Bab I
Bab I
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmad dan
karunia-Nya kami dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Keratitis.
Dalam makalah ini kami menjelaskan mengenai pentingnya pemahaman mengenai kasus
Keratitis. Adapun tujuan kami menulis makalah ini yang utama untuk memenuhi tugas dari
dokter pendamping yang membimbing kami. Tujuan utama dari makalah ini sendiri lebih
difokuskan pada penjelasan rinci mengenai definisi, etiologi, penanganan segera, komplikasi dan
prognosis Keratitis.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu. Diharapkan
kritik dan saran pembaca demi kesempurnaan tugas kami untuk kedepannya. Mudah mudahan
tugas ini bermanfaat bagi staf puskesmas dan masyarakat argamakmur.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Keratitis merupakan kelainan akibat terjadinya infiltrasi sel radang pada kornea
yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh. Keratitis ini diakibatkan oleh berbagai
organisme bakteri,virus, jamur, atau parasit, abrasi sedikitpun bisa menjadi pintu masuk
bakteri. Kebanyakan infeksi kornea terjdi akibat trauma atau gangguan mekanisme
pertahanan sistemis ataupun lokal.
Infeksi ini terjadi bila kornea tidak dilembabkan secara memadai dan dilindungi
oleh kelopak mata. Kekeringan kornea dapat terjadi dan kemudian dapat diikuti ulserasi
dan infeksi sekunder. Pemajanan kornea dapat diebabakan oleh karena keadaan
eksoptalmus, paresis saraf kranial VII tetapi juga dapat terjadi pada pasien koma atau
yang dianastesi.
Permasalahan terkait kesehatan mata di Indonesia cukup banyak dimulai dari
kelainan kongenital pada mata, infeksi/peradangan pada mata hingga tingginya angka
kebutaan di Indonesia. Keratitis atau peradangan pada kornea adalah permasalahan mata
yang cukup sering dijumpai mengingat lapisan kornea merupakan lapisan yang
berhubungan langsung dengan lingkungan luar sehingga rentan terjadinya trauma
ataupun infeksi. Hampir seluruh kasus keratitis akan mengganggu kemampuan
penglihatan seseorang yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas hidup seseorang.
Karena itu penting sebagai dokter umum untuk dapat mengenali dan menanggulangi
kasus keratitis (sejauh kemampuan dokter umum) yang terjadi di masyarakat baik sebagai
dokter keluarga ataupun dokter yang bekerja di strata pelayanan primer. Oleh karena itu,
pada kesempatan ini, penulis membuat pembahasan kasus referat ini mengenai keratitis
khusunya yang disebabkan oleh bakteri, virus dan jamur.
2. Tujuan Kegiatan
2.1 Megidentifikasi masasalah kesehatan Keratitis
2.2 Memberikan pengetahuan kepada pasien dan keluarga tentang keratitis, mulai dari
definasi, etiologi, penanganan awal dan penanganan dipusat pelayanan kesehatan,
komplikasi serta prognosisnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi Mata
1.1 Anatomi Kornea
Kornea adalah jaringan transparan avaskuler sebagai membran pelindung yang
dilalui berkas cahaya menuju retina. Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 0,54
mm di tengah, sekitar 0,65 mm di tepi dan diameternya sekitar 11 12 mm
(horizontal) dan 10 11 mm (vertikal). Indeks refraksi kornea 1.376. Tetapi dalam
mengkalibrasi keratometer untuk menghitung kombinasi kekuatan optik lengkung
kornea anterior dan posterior digunakan indeks refraksi 1.3375. Kornea asferis,
walaupun jari-jari lengkung kornea sering didapatkan sebagai cermin cembung
