Anda di halaman 1dari 57

A.

Kesehatan dalam Sosial Budaya


Seperti kita ikuti bersama, akhir-akhir ini diskusi tentang global change
banyak diangkat. Berbagai perubahan sosial, ekonomi, budaya, teknologi
dan politik mengharuskan jalinan hubungan di antara masyarakat
manusia di seluruh dunia. Fenomena ini dirangkum dalam terminologi
globalisation. Ditengah riuh rendah globalisasi inilah muncul wacana
Dampak Perubahan Sosial dan Budaya. Dampak dari perubahan sosial
dan budaya sendiri diartikan sebagai perubahan dalam skala besar pada
sistem bio-fisik dan ekologi yang disebabkan aktifitas manusia. Perubahan
ini terkait erat dengan sistem penunjang kehidupan planet bumi (lifesupport system). Ini terjadi melalui proses historis panjang dan
merupakan agregasi pengaruh kehidupan manusia terhadap lingkungan,
yang tergambar misalnya pada angka populasi yang terus meningkat,
aktifitas ekonomi, dan pilihan-pilihan teknologi dalam memacu
pertumbuhan ekonomi. Saat ini pengaruh dan beban terhadap lingkungan
hidup sedemikian besar, sehingga mulai terasa gangguan-gangguan
terhadap Sistem Bumi kita.
Perubahan sosial dan budaya yang terjadi seiring tekanan besar yang
dilakukan manusia terhadap sistem alam sekitar, menghadirkan berbagai
macam risiko kesehatan dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.
Sebagai contoh, kita terus mempertinggi konsentrasi gas-gas tertentu yang
menyebabkan meningkatkan efek alami rumah kaca (greenhouse) yang
mencegah bumi dari pendinginan alami (freezing). Selama abad 20 ini,
suhu rata-rata permukaan bumi meningkat sekitar 0,6oC dan sekitar duaper-tiga pemanasan ini terjadi sejak tahun 1975. Dampak perubahan sosial
dan budaya penting lainnya adalah menipisnya lapisan ozon, hilangnya
keaneragaman hayati (bio-diversity), degradasi kualitas lahan,
penangkapan ikan melampaui batas (over-fishing), terputusnya siklus
unsur-unsur penting (misalnya nitrogen, sulfur, fosfor), berkurangnya
suplai air bersih, urbanisasi, dan penyebaran global berbagai polutan
organik. Dari kacamata kesehatan, hal-hal di atas mengindikasikan bahwa
kesehatan umat manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor yang terjadi di
luar batas kemampuan daya dukung ruang lingkungan dimana mereka
hidup.
Dalam skala global, selama seperempat abad ke belakang, mulai tumbuh
perhatian serius dari masyarakat ilmiah terhadap penyakit-penyakit yang
terkait dengan masalah lingkungan, seperti kanker yang disebabkan racun
tertentu (toxin related cancers), kelainan reproduksi atau gangguan
pernapasan dan paru-paru akibat polusi udara. Secara institusional
International Human Dimensions Programme on Global Environmental
Change (IHDP) membangun kerjasama riset dengan Earth System Science
Partnership dalam menyongsong tantangan permasalahan kesehatan dan
Dampak dari perubahan sosial dan budaya.
Pengaruh perubahan iklim global terhadap kesehatan umat manusia
bukan pekerjaan mudah. Dibutuhkan kerja keras dan pendekatan interdisiplin diantaranya dari studi evolusi, bio-geografi, ekologi dan ilmu
1

sosial. Di sisi lain kemajuan teknik penginderaan jauh (remote sensing)


dan aplikasi-aplikasi sistem informasi geografis akan memberikan
sumbangan berarti dalam melakukan monitoring lingkungan secara multitemporal dan multi-spatial resolution. Dua faktor ini sangat relevan
dengan tantangan studi dampak perubahan sosial dan budaya terhadap
kesehatan lingkungan yang memerlukan analisa historis keterkaitan
dampak perubahan sosial dan budaya dan kesehatan serta analisa
pengaruh perubahan sosial dan budaya di tingkat lokal, regional hingga
global.
B. Bagaimana Perubahan Sosial dan Budaya Mempengaruhi
Kesehatan Manusia?
Ada tiga alur tingkatan pengaruh perubahan sosial dan budaya terhadap
kesehatan. Pengaruh ini dari urutan atas ke bawah menunjukkan
peningkatan kompleksitas dan pengaruhnya bersifat semakin tidak
langsung pada kesehatan. Pada alur paling atas, terlihat bagaimana
perubahan pada kondisi mendasar lingkungan fisik (contohnya: suhu
ekstrim atau tingkat radiasi ultraviolet) dapat mempengaruhi biologi
manusia dan kesehatan secara langsung (misalnya sejenis kanker kulit).
Alur pada dua tingkatan lain, di tengah dan bawah, mengilustrasikan
proses-proses dengan kompleksitas lebih tinggi, termasuk hubungan
antara kondisi lingkungan, fungsi-fungsi ekosistem, dan kondisi sosialekonomi.
Alur tengah dan bawah menunjukkan tidak mudahnya menemukan
korelasi langsung antara perubahan lingkungan dan kondisi kesehatan.
Akan tetapi dapat ditarik benang merah bahwa perubahan-perubahan
lingkungan ini secara langsung atau tidak langsung bertanggung jawab
atas faktor-faktor penyangga utama kesehatan dan kehidupan manusia,
seperti produksi bahan makanan, air bersih, kondisi iklim, keamanan
fisik, kesejahteraan manusia, dan jaminan keselamatan dan kualitas
sosial. Para praktisi kesehatan dan lingkungan pun akan menemukan
banyak domain permasalahan baru di sini, menambah deretan
permasalahan pemunculan toksi-ekologi lokal, sirkulasi lokal penyebab
infeksi, sampai ke pengaruh lingkungan dalam skala besar yang bekerja
pada gangguan kondisi ekologi dan proses penyangga kehidupan ini.
Jelaslah bahwa resiko terbesar dari dampak perubahan sosial dan budaya
atas kesehatan dialami mereka yang paling rentan lokasi geografisnya atau
paling rentan tingkat sumber daya sosial dan ekonominya.
C. Aktifitas Penduduk bagi Kesehatan
Sebagaimana disinggung di atas, masyarakat manusia sangat bervariasi
dalam tingkat kerentanan terhadap serangan kesehatan. Kerentanan ini
merupakan fungsi dari kemampuan masyarakat dalam beradaptasi
terhadap perubahan iklim dan lingkungan. Kerentanan juga bergantung
pada beberapa faktor seperti kepadatan penduduk, tingkat ekonomi,
ketersediaan makanan, kondisi lingkungan lokal, kondisi kesehatannya itu
sendiri, dan kualitas serta ketersediaan fasilitas kesehatan publik.
2

Wabah demam berdarah yang melanda negeri kita menyiratkan betapa


rentannya kondisi kesehatan-lingkungan di Indonesia saat ini, baik dilihat
dari sisi antisipasi terhadap wabah, kesigapan peanggulangannya sampai
pada penanganan para penderita yang kurang mampu. Merebaknya
wabah di kawasan urban juga menyiratkan kerentanan kondisi lingkungan
dan kerentanan sosial-ekonomi. Hal ini terkait dengan patron penggunaan
lahan, kepadatan penduduk, urbanisasi, meningkatnya kemiskinan di
kawasan urban, selain faktor lain seperti rendahnya pemberantasan
nyamuk vektor penyakit sejak dini, atau resistensi nyamuk sampai
kemungkinan munculnya strain atau jenis virus baru.
Pada dekade lalu penelitian ilmiah yang menghubungkan pengaruh
perubahan iklim global terhadap kesehatan dapat dirangkum dalam tiga
katagori besar. Pertama, studi-studi empiris untuk mencari salinghubungan antara kecenderungan dan variasi iklim dengan keadaan
kesehatan. Kedua, studi-studi untuk mengumpulkan bukti-bukti
munculnya masalah kesehatan sebagai akibat perubahan iklim. Ketiga,
studi-studi pemodelan kondisi kesehatan di masa depan. Penelitian
empiris jenis pertama dan kedua dimanfaatkan untuk mengisi kekosongan
pengetahuan serta memperkirakan kondisi kesehatan sebagai tanggapan
terhadap perubahan iklim dan lingkungan (scenario-based health risk
assessment).
Akan tetapi, menimbang variasi kerentanan sosial-ekonomi yang telah
kita singgung, keberhasilan sumbangan ilmiah di atas hanya akan optimal
jika didukung paling tidak dua faktor lain, yaitu faktor administratiflegislatif dan faktor cultural-personal (kebiasaan hidup). Administrasilegislasi adalah pembuatan aturan yang memaksa semua orang atau
beberapa kalangan tertentu untuk melakukan tindakan-tindakan preventif
dan penanggulangan menghadapi masalah ini. Cakupan kerja faktor ini
adalah dari mulai tingkatan supra-nasional, nasional sampai tingkat
komunitas tertentu. Selanjutnya secara kultural-personal masyarakat
didorong secara sadar dan sukarela untuk melakukan aksi-aksi yang
mendukung kesehatan-lingkungan melalui advokasi, pendidikan atau
insentif ekonomi. Faktor ini dikerjakan dari tingkatan supra-nasional
sampai tingkat individu.
D. Upaya yang Dapat Dilakukan
Aktifitas penelitian yang menghubungkan kajian lingkungan dan
kesehatan secara integral serta kerja praktis sistematis dari hasil
penelitian ilmiah di atas masih sangat sedikit dilakukan di Indonesia.
Menghadapi tantangan lingkungan dan kesehatan ini diperlukan
terobosan-terobosan institusional baru diantara lembaga terkait
lingkungan hidup dan kesehatan, misalnya dilakukan rintisan kerjasama
intensif yang diprakarsai Departemen Kesehatan, Departemen Sosial dan
Kementerian Lingkungan Hidup bersama lembaga penyedia data
keruangan seperti Bakosurtanal (pemetaan) dan LAPAN (analisa melalui
citra satelit). Untuk mewujudkan kerjasama di tataran praktis komunitas
atau LSM pemerhati lingkungan hidup mesti berkolaborasi dengan Ikatan
3

Dokter Indonesia bersama asosiasi profesi seperti Ikatan Surveyor


Indonesia (ISI), Masyarakat Penginderaan Jauh (MAPIN) dalam
mewujudkan agenda-agenda penelitian dan program-program
penanganan permasalahan kesehatan dan perubahan lingkungan di
tingkat lokal hingga nasional.
Hadirnya wacana dan penelitian sosial budaya dengan kompleksitas,
ketidakpastian konsep-metodologi, dan perubahan-perubahan besar di
masa depan, telah menghadirkan tantangan-tantangan dan tugas-tugas
bagi komunitas ilmiah, masyarakat dan para pengambil keputusan.
Penelitian ilmiah yang cenderung lamban, kini harus berganti dengan
usaha-usaha terarah dan cepat menghadapi urgensi penanganan masalah
kesehatan-lingkungan. Kemudian dalam gerak cepat pula informasi yang
dihasilkan dunia ilmiah, walaupun dengan segala ketidaksempurnaan dan
asumsi-asumsi, didorong untuk memasuki arena kebijakan. Masalah
kesehatan dan GEC ini merupakan isu krusial dan bahkan isu sentral
dalam diskursus internasional seputar pembangunan yang berkelanjutan
http://bascommetro.blogspot.com/2009/04/pengaruh-budaya-terhadap-kesehatan.html

Intervensi Gizi Dengan Pendekatan Pemberdayaan


PROYEK KESEHATAN KELUARGA DAN GIZI
(FHN-ADB)
Secara umum prorek KKG bertujuan meningkatkan derajat kesehatan dan status gizi serta
menurunkan tingkat kesuburan, terutama keluarga Pra-Sejahtera dan sejahtera 1 di desa
tertinggal melalui perubahan perilaku.
Secara khusus tujuan proyek ini adalah :
Pemberdayaan keluarga dalam bidang kesehatan dan gizi
Peningkatan ekonomi keluarga
Penurunan tingkat kesuburan
Peningkatan jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan dasar.
Di bidang gizi proyek ini bertujuan untuk meningkatkan status gizi melalui perubahan
perilaku keluarga, secara operasional kegiatan pemberdayaan keluarga di bidang gizi
pada 5 propinsi ( Sumut, Jambi, Bengkulu, Kalsel dan Kalteng) terintegrasi dengan
komponen kegiatan lainnya dalam KKG pada tahun 2000. Proyek ini menggunakan
pendekatan baru yaitu pendekatan keluarga dimana design program atau kegiatan nya
dilakukan secara sistimatis akan menjangkau keluarga , sehingga pukesmas yang selama
ini menggunakan pendekatan komunitas perlu melakukan reorientasi sesuai dengan
paradigma baru puskesmas.

Dalam hal kaitannya untuk mempercepat proses pemberdayaan masyarakat dan keluarga,
kegiatan di bidang gizi yang dikembangkan bermula dari kajian perilaku sadar gizi dan
analisis kebutuhan program dilapangan, selanjutnya pengembangan intervensi dilakukan
berdasarkan potensi masyarakat yang ada (organisasi/institusi kemsyarakatan, pola
ekonomi keluarga ,dll). Untuk menunjang kegiatan pemberdayaan gizi, didukung dengan
akses keluarga dalam pelayanan kesehatan , penguatan akses informasi kesehatan dan
gizi. Adanya kader keluarga dan TPM yang direkrut dari masyarakat dan keluarga
diharapkan akan menjembatani masuknya informasi gizi dalam keluarga.
Beberapa kegiatan gizi yang dilakukan antara laian :
Pendekatan KIE interpersonal secara proaktif menjangkau keluarga melalui Pemetaan
keluarga Sadar Gizi (kadarzi) yang ditindaklanjuti dengan konseling .
Pemberdayaan keluarga/masyarakat untuk menghasilkan makanan balita padat gizi.
Kegiatan ini diawali dengan need assessment( potensi bahan lokal serta komitmen Pemda
dan masyarakat seperti: penyediaan tempat, daya listrik, sustainability), pelatihan kader
dan petugas .
KIE Kadarzi melalui pegembangan dan penggandaan media, Kampanye , dll.
Peningkatan kemampuan dan ketrampilan petugas terutama dalam :
Pemantauan pertumbuhan balita, Konseling, tatalaksana kasus gizi buruk , Pembuatan
MP-ASI berbasis pangan lokal, penyelenggaaran pelayanan gizi (POZI)
Kekuatan
Beberapa hal yang dianggap menjadi kekuatan adalah;
Kader keluarga, Tenaga Penggerak Masyarakat (TPM), merupakan potensi untuk
mempercepat proses pendidikan gizi.
Paket pemberdayaan bidang ekonomi (KUB) merupakan stimulan untuk meningkatkan
pendapatan keluarga melalui pengembangan usaha ekonomi bersekala kecil. Diupayakan
stimulan berkaitan dengan bidang kesehatan .
Puskesmas peduli keluarga merupakan pendekatan pelayanan kesehatan yang pro- aktif
menjangkau keluarga (sehat/sakit)
IPKS (Indeks Potensi keluarga sehat), merupakan indikator yang merupakan gambaran
adanya partisipasi masyarakat (ada 7 indikator), salah satu indikator kadarzi (menimbang
anak) termasuk dalam IPKS. IPKS menjadi salah satu sukses Kepala Daerah.
Ke tujuh indikator tersebut adalah :
Tersedianya air bersih
Tersedianya jamban keluarga
Lantai rumah bukan dari tanah
Bila ada PUS menjadi peserta KB
Bila punya balita mengikuti kegiatan penimbangan
Tidak ada anggota keluarga yang merokok
Menjadi anggota keluarga dana sehat.
Badan Penyantun Puskesmas/Badan Peduli Kesehatan Masyarakat , suatu kelompok
masyarakat yang mempunyai kepedulian terhadap kesehatan termasuk gizi merupakan

mitra kerja puskesmas.


Badan ini diharapkan dapat menyantuni kebutuhan masyarakat akan pelayanan
kesehatan.
Tiap Kabupaten ada LSM yang diikutsertakan dalam prose pemberdayaan keluarga
khususnya dalam pembinaan KUB. Peran TPM terutama dapat memperkuat TPM agar
mampu memfasilitasi pemberdayaan keluarga.
Paket pemberdayaan di bidang kesehatan dan gizi
Kesimpulan .
Hasil pemetaan kadarzi di beberapa tempat menunjukkan adanya perubahan perilaku
kadarzi pada keluarga sasaran.
Adanya komitmen Pemda untuk sustainabilitas dan replikabilitas kegiatan pembinaan
kadarzi, pembuatan makanan balita/MP-ASI padat gizi.
http://www.kebijakankesehatan.co.cc/2009/02/proyek-kesehatan-keluarga-dan-gizifhn.html

Go!

