Anda di halaman 1dari 4

Banyak sekali studi telah dilakukan di negara-negara Barat untuk

mengetahui seberapa besar kejadian gangguan makan di populasi terkait,


dengan dampak serius yang dapat ditimbulkan. Anoreksia nervosa dan bulimia
nervosa sekitar 90% adalah remaja putri, dengan prevalensi 0,7% dan 1-2%,
serta semakin mengalami peningkatan tiap tahunnya (Fairburn & Harrison 2003).
Fakta lain yang cukup mencengangkan yaitu gangguan makan juga sudah mulai
merambah Asia. Sejumlah kecil kasus gangguan makan dilaporkan terjadi di
Singapura, Cina, dan Jepang (Lee et al 2005).
Jika dilihat dari penemuan tersebut, maka bukan tidak mungkin kasus
gangguan makan sudah terjadi di Indonesia. Sebuah penelitian yang dilakukan
oleh Tantiani & Syafiq (2008) membuktikan bahwa 37,3% remaja di Jakarta
mengalami gangguan makan dengan spesifikasi 11,6% remaja menderita
anoreksia nervosa dan 27% menderita bulimia nervosa. Berdasarkan temuan
tersebut, terlihat bahwa terjadi kasus gangguan makan pada remaja di
Indonesia.
Belum banyak penelitian atau publikasi ilmiah melaporkan tentang kasus
gangguan makan di Indonesia. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti
lebih lanjut kasus gangguan makan pada remaja putri di model agency.
Penelitian ini dilakukan karena remaja putri merupakan populasi yang beresiko
tinggi untuk mengalami gangguan makan.
Fenomena ini disebabkan oleh lebih besarnya tekanan sosial pada
perempuan untuk tampil langsing. Kecantikan memegang peranan penting dalam
penampilan perempuan. Mereka kemudian berdiet untuk menurunkan berat
badan. Beberapa diantaranya menciptakan kontrol berlebihan. Berdiet dan
melaparkan diri merupakan dua dari sekian banyak kejadian pemicu paling kuat
untuk menimbulkan gangguan makan
Sebagai remaja, mahasisiwi merupakan
sosok individu yang sedang dalam proses perubahan
dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa.
Perubahan-perubahan tersebut terjadi baik secara
fisik, biologis maupun psikologis dan sosial.
Perubahan fisik yang sangat pesat ini menimbulkan
respon tersendiri bagi mahasiswi, berupa tingkah
laku yang sangat memperhatikan perubahan bentuk
tubuhnya dan membangun citra tubuh atau body
image. Body image merupakan sikap yang dimiliki
seseorang terhadap tubuhnya berupa penilaian
positif atau negatif (Cash & Pruzinsky dalam
Andea, 2010).
Fulkerson dalam Elga, 2007).
Dari penelitian yang dilakukan oleh Wal
(2011) di Saint Louis University, USA kepada
2409 remaja perempuan didapatkan data bahwa pola
perilaku mengontrol berat badan yang tidak sehat
yang banyak dilakukan adalah 46,6% remaja
perempuan sengaja melewatkan makan (sarapan,
makan siang, ataupun makan malam), 16% remaja
perempuan berpuasa untuk menguruskan badan,
12,9% remaja perempuan membatasi atau menolak
satu jenis makanan atau lebih untuk diet yang ketat,
8,9% remaja perempuan menggunakan pil-pil diet
atau pil-pil pengurus badan, 6,6% remaja perempuan
merokok untuk menurunkan berat badan, dan

6,6% remaja perempuan memuntahkan makanan


dengan paksa (Wal, 2011).
Perilaku diet dapat menimbulkan masalah
apabila hal tersebut dilakukan tanpa pengawasan
ahli. Mahasiswi yang melakukan diet sering kali
tidak memperhitungkan dampak negatifnya. Diet
yang ditempuh mahasiswi sering tidak sesuai
dengan aturan kesehatan, mereka hanya memikirkan
bagaimana menjadi kurus dengan cepat dan mudah
tanpa melihat akibat yang akan ditimbulkan oleh
diet yang dilakukan (Wirakusumah dalam
Oktananda, 2008). Artinya, mereka melakukan diet
bukan untuk kesehatan, melainkan hanya demi
mendapatkan penampilan yang menarik dan
memperoleh tubuh yang kurus.

