Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Jantung Koroner


2.1.1 Definisi
Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyakit jantung akibat penyempitan atau
penyumbatan pembuluh darah koroner. Penyempitan atau penyumbatan ini dapat
menghentikan aliran darah ke otot jantung yang sering ditandai dengan rasa nyeri.
Dalam kondisi lebih parah kemampuan jantung dalam memompa darah dapat
hilang.3,4
Menurut WHO, penyakit jantung koroner adalah gangguan pada miokardium
karena ketidakseimbangan antara aliran darah koroner dengan kebutuhan oksigen
miokardium sebagai akibat adanya perubahan pada sirkulasi koroner yang dapat
bersifat akut (mendadak) maupun kronik (menahun).3,4
2.1.2 Epidemiologi
Penyakit jantung koroner tidak hanya menyerang laki-laki saja, wanita juga
beresiko terkena PJK meskipun kasusnya tidak sebesar pada laki-laki. Pada orang
yang berumur 65 tahun keatas, ditemukan 20% PJK pada laki-laki dan 12% pada
wanita. Pada tahun 2002, WHO memperkirakan bahwa sekitar 17 juta orang
meninggal tiap tahun akibat penyakit kardiovaskular, terutama PJK (7,2 juta) dan
Stroke (5,5 juta). (WHO, 2002)
Secara umum angka kejadian penyakit jantung dan pembuluh darah (PJPD) di
Indonesia belum diteliti akurat. Di amerika serikat pada tahun 1996 dilaporkan
kematian akibat PJPD mencapai 959.277 penderita, yakni 41,4% dari seluruh
kematian. Setiap 2600 penduduk meninggal akibat penyakit ini. Meskipun berbagai
pertolongan mutakhir telah diupayakan, namun setiap 33 detik tetap saja warga
amerika meninggal akibat PJK. Dari jumlah tersebut 476.124 kematian disebabkan
oleh penyakit jantung koroner. Huon, keith D, jhon M, lain A(2002) dalam
(Supriyono, 2008)

2.1.3

Klasifikasi
Penyakit jantung koroner dapat terdiri dari:
1. Angina pektoris stabil (APS)
Sindroma klinik yang ditandai dengan rasa tidak enak di dada, rahang, bahu,
punggung ataupun lengan, yang biasanya oleh kerja fisik atau stres emosional
dan keluhan ini dapat berkurang bila istirahat atau dengan obat nitrogliserin.1,5

2.

Sindroma Koroner Akut (SKA)


Sindroma klinik yang mempunyai dasar patofisiologi, yaitu berupa adanya
erosi, fisur atau robeknya plak arterosklerosis sehingga menyebabkan
trombosis intravaskular yang menimbulkan ketidakseimbangan pasokan dan
kebutuhan oksigen miokard.1,5,6

Yang termasuk SKA adalah :


a)

Angina pektoris tidak stabil (UAP, unstable angina pectoris), yaitu:


o Pasien dengan angina yang masih baru dalam 2 bulan, dimana angina
cukup berat dan frekuensi cukup sering, lebih dari 3 kali per hari.
o Pasien dengan angina yang bertambah berat, sebelumnya angina stabil,
lalu serangan angina muncul lebih sering dan lebih lama ( >20 menit), dan
lebih sakit dadanya, sedangkan faktor presipitasi makin ringan
o Pasien dengan serangan angina pada waktu istirahat1,7
Menurut pedoman American College of Cardiology (ACC) dan American
Heart Association (AHA) perbedaan angina tak stabil dan infark tanpa elevasi
segmen ST (NSTEMI) ialah iskemi yang timbul cukup berat sehingga dapat
menimbulkan kerusakan pada miokardium, sehingga adanya petanda
kerusakan miokardium dapat diperiksa. Diagnosis angina tak stabil bila pasien
mempunyai keluhan iskemi sedangkan tak ada kenaikan troponin maupun CKMB, dengan ataupun tanpa perubahan ECG untuk iskemi, seperti adanya
depresi segmen ST ataupun elevasi sebentar atau adannya gelombang T yang
negatif.7

b) Infark miokard akut (IMA), yaitu


Nyeri angina yang umunya lebih berat dan lebih lama (30 menit atau lebih).
IMA bisa berupa Non ST elevasi infark miokard (NSTEMI) dan ST elevasi
miokard infark (STEMI).7
2.1.4

Faktor Risiko

Secara garis besar faktor risiko penyakit jantung koroner dapat dibagi menjadi
faktor risiko yang dapat diubah (modifiable) dan faktor risiko yang tidak dapat
diubah (nonmodifiable).3,4,6
Faktor risiko yang dapat diubah meliputi :
a. Hipertensi
Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko terjadinya PJK. Perubahan
hipertensi khusunya pada jantung disebabkan karena:3,6
1. Meningkatkan tekanan darah
Peningkatan tekanan darah merupakan beban yang berat untuk jantung
sehingga menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri. Keadaan ini tergantung dari
2.

berat dan lamanya hipertensi.