sferosilindris membentuk tengah permukaan anterior kornea, yang disebut kornea
gap.1
Rata-rata jari-jari tengah kornea 7-8 mm (6.7-9.4 mm). kornea member kontribusi
43.25 dioptri (74%) dari total 58.60 dioptri mata orang normal. Kornea juga
menyebabkan astigmatisme pada sistem optikal.1
Kornea merupakan jaringan transparan, yang bentuknya hampir sebagai lingkaran
dan sedikit lebih lebar pada daerah trasversal (12 mm) dari pada arah vertikal dan
mengisi bola mata di bagian depan. Kornea memiliki kemampuan refraksi yang
sangat kuat, yang menyuplai 2/3 atau sekitar 70% pembiasan sinar. Karena kornea
tidak memiliki pembuluh darah, maka kornea akan berwarna jernih dan memiliki
permukaan yang licin dan mengkilat. Bila terjadi perubahan, walaupun kecil pada
permukaan
kornea,
akan
mengakibatkan
gangguan
pembiasan
sinar
dan
Kornea sangat sensitif karena terdapat banyak serabut sensorik. Saraf sensorik ini
berasal dari nervus cilliaris longus yang berasal dari nervus nasosiliaris yang
merupakan cabang saraf oftalmikus dari nervus trigeminus. Kornea dalam bahasa
latin cornum artinya seperti tanduk merupakan selaput bening mata dengan
ketebalan kornea dibagian sentral hanya 0,5 mm, yang terdiri dari lima lapisan, yaitu
lapisan epitel, lapisan Bowman, stroma, membran descemet, dan lapisan endotel.
1.
2.
kehilangan kejernihannya.2
Membrane Bowman, merupakan membran jernih yang aseluler terletak
dibawah lapisan epitel. Merupakan lapisan kolagen yang tidak teratur
seperti stroma dan berasal dari epitel bagian depan stroma. Karena lapisan
ini sangat kuat dan sulit untuk dipenetrasi, maka lapisan ini melindungi
kornea dari trauma yang lebih dalam, namun lapisan ini tidak memiliki
3.
daya regenerasi.
Stroma, merupakan lapisan kornea yang paling tebal mencakup sekitar
90% dari ketebalan kornea. Bagian ini tersusun dari lamellae fibril-fibril
5.
dan
kemudian
hilangnya
transparansi
(kekeruhan)
akan
terjadi. Permeabilitas dari kornea ditentukan oleh epitel dan endotel yang
merupakan membran semipermeabel, kedua lapisan ini mempertahankan
kejernihan kornea, jika terdapat kerusakan pada lapisan ini maka akan
terjadi edema kornea dan kekeruhan pada kornea.2,3,5
menjadi hipertonik; proses itu dan penguapan langsung adalah faktor-faktor yang
menarik air dari stroma kornea superfisial untuk mempertahankan keadaan dehidrasi.
Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-lemak dapat
melalui epitel utuh, dan substansia larut air dapat melalui stroma yang utuh. Oleh
karena itu agar dapat melalui kornea, obat harus larut lemak dan larut air
sekaligus. Kegunaan kornea adalah sbb:
1. Kornea mempunyai kemampuan membiaskan cahaya yang paling kuat
dibanding dengan sistem optik retaktif lainnya.
2. Kubah kornea akan membiaskan sinar kelubang pupil didepan lensa. Kubah
kornea yang semakin cembung akan memiliki daya bias yang kuat.
3. Peran kornea sangat penting dalam menghantarkan cahaya masuk kedalam
mata untuk menghasilkan penglihatan yang tajam, maka kornea memerlukan
kejernihan, kehalusan dan kelengkungan tertentu
Sumber-sumber nutrisi untuk kornea adalah adalah pembuluh-pembuluh darah
limbus, humor aquous dan air mata. Kornea superfisial juga mendapatkan oksigen
sebagian besar dari atmosfer. Saraf-saraf sensorik kornea didapat dari percabangan
pertama (oftalmika) dan nervus kranialis V (trigeminus).
