Anda di halaman 1dari 13

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Rabies merupakan bentuk enchephalitis hebat dengan gejala klinik unik
yang selalu menghasilkan kematian. Beberapa kasus menunjukkan gejala
paralisis, khususnya pada saat postexposure prophylaxis.
Virus yang menjadi penyebabnya adalah virus neurotopik, yang hanya
dapat berkembang biak di dalam jaringan saraf. Virus ini tahan terhadap
kekeringan, akan tetapi mudah dimatikan dengan menggunakan antiseptic, sinar
matahari langsung, pemanasan, dan radiasi dengan menggunakan sinar ultraviolet.
Masa inkubasi pada hewan sekitar 3-6 minggu setelah gigitan hewan rabies,
sedangkan pada manusia tergantung dari parah tidaknya luka gigitan, jauh
tidaknya luka dengan susuna saraf pusat, banyak nya saraf pada luka, jumlah virus
yang masuk, serta jumlah luka gigitan.
Secara umum, penularan rabies terjadi diakibatkan infeksi karena gigitan
binatang. Namun rabies juga dapat menular melalui beberapa cara antara lain
melalui cakaran hewan, virus yang masuk melalui rongga pernapasan, dan
transplantasi kornea. Virus rabies menyerang jaringan saraf dan menyebar hingga
sistem saraf pusat, dan dapat menyebabkan encephalomyelitis.
Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies,
penanganannya hanya berupa tindakan suportif dalampenanganan gagal jantung
dan gagal nafas. Berbagai penelitian dari tahun 1986 hingga 2000 yang
melibatkan lebih dari 800 kasus gigitan anjing pengidap rabies di negara endemis
yang segera mendapat perawatan luka, pemberian VAR dan SAR, mendapatkan
anka survival 100%

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Rabies merupakan penyakit virus akut dari sitem saraf pusat yang mengenai
semua mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi biasanya saliva. Sebagian
besar pemajanan terhadap rabies melalui gigitan binatang yang terinfeksi, tapi kadang
transplantasi jaringan yang terinfeksi dapat memulai proses penyakit.1
Ada beberapa nama lain untuk rabies di berbagai negara, la rage (Perancis), la
rabia (Spanyol), la rabbia (Italia), die tollwut (Jerman) atau di Indonesia terkenal dengan
nama penyakit Anjing Gila.4
2.2. EPIDEMIOLOGI
Istilah rabies dikenal sejak zaman Babylonia kira-kira abad ke 23 sebelum masehi
(SM) dan Democritus menulis secara jelas bin atang menderita rabies pada tahun 500
SM, Tulisan adanya infeksi rabies pada manusia dengan gejala hydrophobia dilaporkan
pada abad pertama oleh Celsus dan gejala klinis rabies baru ditulis pada abad ke 16 oleh
Francastoro, seorang dokter asal Italia.4
Distribusi rabies tersebar di seluruh dunia dan hanya beberapa negara yang bebas
rabies seperti Australia, sebagian besar Skandinavia, Inggris, Islandia, Yunani, Portugal,
Uruguay, Chili, Papua nugini, Brunai, Selandia Baru, Jepang dan Tiwan. Di indonesia