Mempercepat timbulnya arterosklerosis
Tekanan darah yang tinggi dan menetap akan menambah beban pembuluh
darah arteri. Arteri mengalami proses pengerasan menjadi tebal dan kaku
sehingga mengurangi elastisitasnya. Tekanan darah yang tinggi dan menetap
juga akan menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh darah
arteri koronaria sehingga memudahkan terjadinya pengendapan plak pada
arteri koroner.

b. Hiperkolesterolemia
Kenaikan kadar kolestrol berbanding lurus dengan peningkatan terjadinya
serangan PJK. Peningkatan LDL (Low Density Lipoprotein) dan penurunan
HDL (High Density Lipoprotein) merupakan faktor resiko yang penting pada
PJK. Ketika terjadi kadar LDL yang tinggi, LDL dapat terakumulasi pada
subendotel dan mengalami modifikasi yang pada akhirnya akan menyebabkan
kerusakan tunika intima dan menginisiasi terbentuknya plak aterosklerosis.6
c. Merokok
Zat-zat toksik dalam rokok yang masuk ke peredaran darah akan menyebabkan
penyempitan pembuluh darah. Racun nikotin dari rokok akan menyebabkan
darah menjadi kental sehingga mendorong percepatan pembekuan darah.
Platelet

dan

fibrinogen

meningkat

sehingga

sewaktu-waktu

dapat

menyebabkan terjadinya trombosis pada pembuluh koroner yang sudah


menyempit. Selain itu, rokok dapat meningkatkan oksidasi LDL, menurunkan
kadar HDL, menyebabkan kerusakan endotel akibat stres oksidatif dalam
kandungan rokok. Nikotin dalam asap rokok dapat menstimulasi aktivitas saraf
simpatis sehingga terjadi vasokonstriksi pembuluh darah.6
d. Diabetes Melitus

Pada pasien diabetes, terbentuknya plak aterosklerosis dicetuskan oleh


disfungsi endotel, terganggunya aktivitas antifibrinolitik, serta meningkatnya
fagositosis LDL oleh makrofag.6
e. Obesitas dan kurang akitivitas fisik
Obesitas dapat meningkatkan beban jantung, ini berhubungan dengan PJK
terutama karena pengaruhnya pada tekanan darah, kadar kolestrol darah dan
juga diabetes. Melakukan aktivitas fisik atau olah raga secara teratur dapat
menurunkan berat badan sehingga lemak tubuh berkurang serta secara
bersamaan mengendalikan kadar kolesterol dan tekanan darah, aktivitas fisik
dapat meningkatkan sensitivitas insulin serta merangsang pengeluaran NO.6
f. Stres
Stres dapat memicu pengeluaran hormon adrenalin dan katekolamin yang
tinggi yang dapat membuat spasme arteri koroner sehingga suplai darah ke
otot jantung terganggu.

Faktor risiko yang dapat diubah meliputi :3,4,5,6


a. Umur
Semakin bertambahnya usia, semakin tinggi risiko PJK dan pada aumumnya
dimulai pada usia 40 tahun ke atas. Menurut data yang dilaporkan American Heart
Association, 1 dari 9 wanita berusia 45-60 tahun menderita PJK dan 1 dari 3
wanita berusia diatas 60 tahun menderita PJK.
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin laki-laki lebih berisiko terkena PJK dibandingkan dengan wanita.
Tetapi pada wanita yang sudah menopause risiko PJK meningkat dan hampir tidak
didapatkan perbedaan dengan laki-laki. Hal ini berhubungan dengan penurunan
kadar hormon estrogen yang berperan penting dalam melindungi pembuluh darah
dari kerusakan yang memicu terjadinya aterosklerosis.
c. Genetik
Riwayat penyakit jantung di dalam keluarga pada usia di bawah 55 tahun
merupakan salah satu faktor risiko yang perlu dipertimbangkan.
2.1.5

