Anda di halaman 1dari 18

KEPERAWATAN JIWA 1

PENGANTAR KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA

Kelompok 1
Yestrine Anita Lumasuge

13061078

Inka Noviera Sambentiro

14061083

Adrian Lorenzo Mare

14061093

Lavenia Malinggato

14061068

Sintike Lesi

14061052

Diana Kapoh

14061078

Natalia Kalangi

Kelas B semester 4

Fakultas Keperawatan

Unika De La Salle Manado

140610

Kata Pengantar

Puji syukur patut kami naikkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas
kasih dan tuntunanNya sehingga kami kelompok 1 bisa meyelesaikan tugas
makalah tentang Pengantar Keperawatan Kesehatan Jiwa ini dengan baik.
Kelompok kami menyadari dalam pembuatan tugas makalah ini ada banyak
tantangan yang telah dilewati termasuk mencari referensi yang tepat dan terpercaya
sehingga membutuhkan kerja sama dan kerja keras.
Kami menyampaikan trima kasih kepada pihak-pihak yang terlibat dalam
pembuatan tugas ini. Trima kasih kepada dosen Mata Kuliah Keperawatan Jiwa
sudah membimbing kami , dan telah memberikan kami sumber referensi yang
terpercaya dan sangat akurat. Juga buat pihak perpustakaan Unika De La Salle
Manado yang mengijinkan kelompok 1 untuk mencari referensi kami, trima kasih
kepada semua anggota kelompok 1 yang telah bekerja sama dengan baik demi
terselesaikannya tugas ini.
Semoga tugas ini bermanfaat dan menjadi berkat serta menambah pemahaman bagi
pembaca dan semoga kelompok 1 mendapat hasil yang baik. Kelompok kami
sangat membutuhkan masukan yang membangun demi kebaikkan bersama.

Manado,29 Februari 2016

Penulis

Daftar Isi

Kata Pengantar
... i

Daftar Isi.....ii
BAB 1 PENDAHULUAN
Latar belakang...

tujuan...

BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah dan Perkembangan Pelayanan Keperawatan
Jiwa...

Type chapter title (level 2) 5


Type chapter title (level 3)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk yang paling mulia derajatnya dibandingkan


dengan makhluk lainnya. Mereka diberi dua kekuatan utama, yaitu
kekuatan rohani dan kekuatan mekanis (Taqiyuddin An-Nabhani,2003).
Dua kekuatan ini saling memengaruhi.
Segala sesuatu di dunia ini mempunyai ketentuan ukuran, termasuk juga
manusia. Manusia mempunyai ukuran atau batas-batas ketentuan, baik
pada aspek fisik/jasmani maupun aspek rohani/jiwa/mental. Segala
sesuatu yang membuat manusia melampaui batas keseimbangan dapat
menimbulkan

gangguan

fisik,

mental,

bahkan

menyebabkan

ketidakseimbangan pada perilaku seseorang. Penyakit-penyakit kejiwaan


seperti

sombong,

benci,

dendam,

fanatisme,

serakah,

dan

kikir

disebabkan oleh bentuk kelebihan. Rasa takut, kecemasan, pesismisme,


HDR, adalah kekurangan. Semua ini dapat menyebabkan stres pada diri
seseorang yang bisa mengakibatkan gangguan jiwa pada orang tersebut.
Gagguan jiwa telah terjadi sejak zaman dahulu sampai sekarang.
Sehingga memerlukan perhatian dan perkembangan lebih.
B. Rumusan Masalah
1. Sejarah dan Perkembangan Pelayanan Keperawatan JIwa
2. Pelayanan dan Kolaborasi Interdisiplin dalam kesehatan keperawatan jiwa
3. Hubungan terapeutik perawat-klien ( P-K )
4. Peran dan fungsi perawat kesehatan keperawatan jiwa
5. Penerapan etika keperawatan pada intervensi keperawatan jiwa

