Kelompok 1
Yestrine Anita Lumasuge
13061078
14061083
14061093
Lavenia Malinggato
14061068
Sintike Lesi
14061052
Diana Kapoh
14061078
Natalia Kalangi
Kelas B semester 4
Fakultas Keperawatan
140610
Kata Pengantar
Puji syukur patut kami naikkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas
kasih dan tuntunanNya sehingga kami kelompok 1 bisa meyelesaikan tugas
makalah tentang Pengantar Keperawatan Kesehatan Jiwa ini dengan baik.
Kelompok kami menyadari dalam pembuatan tugas makalah ini ada banyak
tantangan yang telah dilewati termasuk mencari referensi yang tepat dan terpercaya
sehingga membutuhkan kerja sama dan kerja keras.
Kami menyampaikan trima kasih kepada pihak-pihak yang terlibat dalam
pembuatan tugas ini. Trima kasih kepada dosen Mata Kuliah Keperawatan Jiwa
sudah membimbing kami , dan telah memberikan kami sumber referensi yang
terpercaya dan sangat akurat. Juga buat pihak perpustakaan Unika De La Salle
Manado yang mengijinkan kelompok 1 untuk mencari referensi kami, trima kasih
kepada semua anggota kelompok 1 yang telah bekerja sama dengan baik demi
terselesaikannya tugas ini.
Semoga tugas ini bermanfaat dan menjadi berkat serta menambah pemahaman bagi
pembaca dan semoga kelompok 1 mendapat hasil yang baik. Kelompok kami
sangat membutuhkan masukan yang membangun demi kebaikkan bersama.
Penulis
Daftar Isi
Kata Pengantar
... i
Daftar Isi.....ii
BAB 1 PENDAHULUAN
Latar belakang...
tujuan...
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah dan Perkembangan Pelayanan Keperawatan
Jiwa...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
gangguan
fisik,
mental,
bahkan
menyebabkan
sombong,
benci,
dendam,
fanatisme,
serakah,
dan
kikir
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah dan Perkembangan Pelayanan Keperawatan JIwa
Jika belajar dari sejarah, usaha kesehatan jiwa dan perawatannya diIndonesia dibagi
menjadi dua yaitu zaman colonial dan setelah kemerdekaan.
1. Zaman Kolonial
Sebelum didirikan rumah sakit jiwa diIndonesia pasien gangguan jiwa ditampung
dirumah sakit sipil atau militer dijakarta, semarang, dan Surabaya. Pasien yang
ditampung adalah mereka yang sakit jiwa berat saja. Tahun 1862 pemerintah Hindia
Belanda melakukan sensus pasien gangguan jiwa diseluruh Indonesia di Pulau Jawa,
dan Madura ditemukan pasien sekitar 600 orang, sedangkan didaerah lain ditemukan
sekitar 200 orang. Berdasarkan temuan tersebut pemerintah mendirikan Rumah
Sakit jiwa bagi pasien gangguan jiwa.
Pada tanggal 1 Juli 1882 didirikan Rumah Sakit jiwa pertama di Indonesia,
dicilenddek Bogor Jawa Barat dengan kapasitas 400 tempat tidur. Rumah Sakit jiwa
kedua didirikan di Lawang Jawa Timur tanggal 23 Juni 1902. Rumah Sakit jiwa ini
adalah terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas 3.300 tempat tidur. Rumah Sakit
jiwa yang ketiga didirikan di Magelang pada tahun 1923, dengan kapasitas 1400
tempat tidur. Rumah sakit jiwa di Sabang tahun 1927. Menyusul didirikannya rumah
sakit jiwa lainnya di Grogol Jakarta , Padang , Palembang, Banjarmasin, dan
Manado.
