Anda di halaman 1dari 12

Pengembangan Lahan Basah

Dosen Pembimbing:
Ir.Siswanto, MT

DISUSUN OLEH : Kelompok III


Kelas A

Ramadhani Harahap

(1307123125)

Rosmiati Ahmad

(1307113062)

Suriyati

(1307123235)

PROGRAM STUDI-TEKNIK SIPIL-S1


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2015
PENDAHULUAN

Basah

Pengembangan Lahan

Di daerah tropis, penggunaan lahan gambut dimulai pada tahun 1900-an. Penebangan
hutan dan pembakaran lahan dilakukan untuk tujuan pertanian dan pemukiman.
Di Asia Tenggara terdapat 70% dari total gambut tropik dunia terutama di Indonesia dan
Malaysia. Di Indonesia lahan gambut tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya.
Tidak seluruh lahan ini bisa dikembangkan, tetapi diperkirakan masih mungkin untuk
dimanfaatkan seluas 5,6 juta hektar (Subagyo et al, 1996).
Sejalan dengan pertambahan penduduk dan keterbatasan lahan pertanian menyebabkan
pilihan diarahkan pada lahan gambut baik untuk kepentingan pertanian maupun untuk
pemukiman penduduk. Penggunaan lahan gambut untuk pertanian dengan semestinya dan
efisien akan memberikan sumbangan bagi kelangsungan pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Dengan kata lain, pemanfaatan lahan gambut yang dengan tidak semestinya akan menyebabkan
kehilangan salah satu sumber daya yang berharga, dikarenakan lahan gambut merupakan lahan
marginal dan merupakan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui.
Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian dan usaha-usaha yang berkaitan dengan
pertanian berkembang cukup pesat. Berbagai tanaman semusim dan tanaman tahunan dapat
dibudidayakan pada lahan gambut tetapi yang paling berhasil atau menunjukkan harapan adalah
tanaman sayuran, tanaman buah-buahan (seperti nanas, pepaya dan rambutan) dan tanaman
perkebunan (terutama kelapa, kelapa sawit, kopi dan karet).
Pengembangan pertanian pada lahan gambut menghadapi banyak kendala yang berkaitan
dengan sifat tanah gambut. Menurut Soepardi (1979) dalam Mawardi et al, (2001), secara umum
sifat kimia tanah gambut didominasi oleh asam-asam organik yang merupakan suatu hasil
akumulasi sisa-sisa tanaman. Asam organik yang dihasilkan selama proses dekomposisi tersebut
merupakan bahan yang bersifat toksid bagi tanaman, sehingga mengganggu proses metabolisme
tanaman yang akan berakibat langsung terhadap produktifitasnya. Sementara itu secara fisik
tanah gambut bersifat lebih berpori dibandingkan tanah mineral sehingga hal ini akan
mengakibatkan cepatnya pergerakan air pada gambut yang belum terdekomposisi dengan
sempurna sehingga jumlah air yang tersedia bagi tanaman sangat terbatas.

Basah

Pengembangan Lahan

Penyebaran Lahan Gambut


Lahan gambut mempunyai penyebaran di lahan rawa, yaitu lahan yang menempati posisi
peralihan diantara daratan dan sistem perairan. Lahan ini sepanjang tahun/selama waktu yang
panjang dalam setahun selalu jenuh air (water logged) atau tergenang air. Tanah gambut terdapat
di cekungan, depresi atau bagian-bagian terendah di pelimbahan dan menyebar di dataran rendah
sampai tinggi. Yang paling dominan dan sangat luas adalah lahan gambut yang terdapat di lahan
rawa di dataran rendah sepanjang pantai. Lahan gambut sangat luas umumnya menempati
depresi luas yang menyebar diantara aliran bawah sungai besar dekat muara, dimana gerakan
naik turunnya air tanah dipengaruhi pasang surut harian air laut.
Berdasarkan tingkat kesuburan alami, gambut dibagi dalam 3 kelompok yakni:
eutrofik (kandungan mineral tinggi, reaksi gambut netral atau alkalin),
oligotrofik (kandungan mineral, terutama Ca rendah dan reaksi masam) dan
mesotrofik ( terletak diantara keduanya dengan pH sekitar 5, kandungan basa sedang).

