Anda di halaman 1dari 31

LONG CASE

CROHNS DISEASE
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Salatiga

Disusun Oleh :
Candra Widhi Wicaksono
20110310204

Diajukan Kepada :

dr. Widodo, Sp.PD

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD SALATIGA 2016

HALAMAN PENGESAHAN
LONG CASE

CROHNS DISEASE

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada Januari 2016

Menyetujui,
Dokter Pembimbing

dr. Widodo, Sp. PD

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD SALATIGA 2016

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
IBD (Inflamatory Bowel Disease) adalah kondisi kronis intestinal yang immunemediated (Friedman, 2013). Idiopathic IBD merupakan kondisi yang dikarakteristikkan
dengan aktivasi imun dan inflamasi kronis atau berulang. Bentuk Idopathic IBD yang
utama adalah ulcerative colitis dan Crohn disease. Keduanya memiliki karakteristik
klinis dan epidemiologis yang mirip. Kadang keduanya sulit dibedakan secara klinis,
tapi keduanya adalah sindrom yang berbeda dengan penanganan dan prognosis yang
berbeda pula (Feldman, 2010).
Sampai saat ini belum diketahui etiologi IBD yang pasti maupun penjelasan yang
memadai mengenai pola distribusinya. Secara umum diperkirakan bahwa proses
patogenesis IBD diawali oleh adanya infeksi, toksin, produk bakteri atau diet intralumen
kolon, yang terjadi pada individu yang rentan dan dipengaruhi oleh faktor genetik, defek
imun, lingkungan, sehingga terjadi kaskade proses inflamasi pada dinding usus.
Manifestasi tersering dari IBD adalah diare kronik yang disertai atau tanpa darah dan
nyeri perut.
Tingginya angka kejadian IBD menciptakan tantangan bagi klinisi terkait dengan
pengetahuan yang belum komplit tentang penegakan diagnosis pada crohn diseases.
Pencitraan untuk crohn diseases sulit dipastikan. Namun dengan manifestasi klinis
berupa gangguan saluran pencernaan yang kronik sebagai gejala spesifik dari crohn
diseases, pemeriksaan USG dan CT Scan dengan media kontras oral dapat membantu
untuk menentukan diagnosis.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Crohn disease adalah suatu kondisi inflamasi kronis yang memiliki potensi
melibatkan posisi apapun dari traktus digestivus mulai dari mulut sampai anus, tapi
dengan tendensi untuk intestinum distal dan colon proksimal. Inflamasi tersebut
biasanya diskontinyu pada aksis longitudinal intestinum dan bisa mengenai semua
lapisan dari mukosa sampai serosa. (Feldman, 2010).
B. Epidemiologi
Meskipun IBD jarang terjadi, insiden IBD terus meningkat. Mortalitas tertinggi
terjadi pada tahun pertama dan penyakit dengan durasi lama karena kanker kolon.
Beberapa poin epidemiologi terlampir pada tabel 1 (Friedman, 2013).
Tabel 1.1. Epidemiologi IBD
Epidemiologi IBD
Ulcerative Colitis (UC)
Crohn Disease (CD)
Insiden
(Amerika 2,2 14,3 : 100.000
3,1 14,6 : 100.000
Utara) per personyears
Age of onset
15-30 dan 60-80
Etnisitas
Jewish > non-Jewish white > Afrika Amerika > Hispanik > Asia
Male / Female ratio
1:1
1,1 1,8 : 1
Merokok
Mungkin
bisa
mencegah Mungkin bisa menyebabkan
penyakit
penyakit
Kontrasepsi oral
Tidak ada peningkatan resiko
Odds ratio 1,4
Appedectomy
Protektif
Non-protektif
Kembar monozigotik 6% terjadi pada keduanya
58% terjadi pada keduanya
Kembar dizigotik
0% terjadi pada keduanya
4% terjadi pada keduanya
(Dikutip dengan modifikasi dari Friedman, 2013)
Meskipun UC dan CD terjadi pada usia 15-30 dan 60-80 tahun, UC dan CD masih
bisa terjadi pada anak-anak yang berusia kurang dari 15 tahun, meskipun insidennya
jarang. UC lebih sering terjadi pada anak yang berusia kurang dari 10 tahun
dibandingkan CD. Pada usia tersebut, dikatakan bahwa rasio terjadinya UC dan CD
pada laki laki dan perempuan adalah sama. Studi lain menunjukkan bahwa insiden CD
pada anak perempuan lebih tinggi 30% dibandingkan laki-laki, sedangkan penderita UC

pada usia ini didominasi oleh laki-laki (Yamada, 2009). Selain daripada itu, perbedaan
usia onset juga menunjukkan adanya perbedaan presentasi klinis antara orang tua dan
anak-anak. Meskipun secara penampakan patologis tidak didapatkan perbedaan antara
orang tua dan anak-anak, beberapa studi menunjukkan predominansi yang lebih besar
untuk penyakit di kolon dan distal pada orang tua, sedangkan predominansi untuk
penyakit ileocolonic pada anak-anak (Feldman, 2010).
Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya IBD adalah keadaan sosioekonomik,
riwayat merokok dan genetik. Area urban memiliki prevalensi lebih tinggi untuk
terjadinya IBD daripada area rural, dan kelas sosioekonomik tinggi memiliki prevalensi
lebih tinggi daripada kelas sosioekonomik lebih rendah (Friedman, 2013). Menurut
Yamada (2009), sanitasi yang buruk pada masa kanak-kanak adalah faktor protektif
untuk CD, meskipun tidak protektif untuk UC.
Efek dari merokok berbeda antara UC dan CD. Resiko UC pada perokok adalah
40% lebih tinggi daripada yang tidak merokok (Friedman, 2013). Beberapa studi
mendapati bahwa resiko terkena UC lebih tinggi pada orang yang tidak merokok
dibandingkan yang merokok (Yamada, 2009). Sebagai tambahan, mantan perokok
memiliki resiko 1,7 kali lebih tinggi daripada orang yang tidak pernah merokok
(Friedman, 2013). Jadi, menurut Yamada (2009), faktor resiko terkena UC lebih tinggi
pada non-smoker dibandingkan perokok aktif, dan meningkat jauh lebih banyak pada
mantan perokok bila dibandingkan dengan orang yang seumur hidup tidak merokok.
Berhenti merokok bisa memicu timbulnya UC, meskipun itu hanya efek yang lebih kecil
dibandingkan dengan efek rokok pada kesehatan secara umum (Yamada, 2009). Pada
CD, merokok meningkatkan resiko 2 kali lipat (Friedman, 2013). Perokok memiliki
perjalanan penyakit yang lebih berat, sehingga memerlukan medikasi imunosupresif
yang lebih baik dan memiliki rekurensi lebih cepat setelah operasi. Berhenti merokok
bisa memperingan perjalanan klinis meskipun keuntungan terbesar dari pemberhentian
merokok terlihat pada perokok berat. Zat aktif rokok yang berpengaruh pada terjadinya
UC dan CD. Melalui percobaan, ditemukan bahwa nikotin transdermal dan nicotine gum
bisa membantu untuk pengobatan UC (Yamada, 2009).
Apendektomi memberikan perlindungan terhadap perkembangan dari UC, tapi
tidak pada CD. Apendektomi memiliki efek terutama bila dilakukan karena penyakit
inflamasi seperti apendisitis atau limfadenitis, dan dilakukan sebelum usia 21 tahun
(Yamada, 2009).