data terakhir pada tahun 2004, di Ambon, Maluku jumlah orang yang meninggal akibat
rabies tercatan 21 orang. Sedangkan di provinsi Bali, desa kendongan dan ungasan pada
tanggal 2009 november 2008 terdspat beberapa anjing mati dan dinyatakan positif
Rabies.
Rabies terdapat dalam 2 bentuk epidemiologik : Urban, disebarluaskan terutama
oleh anjing, dan atau kucing rumah yang tidak di imunisasi, dan Sylvatic, disebarluaskan
oleh sigung (skunk), rubah, raccoon, luwak (mongos), serigala, dan kelelawar. Infeksi
pada manusia cenderung terjadi pada tempat rabies bersifat enzootik atau epizootik, yaitu
jika terdapat banyak populasi binatang jinak yang tidak di imunisasi, dan manusia kontak
dengan udara terbuka. Kematian karena rabies hanya sekitar 1000 dilaporkan oleh World
Health Organization (WHO) setiap tahun, sedangkan insidensi rabies diseluruh dunia
diperkirakan lebih dari 30.000 kasus pertahun. Asia Tenggara, Philipina, Afrika dan
Amerika Selatan adalah area tempat penyakit biasanya terjadi. Di Amerika, rabies
manusia sangat jarang, dan sebagian besar kasus sekarang berasal dari gigitan binatang
yang terpajan di negara-negara yang di dalamnya terdapat endemik rabies anjing.4
Pada sebagian besar area di dunia, anjing merupakan vektor penting virus rabies
untuk manusia. Akan tetapi, serigala, (Eropa timur, daerah kutub utara), luwak (afrika
selatan, karibia), rubah (Eropa barat) dan kelelawar (Amerika Selatan) juga merupakan
vektor penyakit yang penting. Di Amerika, Rabies dari kucing juga sekarang ini
dilaporkan lebih sering daripada rabies anjing, sehingga vaksinasi kucing rumah sangat
penting. Di Amerika, rabies pada binatang buas bertanggung jawab terhadap sekitar 85%
rabies binatang yang dilaporkan, dengan anjing dan kucing hanya sekitar 2-3%.4
Beberapa kasus penularan rabies dari manusia ke manusia melalui transplantasi
kornea juga pernah ditemukan.4
2.3. ETIOLOGI
Virus rabies merupakan virus asam ribonukleat berantai tunggal, beramplop,
berbentuk peluru dengan diameterv75 sampai 80 nm termasuk anggota kelompok
rhabdovirus. Glikoprotein virus terikat pada reseptor aseetikolin, menambah
neurovirulensi virus rabies, membangkitkan antibody neutralisasi dan antibody
penhambat hemaglutinasi, dan merangsang imunitas se T.1

Gambar 1 Rhabdovirus

Virus rabies inaktif pada pemanasan, pada temperature 56 oC waktu paruh kurang
dari 1 menit, dan pada kondisi lembab pada temperatur 37oC dapat bertahan beberapa
jam. Virus juga akan mati dengan deterjen, sabun, etanol 45%, solusi jodium.

2.4. TRANSMISI
Infeksi terjadi biasanya melalui kontak dengan binatang seperti anjing, kucing,
kera, serigala, kelelawar, dan ditularkan ke manusia melalui gigitan binatang atau kontak
virus (saliva binatang) dengan luka pada host ataupun melalui membran mukosa. Kulit
yang utuh merupakan barier pertahanan terhadap infeksi. Transmisi dari manusia ke
manusia belum pernah di laporkan. Infeksi rabies pada manusia terjadi dengan masuknya
virus lewat luka pada kulit (garukan,lecet,luka robek) atau mukosa. Paling sering terjadi
melalui gigitan anjing, tetapi bisa juga melalui gigitan kucing, kera atau binatang lainnya
yang terinfeksi (serigala, musang, kelelawar). Cara infeksi yang lain adalah melalui
inhalasi dimana dilaporkan terjadinya infeksi rabies pada orang yang mengunjungi gua
kelelawar tanpa adanya gigitan. Dapat pula kontak virus rabies pada kecelakaan kerja di
laboratorium, atau akibat vaksinasi dari virus rabies yang masih hidup. Terjangkitnya
infeksi rabies juga dilaporkan pada tindakan transplantasi kornea dari donor yang
mungkin terinfkesi rabies.4
2.5. PATOGENESIS

Kejadian pertama perjalanan virus melalui epidermis atau kedalam membran


mukosa. Replikasi viral awal tampak terjadi dalam sel otot lurik didaerah inokulasi,
sistem saraf perifer terpajan pada neuromuskuler. Virus kemudian menyebar secara
sentripenal naik ke saraf sampai sistem saraf pusat, mungkin melalui aksoplasma saraf
perifer. Saat virus mencapai sistem saraf pusat, virus melakukan replikasisecara eksklusif
dalam substansia kelabu dn kemudia lewat secara sentrifugal sepanjang saraf autonom
untuk mencapai jaringan-jaringan lain termasuk kelenjar saliva, medula adrenalis, ginjal,
paru-paru, hepar, otot rangka, kulit dan jantung. Virus juga tersebar pada air susu dan