BAB II

PEMBAHASAN
A. Sejarah dan Perkembangan Pelayanan Keperawatan JIwa
Jika belajar dari sejarah, usaha kesehatan jiwa dan perawatannya diIndonesia dibagi
menjadi dua yaitu zaman colonial dan setelah kemerdekaan.
1. Zaman Kolonial
Sebelum didirikan rumah sakit jiwa diIndonesia pasien gangguan jiwa ditampung
dirumah sakit sipil atau militer dijakarta, semarang, dan Surabaya. Pasien yang
ditampung adalah mereka yang sakit jiwa berat saja. Tahun 1862 pemerintah Hindia
Belanda melakukan sensus pasien gangguan jiwa diseluruh Indonesia di Pulau Jawa,
dan Madura ditemukan pasien sekitar 600 orang, sedangkan didaerah lain ditemukan
sekitar 200 orang. Berdasarkan temuan tersebut pemerintah mendirikan Rumah
Sakit jiwa bagi pasien gangguan jiwa.
Pada tanggal 1 Juli 1882 didirikan Rumah Sakit jiwa pertama di Indonesia,
dicilenddek Bogor Jawa Barat dengan kapasitas 400 tempat tidur. Rumah Sakit jiwa
kedua didirikan di Lawang Jawa Timur tanggal 23 Juni 1902. Rumah Sakit jiwa ini
adalah terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas 3.300 tempat tidur. Rumah Sakit
jiwa yang ketiga didirikan di Magelang pada tahun 1923, dengan kapasitas 1400
tempat tidur. Rumah sakit jiwa di Sabang tahun 1927. Menyusul didirikannya rumah
sakit jiwa lainnya di Grogol Jakarta , Padang , Palembang, Banjarmasin, dan
Manado.
Pemerintah Hindia Belanda mengenal empat macam tempat perawatan pasien
gangguan jiwa :
a. Rumah Sakit Jiwa
Rumah Sakit Jiwa diperuntukkan bagi pasien sakit jiwa yang memembutuhkan
perawatan lama. Pasien demikian ditempatkan di RSJ Bogor, Magelang, Lawang
dan Sabang. Perawatan bersifat isolasi dan penjagaan ( custodial care )
b. Rumah Sakit Sementara
Rumah sakit ini merupakan tempat penampungan sementara bagi pasien psikotik
akut yang dipulangkan setelah sembuh. Pasien yang dari RS ini masih butuh
perawatan lama dikirim ke RSJ Jakarta, Semarang, Surabaya, Palembang, Padang,
Manado, atau Medan
c. Rumah Perawatan
Berfungsi sebagai Rumah Sakit jiwa, dikepalai seorang perawat berijazah dibawah
pengawasan dokter umum.

d. Koloni
Merupakan tempat penampungan pasien yang sudah tenang dan mereka bekerja
dilahan pertanian. Mereka tinggal dirumah penduduk, tuan rumahnya diberikan
biaya oleh pemerintah. Pasien tetap diawasi oleh dokter atau perawat. Diketahui
pendidikan perawat jiwa mulai dibuka pada bulan September 1940 di Bogor, berupa
kursus. Yang diterima adalah orang Belanda atau Indo-Belanda, yang sudah lulus
MULO atau setaraf sekolah menengah pertama. Lulusannya mendapat sertifikat
Diploma B.
2. Zaman Setelah Kemerdekaan
Perkembangan usaha kesehatan jiwa di Indonesia meningkat, ditandai terbentuknya
jawatan urusan penyakit iwa pada Bulan Oktober 1947. Pada saat itu masih terjadi
revolusi fisik, tetapi pembinaan dan penyelenggaraan kesehatan jiwa tetap
dilaksanakan. Pada tahun 1951 dibuka sekolah perawat jiwa untuk orang Indonesia.
Perawatan kesehatan jiwa mulai dikerjakan secara Modern dan tidak lagi
ditempatkan secara tertutup. Jawatan urusan kesehatan jiwa bernaung dibawah
Departemen Kesehatan terus membenahi sistem pengelolaan dan pelayanan
kesehatan. Tahun 1966 dirubah menjadi Direktorat Kesehatan jiwa dan sampai
sekarang dipimpin oleh Kepala Direktorat kesehatan jiwa. Pada tahun yang sama
ditetapkan Undang-undang Kesehatan Jiwa No. 3 tahun 1966 oleh pemerintah,
sehingga membuka peluang untuk melaksanakan modernisasi semua sistem RSJ dan
pelayanannya.

