
Tabel 5.2. Jumlah kayuhan kaki penderita pasca stroke tiap menit dalam 30 hari
Responden
(pasca

Percobaan ke
1

10

stroke)
Jumlah kayuhan (putaran/menit)
A

10

12

14

17

20

21

22

24

26

32

12

15

16

18

20

21

23

26

29

31

13

14

17

19

20

21

22

24

25

26

21

22

25

26

31

32

33

41

44

46

Berdasarkan hasil perhitungan yang ditampilkan oleh tabel 5.2, dari


percobaan ke 1 hingga ke 10 dalam selang waktu 30 hari (1 bulan) dapat
dikatakan secara umum ada kenaikan kecepatan kayuh cukup mengembirakan,
yaitu; responden A kenaikannya adalah 220 %, responden B kenaikannya adalah
158,33%, responden C kenaikannya adalah 100% dan responden D kenaikannya
adalah 119,05. Artinya kecepatan mengayuh penderita pasca stroke dalam 1 bulan
meningkat diatas 100%. Dengan kata lain jumlah kayuhan setiap kali percobaan
(latihan mengayuh setiap 3 hari sekali) meningkat cukup signifikan, dan jika
dianalisa kenaikan tersebut dalam 1 hari, berturut-turut adalah; responden A
adalah 7,33%, responden B adalah 5,28 %, responden C adalah 3,33 % dan

responden D adalah 3,97 %. Peningkatan putaran kayuh terhadap kecepatan dapat


dilihat pada Gambar 5.3
50
45

Cycle/Minute

40
35
30

Respondents A

25

Respondents B

20

Respondents C

15

Respondents D

10
5
0
0

5 6
Day

10

Gambar 5.3. Peningkatan putaran kayuh terhadap kecepatan


Dari hasil yang ditunjukan di atas, dimana semakin lama kecepatan kayuh
semakin naik, hal ini dapat dikatakan ada kemajuan kesehatan pada penderita
pasca stroke, dimana dengan latihan tersebut otot-otot dan kekakuan tubuh
(badan) penderita sudah mulai menurun.

5.2 Evaluasi Rancangan Sepeda


5.2.1 Analisis Intensitas Jantung Pengayuh
Salah satu faktor penting yang digunakan untuk mengevaluasi apakah terapi
phisik seseorang pasca stroke adalah menghintung intensitas jantung penderita
selama melakukan aktifitas. Pada saat mulai kegiatan (ber olahraga), intensitas
yang dianjurkan untuk pasien pasca stroke adalah sekitar 50-80% dari detak
jantung maksimal (maximum Heart Rate). Intensitas masing-masing orang
berbeda-beda didasarkan pada umur. Berikut adalah perhitungan skala intensitas
dari responden A, B, C dan D.

Tabel 5.3 Intensitas responden pasca stroke

No

Nama

Umur

Responden

Berat

Tinggi

Badan

Badan

(kg)

(m)

Indek

HR

Masa

max

Tubuh

(220-

(IMT)

umur)

Batas
Bawah
Intensitas

Batas Atas
Intensitas
(80%*HR

(50%*HR

Max)

max)

Fuad

49

81

1,63

20,78

171

85.5

136,8

Surya

51

84

1,59

21,91

169

84.5

135,2

Nasru

43

70

1,64

20,4

177

88.5

141,6

Afkan

52

54,4

1,69

20,1

168

84

134,4

Hasilnya dapat dilihat pada gambar 5.4.

Heart Rate (pulse/minute)

INTENSITAS RESPONDEN A
170
160
150
140
130
120
110
100
90
80

bottom limit
upper limit
heart rate

Velocity (km/h)

10

12

Heart Rate (pulse/minute)

INTENSITAS RESPONDEN B
130

bottom limit
upper limit

80
0

10

15

heart rate

Velocity (km/h)

Heart Rate
(pulse/minute)

INTENSITAS RESPONDEN C
130

bottom limit
upper limit

80
0

10

15

heart rate

Velocity (km/h)

Heart Rate
(pulse/minute)

INTENSITAS RESPONDEN D
bottom limit
80
0

10

Velocity (km/h)

15

upper limit
heart rate

Gambar 5.4. Intersitas Jantung 4 responden pasca stroke saat mengayuh


Berdasarkan perubahan detak jantung setelah mengayuh sepeda, dapat
dilihat bahwa Responden A,B dan D

telah melebihi batas maksimum yang

disarankan pada kecepatan 6 km/h. Sedangkan responden C melebihi batas


maksimum yang disarankan pada kecepatan 8 km/h. Sehingga dapat disimpulkan
bahwasannya sepeda yang dikayuh cukup berat sehingga detak jantung yang
dihasilkan juga semakin tinggi seiiring dengan bertambahnya kecepatan. Selain
itu perlu dilakukan perbaikan dalam terapi dan desain sepeda yang ringan, tetap
kuat dan nyaman.

5.2.2 Rancangan Baru Sepeda Pasca Stroke Lipat


Sesuai dengan analisis sebelumnya, maka dilakukan perubahan rancangan sepeda
roda tiga seperti terlihat pada gambar 5.5. Sepeda yang dirancang memiliki ukuran
panjang 1645 mm, lebar 615 mm dan tinggi 1035 mm, setelah dilipat ukurannya
menjadi panjang 725 mm, lebar 460 mm dan tinggi 1035 mm. material yang
digunakan adalah Aluminium Alloy. Berat dari sepeda jika dihitung menggunakan
software CATIA P3 V5R20 adalah sekitar 15 kg.

(a)

(b)
Gambar 5.5. Dimensi dan Geometri Sepeda Konsep Baru (a) saat membuka (b)
saat terlipat

Keterangan Gambar:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.

23.
24.

Rangka Depan
Engsel lipat samping kanan
Pengunci samping kiri
Engsel lipat samping kiri
Pengunci samping kanan
Rangka samping kiri
Rangka samping kanan
Engsel roda kanan
Engsel roda kiri
Roda kanan
Roda kiri
Engsel kemudi
Batang penghubung
Kepala kemudi
Stang kemudi
Sarung kemudi
Pengunci kepala kemudi
Rumah kayuh tangan
Kayuh tangan independent
Pedal pengayuh kayuh
tangan
Pelindung rantai
Rantai penghubung kayuh
tangan dengan kayuh kaki
Sproket utama
Rumah kayuh kaki

25. Kayuh kaki

Gambar 5.6 Susunan Lengkap Sepeda Pasca Stroke

26. Pedal kayuh kaki


27. Rantai penghubung
kayuh kaki dengan roda
28. Engsel lipat belakang
29. Pengunci belakang
30. Rangka tengah
31. Ping tengah
32. Sadel
33. Sandaran
34. Suspensi
35. Rangka belakang
36. Roda belakang
37. Sprocket roda

5.2.3

Hasil Rancangan Sepeda Baru

Gambar.5.7 a) Desain baru sepeda pasca stroke lipat b) Prototipnya


5.2.4

Mekanisme Lipat

Sepeda ini dirancang bisa dilipat agar mudah dipindahkan dan diangkat serta
ditaruh di bagasi mobil. Langkah-langkah untuk melipat sepeda ini dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Buka pengunci lipatan belakang dan lipat lipatan ke atas
Setelah sadel dan rantai belakang dilepas, buka pengunci belakang rangka. Sambil
memegang rangka utama, lipat rangka belakang ke depan atas seperti terlihat pada
gambar 4.8.