IBD adalah penyakit familial pada 5-10% pasien. Beberapa pasien bisa memiliki
manifestasi penyakit sejak dini selama dekade pertama kehidupannya dan pada CD, bisa
ada kesamaan letak anatomis dan tipe klinis dalam sekeluarga. Sisanya terjadi secara
sporadik. Jika pasien terkena IBD, terdapat <10% lifetime risk untuk first degree
relative. Jike kedua orangtua terkena IBD, tiap anak memiliki resiko 36% untuk terkena
IBD (Friedman, 2013).
Predisposisi genetik lain bisa terjadi dengan asosiasi dengan sindrom genetik
tertentu. Beberapa sindroma genetik primer yang berasosiasi dengan IBD terlampir pada
tabel 2.
Tabel 1.2. Kelainan genetik utama yang berkaitan dengan IBD
Kelainan genetik utama yang berkaitan dengan IBD
Nama
Asosiasi genetik
Sindroma Turner
Kehilangan
sebagian
atau
seluruh kromosom X
Hermansky-Pudlak
Kromosom resesif autosomal
10q23
Sindroma Wiskott- Gangguan resesif X-linked,
Aldric (WAS)
kehilangan fungsi protein WAS
Glycogen
Disease

Storage Defisiensi protein transport


glucose-6-phosphate tipe B1

Immune
Hilangnya faktor transkripsi
dysregulation
FoxP3 dan fungsi sel regulator
polyendocrinopathy,
enteropathy X-linked
(IPEX)
Early onset IBD
Fungsi reseptor IL-10 tidak
adekuat
(Dikutip dengan modifikasi dari Friedman, 2013)

Fenotip
Berkaitan dengan UC dan CD
colon
Granulomatour colitis, albino
okulokutaneus,
disfungsi
platelet, fibrosis pulmo
Colitis,
defisiensi
imun,
disfungsi platelet berat, dan
trombositopenia
Granulomatous colitis, ada pada
anak-anak disertai hipoglikemia,
gagal tumbuh, hepatomegali, dan
neutropenia
UC-like
autoimmune
enteropathy,
dengan
endocrinopathy (neonatal type 1
diabetes
atau
tiroiditis),
dermatitis
IBD refrakter berat di awal
kehidupan

C. Etiologi

Genetik, terutama pada firsr-degree relatives dan anak-anak kembar. Tidak ada
pola dari pewarisan IBD yang sudah ditemukan, tapi mutasi spesifik ditemukan
berkaitan dengan IBD. Pada CD, didapati ada mutasi pada gen NOD2 dan IL-23R
(Interleukin 23 Receptor), yang menunjukkan ada keterlibatan innate and adaptive
immune system. Hal itu memperkuat teori adanya general basis pada terjadinya

CD. Tidak hanya dari pewarisan penyakitnya, tapi juga lokasi anatomis, usia onset
dan disease behavior (inflamasi, fistula atau stenosis).

Agen etiologi dan trigger antigenik potensial. Ada tiga hipotesis yang diakui.
Pertama, ada respon imun yang sesuai tapi tidak efektif terhadap patogen tersebut.
Organisme yang diberi perhatian khusus adalah spesies mycobacteria yang mirip
atau identik dengan Mycobacterium paratuberculosis; tapi data untuk keterlibatan
organisme ini dengan terjadinya Crohn disease masih sedikit.
Kedua, ada respon imun abnormal terhadap antigen makanan normal atau
agen mikroba nonpatogenik. Dalam hal ini ada kegagalan regulasi terhadap respon
imun terhadap paparan kronis, yang dalam hal ini bisa berupa flora normal usus,
sehingga terjadi aktivasi sistem imun. Pada CD, kelainan regulasi ini disebabkan
karena adanya mutasi terhadap gen NOD2, gen yang mengatur proten yang
terlibat dalam dalam respon terhadap produk bacteria, sehingga terjadi disregulasi
respon imun terhadap flora normal usus yang berakibat terjadinya inflamasi pada
mukosa usus.
Ketiga, adanya suatu kelainan autoimun terhadap sel-sel intestinal penderita.
Hal ini terjadi sebagai akibat adanya respon imun adekuat terhadap antigen
makanan atau mikrobial yang memiliki struktur proten yang mirip dengan sel
epitel sehingga terbentuk antibodi yang berperan pada antibody-dependent cellular
toxicity.

Respon imun. Sekuens imunologis sebagai respon inflamasi pada IBD dimulai dari
sensitisasi eksogen terhadap luminal antigen, seperti bakteri, difasilitasi oleh
pengaruh genetik. Populasi sel pertama yang terlibat adalah sel dendritic, yang
memfagosit dan memproses antigen dan mengenalkannya pada CD4+ T cell. Ada
dua populasi CD4+ T cell yang diproduksi : populasi efektor yang teraktivasi dan
populasi sel T regulator. Sel T yang teraktivasi memproduksi interferon- (IFN-),
yang mengaktivasi makrofag dan ikut berpartisipasi dalam injuri epitel. Sel T
regulator memproduksi transforming growth factor- (TGF-) dan interleukin-10
(IL-10), yang down-regulate activated CD4+ T cell dan activated macrophage.
Activated macrophage membuat IL-2, yang menyebabkan diferensiasi CD4+ T cell
menjadi Th1. Activated macrophage berpartisipasi dalam injuri epitel dengan
memproduksi tumor necrosis factor- (TNF-) dan spesies oksigen reaktif dan
dengan pengumpulan neutrofil, yang juga memproduksi spesies oksigen reaktif.

Makrofag dan neutrofil juga memproduksi prostaglandin E2 (PGE2) dan


leukotriene (LTB4), yang berkontribusi pada vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas vaskuler yang menjadi karakteristik IBD.

