Anda di halaman 1dari 30

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Epilepsi adalah gangguan otak kronis yang mempengaruhi orang-orang di

seluruh dunia. Epilepsi merupakan suatu kondisi neurologi dengan karakteristik


kejang yang berulang. Kejang terjadi karena adanya gangguan fungsi elektrik di
otak. Epilepsi dapat terjadi pada segala usia, mulai dari bayi sampai lanjut usia.
Lebih dari 50 juta penduduk dunia yang mengidap penyakit ini. 80% dari jumlah
penderita epilepsi berasal dari negara yang sedang berkembang dan 75%-nya
tidak mendapatkan pengobatan.1,2 Populasi epilepsi aktif (penderita dengan
bangkitan tidak terkontrol atau yang memerlukan pengobatan) diperkirakan antara
4-10 per 1000 penduduk per tahun, di negara berkembang diperkirakan 6-10 per
1000 penduduk.3
Satu kejang bukan berarti epilepsi karena hingga 10% dari h di seluruh
dunia pernah mengalami satu kejang selama masa hidupnya. Epilepsi
didefinisikan sebagai memiliki 2 kejang atau lebih tanpa ada yang memprovokasi
kejang tersebut. Epilepsy sudah ada sejak tahun 4000 SM dan merupakan salah
satu kondisi tertua yang diakui dunia. Ketakutan, kesalahpahaman, diskriminasi,
dan stigma sosial mengelilingi epilepsi selama berabad-abad. Stigma dan
diskriminasi ini berasal dari masyarakat, lingkungan kerja, bahkan dari keluarga
penderita sendiri. Stigma akan epilepsi masih terus berlanjut di negara-negara
sampai saat ini dan berdampak pada kualitas hidup penderita juga keluarganya.1
Masyarakat menganggap bahwa penyakit epilepsi sebagai kutukan, gunaguna, sihir, penyakit gila, dan penyakit turunan sehingga penderitanya
disembunyikan dan tidak diobati. Sebagai akibatnya banyak penderita epilepsi
yang tidak terdiagnosis dan mendapatkan pengobatan yang tepat sehingga
menimbulkan dapak klinik dan psikososial bagi penderita maupun keluarganya.4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Epilepsi adalah Cetusan listrik lokal pada substansia grisea otak yang
terjadi sewaktu-waktu, mendadak, dan sangat cepat yang dapat mengakibatkan
serangan penurunan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku
atau emosional yang intermiten dan stereotipik.5 Epilepsi adalah suatu kelainan di
otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang (lebih dari satu
episode). International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau
for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi epilepsi yaitu
suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat
mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis,
dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan
sedikitnya satu riwayat bangkitan epileptik sebelumnya. Sedangkan bangkitan
epileptik didefinisikan sebagai tanda dan / gejala yang timbul sepintas (transien)
akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.6
Terdapat beberapa elemen penting dari definisi epilepsi yang baru
dirumuskan oleh ILAE dan IBE yaitu6 :
a. Riwayat sedikitnya satu bangkitan epileptik sebelumnya.
b. Perubahan di otak yang meningkatkan kecenderungan terjadinya bangkitan
selanjutnya.
c. Berhubungan dengan gangguan pada faktor neurobiologis, kognitif, psikologis,
dan konsekuensi sosial yang ditimbulkan.
Ketiga elemen di atas harus diperhatikan karena dalam menatalaksana
seorang penyandang epilepsi, tidak hanya faktor bangkitan atau kejang yang perlu
diperhatikan namun konsekuensi sosial yang ditimbulkan juga harus diperhatikan
seperti dikucilkan oleh masyarakat, stigma bahwa penyakit epilepsi adalah
penyakit menular, dan sebagainya.6

2.2. Etiologi

Penyebab terjadinya epilepsi adalah kelainan bangkitan listrik jaringan


saraf yang tidak terkontrol baik sebagian maupun seluruh bagian otak. Keadaan
ini bisa diindikasikan sebagai disfungsi otak.7 Gangguan fungsi otak yang bisa
menyebabkan lepasnya muatan listrik berlebihan di sel neuron saraf pusat, bisa
disebabkan oleh adanya faktor fisiologis, biokimiawi, anatomis atau gabungan
faktor tersebut. Tiap-tiap penyakit atau kelainan yang dapat menganggu fungsi
otak atau fungsi sel neuron di otak, dapat menyebabkan timbulnya bangkitan
kejang atau serangan epilepsi.8
Etiologi epilepsi dapat dibagi ke dalam tiga kategori, sebagai berikut9:
1. Idiopatik: tidak terdapat les structural di otak atau deficit neurologis.
Diperkirakan mempunyai predisposisi genetic dan umumnya berhubungan
dengan usia.
2. Kriptogenik: dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum diketahui. Yang
termasuk di dalamnya adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut, dan
epilepsi mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus.
3. Simtomatis: bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi structural pada
otak, misalnya; cedera kepala, infeksi SSP, kelainan congenital, lesi desak
ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol,obat), metabolic,
kelainan neurodegeneratif.
2.3. Klasifikasi
Klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE) 1981 untuk
kejang epilepsi10:
NO
1

Kejang Parsial

Klasifikasi Kejang Epilepsi


Kejang Parsial
- Kejang parsial sederhana dengan gejala
sederhana

motorik
- Kejang parsial sederhana dengan gejala
somatosensorik atau sensorik khusus
- Kejang parsial sederhana dengan gejala
psikis

Kejang parsial

- Kejang parsial kompleks dengan onset

kompleks

parsial

sederhana

diikuti

gangguan

kesadaran
- Kejang parsial kompleks dengan gangguan
kesadaran saat onset
- Kejang parsial sederhana menjadi kejang
umum
Kejang parsial

- Kejang parsial kompleks menjadi kejang

sederhana yang
menjadi kejang

Kejang Umum

umum
- Kejang parsial sederhana menjadi kejang

generalisata

parsial kompleks dan kemudian menjadi

sekunder
- Kejang absans

kejang umum

- Absans atipikal
- Kejang mioklonik
- Kejang klonik
- Kejang tonik-klonik
3

- Kejang atonik
Yang tidak tergolongkan
Klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE) 1981 untuk

epilepsy dan sindroma epilepsi10:


NO
1

Klasifikasi Epilepsi dan Sindroma Epilepsi


Fokal/parsial
Idiopatik
(localized related)

(berhubungan
dengan usia awitan)

- Epilepsi benigna dengan gelombang


paku
di
daerah
sentrotemporal
(childhood epilepsi with centrotemporal
spikesI)
- Epilepsi benigna dengan gelombang
paroksismal pada daerah oksipital.