Berdasarkan lingkungan tumbuh dan pengendapannya gambut di Indonesia dapat dibagi


menjadi dua jenis yaitu:
(1) gambut ombrogenous, dimana kandungan airnya hanya berasal dari air hujan. Gambut jenis
ini dibentuk dalam lingkungan pengendapan dimana tumbuhan pembentuk yang semasa
hidupnya hanya tumbuh dari air hujan, sehingga kadar abunya adalah asli (inherent) dari
tumbuhnya itu sendiri
(2) gambut topogenous, dimana kandungan airnya hanya berasal dari air permukaan. Jenis
gambut ini diendapkan dari sisa tumbuhan yang semasa hidupnya tumbuh dari pengaruh elemen
yang terbawa oleh air permukaan tersebut.
Daerah gambut topogenous lebih bermanfaat untuk lahan pertanian dibandingkan dengan
gambut ombrogenous, karena gambut topogenous mengandung relatif lebih banyak unsur hara
(Rismunandar, 2001).

Basah

Pengembangan Lahan

Sifat-sifat Tanah Gambut


Diantara sifat inheren yang penting dari tanah gambut di daerah tropis adalah : bahan
penyusun berasal dari kayu-kayuan, dalam keadaan tergenang, sifat menyusut dan subsidence
( penurunan permukaan gambut) karena drainase, kering tidak balik, pH yang sangat rendah dan
status kesuburan tanah yang rendah. Pengembangan usaha pertanian sangat dibatasi oleh
beberapa hal di atas (Andriesse, 1988).
A. Sifat Fisik
Gambut tropis umumnya berwarna coklat kemerahan hingga coklat tua (gelap)
tergantung tahapan dekomposisinya. Kandungan air yang tinggi dan kapasitas memegang air 1530 kali dari berat kering, rendahnya bulk density (0,05-0,4 g/cm3) dan porositas total diantara 7595% menyebabkan terbatasnya penggunaan mesin-mesin pertanian dan pemilihan komoditas
yang akan diusahakan (Ambak dan Melling, 2000)
Sebagai contoh di Malaysia, tiga komoditas utama yaitu kelapa sawit, karet dan kelapa
cenderung pertumbuhannya miring bahkan ambruk sebagai akibat akar tidak mempunyai
tumpuan tanah yang kuat (Singh et al, 1986).
Sifat lain yang merugikan adalah apabila gambut mengalami pengeringan yang
berlebihan sehingga koloid gambut menjadi rusak. Terjadi gejala kering tak balik (irreversible
drying) dan gambut berubah sifat seperti arang sehingga tidak mampu lagi menyerap hara dan
menahan air (Subagyo et al, 1996). Gambut akan kehilangan air tersedia setelah 4-5 minggu
pengeringan dan ini mengakibatkan gambut mudah terbakar.
B. Sifat Kimia
Ketebalan horison organik, sifat subsoil dan frekuensi luapan air sungai mempengaruhi
komposisi kimia gambut. Pada tanah gambut yang sering mendapat luapan, semakin banyak
kandungan mineral tanah sehingga relatif lebih subur.
Tanah gambut tropis mempunyai kandungan mineral yang rendah dengan kandungan bahan
organik lebih dari 90%. Secara kimiawi gambut bereaksi masam (pH di bawah 4) Andriesse
(1988). Gambut dangkal pH lebih tinggi (4,0-5,1), gambut dalam (3,1-3,9). Kandungan N total
3