Gambar 1.1. Proses inflamasi pada usus (dikutip dari Yamada, 2009)

Sekresi antibodi, yang paling menonjol pada IBD adalah IgM dan IgG

Inflamasi. Baik UC maupun CD juga memiliki karakteristik histologis dari


inflamasi akut, termasuk infiltrasi intens oleh neutrofil ke mukosa dan submukosa.
Adesi molekul dan migrasi neutrofil diregulasi oleh sitokin inflamasi (IL-8 dan
TNF) dan mediator lemak, termasuk PAF dan leukotrien B4. Aktivasi neutrofil
berakibat pada release protease granule-bound dan produksi superoxide dan
spesies oksigen reaktif lainnya sehingga menunjukkan ciri destruksi epitel. Secara
makroskopik, pada IBD dapat ditemukan pola seperti proses inflamasi pada
umumnya seperti hiperemia mukosa dan edema mukosa. Hal itu disebabkan oleh
soluble mediator inflamasi. Pengobatan untuk UC dan CD didasarkan pada
pemilihan obat yang dapat memblok sintasa soluble inflamasi tersebut (contoh :
Cortikosteroid dan 5-Aminosalicylate). Mukosa yang mengalami peradangan pada
IBD tidak hanya mengaktivasi gen yang berkaitan dengan inflamasi saja, seperti

COX-2 dan IL-8, tapi juga mengaktivasi gen yang berkaitan dengan penyembuhan
luka termasuk growth factor dan metalloproteinase. (Yamada, 2009)
D. Patofisiologi
Crohns disease merupakan suatu penyakit yang belum diketahui penyebabnya,
diduga akibat peradangan kronis, autoimun dan genetic. Suatu hipotesa konsensus
mengatakan bahwasanya pada suatu individu yang secara genetik terpapar, faktor
eksogen (contohnya flora luminal normal) dan faktor host (contohnya fungsi sawar sel
epitel intestinal, fungsi innate, dan imun adaptif) dapat mengakibatkan keadaan kronik
dari disregulasi fungsi imun mukosa yang kemudian akan dimodifikasi faktor
lingkungan (misalnya merokok).
Sistem imunitas tubuh pada penderita (sel limfoid T Helper 1) bereaksi tidak
normal terhadap bakteri, makanan, dan substansi lain yang dianggap sebagai benda
asing, yang dipresentasikan oleh APC (Antigen Presenting Cells). Sistem imunitas
tersebut memberikan respon serangan terhadap setiap antigen pada APC.
Selama proses ini terjadi, sel-sel darah putih (leukosit) terakumulasi di sepanjang
lapisan dalam usus (intestine) dan merangsang terjadinya inflammatory kronis dengan
akibat terjadinya ulserasi, perlukaan usus, dan pembentukan jaringan parut / jejas (scar)
pada jaringan usus. Sedangkan pada ulcerative chronic, patofisiologi yang mendasari
adalah konsep imunologik yang disebut GALT (gut-associated-lymphoid-tissue) atau
sistem imun mukosa usus besar (SIMUB) yang terpicu oleh intervensi antigen berasal
dari komponen nutrisi atau agen infeksi. Konsep ini bersifat individual, dimana antigen
muncul di dinding mukosa usus besar (DMUB) menghasilkan aktivasi substan pembawa
pesan peradangan khusus di usus besar ( T helper 2) disebut sitokin dan oleh faktor
pemicu peradangan sekunder menimbulkan kerusakan dari dinding mukosa usus besar
(DMUB).
Berkaitan dengan inflamasi kronis, pola inflamasi pada Crohns disease memiliki
pola patchy segments atau dikenal dengan skip lesion. Inflamasi tersebut menembus
semua lapisan pada segmen tersebut. Di antara segmen inflamasi, terdapat segmen yang
tidak kena inflamasi. Pada awalnya, inflamasi terjadi mulai dari mukosa dan submukosa.
Selanjutnya, peningkatan permeabilitas dan vaskularitas berkontribusi untuk terjadinya
edema dan fibrosis. Sebagai respon dari mediator inflamasi, dilepaskan makrofag, sel
plasma dan limfosit. Terbentuk granuloma sebagai batas dari area yang terinfeksi
(Braun, 2011).

Seiring berjalannya proses inflamasi, permukaan interior menebal karena edema


berlebihan, fibrosis dan formasi granuloma. Penebalan ini bisa menyebabkan obstruksi
usus total. Obtruksi ini menyebabkan makanan tidak bisa melalui traktus digestivus
sehingga bisa menjadi kegawatdaruratan yang membahayakan nyawa. Ciri khas Crohns
disease selain penebalan mukosa adalah terbentuknya ulkus pada mukosa intestinal.
Ulkus ini bisa menjadi dalam dan kemudian penetrasi melalui lapisan usus, membentuk
fistula. Pada basis fistula, seringkali terbentuk abses atau kantong yang berisi eksudat
purulent. Permukaan luar seringkali mengalami gangguan karena respon inflamasi
kronis. Permukaan luar bisa menempel dengan bagian usus lainnya yang kemudian
membatasi fungsi usus (Braun, 2011).
Destruksi mukosa dan submukosa bisa merusak vili dan kripta. Kerusakan ini
mengganggu fungsi absorbsi dan regenerasi epitel di area tersebut sehingga dapat terjadi
malnutrisi. Selanjutnya, malnutrisi ini bisa memperburuk keadaan seiring dengan
penyembuhan. Komplikasi paling berat adalah infeksi massif dan syok karena obstruksi
usus total dan perforasi (Braun, 2011).

Gambar 2.1. Patofisiologi Crohns Disease

NSAID

mikroba

rokok

diet

antigen
APC
TH 1
Sitokin pro inflamasi (IL12 &
TNF )
Genetik
Integritas barrier epitel
abnormal
Defisiensi reseptor imun
innate
Maslah diferensiasi
limfosit

Asam arachidonat, protease,


platelet activating factor,
radikal bebas
Intestinal Injury
Inflamasi kripte
Granuloma non
kaseosa
inflamasi
transmural
Ulserasi mukosa
superficial
profunda

Ulkus + agregasi
limfoid red spot +
mukosa depresi
Cobblestone
Appearance
Edema dinding usus
menebal , lumen
menyempit
Ileus obstruksi

