Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pelayanan kesehatan mempunyai peranan strategis dalam upaya
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pelayanan apotek merupakan
salah satu pelayanan kesehatan di Indonesia. Pelayanan apotek saat ini harus
berubah orientasi dan drug oriented menjadi patien oriented dengan
berasaskan pharmaceutical care. Kegiatan pelayanan farmasi yang tadinya
hanya berfokus pada pengolahan obat sebagai komiditi harus diubah menjadi
pelayanan yang komprehensif dan bertujuan untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien. Dua puluh lima persen kesembuhan pasien diharapkan
diperoleh dari kenyamanan serta baiknya pelayanan apotek. Sedangkan 75%
berasal dari obat yang digunakan pasien (Aditama, 2002).
Pelayanan

yang

bermutu

selain

mengurangi

risiko

terjadinya

medication error, juga memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat


sehingga masyarakat akan memberikan persepsi yang baik terhadap apotek.
Telah ada kesepakatan bahwa mutu pelayanan kesehatan dititikberatkan pada
kebutuhan dan tuntutan penggunaan jasa yang berkaitan dengan kepuasan
pasien sebagai konsumen. Pelayanan yang bermutu selain berdasarkan
kepuasan konsumen juga harus sesuai dengan standar dan kode etik profesi
(Ingerani, 2002).
Untuk menjamin mutu pelayanan farmasi kepada masyarakat, telah
dikeluarkan standar pelayanan farmasi komunitas (Apotek) yang meliputi

11

antara lain sumber daya manusia, sarana dan prasarana, pelayanan resep
(tidak hanya meliputi peracikan dan penyerahan obat tetapi juga termasuk
pemberian informasi obat), konseling, pengawasan penggunaan obat, edukasi,
promosi kesehatan, dan evaluasi terhadap pengobatan (antara lain dengan
membuat catatan pengobatan pasien). Semakin pesatnya perkembangan
pelayanan apotek dan semakin tingginya tuntutan masyarakat, menutut
pemberi layanan apotek harus mampu memenuhi keinginan dan selera
masyarakat yang terus berubah dan meningkat (Depkes RI, 2004).
Persepsi konsumen terhadap pelayanan apotek yang buruk akan
merugikan apotek dari aspek bisnis karena konsumen akan beralih ke tempat
lain. Dampak yang timbul tidak saja kepada konsumen yang bersangkutan
tetapi kesan buruk ini akan diceritakan kepada orang lain sehingga citra
apotek, terutama para petugasnya, termasuk apotek akan negatif/buruk. Oleh
karena itu, persepsi konsumen yang baik terhadap layanan harus
ditumbuhkan terus menerus dan berkesinambungan dengan orientasi kepada
pelanggan itu sendiri.
Kegiatan pelayanan farmasi di Apotek yang tadinya hanya berfokus
pada pengelolaan obat sebagai komoditi harus diubah menjadi pelayanan
yang komprehensif dan bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
75% berasal dari obat yang digunakan pasien, sedangkan 25% kesembuhan
pasien diharapkan diperoleh dari kenyamanan serta baiknya pelayanan
apotek. Penilaian mutu pelayanan kefarmasian, salah satu dilakukan dengan
cara mengetahui pelayanan apa saja yang diberikan apotek, jenis pelayanan

yang diharapkan konsumen tetapi belum diberikan apotek, apotek ideal


menurut konsumen, dan persepsi konsumen apotek terhadap pelayanan yang
sudah diterimanya selama ini (Sasanti dkk, 2003).
Sebagai cara pandang, persepsi timbul karena adanya respon terhadap
stimulus. Stimulus yang diterima seseorang sangat komplek, stimulus masuk
ke dalam otak, kernudian diartikan, ditafsirkan serta diberi makna melalui
proses yang rumit baru kemudian dihasilkan persepsi (Atkinson dan Hilgard,
1991: 209). Beberapa aspek atau dimensi untuk mengukur persepsi pelanggan
bidang jasa, termasuk pelayanan apotek, telah diidentifikasi, yaitu: 1) dimensi
tangible (sarana fisik, perlengkapan, pegawai dan lain-lain), 2) dimensi
keandalan pelayanan (reliability), 3) dimensi ketanggapan pelayanan
(responsiveness). 4) keyakinan/ jaminan (assurance) dan 5) dimensi perhatian
untuk memahami kebutuhan pelanggan (empathy) (Sudibyo, 2004).
Kabupaten Wonosobo merupakan kabupaten dengan perkembangan
rumah sakit dan klinik yang menuntut banyak perkembangan pula di bidang
jasa pelayanan obat atau apoteker. Total 31 jumlah apotek yang tersebar di
kabupaten Wonosobo merupakan gambaran tingginya angka kebutuhan
pasien akan keberadaan apotek namun tidak semua apotek memberikan
pelayanan yang maksimal di setiap apoteknya. Kualitas layanan farmasi dan
pelayanan kefarmasian yang lebih baik dan berorientasi pada konsumen
(pasien) harus terus dikembangkan di Kabupaten Wonosobo agar dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat Wonosobo yang senantiasa berubah dan
meningkat,

disamping

dapat

mengurangi

risiko

pengobatan.

Guna

meningkatkan kualitas layanan farmasi dan pelayanan kefarmasian di


Kabupaten Wonosobo, perlu diketahui bagaimana persepsi konsumen apotek
tentang pelayanan farmasi yang didapatkannya, dan bagaimana opini
konsumen tentang suatu apotek yang ideal.
Penilaian mutu pelayanan kefarmasian, salah satu dilakukan dengan
cara mengetahui pelayanan apa saja yang diberikan apotek, jenis pelayanan
yang diharapkan konsumen tetapi belum diberikan apotek, apotek ideal
menurut konsumen, dan persepsi konsumen apotek terhadap pelayanan yang
sudah diterimanya selama ini. Oleh karena itu, penelitian yang mengambil 7
apotek di kabupaten Wonosobo ini berguna untuk meneliti sejauh mana
persepsi pasien terhadap pelayanan apotek di kabupaten Wonosobo.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut maka dapat
dirumuskan permasalahan; bagaimanakah persepsi pasien apotek terhadap
pelayanan apotek di Kabupaten Wonosobo.
C. Pemecahan Masalah
Berdasarkan permasalahan maka akan dilakukan penelitian untuk
mengetahui persepsi pasien apotek terhadap pelayanan apotek di Kabupaten
Wonosobo.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi pasien apotek
terhadap pelayanan apotek di Wonosobo.

Anda mungkin juga menyukai