Home

Posts filed under 'Status Gizi Masyarakat'


LAPORAN PROGRAM GIZI MASYARAKAT KASUS GIZI BURUK
Pembangunan sektor kesehatan bertujuan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat,
yang mana derajat kesehatan di pengaruhi oleh faktor lingkungan, perilaku, pelayanan
kesehatan, dan kependudukan. Program perbaikan gizi mengacu pada 4 masalah gizi
utama yang ada di Indonesia umumnya masalah di dominasi oleh masalah Kurang Energi
Protein (KEP) / Gizi Buruk, Anemia, Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY) dan
Kekurangan Vitamin A (KVA). Pertumbuhan seorang anak bukan hanya sekedar
gambaran perubahan Berat Badan (BB), Tinggi Badan (TB) atau ukuran tubuh lainnya,
tetapi lebih dari itu memberikan gambaran tentang keseimbangan antara asupan dan
kebutuhan zat gizi seorang anak yang sedang dalam proses tumbuh. Gagal tumbuh
(Growth Faltering) merupakan suatu kejadian yang ditemui pada hampir setiap anak di
Indonesia. Anak Indonesia rata-rata lahir dengan berat dan panjang badan normal.
Kegagalan pertumbuhan yang nyata biasanya mulai terlihat pada usia 4 bulan yang
berlanjut sampai usia 2 tahun. Gizi buruk merupakan salah satu masalah gizi yang perlu
mendapat perhatian serius. Pada Tahun 2000 diperkirakan 25% anak Indonesia
mengalami gizi kurang, 7% diantaranya gizi buruk. Dari hasil pemantauan menggunakan
KMS di Posyandu dan Pelacakan Puskesmas, di Kabupaten Lampung Selatan, pada tahun
2005 terdapat 39 kasus gizi buruk dan dua kejadian meninggal akibat gizi buruk. Tahun
2006 terdapat 51 kasus, tahun 2007 terdapat 27 kasus, dan tahun 2008 terdapat 12 kasus

gizi buruk. Data kasus gizi buruk dan kejadian meninggal akibat gizi buruk di Kabupaten
Lampung Selatan sejak tahun 2005 2008 disajikan dalam bentuk tabel dan diagram
sebagai berikut : Tabel 1. Data kasus gizi buruk dan kejadian meninggal di Kabupaten
Lampung Selatan Tahun 2005

Go!

Home

Posts filed under 'Status Gizi Masyarakat'


LAPORAN PROGRAM GIZI MASYARAKAT KASUS GIZI BURUK
Pembangunan sektor kesehatan bertujuan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat,
yang mana derajat kesehatan di pengaruhi oleh faktor lingkungan, perilaku, pelayanan
kesehatan, dan kependudukan. Program perbaikan gizi mengacu pada 4 masalah gizi
utama yang ada di Indonesia umumnya masalah di dominasi oleh masalah Kurang Energi
Protein (KEP) / Gizi Buruk, Anemia, Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY) dan
Kekurangan Vitamin A (KVA). Pertumbuhan seorang anak bukan hanya sekedar
gambaran perubahan Berat Badan (BB), Tinggi Badan (TB) atau ukuran tubuh lainnya,
tetapi lebih dari itu memberikan gambaran tentang keseimbangan antara asupan dan
kebutuhan zat gizi seorang anak yang sedang dalam proses tumbuh. Gagal tumbuh
(Growth Faltering) merupakan suatu kejadian yang ditemui pada hampir setiap anak di

Indonesia. Anak Indonesia rata-rata lahir dengan berat dan panjang badan normal.
Kegagalan pertumbuhan yang nyata biasanya mulai terlihat pada usia 4 bulan yang
berlanjut sampai usia 2 tahun. Gizi buruk merupakan salah satu masalah gizi yang perlu
mendapat perhatian serius. Pada Tahun 2000 diperkirakan 25% anak Indonesia
mengalami gizi kurang, 7% diantaranya gizi buruk. Dari hasil pemantauan menggunakan
KMS di Posyandu dan Pelacakan Puskesmas, di Kabupaten Lampung Selatan, pada tahun
2005 terdapat 39 kasus gizi buruk dan dua kejadian meninggal akibat gizi buruk. Tahun
2006 terdapat 51 kasus, tahun 2007 terdapat 27 kasus, dan tahun 2008 terdapat 12 kasus
gizi buruk. Data kasus gizi buruk dan kejadian meninggal akibat gizi buruk di Kabupaten
Lampung Selatan sejak tahun 2005 2008 disajikan dalam bentuk tabel dan diagram
sebagai berikut : Tabel 1. Data kasus gizi buruk dan kejadian meninggal di Kabupaten
Lampung Selatan Tahun 2005

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Masa remajamerupakan periode dari pertumbuhan dan periode pematangan manusia,
pada masa ini terjadi perubahan yang sangat unik dan bekelanjutan. Perubahan fisik
karena pertunbuhan yang terjadi akan mempengaruhi status kesehatan dan gizinya.
Ketidak seimbangan antara asupan kebutuhan atau kecukupan akan menimbulkan
masalah gizi lebih maupuan gizi kurang. Status gizi dapat ditentukan melalui
pemeriksaan laboratorium maupun secara antropometri. Antropometri merupakan cara
penentuan status gizi yang paling mudah dan murah.
Indeks massa tubuh(IMT) direkomendasikan sebagai indicator yang baik untuk
menentukan status gizi remaj. Masalah gizi pada remaja akan berdampak negatif pada
tingkat kesehatan masyarakat, misalnya penurunan konsentrasi belajar, resiko melahirkan
bayi dengan BBLR, penurunan kesegaran jasman. Banyak penelitian telah dilakukan
menunjukkan kelompok remaja menderita atau mengalami maslah gizi. Masalah gizi
tersebut antara lain Anemidan IMT kurang dari batas norma atau kurus
B. TUJUAN
1. TUJUAN UMUUM
Mahasisiwa mampu memehami pentingnya gizi pada remaja sehingga nantinya sebagai
bidan dapat memberikan bimbingan atau penyuluhanyang tepat sesuai dengan yang
dibutuhkan.
2. TUJUAN KHUSUS
1. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian gizi
2. Mahasiswa mampu menjelaskan pentingnya gizi pada usia remaja.
3. Masiswa mampu menjelaskan kebutuhan gigi pada remaja.
C. METODE PENULISA
Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode kepustakaan karena penulis
mendapatkn materi-materi dari buku. Selain itu, penulis juga mendapatkan tambahan
materi dari media elektronik yaitu internet untuk melengkapi pembuatan makalah ini.
Makalh ini kami susun seperti makalah pada umumnya yaitu mulai dari kata pengantar,
daftar isi, bab 1 yang berisi: latar belakang,tujuan& metode penulisan, bab 2 yang berisi:
landasan teori& gizi pada remaja, bab 3 berisi: kesimpulan dan saran dan diakhiri dengan
daftar pustaka.
BAB II
ISI
A. LANDAAN TEORI
Gizi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang makanan dalam hubungan
denagan kesehatanoptimal. Kata gizi berasal dari bahasa arab ghidza yang berarti
makanan. Disatu sisi ilmu gizi berkaitan dengan makanan dan sisi lain dengan tubuh
manusia.
Zat gizi (nutrients) adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk melakukan

fungsinya, yaitu menghasilkan energi, membangun dan memeligara jaringan serta


mengatur proses-proses kehidupan.
Makanan adalah bahan selain obat yang mengandung zat-zat gizi dan unsur-unsur atau
ikatan kimia yang dapat diubah menjadi zat gizi oleh tubuh, yang berguna bila
dimasukkan kedalam tubuh. Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi
makanan
B. GIZI PADA REMAJA
K ebutuhan gizi remaja dan ekssekutif muda relative besar, karena meraka masih
mengalami pertumbuhan. Sselain itu, remajaumumnya melakukan aktivitas fisik lebih
tinggi disbanding usia lainnya, sehingga diperlukan zat giziyang lebih banyak .
ENERGI
Paktor yang perlu diperhatikan untuk menentukan kebutuhan energi remaja adalah
aktivitas fisik, seperti olah raga yang diikuti baik dalam kegiatan di sekolah maupun di
luar sekolah. Remaja dan eksekutif muda yang aktif dan banyakmmelakukan olahraga
memerlukan asupan energi yang lebih besar dibandingkan yang kurang aktif.
Sejak lahir hingga usia 10 tahun, energi yang dibutuhkan relative sama dan tidak
dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Pada masa remaja terdapat perbedaan
kebutuhan energi untuk laki-laki dan perempuan karena perbedaan komposisi tubuh dan
kecepata pertumbuhan. Widyakarya Nasional Pangan Dan Gizi VI(WKNPG VI) tahun
1998 menganjurkan angka kecukupan gizi(AKG) energi untuk remaja dan dewasa muda
perempuan 2000-2200 kkal, sedangkan untuk laki-laki antara 2400-2800 kkal setiap hari.
AKG energi ini dianjurkan sekitar 60% berasal dari sumber karbohidrat. Makanan
sumber karbohidrat adalah beras, tepung terigu, dan hasil olahannya(mie, spaghetti,
macaroni), umbi-umbian9ubi jalar, singkong), jagung, gula, dan lain-lain
PROTEIN
Kebutuhan protein juga meningatbpada usia remaja, karena proses pertumbuhan yang
sedang terjadi dengan cepat. Pada awl masa remaja, kebutuhan protein remaja perempuan
lebih tinggi dibandingkan laki-laki, karena memasuki masa pertumbuhan cepat lebih
dulu.
Pada akhir mas remaja, kebutuhan proten laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan
karena perbedaan komposisi tubuh. Kecukupan protein bagi remaja 1,5-2,0 gr/kg BB/
hari. AKG protein remajadan dewasa muda adalah 48-62gr per hari untuk perempuan dan
55-66gr per hari untuk laki-laki.
http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/gizi-pada-remaja

10

Meningkatnya Umur Harapan Hidup ( UHH ) akan menyebabkan perubahan demografi


yang akan berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan usia lanjut, baik secara
individu maupun dalm kaitannya dengan masyarakat. Keadaan gizi yang baik akan
meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Keadaan tersebut diharapkan pada lanjut
usia, sehingga lanjut usia akan tetap sehat dan mampu terus berkarya dalam sisa
hidupnya.
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan hubungan antara status gizi
dengan kejadian infeksi pada lansia di PSTW Bisma Upakara, Pemalang.
Penelitian ini merupakan penelitian penjelasan dengan desain cross sectional dan metoda
survai. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara, pengukuran berat badan, dan
tinggi badan serta penghitungan konsumsi pangan lansia dengan metoda penimbangan
makanan. Populasi penelitian adalah semua lansia yang menjadi penghuni PSTW Bisma
Upakara, Pemalang sebanyak 45 orang. Sampel yang diambil merupakan sebagian dari
populasi yang memenuhi syarat-syarat sehat jasmani ( tidak sedang dirawat diruang
isolasi, bisa berbicara dan mendengar dengan baik ) dan sehat rohani sesuai dengan
catatan di PSTW. Analisis secara analitik menggunakan uji korelasi Rank Spearman
untuk mengetahui hubungan status gizi dengan kejadian infeksi hubungan kejadian
infeksi dengan tingkat konsumsi energi dan protein dengan status gizi.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa status gizi lansia sebagian besar gizi kurang tingkat
berat yaitu 70 % lansia perempuan dan 30 % lansia laki-laki. Infeksi yang terbanyak
adalah ISPA yaitu 36 % laki-laki dan 64 % perempuan, sedangkan diare masing-masing
32 % laki-laki dan 68 % perempuan, ISPA yang diderita lansia adalah tingkat berat yaitu
37,5 % laki-laki dan 62,5 % perempuan. Diare tingkat berat diderita oleh 42,8 % laki-laki
dan 57,2 % perempuan. Rata-rata tingkat konsumsi energi lansia 91 % dan tingkat
konsumsi protein adalah 83,2 %.
Dari hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa ada hubungan yang sangat
bermakna antara status gizi dengan tingkat kejadian ISPA ( p= 0,000 ) dengan tingkat
konsumsi energi ( P = 0,294 ) dan tingkat konsumsi protein ( p=0,203 ). Tidak ada
hubungan yang bermakna antara kejadian ISPA dengan tingkat konsumsi energi ( p=
0,300 ), ada hubungan yang bermakna antara kejadian ISPA dengan tingkat konsumsi
protein ( p = 0,02 ). Ada hubungan yang bermakna antara tingkat konsumsi dengan status
gizi ( p = 0,012 ) dan tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat konsumsi energi
dengan status gizi( p = 0,091).
Agar lanjut usia mempunyai daya tubuh yang lebih baik terhadap ISPA dan Diare, maka
perlu memperbaiki status gizi lansia yaitu dengan meningkatkan konsumsi protein yang
mempunyai nilai biologi tinggi ( protein hewani ) dengan jumlah yang cukup.

http://www.fkm.undip.ac.id/data/index.php?action=4&idx=124

11

Pengertian Lanjut Usia (Lansia)


Kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke
atas (Hardywinoto dan Setiabudhi, 1999;8). Pada lanjut usia akan terjadi proses
menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya secara perlahan-lahan sehingga tidak dapat
bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang terjadi (Constantinides,
1994). Karena itu di dalam tubuh akan menumpuk makin banyak distorsi metabolik
dan struktural disebut penyakit degeneratif yang menyebabkan lansia akan
mengakhiri hidup dengan episode terminal (Darmojo dan Martono, 1999;4).
Penggolongan lansia menurut Depkes dikutip dari Azis (1994) menjadi tiga
kelompok yakni :
a) Kelompok lansia dini (55 64 tahun), merupakan kelompok yang baru
memasuki lansia.
b) Kelompok lansia (65 tahun ke atas).
c) Kelompok lansia resiko tinggi, yaitu lansia yang berusia lebih dari 70 tahun.
Cara Hidup Sehat Pada Lansia
Usia lanjut adalah suatu kejadian yang pasti akan dialami oleh semua orang
yang dikaruniai usia panjang, terjadinya tidak bisa dihindari oleh siapapun. Pada
usia lanjut akan terjadi berbagai kemunduran pada organ tubuh. Namun tidak perlu
berkecil hati, harus selalu optimis, ceria dan berusaha agar selalu tetap sehat di usia
lanjut. Jadi walaupunb usia sudah lanjut, harus tetap menjaga kesehatan.
Ada satu pendapat yang mengatakan KESEHATAN TIDAK BERARTI
SEGALA-GALANYA, TETAPI TANPA KESEHATAN SEGALANYA TIDAK
BERARTI, yang maksudnya orang yang sehat belum tentu hidupnya makmur,
segala keinginannya terpenuhi, bisa saja hidupnya sederhana atau biasa saja. Akan
tetapi kesehatan itu milik kita yang paling berharga, karena bila sakit kita tidak bisa
berbuat apa-apa dan tidak bisa menikmati dengan baik apa yang dimiliki. Oleh
karena itu kita harus selalu menjaga, merawat, memelihara dan menyayangi
kesehatan.
Hidup Sehat
Setiap orang pasti berkeinginan untuk terus dapat hidup sehat dan kuat
sampai tua, untuk mencapainya ada berbagai cara yang dapat dilakukan, salah
satu caranya adalah berperilaku hidup sehat.

12

Sebelum membahas tentang cara hidup sehat sebaiknya terlebih dahulu


diketahui apa itu sehat. Karena banyak masyarakat yang beranggapan bahwa
sehat adalah tidak sakit secara fisik saja. Sehat adalah suatu keadaan sejahtera
jiwa dan raga juga sosialnya. Sehat adalah suatu hadiah dari menjalankan hidup
sehat. Oleh karena itu jika ingin terus menerus meningkatkan kesehatan harus
menjalankan cara-cara hidup sehat.
Cara Hidup Sehat
Cara hidup sehat adalah cara-cara yang dilakukan untuk dapat menjaga,
mempertahankan dan meningkatkan kesehatan seseorang. Adapun cara-cara
tersebut adalah:
1. Makan makanan yang bergizi dan seimbang
Banyak bukti yang menunjukkan bahwa diet adalah salah satu faktor yang
mempengaruhi kesehatan seseorang. Dengan tambahnya usia seseorang,
kecepatan metabolisme tubuh cenderung turun, oleh karena itu, kebutuhan
gizi bagi para lanjut usia, perlu dipenuhi secara adekuat. Kebutuhan kalori
pada lanjut usia berkurang, hal ini disebabkan karena berkurangnya kalori
dasar dari kegiatan fisik. Kalori dasar adalah kalori yang dibutuhkan untuk
melakukan kegiatan tubuh dalam keadaan istirahat, misalnya : untuk jantung,
usus, pernafasan, ginjal, dan sebagainya. Jadi kebutuhan kalori bagi lansia
harus disesuaikan dengan kebutuhannya. Petunjuk menu bagi lansia adalah
sebagai berikut (Depkes, 1991):
a. Menu bagi lansia hendaknya mengandung zat gizi dari berbagai
macam bahan makanan yang terdiri dari zat tenaga, pembangun dan
pengatur.
b. Jumlah kalori yang baik untuk dikonsumsi lansia 50% adalah hidrat
arang yang bersumber dari hidrat arang komplex (sayur sayuranan,
kacang- kacangan, biji bijian).
c. Sebaiknya jumlah lemak dalam makanan dibatasi, terutama lemak
hewani.
d. Makanan sebaiknya mengandung serat dalam jumlah yang besar yang
bersumber pada buah, sayur dan beraneka pati, yang dikonsumsi
dengan jumlah bertahap.
e. Menggunakan bahan makanan yang tinggi kalsium, seperti susu non
fat, yoghurt, ikan.
f. Makanan yang mengandung zat besi dalam jumlah besar, seperti
kacang kacangan, hati, bayam, atau sayuran hijau.