Fistula (enteroenteral,
enterovesica,
enterovagina, enterocutan

Stadium dini Crohns disease ditandai dengan limfedema obstruktif dan


pembesaran folikel-folikel limfoid pada perbatasan mukosa dan submukosa. Ulserasi
mukosa yang menutupi folikel-folikel limfoid yang hiperplastik menimbulkan
pembentukkan ulkus aptosa. Pada pemeriksaan mikroskopis, ulkus aptosa terlihat
sebagai ulkus-ulkus kecil yang berbatas tegas dan tersebar, dengan diameter sekitar 3
mm dan dikelilingi oleh daerah eritema. Sebagai tambahan, lapisan mukosa menebal
sebagai akibat dari inflamasi dan edema, dan proses inflamasi tersebut meluas hingga
melibatkan seluruh lapisan usus
Ulkus aptosa cenderung membesar atau saling bersatu, menjadi lebih dalam dan
sering menjadi bentuk linear. Sejalan dengan makin buruknya penyakit, dinding usus
menjadi semakin menebal dengan adanya edema dan fibrosis, dan cenderung
menimbulkan pembentukkan striktura. Karena lapisan serosa dan mesenterium juga
mengalami inflamasi, maka lengkungan-lengkungan usus menjadi saling menempel.
Akibatnya, ulkus-ulkus yang telah meluas hingga keseluruhan dinding usus akan
membentuk fistula antar lengkungan usus yang saling menempel. Tetapi lebih sering
terjadi saluran sinus yang berakhir buntu ke dalam suatu cavitas abses di dalam ruang
peritoneal, mesenterium, atau retroperitoneum

Gambar 2.2. Makroskopik Crohns disease di kolon. Tampak penebalan dinding disertai
stenosis, linear serpiginous ulcer, dan gambaran cobblestone pada mukosa. (dikutip dari
Friedman, 2013)

Gambar 2.3. Mikroskopik Crohns colitis. Tampak inflamasi akut dan kronis, atrofi
kripta, dan granuloma epiteloid kecil multipel pada mukosa usus (dikutip dari Friedman,
2013)

Gambar 2.4. Perbandingan gambaran endoskopi mukosa usus normal, colitis ringan, dan
colitis berat pada Crohns disease (dikutip dari Yamada, 2009)
E. Manifestasi Klinis
Diare kronik yang disertai atau tanpa darah dan nyeri perut merupakan manifestasi
klinik IBD yang paling umum dengan beberapa manifestasi ekstra intestinal seperti
artritis, uveitis, pioderma gangrenosum, eritema nodosum dan kolangitis. Sedangkan

pada crohns disease lebih bervariasi yaitu dapat melibatkan atau terjadi pada semua
segmen saluran cerna, mulai dari mulut sampai anorektal.
Pada crohns disease selain gejala umum di atas adanya fistula merupakan hal
yang karakteristik (termasuk perianal). Nyeri perut relatif lebih mencolok. Hal ini
disebabkan oleh sifat lesi, yang transmural sehingga dapat menimbulkan fistula dan
obstruksi serta berdampak pada timbulnya bacterial overgrowth.
F. Diagnosis
1. Anamnesis
Gambaran klinis umum pada Crohns disease adalah demam, nyeri
abdomen, diare, dan penurunan berat badan. Diare dan nyeri abdomen
merupakan gejala utama keterlibatan colon. Perdarahan per rectal lebih jarang
terjadi. Keterlibatan usus halus dapat berakibat nyeri yang menetap dan
terlokalisasi pada kuadran kanan bawah abdomen.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri pada kuadran kanan bawah
abdomen yang dapat disertai rasa penuh atau adanya massa. Pasien juga dapat
menderita anemia ringan, leukositosis, dan peningkatan LED.
Obstruksi saluran cerna merupakan komplikasi yang paling sering terjadi.
Pada stadium dini, obstruksi pada ileum yang terjadi akibat edema dan inflamasi
bersifat reversibel. Sejalan dengan makin memburuknya penyakit, akan
terbentuk fibrosis, yang berakibat menghilangnya diare yang digantikan oleh
konstipasi dan obstruksi sebagai akibat penyempitan lumen usus
Pembentukkan

fistula

sering

terjadi

dan

menyebabkan

abses,

malabsorpsi, fistula cutaneus, infeksi saluran kemih yang menetap, atau


pneumaturia. Meskipun jarang, dapat terjadi perforasi usus sebagai akibat dari
keterlibatan transmural dari penyakit ini
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang disarankan adalah x-foto polos, x-foto
kontras tunggal saluran cerna bagian atas dengan follow-though usus halus atau
enteroclysis dengan CT, dan pemeriksaan kontras ganda usus halus. USG dan
MRI dapat digunakan sebagai penunjang jika terdapat masalah dengan
penggunaan kontras.

Hingga saat ini tidak ada pemeriksaan laboratorium spesifik yang


berguna dalam diagnosis Crohns disease, atau yang berhubungan dengan
aktivitas klinis penyakit.
Pemeriksaan Radiologi Pada Crohns Disease
a.

X-FOTO
Peranan x-foto polos dalam mengevaluasi Crohns disease adalah
terbatas. Dua keunggulan utama x-foto polos adalah (1) untuk memastikan
adanya obstruksi usus dan (2) untuk mengevaluasi adanya pneumoperitoneum
sebelum dilakukannya pemeriksaan radiologis lanjutan. Melalui x-foto polos
dapat pula diketahui adanya sacroiliitis atau batu ginjal oksalat yang mungkin
terjadi pada penderita Crohns disease
Pemeriksaan

barium

enema

kontras

ganda

bermanfaat

dalam

mendiagnosis penyakit inflamasi usus dan untuk membedakan antara Crohns


disease dengan colitis ulcerativa, khususnya pada tahap dini penyakit. Pada
pemeriksaan kontras ganda, Crohns disease tahap dini ditandai dengan adanya
ulkus aptosa yang tersebar, yang terlihat sebagai bintik-bintik barium yang
dikelilingi oleh edema yang radiolusen. Ulkus-ulkus aptosa seringkali terpisah
oleh jaringan usus yang normal dan terlihat sebagai skip lesions
Sejalan dengan makin parahnya penyakit, ulkus-ulkus yang kecil akan
membesar, lebih dalam, dan saling berhubungan menjadi ulkus-ulkus yang
berbentuk seperti bintang, berpinggiran tajam, atau linear. Ulkus-ulkus ini paling
sering terlihat di daerah ileum terminal disepanjang perbatasan mesenterium.
Gambaran ini patognomonik dari Crohns disease. Sebagaimana inflamasi
menembus lapisan submukosa dan muskularis, ulkus-ulkus tersebut terpisah satu
sama lain oleh edema pada dinding usus dan pada pemeriksaan dengan kontras
terlihat gambaran pola-pola cobblestone atau nodular, yaitu pengisian kontras
pada lekukan ulkus yang terlihat radioopaque dikelilingi mukosa usus yang
radiolusen
Kadang-kadang terjadi inflamasi transmural yang berakibat pengecilan
diameter lumen usus dan distensinya menjadi terbatas. Hal ini tampak sebagai
string sign

Gambar 1. Gambar X-Ray dengan Barium. Tampak halo sign


sebagai tanda dari ulkus aptosa

Gambar 2. Foto X-Ray dengan Barium pada Crohn .