Gambar 5.8 Melipat Rangka Belakang Sepeda

2. Buka pengunci lipatan kiri dan kanan, lalu lipat lipatan


Pengunci pada lipatan kanan dan kiri dibuka seperti gambar 4.9 dan lipat
rangka lipatan kiri dan kanan. Roda diatur untuk selalu lurus ke depan dengan
mengatur sudut dan jarak engsel belok roda dengan engsel pembelok pada
kemudi.

Gambar 5.9 Melipat Rangka Kiri dan Kanan


Dari mekanisme lipatan ini dimensi sepeda menjadi sebagai berikut:
panjang 810 mm, lebar 785 mm, dan tinggi 1020 mm. jika steering dapat dilepas
maka lipatan akan lebih sederhana.

5.2.5

Evaluasi Ergonomi Rancangan

Selain mengevaluasi ke-ergonomian dari rancangan sepeda, pada tahap ini dapat
juga diketahui fungsi beberapa mekanisme penting seperti mekanisme kayuh baik
dengan tangan maupun dengan kaki. Ada lima mode kayuhan yang bisa
dilakukan, yaitu: steering, alternate, synchron, left side dan right side. Ergonomi
rancangan dievaluasi dengan metode RULA dengan bantuan software CATIA
V5R20.
Sistem kayuh tangan yang awalnya menggunakan kemudi untuk mengayuh
diganti dengan sistem pedal yang dapat diputar secara Independent. Pada sistem
pedal tangan diberi One-way baring yang bertujuan agar pedal pada tangan kanan
dan kiri tidak saling mempengaruhi (Independent). Mode kayuhan pada sepeda ini
bermacam-macam, tujuannya untuk memudahkan pasien untuk memilih mode
atau jenis terapi mana yang diinginkan. Berikut macam-macam mode kayuhan
dengan nilai ergonominya:

1. Steering
Pada mode ini pasien mengayuh dengan kaki dan melakukan kemudi seperti
sepeda pada umumnya. Kemudi diatur tepat dengan posisi tubuh pengendara.
Kursi dari sepeda dapat diatur maju dan mundur sesuai jangkauan tangan dari
pengendara, sehingga memudahkan bagi pasien yang jangkauan tangannya masih
belum terlalu jauh. Nilai RULA pada mode ini adalah 3. Artinya masih desain
sepeda khususnya pada mode steering dapat diterima, seperti terlihat pada gambar
4.10.

Gambar 5.10 Mode Kayuh Steering

2. Alternate
Seperti terlihat pada gambar 4.11. Mode ini disebut juga bergantian (alternate),
artinya antara tangan kiri dan kanan mengayuh secara bergantian seperti yang
biasa dilakukan pada kayuh kaki. Kayuhan ini bisa dilakukan bersamaan dengan
kayuhan kaki (full body alternate) maupun hanya kayuhan tangan saja. Pada mode
ini melatih otot-otot tangan dan punggung pasien untuk bergerak bergantian
secara periodik dan juga menyelaraskan gerakan tangan dan kaki. Gerakan dari
sepeda diatur cenderung lurus saat berjalan, sehingga tangan pada kemudi dapat
dilepas untuk mengayuh. Nilai RULA pada mode ini adalah 3, artinya rancangan
sepeda saat mode alternate dapat diterima.

Gambar 5.11 Mode Kayuh Alternate

3. Synchron
Posisi pada mode ini tangan mengayuh pedal secara bersamaan (synchron) antara
kanan dan kiri. Pada mode ini juga bisa dilakukan dengan kayuhan tangan saja
atau besamaan dengan kayuhan kaki (syncrhon full body). Mode ini juga bisa
dilakukan dengan posisi tubuh yang berbeda. Posisi yang pertama adalah tubuh
stabil, artinya gerakan tangan tidak diikuti gerakan tubuh, sedangkan posisi tubuh
yang kedua adalah dinamis, artinya gerakan tangan diikuti gerakan tubuh. Tujuan
dari mode ini adalah untuk membantu pasien menyelaraskan antara bagian tubuh
yang kanan dengan yang kiri, juga dengan seluruh tubuh. Nilai RULA pada mode
ini seperti terlihat pada gambar 4.12 adalah 3, artinya rancangan sepeda dapat
diterima.

Gambar 5.12 Mode Kayuh Synchron

4. Left Side
Mode ini menggunakan tangan kiri untuk mengayuh dan tangan kanan untuk
mengemudikan sepeda/dilepas. Hal ini memudahkan bagi pasien yang masih
kesulitan untuk menggerakkan separuh anggota tubuhnya. Nilai RULA pada mode
ini adalah 3, hal itu menunjukkan desain dapat diterima.

Gambar 5.13 Mode Kayuh Left Side

5. Right Side
Mode ini sama dengan left side hanya saja menggunakan tangan kanan untuk
mengayuh dan tangan kiri untuk mengemudi/dilepas. Nilai RULA pada mode ini
juga 3, artinya desain sepeda masih dapat diterima.

Gambar 5.14 Mode Kayuh Right Side

5.2.6

Uji Fungsi Prototipe

(a)

(b)

Gambar 5.15 (a) Sepeda Berdiri (b) Sepeda Terlipat di dalam bagasi

BAB 6
UJI PERFORMANSI
6.1 Uji Keselamatan
Sepeda pasca stroke yang dirakit telah dilakukan uji keselamatan. Uji
keselamatan merupakan pengecekan seluruh komponen sepeda. Pengecekan
dilakukan dari segi fisik maupun performance. Uji keselamatan dilakukan
berdasarkan Standard Nasional Indonesia (SNI) 1049:2008 dan 7519:2009.
Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui keamanan sepeda yang dirancang saat
digunakan oleh pasien pasca stroke. Pengujian yang dilakukan meliputi pengujian
rem kering dan basah, uji kekuatan statis dan dinamis, dan pengujian kestabilan.
Hasil uji yang telah dilakukan dapat dilihat pada Lampiran 1.
6.1.1 Uji Pengereman
Menurut SNI tahun 2008, uji pengereman sepeda dapat dilakukan dengan
dua cara yaitu uji rem kering dan uji rem basah. Uji rem kering ialah pengujian
rem yang dilakukan dengan mengkondisikan sepeda dalam keadaaan kering atau
tidak terkena hujan. Sedangkan uji rem basah adalah pengujian rem yang
dilakukan dengan mengkondisikan sepeda dalam keadaan basah seperti terkena
hujan.
Uji rem kering dilakukan dengan mengayuh sepeda pada kecepatan
konstan 25 km/jam. Pengujian dinyatakan berhasil apabila sepeda mampu
berhenti dengan wajar dan aman pada jarak tidak lebih 7 m dari saat awal
pengereman. Setelah dilakukan pengujian pada sepeda pasca stroke lipat, sepeda
mampu berhenti dengan wajar dan aman. Jarak awal pengereman hingga sepeda
berhenti bergerak adalah 262 cm atau 2,62 m. Uji rem kering dapat dilihat pada
Gambar 6.1

Gambar 6.1 Uji Rem Kering


Sedangkan untuk uji rem basah, dilakukan dengan cara mengayuh sepeda
pada kecepatan 15 km/jam. Pengujian dinyatakan berhasil apabila sepeda mampu
berhenti dengan mulus dan aman pada jarak tidak lebih dari 5 m dari saat awal
pengereman. Setelah dilakukan pengujian pada sepeda pasca stroke lipat, ternyata

sepeda mampu berhenti dengan mulus dan aman. Jarak awal hingga akhir
pengereman yang terjadi adalah sebesar 145 cm atau 1,45 m. Uji rem basah dapat
dilihat pada Gambar 6.2 berikut ini