Simtomatis

- Epilepsi prmer saat membaca (primary


reading epilepsi)
- Epilepsi parsial kontinua yang kronis
progresif pada anak-anak (Kojenikows
Syndrome)
- Sindrom dengan bangkitan yang
dipresipitasi oleh suatu rangsangan

(kurang tidur, alkohol, obat-obatan,


hiperventilasi, refleks epilepsi, stimulasi
fungsi kortikal tinggi, membaca)
- Epilepsi lobus temporal
- Epilepsi lobus frontal
- Epilepsi lobus parietal
- Epilepsi oksipital

Epilepsi umum

Kriptogenik
Idiopatik (berurutan

- Kejang neonates familial benigna

sesuai dengan usia

- Kejang neonates benigna

awitan)

- Kejang epilepsi mioklonik pada bayi


- Epilepsi lena pada anak
- Epilepsi lena pada remaja
- Epilepsi mioklonik pada remaja
- Epilepsi dengan bangkitan umum tonikklonik pada saat terjaga
- Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak
termasuk salah satu di atas

Kriptogenik
(berurutan sesuai
dengan peningkatan
usia)
Simtomatis

- Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi


dengan aktivasi yang spesifik
- Sindrom West (spasme infantile dan
spasme salam)
- Sindrom Lennox-Gastaut
- Epilepsi mioklonik astatik
- Epilepsi mioklonik lena
- Etiologi nonspesifik
Ensefalopati mioklonik dini
Ensefalopati pada infantile dini dengan
dengan burst suppression
Epilepsi simtomatis umum lainnya
yang tidak termasuk di atas
- Sindrom spesifik
- Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi
penyakit lain.

Epilepsi dan

Bangkitan umum

- Bangkitan neonatal

sindrom yang tidak

dan fokal

- Epilepsi mioklonik berat pada bayi

dapat ditentukan

- Epilepsi dengan gelombang paku


kontinu selama tidur dalam

fokal atau umum

- Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom


Landau-Kleffner)
- Epilepsi yang tidak termasuk klasifikasi
di atas

Tanpa gambaran
tegas fokal atau
4

Sindroma khusus

umum
Bangkitan yang
berkaitan dengan
situasi tertentu

- Kejang demam
- Bangkitan kejang/status epileptikus yang
timbul hanya sekali isolated
- Bangkitan yang hanya terjadi bila
terdapat kejadian metabolic akut, atau
toksis, alkohol, obat-obatan, eklamsia,
hiperglikemi nonketotik.
- Bangkitan berkaitan dengan pencetus
spesfik (epilepsi refrektorik)

2.4. Patofisiologi
Neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi karena adanya
perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar neuron. Perbedaan
jumlah muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada membran dengan bagian
intraneuron yang lebih negatif. Neuron bersinapsis dengan neuron lain melalui
akson dan dendrit. Suatu masukan melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan
menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang berlangsung singkat,
kemudian inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi
cukup besar dan inhibisi kecil, akson mulai terangsang, suatu potensial aksi akan
dikirim sepanjang akson, untuk merangsang atau menghambat neuron lain,
sehingga terjadilah epilepsi.4
Epilepsi ditandai oleh bangkitan berulang yang diakibatkan oleh aktivitas
listrik yang berlebihan pada sebagian atau seluruh bagian otak. Seorang penderita

dikatakan menderita epilepsi bila setidaknya mengalami dua kali bangkitan tanpa
provokasi. Bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan antara faktor
eksitasi dan inhibisi serebral, bangkitan akan muncul pada eksitabilitas yang tidak
terkontrol. Pada sebagian besar kasus tidak dijumpai kelainan anatomi otak,
namun pada beberapa kasus epilepsi disertai oleh kerusakan struktural otak yang
mengakibatkan disfungsi fisik dan retardasi mental.11
2.5. Diagnosis
Ada 3 langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu3:
a. Langkah pertama : Memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksisimal
merupakan bangkitan epilepsi.
b. Langkah kedua : Apabila benar terdapat bangkitan epilepsi, maka tentukanlah
bangkitan tersebut termasuk tipe bangkitan yang mana.
c. Langkah ketiga : tentukan sindrom epilepsi apa yang ditunjukkan oleh
bangkitan tadi, atau penyakit epilepsi apa yang diderita oleh pasien dan
tentukan etiologinya.
Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya bangkitan epilepsi
berulang (minimum 2 kali) tanpa provokasi, dengan atau tanpa adanya gambaran
epileptiform pada EEG.3
Secara lengkap urutan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis adalah sebagai
berikut :
a. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh.
Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah
serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang
sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis.12
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi3:
1) Gejala sebelum, selama dan paska bangkitan
a) Keadaan penyandang saat bangkitan : duduk / berdiri / berbaring / tidur /
berkemih.
b) Gejala awitan (aura, gerakan / sensasi awal / speech arrest).

c) Apa yang tampak selama bangkitan (Pola / bentuk bangkitan) : gerakan tonik
/ klonik, vokalisasi, otomatisme, inkontinensia, lidah tergigit, pucat,
berkeringat, maupun deviasi mata.
d) Keadaan setelah kejang : bingung, terjaga, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah,
atau Todds paresis.
e) Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan, atau terdapat perubahan pola
bangkitan.
2) Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang, maupun riwayat penyakit
neurologik dan riwayat penyakit psikiatrik maupun penyakit sistemik yang
mungkin menjadi penyebab.
3) Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, dan interval terpanjang antar
bangkitan.
4) Riwayat bangkitan neonatal / kejang demam.
b. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan
menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien anak,
pemeriksa

harus

memperhatikan

adanya

keterlambatan

perkembangan,

organomegali, dan perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan


awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.12
c. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
o Pemeriksaan hematologis
Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit dan hitung jenis,
hematokrit, trombosit, apusan darah tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium,
magnesium), kadar gula darah sewaktu, fungsi hati (SGOT/SGPT), ureum,
kreatinin dan albumin.
- Awal pengobatan sebagai salah satu acuan dalam menyingkirkan diagnosis
banding dan pemilihan OAE
- Dua bulan setelah pemberian OAE untuk mendeteksi samping OAE

- Rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitor samping OAE, atau bila
timbul gejala klinis akibat efek samping OAE.3
o Pemeriksaan kadar OAE

Pemeriksaan ini idealnya untuk melihat kadar OAE dalam plasma saat
bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah mencapai dosis terapi maksimal atau
untuk memonitorkepatuhan pasien.3
2) Elektro ensefalografi (EEG)
Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada dugaan suatu
bangkitan untuk:
o Membantu menunjang diagnosis
o Membantu penentuan jenis bangkitan maupun sintrom epilepsi.
o Membatu menentukanmenentukan prognosis
o Membantu penentuan perlu/ tidaknya pemberian OAE. 3
3) Pemeriksaan pencitraan otak
Berguna untuk mendeteksi lesi epileptogenik diotak. MRI beresolusi tinggi

( minimal 1,5 Tesla) dapat mendiagnosis secara non-invasif berbagai macam lesi
patologik misalnya mesial temporal sclerosis, glioma, ganglioma, malformasi
kavernosus, DNET (dysembryoplastic neuroepithelial tumor ), tuberous
sclerosiss.3
Fuctional brain imaging seperti Positron Emission Tomography (PET),
Singel Photon Emission Computed Tomography (SPECT) dan Magnetic
Resonance Spectroscopy (MRS) bermanfaat dalam memberikan informasi
tambahan mengenai dampak perubahan metabolik dan perubahan aliran darah
regional di otak berkaitan dengan bangkitan.3
Indikasi pemeriksaan neuroimaging( CT scan kepala atau MRI kepala)
pada kasus kejang adalah bila muncul kejang unprovoked pertama kali pada usia
dewasa. Tujuan pemeriksaan neuroimaging pada kondisi ini adalah untuk mencari
adanya lesi structural penyebab kejang. CT scan kepala lebih ditujukan untuk
kasus kegawatdaruratan, karena teknik pemeriksaannya lebih cepat. Di lain pihak

10

MRI kepala diutamakan untuk kasus elektif. Bila ditinjau dari segi sensitivitas
dalam menentukan lesi kasus elektif. Bila ditinjau dari segi sensitivitas dalam
menentukan lesi structural, maka MRI lebih sensitive dibandingkan CT scan
kepala.3
4) Pemeriksaan neuropsikologi
Pemeriksaan

ini

mungkin

dilakukan

terhadap

pasien

epilepsi

dengan

pertimbangan akan dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya


memperhatikan apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian juga
dengan pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada dugaan serangan kejang yang
bukan epilepsi.13
2.6. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan epilepsi adalah mengupayakan penderita
epilepsi dapat hidup normal dan tercapai kualitas hidup optimal untuk penyandang
mental yang dimilikinya. Harapannya adalah bebas bangkitan, tanpa efek
samping. Untuk tercapainya tujuan tersebut diperlukan beberapa upaya, antara
samping/dengan efek samping yang minimal, menurunkan angka kesakitan dan
kematian.3
Penatalaksanaan

epilepsi

terdapat

penatalaksanaan

farmakologi

dan

nonfarmakologi.
Prinsip Penatalaksanaan Farmakologi3
- Obat anti epilepsi (OAE) diberikan apabila:
1. Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
2. Terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun
3. Penyandang dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan tentang tujuan
pengobatan.
4. Penyandang dan/ atau keluarga telah diberitahu tentang kemungkinan efek
samping yang timbul dari OAE.
5. Bangkitan terjadi berulang walaupun factor pencetus sudah dihindari
(misalnya: alcohol, kurang tidur, stress, dll)

10

11

- Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan


jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi.
- Pemberian obat dimulai dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap
sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping.
- Kadar obat dalam plasma ditentukan bila:
o Bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif
o Diduga ada perubahan farmakokinetik OAE (disebabkan oleh kehamilan,
penyakit hati, penyakit ginjal, gangguan absorpsi OAE)
o Diduga penyandang tidak patuh pada pengobatan
o Setelah penggantian dosis/regimen OAE
o Untuk melihat interaksi antara OAE atau obat lain.
- Bila dengan penggunaan OAE pertama dosis maksimum tidak dapat mengontrol
bangkitan, maka diganti dengan OAE kedua. Caranya bila OAE telah mencapai
kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap (tapering off). Bila terjadi
bangkitan saat penurunan OAE pertama maka kedua OAE tetap diberikan. Bila
responsyang didapat buruk, kedua OAE hareus diganti dengan OAE yan g lain.
Penambahan OAE ketiga baru dilakukan bila terdapat respons dengan OAE
kedua, tetapi respons tetap suboptimal walaupun pergunaan kedua OAE pertama
sudah maksimal.14
- OAE kedua harus memiliki mekanisme kerja yang berbeda dengan OAE
pertama
- Penyandang dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi
bila kemungkinan kekambuhan tinggi, yaitu bila15,16:
o Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG
o Pada pemeriksaan CT scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi
dengan bangkitan; misalnya meningioma, neoplasma otak, AVM, abses otak
ensafalitis herpes.
11

12

o Pada pemeriksaan neurologis dijumpai kelainan yang mengarah pada adanya


kerusakan otak
o Terdapatnya riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orang tua)
o Riwayat bangkitan simtomatis
o Terdapat sindrom epilepsi yang berisiko kekambuhan tinggi seperti JME
(Juvenile Myoclonic Epilepsi)
o Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan kesadaran stroke,
infeksi SSP
o Bangkitan pertama berupa status epileptikus
- Efek samping OAE perlu diperhatikan, demikian pula halnya dengan profil
farmakologis tiap OAE dan interaksi farmnakokinetik antar-OAE.
- Strategi untuk menceghah efek samping:
o Pilih OAE yang paling cocok untuk karakteristik penyandang
o Gunakan titrasi dengan dosis terkecil dan rumatan terkecil mengacu pada
sindrom epilepsi dan karakteristik penyandang.
JENIS OBAT ANTIEPILEPSI DAN MEKANISME KERJANYA
Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, dosis OAE, efek
samping OAE, profil farmakologi, interaksi antara OAE.
Pemilihan obat anti-epilepsi atas dasar jenis bangkitan epilepsi3
TIPE KEJANG DAN
SINDROMA EPILEPSI

