Anda di halaman 1dari 33

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hipertensi telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama di
negara-negara maju serta di beberapa negara-negara berkembang. 1 Indonesia
sebagai salah satu negara berkembang juga menghadapi masalah ini. Semakin
meningkatnya arus globalisasi di segala bidang, telah membawa banyak
perubahan pada perilaku dan gaya hidup masyarakat di Indonesia, termasuk
dalam pola konsumsi makanan keluarga. Perubahan tersebut tanpa disadari
telah memberi pengaruh terhadap terjadinya transisi epidemiologi dengan
semakin meningkatnya kasus-kasus hipertensi di Indonesia.2
Hipertensi merupakan masalah kesehatan global yang memerlukan
penangulangan yang baik. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
prevalensi hipertensi seperti ras, umur, obesitas, asupan garam yang tinggi,
dan adanya riwayat hipertensi dalam keluarga.12
Prevalensi hipertensi tergantung dari komposisi ras populasi yang
dipelajari dan kriteria yang digunakan. Pada populasi kulit putih suburban
seperti pada penelitian Framingham, hampir seperlima populasi memiliki
tekanan darah > 160/95 mmHg, sementara hampir setengah populasi
memiliki tekanan darah > 140/90 mmHg. Prevalensi yang lebih tinggi
ditemukan

pada

populasi

kulit

hitam.

Pada wanita,

prevalensinya

berhubungan erat dengan usia, dengan terjadinya peningkatan setelah usia 50


tahun. Peningkatan ini mungkin berhubungan dengan perubahan hormone
saat menopause, meskipun mekanismenya masih belum jelas. Dengan
demikian, rasio frekuensi hipertensi pada wanita disbanding pria meningkat
dari 0,6 sampai 0,7 pada usia 30 tahun menuju 1,1 sampai 1,2 pada usia 65
tahun. Tidak ada data yang dapat menjelaskan frekuensi hipertensi sekunder
pada populasi umum, meskipun pada laki-laki usia pertengahan dilaporkan
sekitar 6 persen. Sebaliknya, pada pusat rujukan tempat di mana pasien
dievaluasi secara ekstensif, dilaporkan hingga setinggi 35 persen.11

Sampai saat ini, data hipertensi yang lengkap sebagian besar berasal dari
negara-negara yang sudah maju. Data dari The National Health and Nutrition
Examination Survey (NHNES) menuinjukkan bahwa dari tahun 1999-2000,
insiden hipertensi pada orang dewasa adalah sekitar 29-31%, yang berarti
terdapat 58-65 juta orang hipertensi di Amerika, dan terjadi peningkatan 15
juta dari data NHANES III tahun 1988-1001. Hipertensi essensial sendiri
merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi.13
Di Indonesia, sampai saat ini belum terdapat penyelidikan yang bersifat
nasional, multisenter, yang dapat menggambarkan prevalensi hipertensi
secara tepat. Banyak penyelidikan dilakukan secara terpisah dengan
metodologi yang belum baku. Mengingat prevalensi yang tinggi dan
komplikasi yang ditimbulkan cukup berat, diperlukanlah penelitian
epidemiologi yang bersifat nasional dengan rancangan penelitian yang baku.12
Hipertensi dilihat dari segi klinis, merupakan penyakit yang umum,
asimptomatis, mudah dideteksi dan mudah ditangani jika dikenali secara dini.
Namun,

hipertensi

dapat

menyebabkan

komplikasi-komplikasi

yang

mematikan jika tidak ditangani.3


1.2 Tujuan
Tujuan pembuatan referat ini adalah untuk menambah wawasan bagi
penulis dan pembaca mengenai hipertensi.
1.3 Manfaat
Manfaat dari referat ini adalah agar pembaca dan penulis bisa lebih
memahami

mengenai

hipertensi

(definisi,

etiologi,

epidemiologi,

patofisiologi, klasifikasi, gejala dan tanda, penatalaksanaan, kompikasi,


prognosis dan pencegahan).

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI DAN PENGERTIAN HIPERTENSI


Secara umum, pengertian hipertensi adalah tekanan darah yang tinggi.
Oleh karena itu, untuk dapat memahami hipertensi, maka diperlukan
pengertian mengenai tekanan darah. Tekanan darah adalah suatu ukuran dari
kekuatan darah yang menekan dinding pembuluh darah. Tekanan darah yang
digunakan sebagai batasan dalam menentukan penyakit hipertensi adalah
tekanan darah arteri. Jadi, hipertensi adalah tingginya tekanan darah yang
dilihat dari kekuatan darah dalam menekan dinding pembuluh darah arteri.4
Pengukuran

tekanan

darah

arteri

yang

umumnya

menggunakan

sphygmomanometer dan stetoskop akan menghasilkan dua buah angka hasil


pencatatan, yaitu tekanan darah sistol dan tekanan darah diastol. Angka
pertama yang lebih besar nilainya, menunjukkan tekanan darah sistol. Tekanan
darah sistol merupakan tekanan darah terhadap dinding arteri ketika jantung
sedang berkontraksi memompa darah. Angka kedua yang lebih kecil nilainya,
menunjukkan tekanan darah diastol. Tekanan darah diastol merupakan tekanan
darah terhadap dinding arteri ketika jantung sedang berelaksasi di antara dua
kontraksi. Tekanan darah diastol juga menggambarkan keadaan elastisitas
dinding arteri.4 Tekanan darah diastol akan menurun setelah usia 50an oleh
karena elastisitas dinding arteri yang berkurang.5
Pencatatan nilai tekanan darah sistol dilakukan terlebih dahulu dan
kemudian nilai tekanan darah diastol. Kedua angka ini dipisahkan oleh sebuah
garis miring. Sebagai contoh, tekanan darah sistol sebesar 120 mmHg dan
tekanan darah diastol sebesar 80 mmHg akan dicatat sebagai 120/80 mmHg.4
Oleh karena tidak ada garis batas yang tegas antara tekanan darah yang
normal dengan tekanan darah yang tinggi, definisi hipertensi ditetapkan
berdasarkan kesepakatan yang mempertimbangkan risiko komplikasi
penyakit kardiovaskular pada beberapa tingkat tekanan darah. Tekanan darah
sistol/diastol sebesar 120/80 ditetapkan sebagai batas tekanan darah yang
normal. Hal ini didapatkan dengan mempertimbangkan bahwa kenaikan

risiko penyakit kardiovaskular pada orang-orang bertekanan darah di bawah


115/75 mmHg tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan orang-orang
bertekanan darah di atas nilai tersebut.5
2.2 KLASIFIKASI HIPERTENSI
Joint National Committee (JNC) (sebuah komite yang menyediakan
panduan mengenai pencegahan, deteksi, evaluasi dan penanganan hipertensi),
dalam laporannya yang ke-7, membuat sistem klasifikasi hipertensi sebagai
berikut:5
Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi pada Orang Dewasa (18 tahun ke atas)

