Anda di halaman 1dari 24

PENGARUH EKSPLOITASI TERHADAP SUMBERDAYA HAYATI

Diajukan Untuk Menempuh Mata Kuliah Eksplorasi

Disusun oleh :
Ivan Adhitya Darman

230210120009

M. Reza Prasetio

230210120012

Fadlilah Rahman S

230210120018

M. Faadhil Novianto

230210120021

Retno Kusuma Ningrum

230210120049

Sharifah Leila R

230210120065

Asep Kurniawan

230210120001

Gama Bagjalaksana

230210120005

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
JATINANGOR

2015

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat dan rahmat-Nya penulis bisa menyelesaikan tugas makalah dengan tema
Pengaruh Eksploitasi terhadap Sumberdaya hayati. Makalah ini dibuat untuk
memenuhi tugas mata kuliah Eksplorasi Sumberdaya dan Lingkungan Laut.
Penulis sangat berharap makalah mengenai Pengaruh Eksploitasi
Sumberdaya Hayati ini dapat

menambah pengetahuan pembaca mengenai

dampak dari penggunaan alat tangkap dan pemanfaatan secara berlebihan pada
sektor perikanan terhadap ekosistem. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa
makalah ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun demi kebaikan penulisan makalah berikutnya.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya.

Oktober, 2015

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Beberapa jenis dari

spesiesnya sudah termasuk kedalam kategori dilindungi ataupun terancam punah.


Bahkan, beberapa jenis hewan tersebut hanya bisa ditemukan di wilayah Indonesia,
seperti Badak Jawa, Harimau Sumatera, Komodo yang hanya bisa ditemukan di pulau
Komodo, serta burung cendrawasih yang habitat aslinya ialah di Papua. Pada sektor
perikanan, beberapa ikan paus dan hiu dapat ditemukan di perairan Indonesia, seperti
Hiu Paus yang bisa ditemukan pada waktu tertentu di Teluk Cendrawasih.
Sumberdaya hayati laut ini memiliki manfaat sebagai barang ekspor yang
menguntungkan, seperti ikan tuna dan cumi-cumi.
Eksploitasi sumberdaya hayati di Indonesia telah masuk pada tahap yang
mengkhawatirkan, dikarenakan eksploitasi terjadi secara berlebihan dan tidak diikuti
dengan kegiatan rehabilitasi dan konservasi. Pengaruh dari over eksploitasi ini
sangatlah buruk, karena efek negatif ini berpengaruh secara berkelanjutan dan untuk
dampak yang panjang, seperti efek dari over fishing yang akan merusak rantai
makanan secara keseluruhan. Kegiatan over fishing ini adalah kegiatan yang
mengambil ikan dengan jumlah yang sangat banyak dan terus dilakukan tanpa adanya
timbal balik berupa pengembalian jumlah populasi pada spesies tertentu agar tidak
menganggu proses rantai makanan serta jaring makanan secara keseluruhan.
1.2

Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah tentang pengaruh eksploitasi sumberdaya

hayati laut pada mata kulliah eksplorasi sumberdaya hayati laut ini, adalah:
1. Mengetahui pengaruh dari kegiatan eksploitasi sumberdaya hayati
2. Kegiatan apa saja yang mempengaruhi ekosistem di pesisir dan laut
BAB II
ISI

2.1

Pengaruh Eksploitasi Sumberdaya Hayati Laut


Peningkatan populasi manusia, berdampak pada meningkatnya pola konsumsi

merupakan ancaman terhadap keanekaragaman hayati (Indrawan et al. 2007).


Wilayah pesisir memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan antara
ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa
lingkungan yang sangat kaya (Anonim, 2007).
Sugiarti et al (2000) mengatakan, kekayaan sumberdaya laut tersebut
menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan sumberdayanya
dan berbagai instansi untuk meregulasi pemanfaatannya. Kekayaan sumberdaya
pesisir, meliputi pulau-pulau besar dan kecil sekitar 17.500 pulau, yang dikelilingi
ekosistem pesisir tropis, seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun,
berikut sumberdaya hayati dan non-hayati yang terkandung di dalamnya. Akan tetapi,
kekayaan sumberdaya pesisir tersebut telah atau sedang mengalami kerusakan. Sejak
awal tahun 1990, fenomena degradasi biogeofisik sumberdaya pesisir semakin
berkembang dan meluas. Laju kerusakan sumberdaya pesisir telah mencapai tingkat
yang mengkhawatirkan, terutama pada ekosistem mangrove, terumbu karang, dan
estuary atau muara sungai. Dahuri (2003) menyebutkan berdasarkan faktor utama
yang mengancam kelestarian sumberdaya keanekaragaman hayati pesisir dan lautan
adalah:
1. Pemanfaatan berlebihan (over exploitation) sumberdaya hayati. Ketika tingkat
usaha pemanfaatan kelestarian sumber daya hayati meningkat, maka akan
tercipta tingkat pemanfaatan yang berlebihan. Salah satu sumberdaya laut
yang telah dieksploitasi secara berlebihan adalah sumberdaya perikanan.
2. Penggunaan teknik dan peralatan penangkapan ikan yang merusak
lingkungan, seperti bahan peledak, bahan beracun (sodium dan potassium
sianida) dan pukat harimau yang dapat memusnahkan organisme dan merusak
lingkungan.

