Anda di halaman 1dari 17

Dua Potongan Kecil

Kepingan Kedua

Via Sant’ Eligio, Roma, Italia. 25 februari 2009, 18.30

Beberapa minggu setelah menyelesaikan misinya di Istambul, Roque menghilang


begitu saja. Tak ada kabar dan tak satupun tahu keberadaannya termasuk Andrea. Setelah
itu ia kembali ke Italia untuk menjalani kehidupannya seperti sedia kala.
Roque memasuki apartement dan menaiki lift menuju kamarnya di lantai 21.
Penampilannya tak berubah, masih mengenakan jeans, t-shirt dan topi hitam. Sweater
telah ia tinggalkan karena sekarang udara di kota Roma sudah tidak terasa dingin lagi.
Ketika Roque memasuki lift, di dalamnya sudah ada seorang pria paruh baya
seorang diri dengan menenteng koran tergulung di tangannya. Pria yang baru kali ini di
jumpainya tersebut memberikan senyuman pada Roque, dan ia balas tersenyum.
Orang ini tampak ramah dan berpenampilan santai. Mungkin ia adalah kerabat dari salah
satu penghuni apartement ini, begitu pikir Roque. Roque tak ingin ambil pusing dan
sebisa mungkin menghindarkan diri dari berhubungan dengan orang-orang yang tidak
perlu demi menjaga rahasia identitasnya.
Orang tersebut keluar dari lift, dan kini lift bergerak naik menuju lantai 21. Ketika
telah sampai di depan kamar, Roque mendapati sesuatu yang mencurigakan. Seseorang
telah memasuki kamarnya. Itu terlihat dari pintu kamar yang masih sedikit terbuka.
Roque membuka pintu itu perlahan lalu masuk ke dalam dengan hati-hati.
Di balik tirai tampak sesosok bayangan yang sedang duduk di kursi. Roque
bersiap mengeluarkan pistol Jericho 941FB dari balik bajunya.
“Masuk saja, tidak usah mengendap-endap seperti itu.” Tiba-tiba suara tersebut
memecah ketegangan. Ternyata suara seorang wanita! Dan wanita ini sudah tak asing lagi
bagi Roque, tentu saja Andrea!
“Sejak kapan kau ada di sini?” Roque berjalan mendekati Andrea sambil
menyelipkan kembali pistolnya ke balik baju. Ia meletakkan tasnya di lantai kemudian
berjalan lagi menuju lemari es.
“Sekitar 15 menit yang lalu.” Andrea masih duduk membelakangi Roque.
“Ada berita bagus?”
“Semuanya kabar buruk,” Andrea memutar kursi dan mengarahkan pandangan
pada Roque, “Kemana saja kau selama ini?!”
“Madrid.” Roque menuangkan Tequila ke dalam dua gelas.
“Untuk apa? Aku keusulitan menghubungimu selama ini!” Andrea berbicara
dengan sedikit kesal.
“Apa kabar buruknya?” Roque memberikan salah satu gelas pada Andrea
“Kau belum menjawab pertanyaanku tadi!” Andrea bertambah kesal karena
Roque berusaha mengacuhkan pertanyaannya
“Aku sengaja menghilang untuk sementara waktu.” Roque menyalakan Marlboro-
nya.
“Untuk apa kau menghilang?! Aku benar-benar tak mengerti jalan pikiranmu!”
“Itulah asyiknya. Semakin kau tak mengerti, akan semakin menyenangkan.”
Roque tersenyum dan mengernyitkan dahi pada Andrea.
“Aku tidak sedang tidak bercanda! Dasar orang aneh!”
“Hemph… baiklah, wanita memang selalu seperti itu” Roque menghisap rokok
lalu meneruskan pembicaraan. “Aku mencium ada kejanggalan setelah kejadian di
Istambul. Sebuah media lokal setempat memberitakan bahwa gerakan oportunis Italia
bertanggung jawab atas kematian George.”
“Kenapa bisa seperti itu?”
“Entahlah, yang jelas ada seseorang mengaku sebagai anggota gerakan itu dan
bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut.”
“Apakah itu artinya kau di jadikan umpan?”
“Mungkin. Tapi bisa juga gerak-geriku sudah lama tercium oleh pihak keamanan.
Yang lebih mengherankan, transaksiku dengan Bill berjalan lancar. Dan pembayaran atas
jasaku pun telah kuterima tepat seperti apa yang ia janjikan“
“Lalu kenapa kau juga menghilang dariku?! Apa kau curiga aku yang telah
mengkhianatimu?”
Roque tersenyum lagi, “Kau sudah terlalu bodoh untuk menjadi bagian dari
pekerjaan ini, dan kukira kau tidak akan berbuat lebih bodoh lagi untuk mengkhianatiku.”
“Lantas mengapa?” Andrea semakin bingung dan penasaran.
“Aku tak ingin melibatkanmu lebih jauh lagi. Pekerjaan ini sudah terlalu
berbahaya buatmu. Kukira alasan itu sudah cukup kuat untuk menjawab pertanyaanmu.”
“Kau benar-benar membuatku marah!” Andrea bangun dari tempat duduknya dan