OBAT LINI PERTAMA

OBAT LINI KEDUA

Kejang sederhana dan kejang


parsial kompleks, kejang umum
tonik-klonik primer dan
sekunder

Carbamazepine, valproate dan


phenytoin

Levetiracetam, Acetazolamide,
clobazam, clonazepam,
ethosuximide*, gabapentin,
lamotrigine, , oxcarbazepine,
phenobarbital, primidone*,
tiagabine*, topiramate, vigabatrin

Generalized absence seizures

Valproate, ethosuximde*

Acetazolamide, clobazam,

12

13

clonazepam , lamotrigine,
phenobarbital, primidone*
Atypical absence, tonic and
clonic seizures

Valproate

Acetazolamide, carbamazepine,
clobazam, clonazepam,
ethosuximide* , lamotrigine,
oxcarbazepine, phenobarbital,
phenytoin, primidone*, topiramate

Myoclonic seizures

Valproate

Clobazam, clonazepam,
ethosuximide* , lamotrigine,
phenobarbital, piracetam, primidone*

*belum tersedia di Indonesia


Pedoman OAE lini pertama pada orang dewasa3

OBAT

INDIKASI

DOSIS
AWAL

DOSIS
HARIAN
UMUM
(Miligram)

DOSIS
RUMATAN

JUMLAH
DOSIS PER
HARI

WAKTU
PARUH
PLASMA
(Jam)

Carbamazepine

Parsial & KUTK

400

600

600-1200

2-3*

16-36

Phenytoin

Parsial & KUTK


atau status
epilepticus

300

300

300-500

24-40

Valproic acid

Parsial & KUTK

500-1000

1000

1000-3000

8-16

Phenobarbital

Parsial & KUTK,


kejang neonatal, atau
status epilepticus

60-90

120

90-120

72-120

Primidone

Parsial & KUTK

Ethosuximide
Clonazepam

48
100-125

500

250-1500

Kejang absans umum

500

1000

1000-2000

Epilepsi mioklonik,
sindroma L-G,
spasme infantil, atau
status epilepsticus

2-8

1 or 2

: dewasa

: anak-anak

* KUTK (Kejang Umum Tonik Klonik)

L-G (Lennox Gastaut)

Pedoman dosis obat anti epilepsy yang baru3

13

14

OBAT

INDIKASI

DOSIS AWAL

DOSIS
RUMATAN

WAKTU
PARUH
DALAM
PLASMA
(JAM)

Levetiracetam

Parsial & KUTKS

2 X 1000 mg/hari
1000 mg/hari q 2 wk

1000-3000 mg/hari

not established

Gabapentin

Parsial & KUTKS


(dewasa)

300 mg/hari ;

900-3600 mg/hari

6
25 (12-14 dengan
obat-obat induksi
enzim ; 60
dengan VPA)

300mg/hari q1-3d

Lamotrigine

Parsial & KUTKS


(dewasa)

25-50mg/d;
50mg q1-2 wk; or
25mg q2d; with VPA

Sampai 700
mg/hari (100-150
mg/hari dengan
VPA)

Felbamate

Parsial & KUTKS


(dewasa)

2-3 X 400 mg/hari


( concomitant PHT,
CBZ,VPA tiap 2033%) dengan dosis
tiap 400-600 mg/d
q2wk

1800-4800 mg/d

Sindroma L-G

Clobazam

Parsial & KUTKS

20-23

sampai 45 mg/kg/d
3-4 x 15 mg/kg/d; (
concomitant PHT,
CBZ,VPA tiap 2033%), dengan dosis
15 mg/kg/d q1-2 wk

10mg qb atau

20-30mg/hari

2 X10 mg/hari

sampai 60mg/d

30-46

1200-2400mg/hari

8-24

32-56mg/hari

6-8

400-1000mg/hari

20-24

Oxcarbazepine

Parsial & KUTKS

2 X 300mg/d

Tiagabine**

Parsial & KUTKS

Tidak Tersedia

Topiramate

Parsial & KUTKS

100 mg/hari ;

25 -50 mg/hari tiap


minggu

Vigabatrine**

Parsial & KUTKS


Dimungkinkan
untuk spasme
infantil

2 X 500 mg/hari

Sampai 3 g/hari

4-8 (efek
berlangsung
sampai 3 hari)

Zonisamide*

Parsial & KUTKS

100-200 mg/hari
100 mg/hari q1-2 wk

400-600 mg/hari

50-68 (27-38
dengan obat-obat
induksi enzim)

** - di Indonesia tidak tersedia dan dilaporkan banyak efek samping

14

15

KUTKS : Kejang Umum Tonik-Klonik Sekunder ; L-G = Lennox-Gastaut ; q = every ; qb = at bedtime


Catatan : ada obat yang sudah diakui sebagai mono terapi yaitu oxcarbazepine, lamotrigin, topiramat,
levetriracetam untuk mioklonik.

Pedoman dosis obat anti epilepsy klasik pada anak-anak3

OBAT

INDIKASI

DOSIS
AWAL

DOSIS RUMATAN
STANDAR
(RANGE)

JUMLAH
DOSIS/
HARI

Mg/kg/hari

TARGET
KONSENTRASI
OBAT DALAM
DARAH (RANGE)
g/mgG

Carbamazepine

Parsial & KUTKS

10-25

2-4

6-12

Phenytoin

Parsial & KUTKS atau status


epilepsi

5-15

1 or 2

10-20

Valproic acid

Parsial & KUTKS

15-40

1-3

50-100

Phenobarbital

Parsial & KUTKS, kejang


neonatal, atau status epileptikus

4-8

1 or 2

10-40

Primidone

Parsial & KUTKS

10

20-30

1 or 2

5-12

Ethosuximide

Kejang absans umum

10

15-30

1 or 2

40-100

Clonazepam

Epilepsi mioklonik, sindroma


Lennox-Gastaut, spasme
infantil, atau status epileptikus

0.025

0.025-0.1

2 or 3

none

KUTKS : Kejang Umum Tonik-Klonik Sekunder

Efek samping obat anti epilepsi klasik3


DRUG

SIDE EFFECT
TERKAIT DOSIS

IDIOSINKRETIK

Carbamazepin

Diplopia, dizziness, nyeri kepala,


mual, mengantuk, neutropenia,
hiponatremia

Ruam morbiliform,
agranulositosis, anemia aplastik,
efek hepatotoksik, Sindroma
Stevens-Johnson, teratogenecity