3. Perubahan dan degradasi fisik habitat Kerusakan fisik pada habitat ekosistem
pesisir dan laut di Indonesia telah terjadi pada ekosistem terumbu karang,
padang lamun, estuari dan hutan mangrove. Hutan mangrove pada berbagai
daerah di Indonesia telah mengalami penurunnan luas dari tahun ke tahun.
Degradasi tersebut akibat adanya konversi hutan mangrove untuk lahan
tambak, pertanian, pemukiman, pelabuhan, dan industri.
4. Pencemaran Sebagian besar bahan pencemar yang ditemukan di laut berasal
dari kegiatan manusia. Sumber pencemaran terdiri dari industri, limbah cair
pemukiman, limbah cair perkotaan, pertambangan, pelayaran, pertanian, dan
perikanan budidaya.
5. Adanya introduksi spesies-spesies asing ke dalam suatu ekosistem dapat
menjadi ancaman bagi keanekaragaman hayati di daerah pesisir dan laut.
Hasil penelitian yang dilakukan Amerika dan Australia menunjukkan bahwa
di dalam air ballast kapal pada setiap perjalanan kapal ditemukan lebih dari 50
jenis asing yang terdiri dari fitoplanton dan zooplankton. Bila air ballast
tersebut dibuang, bahan pencemar biotik tersebut akan memasuki perairan,
sehingga mengakibatkan struktur komunitas, baik fitoplankton maupun
zooplankton berubah.
6. Konversi kawasan lindung perlindungan laut. Pembangunan wilayah pesisir
dan laut mempunyai ruang lingkup yang luas, meliputi banyak aspek dan
faktor. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan adalah aspek ekologis, sosial,
budaya, ekonomi, politik serta pertahanan dan keamanan. Beberapa sektor
yang terkait secara langsung maupun tidak langsung, dengan kawasan
pemukiman, indutri, rekreasi, dan pariwisata, transportasi, budidaya tambak,
serta kehutanan dan pertanian. Sering kali kegiatan pembangunan tidak
memperhatikan aspek ekologis (kelestarian lingkungan), melainkan hanya
memperhatikan aspek ekonomis.
Beberapa ancaman yang telah diuraikan sebelumnya merupakan faktor utama
penyebab terjadinya degradasi lingkungan di wilayah pesisir dan laut. Terdapat lima
alasan kehidupan di wilayah pesisir dan laut berisiko terhadap keanekaragaman

hayati laut, pertama, tingkat kepadatan penduduk yang tinggi dan kemiskinan; kedua,
tingkat konsumsi yang berlebihan dan penyebaran sumberdaya yang tidak merata;
ketiga, kelembagaan; keempat, kurangnya pemahaman tentang ekosistem alam; dan
kelima, kegagalan system ekonomi dan kebijakan dalam menilai ekosistem alam.
2.2

Overfishing
Overfishing atau penangkapan berlebih merupakan kondisi dimana tingkat

pemanfaatan sumberdaya ikan melebihi batasan yang ditetapkan sehingga dapat


menyebabkan penurunan stok (deplesi) sumberdaya ikan (Zulkarnain, 2013). Dalam
kegiatan disektor kelautan terdapat empat potensi yang tereksploitasi dengan
melampaui ketentuan pemanfaatan yang seharusnya. Potensi tersebut meliputi;
Sumber daya tidak dapat pulih (minyak dan gas, bahan tambang dan mineral), energi
kelautan (gelombang, pasang surut, Ocean Thermal Energy Conversion, angin), jasa
lingkungan (media transportasi, komunikasi, iklim, keindahan alam, penyerap
limbah), dan potensi sumber daya dapat pulih (ikan dan biota lainnya, terumbu
karang, hutan mangrove, lamun).
Indonesia memiliki potensi sumber daya perikanan yang sangat besar baik dari
segi kuantitas maupun keanekaragamannya. Potensi lestari (maximum sustainable
yield/MSY) sumber daya perikanan tangkap diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per
tahun. Sedangkan potensi yang dapat dimanfaatkan (allowable catch) sebesar 80%
dari MSY yaitu 5,12 juta ton per tahun. Namun demikian, telah terjadi
ketidakseimbangan tingkat pemanfaatan sumber daya perikanan antar kawasan dan
antar jenis sumber daya. Di sebagian wilayah telah terjadi gejala tangkap lebih (over
fishing) seperti di Laut Jawa dan Selat Malaka, sedangkan di sebagian besar wilayah
timur tingkat pemanfaatannya masih di bawah potensi lestari. Pemanfaatan secara
berlebih senantiasa terjadi dikarenakan tingkat pengetahuan masyarakat nelayan
indonesia yang umumnya merupakan masyrakat dengan tingkat pendidikan yang
rendah, sehingga kegiatan eksploitasi dilakukan dengan cara yang lebih

mementingkan hasil dan mengabaikan kesediaan stok yang berkelanjutan, dengan


demikian lama kelamaan terjadi keadaan overfishing.
Pauly (1983), menyatakan sumberdaya wilayah pesisir dan laut, merupakan
sumberdaya yang bersifat open access dan common property, sehingga setiap
orang/stakeholder berhak memanfaatkannya dengan tujuan memperoleh economic
rent.

Pola pemanfaatan yang demikian cenderung mengarah kepada deplesi

sumberdaya, sehingga jika tidak ada upaya untuk menjaga kelestariannya seperti
konservasi dikhawatirkan terjadi scarcity sumberdaya yang mengarah kepada
kepunahan. Keadaan overfishing sendiri dapat dibagi kedalam beberapa kategori
diantaranya adalah sebagai berikut.
a. Growth Overfishing
Growth Overfishing merupakan kegiatan penangkapan Ikan sebelum mereka
sempat tumbuh mencapai ukuran dimana peningkatan lebih lanjut dari pertumbuhan
akan mampu membuat seimbang dengan penyusutan stok yang diakibatkan oleh
mortalitas alami (misalnya pemangsaan). Langkah pencegahan growth overfishing
meliputi pembatasan upaya penangkapan, pengaturan ukuran mata jarring dan
penutupan musim atau daerah penangkapan.
b. Recruitment Overfishing
Merupakan Kegiatan eksploitasi yang berlebih pada penangkapan stok pada
suatu spesies terutama pada indukan sehingga produksi telur akan berkurang sejalan
dengan eksplotasi pada induk . Pencegahan terhadap recruitment overfishing meliputi
proteksi (misalnya Melalui reservasi) terhadap sejumlah stok induk (parental stock,
broodstock) yang memadai.
c. Biological Overfishing
Kombinasi dari growth overvishing dan recruitment overfishing akan terjadi
manakala tingkat upaya penangkapan dalam suatu perikanan tertentu melampaui
tingkat yang diperlukan untuk menghasilkan MSY (Maximum Suistainable yield).
Pencegahan terhadap biological overfishing meliputi pengaturan upaya penangkapan
dan pola penangkapan (fishing pattern).