Transparansi kornea disebabkan karena beberapa faktor diantaranya karena
kornea tidak mempunyai zat tanduk, pembuluh darah, struktur dan susunan jaringan
relatif homogen dan teratur. Permukaan kornea dikelilingi oleh cairan , agar mampu
menahan cairan pada tingkat tertentu maka dibagian depan kornea terdapat epitel dan
dibagian belakang diliputi endotel, yang berfungsi memompa cairan keluar kornea
apabila berlebihan.
2. Definisi
Keratitis adalah peradangan kornea akibat terjadinya infiltrasi sel radang pada
kornea yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh. Akibat terjadinya keekeruhan
pada media kornea ini, tajam pengelihatan akan menurun. Mata menjadi merah akibat
injeksi siliar
Keratitis sendiri diartikan sebagai peradangan pada kornea yang ditandai dengan
adanya infiltrasi sel radang dan edema kornea pada lapisan kornea manapun yang dapat
bersifat akut atau kronis yang disebabkan oleh berbagai faktor antara lain bakteri, jamur,
virus atau karena alergi.
makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang ada di limbus
dan tampak sebagai injeksi pada kornea. Sesudah ituterjadilah infiltrasi dari sel-sel
lekosit, sel-sel polimorfonuklear, sel plasma yang mengakibatkan timbulnya infiltrat,
yang tampak sebagai bercak kelabu, keruh dan permukaan kornea menjadi tidak licin.
Epitel kornea dapat rusak sampai timbul ulkus. Adanya ulkus ini dapat dibuktikan
dengan pemeriksaan fluoresin sebagai daerah yang berwarna kehijauan pada kornea. Bila
tukak pada kornea tidak dalam dengan pengobatan yang baik dapat sembuh tanpa
meninggakan jaringan parut, namun apabila tukak dalam apalagi sampai terjadi perforasi
penyembuhan akan disertai dengan terbentuknya jaringan parut. Mediator inflamasi
yang dilepaskan pada peradangan kornea juga dapat sampai ke iris dan badan siliar
menimbulkan peradangan pada iris. Peradangan pada iris dapat dilihat berupa kekeruhan
di bilik mata depan. Kadang-kadang dapat terbentuk hipopion.
5. Gejala Klinis
Pasien dengan keratitis biasanya datang dengan keluhan adanya sensasi benda
asing, mata merah, mata berair, penglihatan yang kabur, dan fotofobia, serta sulit
membuka mata (Blepharospasme).
6. Etiologi
Keratitis dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: infeksi (bakteri, virus, jamur,
dan acantamoeba), iritasi bahan kimia, keracunan obat, alergi, dan konjungtivitis kronis.
Selain itu juga ada beberapa faktor predisposisi yang dapat menyebabkan inflamasi pada
kornea yaitu: blefaritis, infeksi apendisk mata (dakrostenosis), perubahan barier epitel
kornea (dry eyes/nullous keratopaty), penggunaan lensa kontak, lagoftalmus, trauma, dan
agen imunosupresan (topical dan sistemik).
a. Bakteri
Banyak ulkus kornea bakteri mirip satu sama lain. Streptococcus
pneumonia merupakan penyebab ulkus kornea bakteri di banyak bagian dunia.
Penyebab lainnya yaitu Pseudomonas aeruginosa, Moraxella liquefaciens,
Streptococcus
beta-hemolyticus,
Staphylococcus
aureus,
Mycobacterium
Karakteritik klinik ulkus kornea oleh karena bakteri sulit untuk menentukan jenis
bakteri sebagai penyebabnya, walaupun demikian sekret yang berwarna kehijauan
dan bersifat mukopurulen khas untuk infeksi oleh karena P. aerogenosa.