urine.4
Periode inkubasi rabies sangat bervariasi, antara 10 hari sampai lebih dari 1 tahun
(rata-rata 1 sampai 2 bulan). Periode waktu tampak tergantung padajumlah virus yang
masuk, jumlah jaringan yang terserang, mekanisme pertahanan penderita dan perjalanan
virus dari daerah inokulasi ke sistem saraf pusat. Kasus rabies manusia dengan periode
inkubasi yang panjang (2 sampai 7 tahun) telah di laporkan tapi jarang terjadi.4
2.6. MANIFESTASI
Masa inkubasi rabies 95% antara 3-4 bulan, masa inkubasi bisa bervariasi antara 7
hari hingga 7 tahun, hanya 1% kasus dengan inkubasi 1-7 tahun. karena lamanya inkubasi
kadang-kadang pasien tidak dapat mengingat kapan terjadi gigitan. Pada anak-anak masa
inkubasi biasanya lebih pendek dari pada orang dewasa. Lamanya masa inkubasi di
pengaruhi oleh dalam dan besarnya luka gigitan, lokasi luka gigitan (jauh dekatnya ke
sistem saraf pusat), derajat patogenesis virus dan persarafan daerah luka gigitan. Luka
pada kepala inkubasi 25-48 hari, dan pada ekstremitas 46-78 hari.4
Manifestasi klinis rabies dapat dibagi menjadi 4 stadium: (1) prodromal non
spesifik, (2) ensefalitis akut yang mirip dengan ensefalitis virus lain. (3) disfungsi pusat
batang otak yang mendalam yang menimbulkan gambaran klasik ensefalitis rabies, dan
(4) koma rabies yang mendalam.1
Periode prodromal biasanya menetap selama 1 sampai 4 hari dan ditandai
dengan demam, sakit kepala, malaise, mialgia, mudah terangsang lelah (fatigue),
anoreksia, nausea, dan vomitus, nyeri tenggorokan dan batuk yang tidak produktif.
Gejala prodromal yang menunjukkan rabies adalah keluhan parestesia dan/atau
fassikulasi pada atau sekitar tempat inokulasi virus yang mungkin berhubungan dengan
multiplikasi virus dalam ganglion dorsalis saraf sensoris yang mempersarafi area gigitan.
Gejala ini terdapat pada 50% sampai 80% pasien.1
Stadium prodromal dapat berlangsung hingga 10 hari, kemudian penyakit akan
berlanjut sebagai gejala neurologik akut yang dapat berupa furius atau paralitik.4
Fase ensefalitis biasanya ditunjukkan oleh periode aktivitas motorik yang
berlebihan, rasa gembira, dan gelisah. Muncul rasa bingung, halusinasi, combativeness,
penyimpangan alur pikiran yang aneh, spasme otot, meningimus, posisi opistotonik,
kejang dan paralisis fokal. yang khas, periode penyimpangan mental yang diselingi

dengan periode lucid tapi bersama dengan berkembangnya penyakit, periode lucid
menjadi leboh pendek sampai pasien akhirnya menjadi koma. Hipertensi, dengan
sensitivitas yang berlebihan terhadap cahaya terang, suara keras, sentuhan, bahkan
rangsangan oleh udara sering terjadi. pada pemeriksaan fisis, suhu tubuh naik hingga 40,6
o
C, abnormalitas sistem saraf otonom meliputi dilatasi pupilyang ireguler, lakrimasi
meningkat, salivasi, dan berkeringat berlebih. Juga terdapat tanda paralisis motor neuron
bagian atas dengan kelemahan, meningkatnya refleks tendo profunda, dan respon
ekstensor plantaris. Paralisis pita suara biasa terjadi.1
Manifestasi disfungsi batang otak segera terjadi setelah mulainya fase ensefalitis.
terkenanya saraf kranialis menyebabkan diplopia, dan kesulitan menelan yang khas.
Gabungan salivasi yang berlebihan dan kesulitan menelan menimbulkan gambaran
tradisional "foaming at the mounth''. Hidrofobia, tampak pada sekitar 50% kasus. pasien
menjadi koma dengan terkenanya pusat respirasi oleh virus, yang akan menimbulkan
kematian apneik. menonjolnya disfungsi batang otak dini membedakan rabies dari
ensefalitis virus lainnya. Daya tahan hidup rata-rata setelah mulainya gejala adalah 4 hari,
dengan maksimum 20 hari, kecuali diberikan tindakan bantuan artifisial.1
Tabel 1. Perjalanan Penyakit Penderita Rabies