d. Economic Overfishing
Terjadi bila tingkat upaya penangkapan dalam suatu perikanan melampaui
tingkat yang diperlukan untuk menghadilkan MEY, yang dirumuskan sebagai
perbedaan maksimum antara nilai kotor dari hasil tangkapan dan seluruh biaya dari
penangkapan. empat jenis overfishing tersebut menimpa semua bentuk perikanan
atau sumberdaya ikan didunia.
e. Ecosystem Overfishing
Overfishing jenis ini merupakan kategori yang relevan bagi perairan di dapaerah
tropis. Ecosystem overfishing

dapat terjadi sebagai hasil dari suatu perubahan

komposisi jenis dari suatu stok sebagai akibat dari upaya penangkapan yang
berlebihan, dimana spesies target menghilang dan tidak digantikan secara penuh oleh
jenis pengganti. Biasanya ecosystem overfishing mengakibatkan timbulnya suatu
transisi dari ikan bernilai ekonomi tinggi berukuran besar kepada ikan kurang bernilai
ekonomi berukuran kecil dan akhirnya kepada ikan rucah (trash fish) dan/atau
invertebrata non komersial seperti ubur-ubur.
f. Malthusian Overfishing
Malthusian overfishing merupakan suatu istilah untuk mengungkapkan
masuknya tenaga kerja yang tergusur dari berbagai aktifitas berbasis darat (landbased activities) kedalam perikanan, pantai dalam jumlah yang berlebihan yang
berkompetisi dengan nelayan tradisional yang telah ada dan yang cenderung
menggunakan cara-cara penangkapan yang bersifat merusak, seperti dinamit untuk
ikan ikan pelagis, sianida untuk ikan-ikan di terumbu karang dan/atau insektisida
dibeberapa perikanan laguna dan estuarine. (Widodo, 2008)
Tingkat keanekaragaman hayati di Laut Indonesia merupakan salah satu yang
tertinggi di dunia. Sumberdaya tersebut paling tidak mencakup 37% dari spesies ikan
di dunia. Di wilayah perairan laut Indonesia terdapat beberapa jenis ikan bernilai
ekonomis tinggi antara lain : tuna, cakalang, udang, tongkol, tenggiri, kakap, cumicumi, ikan-ikan karang (kerapu, baronang, udang barong/lobster), ikan hias dan
kekerangan termasuk rumput laut (Barani, 2004).

Lemahnya armada perikanan tangkap nasional. Berbagai sumber menyebutkan


bahwa dari 7.000 kapal ikan yang beroperasi di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
(ZEEI), sekitar 70 persen di antaranya merupakan milik asing. Selain itu, armada
perikanan tangkap Indonesia sebagian besar memiliki produktivitas yang amat rendah
yaitu hanya 8 ton/kapal/tahun. Menurut Dwiponggo (1982) dalam Parerung (1996),
tingkat pemanfaatan atau pengusahaan sumberdaya perikanan dibagi menjadi empat
macam, yaitu :
1. Pengusahaan yang rendah, dimana hasil tangkapan hanya merupakan sebagian
2.

kecil dari potensinya


Pengusahaan yang moderat (sedang), dimana hasil tangkapan merupakan
sebagian yang nyata dari potensi, namun penambahan upaya penangkapan masih

3.

memungkinkan
Pengusahaan yang tinggi, dimana hasil tangkapan sudah mencapai sebesar
potensinya, penambahan upaya penangkapan tidak akan menambah hasil

4.

tangkapan
Pengusahaan yang berlebih (overfishing), dimana terjadi pengurangan dari stok
udang/ikan, karena penangkapan yang tinggi, sehingga hasil tangkapan per
satuan upaya penangkapan akan jauh berkurang.
Permasalahan illegal fishing (pencurian ikan) dan lemahnya penegakkan hukum

yang telah menghilangkan potensi ekspor perikanan Indonesia sebesar 4 miliar dolar
AS. Selain merugikan negara, illegal fishing juga merugikan nelayan tradisional
karena mereka menggunakan alat tangkap jenis trawl yang menyebabkan kerusakan
lingkungan laut yang berujung pada penciptaan rendahnya pendapatan nelayan.
Selain pembagian daerah bagian laut, pengelolaan, status hukum, hak dan
kewajiban, maka disusun pembagian daerah untuk memudahkan pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya perikanan, berdasarkan kesepakatan para pakar, peneliti dan
praktisi perikanan maka telah ditetapkan pembagian wilayah yang dikenal dengan
WPP (Wilayah Pengelolaan Perikanan) dengan mempertimbangkan aspek biologi dan
lingkungan sumberdaya ikan, seperti yang terlihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 1. Pembagian wilayah Pengelolaan : (1) WPP Selat Malaka; (2) WPP Laut
Cina Selatan; (3) WPP Laut Jawa; (4) WPP Selat Makasar dan Laut Flores; (5) WPP
Laut Banda; (6) WPP Laut Arafura; (7) WPP Laut Seram dan Teluk Tomini; (8) WPP
Laut Sulawesi; (9) WPP Samudra Indonesia.

Gambar 2. Status Wilayah Pengolaan Perikanan 2011.


Sumber: Kementrian Kelautan dan Perikanan 2011 Dalam (Solihin dkk. 2013)
Kondisi over fishing ini tidak hanya disebabkan karena tingkat penangkapan
yang melampaui potensi lestari sumberdaya perikanan, tetapi juga disebabkan karena