Kesehatan jiwa terus berkembang pesat pada abad ke-21 ini. Metode perawatan dan
pengobatan bersifat ilmiah. Pengobatan disesuaikan dengan perkembangan iptek,
menggunakan obat-obatan psikofarmaka, terapi shock/ECK dan terapi lainnya.
Demikian juga dengan praktek keperawatan menggunakan metode ilmiah proses
keperawatan, komunikasi terapeutik dan terapi modalitas keperawatan dengan
kerangka ilmu pengetahuan yang mendasari praktek profesional.
Peran dan fungsi perawat jiwa dituntut lebih aktif dan profesional untuk
melaksanakan pelayanan keperawatan kesehatan jiwa. Pada saat ini pelayanan
keperawatan kesehatan jiwa berorientasi pada pelayanan komunitas. Komitmen ini

sesuai dengan haasil Konferensi Nasional I Keperawatan jiwa pada Bulan Oktober
2004.
Perspektif sejarah terapi gangguan jiwa
1. Zaman dahulu
Pada zaman dahulu, ada suatu keyakinan bahwa setiap penyakit menunjukan
ketidaksenangan dewa dan merupakan hukuman atas dosa dan perbuatan yang
salah. Penderita gangguan jiwa dipandang jahat atau baik, bergantung pada
prilakunya . individu yang baik disembah dan dipuja ; individu yang jahat
diasingkan, dihukum, dan kadang kala dibakar ditiang pembakaran. Setelah itu,
aristoteles ( 382-322 SM) mencoba menghubungkan gangguan jiwa dengan
gangguan fisik dan mengembangkan teorinya bahwa emosi dikendalikan oleh
jumlah darah , air, empedu kuning dan hitam dalam tubuh. keempat zat atau
cairan tersebut berhubungan dengan emosi gembira, tenang, marah, dan sedih.
Ketidak seimbangan empat cairan tersebut diyakini menyebabkan gangguan jiwa
sehingga terapi ditujukan pada upaya mengembalikan keseimbangan dengan
korban persemahan , puasa, dan menyucikan diri. terapi tersebut bertahan
sampai abad ke 19 ( Baly, 1982).
2. Periode pencerahan dan pendirian institusi jiwa
Pada tahun 1790-an periode penccerahan mulai memperhatikan penderita
gangguan jiwa.pendirian asli ( RSJ ) dilakukan oleh phillippe pinel diprancis dan
William tukes diinggris. Konsep asli sebagai tempat perlindungan yang aman atau
tempat yang memberikan perlindungan dibuat oleh 2 pria ini diinstitusi tempat
individu dicambuk , dipukul, dan dibiarkan lapar hanya karna mereka menderita
gangguan jiwa ( gollaher, 1995). Gerakan ini mulai melakukan terapi moral pada
penderita gangguan jiwa. Di AS, dorothea Dix ( 1802-1887) mulai melakukan
gerakan reformasi terapi gangguan jiwa setelah berkunjung ke institusi tukes
diinggris ia membantu dalam membuka 32 RS pemerintah yang menawarkan asil
kepada para penderita. Dix yakin bahwa masyarakat memiliki kewajiban terhadap
penderita gangguan jiwa dan memberikan pemukiman yang layak, makanan
bergizi, dan pakaian yang nyaman, ( Gollaher, 1995 ).
3. Sigmud freud dan terapi gangguan jiwa
Periode study dan terapi ilmiah gangguan jiwa dimulai oleh Sigmud Freud ( 18561939). Bersama yang lain, seperti Emil Kraeplein ( 1856-1926 ) dan Eugene
Bleuler ( 1857-1939 ) , study psikiatri, diagnosis, dan terapi gangguan jiwa
dimulai dengan sungguh-sungguh. Kraepeling mulai mengklasifikasi gangguan

jiwa sesuai dengan gejala dan bleuler menggunakan istilah Skizofrenia freud
menantang masyarakat untuk memandang manusia secara objektif dan
mempelajari pikiran, gangguan pikiran, dan terapi seperti yang tidak pernah
dilakukan sebelumnya. Banyak ahli teori mengikuti apa yang dilakukan freud.
4. Perkembangan psikofarmakologi
Suatu lompatan besar dalam terapi gangguan jiwa dimulai pada tahun 1950
dengan berkembangnya obat psikotropika