Phenytoin

Nistagmus, ataxia, mual, muntah,


hipertrofi gusi, depresi,
mengantuk, paradoxical increase

Jerawat, coarse facies, hirsutism,


cariasis, lupus-like syndrome,
ruam, Sindroma Stevens-Johnson,

15

16

in seizure, anemia megaloblastik

Dupuytrens contracture, efek


hepatotoksik, teratogenicity

Valproic acid

Tremor, berat badan bertambah,


dispepsia, mual, muntah,
kebotakan, tetratogenicity

Pankreatitis akut, efek


hepatotoksik, trombositopenia,
ensefalopati , udem perifer

Phenobarbital

Kelelahan, listlesness, depresi,


insomnia (pada anak),
distractability (pada anak),
hiperkinesia (pada anak),
irritability (pada anak)

Ruam makulopapular, exfoliation,


nekrosis epidermal toksik, efek
hepatotoksik, arthritic changes,
Dupuytrens contracture,
teratogenicity

Pirimidone

Kelelahan, listlessness, depresi,


psikosis, libido menurun,
impoten

Ruam, agranulositosis,
trombositopenia, lupus-like
syndrome, teratogenicity

Ethosuximide

Mual, anoreksia, muntah agitasi,


mengantuk, nyeri kepala,
lethargy

Ruam, eritema multiformis,


Sindroma Steven-Johnson, lupuslike syndrome, agranulositosis,
anemia aplastik

Clonazepam

Kelelahan, sedasi, mengantuk,


dizziness, agresi (pada anak)
hiperkinesia (pada anak)

Ruam, trombositopenia

Efek samping obat anti epilepsi baru3

OBAT

EFEK SAMPING UTAMA

Levetiracetam

Somnolen, asthenia, sering


muncul ataksia. Juga dilaporkan
penurunan kecil kadar sel darah
merah, hemoglobin, dan
hematokrit.

Gabapentin

Somnolen, kelelahan, ataksia,


dizziness, gangguan saluran cerna

EFEK SAMPING YANG


LEBH SERIUS NAMUN
JARANG

16

17

Lamotrigine

Ruam, dizziness, tremor, ataksia,


diplopia, nyeri kepala, gangguan
saluran cerna

Clobazam

Sedasi, dizziness, irritability,


depresi, disinhibition

Vigabatrin

Perubahan perilaku, depresi,


sedasi, kelelahan, berat badan
bertambah, gangguan saluran
cerna

Oxcarbazepine

Dizziness, diplopia, ataksia, nyeri


kepala, kelemahan, ruam,
hiponatremia

Zonisamide

Somnolen, nyeri kepala, dizziness,


ataksia, renal calculi

Tiagabine

Confusion, dizziness, gangguan


saluran cerna, anoreksia,
kelelahan

Topiramate

Gangguan kognitif, tremor,


dizziness, ataksia, nyeri kepala,
kelelahan, gangguan saluran
cerna, renal calculi

Sindroma Stevens- Johnson

Psikosis

Dosis obat untuk status epileptikus konvulsif3


Drug

Route

Clomethiazole

IV Infusa dalam
0,8% cairan

40-100 ml (320-800) pada


pemberian 5-15 ml/menit,
kemudian dilanjutkan 0,5-20
ml/menit

0,1 ml/kg/menit
meningkat tiap 2-4 jam
sesuai yang dibutuhkan

Clonazepam

IV Bolus

1 mg pada pemberian < 2


mg/menit

250-500 g pada
pemberian < 2 mg/menit

IV Infusa

Adult Dose

Pediatric Dose

Dosis rumatan 10 mg/24 jam

17

18

IV Bolus

10-20 mg pada pemberian< 5


mg/menit

0,25-0,5 mg/kg pada


pemberian 2-5 mg/menit

Rectal

10-30 mg

0,5-0,75 mg/kg

IV Infus

3 mg/kg/hari

200-300 g/kg/hari

Fosphenytoin

IV Bolus

15 mg PE/kg pada rentang


pemberian <100-150
mg/PE/menit.
Dosis rumatan 4-5 mg/kg/hari
IV atau IM

Isoflurane

Inhalasi

End tidal concentrations dari


0,8-2% untuk rumatan.
Burst supression.

Lidocaine

IV Bolus

1,5-2,0 mg/kg pada pemberian


< 50 mg/menit

Diazepam

IV Infus
Lorazepam

IV Bolus

Dosis rumatan 3-4 mg/kg/jam


4 mg

0,1 mg/kg
0,15-0,3 mg/kg

Midazolam

IM atau Rectal

5-10 mg

IV Bolus

0,1-0,3 mg/kg pada pemberian


< 4 mg/menit

IV Infusa
Buccal

0,05-0,4 mg/kg/jam
10 mg

Paraldehyde

IM atau Rectal

5-10 ml (mendekati 1 g/ml)


dalam volume air yang setara.