Tabel 2. Klasifikasi tekanan darah terbaru (2003) menurut WHO-ISH


Kategori

Tekanan darah sistolik Tekanan darah diastolik


(mmHg)
(mmHg)
Optimal BP
<120
<80
Normal BP
<130
<85
High-Normal
130-139
85-89
Grade 1 Hypertension
140-159
90-99
(mild)
Subgroup: Borderline
140-149
90-99
Grade 2 Hypertension
160-179
100-109
(moderate)
Grade 3 Hypertension
>180
>110
(severe)
Isolated
Systolic
>140
<90
Hypertension
Subgroup: Borderline
140-149
<90
2.3 PENGUKURAN TEKANAN DARAH

Alat yang digunakan dalam pengukuran tekanan darah ada bermacammacam, namun yang paling sering digunakan adalah sphygmomanometer dan
stetoskop. Tipe sphygmomanometer yang digunakan dapat berupa tipe aneroid
atau tipe merkuri. Tipe aneroid lebih sering menjadi kurang akurat dengan
semakin seringnya penggunaan, oleh karena itu perlu dilakukan rekalibrasi
secara rutin.6
3.1 Teknik Pengukuran Tekanan Darah
Pemilihan pembalut lengan (cuff) dari sphygmomanometer merupakan
hal yang patut diperhatikan untuk mendapatkan hasil pengukuran tekanan
darah yang akurat. Pembalut lengan yang terlalu pendek baik panjangnya
maupun lebarnya, akan menghasilkan nilai yang terlalu tinggi. Sebagai
contoh, penggunaan pembalut lengan dengan ukuran sedang, pada
penderita obesitas dapat menimbulkan diagnosis hipertensi yang salah.6
Panduan dalam memilih pembalut lengan yang baik adalah sebagai
berikut :6
Lebar dari pembalut lengan sebaiknya sekitar 40% dari lingkar lengan
atas (pada orang dewasa, lebar pembalut lengan yang dipakai adalah
sekitar 12-14 cm).
Panjang dari kantung udara pada pembalut lengan sebaiknya sekitar 80%
dari lingkar lengan atas (hampir melingkupi lingkar lengan).
Sebelum melakukan pengukuran tekanan darah ada beberapa persiapan
yang harus diperhatikan, yaitu :6
Pasien tidak merokok dan mengkonsumsi makanan atau minuman yang
mengandung kafein 30 menit sebelum pengukuran dilakukan.
Pasien duduk beristirahat selama 5 menit sebelum pengukuran
dilakukan.
Suasana di tempat pemeriksaan harus tenang.
Lengan yang akan diukur terbebas dari pakaian, tidak ada fistula
arteriovenula (untuk dialisis), tidak ada luka parut oleh karena luka
pada arteri brakialis, serta tidak ada tanda-tanda limfedema.

Lakukan palpasi pada arteri brakialis untuk memastikan adanya pulsasi


dan mengetahui letaknya.
Letakan lengan sehingga arteri brakialis pada lipatan antecubiti terletak
setinggi jantung (interkostal IV pada perbatasan dengan sternum)
Setelah melakukan persiapan tersebut, pasang pembalut lengan dengan
batas bawah sekitar 2,5 cm dari lipatan antecubiti. Pembalut dipasang
hingga pas membalut lengan atas tanpa ada celah.6
Ketika memompa pembalut, lakukan palpasi pada arteri radialis.
Pompa pembalut dengan cepat sampai pulsasi arteri radialis menghilang.
Lihat nilai tekanan darah pada saat hilangnya pulsasi dan tambahkan
sebesar 30 mmHg dari nilai tersebut.6
Gunakan nilai ini sebagai target dari pemompaan berikutnya. Palpasi
ini dilakukan agar pasien tidak perlu merasakan ketidaknyamanan
akibat pemompaan yang

terlalu banyak.

Palpasi juga dapat

menghindari ketidakakuratan pengukuran akibat auscultatory gap,


suatu periode hening, tanpa suara yang dapat terjadi antara tekanan
darah sistol dan diastol.6
Kempiskan pembalut secara cepat dan lengkap, kemudian tunggu sekitar
15-30 detik.6
Sekarang pasang bagian bell dari stetoskop di atas arteri brakialis yang
letaknya sudah diketahui dari palpasi. Bagian bell digunakan oleh karena
suara yang hendak didengar (Korotkoff sounds) merupakan suara yang
relatif rendah nadanya.6
Pompa kembali pembalut secara cepat sampai pada target yang sudah
ditentukan, kemudian kempiskan dengan laju sekitar 2-3 mmHg per detik.
Nilai pada saat suara berdenyut untuk pertama kalinya terdengar adalah
nilai tekanan darah sistol. Lanjutkan pengempisan, sampai suara berdenyut
menghilang. Nilai pada saat suara berdenyut menghilang adalah nilai
tekanan darah diastol. Untuk memastikan nilai tekanan darah diastol,