( obat yang digunakan untuk

mengobati gangguan jiwa ). Klorpromazin ( thorazine ), suatu antipsikotik , dan


litium , suatu agens antimanik, adalah obat-oabatan pertama yang dikembangkan.
Antidepresan inhibitor monoamin oksidase : haloperidol ( haldol ) , suatu anti
psikotik : antidepresan trisiklik : dan agens antiansietas yang disebut
benzodiazepine diperkenalkan lebih dari 10 tahun kemudian. Untuk pertama kali,
obat yang benar-benar mengurangi agitasi pemikiran psikotik, dan depresi,
memperbaiki kondisi banyak pasien . lama rawat inap di RS lebih singkat dan
banyak pasien kondisinya cukup baik untuk pulang. Tingkat keributan,
kekacauan , dan kekerasan banyak berkurang dilingkungan RS ( trudeau, 1993).
5. Langkah menuju kesehatan jiwa masyarakat
Gerakan kearah terapi penderita gangguan jiwa dilingkungan yang kurang
restriksif dimuali pada tahun 1963 dengan disusulnya UU pusat kesehatan jiwa
masyarakat. Deinstitutionalization dimulai, yakni suatu perubahan perahan dari
perawatan isntitusional di RS pemerintah kefasilitas masyarakat. Pusat kesehatan
jiwa masyarakat ini melayani wilayah geografi yang memberikan terapi yang
kurang restriktif dan pusat kesehatan ini lebih dekat dengan rumah individu ,
keluarga, dan teman-temannya. Pusat kesehatan ini menyediakan perawatan
kedaruratan, rawat inap, pelayanan rawat jalan, hospitalisasi parsial, pekayanan
skiring, dan pendidikan.
Selain Deinstitutionalization , legislasi federal dikeluarkan untuk member
penghasilan kepada individu yang mengalami disabilitas , supplemental security
income ( SSI ) dan social security disability income ( SSDI )

legislasi ini

memungkinkan penderita gangguan jiwa persisten dan berat menjadi lebih


mandiri secara financial sehingga tidak perlu bergantung kepad akeluarga. Negara
mengeluarkan lebih sedikit dana untuk perawatan penderita gangguan jiwa dari
pada jika mereka dirawat di RS pemerintah karena program ini dibiayai oleh
pemerintah federal. UU komitmen juga berubah pada awal tahun 1970-an. Dengan
diberlakukannya UU ini , lebih sulit untuk membuat individu berkomitmen

menjalani terapi kesehatan jiwa jika ia tidak menginginkannya. Hal ini semakin
mengurangi populasi pasien di RS pemerintah, dengan demikian dana yang
dikeluarkan untuk mereka menurun ( Torrey, 1997).
6. Gangguan jiwa pada abad ke 21
Department of health an human services ( 1999 )memperkirakan 51 juta
penduduk amerika dapat didiagnosis mengalami gangguan jiwa dari jumlah
tersebut , 6,5 juta mengalami diasabilitas akibat gangguan jiwa yang berat, dan 4
juta diantaranya adalah anak-anak dan remaja. Misalnya, 3 % - 5% anak usia
sekolah mengalami gangguan hiperaktifitas atau deficit perhatian lebih dari 10
juta anak berusia kurang ari 7 tahun tumbuh dirumah yang salah satu orang tuanya
menderita gangguan jiwa yang signifikan atau menyalahgunakan zat sehingga
menghambat kesiapan mereka untuk masuk sekolah.
beberapa ahli berpendapat bahwa Deinstitutionalization memiliki efek nagatif
sekaligus positif ( torrey , 1997 ).
7. Tujuan untuk masa depan
Sangat disayangkan, hanya satu dari empat penderita gangguan jiwa dewasa dan
satu dari 3 anak mendapat terapi ( DHHS, 1999). Data statistic seperti ini
mendasari tujuan

healthy people 2010

dalam bidang kesehtan jiwa , yang

diusulkan oleh U.S.Depatment of health and human services ( kotak 1 1 ).


Tujuan ini, yang semula dikembangkan seperti healthy people 2000, direvisi pada
bulan januari 2000 untuk meningkatkan jumlah individu yang diidentifikasi,
didiagnosis, diobati, dan dibantu untuk hidup lebih sehat.
Tujuan yang lain ialah berupaya menurunkan angka bunuh diri dan tunawisma,
meningkatkan jumlah pekerja diantara penderita gangguan jiwa serius, dan
memberikan lebih banyak layanan baik untuk juvenile maupun dewasa yang
dipenjarakan dan mengalami masalah kesehatan jiwa .
B. Pelayanan dan Kolaborasi Interdisiplin dalam kesehatan keperawatan jiwa
Pelayanan dan kolaborasi interdisiplin keperawatan jiwa merupakan pelayanan kesehatan
yang dilakukan oleh sekolompok tim kesehatan profesional (perawat, dokter, tim
kesehatan lainnya maupun pasien dan keluarga pasien sakit jiwa) yang mempunyai
hubungan yang jelas, dengan tujuan menentukan diagnosa, tindakan-tindakan medis,
dorongan moral dan kepedulian khususnya kepada pasien sakit jiwa. Pelayanan akan
berfungsi baik jika terjadi adanya konstribusi dari anggota tim dalam memberikan
pelayanan kesehatan terbaik kepada pasien sakit jiwa. Anggota tim kesehatan meliputi :