Basah

Pengembangan Lahan

tinggi tetapi tidak tersedia bagi tanaman karena rasio C/N yang tinggi. Kandungan unsur mikro
khususnya Cu, B dan Zn sangat rendah ( Subagyo et al, 1996).
Di Malaysia, pH gambut berkisar antara 3,2 4,9 sedangkan di pantai timur Sumatera
berkisar 3,42 4,3. Gambut yang berkembang disepanjang pantai timur Sumatera mempunyai
sifat-sifat : gambut dalam (lebih dari 4 m) dengan status hara kahat N, P, K, Mg, Ca, Zn dan B
berada dalam keadaan cukup, sedangkan faktor pembatas utama pada lahan gambut adalah tidak
tersedianya unsur Cu bagi tanaman (Sudradjat dan Qusairi, 1992).
Pengelolaan Air
1. Drainase
Drainase merupakan prasyarat untuk usaha pertanian, walaupun hal tersebut bukanlah
suatu yang mudah untuk dilakukan mengingat sifat dari gambut yang bisa mengalami
penyusutan dan kering tidak balik akibat drainase, sehingga sebelum mereklamasi lahan gambut
perlu diketahui sifat spesifik gambut, peranan dan fungsinya bagi lingkungan.
Drainase yang baik untuk pertanian gambut adalah drainase yang tetap mempertahankan
batas air kritis gambut akan tetapi tetap tidak mengakibatkan kerugian pada tanaman yang akan
berakibat pada hasil. Intensitas drainase bervariasi tergantung kondisi alami tanah dan curah
hujan. Curah hujan yang tinggi (4000-5000 mm per tahun)(Ambak dan Melling, 2000)
membutuhkan sistem drainase untuk meminimalkan pengaruh banjir.
Setelah drainase dan pembukaan lahan gambut, umumnya terjadi subsidence yang relatif
cepat yang akan berakibat menurunya permukaan tanah. Subsidence dan dekomposisi bahan
organik dapat menimbulkan masalah apabila bahan mineral di bawah lapis gambut terdiri dari
lempeng pirit atau pasir kuarsa. Kerapatan lindak yang rendah berakibat kemampuan menahan
(bearing capacity) tanah gambut juga rendah, sehingga pengolahan tanah sulit dilakukan secara
mekanis atau dengan ternak. Kemampuan menahan yang rendah juga juga merupakan masalah
bagi untuk tanaman pohon-pohonan atau tanaman semusim yang rentan terhadap kerebahan
(lodging) (Radjagukguk, 1990).
Bagi tanaman perkebunan, usaha perbaikan drainase dilakukan dengan pembuatan kanal
primer, kanal sekunder dan kanal tersier. Hasil penelitian sementara di PT. RSUP menunjukkan
bahwa kelapa hybrida PB 121 pada umur 4 tahun (4-5 tahun setelah tanam adalah 1,5 ton
4

Basah

Pengembangan Lahan

kopra/ha). Angka ini sementara 5 kali lebih besar dari hasil yang dicapai di negara asalnya Afrika
dimana PB 121 pada umur 4 tahun menghasilkan 0,26 ton kopral/ha (Thampan, 1981 dalam
Sudradjat dan Qusairi, 1992).
2. Irigasi
Ketika batas kritis air dapat dikontrol pada level optimum untuk pertumbuhan tanaman,
pengelolan air bukan merupakan suatu masalah kecuali pada tahap awal pertumbuhan tanaman.
Jika batas kritis air tidak dapat terkontrol dan lebih rendah dari kebutuhan air semestinya, irigasi
perlu dilakukan terutama bagi tanaman tertentu. Hal ini penting untuk memasok kebutuhan air
tanaman dan menghindari sifat kering tidak balik. Sayuran berdaun banyak, menunjukkan layu
pada keadaan udara panas. Kondisi ini mungkin merupakan pengaruh dari dangkalnya profil
tanah yang dapat dicapai oleh akar tanaman dan kehilangan air akibat transpirasi yang lebih
cepat daripada tanah mineral (Ambak dan Melling, 2000).
Tanaman mempunyai tahapan pertumbuhan yang sensitif terhadap stress air yang
berbeda. Pengetahuan tentang tahapan tersebut akan mempermudah irigasi pada saat yang tepat
sehingga mengurangi terjadinya stress air dan penggunaan air yang optimum. Untuk penanaman
tanaman semusim, pengaturan irigasi harus mempertimbangkan saat dan kebutuhan tanaman dan
disesuaikan dengan ketersediaan air tanah diatas water table, jumlah air hujan, distribusi dan
jumlah evapotranspirasi (Lucas,1982)..
Tabel 1. Daftar kebutuhan air tanaman yang diusahakan di lahan gambut
Tanaman