2.7. KOMPLIKASI
Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan biasanya timbul pada
fase koma. Komplikasi neurologik dapat berupa peningkatan tekanan intrakranial,
kelainan pada hipotalamus berupa diabetes insipidus, sindroma abnormalitas hormon

antidimetik (SAHAD), disfungsi otonomik yang menyebabkan hipertensi, hipotensi,


hipertemia/hipotermia, aritmia dan henti jantung. Kejang dapat lokal mauoun generalisata
dan sering bersamaan dengan aritmia dan gangguan respirasi. Pada stadium prodromal
sering terjadi komplikasi hiperventilasi dan alkalosis respiratorik, sedangkan
hipoventilasi dan depresi pernapasan terjadi pada fase neurologik akut. Hipotensi terjadi
karena gagal jantung kongestif, dehidrasi dan gangguan otonomik.4
2.8. TEMUAN LABORATORIUM
Pada awal penyakit hemoglobin dan kimia darah ritun normal, tapi abnormalitas
terjadi bersamaan dengan disfungsi hipotalamus, perdarahan gastrointestinal, dan
komplikasi lainnya. Jumlah leukosit agak meningkat tapi mungkin juga normal.1
Seperti padaa setiap infeksi virus, diagnosis spesifik rabies tergantung pada (1)
isolasi virus dari sekresi yang terinfeksi [saliva, cairan serebrospinalis (CSF), atau
jaringan (otak)], (2) uji serologik infeksi akut, atau (3) adanya antigen yang terinfeksi,
misalnya, apusan impresi kornea, biopsi kulit, atau otak.1
Fluororescent antibodi test (FAT) dengan cepat menidentifikasi antigen virus
rabies di jaaringan otak, sedimen cairan serebrospinalis, urin, sensitivitas tes ini bahkan
60-100%. Pada awal penyakit (minggu 1) FAT merupakan tes yang paling sensitif
walaupun dapat terjadi negatif palsu.4
Di Amerika Serikat, tes standar adalah rapid fluororescent focus inhibition tes
(RFFIT) untuk mendeteksi antibodi spesifik, dimana hasil diperoleh dalam waktu 48
jam.2
Deteksi RNA virus rabies seperti juga pada infeksi virus lainnya dapat dilakukan
melalui pemeriksaan Reverse-Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR).4
2.9. DIAGNOSIS BANDING
Rabies harus dipertimbangkan sebagai penyebab pada semua penderita dengan
gejala neurologik, psikiatrik atau laringofaringeal yang tak bisa dijelaskan, khususnya
bila terjadi di daerah endemis aatau orang yang mengalami gigitan binatang pada daerah
endemis rabies.4
Penderita rabies harus dibedakan dengan rabies histerik yaitu suatu reaksi
psikologik orang-orang yang terpapar dengan hewan yang diduga mengidap rabies.
Penderita dengan rabies histerik akan menolak jika diberikan minum (pseudohidropobia)

sedangkan pada penderita rabies sering merasa haus.4


Tetanus dapat dibedakan dengan rabies melalui masa inkubasinya yang pendek,
adanya trismus, kekakuan otot yang persisten diantara spasme, status mental normal,
cairan serebrospinal biasanya normal dan tidak terdapat hidropobia. Ensefalitis dapat
dibedakan dengan metode pemeriksaan virus dan tidak dijumpai hidropobia.4
Rabies paralittik dapat dikelirukan dengan Syndroma Guillain Barre transverse
myelitis, japanese ensefalitis, herpes simpleks ensefalitis, poliomielitis atau ensefalitis
post vaksinasi. Pada poliomielitis saat timbul gejala neurologik sudah tidak ada demam,
dan tidak ada gangguan sensorik.
Ensefalitis post vaksinasi rabies terjadi 1:200 - 1:1600 pada vaksinasi nerve tissue
rabies vaccine, dibedakan dengan mulai timbulnya gejala cepat, dalam 2 minggu setelah
dosis pertama. Pemeriksaan neurologis yang teliti dan pemeriksaan laboratorium berupa
isolasi virus akan membantu diagnosis.4
Diagnosis banding dalam kasus pasien suspek rabies meliputi banyak penyebab
dari ensephalitis, yang pada umumnya karena infeksi dari virus seperti herpesvirus,
enterovirus, dan arbovirus. Virus yang sangat penting untuk dijadikan diagnosa banding
adalah herpes simpleks tipe 1, varisella-zooster. Faktor epidemiologi seperti cuaca, lokasi
geografi, umur pasien, riwayat perjalanan, dan pajanan yang mungkin untuk tergigit
binatang dapat membantu menolong penegakan diagnosis.1
2.10. PENATALAKSANAA RABIES
Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies,
penanganannya hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung dan
gagal nafas. Walaupun tindakan perawatan intensif umumnya dilakukan, hasilnya tidak
menggembirakan, perawatan intensif hanyalah metode untuk memperpanjang dan bila
mungkin menyelamatkan hidup pasien dengan mencegak komplikasi respirasi dan
karidovaskuler yang sering terjadi. Isolasi penderita penting segera setelah diagnosa
ditegakkan untuk menghindari rangsangan-rangsangan yang dapat menimbulkan spasme
otot dan mencegah penularan. Staf rumah sakit perlu menghindari rangsanganrangsangan yang dapat menimbulkan spasme otot dan mencegah penularan. Staf rumah
sakit perlu menghindarkan diri terhadap penularan virus dari air liur, urin, air mata, cairan
lain dan yang paling berbahaya adalah kontak dengan mukosa atau kulit yang terluka
khususnya akibat gigitan dengan universal precaution (memakai sarung tangan dan