Gambar 6.2 Uji Rem Basah


Dari hasil uji pengereman, sepeda telah memenuhi syarat pengujian dan
dapat berfungsi dengan baik sehingga aman untuk digunakan.
6.1.2 Uji Kekuatan Sepeda Dalam Kondisi Statis
Menurut SNI tahun 2009, pengujian kekuatan sepeda dalam kondisi statis
dilakukan dengan meletakkan sepeda diatas lantai yang datar. Kemudian sepeda
diberikan beban 50 kg. Sepeda dinyatakan aman apabila tidak terjadi patah atau
bengkok pada bagian pipa terutama pada bagian sambungan sepeda seperti
lipatan. Setelah dilakukan pengujian, sepeda pasca stroke yang dibuat telah
memenuhi syarat. Namun rancangan sepeda Syifa ditargetkan mampu menerima
beban hingga 100 kg. Sehingga uji coba ditambahkan dengan beban 2 kali lipat
dari beban sebelumnya. Dalam kondisi statis pada lantai datar sepeda mampu
memenuhi desain. Hasil pengujian kekuatan sepeda dalam kondisi statis menurut
SNI tahun 2009 dapat dilihat pada Gambar 6.3 berikut ini.

Gambar 6.3 Uji Kekuatan Sepeda dalam Kondisi Statis

6.1.3 Uji Kekuatan Sepeda Dalam Kondisi Dinamis


Pengujian kekuatan sepeda dalam kondisi dinamis menurut SNI tahun
2009, dilakukan dengan meletakkan sepeda diatas lantai yang datar. Kemudian
sepeda diberikan beban 50 kg dan diberikan gaya dorong dengan ketinggian 40-50
cm sehingga menghasilkan kecepatan 2 m/detik atau 7 km/jam. Kecepatan sepeda
saat berjalan dikontrol dengan cyclometer. Sepeda dinyatakan aman apabila tidak
terjadi patah atau bengkok pada bagian pipa terutama pada bagian sambungan
sepeda seperti lipatan dan sepeda tidak terguling. Dari hasil pengujian, sepeda
pasca stroke lipat tetap kuat dan tidak ada bagian pipa yang patah dan bengkok.
6.1.4 Uji Kestabilan Sepeda
Pengujian kestabilan sepeda pasca stroke menurut SNI tahun 2009
dilakukan dengan meletakkan sepeda dalam 3 kondisi yang berbeda. Sepeda
diletakkan menghadap ke atas, ke bawah, dan ke samping di atas papan yang
memiliki sudut kemiringan 100. Kemudian diberikan pembebanan sebesar 50 kg
dan diletakkan diatas jok sepeda. Sepeda dinyatakan aman atau memenuhi syarat
apabila sepeda mampu menahan beban dalam kondisi yang telah ditentukan tanpa
terguling. Hasil Pengujian dapat ditunjukkan pada Gambar 6.4 berikut.

(a)

(b)

(c)

Gambar 6.4 Pengujian Kestabilan Sepeda (a) Posisi Menghadap ke Bawah (b)
Posisi Menghadap ke Atas Dan (c) Posisi Menghadap ke Samping.
Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan menurut SNI tahun 2009,
sepeda pasca stroke yang dibuat telah memenuhi syarat. Sepeda pasca stroke
mampu menahan beban 50 kg dalam kondisi yang telah ditentukan tanpa
terguling. Namun berdasarkan pengembangan sepeda yang dirancang, sepeda
ditargetkan mampu menahan beban sebesar 100 kg. Sehingga pengujian dilakukan
lagi dengan beban seberat 100 kg. Sepeda terguling ketika posisi menghadap ke
samping. Hal ini dikarenakan posisi tempat duduk yang tinggi sehingga beban 100
kg yang diletakkan diatas sepeda menimbulkan adanya momen yang cukup besar
dan menyebabkan sepeda terguling. Jadi sepeda tidak aman digunakan oleh
seseorang dengan beban 100 kg pada kemiringan 100.

6.1.5 Aksessibilitas Menaiki Sepeda


Responden pasca stroke yang mengalami lumpuh pada bagian kaki
mengalami kesulitan ketika naik maupun turun dari sepeda pasca stroke saat
melakukan uji kayuh ditempat. Seperti terlihat pada Gambar 6.5. Hal ini
dikarenakan bentuk rangka yang cukup tinggi. Selain itu, jarak antara rantai pedal
tangan dengan sadel cukup sempit. Sehingga perlu adanya suatu perbaikan
terhadap bentuk rangka sepeda pasca stroke yang telah dibuat.

Gambar 6.5 Responden Pasca Stroke saat Menaiki Sepeda


6.1.6 Uji Performansi
Uji performansi bertujuan untuk mengetahui performa sepeda saat
digunakan dilapangan. Uji performansi dilakukan dengan cara mengayuh sepeda
secara langsung dilapangan. Berdasarkan hasil uji yang dilakukan, sepeda pasca
stroke lipat yang dibuat mampu digunakan di gang-gang sempit perkotaan. Hal ini
sesuai dengan konsep rancangan Syifa dan latar belakang pembuatan sepeda
pasca stroke. Syifa merancang dimensi sepeda pasca stroke lebih kecil dari
rancangan sepeda sebelumnya. Penggunaan sepeda pada gang sempit dapat dilihat
pada Gambar 6.6. Selain itu, sepeda pasca stroke yang dibuat juga cukup stabil
digunakan dijalan lurus, menurun, menanjak dan dan miring namun sulit
digunakan untuk berbelok atau berbalik arah untuk jalan yang sempit. Hal tersebut
dapat dilihat pada Gambar 6.7.

Gambar 6.6 Penggunaan Sepeda pada Gang-gang Sempit Perkotaan

a)

b)

c)

Gambar 6.7 Penggunaan Sepeda pada Lintasan a) Menanjak b) Menurun dan c)


Miring
6.2 Pengukuran Postur Anggota Tubuh dengan Menggunakan Metode
RULA
Pengukuran postur anggota tubuh dengan menggunakan metode RULA
dilakukan kepada lima orang responden sehat. Pengukuran postur anggota tubuh
bertujuan untuk mengetahui tingkat risiko cedera tubuh pengendara sepeda pasca
stroke yang telah dibuat. Pengukuran dilakukan secara langsung dengan
menggunakan alat goneometri seperti yang terlihat pada Gambar 6.8.