teruskan mendengar selama pengempisan sampai 10 atau 20 mmHg di


bawah nilai tekanan darah diastol.6
Ulangi pengukuran ini setelah dua menit atau lebih, kemudian rataratakan hasilnya. Jika hasil dari dua pengukuran tersebut berbeda dengan
perbedaan lebih dari 5 mmHg, lakukan pemeriksaan tambahan sampai
perbedaannya kurang dari 5 mmHg.6
Ketika menggunakan sphygmomanometer merkuri, posisi manometer
harus benar-benar tegak secara vertikal dan pembacaan harus dilakukan
dengan mata yang sejajar dengan meniskus dari manometer. Ketika
menggunakan sphygmomanometer aneroid, maka muka dari manometer
harus menghadap tegak lurus dengan mata.6
Hindari pemompaan yang terlalu lambat, oleh karena dapat
menimbulkan kongesti dari vena yang dapat menyebabkan kesalahan
pengukuran. Pengukuran tekanan darah harus diambil dari kedua lengan
setidaknya sekali. Biasanya terdapat perbedaan 5-10 mmHg. Pengukuran
berikutnya dilakukan pada lengan yang memiliki tekanan darah yang lebih
tinggi. Perbedaan tekanan sebesar 10-15 mmHg mengindikasikan adanya
kompresi atau obstruksi pada pembuluh darah pada sisi lengan yang lebih
rendah tekanannya.6
Jika pasien sedang menjalani terapi obat-obatan hipertensi atau
memiliki riwayat pingsan atau pusing yang berhubungan dengan posisi
tubuh, maka pengukuran tekanan darah dilakukan pada tiga posisi, yaitu
berbaring, duduk dan berdiri, kecuali jika ada kontraindikasi. Secara
normal, ketika pasien bangkit dari posisi horisontal menjadi posisi berdiri,
terdapat sedikit penurunan tekanan darah sistol dan sedikit peningkatan
tekanan darah diastol. Penurunan tekanan darah sistol yang lebih dari 20
mmHg menunjukkan adanya hipotensi ortostatik (postural). Penyebabnya
dapat berupa obat-obatan, kehilangan darah, tirah baring yang lama atau
gangguan sistem saraf otonom. Pengukuran dilakukan setelah 1-5 menit
setelah berdiri.6

Hal yang perlu diingat adalah klasifikasi hipertensi yang digunakan


pada JNC VII menggunakan tekanan darah pada saat seseorang sedang
duduk.5
3.2 Masalah Khusus
Kegelisahan sering menjadi penyebab tingginya tekanan darah.
Usahakan agar pasien tenang, dan lakukan pemeriksaan ulang. Beberapa
pasien tekanan darahnya meningkat hanya jika di tempat pemeriksaan
dokter (white coat hypertension). Pasien-pasien seperti ini memerlukan
pemeriksaan tekanan darah di rumah atau tempat-tempat umum lainnya.6
Tekanan darah dari kaki harus diukur setidaknya satu kali pada pasien
hipertensi, untuk menyingkirkan diagnosis koartasi aorta. Untuk mengukur
tekanan darah kaki, gunakan pembalut dengan ukuran kantung udara 18 x
42 cm dan pasang pada paha atas. Auskulatasi dilakukan di atas arteri
poplitea. Tekanan darah sistol yang lebih rendah pada kaki daripada lengan
merupakan temuan yang abnormal.6
Jika suara Korotkoff tidak terdengar, perhatikan apakah pemasangan
stetoskop sudah benar atau belum. Kongesti dari vena oleh karena
pemompaan yang terus menerus juga dapat melemahkan suara Korotkoff.
Kemungkinan syok juga harus dipikirkan. Beberapa cara untuk
meningkatkan intensitas suara Korotkoff adalah :6
Mengangkat lengan pasien sebelum dan ketika memompa pembalut
lengan, kemudian turunkan lengan saat dilakukan auskultasi.
Setelah memompa pembalut, beritahukan pasien agar mengepalngepalkan tangannya beberapa kali sebelum dilakukan auskultasi.
3.3 Korotkoff Sounds
Korotkoff sounds adalah suara yang terdengar ketika melakukan
auskultasi pada saat pengukuran tekanan darah. Namanya diambil dari
nama penemunya, yaitu Dr. Nikolai Korotkoff. Korotkoff mendeskripsikan
5 fase suara pada saat melakukan auskultasi untuk mengetahui tekanan
darah, yaitu :7

Fase I

: Fase dengan suara ketukan lemah, namun jelas, yang


terdengar pertama kali pada saat auskultasi dengan
intensitas yang semakin kuat.

Fase II

: Fase singkat dimana suara menjadi lemah dan berdesir.

Fase III : Fase yang ditandai dengan kembalinya suara keras yang
bahkan melebihi intensitas fase I.
Fase IV : Fase dengan suara yang menjadi lemah sesaat sebelum
menghilang.
Fase V

: Fase dimana semua suara menghilang.

Tekanan darah sistol ditandai dengan fase I Korotkoff, sedangkan


tekanan darah diastol ditandai dengan fase V Korotkoff.
2.4 ETIOLOGI, PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI HIPERTENSI
Hipertensi dengan penyebab yang tidak diketahui dinamakan hipertensi
primer, esensial atau idiopatik. Hipertensi primer ini merupakan 85% dari
kasus hipertensi. Pada sebagian kecil sisanya, penyebab hipertensinya
diketahui. Hipertensi ini dinamakan hipertensi sekunder.3
Definisi

inilah

yang

terkadang

menyulitkan

para

klinisi

dalam

membedakan kedua golongan tersebut. Penyebab yang tidak diketahui, suatu


saat, seiring dengan kemajuan zaman akan diketahui sedikit demi sedikit.
Selama proses perkembangan ilmu pengetahuan akan terdapat kesulitan dalam
membedakan kedua golongan tersebut, karena batas antara penyebab yang
tidak diketahui dan penyebab yang diketahui menjadi tidak jelas.
Saat ini, jika penyebab hipertensi adalah suatu kelainan organ struktural
atau gen yang spesifik, maka dimasukkan ke dalam golongan hipertensi
sekunder. Namun, jika penyebab hipertensi adalah kelainan-kelainan yang
umum dan fungsional, maka dimasukkan ke dalam golongan hipertensi
primer.3
Berikut akan dijelaskan mengenai etiologi, patogenesis dan patofisiologi
dari hipertensi primer dan sekunder.
4.1 Hipertensi Primer

10

Kesulitan dalam menemukan mekanisme yang bertanggung jawab atas


terjadinya hipertensi primer adalah banyaknya sistem yang terlibat dalam
pengaturan tekanan darah. Sistem saraf adrenergik baik sentral maupun
perifer, sistem pengaturan ginjal, sistem pengaturan hormon dan pembuluh
darah adalah sistem-sistem yang mempengaruhi tekanan darah. Sistemsistem ini saling mempengaruhi dengan susunan yang kompleks dan
dipengaruhi oleh gen-gen tertentu.3
Faktor-faktor