13

g. Membatasi penggunaan garam, hindari makanan yang mengandung


alkohol.
h. Makanan sebaiknya yang mudah dikunyah.
i. Bahan makanan sebagai sumber zat gizi sebaiknya dari bahan bahan
yang segar dan mudah dicerna.
j. Hindari makanan yang terlalu manis, gurih, dan goreng gorengan.
k. Makan disesuaikan dengan kebutuhan
2. Minum air putih 1.5 2 liter
Manusia perlu minum untuk mengganti cairan tubuh yang hilang setelah
melakukan aktivitasnya, dan minimal kita minum air putih 1,5 2 liter per
hari.
Air sangat besar artinya bagi tubuh kita, karena air membantu
menjalankan fungsi tubuh, mencegah timbulnya berbagai penyakit di saluran
kemih seperti kencing batu, batu ginjal dan lain-lain. Air juga sebagai pelumas
bagi fungsi tulang dan engselnya, jadi bila tubuh kekurangan cairan, maka
fungsi, daya tahan dan kelenturan tulang juga berkurang, terutama tulang kaki,
tangan dan lengan. Padahal tulang adalah penopang utama bagi tubuh untuk
melakukan aktivitas. Manfaat lain dari minum air putih adalah mencegah
sembelit. Untuk mengolah makanan di dalam tubuh usus sangat membutuhkan
air. Tentu saja tanpa air yang cukup kerja usus tidak dapat maksimal, dan
muncullah sembelit.
Dan air mineral atau air putih lebih baik daripada kopi, teh kental, soft
drink, minuman beralkohol, es maupun sirup. Bahkan minuman-minuman
tersebut tidak baik untuk kesehatan dan harus dihindari terutama bagi para
lansia yang mempunyai penyakit-penyakit tertentu seperti DM, darah tinggi,
obesitas dan sebagainya.
3. Olah raga teratur dan sesuai
Usia bertambah, tingkat kesegaran jasmani akan turun. Penurunan
kemampuan akan semakin terlihat setelah umur 40 tahun, sehingga saat lansia
kemampuan akan turun antara 30 50%. Oleh karena itu, bila usia lanjut
ingin berolahraga harus memilih sesuai dengan umur kelompoknya, dengan
kemungkinan adanya penyakit. Olah raga usia lanjut perlu diberikan dengan
berbagai patokan, antara lain beban ringan atau sedang, waktu relatif lama,
bersifat aerobik dan atau kalistenik, tidak kompetitif atau bertanding.

14

Beberapa contoh olahraga yang sesuai dengan batasan diatas yaitu, jalan
kaki, dengan segala bentuk permainan yang ada unsur jalan kaki misalnya
golf, lintas alam, mendaki bukit, senam dengan faktor kesulitan kecil dan olah
raga yang bersifat rekreatif dapat diberikan. Dengan latihan otot manusia
lanjut dapat menghambat laju perubahan degeneratif.
4. Istirahat, tidur yang cukup
Sepertiga dari waktu dalam kehidupan manusia adalah untuk tidur.
Diyakini bahwa tidur sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan dan proses
penyembuhan penyakit, karna tidur bermanfaat untuk menyimpan energi,
meningkatkan imunitas tubuh dan mempercepat proses penyembuhan
penyakit juga pada saat tidur tubuh mereparasi bagian-bagian tubuh yang
sudah aus. Umumnya orang akan merasa segar dan sehat sesudah istirahat.
Jadi istirahat dan tidur yang cukup sangat penting untuk kesehatan.
5. Menjaga kebersihan
Yang dimaksud dengan menjaga kebersihan disini bukan hanya kebersihan
tubuh saja, melainkan juga kebersihan lingkungan, ruangan dan juga pakaian
dimana orang tersebut tinggal. Yang termasuk kebersihan tubuh adalah: mandi
minimal 2 kali sehari, mencuci tangan sebelum makan atau sesudah
mengerjakan sesuatu dengan tangan, membersihkan atau keramas minimal 1
kali seminggu, sikat gigi setiap kali selesai makan, membersihkan kuku dan
lubang-lubang ( telinga, hidung, pusar, anus, vagina, penis ), memakai alas
kaki jika keluar rumah dan pakailah pakaian yang bersih.
Kebersihan lingkungan, dihalaman rumah, jauh dari sampah dan genangan
air. Di dalam ruangan atau rumah, bersihkan dari debu dan kotoran setiap hari,
tutupi makanan di meja makan. Pakain, sprei, gorden, karpet, seisi rumah,
termasuk kamar mandi dan WC harus dibersihkan secara periodik.
Namun perlu diingat dan disadari bahwa kondisi fisik perlu medapat
bantuan dari orang lain, tetapi bila lansia tersebut masih mampu diusahakan
untuk mandiri dan hanya diberi pengarahan.

6. Minum suplemen gizi yang diperlukan


Pada lansia akan terjadi berbagai macam kemunduran organ tubuh,
sehingga metabolisme di dalam tubuh menurun. Hal tersebut menyebabkan
pemenuhan kebutuhan sebagian zat gizi pada sebagian besar lansia tidak
terpenuhi secara adekuat. Oleh karena itu jika diperlukan, lansia dianjurkan
untuk mengkonsumsi suplemen gizi. Tapi perlu diingat dan diperhatikan

15

pemberian suplemen gizi tersebut harus dikonsultasikan dan mendapat izin


dari petugas kesehatan.
7. Memeriksa kesehatan secara teratur
Pemeriksaan kesehatan berkala dan konsultasi kesehatan merupakan kunci
keberhasilan dari upaya pemeliharaan kesehatan lansia. Walaupun tidak
sedang sakit lansia perlu memeriksakan kesehatannya secara berkala, karena
dengan pemeriksaan berkala penyakit-penyakit dapat diketahui lebih dini
sehingga pengobatanya lebih mudan dan cepat dan jika ada faktor yang
beresiko menyebabkan penyakit dapat di cegah. Ikutilan petunjuk dan saran
dokter ataupun petugas kesehatan, mudah-mudahan dapat mencapai umur
yang panjang dan tetap sehat.
8. Mental dan batin tenang dan seimbang
Untuk mencapai hidup sehat bukan hanya kesehatan fisik saja yang harus
diperhatikan, tetapi juga mental dan bathin. Cara-cara yang dapat dilakukan
untuk menjaga agar mental dan bathin tenang dan seimbang adalah:
a. Lebih mendekatkan diri kepada Tuhan YME dan menyerahkan diri
kita sepenuhnya kepadaNya. Hal ini akan menyebabkan jiwa dan
pikiran menjadi tenang.
b. Hindari stres, hidup yang penuh tekanan akan merusak kesehatan,
merusak tubuh dan wajahpun menjadi nampak semakin tua. Stres
juga dapat menyebabkan atau memicu berbagai penyakit seperti
stroke, asma, darah tinggi, penyakit jantung dan lain-lain.
c. Tersenyum dan tertawa sangat baik, karena akan memperbaiki mental
dan fisik secara alami. Penampilan kita juga akan tampak lebih
menarik dan lebih disukai orang lain. Tertawa membantu
memandang hidup dengan positif dan juga terbukti memiliki
kemampuan untuk menyembuhkan. Tertawa juga ampuh untuk
mengendalikan emosi kita yang tinggi dan juga untuk melemaskan
otak kita dari kelelahan. Tertawa dan senyum murah tidak perlu
membayar tapi dapat menadikan hidup ceria, bahagia, dan sehat.
9. Rekresi
Untuk menghilangkan kelelahan setelah beraktivitas selama seminggu
maka dilakukan rekreasi. Rekreasi tidak harus mahal, dapat disesuaikan denga
kondisi dan kemampuan. Rekreasi dapat dilakukan di pantai dekat rumah,
taman dekat rumah atau halaman rumah jika mempunyai halaman yang luas
bersama keluarga dan anak cucu, duduk bersantai di alam terbuka. Rekreasi

16

dapat menyegarkan otak, pikiran dan melemaskan otot yang telah lelah karena
aktivitas sehari-hari.
10. Hubungan antar sesama yang sehat
Pertahankan hubungan yang baik dengan keluarga dan teman-teman,
karena hidup sehat bukan hanya sehat jasmani dan rohani tetapi juga harus
sehat sosial. Dengan adanya hubungan yang baik dengan keluarga dan temanteman dapat membuat hidup lebih berarti yang selanjutnya akan mendorong
seseorang untuk menjaga, mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya
karena ingin lebih lama menikmati kebersamaan dengan orang-orang yang
dicintai dan disayangi.
11. Back to nature (kembali ke alam)
Seperti yang telah terjadi, gaya hidup pada zaman modern ini telah
mendorong orang mengubah gaya hidupnya seperti makan makanan siap saji,
makanan kalengan, sambal botolan, minuman kaleng, buah dan sayur awetan,
jarang bergerak karena segala sesuatu atau pekerjaan dapat lebih mudah
dikerjakan dengan adanya tekhnologi yang modern seperti mencuci dengan
mesin cuci, menyapu lantai dengan mesin penyedot debu, bepergian dengan
kendaran walaupun jaraknya dekat dan bisa dilakukan dengan jalan kaki.
Gaya hidup seperti itu tidak baik untuk tubuh dan kesehatan karena tubuh kita
menjadi manja, karena kurang bergerak, tubuh jadi rusak karena makanan
yang tidak sehat sehingga tubuh menjadi lembek dan rentan penyakit.
Oleh karena itu salah satu upaya untuk hidup sehat adalah back to nature
atau kembali lebih dekat dengan alam. Kita tidak harus menjauhi tekhnologi
tetapi paling tidak kita harus menghindari bahan makanan kalengan, minuman
kalengan, makanan yang diawetkan, makanan siap saji dan harus lebih banyak
mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan yang segar dan juga minum
air putih.
12. Semua yang dilakukan tidak berlebihan
Untuk menciptakan hidup yang sehat segala sesuatu yang kita lakukan
tidak boleh berlebihan karena hal tersebut bukannya menjadikan lebih baik
tetapi sebaliknya akan memperburuk keadaan. Jadi lakukanlah atau
kerjakanlah sesuatu hal itu sesuai dengan kebutuhan.
http://creasoft.wordpress.com/2008/04/15/lansia/

17

nAnalisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat1


Atmarita, Tatang S. Fallah2
Abstrak
Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya
manusia (SDM) yang berkualtias, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang
kuat dan kesehatan yang prima disamping penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kekurangan gizi dapat merusak bangsa.
Tujuan dari analisis adalah untuk mengetahui kecenderungan masalah gizi dan kesehatan
masyarakat serta determinan yang mempengaruhi masalah ini.
Analisis menggunakan data utama dari Susenas 1989 sampai dengan 2003, dan data lainnya yang
mempunyai informasi status gizi dan kesehatan masyarakat. Kajian dilakukan juga berdasarkan
perbedaan antar kabupaten, antar provinsi, serta perbedaan antara perkotaan dan perdesaan. Cara
Bivariate dan Multivariate analisis diaplikasikan pada penulisan ini untuk menjelaskan
perubahan status gizi dan kesehatan masyarakat serta determinannya untuk dapat memberikan
rekomendasi pada kebijakan program perbaikan gizi dan kesehatan masyarakat dimasa yang akan
datang.
Hasil kajian ini secara umum menunjukkan bahwa masalah gizi dan kesehatan masyarakat masih
cukup dominan. Dari indikator kesehatan, walaupun terjadi peningkatan status kesehatan yang
ditandai dengan meningkatnya umur harapan hidup, dan menurunnya angka kematian bayi dan
balita, akan tetapi masih tercatat sekitar 24% kabupaten/kota dengan angka kematian bayi >50
per 1000 lahir hidup. Penyebab kematian memasuki tahun 2000 masih didominasi penyakit
infeksi dan meningkatnya penyakit sirkulasi dan pernafasan. Masih rendahnya status kesehatan
ini antara lain disebabkan karena faktor lingkungan atau tercemarnya lingkungan air dan udara.
Disamping itu, faktor perilaku juga berpengaruh untuk terjadinya penyakit kronis, seperti jantung,
kanker, dan lain-lain. Tingginya angka kematian ini juga dampak dari kekurangan gizi pada
penduduk. Mulai dari bayi dilahirkan, masalahnya sudah mulai muncul, yaitu dengan banyaknya
bayi lahir dengan berat badan rencah (BBLR<2.5 Kg). Masalah ini berlanjut dengan tingginya
masalah gizi kurang pada balita, anak usia sekolah, remaja, dewasa sampai dengan usia lanjut.
Hasil kajian lain yang tidak kalah pentingnya adalah semakin jelasnya fenomena double burden
yang menimpa penduduk Indonesia terutama di wilayah perkotaan, ditandai dengan semakin
meningkatnya masalah gizi lebih, serta meningkatnya proporsi ibu dengan gizi lebih yang
mempunyai anak pendek atau kurus. Makalah ini juga mendiskusikan asumsi penurunan masalah
gizi sampai dengan 2015 dengan berbagai alternatif intervensi.
Peningkatan SDM ini untuk masa yang akan datang perlu dilakukan dengan memperbaiki atau
memperkuat intervensi yang ada menjadi lebih efektif, bermanfaat untuk kelompok sasaran
terutama penduduk rawan dan miskin. Perbaikan kualitas pelayanan kesehatan dan gizi pada
penduduk menjadi prioritas, selain meningkatkan pendidikan dan mengurangi kemiskinan,
terutama pada kabupaten/kota yang tingkat keparahannya sangat berat. Pelayanan kesehatan dan
gizi untuk yang akan datang juga harus memperhatikan pertumbuhan penduduk perkotaan yang
akan membawa berbagai masalah lain. Dengan peningkatan kualitas intervensi kepada
masyarakat, diasumsikan penurunan masalah gizi dan kesehatan masyarakat dapat tercapai.

1
2

Makalah disajikan pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII, Jakarta 17-19 Mei 2004
Direktorat Gizi Masyarakat, Departemen Kesehatan.

18

I.

Pendahuluan

Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber


daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh,
mental yang kuat dan kesehatan yang prima di samping penguasaan terhadap ilmu
pengetahuan dan teknologi. Kekurangan gizi dapat merusak kualitas SDM.
Pada saat ini, sebagian besar atau 50% penduduk Indonesia dapat dikatakan tidak sakit
akan tetapi juga tidak sehat, umumnya disebut kekurangan gizi. Kejadian kekurangan gizi
sering terluputkan dari penglihatan atau pengamatan biasa, akan tetapi secara perlahan
berdampak pada tingginya angka kematian ibu, angka kematian bayi, angka kematian
balita, serta rendahnya umur harapan hidup.
Masa kehamilan merupakan periode yang sangat menentukan kualitas SDM di masa
depan, karena tumbuh kembang anak sangat ditentukan oleh kondisinya saat masa janin
dalam kandungan. Akan tetapi perlu diingat bahwa keadaan kesehatan dan status gizi ibu
hamil ditentukan juga jauh sebelumnya, yaitu pada saat remaja atau usia sekolah.
Demikian seterusnya status gizi remaja atau usia sekolah ditentukan juga pada kondisi
kesehatan dan gizi pada saat lahir dan balita.
United Nations (Januari, 2000)3 memfokuskan usaha perbaikan gizi dalam kaitannya
dengan upaya peningkatan SDM pada seluruh kelompok umur, dengan mengikuti siklus
kehidupan. Pada bagan 1 dapat dilihat kelompok penduduk yang perlu mendapat
perhatian pada upaya perbaikan gizi. Pada bagan 1 ini diperlihatkan juga faktor yang
mempengaruhi memburuknya keadaan gizi, yaitu pelayanan kesehatan yang tidak
memadai, penyakit infeksi, pola asuh, konsumsi makanan yang kurang, dan lain-lain
yang pada akhirnya berdampak pada kematian. Untuk lebih jelas mengetahui faktor
penyebab masalah gizi, bagan 2 (Unicef, 19984) menunjukkan secara sistimatis
determinan yang berpengaruh pada masalah gizi yang dapat terjadi pada masyarakat.
Sehingga upaya perbaikan gizi akan lebih efektif dengan selalu mengkaji faktor penyebab
tersebut.
Uraian berikut ini merupakan kajian status gizi dan kesehatan penduduk yang
menunjukkan fakta yang terjadi pada masyarakat Indonesia disertai dengan faktor
penyebabnya. Prevalensi status gizi dan kesehatan diterjemahkan ke jumlah penduduk,
dan angka prevalensi tahun terakhir digunakan untuk proyeksi sampai tahun 2015. Kajian
ini diakhiri dengan rekomendasi untuk alternatif intervensi pada masa yang akan datang.