berbicara pada Roque dengan sangat kesal, “Apa kau pikir selama ini aku tak menyadari
resikonya?!”
“Lalu mengapa kau tetap bersikukuh menantang bahaya?” Walaupun Andrea
sudah sangat marah, tetapi Roque masih terlihat santai dan bersikap tenang sambil
menikmati tequila dan Marlboro-nya.
“Kau pasti sudah tahu alasannya! Kau terlalu naïf!”
“Aku hanya tak ingin kau celaka,” terang Roque.
“Lalu kau pikir aku akan membiarkanmu celaka sendiri?!!” Andrea berteriak pada
Roque dan tanpa disadari ia telah menitikan air mata.
Roque spontan memegang kedua bahu Andrea dan memeluknya, “Maafkan aku”
ia berbisik lirih.
Untuk beberapa saat mereka merasakan sebuah kehangatan yang sulit untuk
dijelaskan. Selama mengenal Roque, Andrea tak pernah diperlakukan seperti ini. Ia hanya
terbiasa dengan sikap dingin Roque. Dan Roque pun tak menyadari apa yang sedang ia
lakukan, ia hanya tahu kalau saat itu ia sangat tak ingin kehilangan Andrea.
Setelah semuanya reda, Roque melepaskan pelukannya dan mengambil
sebungkus Marlboro dari saku jeans. Ia mengambil sebatang lalu menyelipkan rokok itu
di bibir Andrea.
“Hisaplah, ini akan membuatmu lebih tenang.” Roque menyalakan rokok itu
untuk Andrea.
Andrea menghisap rokok itu perlahan, sedikit demi sedikit karena ia tak terbiasa
merokok. Awalnya Andrea terlihat canggung, namun setelah beberapa saat ia mulai bisa
menikmatinya. Setelah itu Andrea tersenyum pada Roque.
“Kau memaafkan ku?” Roque membalas senyum Andrea.
Andrea mengangguk dan mengambil gelas berisi tequila di atas meja kemudian
meminumnya.
“Baiklah, kalau begitu sekarang giliranmu menjawab pertanyaanku tadi. Ada
kabar buruk apa?”
“Belakangan ini aku juga curiga kalau kita sudah tercium oleh pihak keamanan.”
“Apa yang terjadi?”
“Alinsky dan dua orang komplotannya telah diringkus polisi!”
“Sudah kuduga. Tidak terlalu buruk, biarlah si brengsek itu meringkuk di
penjara!”
“Tetapi ada yang lebih buruk, nama mu juga ikut terseret ke dalam masalah itu!”
“Maksudmu?!”
“Mungkin polisi telah berhasil mendapatkan keterangan tentang kita dari
Alinsky.”
“Kita?!”
“Ya. Bukan cuma kau, tapi aku juga. Belakangan ini tempat kerjaku sering di
kunjungi polisi. Aku curiga mereka sedang mengawasiku.”
“Sial! Sudah ku duga, pada akhirnya pasti jadi seperti ini!” Roque menggebrak
meja dan berjalan ke arah jendela.
“Aku sarankan padamu untuk lebih berhati-hati. Selama ini aku tidak tinggal
diam, dan kudengar badan intelligent Amerika dan kepolisian dari divisi khusus Italia
tengah bekerjasama untuk menangani kasus ini.”
“Langkah kita akan semakin sulit.”
“Begitulah, apalagi ada berita yang kuterima bahwa sejumlah detektif senior telah
diturunkan.”
“Apa kemungkinan terburuknya?”
“Aku tak tahu persis. Tapi yang pasti jika kita lengah sedikit saja, maka kita akan
bernasib sama seperti Alinsky dan komplotannya.”
“Kita tak bisa disamakan dengan kawanan anjing hutan itu!”
“Semoga saja begitu. Ada sebuah catatan khusus tentang detektif senior yang baru
saja ku singgung. Kabarnya seorang detektif kawakan telah terjun ke lapangan dan
menyelidiki kasus ini secara langsung.”
“Cuma sampai disitu? Apa istimewanya?” Roque tak pernah takut pada siapapun.
“Masih ada lagi. Namanya Alessandro Ricci. Ia memiliki track record yang
sangat luar biasa. Namanya pernah tercatat di beberapa kesatuan Intelligent khusus, dan
terakhir yang ku dengar ia bergabung di divisi kriminal dan anti-terrorist. Ia bukan hanya
detektif biasa. Lebih dari itu, ia merupakan agent yang sangat professional! Setiap
penjahat yang mendengar namanya pasti akan gemetar!”
Roque tersenyum sinis, “Aku yakin detektif itu pun akan gemetar jika mengetahui
track record-ku”
“Ya, siapapun akan bergetar mendengar nama The Black Jaguar!” Andrea ikut
tersenyum.
“Yang penting kita terus bergerak. Dunia ini diselimuti salju, jika kita tidak ingin
mati membeku maka kita harus tetap bergerak”
“Baiklah, aku pulang. Kau kelihatan masih perlu istirahat. Ingat pesanku, berhati-
hatilah, karena mungkin tempat ini sudah terlacak” setelah itu Andrea pergi
meninggalkan kediaman Roque.