Pentobarbital

IV Infusa

5-20 mg/kg pada rentang


pemberian < 25 mg/menit,
dilanjutkan 0,5-1,0 mg/kg/jam
meningkat sampai 1-3
mg/kg/jam

0,07-0,35 ml/kg

18

20

Interaksi farmakokinetik antar obat anti epilepsi3


OAE
TAMBAHAN

CARBAMAZEPIN
CLOBAZAM
CLONAZEPAM
ETHOSUXIMIDE
GABAPENTIN

OAE YANG TERKENA DAMPAK INTERAKSI


CBZ

CLB

CZP

ESM

GB
P

LAM

LE
V

OX
C

PB

PHT

PRM

TPM

VPA

VGB

AI

CL
B

CZP

ESM

LAM

/ PHT

PRM

TPM

PB

/PHT

PRM

VPA
VPA

/PHT

O
VPA

PHT

CZP

ESM

/ PHT

NCP

TPM

CZP

ESM

LA
M

PB

TPM

CZP

ESM

NCP

/PR
M
-

VPA
VPA
VPA
VPA
-

/ES
M
O

PB

PRM

PB

PRM

CBZ

O
O
O
O
O
O

LAMOTRIGINE
LEVETIRACETAM
OXCARBAZEPINE
PHENOBARBITAL

O
O
O
O
O
AI

PHENYTOIN

CBZ

PRIMIDONE

CBZ

TOPIRAMATE
VALPROATE
VIGABATRINE

CB
Z
CB
Z

CBZE
O

CB
Z
O
O

O
O
O

LA
M
LA
M
O
LA
M

/ PHT
PHT
/ PHT
PHT

TPM

O
O
O
O
O
-

20

22
O
O
O : none anticipated, : infrequently decrease in concentration, : frequently decrease, : infrequently increase, : frequently increase, AI : autoinduction,
AED : antiepileptic drug, NCP : not commonly prescribed, CBZE : carbamazepine epoxide

22

24

PENGHENTIAN OAE17,18,19
Pada dewasa; penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan
setelah 3-5 tahun bebas bangkitan. OAE dapat dihentikan tanpa kekambuhan pada
60% pasien. Dalam hal penghentian OAE, maka ada hal penting yang perlu
diperhatikan, yaitu syarat umum untuk menghentikan OAE dan kemungkinan
kambuhan bangkitan setelah OAE dihentikan.
Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai
berikut3:
- Setelah minimal 3 tahun bebas bangkitan dan gambaran EEG normal
- Penghentian OAE disetujui oleh penyandang atau keluarganya.
- Harus dilakukan secara bertahap, 25% dari dosis semula setiap bulan dalam
jangkat waktu 3-6 bulan
- Bila dilakukan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang
bukan utama.
Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar kemungkinannya
pada keadaan sebagai berikut3:
- Semakin tua usia kemungkinan timbul kekambuhan semakin tinggi
- Epilepsi simtomatis
- Gambaran EEG yang abnormal
- Bangkitan yang sulit terkontrol dengan OAE
- Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita, sangat jarang pada sindrom
epilepsi benigna dengan gelombang tajam pada daerah sentrotemporal, 5-25%
pada

epilepsi

lena

masa

anak

kecil,25-75%,

epilepsi

parsial

kriptogenik/simtomatis, 85-95% pada epilepsi mioklonik pada anak, dan JME.


- Penggunaan lebih dari satu OAE.
- Telah mendapat terapi 10 tahun atau lebih (kemungkinan kekambuhan lebih
kecil pada penyandang yang telah bebas bangkitan selama 3-5 tahun, atau lebih
dari lima tahun).
Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif terakhir
(sebelum pengurangan dosis OAE), kemudian dievaluassi kembali.
Rujukan ke spesialis epilepsi perlu ditimbangkan bila18:

24

26

- Tidak responsive terhadap 2 OAE pertama


- Ditemukan efek samping yang signifikan dengan terapi
- Berencana untuk hamil
- Dipertimbangkan untuk penghentian terapi.
TERAPI TERHADAP EPILEPSI RESISTEN OAE
Yang dimaksud dengan epilepsi resisten OAE adalah kegagalan setelah
mencoba dua OAE pilihan yang dapat ditoleransi, dan sesuai dosis ( baik sebagai
monoterapi atau kombinasi) yang mencapai kondisi bebas bangkitan.3
Sekitar 25-30% penyandang akan berkembang menjadi epilepsi resisten
OAE. Penanganan epilepsi resisten OAE mencakup hal-hal sebagai beriku3:
- Kombinasi OAE
- Mengurangi dosis OAE ( pada OAE induced seizure)
- Terapi bedah
- Dipikirkan penggunaan terapi nonfarmakologis.
Terapi NonFarmakologis
- Stimulasi N.Vagus20
Terapi ajuvan untuk mengurangi frekuensi bangkitan pada penyandang epilepsi
refrakter usia dewasa dan anak-anak yang tidak memenuhi syarat operasi.
Dapat digunakan pada bangkitan parsial dan bangkitan umum.
- Deep Brain Stimulation
- Diet ketogenik20
- Intervensi Psikologi
Relaksasi, behavioral cognitive therapy, dan biofeedback

26

28

Kombinasi OAE yang dapat digunakan pada epilepsi resisten OAE3


Kombinasi OAE
Sodium Valproat+etosuksimid
Karbamasepin+sodium valproat
Sodium Valproat+Lamotrigin
Topiramat+Lamotrigin

Indikasi
Bangkitan Lena
Bangkitan parsial/kompleks
Bangkitan parsial/bangkitan umum
Bangkitan parsial/bangkitan umum

2.7. Prognosis
Prognosis epilepsi tergantung pada beberapa hal, diantaranya jenis
epilepsi, faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat.
Prognosis epilepsi cukup bagus. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat
dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu akan dapat
berhenti minum obat.20 Prognosis epilepsi dihubungkan dengan terjadinya remisi
serangan baik dengan pengobatan maupun status psikososial, dan status
neurologis penderita. Batasan remisi epilepsi yang sering dipakai adalah 2 tahun
bebas serangan (kejang) dengan terapi. Pada pasien yang telah mengalami remisi
2 tahun harus dipertimbangkan untuk penurunan dosis dan penghentian obat
secara berkala.21
Batasan lain yang dipakai untuk menggambarkan remisi adalah bebas
serangan (remisi terminal) minimal 6 bulan dalam terapi OAE. Setelah tercapai
bebas serangan selama >6 bulan atau >2 tahun dengan terapi, maka perlu
dipikirkan untuk menurunkan dosis secara berkala sampai kemudian obat
dihentikan, perlu mempertimbangkan risiko terjadinya relaps setelah penghentian
obat. Berbagai faktor prediktor yang meningkatkan risiko terjadinya relaps adalah
usia awitan pada remaja / dewasa, jenis epilepsi sekunder, dan adanya gambaran
abnormalitas EEG. Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa penderita epilepsi
memiliki risiko kematian yang lebih tinggi dibanding populasi normal. Risiko
kematian yang paling tinggi adalah pada penderita epilepsi yang disertai defisit
neurologi akibat penyakit kongenital. Kematian pada penderita epilepsi anak-anak
paling sering disebabkan oleh penyakit susunan saraf pusat yang mendasari
timbulnya bangkitan epilepsi.21
2.8. STATUS EPILEPTIKUS

