Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
Infark miokard akut (IMA) atau yang lebih dikenal dengan serangan jantung
adalah keadaan dimana suplai darah pada suatu bagian jantung terhenti sehingga sel otot
jantung mengalami kematian (Robbins, 2007). Satu juta orang di Amerika Serikat
diperkirakan menderita infark miokard akut tiap tahunnya dan 300.000 orang meninggal
karena infark miokard akut sebelum sampai ke rumah sakit ( Christofferson, 2009).
Penyakit jantung cenderung meningkat sebagai penyebab kematian di Indonesia.
Laporan Profil Kesehatan Kota Semarang tahun 2010 menunjukkan bahwa kejadian
penyakit jantung dan pembuluh darah sebanyak 96.957 kasus dan sebanyak 1.847 (2%)
kasus merupakan kasus infark miokard akut. Penyakit jantung dan pembuluh darah
merupakan penyakit tidak menular yang menjadi penyebab utama kematian dan selama
periode tahun 2005 sampai dengan tahun 2010 telah terjadi kematian sebanyak 2.941
kasus dan sebanyak 414 kasus (14%) diantaranya disebabkan oleh infark miokard akut
(Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2010).
Infark miokard akut dapat menimbulkan berbagai komplikasi antara lain
gangguan irama dan konduksi jantung, syok kardiogenik, gagal jantung, ruptur jantung,
regurgutasi mitral, trombus mural, emboli paru, dan kematian (Sugiri , 1994; Sudoyo,
2010). Angka mortalitas dan morbiditas serta komplikasi IMA masih tinggi. Hal ini

dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti keterlambatan mencari pengobatan,


kecepatan serta ketepatan diagnosis dan penanganan dokter yang menangani.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Infark Miokard Akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung
yang menyebabkan sel otot jantung mati. Aliran darah di pembuluh darah terhenti
setelah terjadi sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari
pembuluh darah di sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak
mendapat aliran darah atau alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat
mempertahankan fungsi otot jantung, dikatakan mengalami infark (Guyton, 2007).
Terdapat beberapa klasifikasi tipe IMA, menyebabkan evolusi definisi IMA.
IMA terdiri dari lima tipe. Tipe I yaitu infark miokard spontan, tipe II, infark akibat
proses iskemia, tipe III, infark yang menyebabkan kematian tanpa adanya nilai
biomarker, tipe IV berkaitan dengan tindakan intervensi perkutan, dan tipe V yang
berhubungan dengan Coronary Artery Bypass Grafting (CABG) (Thygesen et al,
2012).
Dari anamnesis didapatkan nyeri dada khas angina berupa nyeri dada rasa
berat/ ditindih/dihimpit di daerah retrosternal menjalar kelengan kiri, leher rasa
tercekik atau rasa ngilu rahang bawah yang timbul saat aktivitas dan berkurang saat
istirahat. Untuk nyeri dada angina lamanya <20 menit. Untuk nyeri dada infark
nyeri >20 menit dan tidak berkurang walau dengan pemberian nitrat. Adanya nyeri
tipikal ini 24% kemungkinan IMA akut, dan kemungkinan menurun 1% jika nyeri
bersifat posisional atau pleuritik pada pasien tanpa riwayat PJK. Nyeri yang muncul
dapat berupa sensasi tajam, tertusuk, atau terbakar. Nyeri tipe ini memiliki
probabilitas 23 % terjadinya IMA. Nyeri epigastrium dan nyeri dada tidak khas,
tidak disertai penjalaran, atau kadang-kadang hanya keringat dingin dan lemas saat
aktivitas biasanya terjadi pada orang tua atau pada penderita diabetes melitus
(Christofferson, 2009; Burke dan Virmani, 2007; Rhee et al,2011).
Gejala sistemik yang muncul berupa mual, muntah dan keringat dingin dan
kadang-kadang bisa sampai pingsan. Nyeri dada angina ekivalen yaitu presentasi
klinis tidak berupa nyeri dada tetapi sesak napas. Dapat disertai pingsan terutama
pada orang tua (Christofferson, 2009; Burke dan Virmani, 2007; Daubert et al,
2010).
Pemeriksaan EKG memegang peranan penting dalam mendiagnosa IMA, dan
harus dilakukan dalam 10 menit setelah berada pada pusat kesehatan. Pada

NSTEMI, perubahan berupa adanya depresi segmen ST atau inversi gelombang T.