Kebutuhan

Kelapa Sawit
Nanas
Sagu
Cassava

(cm)
50-75
60-90
20-40
15-30

Kacang Tanah
65-85
Kedelai
25-45
Jagung
75
Ubi jalar
25
Asparagus
25
Sayuran
30-60
Sumber : Ambak dan Melling (2000)

air Sumber
Singh et al (1986)
Tay (1980); Zahari et al (1989)
Melling et al, 1998
Tan dan Ambak (1989); Zahari et al,
(1989)
Ambak et al, (1992)
Ambak et al (opcit)
Ambak et al, (opcit)
Ambak et al, (opcit)
Ambak et al, (opcit)
Leong dan Ambak, (1987)
5

Basah

Pengembangan Lahan

3. Penggenangan
Untuk meminimalkan terjadinya subsidence, langkah yang bisa dilakukan adalah tetap
mempertahankan kondisi tergenang tersebut dengan mengadopsi tanaman-tanaman sejenis
hidrofilik atau tanaman toleran air yang memberikan nilai ekonomi seperti halnya Eleocharis
tuberosa, bayam cina (Amaranthus hybridus), kangkung (Ipomoea aquatica) dan seledri air. Di
Florida ketika

tanaman tertentu tidak bisa dibudidayakan karena perubahan

musim,

penggenangan dilakukan dan digunakan untuk budidaya tanaman air tersebut (Ambak dan
Melling, 2000).

Pengelolaan Tanah
Tanah gambut sebenarnya merupakan tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman bila
ditinjau dari jumlah pori-pori yang berkaitan dengan pertukaran oksigen untuk pertumbuhan akar
tanaman. Kapasitas memegang air yang tinggi daripada tanah mineral menyebabkan tanaman
bisa berkembang lebih cepat. Akan tetapi dengan keberadaan sifat inheren yang lain seperti
kemasaman yang tinggi, kejenuhan basa yang rendah dan miskin unsur hara baik mikro maupun
makro menyebabkan tanah gambut digolongkan sebagai tanah marginal (Limin et al, 2000).
Untuk itulah perlunya usaha untuk mengelola tanah tersebut dengan semestinya.
Cara pengelolaan tanah,Diantaranya:
1. Pembakaran
Pembakaran merupakan cara tradisional yang sering dilakukan petani untuk menurunkan
tingkat kemasaman tanah gambut. Terjadinya pembakaran bahan organik menjadi abu berakibat
penghancuran tanah serta menurunkan permukaan tanah. Pembakaran berpengaruh nyata
terhadap pertumbuhan tanaman pada tahun pertama dan meningkatkan serapan P tanaman,
namun akan menurunkan serapan Ca dan Mg (Mawardi et al, 2001).
2. Bahan pembenah tanah
Pemberian pupuk dan amandemen dalam komposisi dan takaran yang tepat dapat
mengatasi masalah keharaan dan kemasaman tanah gambut. Unsur hara yang umumnya perlu
ditambahkan dalam bentuk pupuk adalah N, P, K, Ca, Mg serta sejumlah unsur hara mikro
6