Tampak pengisian yang tidak rata pada ileum karena penebalan dinding ileum

Gambar 3. String sign

Gambar 4. ulserasi linear, longitudinal dan transversal yang membentuk


cobblestone appearance.
b. CT-SCAN
Peranan pencitraan CT dalam evaluasi Crohns disease telah diterima
secara luas. Kemampuan CT untuk mencitrakan keterlibatan usus dan patologi
ekstraluminal (misalnya, abses, obstruksi, fistula) membuatnya menjadi cara
pencitraan yang penting. Hasil pencitraan CT pada Crohns disease tahap dini
adalah penebalan dinding usus, yang biasanya melibatkan usus halus bagian
distal dan colon, meskipun setiap segmen pada saluran cerna dapat terlibat.
Biasanya, penebalan dinding usus mencapai 5 15 mm

Ulserasi pada mukosa dapat terdeteksi pada potongan tipis CT. dapat pula
terlihat adanya lilitan mesenterium, penebalan lapisan lemak mesenterium,
adenopati lokal, fistula, dan abses
Edema atau inflamasi jaringan lemak mesenterium menimbulkan
peningkatan hilangnya densitas lemak, yang disebut hazy fat pada CT.
Inflammasi atau fibrosis jaringan lemak yang lebih besar menimbulkan
menghilangnya densitas pita linear jaringan lunak yang melintasi mesenterium.
Pada CT, sebuah massa yang berbatas kabur dengan densitas campuran dapat
menunjukkan adanya flegmon atau tahap dini pembentukan abses. Pembesaran
kelenjar limfe biasanya terlihat proksimal terhadap dinding usus disepanjang sisi
mesenterium
Pada CT scan, abses-abses terlihat sebagai massa berbentuk bulat atau
oval dengan densitas rendah, berbatas jelas, dan seringkali multilokus.
Terlihatnya

gambaran

gelembung-gelembung

gas

menunjukkan

adanya

hubungan fistula dengan usus atau, lebih jarang, timbul dari infeksi oleh
mikroorganisme yang menghasilkan gas
CT Scan merupakan prosedur radiologis pilihan pertama pada pasienpasien dengan gejala-gejala akut Crohns disease. Kemampuan CT Scan dalam
mencitrakan dinding usus, organ-organ abdomen yang lokasinya berdekatan
dengan usus, mesenterium dan retroperitoneum membuatnya lebih unggul
terhadap pemeriksaan radiologi konvensional dengan kontras barium dalam
mendiagnosis komplikasi-komplikasi yang menyertai Crohns disease. CT Scan
dapat secara langsung menunjukkan penebalan dinding usus, edema mesenterika,
limfadenopati, phlegmon dan abses. Sensitivitas CT Scan untuk Crohns disease
adalah sekitar 71%
CT Scan tidak hanya merupakan prosedur diagnostik terpilih, tetapi dapat
pula digunakan dalam penatalaksanaan abses, yaitu melalui prosedur CT-guided
percutaneous abscess drainage, yang telah menampakkan hasil yang sangat
memuaskan

CT scan enterografi pada Crohns disease yang melibatkan ileum terminal


c.

MRI
Secara tradisional, MRI hanya memberikan manfaat yang terbatas dalam
pemeriksaan abdomen karena banyaknya artefak yang bergerak. Dengan adanya
peningkatan gradien dan pencitraan dengan menahan napas telah memungkinkan
pencitraan MRI terhadap abdomen dan pelvis pada sebagian besar pasien.
Serbagai tambahan, untuk mencapai pencitraan yang optimal dengan MRI
seringkali membutuhkan penggunaan sejumlah besar volume zat kontras positif
atau negatif yang diberikan baik secara oral atau melalui selang nasojejunal atau
rectal. Akan tetapi, pasien dengan penyakit akut mungkin tidak dapat mentoleransi pemberian sejumlah besar cairan per oral. Jika terjadi distensi usus
suboptimal, akan terjadi gangguan dalam mendeteksi segmen-segmen usus yang
ter-inflamasi
Secara tradisional, MRI dapat mengevaluasi komplikasi-komplikasi
anorectal Crohns disease dengan baik. MRI dengan teknik regular fast spinecho,dapat mendeteksi adanya fistula, saluran sinus, dan abses pada regio
anorectal

Saluran sinus dan fistula sering terlihat hiperintense pada pencitraan T1weighted dan hiperintense pada T2-weighted karena kandungan cairannya.
Dengan supresi lemak, sinyal cairan dapat di-intensifikasi dan dengan mudah
terlihat hiperintense pada pencitraan T2-weighted. Suatu abses sering terlihat
sebagai pengumpulan yang terisolasi dari daerah-daerah dengan intensitas sinyal
tinggi (high-signal-intensity areas) pada pencitraan T2-weighted, khususnya
pada fossa ischioanal
Parameter-parameter penyakit aktif mencakup penebalan dinding,
proliferasi fibrosa dan lemak, dan enhancement dinding usus dengan zat kontras
gadolinium-based. Selama fase inflamasi aktif, enhancement gadolinium dinding
usus dapat pula terlihat pada pencitraan T2-weighted, dan dapat dengan mudah
dibedakan dari usus yang normal. Pola enhancement dideskripsikan oleh Koh et
al sebagai berlapis-lapis dan spesifik untuk Crohns disease
Gadolinium-enhanced

spoiled

gradient-echo

MRI

mempunyai

sensitivitas sekitar 85 89%, spesifisitas sekitar 96 94%, dan akurasi sekitar


94 91% untuk mendeteksi penyakit akut. Sementara single-shot fast spin-echo
MRI mempunyai sensitivitas sekitar 51 52%, spesifisitas sekitar 98 96%, dan
akurasi sekitar 83 84%. Hasil positif palsu paling sering terjadi jika terdapat
enhancement gadolinium tanpa adanya penebalan usus. Hasil negatif palsu
paling sering terjadi jika terdapat distensi usus yang suboptimal

Gambar 3.4. Foto MRI pada Crohns disease.