Pada STEMI didapat adanya elevasi segmen ST. Pada jam awal masih berupa
hiperakut T (gelombang T tinggi ) dan kemudian berubah menjadi ST elevasi.
Adanya LBBB baru juga merupakan tanda perubahan EKG pada infark gelombang
Q. Jika EKG awal meunjukkan hasil normal atau inkonklusif, maka perlu dilakukan
serial EKG, dan dibandingkan hasilnya. EKG saat istirahat tidak secara adekuat
merefleksikan dinamika trombosis koroner dan iskemia miokard. Pembedaan
STEMI dan NSTEMI secara klinis penting oleh karena terapi rekanalisasi akut
penting untuk memperbaiki luaran pada STEMI (Hamm et al, 2011; Anderson et al,
2011).
Marker yang biasa dipakai sebagai petunjuk adanya kerusakan miokard ialah
enzim CKMB, Troponin I dan T. Troponin merupakan marker yang sangat sensitif
dan spesifik untuk terjadinya nekrosis miokard. Peningkatan awal berasal dari
sitosolik sel, dan pelepasan selanjutnya akibat keluarnya enzim dari komponen
struktural. Troponin dapat dideteksi paling cepat 2-4 jam setelah onset keluhan,
namun peningkatannya bisa juga terlambat 8-12 jam. Waktu terjadinya peningkatan
CKMB juga sama. Troponin menetap dalam waktu yang lebih lama yaitu 5-14 hari
dibandingkan dengan CKMB (Anderson et al,2011).
B. Etiologi Infark Miokard Akut
Terdapat berbagai mekanisme patofisiologi penyebab terjadinya IMA, antara
lain aterosklerosis, sindrom vaskulitis, emboli koroner (contoh dari endokarditis,
katup buatan), anomali kongenital arteri koroner, trauma koroner atau aneurisma,
spasme pembuluh darah koroner, peningkatan viskositas darah (contoh polisitemia
vera, trombositosis), dan peningkatan kebutuhan oksigen miokard (contoh aorta
stenosis). Berbagai penyebab ini menyebabkan kondisi meliputi kerusakan endotel
melalui disrupsi plak, lesi luminal ireguler, shear injury, agregasi platelet,
pembentukan trombus yang menyebabkan oklusi lumen parsial atau total,
vasospasme arteri, dan cedera reperfusi akibat radikal oksigen bebas, kalsium, dan
neutrofil (Rhee et al, 2011).
C. Patofisiologi Infark Miokard Akut
Iskemia miokard terjadi bila terjadi penurunan aliran darah koroner sangat
berat sehingga ketersediaan oksigen untuk miokard tidak cukup untuk kebutuhan
oksigen jaringan. Konsep biologi berdasar prinsip biologi umum dari sel hati dan

otak, menunjukkan adanya dua fase adaptasi, yang disebut pertahanan jangka
pendek dan penyelamatan jangka panjang. Tujuan mekanisme pertahanan jangka
pendek adalah membentuk keseimbangan baru antara ketersediaan dan kebutuhan
oksigen, dengan kombinasi down regulation kontraksi dan upregulation produksi
energi anaerobik melalui glikolisis. Penyelamatan jangka panjang sampai saat ini
belum diketahui jelas, tetapi bahwa tampaknya iskemia melalui hipoksia mampu
menginduksi serangkaian sinyal seluler yang menyebabkan mekanisme protektif
genetik reprogramming. Bila dua fase adaptasi ini gagal, karena iskemi yang terjadi
sangat berat maka akan terjadi nekrosis sel. Adaptasi jangka panjang merupakan
reaksi protektif terhadap terjadinya iskemi, seperti hibernasi dan stunning (H.Opie,
2004; Rhee et al, 2011).
Pada iskemia dengan onset sangat cepat, terdapat ketidakseimbangan energi,
khususnya phospocreatinin, yang menjaga kadar Adenosine Triphosphat (ATP)
selama mungkin melalui peningkatan phosphat inorganik intraseluler. Substrat ini
juga merupakan sinyal utama untuk downregulation kontraksi. Secara simultan
penurunan status energi merupakan sinyal utama peningkatan glikolisis anaerob.
Dari glikolisis anaerob ini pulalah didapat sumber utama pemecahan glikogen pada
onset akut, segera diikuti oleh peningkatan transport glukosa akibat translokasi dari
transporter glukosa GLUT 1 dan GLUT 4 ke sarkolema (H.Opie, 2004).
Pada saat terjadi iskemia, terdapat perkembangan asidosis intraseluler yang
berperan pada penurunan kontraksi. Jadi miokard yang mengalami iskemik dapat
bertahan dalam waktu tertentu melalui kombinasi inhibisi kontraksi dan inisiasi
glikolisis anaerob. Bila dilakukan reperfusi, maka akan terjadi perbaikan fungsi
mekanis, dan perbaikan abnormalitas metabolik (H.Opie, 2004).
Iskemia tidak dipulihkan dapat menjadi infark. Umumnya patofisiologi
terjadi dalam dua tahap, yaitu terjadinya perubahan awal dan terjadinya perubahan
yang terjadi belakangan. Pada fase awal, terdapat evolusi infark dan gangguan
fungsional penurunan oksigen pada kontraktilitas miokard. Perubahan awal ini
puncaknya pada terjadinya nekrosis koagulatif miokard dalam 2-4 hari. Seiring
dengan penurunan oksigen pada miokard dimana pembuluh darah yang
memberinya nutrisi teroklusi, terdapat pergeseran cepat dari metabolisme aerob ke
arah metabolisme anaerob (H.Opie, 2004; Weil dan Tang, 2011).
Mitokondria tidak mampu mengoksidasi lemak atau produk glikolisis, oleh
karena itu terjadi penurunan phosphat energi tinggi dan metabolisme anaerob