kualitas lingkungan laut sebagai habitat hidup ikan mengalami penurunan atau
kerusakan akibat pencemaran dan terjadinya degradasi fisik ekosistem perairan
sebagai tempat pemijahan, asuhan, dan mencari makan bagi sebagian besar biota laut
tropis. Oleh karena itu, disusunlah aturan untuk menanggulangi dampak dari
overfishing menurut Effendie (1997) antara lain :
1. Penutupan Musim Perikanan
Peraturan penutupan musim penangkapan untuk suatu musim tertentu berarti
tidak diperkenankan mengadakan penangkapan ikan. Penutupan musim tangkapan
dilakukan pada waktu ikan kawin (memijah) atau pada saat pembesaran anak-anak
ikan. Tujuannya adalah agar jumlah induk ikan tidak berkurang dan tingkah laku
pemijahan tidak terganggu. Penutupan juga ditujukan pada lokasi perikanan yang
keadaannya sudah rusak (lebih tangkap/overfishing).
2. Penutupan Daerah Pemijahan
Pelarangan mengadakan penangkapan di daerah pemijahan atau pembesaran
merupakan contoh konsep aturan alternatif penutupan daerah penangkapan. Hal ini
karena ada kalanya induk atau anak ikan pada waktu dan setelah pemijahan hidup
berkelompok dan terpisah dari stok lain. Peraturan ini dapat diberlakukan terhadap
suatu daerah kalau keadaan suatu stok sudah sangat berkurang akibat penangkapan
oleh alat tangkap khusus maka daerah penangkapan tersebut ditutup untuk alat
tangkap tersebut.
3. Cara Penangkapan yang Dilarang
Cara-cara penangkapan yang dapat membahayakan keberadaan perikanan dapat
dikenakan peraturan ini. Misalnya penangkapan ikan dengan bahan peledak (bom
ikan), bahan racun ikan (sianida/pottasium) dan bahan lainnya yang bersifat merusak.
Perikanan bagan juga dapat terkena peraturan ini. Bagan dengan ukuran mata jaring
yang kecil akan menangkap anak-anak ikan yang tertarik dengan sinar lampu. Hal ini
sangat merugikan karena anak ikan tidak diberikan kesempatan untuk tumbuh
menjadi besar.
4. Perlindungan Anak Ikan

Larangan penangkapan anak ikan atau ikan yang belum dewasa. Caranya dengan
menggunakan alat penangkapan yang menggunakan alat penangkapan yang
berukuran mata jaring selektif untuk menangkap ukuran ikan dewasa saja.
5.

Sistem Quota
Dalam mempertahankan suatu daerah perikanan yang hampir overfishing dapat

digunakan peraturan ini yaitu bagian hasil perairan yang diambil harus dalam jumlah
tertentu pada satu musim penangkapan. Apabila quota hampir tercapai pada akhir
musim penangkapan maka jumlah hasil tangkapan harus hampir mencapai jumlah
yang ditetapkan tadi. Oleh karena itu dalam menggunakan sistem ini harus disertai
dengan kontrol ketat agar tujuan tercapai.
2.3

Trawl Dasar pada Organisme Bentos dan SDH


Trawl merupakan jaring yang berbentuk kerucut yang dioperasikan dengan

menghela (towing) di dasar perairan dengan menggunakan kapal.Berdasarkan daerah


operasi traw dapat dikelompokan menjadi tiga yaitu : trawl dasar (bottom traw), trawl
pertenggahan (midwater trawl), dan trawl permukaan (pelagic trawl). Trawl dasar
merupakan alat penangkap ikan dasar yang sangat efektif dan efisien.
Pengoperasiannya menggunakan kapal motor yang memiliki HP (Horse power) yang
cukup untuk menarik trawl dengan kecepatan konstan antara 3 hingga 4 knot. Trawl
dasar ada yang dioperasikan dari buritan kapal (stern trawl) dan ada yang dari
lambung kapal (side trawl).
Hasil tangkapan trawl tidak selektif dengan komposisi hasil tangkapan yang
menangkap semua ukuran ikan, udang, kepiting, serta biota lainnya. Biota-biota yang
belum matang gonad dan memijah yang ikut tertangkap tidak dapat berkembang biak
menghasilkan individu baru. Kondisi ini menyebabkan deplesi stok atau pengurangan
stok sumber daya ikan, hasil tangkapan akan semakin berkurang. Pengoperasian trawl
yang mengeruk dasar perairan dalam dan pesisir tanpa terkecuali terumbu karang dan
merusak lokasi pemijahan biota laut, contohnya adalah benthos. Bentos adalah

organisme yang hidup di dasar perairan (substrat) baik yang sesil, merayap maupun
menggali lubang. Bentos hidup di pasir, lumpur, batuan, patahan karang atau karang
yang sudah mati.bentos memainkan peran penting dalam aliran alami energi dan
nutrisi. Invertebrata bentos yang sudah mati akan membusuk dan kemudian
meninggalkan nutrisi yang digunakan kembali oleh tanaman air dan hewan lainnya
dalam rantai makanan.
Bentos merupakan grup yang sangat beragam hewan air, dan sejumlah besar
spesies memiliki berbagai tanggapan terhadap stres seperti polutan organik, sedimen,
dan toxicants.

bentik makroinvertebrata Banyak berumur panjang, yang

memungkinkan deteksi peristiwa masa lalu seperti pencemaran tumpahan pestisida


dan ilegal dumping. Jenis dan populasi komunitas bentos ditentukan oleh sifat fisik,
kimia dan biologi perairan. Faktor biologi perairan juga merupakan faktor penting
bagi kelangsungan hidup hewan bentos sehubungan dengan peranannya sebagai
organisme kunci dalam jaring makanan, sehingga komposisi jenis hewan yang ada
dalam suatu perairan seperti kepiting, udang, ikan melalui predasi akan
mempengaruhi kelimpahan bentos. Ketika jenis-jenis hewan pada suatu perairan
berkurang akibat penggunaan trawl maka akan mengakibatkan penurunan kualitas
dan kuantitas kelangsungan hidup benthos pula. Selain itu, kelompok-kelompok
kecil karang hidup yang berada di dasar perairan akan ikut tersapu. Dampak
kerusakan dasar laut yang selanjutnya adalah mengganggu dan merusak produktivitas
dan habitat biota pada dasar perairan di mana dasar perairan adalah habitat penting di
laut karena terdiri dari ekosistem terumbu karang, lamun, dan substrat pasir atau
lumpur.
Selain itu, kajian yang dipaparkan oleh WWF-Indonesia ini juga
menunjukkan bahwa persentase udang dan ikan sebagai target tangkapan trawls
berkisar antara 18-40% dari total komposisi tangkapan, sementara sisanya adalah
tangkapan sampingan (bycatch) yang tidak bernilai ekonomis tinggi dan akan
dibuang (discarded). Status eksploitasi sumber daya ikan dari Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan No.45/2011 menyatakan bahwa potensi untuk sumber daya