Gambar 6.8 Set Up Pengukuran Resiko Cidera Anggota Tubuh


Sebelum dilakukan pengukuran postur anggota tubuh, kelima responden
sehat telah diukur Indeks Massa Tubuh (IMT) masing-masing untuk mengetahui
kondisi responden dalam keadaan normal. Adapun hasil pengukuran IMT masingmasing responden sehat seperti yang ditunjukkan pada Tabel 6.1 berikut ini.
Tabel 6.1 Indeks Masa Tubuh Responden Sehat
No

Nama

Umur
(th)

Berat
(kg)

Badan Tinggi Badan


(m)
IMT

Endah

23

48

1,58

19,22769 Normal

Gallih

22

72

1,74

23,78121 Normal

Dani

23

47,5

1,58

19,0274

Dini

22

53

1,61

20,44674 Normal

Raisa

23

54

1,61

20,83253 Normal

Kondisi

Normal

Berdasarkan hasil pengukuran IMT diatas, seluruh responden memenuhi


syarat untuk dilakukan pengujian. Langkah selanjutnya adalah dengan melakukan
pengukuran postur anggota tubuh responden pada saat mengendarai sepeda
dengan kayuhan tangan maupun kayuhan kaki. Sepeda dikondisikan dalam
keadaan diam (statis). Responden dikondisikan dalam keadaan nyaman.
Pengukuran postur anggota tubuh dengan menggunakan metode RULA terbagi
menjadi 3 tahap penilaian yang terdiri dari penilaian postur kerja tubuh, penilaian
kelompok postur kerja tubuh dan penunjukan nilai total. Panduan pengukuran
postur tubuh dengan menggunakan metode RULA terlampir pada Lampiran 6.
Setiap pergerakan yang diukur akan menghasilkan nilai yang didasarkan pada
diagram sikap tubuh.
Hasil pengukuran postur tubuh responden sehat beserta penilaian untuk
anggota tubuh bagian atas (Grup A) kayuhan tangan dan maupun kaki dapat
dilihat pada Lampiran 2. Setelah penilaian postur kerja selesai dilakukan, tahap
selanjutnya adalah dengan melakukan penilaian kelompok postur kerja tubuh.

Dengan menggunakan tabel matrikulasi penilaian untuk grup A, semua responden


memiliki nilai kelompok postur kerja tubuh 4. Hal tersebut dapat dilihat pada
Lampiran 4.
Setelah pengukuran postur tubuh bagian atas selesai, selanjutnya adalah
dengan melakukan pengukuran postur tubuh bagian bawah (Grup B). Hasil
pengukuran postur tubuh bagian bawah kelima responden sehat dapat dilihat pada
Lampiran 3. Setelah penilaian berdasarkan postur tubuh bagian bawah selesai
dilakukan, langkah berikutnya adalah dengan melakukan penilaian kelompok
postur kerja tubuh bagian bawah (Grup B). Berdasarkan matrikulasi yang
dilakukan, semua responden memiliki nilai akhir 2 untuk postur anggota tubuh
bagian bawah kayuhan kaki sedangkan kayuhan tangan memiliki nilai akhir 3. Hal
tersebut dapat dilihat pada Lampiran 5.
Setelah nilai dari grup A dan grup B didapatkan, langkah selanjutnya
adalah dengan melakukan penilain terhadap sistem otot dan gaya berat. Karena
pada saat mengayuh sepeda tidak ada aktivitas yang membebani otot dan tidak
ada gaya atau beban yang diterima responden maka nilai untuk sistem otot dan
gaya berat adalah 0.
Nilai postur A ditambahkan dengan nilai sistem otot dan nilai beban untuk
mendapatkan nilai C. Selanjutnya Nilai postur B ditambahkan dengan nilai sistem
otot dan nilai beban untuk mendapatkan nilai D. Selanjutnya dengan melakukan
matrikulasi nilai C dan D didapatkan nilai akhir. Nilai akhir (grand score) dari
pengukuran risiko cedera anggota tubuh masing-masing responden sehat dapat
ditunjukkan pada Tabel 6.2 berikut ini.
Tabel 6.2 Nilai Akhir Pengukuran Risiko Cedera Tubuh
No Responden Nilai Akhir Kayuhan Tangan
Nilai Akhir Kayuhan Kaki
(Grand Score)
(Grand Score)
1
A
3
3
2
B
3
3
3
C
3
3
4
D
3
3
5
E
3
3
Berdasarkan pengukuran risiko cedera anggota tubuh yang dilakukan,
semua responden sehat memberikan penilaian akhir 3. Menurut McAtamney ada
beberapa tindakan yang harus dilakukan berdasarkan nilai akhir dari pengukuran
risiko cedera anggota tubuh seperti yang telah diuraikan pada tabel 2.3
sebelumnya.
Berdasarkan tabel 2.3, sikap kerja berada diantara rentang gerakan yang
cukup aman (risiko cedera cukup kecil) namun masih diperlukan adanya
investigasi lebih lanjut terhadap sepeda pasca stroke yang telah dibuat.

6.3 Uji Kayuh


Uji Kayuh dilakukan untuk mengetahui perubahan detak jantung sebelum
dan sesudah kayuhan. Perubahan detak jantung tersebut akan digunakan untuk
menghitung konsumsi energi yang dikeluarkan saat mengayuh sepeda. Uji kayuh
dilakukan pada responden sehat dan responden pasca stroke untuk mengetahui
perbandingan konsumsi energi. Selain itu, uji kayuh juga dilakukan untuk
mengetahui perubahan yang terjadi pada kekuatan otot kaki sebelum dan sesudah
mengayuh. Pengukuran kekuatan otot kaki hanya dilakukan pada responden sehat.
Set up uji kayuh dapat dilihat pada Gambar 6.9

Gambar 6.9 Set Up Uji Kayuh Responden Sehat


Uji kayuh dilakukan selama 6 menit dengan beberapa variasi kecepatan
yaitu 6 km/h, 8 km/h, 10 km/h, 12 km/h, 14 km/h, 16 km/h dan 18 km/h. Terdapat
waktu istirahat selama 6-10 menit disela-sela pergantian kecepatan agar detak
jantung reponden kembali normal. Waktu 6 menit dipilih berdasarkan waktu yang
disarankan pada zona latihan menurut jurnal ISSA (Indonesian Sport Scientist
Association). Bersepeda dalam kondisi statis termasuk aktivitas siklik, yaitu
aktivitas olahraga yang dilakukan dengan gerakan berulang ulang. Level intensitas
yang dipilih adalah level medium. Menurut America Heart Association waktu
olahraga yang disarankan untuk pasien pasca stroke adalah 10-30 dalam sehari
dan dilakukan 2 kali dalam seminggu. Berikut ini merupakan Tabel 4.3 yang
menunjukkan zona intensitas olahraga siklik yang disarankan oleh ISSA.
Tabel 6.3 Lima Zona Intensitas Olahraga Siklik
Zone No Durasi Kerja Level Intensitas
1
1-15 detik
Up to Maximum Limit
2
15-60 detik
Maximum
3
1-6 menit
Submaximum
4
6-30 menit
Medium
5
>30 menit
Low

Sistem Produksi Energi


ATP-CP
ATP-CP dan LA
LA dan Aerobik
Aerobik
Aerobik

6.3.1 Pengaruh Detak Jantung Terhadap Konsumsi Energi Responden Sehat


Hasil pengukuran detak jantung responden sehat dilakukan sebelum dan
sesudah melakukan kayuhan dengan menggunakan kaki. Data perubahan detak
jantung sebelum dan sesudah kayuhan dapat dilihat pada Lampiran 7. Setelah
delta detak jantung diketahui, maka perhitungan konsumsi energi dapat dilakukan
dengan menggunakan rumus pada bab 2 yaitu
= 1.80 0,022 + (4,71 104 ) 2
Selanjutnya, besarnya konsumsi energi yang ada dapat dihitung dengan
menggunakan rumus matematis dibawah ini
KE = Et Ei
Contoh perhitungan;
Detak jantung sebelum = 64
Y = Et = 1.80 0,022 + (4,71 104 ) 2
= 1.80 0,022(64) + (4,71 104 )(64)2
= 2,270485168
Detak jantung sesudah = 72
Y = Ei = 1.80 0,022 + (4,71 104 ) 2
= 1.80 0,022(72) + (4,71 104 )(72)2
= 2,600500272
Konsumsi Energi
KE
= Et Ei
= 2,600500272 2,270485168
= 0,330015104
Hasil perhitungan konsumsi energi semua responden sehat dapat dilihat
pada Lampiran 8. Detak jantung sebelum dan sesudah kayuhan akan mengalami
kenaikan seiring bertambahnya kecepatan. Jantung akan bekerja lebih cepat
memompa darah keseluruh tubuh agar pasokan oksigen dalam tubuh terpenuhi.
Hubungan antara detak jantung dan kecepatan kayuh masing-masing responden
sehat dapat dilihat pada Gambar 6.10 berikut ini