28

30

Definisi
Status epileptikus (SE) adalah bangkitan yang berlangsung lebuh dari 30
menit, atau adanya dua bangkitan atau lebih dan diantara bangkitan-bangkitan tadi
tidak terdapat pemulihan kesadaran. Namun demikian penanganan bangkitan
konvulsif harus dimulai bila bangkitan konvulsif sudah berlangsung lebih dari 510 menit. SE merupakan keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan
penanganan dan terapi segera guna menghentikakn bangkitan ( dalam waktu 30
menit).24-26 Dikenal dua tipe SE; SE konvusif (terdapat bangkitan motorik) dan
SE non-konfusif (tidak terdapat bangkitan motorik).3
Definisi Operasional Status Epileptikus Konvulsif20
Status epileptikus konvulsif adalah bangkitan dengan durasi lebih dari 5 menit,
atau bangkitan berulang 2 kali atau lebih tanpa pulihnya kesadaran diantara
bangkitan.
Definisi Status Epileptikus Nonkonvulsif20
Status epileptikus nonkonvulsif adalah sejumlah kondisi saat aktivitas bangkitan
elektrografik memanjang (EEG status) dan memberikan gejala klinis nonmotorik
termasuk perubahan perilaku atau awareness.
SE dibedakan dari bangkitan serial ( frequent seizures), yaitu bangkitan tonik
klonik yang berulang tiga kali atau lebih dalam satu jam.
Klasifikasi Status Epileptikus3
Berdasarkan klinis:
- SE fokal
- SE general
Berdasarkan durasi:
- SE Dini( 5-30 menit)
- SE menetap/ Established(>30 menit)
- SE Refrakter ( bangkitan tetap ada setelah mendapat dua atau tiga jenis
antikonvulsan awal dengan dosis adekuat )
Status epileptikus nonkonvulsivus (SE-NK) dibagi menjadi dua kelompok utama:
- SE-NK Umum
- SE-NK fokal

30

32

PENGELOLAAN STATUS EPILEPTIKUS KONVULSIF


Pengelolaan sebelum sampai di Rumah Sakit
Pemberian benzodiazepine rectal/midazolam buccal merupakan terapi yang utama
selama diperjalanan menuju rumah sakit.3
Segera panggil ambulans pada kondisi berikut22:
- Bangkitan berlanjut 5 menit setelah obat emergensi diberikan
- Penderita memiliki riwayat sering mengalami bangkitan serial/bangkitan
konvulsivus.
- Terdapat kesulitan monitor jalan napas, pernapasan, sirkulasi, atau tanda vital
lain.
Terapi OAE harus diberikan bersama sama dengan terapi emergensi. Pilihan obat
tergantung dari terapi sebelumnya, tipe epilepsi, dan klinis. Apapun OAE yang
digunakan sebelumnya, harus dilanjutkan dengan dosis penuh. Bila phenitoin atau
Phenobarbital telah diberikan pada terapi emergensi, dosis rumatan dapat
diberikan secara oral atau intravena dengan monitor kadar obat dalam serum.
OAE rumatan lain dapat diberikan dengan dosis loading peroral. Bila pasien
sudah bebas bangkitan selala 12-24 jam dan terbukti kadar obat dalam plasma
adekuat, maka obat anestesi dapat diturunkan perlahan.22
Protokol penanganan status epileptikus konvulsif 22
Pemeriksaan Umum
Stadium 1 (0-10 menit)

SE Dini

Pertahankan patensi jalan napas dan resusitasi


Berikan oksigen
Periksa fungsi kardiorespirasi
Pasang infuse
Stadium 2 (0-30 menit)
Monitor pasien
Pertimbangkan kemungkinan kondisi non epileptic
Terapi antiepilepsi emergensi
Pemeriksaan emergensi (lihat di bawah)

32

34

Berika glukosa (D50% 50 ml) dan/atau thiamine 250 mg i.v bila ada
kecurigaan penyalahgunaan alkohol atau defisiensi nutrisi
Terapi asidosis bila terdapat asidosis berat
Stadium 3(0-60 menit)

SE Menetap

Pastikan etiologi
Siapkan untuk rujuk ke ICU
Identifikasi dan terapi komplikasi medis yang terjadi
Vasopressor bila diperlukan
Stadium 4 (30-90 menit)
Pindah ke ICU
Perawatan intensif dan monitor EEG
Monitor tekanan intrakranial bila dibutuhkan
Berikan antiepilepsi rumatan jangka panjang
Pemeriksaan emergensi
Pemeriksaan gas darah, glukosa, fungsi liver, fungsi ginjal, kalsium,
magnesium, darah lengkap, faal hemostasis, kadar obat antiepilepsi. Bila
diperlukan pemeriksaan toksikologi bila penyebab status epileptikus tidak
jelas. Foto toraks diperlukan untuk evaluasi kemungkinan aspirasi.
Pemeriksaan lain tergantung kondisi klinis, bisa meliputi pencitraan otak dan
dan pungsi lumbal
Pengawasan
Observasi status neurologis, tanda vital, ECG, biokimia, gas darah,
pembekuan darah, dan kadar OAE. Pasien memerlukan fasilitas ICU penuh
dan dirawat oleh ahli anestesi bersama ahli neurologi.
Monitor EEG perlu pada status epileptikus refrakter. Pertimbangkan
kemungkinankan status epilepsi nonkonvulsif. Pada status epileptikus
konvulsif refrakter, tujuan utama adalah supresi aktivitas epileptik pada EEG,
dengan tujuan sekunder adalah munculnya pola burst suppression.