ikan demersal sudah mencapai status eksploitasi lebih (fully exploited) yang salah
satunya disebabkan oleh pukat hela, dan potensi sumber daya udang dalam status
tangkap lebih (overfishing).
2.3 Marine Pollution (Pencemaran Laut)
Pencemaran laut didefinisikan sebagai peristiwa masuknya partikel kimia,
limbah industri, pertanian dan perumahan, kebisingan, atau penyebaran organisme
invasif (asing) ke dalam laut, yang berpotensi memberi efek berbahaya. Berdasarkan
Peraturan Pemerintah No.19/1999, pencemaran laut diartikan dengan masuknya atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat
tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu
dan/atau fungsinya. Sedangkan Konvensi Hukum Laut III (United Nations
Convention on the Law of the Sea = UNCLOS III) memberikan pengertian bahwa
pencemaran laut adalah perubahan dalam lingkungan laut termasuk muara sungai
(estuaries) yang menimbulkan akibat yang buruk sehingga dapat merugikan terhadap
sumber daya laut hayati (marine living resources), bahaya terhadap kesehatan
manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut termasuk perikanan dan penggunaan laut
secara wajar, memerosotkan kualitas air laut dan menurunkan mutu kegunaan dan
manfaatnya.
Pencemaran laut (perairan pesisir) merupakan dampak negatif (pengaruh yang
membahayakan) terhadap kehidupan biota, sumberdaya dan kenyamanan (amenities)
ekosoistem laut serta kesehatan manusia dan nilai guna lainnya dari ekosistem laut
yang disebabkan secara langsung maupun tidak langsung oleh pembuangan bahanbahan atau limbah (termasuk energi) ke dalam laut yang berasal dari kegiatan
manusia (GESAMP,1986). Terdapat banyak tipe pencemaran yang sangat penting
sehubungan dengan lingkungan kelautan, beberapa diantaranya adalah:
1. Perubahan kuala, teluk, telaga, pantai serta habitat-habitat pantai karena
pencemaran darat, pengerukan, pengurugan, dan pembangunan.

2. Penyebaran pestisida dan bahan-bahan kimia lain yang tahan lama


3. Pencemaran oleh minyak
4. Penularan-penularan bahan-bahan radioaktif di seluruh dunia
5. Pencemaran oleh panas
Sumber pencemaran perairan pesisir biasa terdiri dari limbah industri, limbah
cair pemukiman (sewage), limbah cair perkotaan (urban stormwater), pelayaran
(shipping), pertanian, dan perikanan budidaya. Bahan pencemar utama yang
terkandung dalam buangan limbah tersebut berupa sedimen, unsur hara (nutriens),
logam beracun (toxic metals), pestisida, organisme eksotik, organisme pathogen,
sampah, dan oxygen depleting substances (bahan-bahan yang menyebabkan oksigen
yang terlarut dalam air laut berkurang). Bahan pencemar yang berasal dari berbagai
kegiatan industri, pertanian, rumah tangga di daratan akhirnya dapat menimbulkan
dampak negatif bukan saja pada perairan sungai tetapi juga perairan pesisir dan
lautan. Berikut merupakan beberapa dampak yang terjadi akibat pencemaran laut :
a. Dampak Sedimentasi
Sedimentasi yang terjadi di suatu perairan dapat berpengaruh antara lain pada
pendangkalan dan perubahan bentang alam dasar laut, kesuburan perairan, dan
keanekaragaman hayati.
Pendangkalan dan Perubahan Bentang Alam Dasar Laut
Laporan RKL/RPL PT. Newmont untuk periode Oktober-Desember
1998 menyatakan bahwa terjadi penumpukan sedimen disekitar ujung
pipa (anus pipa) 9 meter. Selanjutnya Anonimus 1999b melaporkan
bahwa berdasarkan peta PT. NMR Tahun 1997, lokasi buangan limbah
tailing (anus pipa) berada pada kedalaman air 80-an meter. Pada
pengukuran batimetri tahun 1999 telah terjadi perubahan kedalaman di
anus pipa tailing, menjadi 70 meter. Telah terjadi pendangkalan
setebal 10 meter. Hasil pengukuran ini telah mengakibatkan perubahan
kontur laut (batimetri) dari tahun 1997 ke tahun 1999. Kondisi ini

dipertegas lagi dengan hasil pengukuran pada tahun 2000 (9). Dengan
demikian telah terjadi sedimentasi pada area yang cukup luas di
perairan Teluk Buyat.
Kesuburan Perairan
Anonimus 2000 menyatakan bahwa dampak dari adanya sedimentasi di
Teluk Buyat di mana terjadinya penyebaran lumpur pekat dengan
ketebalan antara 5 dan 10 meter menyebabkan kerusakan karang.
Luasnya bidang yang tertutup sedimen akibat tailing telah menutupi
area produktif perairan Teluk Buyat, dimana area ini adalah area
pemijahan bagi biota laut, area estuaria yang memiliki keanekaragaman
hayati (biodiversity) yang kaya
Keanekaragaman Hayati
Dampak penimbunan oleh sedimen (sedimentasi) yang terjadi
diperairan baik secara langsung maupun tidak berhubungan dengan
keberadaaan keanekaragaman hayati. Penimbunan dasar perairan oleh
sedimen tailing dapat merusak dan memusnahkan komunitas bentik
sehingga dapat menurunkan tingkat keanekaragaman hayati.
b. Dampak Logam Berat
Limbah yang mengandung arsen dan merkuri pada awalnya akan
mengkontaminasi plankton, kemudian limbah beracun ini suatu saat akan masuk
ke dalam biota laut dan akhirnya ke tubuh manusia. Rantai makanan dapat
berfungsi dalam pembesaran logam berat secara biologi (biomaknifikasi) di mana
konsentrasi yang sangat tinggi akan ditemukan pada rantai makanan tertinggi.
Senyawa metil-merkuri adalah bentuk merkuri organik yang umum terdapat di
lingkungan perairan. Senyawa ini sangat beracun dan diperkirakan 4-31 kali lebih
beracun dari bentuk merkuri inorganik. Selain itu, merkuri dalam bentuk organik
yang umumnya berada pada konsentrasi rendah di air dan sedimen adalah bersifat
sangat bioakumulatif (terserap secara biologis). Metil-merkuri dalam jumlah 99%