Stazione Termini, 3 Maret 2009. 11.45

Hari ini tak seperti biasanya, Roque tengah berada di terminal bus Termini. Roque
baru saja turun dari bus. Ia telah menempuh perjalanan dari Venezia dan baru saja tiba
kembali di Roma. Roque yang saat itu mengenakan t-shirt putih dan jacket berwarna
cokelat tampak sedang berjalan diantara kerumunan orang-orang. Ia lebih sering terlihat
menundukkan kepala dan menyembunyikan wajah dibalik topi hitamnya. Ia berjalan
menyusuri koridor dan berhenti tepat di depan newspaper station. Roque membeli sebuah
koran kemudian berjalan lagi keluar dari terminal tersebut. Ia langsung melanjutkan
perjalanannya dengan sebuah taxi.
Roque duduk di bangku belakang kemudian membuka koran yang baru saja ia
beli tersebut. Ia sedikit terkejut melihat salah satu berita utama di halaman depan Koran
itu. Disebutkan disana bahwa badan intelligent Amerika telah menetapkan satu tersangka
dalam kasus pembunuhan George. Walaupun identitas si tersangka tidak di sebutkan,
tetapi CIA telah menyatakan bahwa orang yang kini menjadi buruan utama mereka
tersebut tengah berada di Italia.
Entah kenapa setelah membaca berita di koran itu Roque malah tersenyum. Raut
wajahnya terlihat tenang seakan tak tampak sedikitpun ke-khawatiran disana.
Setelah menutup korannya, ia menepuk pundak si supir taxi, “Berputar pak, ke Via Delle
Fornacci, cepat!”