Deatk Jantung (pulse/menit)

120
96

100
80

72

64

76
64

84

80

76
64

64

64

84
64

64

60
40
20
0
6

10

12

14

16

18

kecepatan kayuh (km/h)


sebelum

sesudah

Deatk Jantung (pulse/menit)

a)

120
100
80

76

68

100

96

88
76

68

76

100
68

104

100

64

64

60
40
20
0
6

10

12

14

16

18

kecepatan kayuh (km/h)


sebelum

sesudah

Deatk Jantung (pulse/menit)

b)

120
100
80

68

96

92

88

72

68

96
72

100

96
64

64

100

64

60
40
20
0
6

10

12

14

kecepatan kayuh (km/h)


sebelum

sesudah

16

18

Deatk Jantung (pulse/menit)

c)

120
100

80 84

80 84

100

96

88 92

84

84

106

100
88

84

80
60
40
20
0
10

12

14

16

18

kecepatan kayuh (km/h)


sebelum

sesudah

Deatk Jantung (pulse/menit)

d)

120
100
80

72

64

84

76

84

92
76

72

100

96

94

92

72

64

60
40

20
0
6

10

12

14

16

18

kecepatan kayuh (km/h)


sebelum

sesudah

e)
Gambar 6.10 Diagram Perubahan Detak Jantung Sebelum dan Sesudah Mengayuh
a) Responden A, b) Responden B, c) Responden C, d) Responden D, dan e)
Responden E terhadap Kecepatan Kayuh
Kecepatan denyut jantung seseorang akan mempengaruhi konsumsi energi
yang dikeluarkan. Semakin cepat denyut jantung seseorang saat berolahraga maka
energi yang dikeluarkan pun juga akan semakin besar. Kecepatan detak jantung
saat berolahraga bergantung pada beban kerja yang diterima. Dalam uji kayuh
yang dilakuakan oleh responden sehat, detak jantung semakin meningkat seiring
dengan bertambahnya kecepatan. Detak jantung yang semakin meningkat seiring
bertambahnya kecepatan menyebakan energi yang dikeluarkan untuk mengayuh

juga semakin besar. Hal tersebut dapat terlihat pada trendline grafik yang
ditunjukkan pada Gambar 6.11 berikut ini

Konsumsi Energi (kkal/m)

2.5

Responden A
Responden B

Responden C

1.5

Responden D
Responden E

Linear (Responden A)
0.5

Linear (Responden B)
Linear (Responden C)

0
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

Linear (Responden D)

Kecepatan Kayuh (km/h)

Linear (Responden E)

Gambar 6.11 Grafik Pengaruh Kecepatan Kayuh terhadap Konsumsi


Energi (Responden A,B,C,D dan E)
6.3.2 Perbandingan Konsumsi Energi Kayuhan Kaki dengan Kayuhan
Tangan
Uji kayuhan tangan dilakukan oleh lima orang responden sehat dengan
kecepatan 18 km/h untuk mengetahui perbandingan konsumsi energi kayuhan
kaki dengan kayuhan tangan pada kecepatan maksimum yang digunakan pada
penelitian ini.
Setelah dilakukan perhitungan, konsumsi energi yang dikeluarkan untuk
mengayuh sepeda dengan kayuhan tangan lebih besar jika dibandingkan dengan
energi yang dikeluarkan dengan menggunakan kayuhan kaki seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 6.4.
Tabel 6.4 Perbandingan Konsumsi Energi Kayuhan Tangan dengan Kayuhan Kaki

No Responden
1
A
2
B
3
C
4
D
5
E

Konsumsi enrgi kayuhan


kaki (kkal/menit)
1,68235136
2,25389376
1,960574832
1,235023236
1,960574832

Konsumsi enrgi
kayuhan tangan
(kkal/menit)
1,960574832
2,40484832
2,25389376
1,2401628
2,096433936

Grafik perbandingan konsumsi energi antara kayuhan tangan dan kaki


masing-masing responden dapat dilihat pada Gambar 6.12

KONSUMSI ENERGI (KKAL/MENIT)

2.6
2.4
2.2
2
1.8
1.6
1.4
1.2
1
A

RESPONDEN
Kayuhan Kaki

Kayuhan Tangan

Gambar 6.12 Diagram Perbandingan Konsumsi Energi Antara Kayuhan Tangan


dan Kaki
6.3.3 Hubungan Kekuatan Otot Kaki Sebelum dan Sesudah Kayuhan
Responden Sehat
Selain pengukuraan detak jantung dan konsumsi energi, pengukuran
kekuatan otot kaki juga dilakukan pada responden sehat seperti yang terlihat pada
Gambar 6.13. Pengukuran kekuatan otot kaki pada responden sehat dilakukan
sebelum dan sesudah melakukan uji kayuh. Pengukuran dilakukan dengan
menggunakan alat leg dynamometer. Hasil pengukuran kekuatan otot kaki
responden sehat sebelum dan sesudah mengayuh sepeda dapat dilihat pada
Lampiran 9.

Gambar 6.13 Set Up Pengukuran Kekuatan Otot Kaki


Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui bahwa kekuatan otot kaki
akan semakin meningkat setelah melakukan kayuhan. Semakin cepat kayuhan
yang dilakukan, peregangan yang terjadi juga akan semakin meningkat. Otot-otot

kekuatan Otot Kaki (kgs)

kaki yang tegang dan kaku semakin meregang setelah melakukan kayuhan sepeda.
Hal tersebut dapat dilihat pada gambar 6.14 dibawah ini.

80 80

80 80

80 90

80 90

80 90

80 90

10

12

14

16

80

100

18

Kecepatan Kayuh (km/h)


Sebelum

Sesudah

kekuatan Otot Kaki (kgs)

a)

220 230

220 240

230 250

240 260

240 260

240 260

10

12

14

16

250

280

18

Kecepatan Kayuh (km/h)


Sebelum

Sesudah

kekuatan Otot Kaki (kgs)

b)

120 120

120 130

120

140

120

10

140

12

150
120

14

Kecepatan Kayuh (km/h)


Sebelum

c)

Sesudah

180

160
130

16

130

18

kekuatan Otot Kaki (kgs)

40 40
6

60 70
8

80 90

70

10

90

90
60

12

90
60

14

16

100
70

18

Kecepatan Kayuh (km/h)


Sebelum

Sesudah

kekuatan Otot Kaki (kgs)

d)

80 80

80 80

80 90

80

10

100

12

80

100

14

90

110

16

90

110

18

Kecepatan Kayuh (km/h)