sebagainya). Virus tidak menular melalui darah dan tinja. Yang penting dalam
pengawasan penderita rabies adalah terjadinya hipoksia, aritmia, gangguan elektrolit,
hipotensi dan edema serebri.4
Penderita rabies dapat diberikan obat-obatan sedatif dan analgesik secara adekuat
untuk memulihkan ketakutan dan nyeri yang terjadi. Penggunaan obat-obatan anti serum,
anti virus, interferon, kortikosteroid dan imunosupresif lainnya tidak terbukti efektif.4

Tabel : Fitur Profilaksis Pasca Pajatan Untuk Infeksi Rbies Oleh WHO

2.11. PENCEGAHAN
Pada setiap keadaan, keputusan harus dilakukan kapan memulai profilaksis rabies
pasca pemajanan. Ketika memutuskan kapan harus memberikan profilaksis rabies,
digunakan pertimbangan berikut : (1) apakah individu mengalami kontak fisis dengan
saliva atau bahan lain yang mungkin mengandung virus rabies , (2) apakah rabies
diketahui atau diduga pada spesiesdan area yang dihubungkan dengan pemajanan
(misalnya, semua individu dalam kepulauan Amerika yang digigit kelelawar yang
membawa virus, sebaiknya menerima profilaksis pasca pemajanan), (3) keadaan sekitar
pemajanan, dan (4) pengobatan alternatif dan komplikasi.1
Jika rabies diketahui ada atau diduga ada pada spesis binatang buas atau yang
sakit, binatang rumah yang tidak divaksinasi, atau yang berkeliaran yang dapat terlibat
dalam pemajanan rabies, menunjukan tingkah laku abnormal, atau diduga gila, sebaiknya
dibunuh secara penuh perikemanusiaan, dan kepalanya segera dikirim ke laboratorium
yang sesuai untuk pemeriksaan fluororescent antibody rabies, Jika pemeriksaan otak
dengan teknik fluororescent antibody negatif untuk rabies, dapat disimpulkan bahwa
saliva tidak mengandung virus, dan orang yang terkena tidak perlu diobati.1
Jika anjing atau kucing yang sehat menggigit orang, maka binatang itu ditangkap,
diisolaso dan diobservasi selama 10 hari. Jika timbul penyakit atau tingkah laku yang
abnormal pada binatang itu selama periode observasi, bianatang itu dibunuh untuk
pemeriksaan fluororescens antibody. Bukti percobaan dan epidemiologi menunjukkan
bahwa binatang yang tetap sehat selama 10 hari setelah gigitan tidak akan menularkan
virus rabies rabies pada waktu menggigit.
Penanganan Luka