Pemerintah Hindia Belanda mengenal empat macam tempat perawatan pasien
gangguan jiwa :
a. Rumah Sakit Jiwa
Rumah Sakit Jiwa diperuntukkan bagi pasien sakit jiwa yang memembutuhkan
perawatan lama. Pasien demikian ditempatkan di RSJ Bogor, Magelang, Lawang
dan Sabang. Perawatan bersifat isolasi dan penjagaan ( custodial care )
b. Rumah Sakit Sementara
Rumah sakit ini merupakan tempat penampungan sementara bagi pasien psikotik
akut yang dipulangkan setelah sembuh. Pasien yang dari RS ini masih butuh
perawatan lama dikirim ke RSJ Jakarta, Semarang, Surabaya, Palembang, Padang,
Manado, atau Medan
c. Rumah Perawatan
Berfungsi sebagai Rumah Sakit jiwa, dikepalai seorang perawat berijazah dibawah
pengawasan dokter umum.
d. Koloni
Merupakan tempat penampungan pasien yang sudah tenang dan mereka bekerja
dilahan pertanian. Mereka tinggal dirumah penduduk, tuan rumahnya diberikan
biaya oleh pemerintah. Pasien tetap diawasi oleh dokter atau perawat. Diketahui
pendidikan perawat jiwa mulai dibuka pada bulan September 1940 di Bogor, berupa
kursus. Yang diterima adalah orang Belanda atau Indo-Belanda, yang sudah lulus
MULO atau setaraf sekolah menengah pertama. Lulusannya mendapat sertifikat
Diploma B.
2. Zaman Setelah Kemerdekaan
Perkembangan usaha kesehatan jiwa di Indonesia meningkat, ditandai terbentuknya
jawatan urusan penyakit iwa pada Bulan Oktober 1947. Pada saat itu masih terjadi
revolusi fisik, tetapi pembinaan dan penyelenggaraan kesehatan jiwa tetap
dilaksanakan. Pada tahun 1951 dibuka sekolah perawat jiwa untuk orang Indonesia.
Perawatan kesehatan jiwa mulai dikerjakan secara Modern dan tidak lagi
ditempatkan secara tertutup. Jawatan urusan kesehatan jiwa bernaung dibawah
Departemen Kesehatan terus membenahi sistem pengelolaan dan pelayanan
kesehatan. Tahun 1966 dirubah menjadi Direktorat Kesehatan jiwa dan sampai
sekarang dipimpin oleh Kepala Direktorat kesehatan jiwa. Pada tahun yang sama
ditetapkan Undang-undang Kesehatan Jiwa No. 3 tahun 1966 oleh pemerintah,
sehingga membuka peluang untuk melaksanakan modernisasi semua sistem RSJ dan
pelayanannya.
Kesehatan jiwa terus berkembang pesat pada abad ke-21 ini. Metode perawatan dan
pengobatan bersifat ilmiah. Pengobatan disesuaikan dengan perkembangan iptek,
menggunakan obat-obatan psikofarmaka, terapi shock/ECK dan terapi lainnya.
Demikian juga dengan praktek keperawatan menggunakan metode ilmiah proses
keperawatan, komunikasi terapeutik dan terapi modalitas keperawatan dengan
kerangka ilmu pengetahuan yang mendasari praktek profesional.
Peran dan fungsi perawat jiwa dituntut lebih aktif dan profesional untuk
melaksanakan pelayanan keperawatan kesehatan jiwa. Pada saat ini pelayanan
keperawatan kesehatan jiwa berorientasi pada pelayanan komunitas. Komitmen ini
sesuai dengan haasil Konferensi Nasional I Keperawatan jiwa pada Bulan Oktober
2004.
Perspektif sejarah terapi gangguan jiwa
1. Zaman dahulu
Pada zaman dahulu, ada suatu keyakinan bahwa setiap penyakit menunjukan
ketidaksenangan dewa dan merupakan hukuman atas dosa dan perbuatan yang
salah. Penderita gangguan jiwa dipandang jahat atau baik, bergantung pada
prilakunya . individu yang baik disembah dan dipuja ; individu yang jahat
diasingkan, dihukum, dan kadang kala dibakar ditiang pembakaran. Setelah itu,
aristoteles ( 382-322 SM) mencoba menghubungkan gangguan jiwa dengan
gangguan fisik dan mengembangkan teorinya bahwa emosi dikendalikan oleh
jumlah darah , air, empedu kuning dan hitam dalam tubuh. keempat zat atau
cairan tersebut berhubungan dengan emosi gembira, tenang, marah, dan sedih.