Gianni Vallota Café- Via Delle Fornacci, Roma, Italia_

Andrea tengah melayani pengunjung ketika Roque masuk ke dalam café. Roque
tidak langsung duduk di kursi, ia masih berdiri di depan counter hingga Andrea
menghampirinya.
“Ada yang bisa saya bantu?” Andrea menggoda Roque sambil tersenyum padanya
“Hemph, dalam keadaan begini kau masih bisa bercanda!” Roque menyalakan
Marlboro-nya
“Ada berita apa lagi?”
“CIA telah menetapkan seorang tersangka dan mereka menyebutkan bahwa orang
itu berada di Italia” Roque berkata kepada Andrea, tetapi dari tadi wajahnya menghadap
ke jalan diluar dan sama sekali tak menatap Andrea.
“Sial! Kita semakin tersudut!”
“Kembalilah pada pembeli.” Raut wajah Roque tampak berubah.
“Ada apa Roque?” Andrea tampak keheranan.
“Di seberang jalan ada sebuah Van putih, di dalamnya ada sekitar 6 orang, semua
bersenjata. 20 meter arah jarum jam angka tiga dari sedan itu ada sebuah sedan Mercedes
Benz hitam terparkir di ujung trotoar. Orang di dalam mobil itu sejak tadi terus
mengawasi tempat ini.”
Roque memperingatkan Andrea dengan pandangan tajam kearah mobil tersebut
tanpa menoleh sedikitpun.
Tak lama setelah itu salah satu pintu sedan terbuka, keluarlah seorang pria
mengenakan jas dan kaca mata hitam dari dalam mobil tersebut. Orang itu hanya keluar
sendiri lalu berjalan ke arah Roque.
Andrea masih tak mengerti apa yang Roque katakan. Ia tak tahu apa yang sedang
terjadi disitu. Andrea menoleh kearah yang Roque tunjukkan, tapi ia malah kebingungan.
“Kembalilah pada pembeli, lakukan kesibukan apapun, sekarang!” Roque
memperingatkan Andrea lagi. Kali ini ia tak main-main.
Walaupun Andrea tak tahu betul apa yang dimaksud oleh Roque, tetapi ia segera
mengikuti perintahnya.
Pria ber-kacamata itu masuk ke dalam café, dan berdiri tepat di samping Roque.
Ia melepaskan kacamata-nya, dan salah satu tangan yang lain ada di dalam saku celana.
Orang itu menoleh pada Roque, tapi pandangannya terus mengawasi tempat itu.
“Mencari sesuatu?” Roque menyapa orang tersebut sambil menyalakan Marlboro.
“Oh, hanya mampir membeli beberapa makanan ringan untuk menemani patrol.”
Pria itu sedikit terkejut dengan sapaan Roque. Ia kaget karena Roque mungkin tahu
gerak-geriknya sejak tadi, begitu pikirnya.
“Kepolisian?”
“Ya.” pria itu menjawab pertanyaan Roque sambil menunjukkan kartu identitas-
nya.
Tak lama kemudian datanglah pelayan yang berdiri di belakang etalase counter.
“Ada yang bisa saya bantu?” si pelayan bertanya pada polisi itu.
“Saya minta cornetti dan sandwich.” polisi itu berkata.
“Baik, minumannya?” si pelayan bertanya lagi sambil mencatat pesanan polisi itu.
“Grappa, semuanya di bungkus untuk enam orang.”
“Baiklah, silahkan anda bisa menunggu sebentar di kursi yang tersedia” Polisi itu
langsung duduk di tempat yang telah dipersilahkan.
“Buatkan aku cappuccino dan stuffed baked potato” Roque mengedipkan mata
pada Andrea yang sejak tadi memperhatikan Roque dan polisi itu dari tempat yang agak
jauh
Roque duduk di kursi tak jauh dari polisi itu, kini ia tampak tenang dan sepertinya
tak ada sedikitpun rasa cemas yang terlihat di wajahnya.
Setelah pesanan di antar ke mejanya, polisi itu langsung pergi. Roque terus
memperhatikan sampai orang itu naik kembali ke dalam mobil. Mereka tak langsung
meninggalkan tempatnya. Entah apa yang mereka lakukan disitu, tetapi tak lama
kemudian sedan tersebut berjalan lalu diikuti oleh van yang mencurigakan itu.
Andrea merasa situasi kini telah aman. Ia pun segera mendekati Roque.
“Siapa orang tadi?”
“Polisi.” Roque menjawab pertanyaan Andrea sambil asyik menyantap kentang
bakar di hadapannya.
“Menurutmu ada hubungannya dengan kita?”
“Tentu saja.”
Agaknya sikap Roque ini memang sangat sulit dirubah, ia selalu berbicara tanpa
melihat lawan bicaranya. Sikap yang terkesan acuh ini hampir selalu ia perlihatkan ketika
ia sedang berbicara.
“Lalu kenapa kau terlihat santai-santai saja?”
“Menghadapi masalah seperti ini sangat dibutuhkan ketenangan. Lagipula kenapa
aku harus risau?”
“Jalan pikiranmu memang aneh!”
“Hmm…” Roque hanya tersenyum
“Aku semakin khawatir dengan sepak terjang polisi-polisi itu.”
“Kenapa mesti begitu? Seharusnya mereka yang waspada dengan sepak terjang
kita”
“Aku semakin tak tahu apa yang harus di lakukan!”
“Lho, kau ini seperti bukan Andrea yang ku kenal saja. Kau sendiri yang bilang
padaku, kita harus ekstra hati-hati. Kurasa hanya itu yang perlu kita lakukan. Selebihnya,
kita
tunggu perkembangan”
Roque beranjak dari tempat duduknya,
“Jangan lengah sedikitpun!” Pandangan mata Roque sangat tajam pada Andrea.
Andrea baru benar-benar menyadari kalau Roque juga sangat serius dalam hal ini.

***

Via Sant’ Eligio, Roma, Italia. 19.10.

Kini Roque telah kembali ke apartementnya lagi. Setelah masuk kamar, ia


melemparkan tas yang ia bawa ke lantai, lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur.
Roque terlihat sangat lelah, mungkin terlalu lelah. Belakangan ini ia hampir tak pernah
bisat tidur nyenyak seperti biasa-nya. Bagaimanapun juga kabar tentang identitas-nya
yang terungkap sangatlah mengganggu Roque.
Roque merebahkan badannya diatas tempat tidur dengan posisi terlentang. Ia
meletakkan kedua tangannya dibawah kepala. Pandangan matanya tertuju ke langit-langit
kamar yang dipenuhi sarang laba-laba tersebut, tetapi pikirannya menerawang jauh entah
kemana. Banyak hal yang terlintas di otaknya, dan itu semua membuat Roque sangat
lelah.
Roque meraba kantong jacket yang berada tepat di sampingnya, lalu mengeluarkan
bungkus Marlboro dan mengambil rokok itu sebatang.
Ia menyalakan rokok terserbut walaupun sedang terbaring diatas tempat tidur.
Lagi-lagi ia menghisap rokok. Roque memanglah seorang perokok berat, dan entah sudah
berapa batang rokok yang telah ia habiskan hari ini. Terlebih lagi, biasanya seorang
perokok berat akan menghisap lebih banyak rokok ketika ia sedang dalam keadaan
tertekan.
Roque menghisap rokok itu dalam-dalam kemudian mengeluarkan asap-nya
melalui mulut dan lubang hidung secara perlahan, begitu- dan begitu seterusnya hingga
pandangan mata Roque berkunang-kunang dan rokok itu terlepas dari jepitan kedua
jarinya lalu terjatuh ke lantai. Ia membiarkan puntung rokok tersebut begitu saja. Suatu
kebiasaan buruk khas ala Roque!
Beberapa saat setelah itu, pandangan Roque semakin berkunang-kunang, lalu
sedikit demi sedikit matanya terpejam dan ia pun terlelap dalam tidurnya…

