Anda di halaman 1dari 3

Dari Gelap Menuju Cahaya

Ketika kita berbicara Kartini, maka tidak bisa dilepaskan dari kumpulan suratnya kepada sahabat-
sahabatnya yang dibukukan dan diterbitkan oleh JH Abendanon dan terlanjur diartikan oleh Armijn
Pane sebagai: Habis Gelap Terbitlah Terang”. Sedangkan Prof. DR Hayati Soebandio, cucu RA
Kartini mengartikannya sebagai “dari Gelap Menuju Cahaya,” yang adalah penggalan ayat 257
pada surat Al Baqarah, Minadzhdzhulumati Ilaan Nuur”.

Kartini seperti yang terungkap melalui awal surat-suratnya berada dalam proses kegelapan menuju
cahaya, dan cahaya itu sempat terhalang atau dihalang-halangi oleh usaha westernisasi oleh orang-
orang yang dianggap Kartini sebagai sahabatnya.

Titik balik pemikiran RA Kartini adalah pada pertemuannya dengan Kyai Sholeh Darat saat itu
berkunjung ke rumah pamannya, Bupati Demak, di mana saat itu tengah diadakan pengajian khusus
untuk anggota keluarga.

RA Kartini sangat terkesan dengan tafsir surat Al Fatihah yang disampaikan pada pengajian itu dan
berdialog dengan sang Kyai.
” Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu namun
dia menyembunyikan ilmunya?”
“Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?”
“Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama dan
induk al Qur'an yang isinya begitu indah dan menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan
syukur hatiku kepada Allah. Namun, aku heran tak habis-habisnya mengapa selama ini ulama kita
melarang keras penerjemahan dan penafsiran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al Qur'an itu justru
kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”.(dikisahkan oleh

RA Kartini yang terkungkung oleh adat Jawa yang ketat dan kemudian dituntun oleh Barat
(Belanda) melalui antara lain Mr JH Abendanon dan istrinya, Annie Glassor, Stella (Esalle
Zeehandelar), Ir H Van kol dan Ny Van Kol (Nellie Van Kol) itu kemudian menemukan cahaya
Islam setelah pertemuannya dengan Kyai Sholeh Darat.

Itulah Kartini masa lalu (yang diwakili oleh RA Kartini). Lalu ada di posisi mana “Kartini” dimasa
kini dan juga masa bagaimana kondisinya?

Tiga Kartini tersebut; masa lalu, kini, atau masa depan, mempunyai peran sama, meskipun mungkin
kondisi sekitarnya telah berubah, dan tantangan yang dihadapi juga berbeda denga RA Kartini.

1.Kartini sebagai hamba Allah:

Berikut surat-surat Kartini di akhir hayatnya yang memperlihatkan bagaimana ia telah berubah:
“Astaghfirullah, alangkah jauhnya saya menyimpang”. (Surat Kartini kepada Ny.Abandanon, 5
Maret 1902).

“Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu: Hamba Allah (Abdulloh).” (Surat Kartini
kepada Ny.Abandanon, 1 Agustus 1903).

“Kesusahan kami hanya kami keluhkan kepada Allah, tidak ada yang dapat membantu kami dan
hanya Dia-lah yang dapat menyembuhkan.” (Surat Kartini kepada Ny.Abandanon, 1 Agustus
1903).

“Menyandarkan diri kepada manusia, samalah halnya dengan mengikatkan diri pada manusia.
Jalan kepada Allah hanya satu. Siapa sesungguhnya yang mengabdi kepada Allah, tidak terikat
kepada seorang manusia pun, ia sebenar-benarnya bebas.” (Surat kepada Ny. Ovink, Oktober
1900).

2.Kartini sebagai Istri dan Ibu:


Dalam awal surat-suratnya, RA Kartini menceritakan derita dan nestapa yang dialaminya sebagai
anak priyayi Jawa (Bupati Jepara). Ia merasa ditempatkan selaku makhluk kelas dua setelah saudara
laki-lakinya. Ayahnya berpoligami, yang membuatnya sangat tidak senang.

Atas pengalaman yang dialaminya itu, RA Kartini sampai pada kesimpulan bahwa wanita Indonesia
harus bangkit melawan penindasan itu. Untuk bangkit, “ Kartini bercita-cita memberi bekal kepada
anak-anak perempuan, terutama budi pekerti, agar mereka menjadi ibu yang berbudi luhur, yang
dapat berdiri sendiri mencari nafkah sehingga mereka tidak perlu kawin kalau mereka tidak
mau.” (Sulastin Sutrisno, Surat-Surat Kartini, Djambatan 1985).

Namun RA Kartini yang sudah mendapatkan cahaya memilih menikah, punya anak, dan tidak
bekerja mencari nafkah sendiri seperti yang diangankannya sebelumnya. Bahkan pernikahan
poligami yang sangat ia musuhi sebelumnya dan dianggapnya “diskriminatif” ia jalani (RA Kartini
menjadi isteri ke-4).

Dan RA Kartini tidak merasa tertidas dengan keputusannya itu, bahkan beberapa saat setelah
pernikahannya ia menulis surat kepada JH Abendanon dan isterinya yang menunjukan bahwa
pernikahannya, sekalipun pernikahan keempat bagi suaminya, baik-baik saja.

“Kawan-kawan yang baik dan budiman. Saya tahu betul-betul, bagaimana surat-surat ini diharap-
harapkan, surat saya yang pertama dari rumah saya yang baru. Alhamdulillah, di rumah itu dalam
segala hal keadaan saya baik dan menyenangkan; di situ yang seorang dengan yang lain
bahagia...” (Surat-Surat Kartini, hal.348)

3. Kartini sebagai anggota Masyarakat

“Sudah lewat masanya, tadinya mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya
yang paling baik tiada taranya, maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat
Eropa itu sempurna..?? Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik itu terdapat banyak hal yang
sama sekali tidak patut dinamakan peradaban??” (kepada Ny Abendanon, 27 Oktober 1902).

“Bagaimana pendapatmu tentang Zending, jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa
semata-mata atas dasar cinta kasih, bukan dalam rangka Kristenisasi.....bagi orang Islam
melepaskan kepercayaannya sendiri dan memeluk agama lain merupakan dosa yang sebesar-
besarnya...pendek kata, boleh melakukan zending, tetapi jangan mengkristenkan orang lain.
Mungkinkan itu dilakukan?” (Kepada JH Abendanon, 31 Januari 1903).

“Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami menjadi orang-orang setengah
Eropa atau orang-orang Jawa Jawa Kebarat-baratan.” (Kepada Ny.Abendanon, 10 Juni 1902).

Pada masa sekarang, yang sering disebut sebagai dunia maju/modern, pada kenyataannya masih ada
– atau makin banyak- Kartini yang bahkan lebih terbelakang dari RA Kartini. Kalau RA Kartini
pada awal tahun 1900-an sudah berubah menuju cahaya Islam, meninggalkan pemikiran-
pemikirannya yang banyak dipengaruhi Barat, saat ini tidak sedikit Kartini yang masih termakan
oleh gerakan emansipasi ala Barat atau feminisme.

Pertanyaannya kemudian, ada dimanakah kita?

Wallahu a'lam.

Anda mungkin juga menyukai