yang

mempengaruhi

sistem-sistem

tersebut

erat

kaitannya dalam membicarakan etiologi, patogenesis dan patofisiologi dari


hipertensi. Faktor-faktor yang diketahui memiliki pengaruh antara lain
adalah faktor-faktor lingkungan seperti asupan natrium, obesitas,
pekerjaan, asupan alkohol, besar keluarga dan keramaian penduduk.
Faktor-faktor ini telah diasumsikan sebagai faktor yang berperan penting
dalam peningkatan tekanan darah seiring bertambahnya usia setelah
membandingkannya antara kelompok masyarakat yang lebih banyak
terpapar dengan yang lebih sedikit terpapar dengan faktor-faktor tersebut.3
Faktor genetik atau faktor keturunan juga memiliki pengaruh terhadap
kejadian hipertensi karena sistem-sistem yang mempengaruhi tekanan
darah diatur oleh gen. Hipertensi merupakan salah satu kelainan genetik
kompleks yang paling umum ditemukan dan diturunkan pada rata-rata
30% keturunannya. Namun, faktor keturunan ini dipengaruhi oleh
penyebab-penyebab yang multifaktorial sehingga setiap kelainan genetik
yang berbeda dapat memiliki manifestasi hipertensi sebagai salah satu
ekspresi fenotipnya.3
Berdasarkan hal di atas dan penelitian-penelitian di bidang tersebut,
maka faktor-faktor seperti usia, ras, jenis kelamin, merokok, asupan
alkohol, kolesterol serum, intoleransi glukosa dan berat badan dapat
mempengaruhi prognosis dari hipertensi. Semakin muda seseorang
mengetahui kelainan hipertensinya, semakin besar umur harapan hidup
orang tersebut.3

11

Etnis seseorang juga mempunyai pengaruh terhadap kejadian


hipertensi, namun penelitian mengenai hubungan etnis dan kejadian
hipertensi menghasilkan hasil yang beragam. Hal ini disebabkan, karena
selain faktor etnis, terdapat juga faktor lingkungan dan faktor perilaku
yang ikut mempengaruhi kejadian hipertensi. Sehingga penelitian terhadap
etnis yang sama di tempat yang berbeda, menghasilkan data yang berbeda.
Secara umum, banyak penelitian yang menunjukkan kejadian hipertensi
lebih banyak terjadi pada etnis Afro-Karibia dan Asia Selatan
dibandingkan dengan etnis kulit putih.8
Aterosklerosis merupakan penyakit yang sering ditemukan bersamaan
dengan hipertensi dan memiliki hubungan timbal balik positif. Tekanan
darah yang tinggi akan memberikan beban terhadap dinding pembuluh
darah dan melalui proses yang kronis, tekanan berlebih ini akan
menyebabkan kerusakan pada dinding pembuluh darah. Kerusakan
dinding arteri ini merupakan pencetus terjadinya proses aterosklerosis.
Aterosklerosis sendiri akan menyebabkan hipertensi jika terjadi secara
menyeluruh di pembuluh darah sistemik. Maka, bukanlah hal yang tidak
wajar, jika faktor-faktor risiko yang mempengaruhi kejadian aterosklerosis
seperti tingginya kadar kolesterol serum, intoleransi glukosa dan kebiasaan
merokok juga mempengaruhi kejadian hipertensi.3,9

12

Gambar 1. Patogenesis hipertensi


4.2 Hipertensi Sekunder
Seperti telah disebutkan sebelumnya, hipertensi sekunder merupakan
hipertensi dengan penyebab yang dapat diidentifikasi. Walaupun hipertensi
sekunder lebih sedikit, namun penyakit ini perlu mendapat perhatian lebih
oleh karena :3
(1) Terapi terhadap penyebab dapat menyembuhkan hipertensi
(2) Hipertensi sekunder dapat menjadi penghubung dalam memahami
etiologi dari hipertensi primer.
Penyebab-penyebab dari hipertensi sekunder adalah kelainan ginjal,
kelainan endokrin, koartasi aorta dan juga obat-obatan. Penyebabpenyebab tersebut akan dibicarakan pada bagian berikut.3
4.2.1 Kelainan Ginjal
Hipertensi yang diakibatkan oleh kelainan ginjal dapat berasal
dari perubahan sekresi zat-zat vasoaktif yang menghasilkan
perubahan tonus dinding pembuluh darah atau berasal dari

13

kekacauan dalam fungsi pengaturan cairan dan natrium yang


mengarah

pada

meningkatnya

volume

cairan

intravaskular.

Pembagian lebih lanjut dari kelainan ginjal yang menyebabkan


hipertensi adalah kelainan renovaskular dan kelainan parenkim
ginjal.3
Kelainan renovaskular disebabkan oleh rendahnya perfusi dari
jaringan ginjal oleh karena stenosis yang terjadi pada arteri utama
atau cabangnya yang utama. Hal ini menyebabkan sistem reninangiotensin teraktivasi. Angiotensin II yang merupakan produk dari
sistem renin-angiotensin, akan secara langsung menyebabkan
vasokonstriksi atau secara tidak langsung melalui aktivasi sistem
saraf adrenergik. Selain itu angiotensin II juga akan merangsang
sekresi aldosteron yang mengakibatkan terjadinya retensi natrium.3
Aktivasi sistem renin-angiotensin juga merupakan penjelasan
dari

hipertensi

yang

diakibatkan

kelainan

parenkim

ginjal.

Perbedaannya adalah penurunan perfusi jaringan ginjal pada kelainan


parenkim ginjal disebabkan oleh peradangan dan proses fibrosis
yang mempengaruhi banyak pembuluh darah kecil di dalam ginjal.3

Gambar 2. Peran renin dalam patogenesis hipertensi


4.2.2 Kelainan Endokrin

14

Kelainan endokrin dapat menyebabkan hipertensi. Hal ini


disebabkan banyak hormon-hormon yang mempengaruhi tekanan
darah. Beberapa kelainan endokrin ini antara lain adalah :3
1. Hiperaldosteronism primer
2. Cushing syndrome
3. Pheochromocytoma
4. Akromegali
5. Hiperparatiroid
4.2.3 Koartasi Aorta
Hipertensi yang disebabkan oleh koartasi aorta dapat berasal
dari vasokonstriksi pembuluh darah itu sendiri atau perubahan pada
perfusi ginjal. Perubahan perfusi ginjal ini akan menghasilkan bentuk
hipertensi renovaskular yang tidak umum.3