Pagi keesokan harinya_

Jam dinding di kamar Roque menunjukkan pukul 06.30 pagi. Waktu itu terasa
sangat terlalu pagi buat Roque. Bahkan matahari pun belum bersinar terik saat itu, namun
Roque telah bangun dari tidurnya.
Sudah lama sekali ia tak pernah bangun tidur seawal ini. Ia selalu keluar malam
dan baru kembali ke apartement nya setelah lewat tengah malam. Terkecuali hari ini,
semalaman ia tertidur pulas dan akhirnya ia pun terbangun pagi-pagi benar. Ya,
setidaknya itu bagi Roque.
Roque menyingkirkan bantal yang menutupi mukanya lalu melihat jam di
dinding. Setelah menengok ke jendela, kemudian ia baru sadar bahwa saat itu hari masih
pagi betul. Ia mengangkat tubuhnya lalu duduk di tepi tempat tidur untuk beberapa saat.
Roque membuka jendela dan membiarkan udara segar masuk ke dalam kamarnya. Ia
berjalan menuju lemari es dan membukanya. Tidak seperti biasanya, pagi ini Roque tak
berselera pada alkohol. Ia hanya mengambil sebotol air mineral lalu ditengakknya air
tersebut sampai habis.
Belum selesai Roque menikmati suasana pagi hari itu, bell kamar apartementnya
berbunyi. Ia pun langsung melihat siapa gerangan orang yang sudah bertamu padanya
pagi-pagi benar.
Roque melihat keluar melalui lubang kecil di pintu. Ternyata orang tersebut ialah
seorang pria paruh baya yang tempo hari di jumpainya di dalam lift. Kini Roque mulai
curiga pada orang itu. Sudah dua tahun lebih ia tinggal di apartement ini, selain Andrea
baru sekarang ada orang bertamu ke kamarnya.
Tak ada pilihan lain, ia harus membukakan pintu. Kalau orang itu tahu ia ada di
dalam dan tak membuka pintunya, justru akan terkesan mencurigakan nantinya, pikiri
Roque.
“Selamat pagi. Maaf karena mungkin saya datang kesini terlalu pagi. Saya Ricci,
baru tinggal di apartement ini empat hari yang lalu. Bolehkah saya masuk ke dalam?”
Sontak Roque sangat terkejut mendengar nama itu! Bukankah Pazzini adalah
nama seorang agent khusus yang pernah di ceritakan Andrea! ‘Gawat’ pikirnya. Kenapa
orang ini tahu persembunyiannya dan sekarang tiba-tiba sudah berada disini?!
Belum selesai Roque berpikir, orang itu melanjutkan perkataannya, “Emm…
keran di kamar mandiku rusak. Sepertinya bentuk saluran air di kamarku kurang baik,
jadinya sering tersumbat. Kalau anda tidak keberatan, saya hanya ingin melihat-lihat
milik anda, karena sebentar lagi ada petugas yang akan memperbaikinya. Saya ingin
orang itu merubahnya, tapi saya belum tahu. Mungkin bentuk saluran air di kamar mandi
anda bisa saya tiru.”
Orang yang bernama Ricci tersebut jadi tampak bingung. Pasalnya, bukannya
segera menjawab pertanyaan orang itu, Roque malah sedikit melamun.
“Oh… ya… maaf, saya baru saja bangun tidur. Silahkan masuk.” Roque
mempersilahkan orang itu mauk ke dalam kamarnya.
“Sudah lama tinggal di sini?” Ricci membuka pembicaran.
“Dua tahun. Di sebelah sana kamar mandinya” Roque menjawab pertanyaan Ricci
sambil menunjukkan letak kamar mandi.
“Permisi, saya lihat kamar mandinya dulu.”
“Ya, silahkan”, Roque masih bingung apa yang harus dilakukan.
“Oh ya, saya belum tahu nama anda”, Ricci berbicara pada Roque dari dalam
kamar mandi.
“Roque… Roque Fabian Aguerra”, Roque membuka lemari es dan mengambil
sebotol Carlsberg serta dua buah gelas berukuran sedang.
“Nama yang bagus…”
Setelah selesai melihat saluran air, Ricci keluar dari kamar mandi lalu mengajak
Roque berjabat tangan,
“Kenalkan, namaku Alessandro Ricci. Mulai sekarang kita ber-tetangga.” Ia
melemparkan senyum ramah pada Roque.
“Baiklah. Duduklah dulu, kalau anda tak keberatan, sebotol bir bisa menemani
kita ngobrol-ngobrol sebentar”
Roque menawarkan Ricci untuk berbincang-bincang dengannya. Entah apa yang
ia pikirkan. Ataukah ia malah memang sengaja melakukan itu untuk mencairkan suasana.
“Haha… ya, ya terima kasih”
Ricci duduk di sofa yang terletak di sudut ruang depan, lalu diikuti oleh Roque.
“Kalau boleh tau, apa pekerjaan anda?” Roque bertanya pada Ricci sambil
menuangkan Carlsberg dingin ke dalam dua gelas di atas meja.
“Saya seorang detektif dan agent khusus. Tapi itu dulu, sekarang saya hanyalah
seorang pria tua biasa yang sedang menghabiskan sisa masa hidupnya di Italia”, Ricci
berkata dengan tersenyum ramah.
Roque kaget setengah mati!!! Orang yang sekarang berada di hadapannya ini
benar-benar seperti apa yang di ceritakan Andrea! Tapi kenapa ia berkata terus terang?
Mengapa justru orang ini bersikap ramah padanya? Kalau berniat, sebenarnya saat ini dia
bisa meringkus Roque dengan mudah tanpa perlawanan. Ataukah ini hanya sebuah
perangkap untuk Roque? Pikiran Roque bercampur aduk. Berjuta kemungkinan terlintas
di benaknya. Ia sangat bingung harus bagaimana.
Belum selesai Roque dengan kegundahannya, Ricci sudah berkata lagi.
“Kalau begitu apa pekerjaanmu?” Ricci meminum bir itu.
“Ah… saya? Mmm… saya hanya seorang kurir pengantar barang”, Roque terlihat
gugup di depan Ricci.
“Sudah lama tinggal di sini?”
“Sekitar dua tahun lebih”, Roque menjawab pertanyaan Ricci dengan sangat hati-
hati.
“Kalau di lihat dari wajah, nama dan aksen bahasa Italia anda, sepertinya jika
saya tak salah, anda berasal dari Amerika latin?”, Ricci tersenyum pada Roque.
“Ya, suatu desa kecil di pinggiran Meksiko. Rokok?” Roque menyalakan
Marlboro lalu menawarkan rokok itu pada Ricci.
“Terima kasih, maaf saya tidak merokok. Sudah lama saya berhenti merokok”
Ricci menolak tawaran Roque dengan sopan.
‘Sial! Orang ini benar-benar ramah! Terlalu ramah untuk seorang agent yang akan
menangkapku! Jelas ada yang tak beres!’ Roque bergumam dalam hati.
“Anda merantau cukup jauh hanya untuk pekerjaan seperti itu. Pastinya ada
alasan khusus, kalau boleh tau apa itu?” lagi-lagi Ricci meluncurkan pertanyaan pada
Roque.
“Saya memiliki seorang kerabat di sini, dia sudah tua dan saya bermaksud
merawatnya. Tapi tak lama setelah saya tinggal di Italia, akhirnya dia meninggal karena
penyakit jantung.”
“Maaf…”
“Ah, tak mengapa, lagi pula saya punya alasan lain bertahan di sini. Italia
memiliki pesona tersendiri. Itu membuat saya kerasan tinggal di sini dan akhinya saya
memutuskan untuk bekerja dan menetap di Roma.” Roque mulai bisa bersikap tenang
dan mengimbangi lawan bicaranya. Ya, bukan Roque kalau ia tak bisa mencairkan
keadaan.
“Hahahaha… anda benar sekali! Ketika saya sedang berada dalam tugas-tugas di
luar negeri, saya juga selalu merindukan suasana di sini. Saya selalu ingin kembali ke sini
untuk sekedar menikmati pizza dan gelato kesukaan saya!”
“Hahaha… ya… ya... atau untuk sekedar menghirup cappuccino dengan aroma
khas-nya bersama pemandangan sungai Travere yang membentang indah!”. Kini Roque
yang balas tersenyum pada Ricci.
Di tengah penbicaraan tiba-tiba saja Ricci melihat arloji di lengan kanannya, dan
sepertinya ia teringat akan sesuatu.
“Ups, maaf... agaknya obrolan kita harus ditunda dulu, aku masih punya urusan
lain yang harus segera ku selesaikan. Kapan-kapan kita lanjutkan lagi, atau kau bisa
datang ke tempatku. Aku tinggal di kamar apartement no 115, kita bisa lanjutkan obrolan
kita sambil menikmati beberapa koleksi wine dan scott ku, bagaimana?”
“Perfecto! Sangat sempurna. Aku akan sangat menantikan saat itu”, Roque
menunjukkan sikap antusias di depan Ricci.
“Baiklah, terima kasih, sampai jumpa lagi kawan.”
“Ok, senang berkenalan dengan anda. Sampai jumpa lagi...”