terdapat di dalam jaringan daging ikan. Sifat logam berat sangat unik, tidak dapat
dihancurkan secara alami dan cenderung terakumulasi dalam rantai makanan
melalui proses biomagnifikasi. Pencemaran logam berat ini menimbulkan berbagai
permasalahan diantaranya:
1) Berhubungan dengan estetika (perubahan bau, warna dan rasa air).
2) Berbahaya bagi kehidupan tanaman dan binatang.
3) Berbahaya bagi kesehatan manusia.
4) Menyebabkan kerusakan pada ekosistem.
Di dalam tubuh hewan, logam diabsorpsi darah, berikatandengan protein
darah yang kemudian didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh. Akumulasi logam
yang tertinggi biasanya dalam buangan limbah industri yang mengandung bahan
berbahaya dengan toksisitas yang tinggi ke lingkungan perairan mengakibatkan
bahan pencemar langsung terakumulasi secara fisik dan kimia lalu mengendap di
dasar laut. Melalui rantai makanan terjadi metabolisme bahan berbahaya secara
biologis dan akhirnya akan mempengaruhi kesehatan manusia. Akumulasi melalui
proses biologis inilah yang disebut dengan bioakumulasi. Menurut beberapa
penelitian, jika kandungan merkuri dalam tubuh mencapai tingkat tertentu, maka
dapat mengakibatkankematian bagi manusia tersebut. Beberapa efek lainnya yang
ditimbulkan oleh merkuri terhadap tubuh antara lain:
1) Semua senyawa merkuri adalah racun bagi tubuh, apabila berada dalam
jumlah yang cukup.
2) Senyawa-senyawa merkuri yang berbeda, menunjukkan karakteristik yang
berbeda pula dalam daya racun yang dimilikinya, penyebarannya, akumulasi
dan waktu retensinya di dalam tubuh.
3) Biotransformasi tertentu yang terjadi dalam suatu tata lingkungan dan atau
dalam tubuh organisme hidup yang telah tercemar merkuri disebabkan oleh
perubahan bentuk atas senyawa-senyawa merkuri itu, dari satu tipe ke tipe
lainnya.

4) Pengaruh utama yang ditimbulkan oleh merkuri di dalam tubuh adalah


menghalangi kerja enzim dan merusak selaput dinding (membran) sel.
Keadaan itu disebabkan karena kemampuan merkuri dalam membentuk
ikatan kuat dengan gugus yang mengandung belerang (sulfur) yang terdapat
dalam enzim atau dinding sel.
5) Kerusakan yang diakibatkan oleh logam merkuri dalam tubuh umumnya
bersifat permanen.
Akumulasi logam berat ini berdampak serius terhadap manusia. Contoh
kasusnya adalah Tragedi Minamata di Jepang akibat limbah Metil Merkuri Pabrik
Chisso (pabrik pembuat lem) mengakibatkan sekitar tahun 1951 manusia dan
binatang meninggal terus menerus tiap hari. Nelayan sekitar teluk makin lama makin
berkurang hingga tinggal 20 % sajapada tahun 1956. Pada tahun 1978, penderita
berjumlah 2000 orang dengan gejala kematian, cacat mental, cacat anggota tubuh,
patah tulang, kepikunan dan lain sebagainya.
c. Dampak Sampah
Sampah menganggu pergerakan satwa laut yang terjerat didalamnya
Banyaknya sampah di laut, baik yang mengambang maupun yang
tenggelam, semua itu mengganggu pergerakan para satwa laut seperti
ikan, penyu, dan anjing laut. Sampah kantong plastik, jaring, dan tali
pancing menjadi penghalang bagi pergerakan satwa laut. Banyak ikan
yang perjalanannya terhalang oleh plastik-plastik bahkan terjerat
benang pancingan.
Satwa laut banyak mati akibat mengira plastik sebagai makanannya
Akibat sampah, makanan satwa laut menjadi tercemar, dan mereka
bahkan bingung mengenai makanan apa yang baik dan patut dimakan.
Banyak satwa laut seperti ikan, penyu, bahkan burung yang makan ikan
laut yang memakan sampah plastik. Karena memakan sampah, banyak
dari mereka yang mati karena sampah plastik berbahaya dan bahkan

tidak bisa terurai. Lebih bahayanya lagi jika ikan yang memakan racun
di laut itulah ikan yang kita makan juga.
Tumpukan sampah mencemari kejernihan air laut
Jenis sampah yang dibuang di laut sangat beragam. Ada yang
merupakan sampah plastik, botol, bahkan sisa makanan manusia serta
pembuangan dari kapal yang melaut. Semua jenis sampah itu dapat
mencemari air laut. Plastik dan botol minuman bekas, yang dalam
pembuatannya mengandung bahan kimia, dapat menyebarkan racunnya
ke air laut. Sisa makanan manusia dan pembuangan dari kapal juga
merncemari air laut karena pembusukan sisa makanan tersebut. Air laut
yang harum wanginya, bisa menjadi bau busuk. Rasa air laut yang
asinpun dapat menjadi rasa lain karena tercampur makanan sisa yang
membusuk di laut.
Sampah menganggu kegiatan olahraga selancar dan menyelam
Para peselancar terganggu kegiatannya akibat semakin banyaknya laut
yang tercemar sampah sehingga semakin sulit mencari pantai yang
ombaknya tinggi serta bersih dari sampah. Penyelam pun mengeluh
mengenai sampah yang menutupi keindahan bawah laut. Cantiknya
terumbu karang terganggu oleh sampah yang berada disekitarnya
bahkan tersangkut di terumbu karang.
Sampah menghambat dan merusak kapal laut
Sampah yang ada di laut dapat menghambat bekerja baling-baling
kapal yang ada di bawah laut. Terhambatnya kerja baling-baling kapal
juga dapat merusak sistem dan membahayakan tangkai kemudi.
Sampah-sampah yang tersangkut dapat pula menyebabkan proses
pengambilan air laut ke kapal dan evaporator kapal menjadi terhambat.
2.4