menyebabkan akumulasi asam laktat. Berkurangnya phosphat energi tinggi seperti


ATP mempengaruhi Na/K ATP-ase transmembran, sehingga terjadi peningkatan Na
intraseluler dan K ekstraseluler. Kebocoran membran dan peningkatan konsentrasi
K ekstraseluler menyebabkan perubahan potensial elektrik transmembran,
predisposisi terjadinya aritmia yang berpotensi mematikan (H.Opie, 2004; Rhee et
al,2011).
Kalsium intraseluler terakumulasi pada miosit yang rusak berkontribusi
terhadap terjadinya mekanisme kerusakan sel melalui aktivasi enzim degradasi
seperti lipase dan protease. Secara kolektif perubahan metabolik ini terjadi paling
cepat dua menit setelah trombosis. Tanpa intervensi akan terjadi kerusakan sel
irreversibel dalam 20 menit, ditandai dengan defek membran. Enzim proteolitik
bocor melalui membran miosit, merusak miokardium sekitarnya, dan melepas
makromolekul yang bertindak sebagai penanda akut infark miokard. Peningkatan
permeabilitas kapiler dan peningkatan tekanan onkotik interstisial (oleh karena
kebocoran protein intraseluler) akan menyebabkan edema miokard dalam 4-12 jam
(H.Opie, 2004; Rhee et al, 2011).
D. Tatalaksana IMA
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah mendiagnosis secara cepat,
menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi
yang mungkin dilakukan, memberi antitrombotik dan anti platelet, memberi obat
penunjang. Terdapat beberapa pedoman (guideline) dalam tatalaksana IMA dengan
elevasi ST yaitu dari ACC/AHA tahun 2009 dan ESC tahun 2008, tetapi perlu
disesuaikan dengan kondisi sarana/fasilitas di masing-masing tempat dan
kemampuan ahli yang ada (Fauci et al, 2010; Sudoyo, 2010)
1. Tatalaksana awal
a. Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Kematian di luar rumah sakit pada STEMI sebagian besar diakibatkan
adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang terjadi dalam 24 jam pertama
onset gejala dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama, sehingga
elemen utama tatalaksana pra hospital pada pasien yang dicurigai STEMI
antara lain :
1) Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.
2) Pemanggilan tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan
resusitasi

3) Transportasi pasien ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU


serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih.
4) Melakukan terapi reperfusi
Keterlambatan terbanyak pada penanganan pasien disebabkan oleh
lamanya waktu mulai onset nyeri dada sampai keputusan pasien untuk
meminta pertolongan. Hal ini dapat diatasi dengan cara edukasi kepada
masyarakat oleh tenaga profesional kesehatan mengenai pentingnya
tatalaksana dini. Pemberian fibrinolitik pre hospital hanya bisa
dikerjakan jika ada paramedik di ambulans yang sudah terlatih untuk
menginterpretasikan EKG dan managemen STEMI serta ada kendali
komando medis online

yang bertanggung jawab pada pemberian

terapi (Antman et al, 2008; Fauci et al, 2010; Sudoyo, 2010).