***

Gianni Vallota Café- Via Delle Fornacci, Roma, Italia- 4 Maret 2009, 12.00_

Siang itu terik matahari di luar sana sedang berada pada puncaknya. Andrea
tengah sibuk mengantarkan pesanan para pengunjung café, sementara itu beberapa
pelayan yang lain terlihat sedang melayani pembeli dari counter. Salah seorang dari
mereka tampak sedang menerima telepon di meja yang terletak tepat di samping wastafel,
dan sebagian lainnya disibuk-kan oleh pekerjaan-pekerjaan yang sepertinya akan
menguras banyak tenaga mereka karena hari itu pengunjung café terlihat lebih ramai dari
biasanya.
Di sela-sela waktu bekerja Andrea menyempatkan untuk menelepon Roque yang
sampai siang itu belum juga muncul. Ia masuk ke dalam ruang istirahat, membuka locker
miliknya, lalu mengambil ponsel dari tas putih di dalam locker tersebut.
Setelah beberapa nada sambung, akhirnya panggilan itu tersambung juga pada orang
yang di maksud.
“Halo…” Roque mengangkat telepon dengan suara berat.
“Roque, syukurlah! Akhirnya kau angkat juga teleponmu.”
“Kenapa?”
“Dari semalam beberapa kali kuhubungi ponselmu tapi tidak kau angkat.”
“Oh… maaf. Aku tertidur pulas semalam. Mungkin kelelahan”, Suara Roque
masih terdengar berat.
“Kau baik-baik saja kan?”
“Hey… ayolah… aku ini bukan anak kecil. Kalau aku masih bisa mengangkat
telepon dan bicara itu artinya aku baik-baik saja kan?!”
“Ya, aku tahu kau bukan anak kecil. Orang dewasa juga bisa tidak sehat kan!
Suaramu terdengar agak berat, jadi kurasa wajar saja kalau aku mengkhawatirkanmu!”
Roque tersenyum sesaat…
“Baiklah… Andrea, sekarang aku dalam keadaan baik-baik saja. Aku sehat, cuma
ada satu yang kurang…”
“Apa?”
“Aku kehabisan rokok. Sebenarnya aku masih punya yang semalam, tapi aku lupa
dimana menaruhnya. Hehehe…”
“Dasar orang aneh! Menyebalkan!”
Andrea kesal oleh sikap Roque yang sulit untuk diajak serius. Tapi justru raut
wajahnya menggambarkan ia merasa lega karena tahu Roque baik-baik saja.
“Sebentar, jangan dulu ditutup. Aku sedang mencari rokok-ku…”
Roque mencari-cari rokoknya di atas meja yang penuh dengan kertas-kertas
berantakan. Sisa cappuccino masih ada di cangkirnya dan dibiarkan begitu saja sejak
kemarin di atas meja. Rokoknya tak ada di sekitar situ, ia cari lagi di sofa, di atas cabinet,
di jendela, di samping lemari es, tapi disana juga tak ada bungkus rokok berwarna merah
putih itu. Roque belum putus asa, ia mengingat-ingat terakhir kali ia memegang bungkus
rokok itu semalam…
“Sudah ketemu?”
“Sebentar…”
Roque teringat sesuatu… ya, tempat tidur! Ia segera meraih selimut di atas kasur
dan membukanya. Ternyata benar, sebungkus Marlboro itu ada disana, sedang
bersembunyi di balik selimut.
“Akhirnya… sudah ketemu”, lalu Roque menyalakan sebatang.
“Sepertinya kau tak bisa hidup tanpa rokok!”
“Saling membutuhkan, lebih tepat begitu.”
Roque berjalan ke jendela, hal yang paling ia sukai jika dia sedang berada di
apartement-nya.
“Hmmm… berapa batang yang kau habiskan dalam sehari?”
“Sekitar empat bungkus, atau tepatnya delapan puluh batang!”
“Great! Ku rasa tak lama lagi kau sudah mengidap Pneumonia!”
“Itu belum seberapa. Delapan puluh batang adalah hari-hari normal. Kalau aku
sedang sibuk bisa sekitar enam bungkus, dan kalau aku sedang stress bisa sampai tujuh
atau delapan bungkus sehari, atau tepatnya…”
“140-160 batang dalam sehari! Kau sudah gila ya! Itu artinya kau bisa
menghabiskan 4800 batang rokok dalam sebulan dan 57600 batang setahun! Apa kau
tidak sayang dengan nyawamu?!”
Saking kesalnya, tanpa disadari Andrea berbicara dengan nada cepat dan suara
keras. Tapi Roque hanya tersenyum manis sambil melihat-lihat pemandangan dari lensa
monocular-nya.
“Hmmm… hitung-hitunganmu ternyata masih bagus juga… kukira sejak tak lagi
jadi navigator-ku, kau sudah tak pandai berhitung.”
Roque menghirup dulu rokoknya dalam-dalam kemudian meneruskan berbicara
dengan nada yang lebih serius tapi tetap santai.
“Baiklah bu dokter, dengar baik-baik; orang terakhir yang ku-lubangi kepalanya,
ia tak lagi merokok sejak usianya belum mencapai 30 tahun. Ia tidak begitu suka alkohol
kecuali di suatu acara ceremonial, yang itu tak lebih merupakan bagian dari
professionalisme kerjanya. Dia tidak bermain-main dengan wanita, layaknya para the big
boss berbadan gemuk yang dengan bodohnya mengira bahwa mereka adalah pria yang
gagah! Lebih hebatnya lagi, ia tak pernah mengkonsumsi obat-obatan terlarang. Padahal
kalau mau, dia sangat mampu membeli 10 kg cocain dalam sehari! Tapi apa yang terjadi
padanya… dia mati tertembus timah panasku hanya dalam waktu satu detik, padahal
sebelum itu ia masih sehat dan segar-bugar!”
Andrea bergumam dalam hati,
‘Roque memang sangat mengerikan untuk seorang pembunuh bayaran.
Bagaimana tidak, ia bisa mengetahui keadaan target-nya sedetail itu! Ia juga dapat
memastikan kondisi latar belakang si orang itu dengan sangat baik! Dan lagi, kejadian di
café kemarin menggambarkan bahwa Roque memiliki instinct yang sangat tajam. Ya,
jelas sekali. Dia bisa mengetahui jumlah orang di dalam sebuah mobil dengan jarak
sekian jauh dan tertutup. Hebatnya lagi, Roque dapat memperhitungkan bahwa orang-
orang itu bersenjata dan memiliki potensi bahaya! Aku baru tahu itu dengan pasti setelah
melihat sendiri orang itu memiliki senjata dan ternyata memang benar ia seorang polisi.
Suatu instinct yang luar biasa! Tapi kenapa aku tak pernah merasa takut padanya?”
“Hei! Kenapa jadi diam saja?” Roque membuat Andrea terkejut.
“Mmm… kalau dia bisa membeli cocain sebanyak itu dalam sehari, lantas untuk
apa?” Andrea mulai tersenyum.
“Ia gunakan sebagai bahan pengganti garam untuk memasak makanan di
rumahnya!”
“Hahahaha…”
Andrea tertawa terbahak-bahak, tetapi Roque hanya tersenyum saja. Hal itu sudah
biasa. Tapi anehnya, Roque tak menceritakan kejadian tadi pagi tentang pertemuan-nya
dengan Ricci pada Andrea. Entah kenapa Roque menutup-nutupi itu dari Andrea.
“Nanti malam kau ada acara?” Roque bertanya pada Andrea.
“Sepulang dari sini aku tak ada acara lagi.”
“Baiklah kalau begitu, nanti malam kau kuhubungi lagi, ada sesuatu yang ingin ku
bicarakan.” tegas Roque.
“Ok, ku tunggu ya. Bye…”

TUT--TUT--TUUT--TUT--TUT….

Roque langsung memutuskan pembicaraannya di telepon tanpa menjawab salam


Andrea terlebih dahulu. Terang saja hal itu membuat Andrea sangat kesal dan bertambah
marah. Wajah Andrea terlihat cemberut dan sepertinya ia sedang merasa ingin sekali
mencaci-maki Roque. Andrea menutup kembali ponselnya dengan sangat kesal,
melemparkan ponsel itu ke dalam locker, lalu menutup pintu locker tersebut dengan
setengah membanting.
Kemarahan Andrea tak berlangsung lama. Hanya beberapa saat setelah itu,
Andrea sudah tersenyum kembali. Ia tersadarkan bahwa orang yang baru saja ia hadapi
adalah seorang Roque. Memang begitulah watak Roque; acuh, dingin, keras kepala, dan
menjengkelkan! Sepertinya, tak pernah sehari-pun Roque bersikap tanpa membuat orang
jengkel! Itulah Roque, dan begitulah cara Andrea memahami Roque.