3
4

Nutrition throughout life cycle. 4th report on The World Nutrition Situation, January 2000.
Unicef (1998). The State of the Worlds Children 1998. Oxford: Oxford University Press.

19

Bagan 1. Gizi menurut daur kehidupan


Kurang makan,
sering terkena
infeksi, pelayanan
kesehatan kurang,
pola asuh tidak
memadai

IMR, perkembangan
mental terhambat,
risiko penyakit kronis
pada usia dewasa

USI A LANJ UT
KURANG GI ZI

BBLR
Pelayanan
Kesehatan kurang
memadai
Konsumsi tidak
seimbang

Proses
Pertumbuhan
lambat, ASI
ekslusif kurang,
MP-ASI tidak benar

BALI TA KEP

Gizi janin
tidak baik

Konsumsi
gizi tidak cukup,
pola asuh kurang

WUS KEK
BUMIL
BUMI L KEK
(KENAI KAN BB
RENDAH)
MMR

Tumbuh
kembang
terhambat

Pelayanan
kesehatan tidak
memadai

REMAJ A &
USI
A SEKOLAH
USIA
GANGGUAN
PERTUMBUHAN

Konsumsi Kurang

Produktivitas
fisik berkurang/rendah

Bagan 2. Penyebab kurang gizi


Dampak

Penyebab
langsung

Penyebab
Tidak langsung

KURANG GIZI

Makan
Tidak Seimbang

Tidak Cukup
Persediaan Pangan

Penyakit Infeksi

Pola Asuh Anak


Tidak Memadai

Sanitasi dan Air


Bersih/Pelayanan
Kesehatan Dasar
Tidak Memadai

Kurang Pendidikan, Pengetahuan dan Keterampilan

Pokok Masalah
di Masyarakat

Kurang pemberdayaan wanita


dan keluarga, kurang pemanfaatan
sumberdaya masyarakat

Pengangguran, inflasi, kurang pangan dan kemiskinan

Akar Masalah
(nasional)

Krisis Ekonomi, Politik,


dan Sosial

20

II.

Dasar Analisis

Analisis dilakukan berdasarkan data survei dan laporan yang ada sampai dengan tahun
2003, sebagai berikut:
1.

Data antropometri balita dari Susenas 1989 sampai dengan


2003

2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.

Data antropometri tinggi badan anak baru masuk sekolah


(TBABS) 1994 dan 1999
Data survei Indeks Massa Tubuh (IMT) di seluruh ibu kota
provinsi, 1997
Data survei dari NSS/HKI
Data Survei Vitamin A (Suvita) 1978 dan 1992
Data survei anemia, SKRT 1995 dan 2001
Data survei Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY)
sampai dengan 2003
Data kor Susenas 1995, 2000, 2003
End Decade Statistical report. BPS-UNICEF 2000
Laporan analisis status gizi dan kesehatan ibu dan anak,
SKRT 2001
Indonesian Human Development Report, 2001
Laporan Studi Mortalitas 2001
Laporan studi angka kematian ibu, 2003
Laporan kemiskinan, BPS 2002
Data pemetaan pangan, gizi dan kemiskinan, 2002
Laporan SDKI 2002

Selanjutnya analisis memperhatikan transisi demografi, terutama yang terjadi


berdasarkan sensus penduduk 1990 dan 2000. Figure 1 memperlihatkan kecenderungan
komposisi penduduk menurut kelompok umur. Transisi demografi yang pada tahun 1990
masih didominasi oleh kelompok usia muda pada piramida tahun 2000 sudah bergeser
pada kelompok usia yang lebih tua.
Figure 1. Piramid penduduk 1990 dan 2000
Piramid penduduk tahun 1990
Piramid penduduk tahun 2000

21

Laki

Perempuan

Laki

75+
70-74
65-69
60-64
55-59
50-54
45-49
40-44
35-39
30-34
25-29
20-24
15-19
10-14
5-9
0-4

75+
70-74
65-69
60-64
55-59
50-54
45-49
40-44
35-39
30-34
25-29
20-24
15-19
10-14
5-9
0-4
-15

-10

-5

Perempuan

10

15

-15

-10

-5

Persen

10

15

Persen

Sumber: BPS, SP 1990 dan SP 2000

Figure 2 memperjelas kecenderungan perubahan proporsi kelompok umur dari sensus


penduduk 1970 sampai dengan 2000. Informasi kecenderungan penduduk ini menjadi
penting untuk intervensi yang akan datang dan tidak saja bertumpu pada kesehatan dan
gizi balita, tapi pada kelompok umur lainnya yaitu usia produktif dan usia 50 tahun
keatas yang proporsinya terus meningkat. Diperkirakan pada tahun 2025, proporsi 0-4
tahun akan menjadi 7.3%, 5-14 tahun akan menjadi 15%, 15-64 tahun menjadi 68.4%,
dan usia 65+ tahun akan menjadi 9.2%.
Figure 2: Penduduk menurut Kelompok Umur

1990

2000
46.4

60

4.71

3.75

3.25

2.51

10.39

8.96

10

16.14

20

14.44
11.71
8.88

30

7.12

27.83

40

26.47
24.94
20.95

50

8.20

1980

50.64

1970

47.64

70

55.07

80

0
0-4

5-14

15-49

50-64

65+

Kelompok Umur

Dimensi lain yang perlu diperhatikan untuk pelayanan kesehatan dan gizi adalah
urbanisasi. Penduduk daerah perkotaan meningkat dari 17,3% di tahun 1970 menjadi
37,0% pada tahun 2000, dan menjadi 42% pada tahun 2003. Semakin meningkatknya
penduduk perkotaan, mengharuskan strategi pelayanan kesehatan dan gizi yang akan
datang mengikuti karakteristik penduduk perkotaan yang berbeda dengan perdesaan.
22

Analisis masalah gizi dan kesehatan sebagian diterjemahkan ke jumlah penduduk,


sehingga lebih jelas permasalahannya. Jumlah penduduk dikutip dari hasil Sensus
Penduduk tahun 2000 dengan perkiraan jumlah penduduk 203.456.005, serta laju
pertumbuhan penduduk 1990-2000 adalah 1,35 (BPS, 2001). Analisis memperhatikan
jumlah penduduk menurut SP 1980: 146.934.948 orang, SP 1990: 178.631.196 orang,
dan laju pertumbuhan penduduk 1980-1990 yaitu 1,97 (BPS, 2001). Proyeksi sampai
dengan 2015 berpedoman pada keadaan penduduk 2000 dengan menggunakan laju
pertumbuhan penduduk yang terakhir.

23

Analisis Status Gizi dan Kesehatan


1. Status Kesehatan penduduk
Status kesehatan dinilai berdasarkan usia harapan hidup, angka kematian bayi dan angka
kematian balita. Figure 3 menunjukkan kecenderungan ketiga indikator tersebut, yang
menunjukkan terjadinya peningkatan kesehatan yang ditandai dengan meningkatnya usia
harapan hidup dan menurunnya angka kematian bayi dan balita.
Figure 3. Kecenderungan Usia Harapan Hidup (UHH), Angka Kematian Bayi (AKB) dan
Angka kematian balita (AKABA) Indonesia 1980-2002

Sumber: WDR 1987, UNICEF 2000, IHDR 2001, BPS 2000, SDKI 2002/2003

Peningkatan status kesehatan ini tidak merata di seluruh wilayah Indonesia. Pada Figure
4 berikut ini menunjukkan pada tahun 2002, ada 65% kabupaten di Indonesia dengan
AKB antara 25-50 per 1000 LH, bahkan 24% kabupaten dengan AKB >50%. Perbedaan
yang menyolok juga terlihat antara Kota-Desa. Kajian Susenas 1995, 1998 dan 2001
menunjukan perbedaan Angka kematian Bayi maupun angka kematian balita sekitar 20
per 1000 antara Kota dan Desa.
Indikator kesehatan lain yaitu angka kematian ibu (AKI) yang tidak mengalami
perubahan yang berarti. Kecenderungan AKI per 100.000 kelahiran hidup diperkirakan
dari SKRT yaitu: 618 (1986); 325 (1995); dan 377 (2001); atau dari SDKI yaitu: 380
(1994); dan 318 (1997)5.

Soemantri S, Tinjuan kembali angka kematian ibu di Indonesia, 2003

24

Figure 4. Persen kabupaten berdasarkan perubahan AKB 1999 dan 2002

2. Status gizi penduduk


Berikut ini merupakan kajian status gizi penduduk menurut kelompok umur sampai
dengan 2003 berkaitan dengan masalah gizi makro (khususnya Kurang Energi dan
Protein) dan gizi mikro (khususnya Kurang Vitamin A, Anemia Gizi Besi, dan Gangguan
Akibat Kurang Yodium).
2.1. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR <2500 gram)
Secara umum, Indonesia masih belum mempunyai angka untuk BBLR yang diperoleh
berdasarkan survei nasional. Proporsi BBLR diketahui berdasarkan estimasi yang
sifatnya sangat kasar diperoleh dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)
dan juga dari studi terserak. Seperti yang terlihat pada Tabel 1, proporsi BBLR berkisar
antara 7 16% selama periode 1986-19996, demikian juga dari studi terserak yang
menunjukkan angka BBLR antara 10-16%. Jika proporsi ibu hamil yang akan melahirkan
bayi adalah 2,5% dari total penduduk, maka setiap tahun diperkirakan 355.000 sampai
710.000 dari 5 juta bayi lahir dengan kondisi BBLR. Kejadian BBLR ini erat kaitannya
dengan gizi kurang sebelum dan selama kehamilan. Dampak dari tingginya angka BBLR
ini akan berpengaruh pada tinggi rendahnya angka kematian bayi.
Tabel 1. Proporsi BBLR SDKI

Laporan Indonesia untuk persiapan End Decade Goal 2000 (Bapenas dan Unicef, 2000).

25

1986-1991

1989-1994

1992-1997

7,3

7,1

7,7

Perkotaan

6,8

6,6

Perdesaan

7,3

8,4

2,3-16,7

3,6-15,6

SDKI

Rentang Provinsi

2.2. Status gizi pada balita


Masalah gizi kurang pada anak balita dikaji kecenderungannya menurut Susenas dan
survei atau pemantauan lainnya. Gizi kurang pada balita ini dilihat berdasarkan berat
badan dan umur, tinggi badan dan umur, dan juga berat badan dan tinggi badan. Menurut
Susenas, pada tahun 1989, prevalensi gizi kurang pada balita adalah 37,5% menurun
menjadi 27,5% tahun 2003. Terjadi penurunan gizi kurang 10% atau sebesar 26,7% dari
tahun 1989 sampai dengan tahun 20037.
Tabel 2 menunjukkan jumlah penderita gizi buruk dan gizi kurang dengan
memperhatikan jumlah penduduk8 dan proporsi balita9 pada tahun pengamatan yang
sama. Dapat dilihat terjadi penurunan gizi kurang yang cukup berarti dari tahun 1989 :
7.986.279 menjadi 4.415.158 pada tahun 2000. Akan tetapi terjadi peningkatan kembali
sesudah tahun 2000, dan pada tahun 2003 jumlah gizi kurang pada balita menjadi
5.117.409. Distribusi besaran masalah gizi menurut kabupaten dapat dilihat pada Figure
5.
Tabel 2. Jumlah balita gizi buruk (BB/U<-3SD) dan gizi kurang (BB/U <-2SD)
Susenas 1989-2003
Tahun
1989
1992
1995
1998
1999
2000

Total Penduduk Total Balita


177,614,965
185,323,458
195,860,899
206,398,340
209,910,821
203,456,005

21,313,796
22,238,815
21,544,699
20,639,834
19,941,528
17,904,128

Prevalensi
Gizi buruk Gizi Kurang Buruk+Kurang
6.3
31.2
37.5
7.2
28.3
35.6
11.6
20.0
31.6
10.5
19.0
29.5
8.1
18.3
26.4
7.5
17.1
24.7

Jumlah balita dengan


Gizi Buruk Gizi Kurang Buruk+Kurang
1,342,769 6,643,510
7,986,279
1,607,866 6,302,480
7,910,346
2,490,567 4,313,249
6,803,816
2,169,247 3,921,568
6,090,815
1,617,258 3,639,329
5,256,587
1,348,181 3,066,977
4,415,158

Goal Repelita (1998): prevalensi Gizi kurang pada balita menjadi 25%; World Summit for Children
(WSC) goal menjadi 19% pada tahun 2000.
8
Jumlah penduduk tahun 1989 adalah estimasi berdasarkan SP tahun 1980 dengan laju pertumbuhan
penduduk 2.32; jumlah penduduk tahun 1992-1999 adalah estimasi berdasarkan SP tahun 1990 dengan laju
pertumbuhan penduduk 1.97; jumlah penduduk tahun 2000 berdasarkan SP tahun 2000.
9
Proporsi balita diperkirakan 12% dari total penduduk tahun 1989 dan 1992, kemudian 11% tahun 1995,
10% tahun 1998, 9.5% tahun 1999 dan 8.88% tahun 2000 sampai 2002.

26

2001
2002
2003

206,070,543
208,749,460
211,463,203

18,134,208
18,369,952
18,608,762

6.3
8.0
8.3

19.8
19.3
19.2

26.1
27.3
27.5

1,142,455
1,469,596
1,544.527

3,590,573
3,545,401
3,572,882

4,733,028
5,014,997
5,117,409

Perlu dicatat jumlah penderita gizi buruk yang terlihat meningkat cukup tajam dari tahun
1989 ke tahun 1995, kemudian cenderung fluktuatif sampai dengan tahun 2003.
Diperkirakan gambaran prevalensi gizi buruk ini kurang akurat dan cenderung overestimate. Prevalensi gizi buruk pada balita ini perlu di konfirmasi dengan hasil survei
lainnya. SKRT pada tahun 2001 melaporkan prevalensi gizi buruk 8,5%, lebih tinggi dari
Susenas pada tahun yang sama. HKI, di beberapa wilayah perdesaan di Sumatera barat,
Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lombok, dan Sulawesi Selatan
melaporkan prevalensi gizi buruk yang juga fluktuatif dari tahun 1998 sampai dengan
2001, berkisar dari 3.2% di Jawa Tengah sampai 9.1% di Lombok. Sementara pada
daerah kumuh perkotaan, seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Makassar, prevalensi
gizi buruk berkisar dari 4.3% di Jakarta sampai 11.8% di Makassar pada tahun 2002.
Sedangkan prevalensi gizi kurang yang diperoleh dari Susenas, ada kemungkinan under
estimate jika dibandingkan dnegna survei/studi yang sama. Dari survei/studi ini, pada
umumnya menunjukkan prevalensi gizi kurang lebih tinggi 5-7% dari perkiraan Susenas.
Figure 5

Kajian gizi kurang lainnya adalah dari beberapa studi/survei yang melakukan pengukuran
berat badan dan tinggi badan (BB/TB). Pada umumnya, pengukuran BB/TB
menunjukkan keadaan gizi kurang yang lebih jelas dan sensitif/peka dibandingkan
penilaian prevalensi berdasarkan berat badan dan umur. Seperti terlihat pada tabel 3
prevalensi gizi kurang menurut BB/TB (kurus/wasting <-2SD) sesudah tahun 1992

27

berkisar antara 10-16%. Menurut WHO, jika prevalensi wasting di atas 10%,
menunjukkan negara tersebut mempunyai masalah gizi yang sangat serius dan
berhubungan erat dengan angka kematian balita.
Tabel 3. Prevalensi kurus pada balita (BB/TB < - 2SD), 1990-2001
IBT, 90 Suvita, 92 SKIA, 95 SKRT, 95 Ev.JPS,99 SKRT, 01
Total
Laki-laki
Perempuan
Kota
Desa

9.7
10.8
8.7

8.6
9.5
7.6

13.4
13.9
12.7
13.5
13.3

11.6
13.3
10.0

13.7
14.0
13.7

15.8
16.9
14.5
15.2
16.2

IBT Survei Indonesia Bagian Timur; Suvita Survei Nasional Vitamin A;


SKIA Survei Kesehatan Ibu dan Anak; Ev. JPS Evaluasi Jaring Pengaman Sosial;
SKRT Survei Kesehatan Rumah Tangga

Kronisnya masalah gizi kurang pada balita di Indonesia ditunjukkan pula dengan
tingginya prevalensi anak balita yang pendek (stunting <-2 SD). Tabel 4 menunjukkan
prevalensi anak balita stunting dari tahun 1992 sampai dengan 2002 dari beberapa survei.
Masih sekitar 30-40 persen anak balita di Indonesia diklasifikasikan pendek.
Tabel 4. Prevalensi Pendek/Stunting anak balita <-2SD
Survei
Suvita, 92 (15 prov)
IBT, 91 (4 prov)
SKIA, 95 (Nas)
JPS, 98-99 (5 Prov)
NSS-HKI, 1999 -Pedesaan
- Sumatera Barat
- Banten
- Jawa Barat
- Jawa Tengah
- Jawa Timur
- Lombok (NTB)
NSS-HKI, 1999 -Pedesaan
- Sumatera Barat
- Lampung
- Banten
- Jawa Barat
- Jawa Tengah
- Jawa Timur
- Lombok (NTB)
- Sulawesi Selatan
NSS- HKI, 2001 Pedesaan
- Sumatera Barat
- Lampung
- Banten
- Jawa Barat
- Jawa Tengah
- Jawa Timur
- Lombok (NTB)