2.5 KOMPLIKASI DAN MANIFESTASI HIPERTENSI


Penderita hipertensi umumnya meninggal pada usia yang lebih muda
dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki hipertensi. Penyebab
kematiannya yang paling sering adalah akibat penyakit jantung, stroke atau
gagal ginjal. Hipertensi juga dapat menyebabkan kebutaan akibat retinopati.3
5.1 Efek pada Jantung
Peningkatan tekanan darah sistemik menyebabkan jantung harus
bekerja lebih berat untuk mengkompensasinya. Pada awalnya, jantung
akan mengalami hipertrofi ventrikel yang konsentris, yaitu meningkatnya
ketebalan dinding otot jantung. Namun, pada akhirnya, kemampuan
ventrikel ini akan semakin menurun, sehingga ruang ventrikel jantung
akan ikut membesar. Pembesaran jantung ini lama-kelamaan akan
mengakibatkan gejala-gejala dan tanda-tanda gagal jantung mulai tampak.
Angina pektoris juga dapat terjadi pada penderita hipertensi yang
disebabkan oleh karena kombinasi dari kelainan pembuluh darah koroner

15

dan peningkatan kebutuhan oksigen sebagai akibat dari peningkatan massa


jantung. Iskemia dan infark miokard akan terjadi pada tahap lanjut dari
perjalanan penyakit yang dapat mengakibatkan kematian.3
5.2 Efek Neurologis
Efek neurologis jangka panjang dari hipertensi dapat dibagi menjadi
efek pada sistem saraf pusat dan efek pada retina. Oklusi atau perdarahan
merupakan penyebab dari timbulnya efek-efek neurologis ini. Infark
serebral merupakan akibat dari proses aterosklerosis (oklusi) yang sering
ditemukan pada pasien hipertensi. Sedangkan perdarahan serebral adalah
hasil dari peningkatan tekanan darah yang kronis sehingga mengakibatkan
terjadinya mikroaneurisma. Mikroaneurisma ini sewaktu-waktu dapat
pecah dan menimbulkan perdarahan.3
Retinopati akibat hipertensi dapat disebabkan oleh efek-efek seperti
penyempitan tak teratur dari arteriol retina atau perdarahan pada lapisan
serat saraf dan lapisan pleksiform luar.3
Sakit kepala yang sering terjadi di pagi hari, pusing, vertigo, tinnitus,
pingsan dan penglihatan kabur merupakan gejala-gejala hipertensi yang
berasal dari efek neurologis. Efek neurologis paling berbahaya adalah
kematian dan kebutaan yang merupakan dua hal yang paling ditakutkan
terjadi pada penderita hipertensi.3
5.3 Efek pada Ginjal
Aterosklerosis yang terjadi pada arteriol aferen dan eferen serta kapiler
glomerulus merupakan penyebab yang paling umum dari kelainan ginjal
oleh karena hipertensi. Akibatnya adalah terjadi penurunan laju filtrasi
glomerulus dan juga disfungsi dari tubulus ginjal. Proteinuria dan
hematuria mikroskopis terjadi oleh karena kerusakan glomerulus.
Kematian oleh karena hipertensi, 10% di antaranya diakibatkan oleh gagal
ginjal.3
2.6 PENANGANAN HIPERTENSI
6.1 Prinsip Penanganan

16

Prinsip penanganan hipertensi adalah mengusahakan agar tekanan


darah penderita tetap di dalam batas normal dan jika terjadi kenaikan
seiring dengan bertambahnya usia, maka kenaikannya tersebut tidak terlalu
tinggi. Hal ini dilakukan agar risiko morbiditas dan mortalitas akibat
penyakit kardiovaskular dan penyakit ginjal dapat dikurangi. Target
tekanan darah yang harus dicapai adalah <140/90 mmHg. Pada penderita
diabetes dan penyakit ginjal, targetnya lebih rendah, yaitu <130/80
mmHg.5
Penelitian-penelitian menunjukkan, bahwa penanganan hipertensi
mempunyai keuntungan seperti :5
(1) Mengurangi insidensi kasus stroke rata-rata sebesar 35-40%.
(2) Mengurangi insidensi infark miokard rata-rata sebesar 20-25%.
(3) Mengurangi insidensi gagal jantung rata-rata >50%.
Penanganan hipertensi dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan
memperbaiki pola hidup dan dengan terapi farmakologis. Perbaikan pola
hidup perlu dilakukan, terutama jika penderita sudah termasuk dalam
kategori prehipertensi. Sedangkan pada penderita yang sudah mencoba
perubahan pola hidup tetapi tetap gagal mencapai target (<140/90
mmHg) , maka terapi farmakologi perlu dimulai.5
6.2 Perbaikan Pola Hidup
Penerapan pola hidup sehat oleh semua orang merupakan hal yang
penting untuk pencegahan hipertensi dan merupakan bagian yang tidak
boleh dilupakan dalam penanganan penderita hipertensi. Penurunan berat
badan sebesar 4,5 kg saja sudah dapat mengurangi tekanan darah,
walaupun yang diutamakan adalah pencapaian berat badan yang ideal.
Tekanan darah juga dapat dikendalikan dengan penerapan pola makan
yang dibuat oleh DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension). Pola
makan yang baik menurut DASH adalah diet kaya akan buah-buahan,
sayur-sayuran dan produk susu yang rendah lemak(lowfat). Asupan
natrium juga harus dibatasi agar tidak lebih dari 100 mmol per hari (2,4 gr
natrium). Semua orang yang mampu sebaiknya melakukan aktivitas fisik

17

aerobik yang teratur seperti jalan cepat sekurang-kurangnya 30 menit


setiap hari. Asupan alkohol harus dibatasi agar tidak lebih dari 1 ons
(30mL) etanol per hari untuk pria. Sedangkan untuk wanita dan orang
yang berat badannya ringan, dibatasi agar tidak lebih dari 0,5 ons (15ml)
etanol per hari.5
6.3 Terapi Farmakologis
Ada berbagai macam obat antihipertensi yang tersedia. Tabel 2
memuat daftar obat-obat yang biasanya digunakan sebagai obat
antihipertensi. Dosis dan frekuensi pemberiannya juga tertera. Lebih dari
2/3 penderita hipertensi tidak dapat dikendalikan dengan hanya satu obat
saja dan membutuhkan dua atau lebih kombinasi obat antihipertensi dari
kelas yang berbeda. Diuretik merupakan obat yang direkomendasikan
sebagai obat yang pertama kali diberikan, jika penderita hipertensi
memerlukan terapi farmakologis, kecuali jika terdapat efek samping.5
Tabel 3. Obat-obatan Antihipertensi Oral5