***
Via Del Vascello, Roma, Italia. 4 Maret 2009 - 19.10_

Sore itu suasana agak sunyi hingga gonggongan anjing-anjing liar pada gang
sempit di Via Del Vascello dapat terdengar dengan jelas.
Kediaman Andrea tak begitu istimewa karena pada dasarnya ia adalah seorang
wanita sederhana. Ia hanya menempati sebuah rumah dengan satu kamar tidur lengkap
dengan bathroom-nya, sebuah dapur mini, ruang tamu dan ruang tengah seadanya, serta
halaman depan yang tak terlalu luas namun tetap rapih. Rumah kecil yang terletak pada
sebuah jalan kecil di ujung jalan Via Delle Fornacci itu tetap terlihat asri berkat sentuhan
tangan dingin Andrea.
Lain dengan Roque yang tidak peduli pada kebersihan dan kerapihan, Andrea
mengutamakan kedua hal tadi dalam hidupnya. Itu terlihat dari keadaan rumah yang
selalu tertata rapih. Tak ada sedikitpun sampah berserakan di rumahnya, tak ada sarang
laba-laba di atap, tak ada cat tembok kusam, dan barang-barang selalu terletak pada
tempatnya. Suatu kebiasaan baik yang sangat sulit di tularkan pada Roque!
Andrea tengah asyik berendam pada bathtub sambil membersihkan tubuhnya di
kamar mandi ketika ponselnya berdering. Tentu saja ia sama sekali tak mendengar karena
suara kucuran air di shower lebih jelas terdengar daripada bunyi ponsel di ruang tengah
yang letaknya cukup jauh dari kamar mandi.
Berkali-kali si penelepon mengulang panggilannya, sampai akhirnya suara itu
mati Andrea belum juga mendengar. Lalu beberapa saat kemudian berganti telepon
rumah yang berdering dan sekarang suaranya jauh lebih keras dari ponsel Andrea. Kali
ini Andrea mendengar suara tersebut. Ia buru-buru membilas tubuhnya lalu membungkus
tubuh indahnya itu dengan sehelai handuk putih kemudian bergegas meraih telepon di
ruang tengah.
“Halo, selamat sore, dengan Andrea disini…”
“Sudah kau bilas busa-busa di tubuhmu?”, Suara Roque yang khas terdengar agak
samar di telepon.
“Upfhh… kau lagi Roque…”
Andrea berpikir sebentar, lalu sesuatu terlintas di benaknya.
“Hei, jangan-jangan sejak tadi kau sedang mengintipku dengan mainan binocular-
mu itu ya!” wajah Andrea berubah kemerahan sambil menengok-nengok ke sekeliling
rumahnya.
“Aku masih di apartement-ku, dan binocular yang kau sebut mainan itu ada di
dalam lemari besi” seperti biasa, Roque berbicara dengan nada datar-datar saja meskipun
Andrea telah menuduhnya.
“Hei, kau jangan main-main dengan ku black jaguar! Dasar pria aneh!”
“Aku tidak sedang bermain-main”
“Lalu apa?! Maksudku, kalau kau tidak sedang mengintip, bagaimana kau tahu
aku sedang mandi? Kau kan malaikat pencabut nyawa, bukan malaikat pengintip wanita
yang sedang mandi!”
“Aku benar-benar jauh dari perbuatan kotor seperti itu.” Roque masih datar saja
dalam berbicara walaupun tuduhan atas dirinya semakin gencar.
“Kau ini memang pria aneh yang hobinya membuat orang jengkel! Lalu dari
mana kau tahu!”
“Prediksi.” Roque menjawab dengan tenang.
“Hehm… apa prediksimu itu selalu tepat, hingga kau bisa tahu persis wanita yang
sedang mandi walaupun kau tak melihatnya?! Mau alasan apa lagi heh?”
Sejak tadi perkataan dan nada bicara Andrea seperti orang yang sedang kesal.
Tapi jika dilihat dari raut wajahnya, ia sama sekali tak tampak seperti orang yang sedang
kesal. Lebih terlihat seperti orang yang sedang menggoda.
“Bagiku prediksi punya arti penting. Semakin tepat prediksimu, maka akan
semakin akurat kau dalam mencapai terget. Dan itu akan memudahkanmu dalam
menjalani kehidupan.”
“Hei Black Jaguar, masalahnya ini bukan sniping action!”
“Hufff…” Roque menghela nafas panjang lalu menghembuskanya. Setelah itu ia
melanjutkan berbicara,
“Well Andrea… kau selalu punya cara untuk membuatku bicara lebih banyak.
Dengar baik-baik, seorang wanita yang bekerja di sebuah café akan menghabiskan
banyak waktunya dalam sehari pada pekerjaanya itu. Ia tidak punya cukup waktu untuk
memanjakan dirinya dengan jam istirahat dua kali empat puluh lima menit di waktu hari-
hari kerjanya yang padat. Kesempatan terbaik adalah waktu sepulang kerja. Ia akan
menggunakan waktu itu untuk melepaskan lelah sambil membersihkan tubuh, karena
pada umumnya wanita cinta akan kebersihan dan perawatan tubuh. Apalagi jika melihat
kulit mulus dan tubuh indahmu, kau tak kan melewati saat-saat dimana kau bisa
memanjakan keduanya. Dan ku pikir cara yang terbaik adalah dengan berendam di
bathtub sambil menikmati aroma therapy. Dan jika prediksiku ini akurat, maka aku dapat
mengetahui keadaanmu dengan mudah tanpa harus datang kesana dan melihat dengan
mata kepalaku sendiri, apalagi dengan di bantu binocular mainan!”
Penjelasan panjang-lebar Roque itu sontak membuat Andrea tak bisa berkata apa-
apa. Kali ini ia tak bisa berdebat lagi dengan Roque.
‘Sial, dia memang punya instinct yang luar biasa! Berkali-kali ku ingatkan diriku
sendiri, tapi kenapa belum hafal juga! Bodohnya aku ini!’ Andrea hanya bisa bergumam
dalam hati saja.
“Hei, kenapa diam?”
“Ya sudah, terserah kau sajalah!”
“Hmmm…” Roque tersenyum.
“Bagaimana Roque, tadi siang sepertinya kau bilang ada sesuatu yang ingin di
bicarakan?”
“Aku sudah meninggalkan pesan di ponselmu.”
Roque langsung memutus sambungan telepon tanpa mengucapkan salam terlebih
dahulu. Dan memang selalu seperti itu.
Setelah menutup telepon, Andrea segera mengambil ponsel di dalam tas putih
yang tergeletak di atas meja ruang tengah. Di dapatinya sebuah pesan singkat masuk
dengan Roque sebagai nama pengirimnya:

‘Crudo, 09.00 pm. 23rd table.’


