Anda di halaman 1dari 3

Sejarah Arsitektur Indonesia

I ndonesia mewarisi tradisi membangun secara tradisional yang turun-temurun lintas


generasi mengakomodasi kebutuhan masyarakat sesuai tingkat sosial-budaya yang berlaku
dalam kelompoknya. Tradisi itu dengan bijak mampu memanfaatkan potensi alam
sekitarnya, sekaligus tunduk pada keterbatasannya. Konteks lingkungan menjadi guru abadi
yang senantiasa memberi pelajaran secara kolektif tentang cara membangun yang tepat.

Memasuki era modern (mulai awal abad XIX), kebutuhan baru bermunculan sejalan dengan
perubahan jaman. Pabrik, stasiun kereta api, pelabuhan laut, kantor perdagangan, gedung
pertunjukan, untuk menyebutkan beberapa contoh saja, menuntut cara membangun yang
berbeda. Hingga akhir abad XIX pembangunan di Hindia Belanda sangat didominasi oleh
kelompok zeni dari militer dan oleh para insinyur serta arsitek dari Departemen Pekerjaan
Umum.

Pada masa itu, kegiatan rancang-bangun oleh aannemer (pemborong) lazim berlaku. Kegiatan
merencana dan membangun menjadi satu kesatuan, dilakukan oleh satu pihak yang dipilih oleh
pemberi tugas. Praktek ini banyak terjadi terutama pada bangunan rumah tinggal, namun banyak
pula terjadi pada bangunan publik. Bangunan didirikan menurut pola dan langgam yang tersedia
di buku-buku desain dengan berbagai penyesuaian yang diperlukan menurut kebutuhan dan
selera pemberi tugas, dan karakteristik tapak yang ada.

Ketika pembangunan di berbagai lapangan kehidupan meningkat tajam (terutama setelah UU


Agraria 1870 berlaku). Sekolah teknik didirikan untuk memenuhi kebutuhan tenaga trampil yang
dapat mendukung pekerjaan pembangunan yang dilakukan oleh para insinyur untuk bangunan
gedung, pekerjaan irigasi dan jalan raya. Tenaga trampil yang baik dapat naik pangkat dari
opzichter (pengawas) menjadi arsitek.

Dalam sejarah kita, arsitek pertama Indonesia adalah Aboekasan Atmodirono (1860-1920).  Ia
lulus Sekolah Teknik Menengah Jurusan Bangunan (Middelbare Technische School) yang
berhasil mencapai jenjang opzichter. Setelah naik pangkat, ia dikenal sebagai de eerste inlandse
architect (arsitek pribumi pertama) dan bekerja di Departement van Burgerlijke Openbare
Werken (Departemen Pekerjaan Umum). Ia hadir di Kongres I Boedi Oetomo dan masuk dalam
daftar calon ketua. Ketika pemerintah Hindia Belanda membentuk Dewan Rakyat (volksraad) di
tahun 1918, ia ditunjuk duduk di parlemen sebagai tokoh Boedi Oetomo yang juga mewakili
Perhimpunan Pamong Praja Pribumi “Mangoenhardjo”.

Ketika kesempatan sekolah ke luar negeri terbuka bagi kaum bumiputera, Notodiningrat masuk
sekolah tinggi teknik di Delft dan lulus sebagai insinyur sipil pertama Indonesia di tahun 1916. Ia
juga dikenal sebagai salah seorang pendiri Indische Vereniging (Perhimpunan Hindia, cikal
bakal Perhinpunan Indonesia). Insinyur sipil pada masa itu mampu menangani pekerjaan
perencanaan dan pengawasan di bidang bangunan gedung, irigasi dan jalan raya. Karirnya
dijalani di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum. Setelah masa kemerdekaan, Prof. Ir.
Wreksodiningrat (alias Notodiningrat) ikut mendirikan Fakultas Teknik UGM dan menjadi
Dekan (1947-1951).

Usai PD I, muncul tokoh nasional yang mengawali karirnya sebagai arsitek, yaitu Abikoesno
Tjokrosujoso. Setelah lulus dari Koningin Emma School di Surabaya pada tahun 1917, ia secara
otodidak meniti karir di bidang konstruksi. Belakangan ia dapat mengikuti ujian arsitek dan lulus
di tahun 1921 (sumber lain mengatakan 1923 atau 1925). Disamping aktif di dunia politik (adik
HOS Tjokroaminoto yang kemudian memimpin PSII) ia juga memiliki usaha aannemer dan
pernah pula bekerja sebagai asisten bersama Moh. Soesilo (perencana kota Kebayoran Baru) di
biro milik Thomas Karsten di Semarang. Setelah Indonesia merdeka, ia ditunjuk menjadi
Menteri Pekerjaan Umum dan Perhubungan RI yang pertama.
Di tahun 1920 Technische Hoogeschool di Bandung mulai beroperasi. Empat orang bumiputera
pertama yang lulus dari sekolah itu (1926) adalah Anwari, Ondang, Soekarno dan Soetedjo.
Soekarno, Proklamator dan Presiden RI I, menyebut dirinya insinyur-arsitek.  Di awal karirnya,
ia mendirikan biro insinyur pertama bumiputera bersama Anwari. Belakangan ia juga mendirikan
biro insinyur bersama Rooseno. Pekerjaannya meliputi perencanaan dan sekaligus juga
membangun rumah tinggal, pertokoan dsb. sebagai arsitek pemborong (aannemer).