Sebelum

Sesudah

Gambar 6.14 Grafik Perubahan Kekuatan Otot Kaki Sebelum dan Sesudah
Kayuhan (a) Responden A, (b) Responden B, (c) Responden C, (d) Responden D
dan (e) Responden E terhadap Kecepatan
Berdasarkan kenaikan kekuatan otot kaki yang terjadi pada responden
sehat setelah melakukan kayuhan, diharapkan responden pasca stroke yang
menggunakan sepeda pasca stroke akan mengalami peregangan dan kenaikan
kekuatan otot kaki setelah mengayuh sepeda pasca stroke. Kenaikan kekuatan otot
kaki akan membantu proses penyembuhan pasca stroke karena otot-otot kaki
semakin meregang.
6.3.4 Pengaruh Detak Jantung Terhadap Konsumsi Energi Responden Pasca
Stroke
Pada penelitian ini, responden pasca stroke yang bersedia untuk mengikuti
terapi ini berjumlah tiga orang. Dua orang perempuan dan satu orang laki-laki.
Berikut ini merupakan penjabaran kondisi ketiga pasien pasca stroke tersebut

Tabel 6.5 Kondisi Pasien Pasca Stroke


Kondisi Pasien Pasca Stroke
Nama
Salfiah
Umur
75 tahun
Berat Badan 68 kg
Tinggi
156 cm
IMT
26,23 (obesitas)
Kondisi
Sakit pada kaki sebelah kiri akibat
stroke yang dideritanya. Pada saat
berjalan masih sempoyongan. Rutin
mengikuti terapi di salah satu rumah
sakit di Mojokerto tapi jarang
berolahraga
Nama
Suliati
Umur
52 tahun
Berat Badan 55 kg
Tinggi
162
IMT
20,96 (normal)
Kondisi
Stroke ringan, mengeluh sakit pada kaki
sebelah kanan dan berat saat digunakan
untuk berjalan. Tidak pernah mengikuti
terapi dan jarang berolahraga
Nama
Umur
Berat Badan
Tinggi
IMT
Kondisi

Sugianto
57 tahun
65 kg
165
23,87 (normal)
Anggota
tubuh
bagian
kanan
mengalami lumpuh, tangan sudah
membaik dan dapat digerakkan namun
kaki kanan masih agak sulit untuk
digerakkan. Rutin berolahraga dan
mengikuti terapi di Rumah Sakit Anwar
Medika

Ketiga responden melakukan kayuhan selama 6 menit seperti yang


dilakukan responden sehat sebelumnya dengan beberapa variasi kecepatan yang
telah ditentukan. Waktu istirahat disela-sela jeda pergantian kecepatan sekitar 1015 menit sampai detak jantung responden kembali normal. Perubahan detak
jantung responden pasca stroke sebelum dan sesudah kayuhan ditunjukkan pada
Lampiran 10. Setelah perubahan detak jantung sebelum dan sesudah kayuhan
diketahui, maka perhitungan konsumsi energi dapat dilakukan. Hasil perhitungan

konsumsi energi responden pasca stroke dapat dilihat pada Lampiran 11. Set up
uji kayuh responden pasca stroke dapat dilihat pada Gambar 6.15

Gambar 6.15 Set Up Uji Kayuh Responden Pasca Stroke


Seperti halnya responden sehat, detak jantung responden pasca stroke juga
akan semakin mengalami kenaikan sebelum dan sesudah mengayuh seperti yang
terlihat pada Gambar 6.16

DETAK JANTUNG
(PULSE/MENIT)

Sebelum

Sesudah

150
100

84
64

96
72

104
68

104
64

108
64

112
64

116
64

50
0
10

12

14

16

18

116

124

KECEPATAN KAYUH (KM/H)

a)
Sebelum

Sesudah

DETAK JANTUNG
(PULSE/MENIT)

150
100

104
80

108
84

112
84

112
84

112
76

72

80

50
0
10

12

14

KECEPATAN KAYUH (KM/H

16

18

b)

DETAK JANTUNG
(PULSE/MENIT)

Sebelum
120
100
80
60
40
20
0

84
64

84
64

Sesudah

96
76

96
76

10

12

100
76

14

104
80

16

104
72

18

KECEPATAN KAYUH (KM/H

c)
Gambar 6.16 Diagram Perubahan Detak Jantung a) Responden A, b) Responden
B, dan c) Responden C terhadap Kecepatan

Konsumsi Energi (kkal/menit)

Detak jantung masing-masing responden pasca stroke akan menglami


kenaikan seiring dengan kenaikan kecepatan kayuh dan akan menyebabkan
konsumsi energi yang tejadi juga semakin meningkat. Hal tersebut dapat dilihat
pada Gambar 6.17
3.5

3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
5

10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

Kecepatan Kayuh (km/h)


Responden A

Responden B

Responden C

Gambar 6.17 Grafik Hubungan Konsumsi Energi terhadap Kecepatan Kayuh


Responden Pasca Stroke.
Namun kenaikan detak jantung pada responden sehat dan responden pasca
stroke memiliki perbedaaan. Kenaikan detak jantung pada responden pasca stroke
lebih tinggi jika dibandingkan dengan responden sehat. Hal ini dikarenakan salah
satu anggota tubuh responden pasca stroke masih kaku atau berat untuk
digerakkan. Sehingga usaha yang diperlukan untuk menggerakkan kakipun juga
cukup besar. Semakin tinggi usaha yang dilakukan untuk mengayuh maka detak

Konsumsi Energi (kkal/menit)

jantung akan semakin meningkat dan konsumsi energi juga akan semakin
meningkat. Grafik perbandingan kenaikan detak jantung responden sehat dan
pasca stroke dapat dilihat pada Gambar 6.18

3.5
3

Responden Sehat A

2.5

Responden Sehat B

Responden Sehat C

1.5

Responden Sehat D

Responden Sehat E

0.5

Responden Pasca Stroke A

9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

Kecepatan Kayuh (km/h)

Responden Pasca Stroke B


Responden Pasca Stroke C

Gambar 6.18 Grafik Perbandingan Kenaikan Detak Jantung Responden Sehat


dengan Responden Pasca Stroke terhadap Kecepatan
Kenaikan detak jantung responden A dan B pasca stroke lebih tinggi jika
dibandingkan dengan responden sehat. Namun kenaikan responden C pasca
stroke masih berada dibawah dibawah responden sehat C dan B. Hal ini
dikarenakan responden pasca stroke C sering melakukan olahraga jika
dibandingkan dengan responden pasca stroke A dan B. Sehingga kenaikan yang
terjadi tidak terlalu tinggi.
Jika dibandingkan dengan responden sehat, konsumsi energi responden
pasca stroke berada pada rentang 0,9 - 3,2 kkal/menit sedangkan responden sehat
berada pada rentang 0,2 2,2 kkal/menit. Berdasarkan Tabel 2.2, energi yang
dikeluarkan oleh responden sehat tergolong dalam level pekerjaan sangat ringanringan (very low-low) begitu pula dengan responden pasca stroke tergolong level
sangat ringan-ringan (very low-low). Sehingga dapat disimpulkan sepeda ringan
dikayuh, karena energi yang dikeluarkan untuk mengayuh kecil. Berbeda dengan
sepeda rancangan sebelumnya, energi yang dikeluarkan berada pada level berat
(heavy) yang menunjukkan sepeda berat untuk dikayuh.
6.3.5 Intensitas Olahraga untuk Responden Pasca Stroke
Untuk mengetahui manfaat sepeda pasca stroke bagi responden pasca
stroke pada saat terapi, maka diperlukan perhitungan intensitas detak jantung. Hal
ini penting dilakukan untuk mengontrol kecepatan detak jantung yang dianjurkan
pada saat terapi. Intensitas setiap orang berbeda-beda bergantung umur. Menurut
America Heart Association (AHA), intensitas yang disarankan untuk pasien pasca
stroke adalah 50-80% dari denyut nadi maksimum. Denyut nadi maksimum
diperoleh dengan cara 220-umur (AHA). Perhitungan skala intensitas akan
menghasilkan batas minimum dan maksimum detak jantung yang disarankan pada