Basah

Pengembangan Lahan

terutama Cu, Zn dan Mo.Sebagai amandemen, abu hasil pembakaran gambut itu sendiri akan
berpengaruh menurunkan kemasaman tanah, memasok unsur hara dan mempercepat
pembentukan lapis olah yang lebih baik sifat fisikanya (Radjagukguk, 1990).
Di Sumatera Barat ditemukan bahan amelioran baru Harzburgite yang defositnya cukup
besar dan kandungan Mg yang tinggi (27,21 32,07% MgO) yang merupakan bahan potensial
untuk ameliorasi lahan gambut (Mawardi et al, 2001).
Pupuk kandang khususnya kotoran ayam dibandingkan dengan kotoran ternak yang lainnya
mengandung beberapa unsur hara makro dan mikro tertentu dalam jumlah yang banyak.
Kejenuhan basanya tinggi, tetapi kapasitas tukar kation rendah. Kotoran ayam, dalam
melepaskan haranya berlangsung secara bertahap dan lama. Tampaknya, pemberian kotoran
ayam memungkinkan untuk memperbaiki sifat fisika dan kimia tanah gambut.

PROSPEK UNTUK PENGEMBANGAN PERTANIAN


Potensi pengembangan pertanian pada lahan gambut, disamping faktor kesuburan alami
gambut juga sangat ditentukan oleh tingkat manajemen usaha tani yang akan diterapkan. Pada
pengelolaan lahan gambut pada tingkat petani, dengan pengelolaan usaha tani termasuk tingkat
rendah (low inputs) sampai sedang (medium inputs), akan berbeda dengan produktivitas lahan
dengan tingkat manajemen tinggi yang dikerjakan oleh swasta atau perusahaan besar (Subagyo
et al, 1996)
potensi pengembangan lahan gambut untuk pertanian adalah sebagai berikut :
Pemilihan jenis tanaman
1. Padi sawah
Budidaya padi sawah selalu diupayakan oleh petani transmigrasi untuk memenuhi
kebutuhan pangannya. Akan tetapi budidaya padi sawah di lahan gambut dihadapkan pada
berbagai masalah terutama menyangkut kendala-kendala fisika, kesuburan serta pengelolaan
tanah dan air. Khususnya gambut tebal ( 1 m ) belum berhasil dimanfaatkan untuk budidaya
padi sawah, karena mengandung sejumlah kendala yang belum dapat diatasi. Kunci keberhasilan
budidaya padi sawah pada lahan gambut terletak pada keberhasilan dalam pengelolaan dan
7

Basah

Pengembangan Lahan

pengendalian air, penanganan sejumlah kendala fisik yang merupakan faktor pembatas,
penanganan substansi toksik dan pemupukan unsur makro dan mikro (Radjagukguk, 1990).
Lahan gambut yang sesuai untuk padi sawah adalah gambut dengan (20-50 cm gambut)
dan gambut dangkal (0,5-1 m). Padi kurang sesuai pada gambut sedang (1-2 m) dan tidak sesuai
pada gambut tebal (2-3 m) dan sangat tebal (lebih dari 3 m). Pada gambut tebal dan sangat tebal,
tanaman padi tidak dapat membentuk gabah karena kahat unsur hara mikro(Subagyo et al, 1996).
Pada tanah sawah dengan kandungan bahan organik tinggi, asam-asam organik
menghambat pertumbuhan, terutama akar, mengakibatkan rendahnya produktivitas bahkan
kegagalan panen. Leiwakabessy dan Wahjudin (1979) dalam Radjagukguk (1990) menunjukkan
hubungan erat antara ketebalan gambut dan produksi gabah padi sawah. Pada percobaan pot
dengan tanah yang diambil dari lapis 0-20 cm, diperoleh hasil gabah padi (ditanam secara sawah)
yang sangat rendah apabila tebal gambut 80 cm, dan yang paling tinggi apabila ketebalan
gambut 50 cm. Ditunjukkan pula bahwa ada kesamaan antara pola perubahan kejenuhan Ca,
kejenuhan Mg, pH dan kandungan abu bersama ketebalan gambut dengan perubahan tingkat
hasil gabah. Sehingga kemungkinan tingkat kemasaman dan suplai Ca yang rendah serta
kandungan abu yang rendah merupakan faktor pembatas utama pertumbuhan padi sawah pada
gambut tebal.
Tidak terbentuknya gabah menurut Andriesse (1988) dan Driessen (1978) berkaitan
dengan defisiensi Cu yang akan menyebabkan meningkatnya aktivitas racun fenolik dan
menyebabkan male sterility pada tanaman padi.
2. Tanaman perkebunan dan industri
Budidaya tanaman-tanaman perkebunan berskala besar banyak dikembangkan di lahan
gambut terutama oleh perusahaan-perusahaan swasta. Pengusahaan tanaman-tanaman ini
kebanyakan dikembangkan di propinsi Riau dengan memanfaatkan gambut tebal. Sebelum
penanaman, dilakukan pemadatan tanah dengan menggunakan alat-alat berat. Sistem drainase
yang tepat sangat menentukan keberhasilan budidaya tanaman perkebunan di lahan tersebut.
Pengelolaan kesuburan tanah yang utama adalah pemberian pupuk makro dan mikro
(Radjagukguk, 1990). Tanaman perkebunan sesuai ditanam pada ketebalan gambut 1-2 m dan
sangat tebal (2-3 m) (Subagyo et al, 1996)
8