Di era kemerdekaan, pekerjaan arsitek masih dilahirkan dari insinyur sipil lulusan TH Bandung
(sekarang ITB), disamping para tenaga trampil yang menyebutkan dirinya arsitek (tingkat teratas
dari seorang opzichter atau pengawas, antara lain dapat disebutkan nama Silaban dan
Soedarsono). Untuk memenuhi kebutuhan sesuai tuntutan jaman, maka baru di tahun 1950
dibentuk jurusan arsitektur agar segera lahir lulusan sarjana arsitektur Indonesia yang khusus
menangani bangunan gedung. Pada tahun 1958 jurusan tersebut berhasil meluluskan 16 sarjana
arsitektur pertama.

Pembangunan yang pesat di akhir tahun 1950-an telah mendorong kesadaran dari para arsitek
dan sarjana arsitektur lulusan pertama untuk membanguna tatanan baru dunia konstruksi di
Indonesia. Tiga arsitek senior, yaitu Ars. Moh. Soesilo, Ars. Silaban, dan Ars. Liem Bwan Tjie,
bersama 17 sarjana arsitektur angkatan pertama yang dimotori oleh Ir. Soehartono Soesilo (putra
Ars. Moh. Soesilo) bersepakat mendirikan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) pada tanggal 17
September 1959.

IAI dibentuk sebagai reaksi terhadap praktek aannemer yang ditengarai menghambat kemajuan
di bidang arsitektur. Arsitek sebagai profesi memerlukan posisi yang lebih mulia dan tidak
terjebak pada kegiatan yang dapat menimbulkan konflik kepentingan. Kegiatan aannemer
(rancang-bangun) dianggap menodai integritas seorang arsitek dalam memberikan layanan
keahliannya. IAI dibentuk untuk mendorong status seorang arsitek menjadi “arsitek murni” yang
dapat memusatkan perhatiannya pada tahap perencanaan dan tidak tergoda pada sisi bisnis
kegiatan membangun yang dilakukan pemborong (kontraktor).  Pembentukan IAI mendapat
persetujuan dari Presiden Sukarno, sekaligus bersedia menjadi pelindung asosiasi profesi arsitek
satu-satunya di Indonesia.

Tidak lama kemudian sejumlah sarjana arsitek lulusan Belanda/Jerman pulang ke tanah air untuk
mengabdikan keahliannya untuk nusa dan bangsa, antara lain: Sujudi, Soewondo, Bianpoen dan
Han Awal. Dengan gelar Dipl.Ing, mereka bersama-sama lulusan dari ITB telah membuka jalan
baru dunia arsitektur di Indonesia melalui karya-karya yang membanggakan.

Seiring dengan pembangunan berbagai fasilitas modern di Indonesia, berbagai sayembara


dilangsungkan untuk mendapatkan karya terbaik. Arsitek sebagai seorang ahli bangunan gedung
mendapat tempat khusus di dunia konstruksi. Namanya sebagai individu menjadi jaminan
kompetensi dan tanggung jawabnya. Sebagian besar usaha di bidang arsitektur didirikan sebagai
sebuah biro atau firma (seperti advokat).

Pada perkembangannya kemudian, pendidikan di sekolah teknik tingkat STM dan sarjana muda
berkembang pesat mengikuti kebutuhan yang meningkat, untuk melatih seseorang dapat
menjalankan pekerjaan sebagai seorang arsitek. Siapa saja dapat berperan sebagai arsitek dan
merencana berbagai fasilitas yang dibutuhkan oleh masyarakat. Baru di pertengahan tahun 1970-
an, pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan peraturan bahwa diperlukan lisensi atau ijin
praktek bagi seseorang yang akan menjalankan peran sebagai arsitek penanggung jawab suatu
proyek perencanaan bangunan gedung. Para lulusan sarjana arsitektur dapat memiliki lisensi A,
yang sarjana muda memiliki lisensi B, dan yang lulusan setingkat STM mendapat C. Dalam
prosesnya kemudian mereka dapat mengajukan peningkatan kelas (dari C ke B dan dari B ke A).
Bagi mereka yang telah mendapatkan lisensi praktek, dianjurkan menjadi anggota asosiasi
profesi. Pembinaan dan peningkatan kualitas keprofesionalannya diserahkan kepada asosiasi
profesi melalui berbagai penataran, seminar dan kegiatan lainnya.
Sementara itu, kegiatan usaha praktek arsitek diarahkan menjadi perseroan terbatas, khususnya
bagi mereka yang akan mengikuti proses pengadaan jasa di lingkungan pemerintah.
Perkembangan ini secara perlahan-lahan mengubah sebutan “arsitek” menjadi “konsultan”.
Akhir-akhir ini, telah dikembangkan pula sebutan “penyedia jasa” sebagaimana tercantum di
dalam UU Jasa Konstruksi dan UU Bangunan Gedung. Sebutan “arsitek” serta merta menghilang
dari tataran hukum dan pada gilirannya juga mengandung arti yang secara langsung mengubah
esensi keprofesionalannya.

Anda mungkin juga menyukai