Ketidak seimbangan empat cairan tersebut diyakini menyebabkan gangguan jiwa
sehingga terapi ditujukan pada upaya mengembalikan keseimbangan dengan
korban persemahan , puasa, dan menyucikan diri. terapi tersebut bertahan
sampai abad ke 19 ( Baly, 1982).
2. Periode pencerahan dan pendirian institusi jiwa
Pada tahun 1790-an periode penccerahan mulai memperhatikan penderita
gangguan jiwa.pendirian asli ( RSJ ) dilakukan oleh phillippe pinel diprancis dan
William tukes diinggris. Konsep asli sebagai tempat perlindungan yang aman atau
tempat yang memberikan perlindungan dibuat oleh 2 pria ini diinstitusi tempat
individu dicambuk , dipukul, dan dibiarkan lapar hanya karna mereka menderita
gangguan jiwa ( gollaher, 1995). Gerakan ini mulai melakukan terapi moral pada
penderita gangguan jiwa. Di AS, dorothea Dix ( 1802-1887) mulai melakukan
gerakan reformasi terapi gangguan jiwa setelah berkunjung ke institusi tukes
diinggris ia membantu dalam membuka 32 RS pemerintah yang menawarkan asil
kepada para penderita. Dix yakin bahwa masyarakat memiliki kewajiban terhadap
penderita gangguan jiwa dan memberikan pemukiman yang layak, makanan
bergizi, dan pakaian yang nyaman, ( Gollaher, 1995 ).
3. Sigmud freud dan terapi gangguan jiwa
Periode study dan terapi ilmiah gangguan jiwa dimulai oleh Sigmud Freud ( 18561939). Bersama yang lain, seperti Emil Kraeplein ( 1856-1926 ) dan Eugene
Bleuler ( 1857-1939 ) , study psikiatri, diagnosis, dan terapi gangguan jiwa
dimulai dengan sungguh-sungguh. Kraepeling mulai mengklasifikasi gangguan
jiwa sesuai dengan gejala dan bleuler menggunakan istilah Skizofrenia freud
menantang masyarakat untuk memandang manusia secara objektif dan
mempelajari pikiran, gangguan pikiran, dan terapi seperti yang tidak pernah
dilakukan sebelumnya. Banyak ahli teori mengikuti apa yang dilakukan freud.
4. Perkembangan psikofarmakologi
Suatu lompatan besar dalam terapi gangguan jiwa dimulai pada tahun 1950
dengan berkembangnya obat psikotropika
legislasi ini
menjalani terapi kesehatan jiwa jika ia tidak menginginkannya. Hal ini semakin
mengurangi populasi pasien di RS pemerintah, dengan demikian dana yang
dikeluarkan untuk mereka menurun ( Torrey, 1997).
6. Gangguan jiwa pada abad ke 21
Department of health an human services ( 1999 )memperkirakan 51 juta
penduduk amerika dapat didiagnosis mengalami gangguan jiwa dari jumlah
tersebut , 6,5 juta mengalami diasabilitas akibat gangguan jiwa yang berat, dan 4
juta diantaranya adalah anak-anak dan remaja. Misalnya, 3 % - 5% anak usia
sekolah mengalami gangguan hiperaktifitas atau deficit perhatian lebih dari 10
juta anak berusia kurang ari 7 tahun tumbuh dirumah yang salah satu orang tuanya
menderita gangguan jiwa yang signifikan atau menyalahgunakan zat sehingga
menghambat kesiapan mereka untuk masuk sekolah.
beberapa ahli berpendapat bahwa Deinstitutionalization memiliki efek nagatif
sekaligus positif ( torrey , 1997 ).