Basah

Pengembangan Lahan

Di Malaysia, diantara tanaman perkebunan yang lain seperti kelapa sawit, sagu, karet,
kopi dan kelapa, nanas (Ananas cumosus) merupakan tanaman yang menunjukkan adaptasi yang
tinggi pada gambut berdrainase. Nanas bisa beradaptasi dengan baik pada keadaan kemasaman
yang tinggi dan tingkat kesuburan yang rendah. Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman
tahunan yang cukup sesuai pada lahan gambut dengan ketebalan sedang hingga tipis dengan
hasil sekitar 13 ton/ha pada tahun ketiga penanaman (Ambak dan Melling, 2000). Percobaanpercobaan yang dilakukan oleh PT. RSUP di Indragiri Hilir, menunjukkan bahwa tanaman nenas
tumbuh dengan baik dan mulai berbuah 14 bulan setelah tanam.
Dari hasil sementara menunjukkan bahwa, penanaman nanas dengan kerapatan 20.000
pohon/ha yang ditanam diantara jalur kelapa, tumpangsari kelapa nenas memberikan prospek
yang sangat cerah (Sudradjat dan Qusairi, 1992). Sagu bisa beradaptasi dengan baik dan
memberikan hasil bagus tanpa pemberian input pupuk (Ahmad dan Sim, 1976) pada gambut
dengan minimum drainase, walaupun umur tanaman sampai menghasilkan buah sangat lama (1520 tahun).
Untuk jenis-jenis pohon buah banyak ditemukan di Sumatra dan Kalimantan seperti
jambu air (Eugenia) Mangga (Mangosteen), rambutan (Ambak dan Melling, 2000) sedangkan di
daerah pantai Ivory dengan gambut termasuk oligotropik, pisang dapat tumbuh dengan drainase
80-100 cm dan menghasilkan 25-40 ton/ha walaupun dengan pengelolaan yang agak sulit
(Andriesse, 1988) .
Komoditas lain yang berpotensi ekonomi untuk dikembangkan guna memenuhi kebutuhan
domestik adalah tanaman industri/keras seperti kelapa, kopi, lada dan tanaman obat
(Abdurachman dan Suriadikarta, 2000).
Tanaman rami dan obat-obatan tumbuh dan berproduksi baik pada gambut sedang dan kurang
baik pada gambut sangat dalam (3-5 m) (Subagyo et al, 1996).
3. Tanaman pangan (palawija) dan tanaman semusim lainnya
Tanah gambut yang sesuai untuk tanaman semusim adalah gambut dangkal dan gambut
sedang. Pengelolaan air perlu diperhatikan agar air tanah tidak turun terlalu dalam atau drastis
untuk mencegah terjadinya gejala kering tidak balik (Subagyo et al, 1996)