b. Tatalaksana di ruang emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD adalah mengurangi/menghilangkan nyeri
dada, mengidentifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi
reperfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah
sakit dan menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI (Antman et
al, 2008; Fauci et al, 2010; Sudoyo, 2010).
2. Tatalaksana umum
a. Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan saturasi
oksigen <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan
oksigen selama 6 jam pertama (Libby, 2008).
b. Nitrogliserin : Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan
dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit.
i. Morfin : sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan merupakan
analgesik pilihan dalam tatalaksana STEMI. Morfin dapat diberikan
dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit
sampai dosis total 20 mg.
ii. Aspirin : merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai
STEMI dan efektif pada spektrum sindroma koroner akut. Inhibisi cepat
siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2
dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis 160-325 mg di ruang
emergensi. Selanjutnya diberikan peroral dengan dosis 75-162 mg.
iii. Penyekat Beta : Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada,
pemberian penyekat beta intravena dapat efektif. Regimen yang biasa
diberikan adalah metoprolol 5 mg tiap 2-5 menit sampai total 3 dosis,

dengan syarat frekuensi jantung > 60 kali permenit, tekanan darah


sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak lebih dari
10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir
dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam
selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12 jam (Antman,
2008; Sudoyo, 2010).
3. Tatalaksana di rumah sakit
a. Aktivitas : pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama
b. Diet : pasien harus puasa atau hanya minum cair dengan mulut dalam 4-12
jam karena risiko muntah dan aspirasi segera setelah infark miokard.
c. Sedasi : pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk mempertahankan
periode inaktivitas dengan penenang. Diazepam 5mg, oksazepam 15-30 mg,
atau lorazepam 0,5-2 mg, diberikan 3-4 kali/hari
d. Saluran pencernaan (bowels) : istirahat di tempat tidur dan efek
menggunakan

narkotik

untuk

menghilangkan

rasa

nyeri

sering

mengakibatkan konstipasi, sehingga dianjurkan penggunaan kursi komod di


samping tempat tidur, diet tinggi serat, dan penggunaan pencahar ringan
secara rutin seperti dioctyl sodium sulfosuksinat (200 mg/hari) (Antman,
2008; Sudoyo, 2010).

BAB III
STATUS PASIEN
A. Anamnesis
1. Identitas Penderita
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Alamat
Agama
Suku
Status Perkawinan
No. Rekam Medis
2. Keluhan Utama
3. Riwayat Penyakit Sekarang

: Tn. S
: 45 tahun
: Laki-laki
: Tangerang
: Islam
: Jawa
: Menikah
: 451844
: Nyeri dada

Pasien datang ke Puskesmas dengan keluhan nyeri dada yang dirasakan


sejak 3 jam sebelumnya. Nyeri dada dirasakan tiba-tiba dan menjalar sampai ke
punggung. Nyeri dirasakan terus menerus dan semakin lama semakin memberat.
Nyeri tidak membaik dengan beristirahat.
Pasien mengaku terasa lemas sekujur tubuh, dada terasa ampeg dan
berdebar-debar. Sebelumnya, pasien tidak sedang mengonsumsi alkohol, kopi,
maupun teh. Pasien mengeluhkan dada terasa ampeg (+), sedikit sesak (+)
berdebar-debar (+), lemas (+), keringat dingin (+), pusing (-), mual dan muntah
(+), batuk (-). BAB dan BAK tidak ada keluhan.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat keluhan serupa
b. Riwayat sakit jantung
c. Riwayat hipertensi
f. Riwayat sakit ginjal
g. Riwayat alergi
h. Riwayat asma
5. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat hipertensi
b. Riwayat diabetes mellitus
d. Riwayat sakit ginjal

: disangkal
: disangkal
: disangkal
d. Riwayat diabetes mellitus : disangkal
e.Riwayat sakit jantung : disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
c.Riwayat sakit jantung : disangkal
: disangkal

e. Riwayat alergi
f. Riwayat asma
6. Riwayat Kebiasaan

: disangkal
: disangkal
a.Riwayat merokok

: satu bungkus/hari

sejak usia 25 tahun


: jarang
: disangkal

b. Riwayat olah raga


c. Riwayat konsumsi alkohol
B. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum : tampak sakit sedang VAS 6, GCS E4V5M6
(compos mentis), gizi kesan cukup
2. Tanda vital
Tensi
: 120/80 mmHg
Respirasi
: 20 x/menit
Nadi
: 104 x/menit
Suhu
: 36,7C
Berat badan
: 63 kg
Tinggi badan
: 165 cm
IMT
: 23,14
3. Keadaan Sistemik
Kulit

: warna coklat, kering (-), turgor menurun (-), hiperpigmentasi (-),

Kepala

kering (-), teleangiektasis (-), petechie (-), ikterik (-), ekimosis (-)
: bentuk normocephal, rambut mudah rontok (-), luka (-), atrofi m.