Kebanyakan ulkus kornea terletak di sentral, namun beberapa terjadi di
perifer.1,3,4,6
Meskipun awalnya superfisial, ulkus ini dapat mengenai seluruh kornea
terutama jenis P.aeroginosa. Batas yang maju menunjukkan ulserasi aktif dan
infiltrasi, sementara batas yang ditinggalkan mulai sembuh. Biasanya kokus gram
positif,Staphylococcus aureus, S. Epidermidis, Streptococcus pneumonia akan
memberikan gambaran tukak yang terbatas, berbentuk bulat atau lonjong,
berwarna putih abu abu pada anak tukak yang supuratif, daerah kornea yang
tidak terkena akan tetap berwarna jernih dan tidak terlihat infiltrasi sel radang.
Bila tukak disebabkan oleh P. Aeroginosa makan tukak akan terlihat melebar
secara cepat, bahan purulent berwarna kuning hijau terlihat melekat pada
permukaan tukak.
Infeksi bakteri umumnya kondisi yang mengancam penglihatan. Secara
klinis onset nyerinya sangat cepat disertai dengan injeksio konjungtiva, fotofobia
dan penurunan visus pada pasien dengan ulkus kornea bakterial, inflamasi
endotel, tanda reaksi bilik mata depan, dan hipopion sering ada. Penyebab infeksi
tumbuh lambat, organisme seperti mycobakteria atau bakteri anaerob infiltratnya
tidak bersifat supuratif dan lapisan epitel utuh. Penggunaan kortikosteroid, kontak
lensa, graf kornea yang telah terinfeksi kesemuanya merupakan predisposisi
terjadinya infeksi bakterial.1,8
b. Virus
Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks dapat bersifat primer dan
kambuhan. Infeksi primer ditandai oleh adanya demam, malaise, limfadenopati
preaurikuler, konjungtivitis folikutans, bleparitis, dan 2/3 kasus terjadi keratitis
epitelial. Kira-kira 94-99% kasus bersifat unilateral, walaupun pada 40% atau
lebih dapat terjadi bilateral khususnya pada pasien-pasien atopik. Infeksi primer
dapat terjadi pada setiap umur, tetapi biasanya antara umur 6 bulan-5 tahun atau
16-25 tahun. Keratitis herpes simpleks didominasi oleh kelompok laki-laki pada
umur 40 tahun ke atas.
herpes
simplek
dan
herpes
zoster.Yang
reaksi
alergi
terhadap
virusnya.
Biasanya
unilateral.
neovasklarisasi.
Kadang-kadang
sembuh
dengan
8. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, gejala klinik dan hasil
pemeriksaan mata. Dari hasil anamnesis sering diungkapkan riwayat trauma, adanya
riwayat penyakit kornea, misalnya pada keratitis herpetic akibat infeksi herpes simpleks
sering kambuh, namun erosi yang kambuh sangat sakit dan keratitis herpetic tidak,
penyakit-penyakit ini dapat dibedakan dari gejalanya. Anamnesis mengenai pemakaian
obat lokal oleh pasien, karena mungkin telah memakai kortikosteroid, yang dapat
merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, atau virus terutama keratitis herpes
simpleks. Juga mungkin terjadi imunosupresi akibat penyakit-penyakit sistemik, seperti
diabetes, AIDS, dan penyakit ganas, selain oleh terapi imunosupresi khusus.
Pasien dengan keratitis biasanya datang dengan keluhan iritasi ringan, adanya
sensasi benda asing, mata merah, mata berair, penglihatan yang sedikit kabur, dan silau
(fotofobia) serta sulit membuka mata (blepharospasme).
Penderita akan mengeluh sakit pada mata karena kornea memiliki banyak serabut
nyeri, sehingga amat sensitif. Kebanyakan lesi kornea superfisialis maupun yang sudah
dalam menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit diperberat oleh kuman kornea
bergesekan dengan palpebra. Karena kornea berfungsi sebagai media untuk refraksi sinar
dan merupakan media pembiasan terhadap sinar yang masuk ke mata maka lesi pada
kornea umumnya akan mengaburkan penglihatan terutama apabila lesi terletak sentral
pada kornea.