Basah

Pengembangan Lahan

Tanaman pangan memerlukan kondisi drainase yang baik untuk mencegah penyakit
busuk pada bagian bawah tanaman dan meminimalkan pemakaian pupuk. Cassava (Manihot
esculenta) atau tapioka menghasilkan lebih dari 50 ton/ha dengan pengelolaan yang baik dan
merupakan tanaman pangan yang penting pada gambut oligotropik tropis dengan drainase yang
baik (Andriesse, 1988).
Di Bengkulu, penanaman jagung dengan penerapan teknologi yang spesifik untuk lahan
gambut (teknologi Tampurin) diperoleh hasil 3,29 ton/ha pada varietas Pioneer-12 (Manti et al,
2001).
Sementara untuk tanaman sayuran, Satsiyati (1992) dalam Abdurachman dan Suriadikarta (2000)
menyebutkan beberapa tanaman hortikultura yang berpotensi ekonomi untuk dikembangkan di
lahan gambut eks PLG yaitu cabai, semangka dan nenas .
Di daerah Kalampangan yang merupakan penghasil sayuran untuk Palangkaraya Kalimantan
Tengah, petani setempat mengembangkan sayuran diantaranya sawi, kangkung, mentimun yang
diusahakan secara monokultur dalam skala kecil dalam lahan kurang lebih 0,25 hektar (Limin et
al, 2000). Di samping itu beberapa lahan gambut yang termasuk lahan bongkor bisa diusahakan
untuk berbagai tanaman seperti cabai besar/keriting/kecil, terong, tomat, sawi, seledri, bawang
daun, kacang panjang, paria, mentimun, jagung sayur, jagung manis, dan buah-buahan
(mangga, rambutan, melinjo, sukun, nangka, pepaya, nanas dan pisang) karena lahan gambut
tersebut termasuk tipe luapan C/D (tidak dipengaruhi air pasang surut, hanya melalui rembesan
air tanah50 cm di bawah permukaan tanah pada musim kemarau dan 50 cm pada musim
hujan) (Ardjakusuma et al, 2001)
Teknis Bertanam
Untuk menghindari penurunan permukaan tanah (subsidence) tanah gambut melalui
oksidasi biokimia, permukaan tanah harus dipertahankan agar tidak gundul. Beberapa vegetasi
seperti halnya rumput-rumputan atau leguminose dapat dibiarkan untuk tumbuh disekeliling
tanaman kecuali pada lubang tanam pokok seperti halnya pada perkebunan kelapa sawit dan
kopi. Beberapa jenis legume menjalar seperti Canavalia maritima dapat tumbuh dengan unsur
hara minimum (Singh, 1986) dan menunjukkan toleransi yang tinggi terhadap kemasaman.

10

Basah

Pengembangan Lahan

Pembakaran seperti yang dilakukan pada perkebunan nanas harus mempertimbangkan


pengaruhnya terhadap kebakaran lingkungan sekitarnya. Akan lebih baik bila penyiangan
terhadap gula dikembalikan lagi ke dalam tanah (dibenamkan) yang akan berfungsi sebagai
kompos sehingga selain bisa memberikan tambahan hara juga dapat membantu mempertahankan
penurunan permukaan tanah melalui subsidence (Ambak dan Melling, 2000).
Untuk tanaman hortikultura, pembakaran seresah bisa dilakukan pada tempat yang khusus
dengan ukuran 3 X 4 m. Dasar tempat pembakaran diberi lapisan tanah mineral/liat setebal 20
cm dan sekelilingnya dibuat saluran selebar 30 cm. Kedalaman saluran disesuaikan dengan
kedalaman air tanah dan ketinggian air dipertahankan 20 cm dari permukaan tanah agar gambut
tetap cukup basah. Ini dimaksudkan agar pada waktu pembakaran, api tidak menyebar.
Ardjakusuma et al (2001).

11

Anda mungkin juga menyukai