18

Semua obat antihipertensi bekerja pada salah satu atau lebih tempat
pengaturan tekanan darah berikut:10
1. Resistensi arteriol
2. Kapasitansi venule
3. Pompa jantung
4. Volume darah
Obat-obat antihipertensi

tersebut

juga

dapat

diklasifikasikan

berdasarkan tempat kerja utamanya, antara lain:10


1. Diuretik yang menurunkan tekanan darah dengan mengurangi
kandungan natrium tubuh dan volume darah

19

a. Thiazide diuretic
b. Loop diuretic
c. Potassium sparing diuretic
2. Agen-agen simpatoplegia yang menurunkan tekanan darah dengan
mengurangi resistensi pembuluh darah perifer, menghambat kerja
jantung dan meningkatkan kapasitansi darah dengan memvasodilatasi
vena
a. Beta-blocker
b. Alpha-1 blocker
c. Central alpha-2 agonist
3. Vasodilator direk yang menurunkan tekanan darah dengan merelaksasi
otot polos pembuluh darah, sehingga menurunkan resistensi dan
meningkatkan kapasitansi pembuluh darah.
a. Calcium channel blocker
b. Hydralazine
c. Minoxidil
4. Agen yang menghambat produksi atau kerja dari angiotensin sehingga
menurunkan resistensi pembuluh darah perifer dan juga volume darah.
a. Angiotensin Converting Enzyme inhibitor
b. Angiotensin II antagonist
c. Aldosterone receptor blocker
Kenyataan bahwa obat-obat dari golongan yang berbeda ini bekerja
dengan mekanisme yang berbeda pula, membuat kombinasi obat-obat
yang berbeda golongan tersebut dapat meningkatkan efektifitas dan juga
dalam beberapa kasus menurunkan toksisitas dari terapi farmakologis.10
6.4 Algoritma Penanganan Hipertensi5

20

Gambar 3. Algoritma Penanganan Hipertensi5


6.5 Penanganan Hipertensi pada Kasus-kasus Tertentu
Hipertensi dapat terjadi bersamaan dengan kondisi-kondisi lain sehingga
terdapat

beberapa

indikasi

tertentu

dalam

pemilihan

obat-obatan

antihipertensi. JNC VII memberikan rekomendasi terhadap kasus-kasus


tersebut yang dapat dilihat pada tabel berikut :5
Tabel 4. Pedoman untuk kasus-kasus hipertensi tertentu.5

21

6.6 Penanganan Krisis Hipertensi


Krisis

hipertensi

terdiri

dari

hipertensi

emergensi

(emergency

hypertension) dan hipertensi urgensi (urgency hypertension). Hipertensi


emergensi dikarakterisasi oleh peningkatan tekanan darah yang hebat
(>180/120mmHg) yang disertai dengan keadaan-keadaan disfungsi organ
target atau keadaan-keadaan yang mengarah pada disfungsi organ target.
Hipertensi ini memerlukan penurunan tekanan darah yang segera (tidak

22

perlu menjadi normal) untuk mencegah atau mengurangi kerusakan organ


target. Contohnya adalah ensefalopati hipertensi, perdarahan intraserebral,
infark miokard akut, gagal jantung kiri akut dengan edema pulmonal,
unstable angina pectoris, diseksi aneurisma aorta, dan eklamsi.5
Hipertensi urgensi adalah keadaan-keadaan dengan peningkatan tekanan
darah yang hebat (>180/120mmHg) tanpa disertai keadaan-keadaan
disfungsi organ target atau keadaan-keadaan yang mengarah pada disfungsi
organ target. Hipertensi urgensi biasanya ditandai dengan sakit kepala yang
hebat, nafas pendek, epitaksis, atau kecemasan yang berlebih.5
Pasien-pasien dengan hipertensi emergensi harus dirawat di ICU
(intensive care unit) untuk pemantauan dan pemberian obat-obatan
antihipertensi parenteral. Target terapi awal adalah menurunkan tekanan
darah arteri rata-rata, tetapi tidak lebih dari 25% dalam 1 menit sampai 1
jam. Kemudian, jika tekanan darahnya stabil, target terapi adalah
menurunkan tekanan darahnya sampai 160/100-110 mmHg dalam 2-6 jam
berikutnya. Penurunan tekanan darah yang tiba-tiba harus dihindarkan untuk
mencegah terjadinya iskemia renal, serebral dan koronaria. Untuk alasan ini,
nifedipin kerja singkat tidak lagi digunakan pada terapi hipertensi
emergensi.5
Jika target tersebut telah tercapai dan keadaan pasien telah stabil,
penurunan tekanan darah berikutnya dapat dilakukan dalam 24-48 jam
kemudian. Terdapat beberapa pengecualian dari penanganan di atas, yaitu:5

pasien dengan stroke iskemik yang mana pemberian terapi antihipertensi


secara segera masih menimbulkan perdebatan.

pasien dengan diseksi aorta yang harus menurunkan tekanan darah


sistolnya di bawah 100 mmHg jika memungkinkan.

pasien yang menerima agen-agen trombolitik.

Tabel 4. Obat-obatan parenteral yang digunakan dalam penanganan hipertensi


emergensi.5

23

6.7 Penanganan Hipertensi pada Kehamilan


Semua obat dapat diberikan kecuali ACE Inhibitor dan hidralazin.
Diuretik hanya diberikan bila ada indikasi gagal jantung. Bila post partum
dan ada bayi, maka ACE Inhibitor baru diberikan bila bayi telah berumur >1
tahun. Selama menyusui diuretik pun jangan diberikan karena dapat
mengurangi volume ASI. Hipertensi pada kehamilan baru diterapi bila
sistolik >150 mmHg atau dan diastolik >100 mmHg. Target tekanan darah,
sistolik 140-150 mmHg dan diastolik 100 mmHg. Obat yang paling baik
adalah adrenergik bloker sentral (metildopa) dengan dosis dinaikkan
bertahap mulai metildopa 500 mg sehari s/d maksimal 4 gr sehari.