Mata

temporalis (-).
: mata cekung (-/-), oedem palpebra (-/-), konjungtiva pucat (-/-),
sklera ikterik (-/-), perdarahan subkonjungtiva (-/-), pupil isokor
dengan diameter (3 mm/3 mm), edema palpebra (-/-), strabismus

Telinga
Hidung
Mulut

(-/-)
: sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan tragus (-)
: nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-)
: sianosis (-), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi(-), gusi berdarah (-),

Leher

luka pada sudut bibir (-), oral thrush (-)


: JVP R + 2 cm, trakea ditengah, simetris, pembesaran kelenjar tiroid

Axilla
Thorax

(-), pembesaran limfonodi cervical (-), leher kaku (-)


: rambut axilla rontok (-)
: bentuk normochest, simetris, pengembangan dada kanan = kiri,
venektasi (-), retraksi intercostal (-), spidernevi (-), pernafasan
thorakoabdominal, sela iga melebar(-), pembesaran KGB axilla
(-/-), atrofi m. Pectoralis (-).

Jantung

Inspeksi :

ictus kordis tak tampak

Palpasi :

ictus kordis tidak kuat angkat di SIC IV linea

medioklavicularis sinistra
Perkusi :
Batas jantung kanan atas: SIC II linea parasternalis dextra
Batas jantung kanan bawah: SIC IV linea parasternalis dekstra
Batas jantung kiri atas: SIC II linea parasternalis sinistra
Batas jantung kiri bawah: SIC IV linea medioklavicularis sinistra
Auskultasi
: bunyi jantung I-II intensitas meningkat, reguler,
bising (-), gallop (-).

Pulmo
a. Depan
Inspeksi
- Statis:

normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga

tidak mendatar
- Dinamis
:

pengembangan dada simetris kanan = kiri,

sela iga tidak melebar, retraksi intercostal (-)


Palpasi
- Statis:
- Dinamis

simetris
:
pergerakan kanan = kiri, fremitus raba

kanan = kiri

Perkusi
- Kanan

: sonor, redup pada batas relatif paru-hepar pada

SIC VI linea medioclavicularis dextra, pekak pada batas


absolut paru hepar
- Kiri :
sonor, sesuai batas jantung pada SIC VI linea

medioclavicularis sinistra
Auskultasi
- Kanan

suara dasar vesikuler di SIC II-V, suara

tambahan wheezing (-), ronkhi basah kasar (-), ronkhi basah


halus (+) 1/3 basal paru, krepitasi (-)
- Kiri : suara dasar vesikuler normal, suara tambahan wheezing
(-), ronkhi basah kasar (-), ronkhi basah halus (+) 1/3 basal
paru, krepitasi (-)
b. Belakang
Inspeksi
- Statis: normochest, simetris.
- Dinamis
: pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela

iga tidak melebar, retraksi intercostal (-)


Palpasi
- Statis: simetris

- Dinamis

kiri
Perkusi
- Kanan

: pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan =

: Sonor, mulai redup pada batas paru bawah V. Th

X
- Kiri : Sonor, mulai redup pada batas paru bawah V. Th XI
- Peranjakan diafragma 4 cm kanan = kiri
Auskultasi
- Kanan
: Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan
wheezing (-), ronkhi basah kasar (-), ronkhi basah halus (+)
1/3 basal paru, krepitasi (-)
- Kiri : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan wheezing
(-), ronkhi basah kasar (-),ronkhi basah halus (+) 1/3 basal
paru, krepitasi (-)

Abdomen

Inspeksi

: dinding perut sejajar dinding thorak,ascites (-),

venektasi (-), sikatrik (-), striae (-), caput medusae (-), ikterik
(-)
Auskultasi :

bising usus (+) normal, bruit hepar (-),

bising epigastrium (-)


Perkusi
: area troube timpani, hepar dan lien dalam batas
normal, pekak, pekak alih (-), pekak sisi (-), undulasi (-)
Palpasi
:
supel, nyeri tekan(-), hepar dan lien teraba
dalam batas normal.
Ekstremitas
Oedem

Akral Dingin -

C. Assesment
Diagnosis : Infark miokard akut
D. Penatalaksanaan
Nonmedikamentosa
Tirah baring sampai 24 jam bebas angina
Diet = rendah natrium, rendah lemak, tinggi kalium, tinggi

serat
Edukasi pasien untuk tidak mengejan

Medikamentosa

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

O2 2-3 lpm
Infus RL 10 tpm
Injeksi Streptokinase
Injeksi morfin sulfat 4 mg
Isosorbid dinitrate 3x5 mg
Aspilet320 mg
Clopidogrel 300 mg