Stunting <-2SD
41.4
44.5
45.9
43.8
36.5
28.4
30.7
36.0
34.5
44.0
37.9
27.3
31.0
33.0
30.8
34.9
46.9
37.0
37.0
29.5
33.0
33.4
29.5
33.5
48.2

28

- Sulawesi Selatan
NSS-HKI, 2002 Pedesaan
- Sumatera Barat
- Lampung
- Banten
- Jawa Barat
- Jawa Tengah
- Jawa Timur
- Lombok (NTB)
- Sulawesi Selatan
NSS-HKI, 2000 Kumuh perkotaan
- Jakarta
- Semarang
- Surabaya
- Makassar
NSS-HKI, 2001 Kumuh perkotaan
- Jakarta
- Semarang
- Surabaya
- Makassar
JPS: Jaring Pengaman Sosial
NSS-HKI: Survei gizi dan Kesehatan HKI

37.3
37.2
30.4
37.4
35.4
29.0
31.2
48.8
37.6
31.0
30.2
27.7
43.1
28.8
28.2
27.9
42.6

Dari data NSS/HKI, tinggi badan rata-rata anak balita ini pada umumnya mendekati
rujukan hanya sampai dengan usia 5-6 bulan, kemudian perbedaan tinggi badan menjadi
melebar setelah usia 6 bulan, baik pada anak laki-laki maupun perempuan (Figure 6).
Kondisinya sama dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2002.
Figure 6. Tinggi badan rata-rata anak laki-laki dan perempuan 0-60 bulan dibanding rujukan,
NSS/HKI 1999-2002
Anak laki-laki 0-60 bulan

Anak Perempuan 0-60 bulan

29

110

100

100

90

90

80
1999
70

Tinggi badan (cm )

Tinggi badan (cm )

110

2000

80
1999
70

2000

2001
2002

60

Ref

50

2001
2002

60

Ref

50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60

Um ur (bulan)

Umur (bulan)

Catatan:
Tinggi badan rata-rata tersebut di atas diperoleh berdasarkan pengukuran tinggi badan di wilayah
pedesaan provinsi Sumatera Barat, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Lombok (NTB),
dan Sulawesi Selatan yang dilakukan HKI pada tahun 1999 sampai dengan 2002. Jumlah sample
balita adalah sbb:
Provinsi
Sumatera Barat
Lampung
Banten
Jawa Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
Lombok/NTB
Sulawesi Selatan
Total

Jumlah sampel anak balita


2000
2001
22468
19621
13190
12942
1810
3161
4011
11666
17421
12443
18495
25348
24175
9268
15131
12183
9584
15628
11995
14516
14940
58596
126863
112310
1999
7773

2002
4409
3160
1021
2845
5391
2597
2568
2922
24913

2.3. Status gizi pada anak baru masuk sekolah (TBABS 1994, 1999)
Akibat dari tingginya BBLR dan gizi kurang pada balita, berdampak juga pada gangguan
pertumbuhan pada anak usia baru masuk sekolah. Indonesia telah melaksanakan
pengukuran tinggi badan pada kelompok anak ini secara nasional pada tahun 1994 dan

30

199910. Tidak terlihat perubahan perbaikan gizi yang bermakna dari hasil pengukuran
tersebut. Pada tahun 1994, prevalensi gizi kurang menurut tinggi badan anak usia 6-9
tahun (anak pendek) adalah 39,8% (lihat tabel 5). Pengukuran yang sama dilakukan pada
tahun 1999, prevalensi ini hanya berkurang 3,7%, yaitu menjadi 36,1%. Terlihat juga
prevalensi pendek ini semakin meningkat sesuai dengan bertambahnya usia, baik pada
anak laki-laki maupun perempuan.
Kondisi anak Kota-Desa berdasarkan survei ini berbeda. Anak di kota lebih baik
dibanding anak di desa. Figure 7 menunjukkan distribusi z-score tinggi badan menurut
umur pada anak usia 6-9 tahun baik di kota maupun di desa dan perubahannya dari tahun
1994 ke tahun 1999. Dapat disimpulkan bahwa anak Indonesia yang baru masuk sekolah
keadaan gizinya masih jauh dibandingkan dengan rujukan. Masih sekitar 30-40% anak
dikategorikan pendek. Jika dibandingkan antara tahun 1994 dan 1999, hanya sedikit
sekali peningkatan status gizi yang terjadi. Selain itu masih dijumpai sekitar 9-10% anak
yang dikategorikan sangat pendek.

10

TBABS adalah survei untuk mengetahui tinggi badan rata-rata anak baru masuk sekolah (anak kelas I),
dimana pengukuran dilakukan pada awal masuk sekolah. Dari kedua survei TBABS 1994 dan 1999, umur
rata-rata anak masuk sekolah adalah 7 tahun (50%). Pada waktu pengukuran dijumpai anak usia 6 sampai
dengan 9 tahun. Dari kedua survei; proporsi anak baru masuk sekolah usia 6 tahun meningkat dari 13.6%
(1994) menjadi 16.4% (1999); dan proporsi anak baru masuk sekolah usia 9 tahun berkurang dari 8.2%
(1994) menjadi 6.0% (1999).

31

Tabel 5. Prevalensi gizi kurang menurut tinggi badan dan umur (Stunting <-2SD)
Pada anak baru masuk sekolah, TBABS 1994 dan 1999
Survei/
tahun

Lokasi
N

Sampel
Jenis
Kelamin

Tinggi Badan menurut umur


Umur
(tahun)

Pendek (Stunting)
Tinggi Badan*)
<-3 SD -3 to -2 SD
Rata2 (cm)
TBABS
National
435,816 L+P
6-9
10.7
29.1
/1994
225,779 Laki-laki
6-9
13.0
30.1
28,663 Laki-laki
6
4.1
18.9
108.9
101,796 Laki-laki
7
9.1
28.1
110.8
74,815 Laki-laki
8
17.9
35.2
112.9
20,505 Laki-laki
9
26.7
37.1
116.1
210,037 Perempuan
6-9
8.2
28.1
30,685 Perempuan
6
2.9
16.5
107.7
100,001 Perempuan
7
5.9
25.8
109.7
64,147 Perempuan
8
11.9
34.8
111.8
15,204 Perempuan
9
19.1
37.9
115.0
TBABS
National
361,126 L+P
6-9
9.1
27.3
/1999
186,626 Laki-laki
6-9
11.1
28.9
28,021 Laki-laki
6
4.0
18.2
108.9
93,083 Laki-laki
7
8.1
27.1
111.0
52,737 Laki-laki
8
16.5
35.9
113.2
12,785 Laki-laki
9
27.0
36.9
116.1
174,500 Perempuan
6-9
6.9
25.6
31,106 Perempuan
6
2.8
15.9
107.8
90,660 Perempuan
7
5.3
23.8
110.0
43,739 Perempuan
8
10.7
33.8
112.1
8,995 Perempuan
9
19.4
36.9
115.2
*) Tinggi badan rata-rata yang dicapai pada tahun 1994 dan 1999 ini baru mencapai 90% dari baku rujukan
NCHS/WHO

Figure 7. Distribusi Z-score Tinggi Badan menurut umur anak usia 6-9 tahun dibanding
rujukan di Kota dan Desa tahun (TBABS, 1994 dan 1999).
Kota

Desa

32

2.4. Status gizi pada Usia Produktif


Masalah gizi kurang berlanjut pada kelompok umur berikutnya. Tidak tersedia secara
khusus informasi atau data yang dapat digunakan untuk anak usia sekolah (laki-laki dan
perempuan) 7-18 tahun. Data yang tersedia hanya untuk WUS usia 15-49 tahun. Dua cara
dilakukan untuk mengetahui status gizi pada WUS yaitu dengan mengukur Lingkar
Lengan Atas (LILA) dan mengukur berat badan dan tinggi badan untuk mendapatkan
indeks massa tubuh (IMT). Status gizi kurang berdasarkan LILA < 23.5 cm digunakan
untuk menggambarkan risiko kekurangan energi kronis (KEK). WUS dengan risiko KEK
diasumsikan cenderung untuk melahirkan bayi BBLR. Sedangkan dengan IMT, status
gizi WUS dapat diklasifikasikan sebagai kurus jika IMT <18.5 dan gemuk jika IMT >25.
Analisis secara nasional (1999 2003) menggambarkan bahwa proporsi LILA <23,5 cm
adalah 24,9% pada tahun 1999 dan menurun menjadi 16,7% pada tahun 2003. Pada
umumnya proporsi WUS dengan risiko KEK cukup tinggi pada usia muda (15-19 tahun),
dan menurun pada kelompok umur lebih tua. (Lihat Figure 8). Prevalensi LILA <23.5
cm pada tahun 2003 sampai mencapai >35% pada WUS usia 15-19 tahun.
Figure 8. Proporsi WUS risiko KEK (Lila <23.5 cm): 1999-2003

Pola yang hampir sama adalah kajian wanita perkotaan menurut IMT pada survei tahun
1996/97 di seluruh ibu kota provinsi di Indonesia, seperti yang disajikan pada Figure 9.
Terlihat proporsi IMT <18.5 (kurus) lebih tinggi pada usia muda 18-24 tahun, kemudian
menurun untuk usia berikutnya sampai dengan 40-44 tahun, dan meningkat lagi pada usia
4549 tahun.
Masalah gizi pada usia produktif sebenarnya tidak saja karena kurus (IMT<18.5) akan
tetapi juga kegemukan (IMT>25) bahkan obesitas (IMT>27 atau IMT >30). Pada survei
di 27 ibu kota provinsi tahun 1996/1997, dua masalah gizi ini sudah terlihat dengan jelas.
(Figure 10).

33

Figure 9. Proporsi IMT <18.5 pada wanita perkotaan, survei IMT 1997

Figure 10. Masalah gizi kurang dan gizi lebih usia dewasa di perkotaan, 1996/1997

Dua masalah gizi (double burden) ini juga tidak saja terjadi pada usia produktif di ibu
kota provinsi, akan tetapi di wilayah kumuh perkotaan maupun perdesaan juga sudah
mulai terlihat dan ada kecenderungan meningkat terutama untuk masalah kegemukan.
Hal ini dapat dilihat pada Figure 11, analisis dari data HKI 1999 dan 2001 yang
memisahkan dua ekstrim prevalensi kurus (IMT<18.5) dan prevalensi obesitas (IMT >30)
pada wanita usia produktif. Pada daerah kumuh perkotaan (Jakarta, Semarang, Makassar,
Surabaya), masalah kurus banyak terjadi pada usia muda, dan masalah obesitas sudah
mulai terlihat pada usia 30 tahun ke atas dengan prevalensi >5%. Masalah obesitas pada
usia >30 tahun ini meningkat dari tahun 1999 ke tahun 2001. Di wilayah perdesaan
(Jabar, Banten, Jateng, Jatim, Lampung, Sumbar, Lombok, Sulsel), masalah yang sama
sudah mulai tampak, hanya prevalensinya lebih rendah dari wilayah kumuh perkotaan.

34

Figure 11. Masalah gizi kurang dan obesitas pada wanita usia produktif,
HKI 1999 dan 2001
Kumuh Perkotaan
Perdesaan

2.5. Masalah gizi mikro


Masalah gizi lainnya yang cukup penting adalah masalah gizi mikro, terutama untuk
kurang yodium, kurang vitamin A dan kurang zat besi. Menurut World Summit for
Children (WSC) goal, diharapkan pada tahun 2000 seluruh negara sudah tidak lagi
mempunyai masalah gizi mikro, yang ditandai dengan sudah universalnya konsumsi
garam beryodium, seluruh anak dan ibu nifas telah mendapat kapsul vitamin A, tidak
dijumpai lagi kasus xeropthalmia, menurunnya prevalensi anemia gizi besi pada wanita
usia subur sebesar sepertiga dari kondisi tahun 1990.
Untuk masalah kurang vitamin A, Indonesia dinyatakan bebas dari xeropthalmia pada
tahun 1992. Walapun bebas dari xerophthalmia, survei nasional vitamin A tahun 1992
masih menjumpai 50% dari balita mempunyai serum retinol <20 mcg/100 ml. Tingginya
proporsi balita dengan serum retinol <20 mcg/100 ml ini menyebabkan anak balita di
Indonesia berisiko tinggi untuk terjadinya xeropthalmia, dan menjadi sangat tergantung
dengan kapsul vitamin A dosis tinggi. Selain itu penyuluhan untuk mengkonsumsi sayur
dan buah berwarna menjadi sangat penting untuk mempertahankan Indonesia tetap bebas
dari xeropthalmia. Ada kemungkinan penyuluhan kurang berhasil, maka cakupan kapsul
kurang vitamin A yang <80%11 akan membuka kemungkinan munculnya kasus
xeropthalmia. Hal ini terbukti dengan laporan NTB pada tahun 2000 lalu yang masih
menemukan kasus xeropthalmia. Ada kemungkinan provinsi lain yang belum berhasil
mencakup >80% kapsul vitamin A terdistribusi pada balita akan menemukan kembali
kasus xeropthalmia.
Besaran masalah kurang yodium di Indonesia dipantau berdasarkan survei nasional tahun
1980, 1990, 1996/1998 dan 2003. Terjadi penurunan yang cukup berarti, dimana pada
tahun 1980, prevalensi gangguan akibat kurang yodium (GAKY) pada anak usia sekolah
adalah 30%. Prevalensi ini menurun menjadi 27.9% pada tahun 1990, dan selanjutnya
menjadi 9,8% pada tahun 1996/1998. Survei tahun 2003 prevalensi ini sedikit meningkat
11

Cakupan kapsul vitamin A dosis tinggi diharapkan 80% minimal untuk mencegah munculnya kasus
xeropthalmia, kecuali konsumsi sayur dan buah berwarna sudah memadai/mencukupi kebutuhan seharihari.

35

menjadi 11.1%, walaupun dilaporkan pada daerah endemik berat, prevalensi GAKY turun
cukup berarti.
Survei tahun 2003 merupakan survei nasional yang mengevaluasi dampak dari
intensifikasi program penanggulangan GAKY setelah dilakukan data dasar tahun
1996/1998. Kegiatan utama dari program ini adalah mengupayakan peningkatan
konsumsi garam beryodium, dan juga memberikan kapsul yodium terutama pada daerah
endemik berat dan sedang yang dinilai berdasarkan data dasar 1996/1998. Garam
beryodium sampai dengan tahun 2003, dikonsumsi oleh 73.2% rumah tangga secara
adekuat/cukup. Angka ini cukup bervariasi antar wilayah kabupaten, mulai dari <40%
sampai yang sudah >90% rumah tangga menkonsumsi garam beryodium. Figure 12
berikut menunjukkan hasil yang positif untuk penggunaan garam beryodium. Terjadi
peningkatan jumlah kabupaten menjadi 104 pada tahun 2003 dimana lebih dari 90%
rumah tangga mengkonsumsi garam beryodium.
Intervensi pada wilayah endemik berat dan sedang adalah dengan mendistribusikan
kapsul yodium, khususnya pada ibu hamil, wanita usia subur, dan anak usia sekolah.
Pemantauan pemberian kapsul ini masih kurang baik. Survei evaluasi 2003, menemukan
hanya 30% cakupan kapsul yodium ini sampai pada sasaran, sementara pada laporan
program, cakupan ini berkisar antara 60-75%.
Masalah GAKY masih cukup serius di Indonesia. Untuk mencapai universal konsumsi
garam beryodium pada tahun 2005 memerlukan strategi yang komprehensif. Dari hasil
analisis survei 1996/1998 dan survey evaluasi 2003 menunjukkan adanya peningkatan
jumlah kabupaten yang dulunya tidak endemik, atau endemik ringan, menjadi daerah
endemik sedang atau berat. Walaupun ada penurunan prevalensi GAKY pada daerah
endemik berat dan sedang, surveilans GAKY ini sangat diperlukan, sehingga daerah yang
berisiko untuk menjadi endemik dapat selalu terpantau. (Lihat tabel 6)
Figure 12. Distribusi kabupaten menurut rumah tangga yang mengkonsumsi garam
beryodium cukup: 1998-2003.