24

Terminasi kehamilan baru dianjurkan bila bayi diperkirakan viabel diluar


kandungan atau kehamilan 37 minggu ke atas. Eklampsia merupakan krisis
hipertensi tetapi pre-eklampsia bukan. Hipertensi yang dipicu oleh
kehamilan dapat bertahan s/d maksimal 3 bulan post partum.
6.8 Evaluasi dan Pemantauan
Setelah terapi farmakologis untuk hipertensi dimulai, penderita
hipertensi harus kontrol secara teratur untuk memantau perkembangannya
setidaknya sebulan sekali sampai tekanan darahnya normal. Kunjungan yang
lebih sering diperlukan pada penderita hipertensi derajat 2 (stage II) atau
jika mempunyai komplikasi. Kadar kalium dan kreatinin serum harus
dimonitor setidaknya satu atau dua kali setahun.5
Setelah tekanan darah mencapai target dan stabil, kunjungan dapat
dilakukan dengan interval tiga bulan sekali atau enam bulan sekali. Jika ada
penyakit lain seperti gagal jantung dan diabetes, kunjungan harus lebih
sering dilakukan.5
Tabel 4. Rekomendasi pemantauan ulang berdasarkan pemeriksaan
tekanan darah awal untuk pasien tanpa kerusakan organ target.5

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Penderita
Nama

: Tn. SMA

25

Umur

: 65 tahun

Jenis kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Babakan, kabupaten Cirebon

Pekerjaan

: Swasta

Status Perkawinan : Menikah


Suku

: Jawa

Agama

: Islam

Tanggal MRS

: 11 Januari 2016

3.2 Anamnesis

: sendiri

1. Keluhan Utama

: orang lain
: Pusing

2. Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke RSUD Waled di antar oleh keluarganya dengan
keluhan pusing berputar sejak dua hari yang lalu. Pusing terjadi hilang
timbul, dan merasa sangat pusing pada malam hari jika ingin memulai
tidur. Keluhan pusingnya sangat menggangu aktivitasnya tetapi tidak ada
keluhan sampai terjatuh akibat pusingnya ini. Pasien juga merasa nyeri
kepala, nyeri hilang timbul tapi tidak begitu hebat. Sekitar dua jam yang
lalu pasien mengatakan mual, muntah sebanyak dua kali, dan jika makan
semua dimuntahkan. Pasien juga mengeluh nyeri di bagian ulu hati.
Selain itu, pasien mengatakan bakwa akhir-akhir ini sering mengalami
kesemutan. Sepuluh tahun yang lalu pasien pernah di diagnosa hipertensi
oleh dokter.Pasien minum obat anti hipertensi secara rutin, namun sudah
dua hari ini pasien tidak minum obat karena habis, pasien juga pernah di
diagnosa stroke sepuluh tahun lalu dan sudah tiga kali di rawat karena
stroke nya itu, selain itu pasien juga di diagnosa diabetes melitus sejak
lima tujuh tahun yang lalu terkontrol dan obat di minum secara teratur.
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
- Pernah dirawat sebanyak tiga kali karena stroke pada tahun 2006,
2009, dan 2011.

26

- Riwayat hipertensi (+) sejak tahun 2006


- Riwayat asma (-)
- Riwayat alergi makanan (-)
- Penyakit diabetes melitus (+) sejak tahun 2009
4. Riwayat Penyakit Keluarga :
- Hipertensi (+) dari ayah
- Asma (-)
- Penyakit jantung (-)
- Penyakit paru (-)
- DM (-)
- Alergi obat/makanan (-)
- Sakit maag (+) dari ibu
- Tipes (-)
5. Riwayat Kebiasaan
- Riwayat merokok (+) sejak remaja dan sudah berhenti merokok sejak
usia 50 tahun
- Minum kopi (+)
- Minum alkohol (-)
- Olah raga (+)
- Suka makan jeroan (+)
- Suka makan yang asin-asin (+)
3.3

Anamnesis Sistemik
1.

Kulit: kulit gatal (-)

2.

Mata: pandangan mata berkunang-kunang (-), penglihatan kabur (-),


ketajaman penglihatan berkurang (-)

3.

Hidung: tersumbat (-), mimisan (-)

4.

Telinga: pendengaran berkurang (-), berdengung (-), cairan (-)

5.

Mulut: sariawan (-), lidah terasa pahit (-)

6.

Tenggorokan: sakit menelan (-), serak (-)

7.

Leher: sakit tengkuk (-), kaku (-), gondok (-)

27

8.

Mammae: nyeri (-), benjolan (-)

9.

Pernafasan: sesak nafas (-), batuk (-), mengi (-)

10. Kadiovaskuler : berdebar-debar (-), nyeri dada (-)


11. Gastrointestinal: mual (+), muntah (+), diare (-), nafsu makan
menurun (-), nyeri ulu hati (+)
12. Genitourinaria: BAK spontan (+), BAB spontan (+)
13. Neurologik: kejang (-), lumpuh (-), kesemutan (+), sakit kepala (+),
pusing (-)
14. Psikiatrik: emosi stabil (+), mudah marah (-)
15. Muskuluskeletal: kaku sendi (-), nyeri sendi pinggul (-), nyeri tangan
dan kaki (-), nyeri otot (-), lemah (-)
16. Ekstremitas atas dan bawah: bengkak (-), sakit (-), ujung jari, telapak
tangan dan kaki dingin (-)
17. Endokrin: polidipsi (-), polifagi (-), poliuri (-)
18. Darah: kepucatan (-), mudah kebiruan (-)
19. Penyakit yang pernah diderita: TBC (-), alergi (-), asma (-)
20. Makanan: nasi (+), sayur (+), tahu (+), tempe (+), ikan (+), telur (+),
susu (-), kwantitas: cukup
3.4

Pemeriksaan Fisik
1.

Keadaan Umum
Tampak lemah, kesadaran compos mentis (GCS 456), status gizi kesan
cukup.

2.

Tanda Vital
Tensi

: 180/90 mmHg

Nadi

: 84 x/menit, reguler, isi cukup

Pernafasan : 20 x/menit
Suhu
3.

Kepala

: 36,3oC

28

Bentuk mesocephal, luka (-), rambut tidak mudah dicabut, keriput (-),
atrofi m. temporalis (-), makula (-), papula (-), nodula (-), kelainan
mimik wajah/bellspalsy (-).
4.

Mata
Conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-).

5.

Hidung
Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-).

6.

Mulut
Bibir pucat (-), bibir cianosis (-), gusi berdarah (-), lidah kotor (putih
kecoklatan) (-).

7.

Telinga
Nyeri tekan mastoid (-), sekret (-), pendengaran berkurang (-).

8.

Tenggorokan
Tonsil membesar (-), pharing hiperemis (-).

9.