Fotofobia yang terjadi biasanya terutama disebabkan oleh kontraksi iris
yang meradang. Dilatasi pembuluh darah iris adalah fenomena refleks yang disebabkan
iritasi pada ujung serabut saraf pada kornea. Pasien biasanya juga berair mata namun
tidak disertai dengan pembentukan kotoran mata yang banyak kecuali pada ulkus kornea
yang purulen. 2,3,4
Dalam mengevaluasi peradangan kornea penting untuk membedakan apakah
tanda yang kita temukan merupakan proses yang masih aktif atau merupakan kerusakan
dari struktur kornea hasil dari proses di waktu yang lampau. Sejumlah tanda dan
pemeriksaan sangat membantu dalam mendiagnosis dan menentukan penyebab dari suatu
peradangan kornea seperti: pemeriksaan sensasi kornea, lokasi dan morfologi kelainan,
pewarnaan dengan fluoresin, neovaskularisasi, derajat defek pada epithel, lokasi dari
infiltrat pada kornea, edema kornea, keratik presipitat, dan keadaan di bilik mata depan.
Tanda-tanda yang ditemukan ini juga berguna dalam mengawasi perkembangan penyakit
dan respon terhadap pengobatan. 6
Pemeriksaan diagnosis yang biasa dilakukan adalah :
1. Ketajaman penglihatan
2. Tes refraksi
3. Pemeriksaan slit-lamp (biomikroskop), penting untuk pemeriksaan kornea
dengan benar; jika tidak tersedia, dapat dipakai kaca pembesar dan
pencahayaan yang terang.
4. Respons reflex kornea
5. Goresan ulkus untuk analisis dan kultur
6. Pewarnaan kornea dengan zat fluoresensi, dapat memperjelas lesi epitel
superficial yang tidak mungkin terlihat bila tidak dipulas
Karena kornea memiliki banyak serabut nyeri, kebanyakan lesi pada kornea baik
yang bersifat dangkal atau superficial maupun dalam menimbulkan rasa sakit dan
fotofobia. Lesi pada kornea juga mempunyai makna diagnostik yang penting
(Tabel.1). Lesi pungtata pada kornea dapat dimana saja tapi biasanya pada daerah sentral.
Daerah lesi biasanya meninggi dan berisi titik-titik abu-abu yang kecil. Keratitis epitelial
sekunder terhadap blefarokonjungtivitis stafilokokus dapat dibedakan dari keratitis
pungtata superfisial karena mengenai sepertiga kornea bagian bawah. Keratitis epitelial
pada trakoma dapat disingkirkan karena lokasinya dibagian sepertiga kornea bagian atas
dan ada pannus. Banyak diantara keratitis yang mengenai kornea bagian superfisial
bersifat unilateral atau dapat disingkirkan berdasarkan riwayatnya.3
Jenis keratitis
Keratitis stafilokok
Bentuk keratitis
Erosi kecil-kecil terputus fluorescin; terutama
2.
Keratitis herpetik
3.
Keratitis
zoster
4.
Keratitis adenovirus
5.
Keratitis
Sjorgen
6.
Keratitis
eksoftalmus
Keratokonjungtuvitis
Lesi
vernal
mirip-sinsisium,
yang
keruh
dan
9.
ganglion gaseri
Keratitis karena obat- Erosi kecil-kecil terpulas fluorescein dengan
terutama
10.
spectrum luas
Keratitis
superficial Focus sel-sel epithelial sembab, bulat atau
11.
punctata (SPK)
Keratokonjungtivitis
limbic superior
sepertiga
atas
eksaserbasi;
12.
Keratitis
kornea;
hiperemi
di
filament
selama
bulbar,
limbus
epidemika
Trachoma
Keratitis
vitamin A
keratinisasi
partial;
berhubungan
9. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan keratitis adalah mengeradikasi penyebab keratitis,
menekan reaksi peradangan sehingga tidak memperberat destruksi pada kornea,
mempercepat penyembuhan defek epitel, mengatasi komplikasi, serta memperbaiki
ketajaman penglihatan. Ada beberapa hal yang perlu dinilai dalam mengevaluasi keadaan
klinis keratitis meliputi: rasa sakit, fotofobia, lakrimasi, rasa mengganjal, ukuran ulkus
dan luasnya infiltrat.