Berkurangnya Lahan Mangrove

Kerusakan sumberdaya pesisir telah mencapai tingkat yang mengkuatirkan,


terutama wilayah pesisir yang kegiatan pembangunannya pesat. Kerusakan
sumberdaya pesisir tersebut umumnya disebabakan oleh banyak faktor antara lain
Eksploitasi lebih, Pencemaran, dan Penggunanan teknologi yang tidak ramah
lingkungan.
Kerusakan ekosistem pesisir tersebut berimplikasi langsung terhadap
penurunan kualitas habitat perikanan dan mengurangi stok ikan untuk berkembang,
abrasi dan akresi pantai serta mengurangi fungsi estetika lingkungan pesisir.
Kerusakan fisik lingkungan pesisir ini dipicu oleh faktor-faktor sosial-ekonomi,
khususnya masalah pertumbuhan penduduk dan kemiskinan. Masalah sosial ini perlu
menjadi perhatian karena adanya keterkaitan yang erat antara pertumbuhan
penduduk, kemiskinan dan laju ekspoloitasi sumberdaya perikanan. Langkanya
pendapatan alternative diluar pemanfaatan sumberdaya perikanan sering
menimbulkan dependensi yang berlebihan terhadap sumberdaya tersebut.
Salah satu ekosisitem yang mengalami perubahan yakni ekosistem mangrove.
Ekosistem hutan mangrove merupakan sumberdaya alami kaya akan fungsi dan
manfaat, salah satunya sebagai peredam dan pelindung dari gempuran gelombang
yang timbul. Namun karena beberapa ulah manusia, hutan mangrove menjadi rusak.
Baik itu disebabkan eksploitasi hutan mangrove menjadi lahan komersial atau
kerusakan karena pencemaran, sehingga kelestariannya tidak terjaga lagi.
Mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh diantara garis pasang surut,
tumbuhan yang hidup diantara laut dan daratan. Sehingga hutan mangrove dinamakan
juga hutan pasang. Hutan mangrove terjadi di daerah pantai yang terus menerus atau
berurutan terendam dalam air laut dan dipengaruhi oleh pasang surut, tanahnya terdiri
atas lumpur dan pasir. Secara harfiah, luasan hutan mangrove ini hanya sekitar 3 %
dari luas seluruh kawasan hutan dan 25 % dari seluruh hutan mangrove dunia.
Namun, dilihat dari perannya, kawasan vegetasi ini pantas diperhitungkan.
Berikut beberapa jenis kerusakan hutan mangrove :
Kegiatan yang memberikan sumbangan terbesar terhadap kerusakan
mangrove di Indonesia adalah pengambilan kayu untuk keperluan komersial serta
peralihan peruntukkan untuk tambah dan pertanian. Sedang kematian secara alami
tidak memberikan data signifikan yang patut dicurigai sebagai penyebab kerusakan
hutan mangrove. Sebab-sebab dan akibat perusakan mangrove yang terjadi secara
fisik dan kimia akan diuraikan berikut ini :

a. Mineral
Penambangan mineral mineral, telah berkembang di kawasan pesisir.
Penambangan dalam ekosistem mangrove mengakibatkan kerusakan total,
sedangkan penambangan di daerah sekitarnya dapat menimbulkan berbagai
macam efek yang merusak. Efek yang paling mencolok adalah pengendapan
bahan-bahan yang dibawa air permukaan kedalam mangrove.
Pengendapan yang berlebihan akan merusak mangrove karena terjadinya
penghambatan pertukaran air, hara dan udara dalam substrat dan air diatasnya.
Bila proses pertukaran ini tidak berlangsung, kematian mangrove akan terjadi
dalam waktu singkat.
Terhentinya sebagian proses pertukaran menimbulkan tekanan pada
mangrove, yang terlihat pada penurunan produktifitas dan kemampuan.
Selanjutnya jaringan makanan yang berlandaskan pada adanya detritus di
mangrove terganggu pula dan secara keseluruhan dapat menurunkan pula
produktivitas ikan.
b. Aliran Air Tawar
Suatu sumber mengatakan bahwa perkembangan mangrove yang baik
terjadi di daerah yang mempunyai masukan air tawar yang cukup. Di daerah
beriklim musiman masukan air tawar ke mangrove juga musiman. Tetapi
justru di daerah seperti ini keperluan akan air tawar bagi manusia pun besar
sekali. Sehingga manusia banyak memanfaatkan air tawar yang seharusnya
masuk ke daerah laut.
Air tawar digunakan oleh mangrove untuk menjadikan salinitas sekitarnya
menjadi optimal (10 30 ppt). Sumber : Blackwell Science. 2000 Saenger, P.
E.J, Hegerl, and J.P.S. Davie. Global Status of Mangrove Ecosystems).
Sedangkan air laut memiliki salinitas berkisar 35 ppt.
a. Eksploitasi Hutan
Eksploitasi hutan mangrove secara besar- besaran dilakukan untuk
keperluan kayu, dan bubur kayu. Biasanya eksplotasi seperti itu dilakukan
dengan tebang habis. Di daerah tebang habis permudaan alam umumnya
tidak berjalan dengan baik sehingga mengakibatkan penurunan nilai hutan
karena pohon-pohon untuk panen berikutnya berupa pohon-pohon dengan
kualitas rendah. Kegiatan eksploitasi perlu dilakukan secara hati- hati
guna memperkecil kerusakan yang mungkin terjadi, khususnya untuk
menjamin kelangsungan mata rantai ekologi adalah ekosistem mangrove
sehingga fungsinya sebagai sumber keanekaragaman hayati dan stabilisasi
lingkungan dapat dipertahankan.