Leher
JVP tidak meningkat, trakea ditengah, pembesaran kelenjar tiroid (-),
pembesaran kelenjar limfe (-), lesi pada kulit (-)

10. Thoraks: normochest, simetris, pernapasan abdominothorakal, retraksi


(-), spidernevi (-), sela iga melebar (-)
- Cor : I : ictus cordis tak tampak
P : ictus cordis tak kuat angkat
P : batas kiri atas
: SIC II linea para sternalis sinistra
batas kanan atas : SIC II linea para sternalis dekstra
batas kiri bawah : SIC V 1 cm lateral linea medio
batas kanan bawah
pinggang jantung

clavicularis sinistra
: SIC IV linea para sternalis dekstra
: SIC III linea para sternalis sinistra

(batas jantung kesan tidak melebar)


A :bunyi Jantung III intensitas normal, regular, gargling (-)
murmur (-)
- Pulmo: Statis (depan dan belakang)
I : pengembangan dada kanan sama dengan kiri.
P : fremitus raba kanan sama dengan kiri
P : sonor/sonor
A : suara dasar vesikuler (+/+),suara tambahan (-/-)

29

Dinamis (depan dan belakang)


11. Abdomen:
Inspeksi
Palpasi

: bekas luka (-) , stria (-), bentuk cembung


: nyeri tekan epigastrium (+), tumor (-), hepar: sulit
dievaluasi lien: sulit dievaluasi

Perkusi

: meteorismus (-), shifting dullness (-)

Auskultasi : peristaltik usus BU (+) Normal


12. Ektremitas
Palmar eritema (-/-)
Akral dingin

Oedem

Motorik
5

13. Sistem genetalia: dalam batas normal.

3.5 Pemeriksaan Penunjang


Tanggal 11 Januari 2016
Hematologi:
Item periksa

Hasil pemeriksaan

Nilai normal satuan

Hemoglobin

14,2

12-16

g/dl

Hematokrit

46

35-47

Eritrosit

4,0

4,0-5,5

juta/mm3

Leukosit

5.360

4-10

ribu/mm3

LED

35

<=20

mm/jam

Trombosit

140.000

150-400

ribu/mm

30

Hitung jenis eosinofil

1-5

Hitung jenis basofil

0-1

Hitung jenis neutrofil

62

50-70

Hitung jenis lymphosit

21

20-35

Hitung jenis monosit

3-8

GDS Stik : 134


3.6 Resume
Pasien datang ke RSUD Waled di antar oleh keluarganya dengan
keluhan pusing berputar sejak dua hari yang lalu. Pusing terjadi hilang
timbul, dan merasa sangat pusing pada malam hari jika ingin memulai
tidur. Cephalgia (+) Nausea (+), Vomitus (+) sebanyak tiga kali, dan jika
makan semua dimuntahkan. Nyeri (+) di bagian ulu hati. Selain itu,
pasien mengatakan bakwa akhir-akhir ini sering mengalami kesemutan.
Sepuluh tahun yang lalu pasien pernah di diagnosa hipertensi dan
terkontrol, selain itu juga pernah di dianosis stroke dan pernah di rawat
sebanyak tiga kali, tujuh tahun lalu juga pasien di diagnosa DM dan
terkontrol.
Pada pemeriksaan fisik di dapatkan tensi 180/90 mmHg, nadi
84x/menit, RR: 20 x/mnt. Kepala : dalam batas normal. Leher : dalam
batas normal. Thorax: dalam batas normal . Abdomen: terdapat nyeri
tekan di epigastrium. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 14,2
(N), Hematokrit 46 (N), Trombosit 140.000 (), dan leukosit 5.360 (N)
GDS 134 (N) .
3.7

Diagnosis
Hipertensi Grade II

3.8

Penatalaksanaan
1.

Non Medika mentosa


-

Edukasi pasien dan keluarga tentang penyakit yang diderita

31

Monitoring tanda vital 1 jam setelah pemberian captopril jika ku


membaik tanda vital baik pasien boleh pulang dan control ke poli
penyakit dalam keesokan harinya.

2.

Medikamentosa
- Ranitidin 1 x 1 ampul (iv)
- Ondansetron 1x1 ampul (iv)
- Captopril 1 x 12,5 (po)

Follow up 1 jam setelah terapi medikamentosa


S : psuing sudah mengurang bahkan membaik, mual (-) muntah (-)
O : KU ; CM, TD : 140/100 mmhg, N : 80x/m, RR : 20x/m, S : 36,2
Kepala : Ca (-/-) si (-/-)
Leher : pem. KGB (-) JVP tidak meningkat
Thoraks : : Cor : BJ I-II regular G(-) M(-)
Pulmo : VBS (+/+) RH (-/-) WH (-/-)
Abdomen : BU (+) NT (-)
Ekstremitas : akral hangat (+) edema (-)
5

Motorik

DAFTAR PUSTAKA
1. Whelton PK. Epidemiology and the prevention of hypertension. J Clin
Hypertens. 2004; 6(11):636-42.
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia
2001. Jakarta : 2002.
3. Fisher NDL, Williams GH. Hypertensive vascular disease. In : Kasper DL,
Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, et all, editors. Harrisons

32

principle of internal medicine. 16th edition. New York : McGraw Hill;


2005. p. 1463-80.
4. Bay Area Medical Information (BAMI). Hypertension. 2006. (cited 2006
July 7). Available from : URL : http://www.bami.us/HTN.htm.
5. U.S. Department of Health and Human Services. The Seventh Report of
the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Pressure. National Institute of Health : 2004.
6. Bickley LS. Bates Guide to physical examination and history taking. 8 th
edition. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2003.p.75-80.
7. Beevers G, Lip GYH, OBrien E. ABC of hypertension : Blood pressure
measurement. BMJ. 2001;322:1043-7.
8. Lane DA, Lip GYH. Ethnic differences in hypertension and blood pressure
control in th UK. Q J Med. 2001; 94:391-6.
9. Chang L. Hypertension : high blood pressure and atherosclerosis. In :
WebMD medical reference. 2005. (cited 2006 July 7). Available from :
URL : http://www.webmd.com/content/article/96/103778.htm.
10. Benowitz NL. Antihypertensive agents. In : Katzung, Bertram G, editor.
Basic & clinical pharmacology. 9th edition. Singapore : The McGraw-Hill
Companies, Inc.; 2004.p.160-83.
11. Fisher, Naomi D. L and Gordon H. Williams. Hypertensive Vascular
Disease in Harrisons Principles of Internal Medicine. 16 th Edition. New
York: The McGraw-Hill Companies, Inc. 2005
12. Susalit, E., E. J. Kapojos, dan H. R. Lubis. Hipertensi Primer dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FK
UI. 2001
13. Yogiantoro, Mohammad. Hipertensi Essensial dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I. Edisi IV. Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006

33

Anda mungkin juga menyukai