Sebagian besar para pakar menganjurkan melakukan debridement sebelumnya.
Debridement epitel kornea selain berperan untuk pengambilan spesimen diagnostik, juga
untuk menghilangkan sawar epitelial sehingga obat lebih mudah menembus. Dalam hal
ini juga untuk mengurangi subepithelial "ghost" opacity yang sering mengikuti keratitis
dendritik. Diharapkan debridement juga mampu mengurangi kandungan virus epithelial
jika penyebabnya virus, konsekuensinya reaksi radang akan cepat berkurang.
Penatalaksanaan pada ketratitis pada prinsipnya adalah diberikan sesuai dengan
etiologi. Untuk virus dapat diberikan idoxuridine, trifluridin atau acyclovir. Untuk bakteri
gram positif pilihan pertama adalah cafazolin, penisilin G atau vancomisin dan bakteri
gram negatif dapat diberikan tobramisin, gentamisin atau polimixin B. Pemberian
antibiotik juga diindikasikan jika terdapat secret mukopurulen, menunjukkan adanya
infeksi campuran dengan bakteri. Untuk jamur pilihan terapi yaitu: natamisin, amfoterisin
atau fluconazol. Selain itu obat yang dapat membantu epitelisasi dapat diberikan. 3
Namun selain terapi berdasarkan etiologi, pada keratitis ini sebaiknya juga
diberikan terapi simptomatisnya agar dapat memberikan rasa nyaman dan mengatasi
keluhan-keluhan pasien. Pasien dapat diberi air mata buatan, sikloplegik dan
kortikosteroid. Pemberian air mata buatan yang mengandung metilselulosa dan gelatin
yang dipakai sebagai pelumas oftalmik, meningkatkan viskositas, dan memperpanjang
waktu kontak kornea dengan lingkungan luar. Pemberian tetes kortikosteroid pada KPS
ini bertujuan untuk mempercepat penyembuhan dan mencegah terbentuknya jaringan
parut pada kornea, dan juga menghilangkan keluhan subjektif seperti fotobia namun pada
umumnya pada pemeberian steroid dapat menyebabkan kekambuhan karena steroid juga
dapat memperpanjang infeksi dari virus jika memang etiologi dari keratitis tersebut
adalah virus.
Namun pemberian kortikosteroid topikal pada keratitis ini harus terus diawasi dan
terkontrol karena pemakaian kortikosteroid untuk waktu lama dapat memperpanjang
pada
kasus
yang
mengganggu. Pemberian
siklopegik
mengakibatkan lumpuhnya otot sfingter iris sehingga terjadi dilatasi pupil dan
mengakibatkan paralisis otot siliar sehingga melemahkan akomodasi. Terdapat beberapa
obat sikloplegia yaitu atropin, homatropin, dan tropikamida.
Namun atropin (0,5%-2%) merupakan sikloplegik yang sangat kuat dan juga
bersifat midriatik sehingga biasanya tidak dijadikan pilihan terapi pada keratitis tertentu
misalnya KPS. Efek maksimal atropin dicapai setelah 30-40 menit dan bila telah terjadi
kelumpuhan otot akomodasi maka akan normal kembali dalam 2 minggu setelah obat
dihentikan. Atropin juga memberikan efek samping nadi cepat, demam, merah, dan mulut
kering. Homatropin (2%-5%) efeknya hilang lebih cepat dibanding dengan atropin, efek
maksimal dicapai dalam 20-90 menit dan akomodasi normal kembali setelah 24 jam
hingga 3 hari. Sedangkan trokamida (0,5%-1%) memberikan efek setelah 15-20 menit,
dengan efek maksimal dicapai setelah 20-30 menit dan hilang setelah 3-6 jam. Obat ini
sering dipakai untuk melebarkan pupil pada pemeriksaan fundus okuli.