Dalam melaksanakan eksploitasi hutan secara besar-besaran dilakukan


dengan menggunakan alat transportasi dan alat tebang yang modern.
Sehingga membutuhkan fasilitas dan infrastruktur sebagai pendukungnya.
Pengadaan fasilitas dan akses ke lokasi tersebut juga meninggalkan
kerusakan tersendiri terhadap hutan mangrove. Masalah lain yang sering
timbul adalah sisa-sisa hasil tebangan tidak dapat segera terdaur ulang
dengan proses penguraian. Karena banyaknya sisa penebangan yang
menumpuk sehingga proses penguraian berjalan dengan lambat. Sisa
penebangan yang besar-besar dengan adanya arus pasang surut juga akan
terbawa kemana-mana dan dapat menimbulkan masalah baru.
b. Konversi Lahan
Hutan rawa dalam lingkungan yang asin dan anaerob di daerah pesisir
selalu dianggap daerah yang marginal atau sama sekali tidak cocok untuk
pertanian dan akuakultur. Namun karena kebutuhan lahan pertanian dan
perikanan yang semakin meningkat maka hutan mangrove dianggap
sebagai lahan alternative. Reklamasi seperti itu telah memusnahkan
ekosistem mangrove dan juga mengakibatkan efek- efek yang negative
terhadap perikanan di perairan pantai sekitarnya. Selain itu kehadiran
saluran- saluran drainase mengubah system hidrologi air tawar di daerah
mangrove yang masi utuh yang terletak ke arah laut dan hal ini
mengakibatkan dampak negatif.
Hutan mangrove di Pulau Jawa, pada umumnya sejak tahun 1950
sebagian besar sudah rusak disebabkan pencurian kayu dan dijadikan
pertambakan. Tambak dalam skala kecil tidak terlalu banyak
mempengaruhi ekosistem mangrove dan ekosistem di sekitarnya, tetapi
lain halnya dengan tambak dalam skala besar. Konversi mangrove yang
luas menjadi tambak dapat mengakibatkan penurunan produksi perikanan
di perairan sekitarnya. Penggunaan lahan pasang surut untuk
pertambakkan terjadi di hampir seluruh Indonesia, namun sekitar 94 %
dari 225.000 ha areal pertambakan ada di Propinsi Aceh, Jawa Barat, jawa
Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Penyebarannya 52% terdapat
di Jawa, 30 % di Sulawesi, 15 % di Sumatra, 1% di Kalimantan dan
0,1%di Maluku dan Irian Jaya. Dengan data luasan yang ada berarti
hilangnya areal mangrove yang disebabkan pembukaan tambk sebesar
22%.
c. Tumpahan Minyak
Tumpahan minyak bumi dan hasil-hasil olahannya dengan kapal laut
semakin meningkat. Kebocoran, tumpahan dan pembuangan bahan

tersebut ke laut sudah sering terjadi. Di berbagai tempat, jalur- jalur


angkutan ini berbatasan dengan kawasan mangrove (misalnya selat
Malaka) dan kebocoran serta pembuangan minyak dengan sengaja telah
menunjukkan dampak negative yang nyata terhadap mangrove.
Dampak negative tersebut adalah kerusakan total ekosistem mangrove.
Pelaburan oleh minyak pada permukaan tumbuhan menyebabkan
penurunan kadar oksigen yang berujung pada kematian mangrove. Dalam
kondisi pelaburan oleh minyak yang sangat kuat, tumbuhan mangrove
dapat mati dalam waktu 72 jam. Pengguguran daun dan kematian pohonpohon mangrove di tempat tempat yang paling berpengaruh terjadi 4- 5
minggu.
Kerusakan total ekosistem hutan mangrove dapat memusnahkan
daerah nursery ground bagi larva dan juvenile ikan dan udang yang
komersial penting di lepas pantai, dan dengan demikian mengancam
regenerasi ikan dan udang tersebut.
d. Pembuangan Limbah
Kegiatan pertanian, agro-industri, industry kimia dan rumah tangga
menghasilkan limbah dalam jumlah yang beraneka dan kemudian dibuang
ke sungai atau pantai. Limbah cair terlarut atau membentuk suspensi
dalam air. Sebagian limbah cair ini berupa bahan anorganik yang juga
terdapat di alam, tetapi kehadiran dalam jumlah berlebihan dalam
lingkungan akuatik menyebabkan bahan itu tidak semuanya dapat didaur
ulang secara alami. Dampaknya, limbah-limbah tersebut, terutama B3,
secara berlebih akan terakumulasi di mangrove dan dalam beberapa
waktu, mangrove dan biota di ekosistem ini akan rusak.
h. Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan mangrove yang pernah terjadi di lahan Pesisir Timur
Sembilang pada tahun 1980 1990an berhubungan dengan pembukaan
lahan yang luas (untuk perkebunan dan transmigrasi) dan oleh penduduk
setempat. Sedangkan kebakaran yang terjadi pada tahun 1997 disebabkan
oleh kegiatan penebangan liar, nelayan dan pengembangan kawasan
transmigrasi ( Dennis et al, 2000). Kebakaran hutan dapat berdampak pada
pencemaran udara, sehingga dapat menggangu system pernapasan
khususnya manusia.
Berikut contoh beberapa informasi terkait Mangrove dan Abrasi di tempat yang
berbeda-beda:

Permasalahan di wilayah pesisir pantai utara Jawa Tengah terkait abrasi/erosi,


akresi, pencemaran dan kerusakan ekosistem mangrove yang menyebabkan
penurunan kualitas lingkungan ekosistem (Puryono, 2009).
Pesisir pantai utara Provinsi Jawa Tengah mengalami abrasi sekitar 710 m
per tahun akibat rusaknya jalur hijau mangrove (Kusmana dan Onrizal, 1998).
Kerusakan wilayah pesisir di Kota Semarang dan Kabupaten Demak terutama
terjadi karena abrasi yang disebabkan oleh perubahan pola arus akibat
bangunan massif yang menjorok ke laut yang menyebabkan berkurangnya
hutan mangrove(Hadi, 2009)
Luas hutan mangrove di Semarang berfluktuasi dari tahun 2002 seluas 52,4 ha
(Dinas Kelautan dan Perikanan, 2003) menjadi 135,38 ha pada tahun 2003
(Dinas Kelautan dan Perikanan 2008) dan 87,44 ha pada tahun 2006
(Departemen Kehutanan, 2006) .
Pada tahun 2009 abrasi seluas 231,76 ha yang meliputi Tugu seluas 57,87 ha,
Kecamatan Semarang Barat seluas 5,1 ha, Kecamatan Semarang Utara seluas
15,32 ha, serta Kecamatan Genuk seluas 153,47 ha ( Dinas Kelautan
Perikanan Provinsi Jawa Tengah, 2009). Luas abrasi mengalami peningkatan
menjadi 342,67 ha (Dinas Kelautan dan Perikanan, 2011).

Sumber : http://www.sridianti.com/pengertian-dan-pengaruh-salinitas.html.

Anda mungkin juga menyukai