pasien, perawat, dokter, fisioterapi, pekerja sosial, ahli gizi, manager, dan apoteker. Oleh
karena itu tim kolaborasi interdisiplin hendaknya memiliki komunikasi yang efektif,
bertanggung jawab dan saling menghargai antar sesama anggota tim.
Secara integral, pasien adalah anggota tim yang penting. Partisipasi pasien dalam
pengambilan keputusan akan menambah kemungkinan suatu rencana menjadi efektif.
Tercapainya tujuan kesehatan pasien yang optimal hanya dapat dicapai jika pasien sebagai
pusat anggota tim. Karena dalam hal ini pasien sakit jiwa tidak dapat berpikir dengan
nalar dan pikiran yang rasional, maka keluarga pasienlah yang dapat dijadikan pusat dari
anggota tim. Disana anggota tim dapat berkolaborasi dalam menentukan tindakantindakan yang telah ditentukan. Apabila pasien sakit jiwa tidak memiliki keluarga
terdekat, maka disinilah peran perawat dibutuhkan sebagai pusat anggota tim. Karena
perawatlah yang paling sering berkomunikasi dan kontak langsung dengan pasien sakit
jiwa. Perawat berada disamping pasien selam 24 jam sehingga perawatlah yang
mengetahui semua masalah pasien dan banyak kesempatan untuk memberikan pelayanan
yang baik dengan tim yang baik.
Perawat adalah anggota membawa persfektif yang unik dalam interdisiplin tim. Perawat
memfasilitasi dan membantu pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari praktek
profesi kesehatan lain. Perawat berperan sebagai penghubung penting antara pasien dan
pemberi pelayanan kesehatan.
Dokter memiliki peran utama dalam mendiagnosis, mengobati dan mencegah penyakit.
Pada situasi ini dokter menggunakan modalitas pengobatan seperti pemberian obat dan
pembedahan. Mereka sering berkonsultasi dengan anggota tim lainnya sebagaimana
membuat referal pemberian pengobatan.

Elemen Penting Dalam Mencapai Kolaborasi Interdisiplin Efektif

Kolaborasi menyatakan bahwa anggota tim kesehatan harus bekerja dengan kompak
dalam mencapai tujuan. Elemen penting untuk mencapai kolaborasi interdisiplin yang
efektif meliputi kerjasama, asertifitas, tanggung jawab, komunikasi, kewenangan dan
kordinasi seperti skema di bawah ini.
1. Kewenangan
2. Komunikasi
3. Tanggung jawab

4. Tujuan umum
5. Kerja sama
6. Kolaborasi interdisiplin
7. Efektif
8. Pemberian pertolongan
9. Koordinasi
10. ketegasan

Kerjasama adalah menghargai pendapat orang lain dan bersedia untuk memeriksa
beberapa alternatif pendapat dan perubahan kepercayaan.
Ketegasan penting ketika individu dalam tim mendukung pendapat mereka dengan
keyakinan. Tindakan asertif menjamin bahwa pendapatnya benar-benar didengar dan
konsensus untuk dicapai.
Tanggung jawab artinya mendukung suatu keputusan yang diperoleh dari hasil
konsensus dan harus terlibat dalam pelaksanaannya.
Komunikasi artinya bahwa setiap anggota bertanggung jawab untuk membagi
informasi penting mengenai perawatan pasien sakit jiwa dan issu yang relevan untuk
membuat keputusan klinis.
Pemberian pertolongan artinya masing-masing anggota dapat memberikan tindakan
pertolongan namun tetap mengacu pada aturan-aturan yang telah disepakati.
Kewenangan mencakup kemandirian anggota tim dalam batas kompetensinya.
Kordinasi adalah efisiensi organisasi yang dibutuhkan dalam perawatan pasien sakit
jiwa, mengurangi duplikasi dan menjamin orang yang berkualifikasi dalam
menyelesaikan permasalahan.
Tujuan umum artinya setiap argumen atau tindakan yang dilakukan memiliki tujuan
untuk kesehatan pasien sakit jiwa.
Kolaborasi dapat berjalan dengan baik jika :
1. Semua profesi mempunyai visi dan misi yang sama

2. Masing-masing profesi mengetahui batas-batas dari pekerjaannya


3. Anggota profesi dapat bertukar informasi dengan baik
4. Masing-masing profesi mengakui keahlian dari profesi lain yang tergabung dalam
tim.