OAE untuk status epileptikus konvulsif22

34

36

Stadium premonitor (sebelum ke


rumah sakit)

SE Dini

SE Menetap

SE Refraktera

Diazepam 10-20 mg per rektal, dapat


diulangi 15 menit kemudian bila kejang
masih berlanjut, atau midazolam 10 mg
diberikan intrabuccal( belum tersedia di
Indonesia. Bila bangkitan berlanjut,
terapi sebagai berikut.
Lorazepam (intravena) 0,1
mg/kgBB( dapat diberikan 4 mg bolus,
diulang satu kali setelah 10-20 menit).
Berikan OAE yang biasa digunakan bila
pasien sudah pernah mendapat terapi
OAE
Bila bangkitan masih berlanjut terapi
sebagai berikut dibawah ini.
Phenytoin i.v dosis of 15-18 mg/kg
dengan kecepatan pemberian 50
mg/menit dan/atau bolus Phenobarbital
10-15 mg/kg i.v dengan kecepatan
pemberian 100 mg/menit.
Anestesi umum dengan salah satu obat
dibawah ini:
- Propofol 1-2 mg/KgBB bolus,
dilanjutkan 2-10 mg/kg/jam dititrasi
naik sampai SE terkontrol
- Midazolam 0,1-0,2 mg/kg bolus,
dilanjutkan 0,05-0,5 mg/kg/jam dititrasi
naik sampai SE terkontrol
- Thiopental sodium 3-5 mg/kg bolus ,
dilanjut 3-5 mg/kg/jam dititrasi naik
sampai terkontrol

Setelah penggunaan 2-3 hari kecepatan


harus diturunkan karena saturasi pada
lemak.
Anastesi dilanjutkan sampai 12-24 jam
setelah bangkitan klinis atau ektrografis
terakhir, kemudian dosis diturunkan
perlahan
a Anastesi umum dilakukan 60/90 menit setelah terapi awal gagal

KESIMPULAN
36

38

Epilepsi adalah gangguan otak kronis yang mempengaruhi orang-orang di


seluruh dunia dan merupakan suatu kondisi neurologi dengan karakteristik kejang
yang berulang. Lebih dari 50 juta penduduk di seluruh dunia menderita penyakit
ini. 80% dari jumlahnya berasal dari Negara berkembang dan 75%-nya tidak
mendapatkan pengobatan yang tepat. Insiden epilepsi di Negara berkembang
berkisar 6-10 orang per 1000 penduduk.
Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya bangkitan epilepsi
berulang (minimum 2 kali) tanpa provokasi, dengan atau tanpa adanya gambaran
epileptiform pada EEG.

Tujuan utama penatalaksanaan epilepsi adalah

mengupayakan penderita epilepsi dapat hidup normal dan tercapai kualitas hidup
optimal untuk penyandang mental yang dimilikinya. Harapannya adalah bebas
bangkitan, tanpa efek samping. Untuk tercapainya tujuan tersebut diperlukan
beberapa upaya, antara samping/dengan efek samping yang minimal, menurunkan
angka kesakitan dan kematian.

DAFTAR PUSTAKA

38

40

1. World Health Organization. Epilepsy Fact Sheet. 2015


2. World Health Organization. Epilepsy Info Graphic. 2015
3. Harsono, Endang K, Suryani G. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Jakarta:
PERDOSSI; 2011.h.40-50
4. Tjahjadi P, Dikot Y, Gunawan D. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi.
Dalam : Harsono, penyunting. Kapita Selekta Neurologi. Edisi Ke-2.
Yogyakarta : Gajahmada University Press; 2007.h.119-133.
5. Ginsberg L. Lecture Notes : Neurologi. Alih bahasa Wardhani, Indah, Retno.
Edisi 8. Jakarta: Erlangga; 2007.h.79-88
6. Octaviana F. Epilepsi. Medicinus 2008;21(4):121-124.
7. Purba JS. Epilepsi : Permasalahan di Reseptor atau Neurotrasmitter.
Medicinus 2008;21(4):99-100.
8. Lumbantobing S. Etiologi Dan Faal Sakitan Epilepsi. Dalam: Soetomenggolo
Taslim, Ismael Sofyan, Penyunting. Neurologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI; 1999.h.197-203.
9. Panayiotopoulus CP. The Epilepsies Seizure, Syndrome and Management.
Blandom Medical Publishing. UK; 2005; 1-26.
10. Commission on Classification and Terminology of International Leage
Against Epilepsi. Proposal for Revised Classsification of Epilepsies and
Epileptic Syndrome. Epilepsia July-August 1989; 30(4):389-99.
11. Pinzon R. Karakteristik Epidemiologi Onset Anak-Anak; Telaah Pustaka
Terkini. Dexa Media 2006;19(3):131-133.
12. Raharjo TB. Faktor-Faktor Risiko Epilepsi pada Anak di Bawah Usia 6
Tahun [Tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro; 2007.
13. Sunaryo U. Diagnosis Epilepsi Lengkap. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya
Kusuma 2007;1(1):1-68.
14. KwanP, Schacter SC, Brodie MJ. Drug resistant epilepsi. New England
Journal Medicine 2011: 365: 919-26. (Supplementary appendix)
15. Gummit RJ. The Epilepsi Handbook: The practical management of seizure.
2nd ed. New York: Raven Press 1995: 12-22

40

42

16. Perucha E. General Principles of Mediacal Treatment. In Sorvon S, Perucha


E, Fish D, Dodson E. The Treatment of Epilepsi 2nd ed. Blacwell science.
USA 2004; 139-160
17. Dulac

O,

Leppik

Comprehensive

IF.

Initiating

Textbook

and

Epilepsi.

Discontinuing

Treatment

Lippincott-Raven

1st

in
ed.

Philadelphia.1998; 1237-46
18. Brodie MJ,Schacter SC,Kwan P. Fast Facts: Epilepsi 3rd Ed. Health Press
Limited. UK 2005:37-84
19. Sorvon S Handbook Epilepsi of Treatment. Blacwell science. Toronto
2000;34-84
20. Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press; 2005.

21. Pinzon R. Karakteristik Prognosis Epilepsi. Dexa Media 2006;19(3):134-137.


22. National institute of clinical Excellence. The epilepsies: the diagnosis and
management of the epilepsies in adult and children in primary and secondary
car. NICE Clinical guideline 137. London January,2012

42

Anda mungkin juga menyukai