saat berolahraga bagi seseorang. Apabila pada saat berolahraga kenaikan detak
jantung tidak melebihi batas minimum intensitas, maka olahraga yang dilakukan
sia-sia karena hasil yang didapatkan kurang optimal (tidak ada efek/manfaat
latihan). Namun sebaliknya apabila melebihi batas maksimum detak jantung yang
disarankan dapat membahayakan kesehatan jantung.
Contoh Perhitungan
Umur
= 75
Detak Jantung Maksimum
= 220 umur
= 145
Intensitas
Batas Bawah Detak Jantung
= 50% x 145 = 72,5
Batas Bawah Detak Jantung
= 80% x 145 = 116

Detak Jantung (pulse/menit)

Perhitungan intensitas untuk masing-masing responden pasca stroke dapat


dilihat pada Lampiran 12. Untuk Responden Pasca Stroke A, intensitas kenaikan
detak jantung yang disarankan adalah adalah mulai dari 72,5-116 denyut/menit,
sedangakan Responden Pasca Stroke B, intensitas kenaikan detak jantung yang
disarankan adalah adalah mulai dari 84-134,4 denyut/menit dan Responden Pasca
Stroke C, intensitas kenaikan detak jantung yang disarankan adalah adalah mulai
dari 81,5-130,4 denyut/menit.
Berdasarkan uji kayuh yang dilakukan, diketahui kenaikan detak jantung
masing-masing responden pasca stroke setelah melakukan pengayuhan. Kenaikan
detak jantung responden pasca stroke tersebut kemudian diplotkan berdasarkan
intensitas masing-masing untuk mengetahui bahwa detak jantung responden
masih berada pada zona yang disarankan pada saat berolahraga atau melakukan
terapi. Gambar 4.19 berikut menunjukkan grafik pengontrolan detak jantung
masing-masing responden pasca stroke.

140
130
120
110
100
90
80
70
60

Batas Atas
Batas Bawah
Detak Jantung
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Kecepatan (km/h)

a)

Detak Jantung (pulse/menit)

140
130
120
110
100
90
80
70
60

Batas Atas
Batas Bawah
Detak Jantung

5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Kecepatan (km/h)

b)

Detak Jantung (Pulse/menit)

Intensitas Olahraga Responden C


140

120
Batas Atas

100

Batas Bawah

80

Detak Jantung

60
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Kecepatan (km/h)

c)
Gambar 6.19 Grafik Intensitas Responden Pasca Stroke a) Responden A, b)
Responden B, dan c) Responden C
Berdasarkan grafik diatas dapat ditarik suatu kesimpulan. Responden
Pasca Stroke A sangat berbahaya apabila melakukan kayuhan dengan kecepatan
melebihi 18 km/h. Setelah mengayuh dengan kecepatan 18 km/h, detak jantung
Responden Pasca Stroke A sudah mencapai batas maksimum yang disarankan.
Begitu pula Responden Pasca Stroke B, setelah mengayuh dengan kecepatan 18
km/h sudah mulai mendekati batas maksimum detak jantung yang disarankan.
Sehingga juga disarankan untuk mengayuh tidak melebihi kecepatan 18 km/h.
Sedangkan Responden Pasca Stroke C, detak jantung setelah mengayuh pada
kecepatan 18 km/h masih berada jauh dibawah batas maksimum. Sehingga untuk
melakukan kayuhan dengan kecepatan lebih dari 18 km/h masih tergolong aman.
6.3.6 Perkembangan Putaran Kayuh Responden Pasca Stoke
Untuk mengetahui dan memantau perkembangan kesehatan responden
pasca stroke, telah dilakukan perekaman perkembangan jumlah putaran kayuh
sebanyak 5 kali pengambilan data dalam waktu 2 minggu. Proses pengkayuhan
sepeda oleh responden pasca stroke dapat dilihat pada Gambar 4.20

a)
b)
c)
Gambar 6.20 Responden a) Salfiah b) Suliati dan c) Sugianto Melakukan
Kayuhan saat Terapi
Perekaman dilakukan dengan menggunakan bantuan kamera digital.
Setelah hasil rekaman didapatkan, putaran kayuh masing-masing responden pasca
stroke dihitung untuk mengetahui besarnya peningkatan yang terjadi. Berikut ini
merupakan tabel hasil perhitungan putaran kayuh masing masing reponden seperti
yang ditunjukkan pada Tabel 6.6
Tabel 6.6 Jumlah Putaran Kayuh Responden Pasca Stroke
No

Nama

Salfiah

Suliati

Sugianto

I
28

Putaran Kayuh (RPM)


II
III
IV
31
34
50

V
55

42

45

48

49

53

29

34

37

39

42

Apabila diperhatikan perkembangan jumlah putaran kayuh masing masing


responden pasca stroke semakin meningkat mulai dari perekaman yang pertama
hingga perekaman yang terakhir. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan,
kayuhan responden A mengalami kenaikan 96% dari 28 rpm menjadi 55 rpm,
sedangkan responden B mengalami kenaikan 26% dari 42 menjadi 53 rpm dan
responden C mengalami kenaikan 45% dari 29 rpm menjadi 42 rpm. Grafik
kenaikan kayuhan responden pasca stroke ditunjukkan pada Gambar 4.17 berikut
ini.

Jumlah Kayuhan (putaran/menit)

Putaran kayuh
60
55
50
45
40
35
30
25
20
0

Rekaman
Responden A

Responden B

Responden C

Gambar 6.21 Grafik Jumlah Putaran Kayuh Responden Pasca Stroke


Semakin bertambahnya putaran kayuh responden pasca stroke
menunjukkan bahwa kesehatan responden pasca stroke semakin membaik,
dengan ditunjukkannya otot-otot kaki yang semakin meregang. Semakin
meregangnya otot kaki responden pasca stroke, maka kekuatan otot kaki juga
akan semakin meningkat.
Selain uji kayuh ditempat (kondisi statis) atau indoor, Responden B juga
telah melakukan percobaan uji kayuh outdoor (dilapangan) untuk mengetahui
performa sepeda. Uji kayuh dilapangan hanya dilakukan oleh Responden B saja,
hal ini dikarenakan kondisi Responden B lebih baik (stroke ringan) jika
dibandingkan dengan Responden A, dan B. Setelah dilakukan pengkayuhan
dilapangan, responden B mampu mengayuh sepeda dengan kecepatan hingga 14
km/h. Dengan perubahan detak jantung dari 82 detik/menit menjadi 112
detik/menit. Responden Pasca Stroke B menyatakan lebih nyaman mengayuh di
lapangan daripada ditempat, namun sepeda yang dinaiki dirasa masih belum rigid
karena pada saat dikayuh masih terasa belum stabil. Selain itu, Responden B
masih merasa kesulitan menggunakan sepeda saat berbelok, sehingga perlu turun
dari sepeda. Percobaan outdoor sepeda pasca stroke oleh reponden B dapat dilihat
pada Gambar di bawah

Gambar 6.21 Uji Lapangan Penggunaan Sepeda Pasca Stroke oleh Responden
Pasca Stroke B (Outdoor)
Sepeda rancangan Syifa 2015 memiliki sudut camber negatif pada roda
bagian depan. Sudut yang dibentuk antara kemiringan roda dan garis vertikal
tersebut berfungsi untuk mengutamakan kendaraan agar dapat berjalan lurus dan
stabil. Namun pada saat sepeda diberikan beban (pengemudi) dan dikayuh
dilapangan, sudut camber negatif bertambah besar sehingga mengakibatkan
kemudi menjadi berat dan sulit untuk digerakkan saat berbelok. Sudut camber
negatif terlalu besar mengakibatkan keausan roda terjadi pada bagian dalam roda.

BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengujian sepeda pasca stroke dan analisa yang
dilakukan dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut
1. Berdasarkan uji keselamatan yang dilakukan menurut SNI 1049:2008 dan
SNI 7519:2009, sepeda dinyatakan aman digunakan. Sepeda pasca stroke
tidak diperuntukkan bagi pasien pasca stroke dengan berat 100 kg ke atas,
karena setelah dilakukan pengujian pada lintasan miring dengan beban 100
kg sepeda terguling.
2. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada saat penggunaan sepeda
oleh responden pasca stroke, didapatkan beberapa evaluasi desain sepeda
pasca stroke antara lain.
Aksessibilitas penggunaan sepeda masih kurang, karena responden
pasca stroke yang mengalami lumpuh pada bagian kaki masih kesulitan
ketika menaiki sepeda maupun turun dari sepeda.
Letak kayuhan tangan yang kurang tepat menyebabkan posisi punggung
membungkuk. Sehingga kurang nyaman untuk digunakan oleh
responden pasca stroke.
Sepeda sulit digunakan untuk berbelok karena camber negatif yang
semakin membesar saat sepeda diberikan beban (pengendara), selain itu
radius belok roda bagian depan yang cukup besar sehingga tidak dapat
digunakan berbelok pada tikungan yang tajam.
3. Berdasarkan pengukuran posisi anggota tubuh responden sehat dengan
metode Rapid Upper Limb Assessment (RULA) saat mengayuh
menggunakan kaki maupun tangan didapatkan nilai akhir 3. Sehingga
menurut McAtamney sepeda cukup aman digunakan (resiko cidera kecil).
Tetapi masih diperlukan investigasi dan pengembangan.
4. Hasil pengukuran kekuatan otot kaki responden sehat dengan
menggunakan leg dynamometer semakin naik sesudah mengayuh sepeda.
Sehingga dapat diprediksi bahwa responden pasca stroke nantinya juga
akan mengalami peregangan otot kaki setelah mengayuh sepeda pasca
stroke.
5. Besarnya energi yang dikeluarkan oleh responden pasca stroke lebih besar
jika dibandingkan dengan responden sehat. Konsumsi energi responden
pasca stroke berada pada rentang 0,9 - 3,2 kkal/menit sedangkan
responden sehat berada pada rentang 0,2 2,2 kkal/menit. Energi yang
dikeluarkan oleh responden sehat dan responden pasca stroke tergolong
level sangat ringan-ringan (very low-low). Sehingga dapat disimpulkan
sepeda ringan untuk dikayuh.
6. Perubahan putaran kayuh responden pasca stroke dari hasil 5 kali
pengambilan rekaman selama 2 minggu semakin meningkat. Hal ini

menunjukkan kekuatan otot kaki responden semakin meningkat karena


adanya peregangan akibat terapi yang diberikan. Responden A mengalami
peningkatan kayuhan hingga 96%, sedangkan responden B mengalami
peningkatan kayuhan 26% dan responden C mengalami peningkatan
kayuhan 45 %.
7. Sepeda pasca stroke dapat memberikan manfaat bagi pasien pasca stroke
karena mampu memenuhi intensitas detak jantung masing-masing
responden dalam terapi yang diberikan. Dari hasil uji kayuh, detak jantung
ketiga responden pasca stroke masih berada pada intensitas terapi yang
disarankan oleh America Heart Association (50-80% Denyut Nadi
Maksimum).
7.2 Saran
1. Dalam pengembangan sepeda pasca stroke lipat selanjutnya, aksessibilitas
sepeda pasca stroke lebih diperhatikan. Bentuk rangka dibuat lebih rendah
dari rancangan sebelumnya sehingga memudahkan pasien dalam
menggunakan sepeda.
2. Perlu dilakukan perbaikan konsep dari segi peletakan kayuhan tangan
yang tepat. Sehingga posisi punggung pasien pasca stroke tidak
membungkuk saat menggunakannya.
3. Penentuan wheel alignment yang tepat akan menghasilkan sistem kemudi
yang baik. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain setting
camber, caster dan toe. Sepeda yang dibuat memiliki camber negatif yang
semakin besar apabila diberikan beban sehingga roda sulit untuk
dibelokkan maka perlu adanya pengaturan toe yang tepat sehingga kemudi
bagian depan dapat dikendalikan dengan mulus.
4. Setiap responden pasca stroke harus mengetahui intensitas detak jantung
sebelum menggunakan sepeda pasca stroke agar hasil yang diperoleh
dalam terapi maksimal, tidak kurang maupun melebihi batas intensitas
yang disarankan.
5. Pada penelitian selanjutnya, diharapkan ada kerjasama dengan pihak
rehabilitasi atau tempat untuk terapi pasien pasca stroke. Sehingga
pencarian responden pasca stroke lebih mudah dan penelitian dapat
berjalan dengan lancar

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (2013), Yayasan stroke Indonesia. Perkembangan Stroke di Indonesia


yang Semakin Meningkat.
Anonim. (2012). http//www.Sepeda-statis.com.
Badan Standarisasi Nasional nomor 7519:2009. Keselamatan Roda Tiga.
Batan, I Made Londen. (2012). Desain Produk Edisi Pertama. Guna Widya:
Surabaya
Chadry, Rivanol dan Yusri. (2012). Pengujian Dinamis Pada Desain Sepeda
Lipat Dengan Pemodelan Software. Politeknik Negeri Padang
Fanani Rosala, Zaenal dkk (2010). Perancangan Alat Permainan Untuk Pasien
Pasca Stroke. Universtas Diponegoro. Semarang
Fitriendi, Eki dkk. (2012). Kekuatan Otot Fisiologi Manusia.
Irawan, Agustinus Putra dkk. (2006). Perancangan Ulang Sepeda Elektrik
Menggunakan Metode VDI 221.
Nurmianto, Eko. (2003). Ergonomi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Guna
Widya: Surabaya
Rivai, M. (2013). Pengujian Sepeda Pasca Stroke, Tesis Magister, Institut
Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya
Rodika, (2013), Rancang Bangun Sepeda Untuk Pasien Pasca Stroke, Tesis
Magister, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya
Tirtawirya, Devi. (2012). Jurnal ISSA (Indonesian Sport Scientist Association)
Intensitas dan Volume Dalam Latihan Olahraga. ISSA.
Wignjosoebroto, Sritomo. (2003). Ergonomi Studi Gerak dan Waktu. Guna
Widya: Surabaya

Anda mungkin juga menyukai