Manfaat Kolaborasi Interdisiplin Dalam Pelayanan Keperawatan Jiwa

Kolaborasi didasarkan pada konsep tujuan umum, konstribusi praktisi profesional,


kolegalitas, komunikasi dan praktek yang difokuskan kepada pasien. Kolegalitas
menekankan pada saling menghargai, dan pendekatan profesional untuk masalah-masalah
dalam tim dari pada menyalahkan seseorang atau atau menghindari tangung jawab.

Beberapa tujuan kolaborasi interdisiplin dalam pelayanan keperawatan jiwa antara

lain :
1. Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan menggabungkan keahlian
2.
3.
4.
5.
6.

unik profesional untuk pasien sakit jiwa


Produktivitas maksimal serta efektifitas dan efesiensi sumber daya
Peningkatnya profesionalisme dan kepuasan kerja, dan loyalitas
Meningkatnya kohesifitas antar profesional
Kejelasan peran dalam berinteraksi antar profesional
Menumbuhkan komunikasi, menghargai argumen dan memahami orang lain.

Hambatan Dalam Melakukan Kolaborasi Interdisiplin dalam Keperawatan Jiwa

Kolaborasi interdisiplin tidak selalu bisa dikembangkan dengan mudah. Ada banyak
hambatan antara anggota interdisiplin, meliputi :
1.
2.
3.
4.
5.

Ketidaksesuaian pendidikan dan latihan anggota tim


Struktur organisasi yang konvensional
Konflik peran dan tujuan
Kompetisi interpersonal
Status dan kekuasaan, dan individu itu sendiri

C. Hubungan terapeutik perawat-klien ( P-K )


Komunikasi terapeutik meningktkan pemahaman dan membantu terrbentuknya
hubungan yang konstruktid diantara perawat dan pasien. Komunikasi terapeutik
mempunyai tujuan untuk membantu pasien mencapai suatu tujuan dalam asuhan
keperawatan. Oleh karenanya, sangat penting bagi perawat untuk memahami prinsip
dasar komuikasi terapeutik berikut ini :

1. Hubungan perawat dan pasien adalah hubungan terapeutik yang saling


menguntungkan, didasarkan pada prinsip humanity of nurses and clients.
Hubungan ini tidak hanya hubungan seorang penolong ( helper/perawat )
dengan pasiennya, tetapi hubungan antara manusia yang bermartabat.
2. Perawat harus menghargai keunikan pasien, ,menghargai perbedaan karakter,
memahami perasaan dan perilaku pasien dengan melihat perbedaan latar
belakang keluarga, budaya, dan keunikan setiap individu.
3. Semua komunikasi yang dilakukan harus dapat menjaga harga diri pemberi
maupun penerima pesan, dalam hal ini perawat harus mampu menjaga harga
dirinya dan harga diri pasien.
4. Komunikasi yang menciptakan tumbuhnya hubungan saling percaya ( turst )
harus dicapai terlebih dahulu sebelum menggali permasalahan dan
memberikan alternatif pemecahan masalah. Hubungan saling percaya antara
perawat dan pasien adalah kunci dari komunikassi terapeutik.
Menurut Roger dalam Stuart G.W ( 1998 ), ada beberapa karakteristik seorang
Helper( perawat ) yang dapat memfasilitasi tumbuhnya hubungan yang terapeutik,
yaitu :
1. Kejujuran
Kejujuran sangat penting, karena tanpa adanya kejujuran mustahil bisa terbina
hubungan saling percaya. Seseorang akan menaruh rasa percaya pada lawan bicara
yang terbuka dan mempunyai respons yang tidak dibuat-buat, sebaliknya ia akan
berhati-hati pada lawan bicara yang terlalu halus sehingga sering menyembunyikan
isi hatinya yang sebenarnya dengan kata-kata atau sikapnya yang tidak jujur
( Rahmat, J. 1996 dalam Suryani, 2006 ). Sangat penting bagi perawat untuk
menjaga kejujuran saat berkomunikasi dengan pasien, karena apabila hal tersebut
tidak dilakukan maka pasien akan menarik diri, merasa dibohongi, membenci
perawat atau bisa juga berpurah-pura patuh terhadap perawat
2. Tidak membingungkan dan cukup ekspresif
Dala berkomunikasi dengan pasien, perawat sebaiknya menggunakan kata-kata
yang mudah dipahami oleh pasien dan tidak menggunakan kalimat yang berbelitbelit. Komunikasi non-verbal perawat harus cukup ekspresif dan sesuai dengan
verbalnya karena ketidak sesuaian akan menimbulkan kebingungan bagi pasien.
3. Bersikap positif
Bersikap positif terhadap apa saja yang dikatakan dan disampaikan lewat
komunikasi nonverbal sangat penting baik dalam membina hubungan saling percaya
maupun dalam membuat rencana tindakan bersama pasien. Bersikap positif