Tampak striktur ileum panjang
d. USG
Hasil pemeriksaan USG mempunyai variabilitas yang tinggi, yang
tergantung pada keahlian pemeriksa dalam mendeteksi perubahan-perubahan
pada dinding usus.
USG dapat menjadi alternatif dari CT Scan dalam mengevaluasi
manifestasi-manifestasi intra dan ekstra luminal dari Crohns disease. Dinding
saluran cerna yang normal terlihat sebagai 5 konsentris dari lapisan-lapisan
echogenic dan hypoechoic yang berseang-seling; gambaran ini dikenal sebagai
the gut signature. Dinding saluran cerna yang normal mempunyai ketebalan
kurang dari 5 mm
Pada kasus Crohns disease aktif, ketebalan dinding usus berkisar antara
5 mm hingga 2 cm dengan gambaran lapisan-lapisan yang menghilang sebagian
atau seluruhnya, yang merefleksikan adanya edema transmural, inflamasi, atau
fibrosis. Jika terjadi inflamasi yang hebat, dinding usus akan tampak hypoechoic
merata dengan garis hyperechoic ditengahnya yang berhubungan dengan

penyempitan lumen. Gerakan peristalsis menurun atau menghilang, dan segmen


usus yang sakit tidak dapat dikompresi dan kaku dengan hilangnya haustra
USG dapat mencitrakan adanya ballooning dari segmen-segmen yang
tidak terlibat, yang terlihat sebagai kantung-kantung fokal. Hasil pemeriksaan ini
merefleksikan skip lesions pada Crohns disease. Akurasi USG dapat
ditingkatkan dengan menggunakan pencitraan berwarna Doppler, yang dapat
bermanfaat dalam mendeteksi dinding usus yang hiperemis atau terinflamasi
selama fase aktif penyakit
Dengan adanya inflamasi transmural, terjadilah edema and fibrosis dari
mesenterium yang berhubungan, berakibat adanya proyeksi jaringan lemak
mesenterium yang terlihat seperti jari-jari yang mencengkram permukaan serosa
usus. Pada ultrasonogram, gambaran ini tampak sebagai massa yang
hyperechoic, yang secara klasik terlihat pada batas cephalic ileum terminal.
Dengan penyakit yang telah berlangsung lama, gambaran ini akan terlihat lebih
heterogen atau bahkan hypoechoic

Gambar 3.5. Foto USG Crohns ileitis. Tampak inflamasi transmural


dan formasi abses (dikutip dari Puylaert, 2007)

Gambar 3.6. Foto USG Crohns ileitis. Tampak fistula (tanda panah)
menuju appendix, struktur lapisan dinding ileum rusak
dan ada massa lemak terkena inflamasi (FAT)
G. Diagnosis Banding
Penyakit-penyakit yang harus dipikirkan sebagai diagnosis banding Crohns
disease antara lain :
Cholangitis
Colitis iskemik
Colitis pseudomembranosa
Diverticulitis colon
Tuberculosis gastrointestinalis
Colitis ulserativa
Enteritis infeksiosa
Colitis infeksiosa
Penyakit yang memiliki gejala mirip dengan IBD tertera dalam tabel.

Tabel Penyakit yang mirip IBD


Dengan dasar etiologi infeksi
Bakteri
Mycobacteria
Virus
- Salmonella
- Tuberculosis
- Cytomegalovirus
- Shigella
- Mycobacterium avium
- HIV
- Toksigenik
- Herpes simplex
- E.coli
Parasit
Fungi
- Campylobacter
- Amebiasis
- Histoplasmosis
- Yersinia
- Isospora
- Candida
- Clostridium difficile
- Trichuris trichiura
- Aspergillus
- Gonorrhea
- Hookworm
- Chlamydia trachomatis
- Strongyloides
Dengan dasar etiologi non infeksi
Inflamasi
Neoplastik
Obat dan bahan
kimia
Appendicitis
Limfoma

NSAID
Diverculitis
Karsinoma
Phosphosoda
metastasis
Diversion colitis
Karsinoma ileum Cathartic colon
Collagenous / lymphocytic colitis
Carcinoid
Emas
Ichemic colitis
Poliposis familial Kontrasepsi oral
Radiation colitis / enteritis
Kokain
Sindrom ulkus rektal soliter
Kemoterapi
Gastroenteritis eosinofilik
Neutropenic colitis
Behets syndrome
Graft-versus host disease
(Dikutip dengan perubahan dari Friedman, 2013)

Perbedaan UC dan CD
Meskipun UC dan CD sama-sama tergolong sebagai Idiopathic IBD dan
memiliki banyak kemiripan baik secara klinis maupun epidemiologis, kedua penyakit ini
merupakan dua penyakit yang sangat berbeda. Baik terapi maupun hasil temuan
radiologis kedua penyakit ini berbeda, sehingga perlu dipahami dimana letak perbedaan
penyakit ini dalam menegakkan diagnosa.
Berikut ini adalah tabel mengenai perbedaan dari UC dan CD.
Tabel Perbedaan secara klinis, endoskopi dan radiologis
Klinis
Perdarahan makros pada feses
Mukus
Gejala sistemik

UC

CD

Ya
Ya
Occasional

Occasional
Occasional
Sering

Nyeri
Occasional
Massa abdomen
Jarang
Penyakit perineum signifikan
Tidak
Fistula
Tidak
Obstruksi usus halus
Tidak
Obstruksi kolon
Jarang
Respon terhadap antibiotik
Tidak
Rekurensi setelah pembedahan
Tidak
ANCA (Anti-Neutrophil Cytoplasm Antibody)-positif
Sering
ASCA (Anti-Saccaromyces sereviceae Antibody)Jarang
positif
Endoskopi
Ketidakikutsertaan rektum
Jarang
Penyakit kontinyu
Ya
Cobblestoning
Tidak
Granuloma (pada biopsi)
Tidak
Radiografis
Abnormalitas usus halus signifikan
Tidak
Abnormalitas ileum terminalis
Tidak
Kolitis segmental
Tidak
Kolitis Asimetris
Tidak
Striktur
Occasional
(Dikutip dengan perubahan dari Friedman, 2013)

Sering
Ya
Sering
Ya
Sering
Sering
Ya
Ya
Jarang
Sering
Sering
Occasional
Ya
Occasional
Ya
Ya
Ya
Ya
Sering

H. Penatalaksanaan
Crohns disease merupakan suatu penyakit yang belum dapat disembuhkan.
Tujuan pemberian terapi pada Crohns disease adalah untuk mengurangi gejala
(menginduksi remisi) dan menjaga remisi.
a. Diet dan Nutrisi
Pasien harus mengkonsumsi makanan sehat yang seimbang, yaitu cukup
kalori, cukup protein dan vitamin dari berbagai jenis makanan. Tidak ada diet
spesifik yang dapat membuat gejala Crohns disease menjadi lebih baik atau
buruk. Masalah dari tipe makanan akan berbeda dari satu pasien dengan pasien
yang lain. Beberapa makanan dapat menyebabkan diare dan terbentuknya gas.
Untuk membantu mengatasi gejala yang ringan, dapat dicoba :
-

Makan makanan dalam porsi kecil sepanjang hari

Minum banyak air (minum dalam jumlah kecil sepanjang hari)

Menghindari makanan dengan serat yang tinggi (gandum, kacangkacangan, biji-bijian, popcorn)

Menghindari makanan berlemak tinggi, berminyak atau makanan


yang digoreng (butter, mentega, dan krim berlemak)

Membatasi produk susu jika mempunyai masalah mencerna produk


susu.