Pada keratitis yang telah mengalami penipisan stroma dapat ditambahkan
lemcyanoacrylate untuk menghentikan luluhnya stroma. Bila tindakan tersebut gagal,
harus dilakukan flap konjungtiva; bahkan bila perlu dilakukan keratoplasti. Flap
konjungtiva hanya dianjurkan bila masih ada sisa stroma kornea, bila sudah terjadi
descemetocele flap konjungtiva tidak perlu; tetapi dianjurkan dengan keratoplastik
lamellar.
Selain terapi medikamentosa sebaiknya diberikan pula edukasi pada pasien
keratitis. Pasien diberikan pengertian bahwa penyakit ini dapat berlangsung kronik dan
juga dapat terjadi kekambuhan. Pasien juga sebaiknya dianjurkan agar tidak terlaru sering
terpapar sinar matahari ataupun debu karena keratitis ini dapat juga terjadi pada
konjungtivitis vernal yang biasanya tercetus karena paparan sinar matahari, udara panas,
dan debu, terutama jika pasien tersebut memang telah memiliki riwayat atopi
sebelumnya. Pasien pun harus dilarang mengucek matanya karena dapat memperberat
lesi yang telah ada.
Pada keratitis dengan etiologi bakteri, virus, maupun jamur sebaiknya kita
menyarankan pasien untuk mencegah transmisi penyakitnya dengan menjaga kebersihan
diri dengan mencuci tangan, membersihkan lap atau handuk, sapu tangan, dan tissue.1
10. Prognosis
Prognosis quo ad vitam pada pasien keratitis adalah bonam. Sedangkan prognosis
fungsionam pada keratitis sangat tergantung pada jenis keratitis itu sendiri. Jika lesi pada
keratitis superficial berlanjut hingga menjadi ulkus kornea dan jika lesi pada keratitis
tersebut telah melebihi dari epitel dan membran bowman maka prognosis fungsionam
akan semakin buruk. Hal ini biasanya terjadi jika pengobatan yang diberikan sebelumnya
kurang adekwat, kurangnya kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi yang sudah
dianjurkan, terdapat penyakit sistemik lain yang dapat menghambat proses penyembuhan
seperti pada pasien diabetes mellitus, ataupun dapat juga karena mata pasien tersebut
masih terpapar secara berlebihan oleh lingkungan luar, misalnya karena sinar matahari
ataupun debu.
Pemberian kortikosteroid topikal untuk waktu lama dapat memperpanjang
perjalanan penyakit hingga bertahun-tahun serta dapat pula mengakibatkan timbulnya
katarak dan glaukoma yang diinduksi oleh steroid.
BAB III
PERENCANAAN
Rencana Tindakan :
1. Penyuluhan kepada orang dewasa mengenai pengertian, penyebab, pencegahan,
pengenalan tanda tanda, dan penanganan segera.
2. Memberikan penyuluhan mengenai tanda tanda bahaya yang dapat terjadi pada
Keratitis.
3. Memberikan penyuluhan tentang factor factor resiko yang dapat meningkatkan kejadian
Keratitis seperti pemakaian kontak lensa, benda asing, bakteri, virus, jamur, dan alergi.
BAB IV
PELAKSANAAN
Proses intervensi yang dapat dilakukan pada keluarga dan pasien dengan Keratitis harus
mencakup berbagai aspek berikut :
1. Edukasi
Edukasi ini dilakukan pada pasien da keluarganya. Edukasi mencakup hal hal dibawah
ini :
- Menjelaskan apa saja factor resiko keratitis, dengan demikian diharapkan dengan
-
berulang).