Pengobatan lokal luka gigitan adalah faktor penting dalam pencegahan rabies.
Luka gigitan harus dicuci dengan sabun. dilakukan debridemen dan diberikan desinfektan
seperti alkohol 40-70%, atau larutan ephiran 0,1%. Luka akibat gigitan binatang penular
rabies tidak dibenarkan untuk dijahit kecuali bila dalam keadaan memaksa dapat
dilakukan jahitan sementara (bila terjadi pendarahan hebat). Profilaksis tetanus dapat
diberikan dan infeksi bakterial yang berhubungan dengan luka gigitan perlu diberikan
antibiotik.4
Profilaksis pasca- paparan
Dasar vaksinasi post-exposure (pasca paparan) adalah dengan neutralizing
antibody terhadap virus rabies dapat segera terbentuk dalam serum setelah masuknya
virus kedalam tubuh dan antibodi sebaiknya terdapat dalam titer yang cukup tinggi
selama setahun sehubungan dengan panjangnya inkubasi penyakit. neutralizing antibody
tersebut dapat berasa dari imunisasi pasif dengan serum antirabies atau secara aktif di
produksi oleh tubuh oleh karena imunisasi aktif.4
Secara garis besar ada 2 tipe vaksin anti rabies (VAR) yaitu a). Nerve Tissue
Vaccine (NTV)
, b). Non Nerve Tissue Vaccine (Duck Embryo Vaccine = DEV)
dan vaksin yang berasal dari biakan jaringan seperti Human Diploid Cell Vaccine
(HDCV) dan Purifed Vero Cell Rabies Vaccine (PVRV).4
Pada luka gigitan yang ringan pemberian vaksin saja sudah cukup tetapi pada
semua kasus gigitan yang parah dan semua gigitan binatang liar yang biasanya menjadi
vektor rabies, kombinasi vaksin dan serum anti rabies (SAR) adalah yang paling ideal
dan memberikan proteksi yang jauh lebih baik dibandingkan dengan vaksin saja.4
Cara vaksin pasca paparan yang dilakukan pada paparan yang ringan berupa
pemberian VAR secara intramuskuler pada otot deltoid atau anterolateral paha dengan
dosis 0,5 mL pada hari 0,3,7,14,28 (regimen Essen/rekomendasi WHO), atau pemberian
VAR 0,5 mL pada hari 0,7,21 (Regimen Zagreb/rekomendasi Depkes RI). Pada orang
yang sudah mendapat vaksin rabies dalam waktu 5 tahun terakhir, bila digigit binatang
tersangka rabies, vaksin cukup diberikan 2 dosis pada hari 0 dan 3, namjun bila gigitan
dikategorikan berat, vaksin dibeerikan lengkap. Pada luka gigitan yang parah, gigitan
leher ke atas, pada jari tangan dan genitalia diberikan SAR 20 IU per kilogram berat
badan dosis tunggal. Cara pemberian SAR adalah setengah dosis infiltrasi pada daerah
luka dan setengah dosis intramuskuler pada tempat yang berlainan dengan suntikan SAR,
diberikan pada hari yang sama dengan dosis pertama SAR.4

Profilaksis pra-pemajanan
Individu dengan resiko kontak dengan virus rabies tinggi seperti dokter hewan,
peneyelidik gua (arkeolog), pekerja laboratorium dan pelatih binatang, sebaiknya
mendapat profilaksis pra-pemajanan dengan vaksin rabies. Wisatawan yang akan
berkunjung ke daerah-daerah endemis seperti meksiko, thailand, filipina, india, sri lanka
dianjurkan mendapatkan pencegahan pre-exposure. Vaksin anti rabies diberikan dengan
dosis 1 mL. secara intramuskuler pada hari ke 0,7, dan 28 lalu booster setelah 1 tahun dan
tiap 5 tahun.4
Efek samping vaksinasi
Vaksin anti rabies disamping memberikan perlindungan terhadap rabies juga dapat
memberikan macam-macam reaksi negatif pada tubuh manusia yaitu reaksi lokal, berupa
udem, gatal-gatal, eritema dan rasa sakit pada tempat suntikan serta reaksi umum berupa
panas, malaise, mual muntah, diare dan mialgia. Keadaan ini dapat diatasi dengan
pemberian kompres lokal pada tempat suntikan, anti histamin dan antipiretik.4
Komplikasi neurologi yang cukup berbahaya adalah ensephalomielitis dengan
gejala sakit kepala mendadak, panas, muntah, paresis, paralisis, parestesia, kaku kuduk,
ataksia dan kejang. Komplikasi ini biasanya terjadi pada vaksinasi dengan NTV yang
berkaitan dengan protein myelin yang bersifat ensefalitogenik dadn terjadi
hipersensitivitas terhadap jaringan saraf. Pada vaksin generasi baru (PRCV) tidak pernah
dilaporkan lagi komplikasi ensefalomielitis.4
SAR dapat memberikan efek samping berupa reaksi anafilaksis dan serum
sickness. Reaksi anafilaksis ditangani dengan pemberian adrenalin dan serum sickness
diatasi dengan pemberian kortikosteroid dan antihistamin.4
Dosis booster HDCV disertai demam, sakit kepala, nyeri otot dan sendi pada
sekitar 20% resipien. Reaksi-reaksi ini akan sembuh dengan sendirinya.1
2.12. PROGNOSIS
Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus sudah
mencapai sistem saraf pusat. Dari tahun 1857 sampai tahun 1972 dari kepustakaan
dilaporkan 10 pasien yang sembuh dari rabies namun sejak tahun 1972 hingga sekarang
belum ada pasien rabies yang dilaporkan hidup. Prognosis seringkali fatal karena sekali
gejala rabies telah tampak hampir selalu kematian terjadi 2-3 hari sesudahnya sebagai