7. Tujuan untuk masa depan
Sangat disayangkan, hanya satu dari empat penderita gangguan jiwa dewasa dan
satu dari 3 anak mendapat terapi ( DHHS, 1999). Data statistic seperti ini
mendasari tujuan
pasien, perawat, dokter, fisioterapi, pekerja sosial, ahli gizi, manager, dan apoteker. Oleh
karena itu tim kolaborasi interdisiplin hendaknya memiliki komunikasi yang efektif,
bertanggung jawab dan saling menghargai antar sesama anggota tim.
Secara integral, pasien adalah anggota tim yang penting. Partisipasi pasien dalam
pengambilan keputusan akan menambah kemungkinan suatu rencana menjadi efektif.
Tercapainya tujuan kesehatan pasien yang optimal hanya dapat dicapai jika pasien sebagai
pusat anggota tim. Karena dalam hal ini pasien sakit jiwa tidak dapat berpikir dengan
nalar dan pikiran yang rasional, maka keluarga pasienlah yang dapat dijadikan pusat dari
anggota tim. Disana anggota tim dapat berkolaborasi dalam menentukan tindakantindakan yang telah ditentukan. Apabila pasien sakit jiwa tidak memiliki keluarga
terdekat, maka disinilah peran perawat dibutuhkan sebagai pusat anggota tim. Karena
perawatlah yang paling sering berkomunikasi dan kontak langsung dengan pasien sakit
jiwa. Perawat berada disamping pasien selam 24 jam sehingga perawatlah yang
mengetahui semua masalah pasien dan banyak kesempatan untuk memberikan pelayanan
yang baik dengan tim yang baik.
Perawat adalah anggota membawa persfektif yang unik dalam interdisiplin tim. Perawat
memfasilitasi dan membantu pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari praktek
profesi kesehatan lain. Perawat berperan sebagai penghubung penting antara pasien dan
pemberi pelayanan kesehatan.
Dokter memiliki peran utama dalam mendiagnosis, mengobati dan mencegah penyakit.
Pada situasi ini dokter menggunakan modalitas pengobatan seperti pemberian obat dan
pembedahan. Mereka sering berkonsultasi dengan anggota tim lainnya sebagaimana
membuat referal pemberian pengobatan.
Kolaborasi menyatakan bahwa anggota tim kesehatan harus bekerja dengan kompak
dalam mencapai tujuan. Elemen penting untuk mencapai kolaborasi interdisiplin yang
efektif meliputi kerjasama, asertifitas, tanggung jawab, komunikasi, kewenangan dan
kordinasi seperti skema di bawah ini.
1. Kewenangan
2. Komunikasi
3. Tanggung jawab
4. Tujuan umum
5. Kerja sama
6. Kolaborasi interdisiplin
7. Efektif
8. Pemberian pertolongan
9. Koordinasi
10. ketegasan
Kerjasama adalah menghargai pendapat orang lain dan bersedia untuk memeriksa
beberapa alternatif pendapat dan perubahan kepercayaan.
Ketegasan penting ketika individu dalam tim mendukung pendapat mereka dengan
keyakinan. Tindakan asertif menjamin bahwa pendapatnya benar-benar didengar dan
konsensus untuk dicapai.
Tanggung jawab artinya mendukung suatu keputusan yang diperoleh dari hasil
konsensus dan harus terlibat dalam pelaksanaannya.
Komunikasi artinya bahwa setiap anggota bertanggung jawab untuk membagi
informasi penting mengenai perawatan pasien sakit jiwa dan issu yang relevan untuk
membuat keputusan klinis.
Pemberian pertolongan artinya masing-masing anggota dapat memberikan tindakan
pertolongan namun tetap mengacu pada aturan-aturan yang telah disepakati.
Kewenangan mencakup kemandirian anggota tim dalam batas kompetensinya.
Kordinasi adalah efisiensi organisasi yang dibutuhkan dalam perawatan pasien sakit
jiwa, mengurangi duplikasi dan menjamin orang yang berkualifikasi dalam
menyelesaikan permasalahan.
Tujuan umum artinya setiap argumen atau tindakan yang dilakukan memiliki tujuan
untuk kesehatan pasien sakit jiwa.