Menghindari makanan yang dapat menghasilkan gas seperti kacang


polong.

Konsumsi vitamin atau suplemen ekstra yang dibutuhkan, seperti


-

Suplemen besi (bila anemia)

Suplemen Calsium dan Vitamin D untuk menjaga tulang tetap kuat

Vitamin B12 untuk mencegah anemia

b. Medikamentosa

5-ASA AGENTS (Aminosalisilate). Terapi utama untuk Crohns disease


ringan sampai sedang adalah sulfasalazine dan agen 5-ASA lain
(azulfidine, dipentum, pentasa). Agen ini efektif dalam menginduksi remisi
baik pada Ulcerative Colitis maupun pada Crohns disease. Sulfasalazine
mengandung antibacterial (sulfapyridine) dan anti inflamasi (5-ASA).
Meski sulfasalazine lebih efektif pada dosis tinggi yaitu 6-8 gram/hari,
30% dari pasien akan mengalami reaksi alergi

seperti ruam, demam,

hepatitis, agranulositosis, pancreatitis, perburukan colitis dan abnormalitas


sperma yang reversible. Selain itu, dapat terjadi pula efek samping yang
tidak diinginkan seperti sakit kepala, anoreksia, mual dan muntah.
Sulfasalazine juga dapat mengganggu absorpsi dari asam folat sehingga
pasien perlu diberi suplemen untuk menambah asam folat.

GLUCOCORTICOIDS. Glukokortikoid yang berperan sebagai antiinflamasi yang lebih kuat, efektif dalam mengobati Crohns disease sedang
sampai berat dan menginduksi 60-70% kecepetan remisi. Budesonide
digunakan untuk 2-3 bulan dengan dosis 9 mg/hari kemudiang tappering
off. Budesonide 6 mg/hari efektif mengurangi kekambuhan dalam 3-6
bulan. Efek samping yang ditimbulkan meliputi retensi cairan, striae
abdominal, osteonecrosis, myopathy, hiperglikemi, subkapsular katarak,
gangguan emosi.

ANTIBIOTICS. Biasanya diberikan untuk mengatasi abscess dan fistula.


Metronidazole efektif pada Crohns disease dengan inflamasi aktif, fistula
dan perianal, serta dapat mencegah kekambuhan setelah reseksi ileum.
Dosis yang paling efektif adalah 15-20 mg/kg per hari dalam dosis terbagi

tiga dan biasanya dilanjutkan sampai beberapa bulan. Efek samping yang
paling sering muncul termasuk mual, metallic taste. Penggunaan jangka
lama (beberapa bulan) dapat menyebabkan peripheral neuropathy.

Ciprofloxacin (500 mg bid) juga efektif untuk Crohns disease


dengan inflamasi, fistula dan perianal.

Metronidazole dan Ciprofloxacin dapat diberikan sebagai


second-line drugs pada Crohns disease aktif dan sebagai firstline drugs pada Crohns disease perianal dan fistula.

AZATHIOPRINE AND 6-MERCAPTOPURINE. Azathioprine dan 6Mercaptopurine merupakan analog purin yang sering digunakan untuk
glucocorticoid-dependent Inflammatory Bowel syndrome. Azathioprine 2-3
mg/kg perhari atau 6-MP 1-1,5 mg/kg perhari terbukti dapat digunakan
agar glucocorticoid dapat dihentikan pemberiannya.

METHOTREXATE. Methotrexate (MTX) menghambat dihidrofolat


reduktase yang akhirnya mempengaruhi sintesis DNA. MTX 25
mg/minggu secara intramuscular atau subcutan terbukti dapat menginduksi
remisi dan menurunkan dosis glukokorticoid. MTX 15 mg/minggu efektif
dalam menjaga remisi pada Crohns disease aktif. Memiliki potensi
tiksisitas seperti leukopenia dan hepatic fibrosis.

CYCLOSPORINE. Cyclosporine (CSA) adalah peptida lipofilik dengan


efek inhibisi baik pada sistem imun selular maupun humoral. CSA
memblok produksi IL-2 oleh limfosit T-helper. Paling efektif diberikan
pada dosis 2-4 mg/kg perhari secara iv. Efek samping yang timbul dapat
berupa hipertensi, gingival hyperplasia, hyperthricosis, paresthesias,
tremors, sakit kepala dan abnormalitas elektrolit. Harus dilakukan
monitoring fungsi renal. Peningkatan creatinine mengindikasikan dosis
harus diturunkan atau pemberian dihentikan.

TACROLIMUS. Tacrolimus adalah antibiotik macrolide dengan properti


immunomodulator yang mirip dengan CSA. 100 kali lebih potent
dibanding CSA dan tidak tergantung pada integritas mukosa atau empedu
dalam penyerapannya, sehingga memungkinkan tacrolimus dapat diberikan
secara oral. Terbukti efektif pada steroid-dependent or refractory Crohns
disease.

ANTI-TNF ANTIBODY. TNF merupakan kunci sitokin inflamasi dan


mediator dari inflamasi intestinal. Pada inflammatory bowel disease terjadi
peningkatan TNF. Infliximab memblok TNF pada serum dan pada
permukaan sel. Selain itu, infliximab juga melisis makrofag dan sel T
penghasil TNF melalui fiksasi komplemen dan antibody-dependent
cytotoxicity.

Adalimumab merupakan recombinant human monoclonal IgG1 antibody.