36

Tabel 6. Total Goitre Rate (TGR) pada 268 kabupaten yang sama dari
Survei 1996/1998 dan 2003

Sumber: National IDD survey 1998, and National IDD evaluation survey 2003
Masalah berikutnya adalah anemia gizi akibat kurang zat besi. Dua survei nasional
(Survei Kesehatan Rumah Tangga/SKRT) tahun 1995 dan 2001 hanya dapat
menunjukkan kecenderungan prevalensi anemia pada balita, perempuan usia 15-44 tahun
dan ibu hamil (Figure 13). Prevalensi anemi pada ibu hamil menurun dari 50,9% (1995)
menjadi 40% (2001); pada wanita usia subur 15-44 tahun dari 39.5% (1995) menjadi
27.9% (2001). SKRT 2001 juga mengkaji prevalensi anemia pada balita dengan
kelompok umur: < 6 bulan, 6-11 bulan, 12-23 bulan, 24-35 bulan, 36-47 bulan, dan 48-59
bulan. Figure 14 menunjukkan bahwa pada bayi <6 bulan (61.3%), bayi 6-11 bulan
(64.8%), dan anak usia 12-23 bulan (58%). Selanjutnya prevalensi menurun untuk anak
usia 2 sampai 5 tahun.
Figure 13. Prevalensi Anemia menurut SKRT 1995 dan 2001
100

Persen

80
60
40
20
0
0-4 tahun 5-9 tahun

10-14
tahun

15-44
tahun

45-44
tahun

55-64
tahun

65+
tahun

L-1995

35.7

46.4

45.8

58.3

53.7

62.5

70.0

P-1995

45.2

48.0

57.1

39.5

39.5

40.5

45.8

L+P 2001

48.1

P-2001

Ibu hamil

Ibu
menyusui

50.9

45.1

27.9

40.1

Figure 14. Prevalensi anemia pada anak balita, SKRT 2001

37

100.0

80.0

Persen

60.0

40.0

20.0

0.0
% Anemia

< 6 bln

6-11 bln

12-23 bln

24-35 bln

36-47 bln

48-59 bln

61.3

64.8

58.0

45.1

38.6

32.1

Informasi lain adalah dari hasil survei NSS- HKI tahun 1999 dan 2000 pada beberapa
provinsi di Indonesia yang melakukan analisis prevalensi anemia pada WUS dan balita
(tabel 6). Pada balita prevalensi anemia masih cukup tinggi dan berkisar antara 40-70%,
dan pada WUS berkisar antara 20-40%.
Tabel 6. Prevalensi anemia pada WUS dan balita (NSS-HKI)
Tahun 1999 dan 2000
Lokasi
Sumbar
Lombok
Lampung
Makassar
Sulsel
Surabaya
Jatim
Jabar
Semarang
Jateng
Jakarta

Wanita Usia Subur


1999
2000
29.2
34.0
32.3
25.3
24.1
27.9
37.1
27.8
34.0
27.1
28.7
26.5
28.9
26.5
21.9
27.5
23.4
25.8
42.5
33.3

Anak balita
1999
2000
46.9
53.9
65.8
66.1
56.8
58.6
63.5
53.6
65.5
58.8
62.6
68.1
64.6
57.9
44.7
51.0
54.7
51.8
71.9
63.5

Indonesia masih belum secara komprehensif menanggulangi masalah anemia gizi ini.
Pemetaan secara nasional untuk masalah anemia menurut provinsi maupun kabupaten
masih belum dilaksanakan. Hasil pemetaan yang dilakukan provinsi Jawa Barat tahun
1997, menunjukkan prevalensi anemia pada ibu hamil 62,2%, dan pemetaan yang
dilakukan di Jawa Tengah tahun 1999 menunjukkan prevalensi anemia pada ibu hamil
58,1%. Intervensi anemia secara nasional masih memprioritaskan ibu hamil dengan
distribusi tablet besi yang cakupannya masih sulit dipantau.
III.
Faktor yang berpengaruh pada status gizi dan kesehatan
38

Analisis berikut menguraikan faktor yang erat kaitannya dengan perubahan status
kesehatan dan gizi penduduk, yaitu mulai dari ketahanan pangan di tingkat rumah tangga,
pola asuh, penyakit infeksi/non-infeksi, kesehatan lingkungan, pendidikan, dan
kemiskinan. Kerangka konsep UNICEF seperti pada bagan 2 digunakan untuk mengkaji
faktor penyebab masalah gizi maupun kesehatan. Data yang digunakan pada umumnya
dari data Kor Susenas 1995, 2000, 2002 dan 2003 dengan aggregat tingkat kabupaten,
dan juga data HKI.
1.

Ketahanan pangan tingkat rumah tangga

Ketahanan pangan di tingkat rumah tangga sangat tergantung dari cukup tidaknya pangan
dikonsumsi oleh setiap anggota rumah tangga untuk mencapai gizi baik dan hidup sehat.
Untuk itu diperlukan survei konsumsi rumah tangga yang mencatat jumlah (kualitas dan
kuantitas) yang dikonsumsi setiap hari oleh anggota keluarga. Indonesia belum pernah
secara nasional melakukan survei konsumsi tingkat rumah tangga dan mencatat jumlah
yang dimakan untuk setiap individu. Secara nasional Indonesia pernah melakukan survei
konsumsi tahun 1995-1998 untuk mengetahui tingkat defisit tingkat rumah tangga
terhadap energi dan protein. Dari kajian survei konsumsi ini, diketahui bahwa rata-rata
rumah tangga di Indonesia mengkonsumsi energi berturut-turut dari tahun 1995-1998
adalah: 1999; 1969; 2051; dan 1990 Kkal/kap/hari dan protein: 46; 49.5; 49.9; dan 49.1
gram/kap/hari. Rata-rata konsumsi energi dan protein ini bervariasi antar provinsi dan
kabupaten. Dari survei konsumsi ini dikaji juga persen rumah tangga yang defisit energi
mapun protein. Disimpulkan bahwa dari tahun 1995-1998, persentasi rumah tangga
dengan defisit energi bekisar antara 45 52% ; dan rumah tangga defisit protein berkisar
antara 25 35% (Latief, et.al, 2000).
Berdasarkan kor Susenas, informasi ketahanan pangan tingkat rumah tangga hanya dapat
diketahui berdasarkan perkiraan pengeluaran pangan dalam seminggu terakhir. Dari
kajian kor Susenas 1995, 2000, dan 2003 dilakukan perhitungan rasio pengeluaran untuk
setiap item bahan makanan terhadap total pengeluaran pangan. Terlihat perubahan rasio
pengeluaran pangan sumber energi dari 32,64% tahun 1995 menjadi 24,2% tahun 2003.
Pengeluaran konsumsi makanan jadi meningkat dari 7,9% tahun 1995 menjadi 8,7%
tahun 2003, demikian juga terjadi peningkatan pengeluaran untuk konsumsi lainnya,
terutama ikan, daging, dan buah-buahan. Jika dikaji perbedaan antara Kota dan Desa,
analisis Kor Susenas 2003 menunjukkan pengeluaran untuk konsumsi di Kota lebih baik
dibanding Desa, dan rumah tangga di Kota lebih banyak mengeluarkan uang untuk
makanan jadi dibanding rumah tangga di Desa. (Lihat figure 15)
Walaupun terlihat ada perbaikan pola pengeluaran makanan tingkat rumah tangga pada
tahun 2003, akan tetapi jika dilihat dari rasio pengeluaran makanan terhadap pengeluaran
total, masih sebagian besar kabupaten/kota di Indonesia masih belum cukup baik.
Pengeluaran terbesar rumah tangga masih pada makanan. Pada Figure 16 berikut,
mengklasikasikan kabupaten berdasarkan 4 tingkat % pengeluaran makanan terhadap
pengeluaran total: 1) <55%; 2) 55-65%; 3) 65-75%; dan 4) >75%. Terlihat ada perbaikan

39

dari tahun 2000 ke tahun 2003, akan tetapi kondisinya hampir sama dengan tahun 1995.
Pada tahun 2003, terlihat sekali perbedaan antara Kota dan Desa.
Figure 15. Nilai rata-rata rasio pengeluaran item bahan pangan terhadap total pengeluran
pangan tingkat rumah tangga
Pebedaan tahun 1995, 2000, 2003

Perbedaan Kota Desa 2003

Figure 16. Perubahan persen Kabupaten/Kota berdasarkan % pengeluaran pangan


terhadap total pengeluaran tingkat rumah tangga (1995, 2000, 2003)
Perbedaan tahun 1995, 2000, dan 2003

Perbedaan Kota Desa, 2003

Untuk diketahui juga, selain ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, maka keamanan
pangan yang dikonsumsi setiap individu juga sangat berperan untuk kesehatan dan gizi.
Terutama pada rumah tangga di perkotaan dimana konsumsi makanan jadi yang semakin
meningkat. Masalah keamanan pangan tidak dibahas pada analisis ini karena ketersdiaan
data yang kurang.
2.

Morbiditas

Informasi prevalensi menurut jenis penyakit, terutama yang berkaitan dengan masalah
gizi, tidak diketahui secara lengkap. Pada Figure 17 dapat dilihat kecenderungan pola
penyakit yang menyebabkan kematian tahun 1995 dan 2001. Terlihat penyakit infeksi
masih dominan, diikuti dengan penyakit sirkulasi dan pernafasan. Penyebab kematian
yang ditunjukkan dengan penyakit sirkulasi memperlihatkan meningkatnya penyakit
40

degeneratif baik pada laki-laki maupun perempuan. Bahkan pada perempuan, kematian
akibat penyakit yang berhubungan dengan sirkulasi ini meningkat cukup tinggi, dari 123
ke 191 per 100.000 penduduk. Terlihat juga kematian akibat penyakit yang berhubungan
dengan neoplasma cenderung meningkat dari tahun 1995-2001.
Figure 17. Kecenderungan penyebab kematian di Indonesia menurut jenis kelamin,
SKRT 1995 dan 2001

Sumber: Laporan Studi Mortalitas, Litbangkes 2002

SKRT 1980, 1986, 1992, 1995 dan 2001 juga mencatat proporsi kematian karena Noncommunicable diseases/NCD meningkat dari 25.41% (1980) menjadi 48.53% (2001).
Proporsi kematian karena Cardiovscular diseases/CVD meningkat dari 9.1% tahun 1986
menjadi 26.3% tahun 2001; Ischaemic heart disease dari 2.5% (1986) menjadi 14.9%
(2001); dan stroke dari 5.5% (1986) menjadi 11.5% (2001). Kematian karena kanker dari
3.4% (1986) menjadi 6% (2001).
Dari penyakit infeksi, ada beberapa penyakit yang prevalensinya meningkat, seperti
malaria, demam berdarah, TBC, dan HIV/AIDS. Angka insidens malaria menurun dari 21
per 100,000 penduduk tahun 1989 menjadi 9 per 100.000 penduduk tahun 1996 di JawaBali. Akan tetapi angka ini meningkat kembali menjadi 20 per 100.000 penduduk tahun
1998. Prevalensi malaria di luar Jawa-Bali meningkat 3,97% tahun 1995 meningkat
menjadi 4,78% tahun 1997. Angka insidens demam berdarah tahun 1996 tercatat 23,22
per 100.000 penduduk meningkat menjadi 35,19 per 100,000 penduduk tahun 1998.
Walaupun prevalensi TBC dinyatakan menurun dari 290 per 100.000 penduduk pada
periode 1979-1982 menjadi 240 per 100.000 penduduk pada akhir tahun 1998, akan
tetapi distribusinya untuk setiap provinsi tidak merata. Pada beberapa kabupaten seperti
Jawa Barat, Aceh dan Bali, masih ditemukan prevalensi TBC berada antara 650-960 per
100.000 penduduk. Untuk HIV/AIDS, pada akhir tahun 1999, 23 provinsi telah

41

melaporkan adanya kasus HIV, dimana 14 diantara mereka penderita AIDS. Prevalensi
secara nasional untuk AIDS di Indonesia adalah 0,11 per 100.000 penduduk, dimana
prevalensi ini bervariasi untuk setiap provinsi. Di Jakarta penderita AIDS 10 kali lebih
banyak dari angka nasional, sementara Irian Jaya prevalensi AIDS 40 kali lebih tinggi
dari angka nasional, atau 4,4 per 100.000 penduduk.
3.

Kebiasaan makan dan perilaku hidup sehat

Kebiasaan makan dinilai berdasarkan perilaku anggota rumah tangga mengkonsumsi


makanan sehari-hari. Dalam kor Susenas 2003, informasi ini dapat diketahui dengan
membedakan anggota rumah tangga usia 10 tahun keatas untuk laki-laki dan perempuan
dan juga berdasarkan tempat tinggal Kota atau Desa. Penilaian dilakukan dari berapa
kali konsumsi sayur, buah, makanan sumber hewani, dan nabati dalam seminggu terakhir.
Seperti pada Figure 18 berikut tidak terlihat perbedaan yang menyolok antara laki-laki
dan perempuan, keduanya rata-rata mengkonsumsi 3-9 kali keempat jenis makanan
dalam seminggu terakhir. Laki-laki maupun perempuan mengkonsumsi sayuran pada
umumnya lebih sering dibanding konsumsi buah. Jika membedakan antara Kota dan
Desa, konsumsi sayuran lebih sering dikonsumsi di Desa dibanding Kota, sedangkan
jenis makanan lain hampir sama antara Kota dan Desa.
Figure 18. Perilaku mengkonsumsi makanan menurut jenis kelamin dan penduduk KotaDesa, 2003.
Laki-laki

Perempuan

Kota

Desa

42

Perilaku kesehatan yang merupakan salah satu penyebab atau risiko utama dari beberapa
penyakit kronis seperti penyakit jantung, stroke, kanker paru, kanker saluran pernapasan
bagian atas adalah merokok. Persentase penduduk umur 10 tahun ke atas yang merokok
di Indonesia tidak banyak berubah pada periode 1995-2001 atau hanya meningkat 1,5%
dari 26,2% (tahun 1995) menjadi 27,7% (tahun 2001). Jika diperhatikan prevalensi
merokok menurut jenis kelamin didapatkan perbedaan persentase yang mencolok antara
penduduk laki laki dan perempuan. Persentasi perokok perempuan masih cukup rendah,
yaitu kurang dari 1%. Yang perlu diwaspadai adalah kebiasaaan merokok pada laki-laki
meningkat cukup tajam menjadi 40,7% pada tahun 2003. Pengeluaran rumah tangga
untuk konsumsi rokok ini juga meningkat dari rata-rata 9,15% terhadap pengeluaran
pangan total pada tahun 1995 menjadi 10,03% tahun 2000 dan 13,15% tahun 2003. Jika
dibuat tiga klasifikasi pengeluaran rokok ini menjadi <10%, 10-15%, dan >15% terhadap
pengeluaran pangan total; maka pada tahun 2003 terdapat hampir 27% kabupaten di
Indonesia, rumah tangganya mengeluarkan uang >=15% dari total pengeluaran pangan
untuk konsumsi rokok, serta hampir 61% kabupaten masuk pada klasifikasi 10-15%
untuk konsumsi rokok (lihat Figure 19).
Figure 19. Jumlah kabupaten berdasarkan rasio pengeluaran konsumsi rokok terhadap
pengeluaran pangan total

4.

Pola Asuh

Analisis pola asuh yang dapat dikaji adalah pemberian ASI pada anak balita. Informasi
ini dapat dikaji berdasarkan Susenas 1995 dan 2003. Secara nasional pemberian ASI
terutama pada bayi di bawah 1 tahun menurun dari 46,5% tahun 1995 menjadi 31,1%
pada tahun 2003 (Lihat figure 20). Provinsi terendah memberikan ASI adalah Aceh
(23,7%) dan tertinggi NTB (42,6%).

43

Figure 20. Kecenderungan Pemberian ASI menurut provinsi, Susenas 1995 dan 2003

Jika dikaji berdasarkan lamanya pemberian ASI saja sampai 4 bulan dan 6 bulan, terlihat
ada kecenderungan meningkat dari tahun 1995 yaitu 35% menjadi 41% pada tahun 2003.
Pemberian ASI saja sampai usia 6 bulan relatif masih rendah dan tidak ada peningkatan
dari tahun 1995 ke tahun 2003, yaitu sekitar 15-17%. (Lihat figure 21).
Figure 21. Persentasi pemberian ASI saja sampai 4 bulan dan 6 bulan menurut Provinsi,
Susenas 1995 dan 2003
ASI saja sampai 4 bulan
ASI saja sampai 6 bulan

5.

Kesehatan lingkungan dan pelayanan kesehatan dasar

Masalah kesehatan lingkungan dan pelayanan kesehatan dasar merupakan determinan


penting dalam bidang kesehatan. Berubahnya kondisi lingkungan akan berdampak
kepada berubahnya kondisi kesehatan masyarakat. Kecenderungan masalah lingkungan
yang menjadi issue penting saat ini antara lain: terjadinya perubahan iklim, mulai
berkurangnya sumber daya alam, terjadinya pencemaran lingkungan baik terhadap air
maupun udara. Kajian kesehatan lingkungan dilakukan dari data Susenas 1996, 1999, dan
2003 dengan menghitung proporsi rumah tangga yang mempunyai akses air bersih,
rumah tangga dengan lantai tanah, dan rumah tangga tanpa sanitasi. Figure 22
menunjukkan tidak terjadi perubahan yang menyolok dari tahun 1996 ke tahun 2003
hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Pada umumnya rumah tangga di daerah
Indonesia Timur mempunyai kondisi yang lebih buruk dibanding Sumatera dan Jawa.
Hampir 40% rumahtangga di NTB, NTT, Maluku, Papua, dan Sulawesi berkondisi tanpa

44

sanitasi yang memadai. Hanya di Sumatera ada peningkatan 13% rumah tangga dari
tahun 1999 ke tahun 2003 yang mempunyai akses air bersih.
Figure 22: Proporsi rumahtangga dengan kriteria kesehatan lingkungan 1996, 1999, 2003

Sumber: Analisis Susenas 1996, 1999, dan 2003.