akibat gagal nafas/henti jantung ataupun paralisis generalisata.


Berbagai penelitian dari tahun 1986 hingga 2000 yang melibatkan lebih dari 800
kasus gigitan anjing pengidap rabies dinegaara endemis yang segera mendapat perawatan
luka, pemberian VAR dan SAR, mendapatkan angka survival 100%.4

3.1. KESIMPULAN
1. Rabies merupakan penyakit virus akut dari sistem saraf pusat yang mengenai
semua mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi biasanya saliva.
2. Sebagian besar pemajanan terhadap rabies melalui gigitan binatang yang
terinfeksi, tapi kadang transplantasi jaringan yang terinfeksi dapat memulai proses
penyakit.
3. Distribusi rabies tersebar diseluruh dunia dan hanya beberapa negara yang bebas
rabies.
4. Di indonesia data tahun 2001 menunjukkan terdapat 7 provinsi yang bebas rabies
adalah Jawa tengah, Jawa timur, Kalimanatan Barat, Bali, NTB, Maluku dan Irian
Jaya.
5. Infeksi terjadi biasanya melalui kontak dengan binatang seperti anjing, kucing,
kera, serigala, kelelawar dan ditularkan kemanusia melalui gigitan binatang atau
kontak virus (saliva binatang) dengan luka pada host ataupun melalui membran
mukosa.
6. Manifestasi klinis rabies dapat dibagi menjadi 4 stadium: 1. Prodromal non
spesifik, 2. ensefalitis akut yang mirip dengan ensefalitis virus lain. 3. disfungsi
pusat batang otak yang mendalam yang menimbulkan gambaran klasik ensefalitis
rabies, dan 4. koma rabies yang mendalam.
7. Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies,
penanganannya hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung
dan gagal nafas. Walaupun tindakan perawatan intensif umumnya dilakukan,
hasilnya tidak menggembirakan. Perawatan intensif hanyalah metode untuk

memperpanjangdan bila mungkin menyelamatkan hidupnya pasien dengan


mencegak komplikasi respirasi dan kardiovaskuler yang sering terjadi.
8. Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus sudah
mencapai sistem saraf pusat

DAFTAR PUSTAKA

1. Corey, Lawrence. Rabies, Rhabdovirus, dan agen mirip-marburg. In: Harrison


Prinsip - prinsip ilmu penyakit dalam Edisi 13. Jakarta : EGC. 1999. p.938-941
2. Harijanto, Paul N. Gunawan, Carta A. Rabies. In: Buku Ajar Penyakit Dalam
Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. p 1736-1740.
3. Bleck. TP. Rupprecht. CE. Rabies Virus. In: Mandell GL, Bennet JE, Dollin R
(Eds). Mandell, Douglas amd Bennet's Principles and Practice of Infectious
Diseases. 5th ed. Churchill Livingstones, Philadelphia 2000, p 1811-1820
4. Chin, James, Manual Pemberantaasan Penyakit Menular Edisi 17. American
Public Health Association, Jakarta 2000, p 427-436
5. M'O Brian Medicine Journal : Rabies. The Emergence of Infectious Disease. Jul
2008 [Diunduh pada 8 Januari 2015]; tersedia di URL : www.google.com M'O
Brian Journal : Rabies
6. WHO, the fact of Rabies disease. WHO data for world (serial online) Feb 2005
[Diunduh
pada
8
Januari
2015];
tersedia
di
URL
:
http:/www.who.int/mediacentre/factsheets/fs099/en/
7. Footage and Picture of Rabies and its content (online data) 2011 [diunduh pada 8
januari 2015]; tersedia di URL : http://www.google.com/images Rabies.

Anda mungkin juga menyukai