Adalimumab mengikat TNF- dan menetralisir fungsi TNF dengan
memblok interaksi antara TNF dengan reseptor permukaan sel. Adlimumab
telah disetujui untuk pengobatan Crohns disease dan terbukti efektif pada
pasien yang alergi pada infliximab.

c. Tindakan Bedah
Kebanyakan pasien dengan Crohns disease membutuhkan paling tidak
satu kali operasi dalam masa hidupnya untuk menghilangkan bagian usus yang
rusak. Dalam beberapa kasus, seluruh usus besar akan diambil dengan atau tanpa
rectum. Operasi hanyalah merupakan pilihan ketika terapi dengan obat-obatan,
perubahan diet dan gaya hidup telah gagal atau muncul komplikasi.
Indikasi Operasi pada Crohns Disease :

Usus halus
o Striktur dan obstruksi yang tidak respon dengan terapi obatobatan
o Perdarahan masif
o Refractory fistula
o Abscess

Colon dan Rectum


o Intractable disease
o Fulminant disease
o Perianal disease yang tidak respon dengan terapi obat-obatan
o Refractory fistula
o Colonic obstruction
o Cancer prophylaxis
o Colon dysplasia or cancer

I. Komplikasi
Crohns disease merupakan proses transmural, adanya perlekatan serosa dapat
menyebabkan terbentuknya fistula (jalur abnormal antara organ ke jaringan). Fistula
dapat terbentuk di vesica urinaria, kulit dan vagina. Perforasi terjadi pada 1-2% pasien,
biasanya terjadi di illeum namun dapat terjadi di jejunum sebagai komplikasi dari toxic
megacolon. Peritonitis atau perforasi bebas yang terutama terjadi pada colon dapat
bersifat fatal. Absces intraabdomen dan absces pelvis terjadi pada 10-30% pasien
Crohns disease yang muncul bersamaan dengan waktu sakitnya. Komplikasi lain
meliputi obstruksi intestinal pada 40% pasien, perdarahan masif (anemia), malabsorpsi
dan penyakit perianal berat, kekurangan nutrisi penting (B12 dan Besi). Pasien dengan
Crohns Disease juga mempunyai resiko tinggi untuk mengalami Carcinoma Colon dan
Usus halus.
Crohns disease merupakan penyakit autoimun, sehingga bagian tubuh selain
organ pecernaan juga dapat terkena, termasuk sendi, mata, mulut dan kulit. Pada anakanak,

Crohns Disease

dapat

menyebabkan

keterlambatan

pertumbuhan

dan

perkembangan sexual.

J. Prognosis
Saat ini, masih belum ada pengobatan yang dapat menyembuhkan Crohns
disease, namun terapi yang diberikan dapat memperbaiki symptom yang ada. Kualitas
hidup pasien dengan Inflammatory Bowel Disease tergantung pada assessment, evaluasi
dan terapi yang diberikan.

BAB III
KESIMPULAN
Crohns disease merupakan penyakit inflamasi kronis transmural pada saluran cerna
dengan etiologi yang tidak diketahui. Crohns disease dapat melibatkan setiap bagian dari
saluran cerna mulai dari mulut hingga anus tetapi paling sering menyerang usus halus dan
colon.
Teknik pemeriksan radiologi kontras merupakan pemeriksaan diagnostik pada IBD
yang saling melengkapi dengan endoskopi. Barium kontras ganda dapat memperlihatkan
striktur, fistula, mukosa yang irregular, gambaran ulkus dan polip, ataupun perubahan
distensibilitas lumen kolon berupa penebalan dinding usus dan hilangnya haustrae.
Interpretasi radiologik tidak berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Pemeriksaan radiologi
merupakan kontraindikasi pada colitis ulseratif berat karena dapat mencetuskan megakolon
toksik. Foto polos abdomen secara sederhana dapat mendeteksi adanya dilatasi toksik yaitu
tampak lumen usus yang melebar tanpa material feses di dalamnya. Untuk menilai
keterlibatan usus halus dapat dipakai metode enterocolytis yaitu pemasangan kanul
nasogastrik sampai melewati ligamentum Treitz sehingga barium dapat dialirkan secara
kontinyu tanpa terganggu oleh kontraksi pylorus. Peran CT scan dan ultrasonografi lebih
banyak ditujukan pada PC mendeteksi adanya abses dalam ataupun fistula.

DAFTAR PUSTAKA
Braun, Carie A, Anderson, Cindy M, 2011, Pathophysiology : A Clinical Approach, edisi 2,
United Kingdom : Lippincot William and Wilkins
Crohns Disease. http://seniorhealth.about.com/cs/digestivetract/a/crohns.htm [ONLINE]
Feldman, Mark et. al., 2010, Sleisenger & Fordtrans Gastrointestinal and Liver Disease :
Pathophysiology / Diagnosis / Management, edisi 9, Philadelphia : Saunders
Friedman, Sonia, Blumberg, Richard S., 2013, Inflammatory Bowel Disease in Harrisons
Gastroenterology and Hepatology, edisi 2, United States : McGraw-Hill
Friedman,Sonia; Blumberg,S,Ricard. 2008. Inflammatory Bowel Disease in Harrisons
Principles of Internal Medicine. Edisi 17. Mc-Graw Hills Company. United States of
America.
Kodner IJ, Fry RD, Fleshman JW, Birnbaum EH, Read TE. Colon, Rectum, and Anus.
Schwartz Principles of Surgery. 7th Ed. Vol. 2. Ch. 26. McGraw-Hill. Singapore. pp 1318
28.
Longstreth, F, George. 2013. Crohns Disease. Department of Gastroenterology, Kaiser
Permanente
Medical
Care
Program.
San
Diego.
California.
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000249.htm
Puylaert, Julien, 2007, Acute Abdomen-Role of Ultrasound in Radiology Assisstant,
Netherland
:
Department
of
Radiology
MCH
Westeinde
Hospital,
[http://www.radiologyassistant.nl/en/p4613dde72e42c/acute-abdomen-role-ofultrasound.html#i4613e1b9922d7]
Sabiston. Textbook of Surgery. 17th ed. Ch. 43. WB Saunders. Philadelphia. 2002. pp 888
95.
Seibert,
Andrew.
2012.
Crohns
Disease.
WebMD
Medical
Reference.
http://www.webmed.com/ibd-crohns-disease/crohns-disease/digestive-diseases-crohns-disease
Taveras JM, Kelvin FM. Crohns Disease. Radiology on CD-ROM. Lippincott-Raven.
Philadelphia-Pennsylvania. 1994. [ONLINE]
Yamada, Tadataka, 2009, Textbook of Gastroenterology, edisi 5, United Kingdom : WilleyBlackwell
Yung-Hsin
[ONLINE]

C.

Crohn

Disease.

2004.

http://www.emedicine.com/radio/topic197.htm

Anda mungkin juga menyukai