Analisis pelayanan kesehatan dasar yang dapt dilakukan dari Susenas 2003, adalah
kelahiran pertama dan kedua yang dibantu oleh tenaga medis (dokter, bidan, tenaga
kesehatan lainnya atau non-medis (dukun, kerabat, lainnya). Rata-rata anak pertama lahir
dengan tenaga medis adalah: 62,05%; dan non-medis: 37,95%. Sedangkan kelahiran
anak kedua, rata-rata ditolong tenaga medis: 68,95%; dan non-medis 31,05%. Dari angka
rata-rata ini, jika kabupaten diklasifikasikan menjadi 4 untuk kelahiran tenaga medis,
yaitu: <25%; 25-50%, 50-75%, dan >=75%; maka dapat dilihat bahwa ada peningkatan
jumlah kabupaten untuk kelahiran anak kedua yang >75% dibantu tenaga medis.
Demikian sebaliknya kelahiran kedua yang ditolong tenaga-non medis (klasifikasi
kabupaten: <10%, 10-20%, 20-30%. >=40%). (Figure 23)
Figure 23. Jumlah kabupaten berdasarkan kelahiran pertama dan kedua dengan tenaga
medis dan non-medis
Tenaga Medis
Tenaga Non-medis

45

Sedangkan pelayanan gizi yang dilakukan melalui Posyandu, terutama untuk pemantauan
pertumbuhan dan penyuluhan gizi pada Susenas tidak ada informasinya. Pengamatan
berdasarkan laporan program aktivitas Posyandu ini cukup baik untuk balita terutama
sampai usia 2 tahun dengan integrasi imunisasi. Aktivitas selanjutnya sampai usia 5
tahun, cakupan program atau partisipasi masyarakat sangat bervariasi, mulai dari
terendah 10% sampai tertinggi 80%. Jika diamati pemantauan pertumbuhan yang
dilakukan rutin setiap bulan, partisipasinya masih sangat rendah berkisar antara 1-5%.
6.

Pendidikan

Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup
sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau
masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan
gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan,
khususnya tingkat pendidikan wanita mempengaruhi derajat kesehatan. Angka melek
huruf merupakan salah satu indikator penting yang juga akan membawa pengaruh positif
terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Data dari Susenas menunjukkan
bahwa tingkat buta huruf di Indonesia telah menurun dari 57,1% di tahun 1961, menjadi
12,75% pada tahun 1994. Selanjutnya, telah terjadi peningkatan angka melek huruf,
khususnya pada wanita, yakni dari 78,7% pada tahun 1990 pada kelompok usia 10 tahun
keatas. Pada tahun 1995, angka melek huruf ini menjadi 82,9%, dan pada tahun 2003
menjadi lebih baik yaitu 87,7%, dengan distribusi yang agak berbeda antara perkotaan
(93,0%) dan perdesaan (83,8%). Sedangkan pada laki-laki angka melek huruf adalah
94,2%, dimana perkotaan lebih baik dari perdesaan: 97,2% dan 91,9%.
Sedangkan Angka Partisipasi Murni untuk tingkat nasional, terlihat ada peningkatan
sedikit untuk anak SD, SLTP, dan SLTA dari tahun 1995 ke tahun 2002. Proporsi masuk
sekolah tingkat SLTA terlihat masih cukup jauh untuk mencapai 50% terutama untuk
perdesaan. (lihat tabel 7).
Pada tahun 2003, jika analisis kepemilikan ijazah atau sekolah yang ditamatkan
dilakukan hanya pada kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga, maka terlihat masih
rendahnya tingkat pendidikan kepala/ibu rumah tangga. Hanya 40% dari laki-laki yang
berpendidikan SLTP ke atas, 60% tidak sekolah dan tamat SD; pada perempuan
presentasinya lebih tinggi, yaitu 70% tidak sekolah dan hanya tamat SD. (Lihat figure
24).

46

Tabel 7. Angka Partisipasi Murni (APM) pada SD, SLTP dan SLTA
berdasarkan Gender, Susenas 1995, 1998, dan 2002.
Tingkat
Pendidikan
SD
-Perkotaan
-Perdesaan
Total
SLTP
-Perkotaan
-Perdesaan
Total
SLTA
-Perkotaan
-Perdesaan
Total

1995
Laki-Laki
Perempuan

1998
Laki-Laki
Perempuan

2002
Laki-Laki
Perempuan

92.99
90.76
91.47

92.29
91.34
91.64

92.97
91.92
92.13

92.50
92.02
92.18

92.76
92.58
92.65

92.34
93.05
92.76

66.65
42.56
50.77

66.42
42.92
51.32

69.33
48.87
56.09

70.14
50.49
57.86

71.38
53.29
60.88

72.34
55.01
62.44

52.18
21.76
33.52

48.00
19.93
31.74

56.84
24.29
37.70

54.30
24.21
37.25

54.15
25.63
38.65

51.35
25.15
37.54

Figure 24. Persentasi kepemilikan ijazah penduduk dewasa laki-laki dan perempuan,
2003

7.

Kemiskinan

Pada tahun 1970-an, Indonesia dikategorikan dalam kelompok Poor Country,


berpindah menjadi low-income country pada tahun 1980-an. Pada tahun 1995 masuk
dalam ranking middle-income countries (>$650). Pada tahun 1997 pendapatan per
kapita per tahun mencapai $1100. Krisis ekonomi menurunkan pendapatan per kapita
menjadi $670 pada tahun 1999, dan mulai meningkat kembali pada tahun 2000 ($703).
Krisis ekonomi telah menciptakan turunnya lapangan kerja dan banyaknya
pengangguran.
Indikator penting untuk mengukur tingkat pencapaian pembangunan adalah penurunan
angka kemiskinan. Sampai dengan tahun 1996, penduduk miskin di Indonesia terus

47

mengalami penurunan baik jumlah maupun persentasenya. Pada tahun 1980 penduduk
miskin berjumlah 42,3 juta (28,7%), turun menjadi 15,1% pada tahun 1990, dan menjadi
11,3% pada tahun 1996. Namun dengan terjadinya krisis moneter yang diikuti oleh krisis
ekonomi yang terjadi sejak pertengahan 1997 dan berlanjut hingga 1998, maka jumlah
penduduk miskin meningkat kembali dalam beberapa tahun berikutnya, bahkan mencapai
angka 18.2% pada tahun 2002.
Distribusi penduduk miskin ini bervariasi antar kabupaten, mulai dari yang terendah
2,6% sampai dengan yang tertinggi mencapai 61%. Jika kabupaten dibedakan
berdasarkan persen kemiskinan, maka distribusinya adalah sebagai Figure 25 berikut:
Figure 25. Jumlah Kabupaten berdasarkan persen kemiskinan, 2002

IV.

Analisis determinan masalah kesehatan dan gizi

Dari uraian di atas, diketahui ada peningkatan status gizi dan status kesehatan penduduk
Indonesia dilihat secara nasional, provinsi, maupun tingkat kabupaten. Walaupun
demikian, masalah gizi dan kesehatan ini masih cukup dominan pada wilayah tertentu.
Penurunan masalah gizi kurang, terutama pada balita, jika dibandingkan dengan negara
lain di Asia, Indonesia dapat menurunkan dari 39,9% tahun 1987 menjadi 27,3% pada
tahun 2002. Sementara Filipina berhasil mengurangi masalah gizi kurang pada balita dari
33,2% tahun 1982 menjadi 31,8% tahun 1998. Pada tabel 8 dapat dilihat perbandingan
masalah gizi kurang balita dengan negara lain pada tahun 2001.

48

Table 8. Perbandingan masalah gizi kurang pada balita pada beberapa negara di ASIA,
2001
Negara
Bangladesh
India
Cambodia
Pakistan
Myanmar
Vietnam
Srilangka
Indonesia
Thailand
Malaysia
China

Gizi kurang
(BB/U <-2SD)
(%)
47.8
47.0
45.9
38.2
36.0
33.1
33.0
26.1
18.6
18.3
9.6

Gizi kurang
(TB/U < -2SD)
(%)
44.8
45.6
46.0
37.2
36.4
17.0
45.6
16.0
16.7

Berat badan bayi lahir


rendah/BBLR
(%)
30.0
25.5
8.9
21.4
16.0
8.9
17.0
7.7
7.2
5.9

Pada uraian sebelumnya dijelaskan juga kemungkinan faktor atau penyebab yang
berpengaruh terhadap masalah gizi dan kesehatan dengan mengikuti kerangka pikir
Unicef, mulai dari penyebab langsung, ketahanan pangan tingkat rumah tangga sampai
akar masalahnya, yaitu tingkat pendidikan dan kemiskinan.
Selanjutnya untuk mempertajam analisis situasi kesehatan dan gizi ini, dilakukan kajian
penyebab tersebut di atas. Analisis dilakukan berdasarkan agregat kabupaten dari data
Susenas 2003, dengan menggunakan: Angka Kematian Bayi (AKB) untuk menilai
perubahan status kesehatan, dan Prevalensi Status gizi pada balita untuk menilai
perubahan status gizi.
Analisis regresi linier digunakan untuk mengamati asumsi perubahan AKB dan
prevalensi status gizi pada beberapa variabel sosial ekonomi. Hasil analisis
menyimpulkan bahwa perubahan AKB sangat siginifikan terjadi jika dilakukan upaya:
1. Penurunan kemiskinan
2. Peningkatan status gizi pada balita
3. Peningkatan pendidikan sampai jenjang DI/DIII pada laki-laki
4. Peningkatan pendidikan sampai minimal jenjang SLTP pada perempuan
5. Menambah jumlah rumah tangga yang memiliki tempat buang air besar sendiri
6. Memperkecil persentasi rumah dengan lantai tanah
7. Mengurangi angka morbiditas
8. Meningkatkan pertolongan persalinan dengan tenaga medis
9. Mengurangi perkawinan muda
10. Mengurangi pengeluaran konsumsi rokok
Sedangkan perubahan status gizi sangat signifikan terjadi jika dilakukan upaya:
1. Penurunan kemiskinan
2. Peningkatan pendidikan sampai jenjang SLTP pada laki-laki
3. Peningkatan pendidikan sampai jenjang SLTP pada perempuan

49

4.
5.
6.
7.
8.

Peningkatan pengeluran untuk konsumsi sumber energi


Peningkatan pengeluaran untuk konsumsi telur dan susu
Mengurangi pengeluaran konsumsi rokok
Meningkatkan penggunaan KB pada perempuan
Mengurangi angka morbiditas

Informasi yang tidak dapat dikaji dari Susenas adalah pengaruh pekerjaan terhadap status
gizi. Data HKI berikut ini menunjukkan perbedaan status gizi (gizi kurang berdasarkan
BB/U, TB/U, dan BB/TB < -2 SD) menurut jenis pekerjaan bapak dan ibu pada daerah
kumuh perkotaan dan perdesaan. (Figure 26 dan 27). Dapat dilihat bahwa anak balita dari
pegawai negeri prevalensi gizi kurang pada balita pada umumnya lebih rendah dibanding
jenis pekerjaan yang lain.
Figure 26. Prevalensi gizi kurang balita berdasarkan jenis pekerjaan bapak di Kumuh
perkotaan dan Perdesaan (Data HKI 1999-2001)
Kumuh perkotaan

Perdesaan

Figure 27. Prevalensi gizi kurang balita berdasarkan jenis pekerjaan ibu di Kumuh
perkotaan dan Perdesaan (Data HKI 1999-2001)
Kumuh perkotaan

Perdesaan

50

V.

Proyeksi status gizi penduduk sampai 2015

Dari uraian sebelumnya status kesehatan penduduk disebut tergantung dari


keadaan gizi. Jika status gizi penduduk dapat diperbaiki, maka status kesehatan dapat
tercapai. Berikut ini hanya memfokuskan proyeksi status gizi, berdasarkan situasi terakhir
2003 di Indonesia dan dibahas dengan memperhatikan Indonesia Sehat 2010, World Fit
for Children 2002, dan Millenium Development Goal 2015. Penurunan status gizi
tergantung dari banyak faktor. Berdasarkan uraian sebelumnya dan juga yang tertuang
pada bagan 1 dan bagan 2, penyebab yang mendasar adalah:
o Ketahanan pangan tingkat rumah tangga yang tidak memadai. Kajian pemantauan
konsumsi makanan tahun 1995 sampai dengan 1998, menyimpulkan (lihat tabel
10): 40-50% rumah tangga mengkonsumsi energi kurang dari 1500 Kkal dan 25%
rumah tangga mengkonsumsi protein 32 gram per orang per hari atau
mengkonsumsi <70% dari kecukupan yang dianjurkan. (Widyakarya Nasional
Pangan dan Gizi/WKNPG, 2000). Berdasarkan SP 2000, diperkirakan jumlah
rumah tangga adalah 51.513.364, berarti masalah ketahanan pangan melanda 2025 juta rumah tangga di Indonesia. Walaupun ada perbaikan pada tahun 2003
terhadap ketahanan pangan rumah tangga, kajian ini masih menujukkan rasio
pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total keluarga yang masih tinggi.
Paling tidak Indonesia masih menghadapi 20% kabupaten di perdesaan dimana
rasio ini masih >75%, dan 63% kabupaten dengan rasio pengeluaran pangan/non
pangan antara 65-75%.
o Ketahanan pangan tingkat rumah tangga ini berkaitan erat dengan kemiskinan,
yang berdasarkan kajian Susenas 2002, diketahui proporsi penduduk miskin
adalah 18.2% atau 38,4 juta penduduk (BPS, 2002). Sebaran penduduk miskin
tingkat kabupaten sangat bervariasi, masih ada sekitar 15% kabupaten dengan
persen penduduk miskin > 30%
o Ketidak seimbangan antar wilayah (kecamatan, kabupaten) yang terlihat dari
variasi prevalensi berat ringannya masalah gizi, masalah kesehatan lainnya, dan
masalah kemiskinan. Seperti diungkapan pada uraian sebelumnya bawah ada 75%
kabupaten di Indonesia menanggung beban dengan prevalensi gizi kurang pada
balita >20%.
o Tingginya angka penyakit infeksi yang berkaitan dengan sanitasi, lingkungan, dan
pelayanan kesehatan yang tidak memadai, disertai dengan cakupan imunisasi
yang masih belum universal. Penyakit infeksi penyebab kurang gizi pada balita
antara lain ISPA dan diare. Hasil SDKI tahun 1991, 1994 dan 1997 prevalensi
ISPA tidak menurun yaitu masing-masing 10%, 10% dan 9%. Bahkan hasil SKRT
2001 prevalensi ISPA sebesar 17%. Sedangkan prevalensi diare SDKI 1991, 1994
dan 1997 juga tidak banyak berbeda dari tahun ketahun yaitu masing-masing
11%, 12% and 10%; dan hasil SKRT 2001 adalah sebesar 11%.
o Cakupan program perbaikan gizi pada umumnya rendah, banyak Posyandu yang
tidak berfungsi. Pemantauan pertumbuhan hanya dilakukan pada sekitar 30% dari
jumlah balita yang ada.
o Pemberian ASI saja pada umumnya masih rendah, dan adanya kecenderungan
yang menurun dari tahun 1995 ke tahun 2003. Lebih lanjut pemberian ASI saja

51

sampai 6 bulan cenderung renda, hanya sekitar 15-17%. Setelah itu pemberian
makanan pendamping ASI menjadi masalah dan berakibat pada penghambatan
pertumbuhan.
o Masih tingginya prevalensi anak pendek yang menunjukkan masalah gizi di
Indonesia merupakan masalah kronis.
o Masih tingginya angka kematian ibu, bayi dan balita, rendahnya pendapatan dan
rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan indeks SDM rendah.
o Rendahnya pembiayaan untuk kesehatan baik dari sektor pemerintah dan nonpemerintah (tahun 2000: Rp 147.0/kapita/tahun), demikian juga pembiayaan
untuk gizi (tahun 2003: Rp 200/kapita/tahun).
Dari besaran masalah gizi 2003 dan penyebab yang multi faktor, maka dapat diprediksi
proyeksi kecenderungan gizi yad seperti berikut:
1.

Proyeksi prevalensi gizi kurang pada balita

Dari uraian sebelumnya, penurunan prevalensi gizi kurang pada balita (berat badan
menurut umur) yang dikaji berdasarkan Susenas 1989 sampai dengan 2003 adalah
sebesar 27% atau penurunan prevalensi sekitar 2% per tahun. Telah banyak intervensi
yang dilakukan untuk meningkatkan status gizi pada balita, antara lain pelayanan gizi
melalui Posyandu. Dengan meningkatkan upaya pelayanan status gizi terutama berkaitan
dengan peningkatan konseling gizi kepada masyarakat, diharapkan terjadi penurunan
prevalensi gizi kurang minimal sama dengan periode sebelumnya atau sebesar 30%. Pada
hasil kajian Susenas 2003, prevalensi gizi kurang adalah 19,2% dan gizi buruk 8,3%.
Dengan asumsi penurunan 30%, diperkirakan pada tahun 2015 prevalensi gizi kurang
menjadi 13,7% dan prevalensi gizi buruk menjadi 5.7%
2.