Kolaborasi dapat berjalan dengan baik jika :
1. Semua profesi mempunyai visi dan misi yang sama
lain :
1. Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan menggabungkan keahlian
2.
3.
4.
5.
6.
Kolaborasi interdisiplin tidak selalu bisa dikembangkan dengan mudah. Ada banyak
hambatan antara anggota interdisiplin, meliputi :
1.
2.
3.
4.
5.
budaya.
Merancang dan mengimplementasikan rencana tindakan untuk pasien
dan keluarga yang mengalami maslah kesehatan komleks dan kondisi
mengakses,
menegemen
menegosiasi,
kasus,
seperti
mengoordinasi,
dan
keluarga.
Memberikan pedoman perawatan kesehatan kepada individu, keluarga
dan kelompok untuk menggunakan sumber kesehatan jiwa yang
tersedia dikomuntas termasuk pemberi perawatan, lembaga, teknologi,
fisik .
Mengelola dan mengordinasi sistem asuhan yang menginntegrasikan
kebutuhan pasien, keluarga, staf, dan pembuat kebijakan.
Setiap orang mempunyai kebebasan untuk memilih rencana kehidupan dan cara
mengatur dirinya , Menghargai harkat dan martabat manusia sbg individu yg dapat
memutuskan yg terbaik untuk dirinya. Setiap tindakan keperawatan harus melibatkan
pasien dan berpartisipasi dalam membuat keputusan yang berhubungan dg asuhan
keperawatan
2. Beneficience
Merupakan prinsip untuk melakukan yang baik dan tidak merugikan orang lain. Tidak
menimbulkan bahaya bagi orang lain, Perawat secara moral berkewajiban membantu
orang lain melakukan sesuatu yg menguntungkan dan mencegah timbulnya bahaya
3. Non Maleficience
Prinsip Non Maleficience dan Kemaslahatan dapat dilihat kontinum rentang dari
bahaya yg tidak berarti (non maleficience) sampai menguntungkan orang lain dg
melakukan yg baik (kemaslht). Menuntut perawat menghindari yg membahayakan
pasien selama pemberian asuhan keperawatan. Bekerja dg konsep dalin di RS.
4. Keadilan
Merupakan suatu prinsip moral untuk berlaku adil terhadap semua pasien sesuai
dengan kebutuhan . Setiap individumendapat tindakan yg sama berarti mempunyai
kontribusi yg relatif sama untuk kebaikan kehidupan seseorang.
5. Kejujuran, Kerahasiaan dan
Kesetiaan
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesehatan Jiwa adalah Perasaan Sehat dan bahagia serta mampu mengatasi tantangan
hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya serta mempunyai sikap positif
terhadap diri sendiri dan orang lain. Perkembangan akan penyakit dan jenis gangguan
jiwa dari tahun ke tahun akan semakin banyak dan lebih memerlukan perhatian dari
pemerintah dan masyarakat .
B. Saran
Bagi pemerintah dan masyarakat agar tidak mengucilkan bahkan menyakiti orangorang yang mengalami gangguan jiwa . tapi harus di rawat atau di masukan ke Rumah
Sakit Jiwa untuk mendapatkan perawatan khusus. Dan bagi perawat saat melakukan
asuhan keperawatan kepada klien dengan gangguan jiwa agar bisa mengaplikasikan
komunikasi terapeutik dengan baik serta saat melakukan intervensi harus
memperhatikan penerapan kode etik.
Daftar pustaka
1. Videbeck S.L, PhD, RN. (2008). Buku ajar keperawatan jiwa. Jakarta.EGC.
2. Stuart, G.W & Laraia, M.T (2005). Principles & Practice of psychiatric Nursing. (
8th Ed). ST Louis: Mosby.
3. Yosep H.I, S.Kp., M.Si., M.Sc. & Sutini T, S.Kep., Ners., M.kep. (2014). Buku
ajar keperawatan jiwa. Bandung. PT.Refika Aditama.
4. Prabowo E. (2014). Konsep dan aplikasi Asuhan Keperawatan jiwa. Yogjakarta.
Nuha medika.