***

Crudo, Via degli Specchi. Roma, Italia. 4 Maret 2009 - 21.00_

Saat itu Andrea tengah memasuki Crudo, sebuah wine bar dan restaurant unik
yang baru kali ini ia kunjungi. Andrea mencari-cari meja ber nomor 23 sambil melihat-
lihat keadaan sekitar karena suasana di dalam bar ini masaih asing baginya.
Bar tersebut tersembunyi di sebuah jalan kecil diantara Campo dei Fiori dan
Tiber. Jika kita melihat suasana ke dalam, atmosfir nya seolah mendorong kita mendekat
dengan kawasan Soho Manhattan. Dekorasi bergaya tahun 50-an di cerminkan pada sofa-
sofa dan kursi, belum lagi lampu-lampu hias yang jumlahnya cukup banyak ikut
memperkental style di era tersebut. Sebuah sisi dinding di dominasi oleh layar video
projector yang menampilkan animasi-animasi kreatif yang akan menarik perhatianmu
selama kau sedang di sana.
Bicara soal minuman dan makanan, bar ini memiliki banyak pesona. Crudo
menawarkan deretan panjang berbagai wine di dalam botolnya ataupun dalam gelas,
berbagai jenis Martini, cocktail yang eksotik, sampai pada menu dinner yang tidak biasa.
Semua makanan disajikan dengan cara yang minimalis; hanya di masak dengan uap atau
tersaji mentah, di hidangkan bersama berbagai tanaman herbal dengan kombinasi rasa
yang istimewa.
Akhirnya Andrea menemukan meja yang ia cari, ada si sisi yang bagus dengan
menghadap keluar. Hampir semua sudut pemandangan dapat terlihat dengan baik dari sisi
ini, dan pilihan meja seperti ini merupakan hal yang sangat Andrea kenal dari seorang
Roque.
“Sudah lama menunggu, Roque?” Andrea tersenyum menyapa Roque.
“Bisa juga kau temukan tempat ini” Seperti biasa, Roque bicara sambil menghisap
Malboro-nya tanpa memandang Andrea.
“Lumayan sulit di cari. Kenapa kau pilih tempat yang sulit di temukan seperti ini?
Lagi pula kalau tak salah kau tak pernah menyinggung tentang tempat ini sebelumnya.”
“Ya, ini post kedua.”
“Maksudmu?”
“Dalam menjalankan aksi, aku selalu punya rencana cadangan.”
“Dan post kedua ini adalah bagian dari rencana cadanganmu?”
“Tepat sekali.”
“Baiklah Roque, aku sering tak mengerti jalan pikiranmu, tapi ya sudahlah
sekarang yang ingin ku tanyakan adalah apa yang ingin kau bicarakan? Pasti sesuatu
yang sangat penting.”
Belum sempat Roque menjawab pertanyaan Andrea, pembicaraan mereka
terputus oleh seorang pelayan yang datang menghampiri meja mereka.
“Maaf mengganggu, kami antarkan hidangan pembuka sebagai free service dari
Crudo, tuan dan nona” pelayan itu menaruh hidangan pembuka berupa oyster dan kerang
ke atas meja.
“Saya pesan Carpaccio, lalu saya minta Blue Martini nya di tambah lagi, untuk
dua orang.” Setelah memesan, Roque menyerahkan buku daftar menu pada Andrea.
“Baik, silahkan nona.” Pelayan itu mempersilahkan Andrea untuk melihat daftar
menu yang tersedia.
“Kalau saya… Sashimi. Sepertinya bagus untuk menemani kerang-kerang ini.”
Andrea menyerahkan kembali buku daftar menu tersebut pada si pelayan seraya
tersenyum. Setelah pelayan itu berlalu, mereka meneruskan pembicaraan yang sempat
terputus tadi.
“Langsung pada pokok pembicaraan.” Roque membuka sambil mencicipi kerang
di hadapannya.
“Ok.”
“Setelah ku pertimbangkan, sementara waktu ini rasanya aku harus mengasingkan
diri dari Roma.” Roque meraih tissue lalu membersihkan mulutnya.
“Menghilang lagi?” Andrea agak terkejut dengan keputusan Roque, karena belum
lama Roque sempat menghilang juga beberapa saat yang lalu.
“Ya, setidaknya sampai kondisi dirasa sudah kembali normal.”
“Apa pertimbanganmu?” kali ini giliran Andrea yang mencicipi oyster.
“Aku merasa telah berada cukup dekat dengan pihak-pihak yang mencari ku.”
“Lalu?”
“Sebagai bagian dari konsekuensi pekerjaanku, aku harus lari dari mereka!”
Roque tak menceritakan tentang pertemuannya dengan Ricci. Hal ini dapat di
mengerti mungkin karena ia tak ingin membuat Andrea panik.
Andrea berfikir sejenak, lalu meneruskan dengan pertanyaan lagi,
“Lalu kau akan kemana?”
Pembicaraan mereka terputus kembali karena pelayan tadi datang mengantarkan
pesanan.
“Silahkan tuan dan nona.” Setelah semua pesanan selesai di letakkan di atas meja
pelayan tesebut mohon undur diri.
“Terima kasih.”
Hanya Andrea yang menjawab pelayan itu, dan Roque cuma acuh saja karena ia
tak ramah pada orang lain.
“Veniche akan menjadi pilihan ku untuk mengasingkan diri.” Roque menyambung
pembicaraan kembali.
Kali ini Andrea tak berkata apa-apa lagi, wajahnya tampak berpikir dengan sangat
serius. Dan untuk beberapa saat mereka tak saling bicara sambil diselang menyantap
makanan. Berulang kali Andrea menatap wajah Roque yang tertunduk di balik topinya,
tapi Roque hanya menatap sepiring Carpaccio yang sedang ia nikmati.
Lalu setelah semua itu berselang, pembicaraan pun terpecah kembali,
“Jaga dirimu baik-baik di sana.” Andrea berkata dengan suara pelan.
“Harusnya aku yang berkata seperti itu.”
Roque menatap Andrea dan tersenyum, lalu Andrea pun membalas senyum
Roque dengan cara yang lebih manis.

***

Anda mungkin juga menyukai