Proyeksi prevalensi gizi kurang (stunting) pada anak baru masuk sekolah

Perubahan ukuran fisik penduduk merupakan salah satu indikator keberhasilan upaya
peningkatan kualitas sumber daya manusia. Sudah diketahui bersama bahwa dibanyak
negara anak-anak tumbuh lebih cepat dari 20-30 tahun yang lalu. Mereka tidak hanya
matang lebih awal tetapi juga mencapai pertumbuhan dewasa lebih cepat. Dari beberapa
penelitian yang dilakukan pada beberapa negara, menunjukkan adanya perbedaan tinggi
badan antara kelompok usia 20 tahun dan 60 tahun pada pria maupun wanita dewasa
setinggi kurang lebih 8 cm. Dinyatakan pula bahwa pada kebanyakan negara sedang
berkembang secular trend dari kenaikan tinggi badan adalah 1 cm untuk setiap decade
semenjak tahun 1850. Perubahan ini sangat erat kaitannya dengan keadaan lingkungan
dan perubahan kualitas hidup manusia. Di Indonesia penelitian secular trend kenaikan
tinggi badan penduduk dari satu waktu tertentu. Informasi yang ada adalah hasil survei
ansional 1978 dan 1992 pada anak balita dari 15 provinsi. Dari hasil kedua survei
tersebut, dinyatakan bahwa ada perubahan rata-rata tinggi badan sebesar 2,3 cm pada
anak laki-laki dan 2,4 cm pada anak perempuan dalam jangka waktu 14 tahun.
Analisis yang dilakukan pada survei TBABS menunjukkan penurunan prevalensi gizi
kurang (stunting) pada anak baru masuk sekolah tahun 1994-1999 sebesar 3.7%. Stunting

52

atau pendek merupakan masalah gizi kronis dan pada umumnya penurunan sangat
lambat. Pengalaman kenaikan tinggi badan rata-rata dari generasi ke generasi pada negara
sedang berkembang pada umumnya setinggi 1 cm dalam periode 10 tahun. Dari tabel 6
terlihat kenaikan tinggi badan rata-rata anak baru masuk sekolah dari tahun 1994 ke
tahun 1999 dalam waktu 5 tahun berkisar antara 0.1-0.3 cm. Dengan situasi tahun 1999
dengan penurunan hanya 3,7% dalam kurun waktu 5 tahun, serta menggunakan asumsi
yang sama dengan penurunan prevalensi gizi kurang pada balita, yaitu 40% maka pada
tahun 2015 prevalensi stunting pada anak baru masuk sekolah diasumsikan akan menjadi
24%.
3. Proyeksi KEK pada Wanita Usia Subur
Berdasarkan kajian Susenas 1999-2003, penurunan proporsi risiko KEK berkisar antara
5-8% dalam kurun waktu 4 tahun tergantung pada kelompok umur. Kelompok wanita
usia subur sampai dengan tahun 2003 belum menjadi prioritas program perbaikan gizi.
Untuk peningkatan status gizi penduduk, kelompok umur ini terutama pada WUS usia 15
19 tahun harus menjadi prioritas untuk masa yang akan datang. Seperti yang terlihat
pada Figure 10, 35-40% WUS usia 15-19 tahun berisiko KEK.
Intervensi yang dilakukan untuk kelompok umur ini mungkin tidak terlalu kompleks
dibanding intervensi pada balita atau ibu hamil. Akan tetapi intervensi yang dilakukan
akan lebih banyak bermanfaat untuk membangun sumber daya manusia generasi
mendatang. Dengan menggunakan asumsi penurunan yang terjadi dari tahun 1999 2003
untuk kelompok umur 15-19 tahun. Dengan posisi proporsi resiko KEK 35% pada tahun
2003, pada tahun 2015 asumsinya akan menjadi 20%. Asumsi penurunan proporsi KEK
pada kelompok WUS 15-19 tahun 2015 diharapkan dapat menekan terjadinya BBLR,
menurunkan prevalensi gizi kurang pada balita dan juga mempercepat kenaikan tinggi
badan anak Indonesia.
4. Proyeksi masalah gizi mikro
Masalah gizi mikro yang sudah terungkap sampai dengan tahun 2003 adalah masalah
KVA, GAKY dan Anemia Gizi. Masih banyak masalah gizi mikro lainnya yang belum
terungkap akan tetapi berperan sangat penting terhadap status gizi penduduk, seperti
masalah kurang kalsium, kurang asam folat, kurang vitamin B1, kurang zink.
Mayoritas intervensi yang telah dilakukan untuk mengurangi masalah KVA, GAKY dan
Anemia Gizi di Indonesia masih berkisar pada suplementasi atau pemberian kapsul
vitamin A, kapsul yodium, maupun tablet besi. Strategi lain yang jauh lebih efektif seperti
fortifikasi, penyuluhan untuk penganekaragaman makanan masih belum dilaksanakan.
Untuk proyeksi masalah gizi mikro sampai dengan tahun 2015 sesuai dengan informasi
yang tersedia sampai dengan tahun 2003 ini hanya dapat dilakukan untuk masalah KVA,
GAKY dan anemia gizi. Data dasar untuk keseluruhan masalah gizi mikro untuk waktu
mendatang perlu dilakukan, karena informasi untuk kurang kalsium, zink, asam folat,

53

vitamin B1 hanya tersedia dari hasil informasi konsumsi makanan pada tingkat rumah
tangga yang cenderung defrisit dalam makanan sehari-hari.
Pada uraian sebelumnya diketahui masalah KVA pada balita diketahui hanya dari hasil
survei 1992. Pada survei tersebut dinyatakan masalah xeroftalmia sebagai dampak dari
KVA sudah dinyatakan bebas dari Indonesia, akan tetapi 50% balita masih menderita
serum retinal <20 mg, dimana dengan situasi ini akan dapat mencetus kembali
munculnya kasus xeroftalmia. Dari beberapa laporan, kasus xeroftalmia ternyata sudah
mulai muncul kembali, terutama di NTB. Pemberian kapsul vitamin A pada balita
diasumsikan belum mencapai seluruh balita. Intervensi KVA dengan distribusi kapsul
vitamin A dosis tinggi untuk 5 tahun kedepan masih dianggap perlu, selain strategi lain
(fortifikasi, penyuluhan, dan penganekaragaman makanan) mulai diintensifkan.
Diharapkan dengan multiple strategy 50% KVA pada balita dapat ditekan menjadi 25%
pada tahun 2015, atau penurunan 50%.
Tahun 2003 ini sudah dilakukan evaluasi penanggulangan GAKY untuk mengetahui
prevalensi GAKY setelah informasi terakhir adalah 9,8% pada tahun 1996/1998. pada
tahun 1996 diasumsikan prevalensi GAKY akan diturunkan sekurang-kurangnya 50%
pada tahun 2003 setelah intensifikasi proyek penanggulangan GAKY (IP-GAKY) 19972003. Akan tetapi, penurunan ini secara nasional tidak terjadi, masih banyak masalah
yang belum teratasi secara tuntas dalam penanggulangan ini, antara lain konsumsi garam
beryodium tingkat rumah tangga masih belum universal (SUSENAS 2003 menunjukkan
hanya 73% rumah tangga mengkonsumsi garam beryodium). Selain itu pemantauan
pemberian kapsul yodium pada daerah endemik berat dan sedang tidak diketahui sampai
sejauh mana kapsul ini diberikan pada kelompok sasaran. Mengingat masalah GAKY
sangat erat kaitannya dengan kandungan yodium dalam tanah, pada umumnya prevalensi
GAKY pada penduduk yang tinggal di daerah endemik berat dan sedang dapat menurun
setelah intervensi kapsul yodium dalam periode tertentu dan akan membaik jika
konsumsi garam beryodium dapat universal. Akan tetapi jika pemberian kapsul tidak
tepat sasaran dan garam beyodium tidak bisa universal, prevalensi GAKY ada
kemungkinan akan meningkat lagi. Dengan kondisi ini, ada kemungkinan prevalensi
GAKY tidak bisa seratus persen ditanggulangi dalam kurun waktu 12 tahun kedepan
(sampai dengan 2015). Diharapkan TGR pada tahun 2015 dapat ditekan menjadi kurang
dari 5%.
Penanggulangan anemia sampai dengan 2002 masih difokuskan pada ibu hamil. Seperti
yang diungkapkan pada uraian sebelumnya prevalensi anemia pada ibu hamil menurun
dari 50,9% (1995) menjadi 40% (2001). Penanggulangan anemia untuk yang akan datang
diharapkan tidak saja untuk ibu hamil, akan tetapi juga untuk wanita usia subur dalam
rangka menekan angka kematian ibu dan meningkatkan produktivitas kerja. Angka
prevalensi anemia pada WUS menurut SKRT 2001 adalah 27,1%. Diproyeksikan angka
ini menjadi 20% pada tahun 2015. Asumsi penurunan hanya sekitar 30% sampai dengan
2015, karena sampai dengan tahun 2002, intervensi penanggulangan anemia pada WUS
masih belum intensif.

54

Asumsi penurunan prevalensi masalah gizi ini perlu disempurnakan dengan


memperhatikan angka kecenderungan kematian, pola penyakit, tingkat konsumsi,
pendapatan dan pendidikan. Selain itu sampai dengan tahun 2003, masih banyak masalah
gizi yang belum terungkap terutama berkaitan dengan masalah gizi mikro lainnya yang
mempunyai peran penting dalam perbaikan gizi secara menyeluruh.
VI.

Pemikiran program perbaikan gizi dan kesehatan untuk yang akan


datang

Berangkat dari besarnya masalah gizi dan kesehatan serta bervariasinya faktor penyebab
masalah ini antar wilayah, maka diperlukan program yang komprehensif dan terintegrasi
baik di tingkat kabupaten, provinsi, maupun nasional. Jelas sekali kerja sama antar sektor
terkait menjadi penting, selain mengurangi aktivitas yang tumpang tindih dan tidak
terarah. Berikut ini merupakan pemikiran untuk program yang akan datang, antara lain:
1.

Banyak hal yang harus diperkuat untuk melaksanakan program perbaikan


gizi, mulai dari ketersediaan data dan informasi secara periodik untuk dapat
digunakan dalam perencanaan program yang benar dan efektif. Kajian strategi
program yang efisien untuk masa yang datang mutlak diperlukan, mulai dari tingkat
nasional sampai dengan kabupaten.

2.

Melakukan penanggulangan program perbaikan gizi dan kesehatan yang


bersifat preventif untuk jangka panjang, sementara kuratif dapat diberikan pada
kelompok masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Bentuk program efektif
seperti perbaikan perilaku kesehatan dan gizi tingkat keluarga dilakukan secara
professional mulai dipikirkan, dan tentunya dengan ketentuan atau kriteria yang
spesifik lokal.

3.

Melakukan strategi program khusus untuk penanggulangan kemiskinan,


baik di daerah perkotaan maupun perdesaan dalam bentuk strategi pemberdayaan
keluarga dan menciptakan kerja sama yang baik dengan swasta.

4.

Secara bertahap melakukan peningkatan pendidikan, strategi ini


merupakan strategi jangka panjang yang dapat mengangkat Indonesia dari berbagai
masalah gizi dan kesehatan.

55

Daftar Rujukan
Nutrition throughout life cycle. 4th report on The World Nutrition Situation,
January 2000
2.
Unicef (1998). The State of the Worlds Children 1998. Oxford: Oxford
University Press.
3.
Draft II Rencana Aksi program Pangan dan gizi nasional, Depkes 2000
4.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI, Jakarta 1998
5.
Widyakarya Nasioanl Pangan dan Gizi VII, Jakarta 2000
6.
End decade statistical report: Data and Descriptive Analysis, BPS-Unicef 2000
7.
World Development Report 2000/2001: Attacking poverty
8.
WHO, 2000. Nutrition for Health and Development
9.
Puguh B Irawan and Henning Romdiati. Dampak krisis ekonomi terhadap
kemiskinan dan beberapa implikasinya untuk strategi pembangunan. Widyakarya
Nasional Pangan dan Gizi VII, 2001.
10.
IDHR, 2001. Indonesia Human Development Report 2001. Towards a new
consensus Democracy and human development in Indonesia.
11.
Laporan studi angka kematian bayi dan balita Susenas 1995, 1998 dan 2001,
Litbangkes, Depkes 2002
12.
Laporan Studi Mortalitas 2001: Pola Penyakit dan penyebab kematian di
Indonesia, Litbangkes, Depkes 2002
13.
Soemantri S, Tinjauan kembali angka kematian ibu di Indonesia, 2003.
14.
Laporan SKRT 1995 dan 2001, Status gizi wanita usia subur dan balita,
Litbangkes, Depkes 2003
1.

Peningkatan Status Gizi Ibu dan Balita Langkah Awal Peningkatan SDM
25 May 2004
Jakarta,KBI Gemari
Peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) hanya dapat dicapai apabila perbaikan status
gizi dan kesehatan dilakukan sejak masa kehamilan, bayi, balita, anak sekolah, remaja,
sampai dengan usia lanjut. Oleh karenanya, meningkatkan status gizi ibu dan balita
merupakan langkah awal untuk meningkatkan SDM.
Hal itu dikemukakan Menteri Kesehatan Dr Achmad Sujudi, saat Rapat Kerja dengan
Komisi VII DPR RI yang dipimpin oleh Ketua Komisi VII Iping Somantri,SH dari Fraksi
TNI/Polri.
Lebih lanjut Sujudi mengatakan, akibat gizi buruk akan mengakibatkan kualitas SDM
yang rendah dengan ditandai oleh defisit tingkat kecerdasan (IQ), defisit skor mental
Development Index (MDI) dan Physical Development Index (PDI), serta fisik lebih
pendek dan ringan.
Terkait dengan hal itu, dalam rangka upaya penanganan balita gizi buruk, di Pusat
Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan Badan Litbangkes telah dibentuk Klinik
Gizi untuk memberikan penanganan secara rawat jalan.
Berdasarkan penelitian dan diperkuat dengan anjuran Badan Kesehatan Dunia (WHO),

56

perbaikan gizi balita harus dimuali sejak dini, bahkan ASI eksklusif merupakan makanan
terbaik bagi bayi. Tidak heran kalau Pemberian ASI Ekslusif dianjurkan untuk diberikan
pada bayi selama 6 bulan.
Setelah dilakukan penanganan terhadap Balita Gizi buruk diperoleh beberapa kesimpulan
diantaranya, KEP pada usia dini berdampak terhadap pertumbuhan fisik, intelektual anak
selanjutnya. Sedangkan pada anak sekolah KEP dan kekurangan zat gizi mikro akan
mengakibatkan hambatan kemajuan prestasi belajar. Untuk mengantisipasinya perlu
diberikan makanan tambahan glikemik tinggi, penambahan glukosa pada anak sekolah
dapat meningkatkan kemampuan mengingat dan menghitung.
Kebijakan upaya perbaikan gizi dikembangkan dan diarahkan untuk meningkakan status
gizi masyarakat. Pada saat krisis ekonomi di Indonesia yang berlangsung cukup lama,
kebijakan yang dilakukan bersifat penyelamatan (rescue) dan pencegahan Lost
generation sekaligus pembaharuan (reform) agar kejadian ini tidak terulang kembali.
Untuk itu maka kebijakan harus menjangkau berbagai faktor yaitu, kebijakan jangka
pendek, bertujuan menangani anak dan keluarga yang terpuruk akibat krisis. Sedangkan
kebijakan jangka menengah dan panjang berupa reformjasi kabijakan perbaikan gizi yang
tujuannya mensinergikan subsistem pelayanan kesehatan dan pembiayaan kesehatan yang
didukung oleh sistem ketahanan pangan dan gizi berbasis keluarga dan kemampuanm
produksi, keragaman sumberdaya bahan pangan serta kelembagaan dan budaya lokal.
Upaya Yang Dilakukan
Untuk menurunkan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk pada balita yang masih tinggi,
Departemen Kesehatan telah melakukan hal-hal berikut, yaitu memfokuskan intevensi
gizi (pemberian makanan tambahan) pada anak 6-23 bulan (sebelumnya 6-11 bulan)
terutama bagi keluarga miskin yang kurang gizi, dan mempromosikan keluarga sadae gizi
(kadarzi) untuk mencapai perilaku gizi seimbang dengan ciri-ciri memantau status gizi
secara berkala, memberikan ASI saja kepada bayi sejak lahir sampai berumur 6 bulan,
hanya mengonsumsi garam beryodium, mengonsumsi aneka ragam makanan, mampu
memanfaatkan potensi keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan. (B5/B2/D1)
http://kbi.gemari.or.id/beritadetail.php?id=2195

57

Anda mungkin juga menyukai