Banyak remaja yang merasa tidak puas dengan penampilan dirinya. Usaha
yang dilakukannya untuk bentuk tubuh yang diinginkannya seperti melakukan
diet dengan mengurangi konsumsi makanan, sehingga akan menyebabkan
gangguan makan. Masalah gangguan makan merupakan suatu masalah yang
ditandai dengan pola makan yang menyimpang terkait dengan karakteristik
psikologik yang berhubungan dengan makan, bentuk tubuh, dan berat badan yang
lebih mengedepankan persepsi tubuh dibandingkan kesehatan jasmani. Sehingga
dengan dorongan yang kuat untuk mempertahankan bentuk tubuh yang menurut
mereka ideal namun tanpa adanya pengetahuan yang baik maka yang terjadi
adalah justru perilaku gangguan makan. Selain itu faktor psikologis seperti
masalah keluarga, low self-esteem, stress, dan karena tidak puas dengan apa yang
ada pada dirinya dapat menyebabkan seseorang mempunyai gangguan makan.
Gangguan makan seperti anorexia nervosa, bulimia nervosa, binge-eating
disorder dan gangguan makan yang tidak spesifik (EDNOS) merupakan masalah
gangguan makan yang sudah umum terjadi di suatu negara maju. Berbagai
penelitian mengenai perilaku gangguan makan sudah banyak dilakukan dan hasil
penelitian menunjukan prevalensi rata-rata untuk anoreksia nervosa dan bulimia
nervosa yaitu masing-masing 0.3% dan 1% pada perempuan muda di barat (Van
Hoeken et al. 2003), tetapi lebih tinggi hingga 5.7 persen dari wanita muda
termasuk sindrom parsial. Insiden anorexia nervosa telah terjadi sebanyak 8 kasus
per 100 000 populasi per tahun, sementara jumlah insiden tahunan untuk bulimia
nervosa dilaporkan sekitar 12 per 100 000 (Van Hoeken et al. 2003).

Gangguan makan
merupakan kebiasaan makan yang abnormal
dimana
ditandai dengan
kekurangan atau kelebihan konsumsi makanan
se
hingga
menyebabkan penurunan kesehatan fisik dan emosional individu
. Hal ini semakin
banyak dijumpai dan menjadi
masalah

di seluruh dunia
. Penyebab
ganguan makan
adalah kompleks dan masih tidak dip
ahami sepenuhnya dan
mencakup banyak
individu
terutama
golongan remaja perempuan
(Fairburn dan Harrison, 2003).
Data p
enelitian tentang
gangguan makan
di Indonesia
m
asih belum
mencukupi, padahal
globalisasi itu juga
memberikan dampak pada Indonesia dan
prevalensi yang tinggi dikaitkan dengan urbanisasi dan kepadatan penduduk
Contohnya, di Jepang, dilaporkan kebanyakan pasien ganggua n makan
dijumpai
di kota dengan ukuran sedang dengan populasi: 60.000 hingga 250.000
dibandingkan dengan daerah yang kecil dan di pedesaan (Nadaoka
et al
, 1996).
Di
I
ndonesia, 12
22% wanita berusia 15
29 tahun menderita defisiensi
energi kronis (
IMT
<18,5) di beber
apa kawasan (Atmarita, 2005)
. Apakah
defisiensi ini disebabkan oleh gangguan makan atau hal lain tidaklah
dijelaskan

secara rinci. Bagaimanapun, masih kurang penelitian dilakukan tentang


gangguan
makan di Indonesia sehingga prevalensinya tidak diketahui se
cara pasti

Anda mungkin juga menyukai