ditujukan dengan bersikap hangat, penuh perhatian dan penghargaan terhadap


pasien. Untuk mencapai kehangatan dan ketulusan dalam hubungan yang terapeutik
tidak memerlukan kedekatan yang kuat atau ikatan tertentu dianta perawat dan
pasien akan tetapi penciptaan suasana yang dapat membuat pasien merasa aman dan
diterima dalam mengungkapkan persaan dan pikirannya.
4. Empati bukan simpati
Sikap empati sangat diperlukan dalaam asuhan keperawatn, karna dengan sikap ini
perawat akan mampu merasakan dan memikirkan permasalahan pasien seperti yang
dirasakn dan dipikirkan pasien. Dengan bersikap empati perawat dan memberikan
alternatif pemecahan masalah karena perawat tidak hanya merasakan permasalahn
pasien tetapi juga tidak berlaru-larut dalm perasaan tersebut dan turut berupaya
mencari penyelesaian masalah secarah objectif.
5. Mampu melihaat permasalaahan dari kacamata pasien
Dalaam ,emberikan asuhan keperawataan, perawat harus berorientasi pada pasien,
oleh karenanya perawat hahus mampu untuk melihat permasalahan yang sedang
dihadapi pasien dari sudut pandang pasien. Untuk mampu memlakukan hal ini
perawat harus memahami dan memiliki kemampuan mendengarkan dengan aktif
dan penuh perhatian. Mendengarkan dengan penuh perhatian berarti mengabsorsi isi
dari komunikasi (kata-kata dan perasaan) tanpa melakukan seleksi. Pendengar
(perawat) tidak sekedar mendengarkan dan menyampaikan respon yang di inginkan
oleh pembicara (pasien), tetapi berfokus pada kebuthan pembicara. Mendengarkan
dengan penuh perhatian menunjukan sikap caring sehingga memotifasi pasien untuk
berbicara atau menyampaikan perasaannya.
6. Menerima pasien apa adanya
Seorang halper yang efektif memiliki kemampuan untuk menerima pasien apa
adanya. Jika seseorang merasa di terima maka dia akaan merasa aman dalam
menjalin hubungan interpersonal. Nilai yang diyaki atau diterapkan oleh perawat
terhadap dirinya tidak dapat diterapkan pada pasien, apabila hal ini terjadi maka
perawat tidak menunjukan sikap menerima pasien apa adanya.
7. Sesitif terhadap perasaan pasien
Seorang perawat harus mampu mengenali perasaan pasien untuk dapat menciptakan
hubungan terapiutik yang baik dan efektif dengan pasien. Dengan besikap sensitive
terhadap perasaan pasien perawat dapat terhindar dari berkata atau melaakukan halhal yang menyinggung privasi ataupun pesaan pasien.
8. Tidak mudah terpengaruh oleh masa lalu pasien ataupun diri perawat sendiri.
Perawat harus mampu memandang dan menghargai pasien sebagai individu yang
ada pada saat ini, bukan atas masa lalunya, demikian pula terhadap dirinya sendiri..

D. Peran dan fungsi perawat kesehatan keperawatan jiwa


Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berupaya meningkatkan dan
mempertahankan perilaku pasien yang berperan pada funsi yang terintergrasi.
Sistem pasien atau klien dapat berupa individu, keluarga, kelompok, organisasi,
atau komunitas.
Empat factor utama yang membantu menentukan tingkat fungsi dan jenis aktivitas
yang dilakukan oleh perawat jiwa:
1. Legislasi praktek perawat
2. Kualifikasi perawat, termasuk pendidikan, pengalaman kerja, dan status
sertifikasi
3. Tatanan praktik perawat
4. Tingkat kompentensi personal dan inisiatif perawat
Selain itu, perawat jiwa mampu melakukan hal-hal berikut ini :
Membuat pengkajian kesehatan biopsikososial yang peka terhadap

budaya.
Merancang dan mengimplementasikan rencana tindakan untuk pasien
dan keluarga yang mengalami maslah kesehatan komleks dan kondisi

yang dapat menimbulkan sakit.