E. Pembahasan Obat
1. Oksigen
Suplemen oksigen terutama diberikan segera bagi mereka dengan
saturasi O2 arteri <95% atau yang mengalami distres respirasi. Selain itu,
oksigen juga dapat diberikan pada semua pasien infark miokard akut dalam
6 jampertama, tanpa mempertimbangkan saturasi O2 arteri. Oksigen
diberikan dengan tujuan untuk meningkatkan suply oksigen di tubuh.
2. Infus RL
RL merupakan cairan yang paling fisiologis yang dapat diberikan
pada kebutuhan volume dalam jumlah besar. RL banyak digunakan sebagai
replacement therapy, antara lain untuk syok hipovolemik, diare, trauma, dan
luka bakar.
Laktat yang terdapat di dalam larutan RL akan dimetabolisme oleh
hati menjadi bikarbonat yang berguna untuk memperbaiki keadaan seperti
asidosis metabolik. Kalium yang terdapat di dalam RL tidak cukup untuk
pemeliharaan sehari-hari, apalagi untuk kasus defisit kalium.
Larutan RL tidak mengandung glukosa, sehingga bila akan dipakai
sebagai cairan rumatan, dapat ditambahkan glukosa yang berguna untuk
mencegah terjadinya ketosis.
Kemasan larutan kristaloid RL yang beredar di pasaran memiliki
komposisi elektrolit Na+ (130 mEq/L), Cl- (109 mEq/L), Ca+ (3 mEq/L),
dan laktat (28 mEq/L). Osmolaritasnya sebesar 273 mOsm/L. Sediaannya
adalah 500 ml dan 1.000 ml.
Cara kerja:
a. Ringer laktat merupakanlarutan isotoni natrium klorida, kalium klorida,
kalsium klorida, dan natrium laktat yang komposisinya mirip dengan
cairan ekstraseluler.
b. Merupakan cairan pengganti pada kasus-kasus kehilangan cairan
ekstraseluler.

c. Merupakan larutan non koloid, mengandung ion-ion yang terdistribusi


ke dalam cairan intravaskuler dan interstisiel.
Indikasi:
Untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit pada dehidrasi.
Kontra indikasi :
Hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati, asidosi laktat.
Efek samping:
Reaksi-reaksi yang mungkin terjadi karena larutannya atau cara
pemberiannya termasuk timbulnya panas, infeksi pada tempat penyuntikan,
trombosis vena atau flebitis yang meluas dari tempat penyuntikan.
Bila terjadi reaksi dariefek samping, pemakaian harus dihentikan dan
lakukan evaluasi terhadap penderita.
3. Injeksi streptokinase
Obat golongan fibrinolitik merupakan obat yang dapat mempercepat
hancurnya oklusi trombus intrakoroner sehingga akan mengembalikan aliran
darah dan mengurangi kerusakan miokardial. Fibrinolisis merupakan
strategi reperfusi yang penting, terutama pada tempat-tempat yang tidak
dapat melakukan intervensi koroner per kutan (IKP) pada pasien STEMI
dalam waktu yang disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan
diberikan dalam 12 jam sejak awitan gejala pada pasien-pasien tanpa
indikasi kontra apabila IKP primer tidak bisa dilakukan oleh tim yang
berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak medis pertama. Pada pasienpasien yang datang segera (<2 jam sejak awitan gejala) dengan infark yang
besar dan risiko perdarahan rendah, fibrinolisis perlu dipertimbangkan bila
waktu antara kontak medis pertama dengan inflasi balon lebih dari 90 menit.
Fibrinolisis harus dimulai pada ruang gawat darurat. Salah satu contoh obat
yang

dapat

digunakan

adalah

Streptokinase.

Streptokinase

dapat

menstimulasi sistem fibrinolitik, mentransformasi precursor plasminogen


inaktif menjadi plasmin protease aktif, yang dapat menghancurkan bekuan
fibrin. Meskipun targetnya adalah trombus intrakoroner, plasmin merupakan
substrat dengan spesifitas rendah dan dapat mendegradasi protein lainnya,
termasuk prekursor fibrinogen. Hal ini mengakibatkan efek samping
perdarahan pada penggunaan obat ini.
4. Morfin
Morfin sulfat (2-4 mg intravena dan dapat diulang dengan kenaikan dosis