2. Medikamentosa
Sasaran utama pada penatalaksanaan keratitis adalah menghindari etiologinya.
a. Mencegah atau menghindari faktor pencetus.
b. Pencegahan farmakologi, diantaranya : Penatalaksanaan pada ketratitis pada
prinsipnya adalah diberikan sesuai dengan etiologi. Untuk virus dapat diberikan
idoxuridine, trifluridin atau acyclovir. Untuk bakteri gram positif pilihan pertama
adalah cafazolin, penisilin G atau vancomisin dan bakteri gram negatif dapat
diberikan tobramisin, gentamisin atau polimixin B. Pemberian antibiotik juga
diindikasikan jika terdapat secret mukopurulen, menunjukkan adanya infeksi
campuran dengan bakteri. Untuk jamur pilihan terapi yaitu: natamisin, amfoterisin
atau fluconazol.
c. Pencegahan non-farmakologi, diantaranya , Pada keratitis dengan etiologi bakteri,
virus, maupun jamur sebaiknya kita menyarankan pasien untuk mencegah transmisi
penyakitnya dengan menjaga kebersihan diri dengan mencuci tangan, membersihkan
lap atau handuk, sapu tangan, dan tissue. Pasien pun harus dilarang mengucek
matanya karena dapat memperberat lesi yang telah ada.
BAB V
MONITORING DAN EVALUASI
maupun dewasa.
Pada umumnya keluhan iritasi ringan, adanya sensasi benda asing, mata merah, mata
berair, penglihatan yang sedikit kabur, dan silau (fotofobia) serta sulit membuka mata
(blepharospasme).
Keratitis sendiri diartikan sebagai peradangan pada kornea yang ditandai dengan
adanya infiltrasi sel radang dan edema kornea pada lapisan kornea manapun yang
dapat bersifat akut atau kronis yang disebabkan oleh berbagai faktor antara lain
DAFTAR PUSTAKA
1. American Academy of Ophthalmology. Externa disease and cornea, San Fransisco 20062007 : 8-12, 26-35
2. Biswell R, MD. Kornea. In: Vaughan DG, Asbury T, Riordan P, ed.Oftalmologi
Umum 14th ed. Jakarta : Widya Medika; 2000, 129-52
3. Wijana Nana SD. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : Abadi Tegal; 1993, 86-102.
4. Ilyas, Sidarta Ilmu Penyakit Mata, Edisi ketiga. Balai Penerbit FKUI Jakarta, 2005 : 147158.
5. Mansjoer, Arif M. 2001. Kapita Selekta edisi-3 jilid-1. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
Hal: 56
6. Thygeson, Phillips. 1950. "Superficial Punctate Keratitis". Journal of the American
Medical Association; 144:1544-1549. Available at :http://webeye. ophth.uiowa.edu/
dept/service/cornea/cornea.htm
7. Suhardjo. 1999. Penggunaan Asiklovir Oral pada Herpes Zoster Oftalmikus. Cermin
Dunia Kedokteran No.122; 36-38. Available at : http//cermin Dunia Kedokteran2.mht
8. Susetio B. Penatalaksanaan infeksi jamur pada mata dalam Cermin dunia kedokteran.
1993; Available from : http//www.kalbe.co.id-files-cdk-files-cdk_087_mata.html
9. Singh D. Keratitis fungal. Available from:URL:http:///www.eMedicine.com
/oph/topic99.htm.
10. ILyas S. Mata merah dengan penglihatan turun mendadak. Dalam : Ilyas S. Ilmu Penyakit
Mata edisi 3; 2004. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal ; 149
11. Wijana, Nana S.D. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Revisi. Abadi Tegal, Jakarta: 1993. 83-100
12. Vaughan, Daniel G et al. 2010. Oftalmologi Umum edisi-14. Jakarta:Widya Medika. Hal:
129 152
13. Srinivasan M, et al. Distinguishing infectious versus non infectious keratitis. Indian
Journal of Opthalmology. 2006. 56:3; 50-56
14. Radjiman T, dkk. Ilmu Penyakit Mata. Airlangga. Surabaya, 1984