Berperan serta dalam aktifitas
mengorganisasi,

mengakses,

menegemen

menegosiasi,

kasus,

seperti

mengoordinasi,

dan

mengintegrasikan pelayanan dan perbaikan bagi individu dan

keluarga.
Memberikan pedoman perawatan kesehatan kepada individu, keluarga
dan kelompok untuk menggunakan sumber kesehatan jiwa yang
tersedia dikomuntas termasuk pemberi perawatan, lembaga, teknologi,

dan sistem sosial yang paling tepat.


Meningkatkan dan memelihara kesehatan jiwa serta mengatasi

pengaruh gangguan jiwa melalu penyuluhan dan konseling.


Memberikan asuhan kepada pasien penyakit fisik yang mengalami
masalah psikologis dan pasien gangguan jiwa yang mengalami maslah

fisik .
Mengelola dan mengordinasi sistem asuhan yang menginntegrasikan
kebutuhan pasien, keluarga, staf, dan pembuat kebijakan.

E. Penerapan etika keperawatan pada intervensi keperawatan jiwa


1. Otonomi

Setiap orang mempunyai kebebasan untuk memilih rencana kehidupan dan cara
mengatur dirinya , Menghargai harkat dan martabat manusia sbg individu yg dapat
memutuskan yg terbaik untuk dirinya. Setiap tindakan keperawatan harus melibatkan
pasien dan berpartisipasi dalam membuat keputusan yang berhubungan dg asuhan
keperawatan
2. Beneficience
Merupakan prinsip untuk melakukan yang baik dan tidak merugikan orang lain. Tidak
menimbulkan bahaya bagi orang lain, Perawat secara moral berkewajiban membantu
orang lain melakukan sesuatu yg menguntungkan dan mencegah timbulnya bahaya
3. Non Maleficience
Prinsip Non Maleficience dan Kemaslahatan dapat dilihat kontinum rentang dari
bahaya yg tidak berarti (non maleficience) sampai menguntungkan orang lain dg
melakukan yg baik (kemaslht). Menuntut perawat menghindari yg membahayakan
pasien selama pemberian asuhan keperawatan. Bekerja dg konsep dalin di RS.
4. Keadilan
Merupakan suatu prinsip moral untuk berlaku adil terhadap semua pasien sesuai
dengan kebutuhan . Setiap individumendapat tindakan yg sama berarti mempunyai
kontribusi yg relatif sama untuk kebaikan kehidupan seseorang.
5. Kejujuran, Kerahasiaan dan

Kesetiaan

Kejujuran adalah kewajiban untuk mengungkapkan yg sebenarnya atau tdk


membohongi pasien didasarkan pd hub saling percaya. Kerahasiaan adalah kewajiban
untuk melindungi informasi rahasia. Kesetiaan adalah kewajiban untuk menepati
janji .

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Kesehatan Jiwa adalah Perasaan Sehat dan bahagia serta mampu mengatasi tantangan
hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya serta mempunyai sikap positif
terhadap diri sendiri dan orang lain. Perkembangan akan penyakit dan jenis gangguan
jiwa dari tahun ke tahun akan semakin banyak dan lebih memerlukan perhatian dari
pemerintah dan masyarakat .
B. Saran

Bagi pemerintah dan masyarakat agar tidak mengucilkan bahkan menyakiti orangorang yang mengalami gangguan jiwa . tapi harus di rawat atau di masukan ke Rumah
Sakit Jiwa untuk mendapatkan perawatan khusus. Dan bagi perawat saat melakukan
asuhan keperawatan kepada klien dengan gangguan jiwa agar bisa mengaplikasikan
komunikasi terapeutik dengan baik serta saat melakukan intervensi harus
memperhatikan penerapan kode etik.

Daftar pustaka

1. Videbeck S.L, PhD, RN. (2008). Buku ajar keperawatan jiwa. Jakarta.EGC.

2. Stuart, G.W & Laraia, M.T (2005). Principles & Practice of psychiatric Nursing. (
8th Ed). ST Louis: Mosby.
3. Yosep H.I, S.Kp., M.Si., M.Sc. & Sutini T, S.Kep., Ners., M.kep. (2014). Buku
ajar keperawatan jiwa. Bandung. PT.Refika Aditama.
4. Prabowo E. (2014). Konsep dan aplikasi Asuhan Keperawatan jiwa. Yogjakarta.
Nuha medika.

Anda mungkin juga menyukai