2 8 mg IV dengan interval waktu 5 sampai 15 menit) merupakan pilihan


utama untuk manajemen nyeri pada infark miokard akut terutama yang
dikarenakan STEMI. Morfin juga memberikan efek anti cemas. Efek
samping yang perlu diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi
vena dan arteriolar melalui penurunan simpatis sehingga terjadi pooling vena
yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Efek hemodinamik
ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai dan pada kondisi tertentu diperlukan
penambahan cairan IV dan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan efek
vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat tinggi,
terutama pasien dengan infark posterior. Efek samping ini biasanya dapat
diatasi dengan pemberian atropine 0,5 mg.
Morfin merupakan agonis reseptor opioid dengan efek utama mengikat
dan mengaktivasi reseptor -opioid pada sistem saraf pusat. Aktivasi
reseptor ini akan menimbulkan efek analgesia, sedasi, euforia, physical
dependece, dan respiratory depression.
Efek morfin terjadi pada susunan saraf pusat dan organ-organ yang
mengandung otot polos. Efek morfin pada susunan saraf pusat mempunyai
dua sifat yaitu depresi dan stimulasi. Golongan yang termasuk dalam sifat
depresi dari morfin antara lain adalah analgesia. Efek analgesia yang timbul
pada pemberian parenteral lebih tinggi daripada pemberian oral. Morfin
dapat melewati sawar uri dan memengaruhi janin. Ekskresi terutama melalui
ginjal dan sebagian kecil dapat ditemukan dalam tinja dan keringat.
Pemberian morfin diindikasikan untuk meredakan atau menghilangkan
nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid. Morfin
sering digunakan untuk nyeri yang menyertai infark miokard, neoplasma,
kolik renal atau kolik empedu, oklusi akut pembuluh darah perifer, pulmonal
atau koroner, perikarditis akut dan pneumotorak spontan, dan nyeri akibat
trauma. Efek morfin yang dapat mengurangi nyeri dan kecemasan akan
mengurangi kebutuhan oksigen miokardium.
5. Isosorbid dinitrate
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang
mengakibatkan berkurangnya preload dan volume akhir diastolik ventrikel
kiri sehingga konsumsi oksigen miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat
adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik yang normal maupun yang

mengalami aterosklerosis. Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan


keluhan dalam fase akut dari episode angina. Nitrat tidak diberikan pada
pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg atau >30 mmHg di bawah
nilai awal, bradikardia berat (<50 kali permenit), takikardia tanpa gejala
gagal jantung, atau infark ventrikel kanan. Nitrat tidak boleh diberikan pada
pasien yang telah mengkonsumsi inhibitor fosfodiesterase: sidenafil dalam
24 jam, tadalafil dalam 48 jam. Waktu yang tepat untuk terapi nitrat setelah
pemberian vardenafil belum dapat ditentukan. Nitrat intravena diindikasikan
pada iskemia yang persisten, gagal jantung, atau hipertensi dalam 48 jam
pertama UAP/NSTEMI. Keputusan menggunakan nitrat intravena tidak
boleh menghalangi pengobatan yang terbukti menurunkan mortalitas seperti
penyekat beta atau angiotensin converting enzymes inhibitor (ACE-I).
6. Aspilet
Aspilet digunakan untuk mengatasi trombosis atau sebagai anti
trombolitik. Aspilet memiliki kandungan asam asetilsalisilat yang akan
bekerja dengan cara menghambat aktivitas enzim siklo-oksigenase melalui
proses asetilasi yang bersifat ireversibel. Hal ini dapat mencegah proses
pembentukan tromboksan A2 sehingga terjadi pencegahan terhadap
penimbunan platelet dan pencegahan terhadap proses pembekuan darah.
Aspilet diindikasikan terutama sebagai obat anti trombotik dalam
mencegah keadaan trombosis atau agregasi platelet pada tubuh terutama saat
mengalami serangan jantung.
7. Clopidogrel
Clopidogrel (thienopiridin) berguna sebagai pengganti aspirin untuk
pasien dengan hipersensitivitas aspirin dan dianjurkan untuk pasien dengan
STEMI yang menjalani reperfusi primer atau fibrinolitik. Clopidogrel
bekerja dengan memblok aktivasi reseptor P2Y12 ADP receptor pada
platelet. Penelitian Acute Coronary Syndrome (ACOS) registry investigators
mempelajari pengaruh clopidogrel di samping aspirin pada pasien STEMI
yang mendapat perawatan dengan atau tanpa terapi reperfusi, menunjukkan
penurunan kejadian kasus jantung dan pembuluh darah serebral (kematian,
reinfark non fatal, dan stroke non fatal). Manfaat dalam penurunan kematian
terbesar pada kelompok pasien tanpa terapi reperfusi awal (8%), yang
memiliki angka kematian 1 tahun tertinggi (18%).

Indikasi: Clopidogrel dapat mengurangi kejadian atherosclerotic pada


pasien dengan atherosklerosis dibuktikan oleh myocardial infarction (MI)
yang belum lama berselang terjadi, stroke yang belum lama berselang
terjadi, atau penyakit arterial peripheral yang sudah terbukti; sindrom
koroner akut yang terkontrol secara medis atau melalui percutaneous
coronary intervention/PCI.
Kontra indikasi: hipersensitivitas terhadap clopidogrel atau komponen
lain dari formulasinya, perdarahan patologis aktif, gangguan koagulasi, dan
tukak lambung aktif.
Dosis yang diberikan pada orang dewasa dengan infark miokard adalah
75 mg, satu kali sehari.
Efek samping: perdarahan gastrointestinal, purpura, haematoma,
epistaksis, haematuria, ocular haemorrhage, perdarahan intrakranial, nyeri
abdominal, gastritis, konstipasi, rash, pruritus.

BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
Infark Miokard Akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung
yang menyebabkan sel otot jantung mati. Terdapat berbagai mekanisme
patofisiologi penyebab terjadinya IMA, antara lain aterosklerosis, sindrom
vaskulitis, emboli koroner (contoh dari endokarditis, katup buatan), anomali
kongenital arteri koroner, trauma koroner atau aneurisma, spasme pembuluh darah

koroner, peningkatan viskositas darah (contoh polisitemia vera, trombositosis),


dan peningkatan kebutuhan oksigen miokard (contoh aorta stenosis). Tujuan
utama tatalaksana IMA adalah mendiagnosis secara cepat, menghilangkan nyeri
dada, menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi yang mungkin
dilakukan, memberi antitrombotik dan anti platelet, memberi obat penunjang.
B. SARAN
1. Penegakan segera diagnosis infark miokard akut sehingga pasien dapat segera
mendapat penatalaksanaan yang tepat dan mencegah terjadinya komplikasi
penyakit pada pasien.
2. Memberi edukasi kepada pasien mengenai penyakit, pengobatan, dan
komplikasi yang dapat muncul dari penyakit yang diderita.
3. Memotivasi pasien agar rutin mengonsumsi obat yang diberikan oleh dokter.

DAFTAR PUSTAKA
Antman EM, Hand M, Armstrong PW, Bates ER, Green LA, Hochman JS, et al.
Focused update of the ACC/AHA 2004 guidelines for the management of patients
with ST-elevation myocardial infarction: a report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines:
developed in collaboration with the Canadian Cardiovascular Society, endorsed by
the American Academy of Family Physicians: 2007 Writing Group to Review
New Evidence and Update the ACC/AHA 2004 Guidelines for the Management
of Patients With ST-Elevation Myocardial Infarction, writing on behalf of the
2004 Writing Committee. J Am Coll Cardiol. 2008;51:210247.
Burke AP, Virmani R. 2007. Pathophysiology of Acute Myocardial Infarction. Med Clin
North Am, 91, 553-572; ix.
Christofferson RD. Acute Myocardial Infarction. In : Griffin BP, Topol EJ, eds. Manual
of cardiovascular medicine. 3rd ed. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins.
2009. p.1-28.

Daubert MA, Jeremias A., et al. 2010. Diagnosis of Acute Myocardial Infarction. In:
Jeremias, A. danBrown, D. L. (eds.) Cardiac Intensive Care 2nd Ed. 2 ed. United
States of America: Saunders Elsevier.
Dinas Kesehatan Kota Semarang. Profil Kesehatan Kota Semarang tahun 2010.
Available from: http://dinkes-kotasemarang.go.id/
Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. 17th Edition Harrisons
Principles of Internal Medicine. New South Wales : McGraw Hill; 2010.
Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC; 2007.
H.Opie, L. 2004. Aerobic and Anaerobic Metabolism. In: H.Opie, L. (ed.) Heart
Physiology : from Cell to Circulation. 4th ed. United States of America:
Lippincolt Williams & Wilkins.
Hamm, C. W., Bassand, J. P., et al. 2011. ESC Guidelines for the management of acute
coronary syndromes in patients presenting without persistent ST-segment
elevation: The Task Force for the management of acute coronary syndromes
(ACS) in patients presenting without persistent ST-segment elevation of the
European Society of Cardiology (ESC). Eur Heart J, 32, 2999-3054.
Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP. Braunwalds Heart Disease : A textbook of
Cardiovascular Medicine. Philadephia: Elsevier; 2008.
Rhee, J. W., Sabatine, M. S., et al. 2011. Acute Coronary Syndrome. In: S.Lilly, L. (ed.)
Pathophysiology of Heart Disease. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.
Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Buku Ajar Patologi Robbins. Jakarta: EGC; 2007.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V.
Jakarta: Interna Publishing; 2010.
Sugiri. Penggunaan Trombolisis pada Penderita Infark Miokard Akut. Jurnal Kardiologi
Indonesia. 1994;28(3).
Thygesen, K., S.Alpert, J., et al. 2012. Third Universal Definition of Myocardial
Infarction. European Heart Journal, 1-17.

Anda mungkin juga menyukai