Patogenesis Pembentukan Plak Arterosklerosis

Disfungsi endotel merupakan proses primer terjadinya arterosklerosis yang dapat


disebabkan baik karena bahan kimia maupun stress hemodinamik akan
menyebabkan terjadinya disfungsi endotel. Akibat terjadinya disfungsi endotel
maka akan menyebabkan (1) rusaknya peran endotel sebagai permeability barier,
(2) melepaskan sitokin inflamasi, (3) meningkatkan produksi molekul adhesi yang
merekrut leukosit, (4) mengganggu pelepasan substansi vasoaktif ( prostasiklin,
NO), dan (5) mengganggu antitrombus. Efek yang tidak diinginkan ini menjadi
dasar terjadinya arteroslerosis. 6
Disfungsi endotelium menyebabkan endotel tidak lagi memiliki barier yang
dapat menghambat masuknya lipoprotein ke dalam pembuluh darah arteri.
Peningkatan permeabilitas dari endotel membuat LDL masuk ke intima,selanjutnya
LDL akan terakomodasi di ruang subendotel dengan berikatan dengan matriks
ekstraseluler yaitu proteoglikan. LDL tersebut akan dioksidasi oleh ROS (Reactive
Oxygen Species) dan pro enzym yang dihasilkan oleh makrofag dan sel otot
pembuluh darah sehingga menjadi mLDL (modified LDL). mLDL ini akan
merangsang rekrutmen dari leukosit ke ruang sub intima (terutama monosit dan
limfosit T) melalui 2 cara yaitu (1) ekspresi LAM ( leukocyte adhesion molecule)
pada pada permukaan endotel non adhesi, (2) signal kemoatraktan [MCP 1, IL 8,
interferon inducible protein 10). 6
Masuknya monosit ke dalam ruang sub intima, monosit berdiferensiasi
menjadi makrofag dan memakan mLDL melalui reseptor scavenger (pada
makrofag) dan membentuk sel busa (foam cell). Sel busa menghasilkan beberapa
faktor yang dapat merekrut sel otot. Sebagai contoh sel busa menghasilkan platelet
derived growth factor (PDGF) yang menyebabkan terjadinya migrasi sel otot dari
internal elastic lamina ke ruang sub intima, tempat dimana sel otot bereplikasi. Sel
busa juga melepaskan sitokin dan faktor pertumbuhan seperti TNF , IL-1,
Fibroblast growth factor, dan TGF yang akan menstimulasi sel otot berproliferasi
dan menghasilkan protein matriks ekstraseluler (kolagen dan elastin) dan lebih
lanjut mencetuskan pelepasan sitokin yang mendorong dan mempertahankan
inflamasi pada lesi. Adanya sel otot yang menghasilkan kolagen akan membentuk
fibrous cap. Pembentukan fibrous cap dan deposisi matriks ekstraseluler ini
sebenarnya merupakan proses sintesis dan degradasi yang saling bergantian yaitu
dimana (1) sintesis yaitu sel otot merangsang kolagen melalui TGF dan PDGF,

dan (2) degradasi yaitu T- lymphocyte derived cytokine IFN menghambat


sintesis kolagen dan lebih lanjut sitokin akan merangsang sel busa untuk
menghasilkan MMP (matrix metalloproteinase) yang akan melemahkan fibrous
cap sehingga mudah ruptur. Proses sintesis dan degrasi ini terus berlanjut tanpa
menyebabkan gejala. Kematian dari sel otot dan sel busa baik karena stimulasi
inflamasi yang berlebihan maupun karena apoptosis menyebabkan lemak dan
debris seluler membentuk lipid core. Ukuran dari lipid core memiliki peranan
biomekanikal untuk stabilnya plak. Selain itu deposisi dan distribusi fibrous cap
merupakan hal yang penting dalam intergritas plak, jika fibrous cap tebal maka
plak tersebut akan jarang ruptur yang sering kita sebut plak stabil, tetapi apabila
fibrous cap tipis akan cenderung menyebabkan ruptur dari plak. 6

Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi, dan agregasi platelet dan


menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus.Setelah berhubungan dengan darah,
faktor jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi
enzimatik yang menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin. Sebagai reaksi
terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi pletelet dan pletelet melepaskan isi
granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih luas, vasokonstriksi dan
pembentukan trombus. Faktor sistemik dan inflamasi ikut berperan dalam
perubahan terjadinya hemostase dan koagulasi dan berperan dalam memulai
trombosis yang intermiten, pada angina tak stabil. Terjadinya vasokonstriksi juga
mempunyai peran penting pada angina tak stabil. Diperkirakan adanya disfungsi
endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh platelet berperan dalam
perubahan dalam tonus pembuluh darah dan meenyebabkan spasme. Spasme yang
terlokalisir seperti pada angina printzmetal juga dapat menyebabkan angina tak
stabil. Adanya spasme seringkali terjadi pada plak yang tak stabil, dan mempunyai
peran dalam pembentukan trombus. Bila trombus menutup pembuluh darah 100%
akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus tidak
menyumbat 100%, dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina
tak stabil. 6,7
Adanya penyumbatan dari pembuluh darah koroner akan menyebabkan
terjadinya iskemi miokardial dimana akan (1) meningkatkan respon simpatis

sehingga menyebabkan diaforesis, peningkatan tekanan darah dan nadi, (2)


disfungsi otot papillary sehingga menyebabkan mitral regurgitasi, (3) penurunan
compliance diastol yang akan menyebabkan suara jantung S4 dan menyebabkan
kongesti pulmoner sehingga timbul rales, (4) penurunan fungsi sistolik yang
menyebabkan dyskinetic apical impulse. 6

2.1.6 Diagnosis
1. Anamnesis
Diagnosis seringkali berdasarkan keluhan nyeri dada yang mempunyai ciri khas
sebagai berikut : 9
- Letak
Sering pasien merasakan nyeri dada di daerah sternum atau di bawah sternum
(substernal), atau dada sebelah kiri dan kadang-kadang menjalar ke lengan kiri,
dapat menjalar ke punggung, rahang, leher, atau ke lengan kanan. Nyeri dada juga
dapat timbul di tempat lain seperti di daerah epigastrium, leher, rahang, gigi, bahu.
9

- Kualitas
Pada angina, nyeri dada biasanya seperti tertekan benda berat, atau seperti di peras
atau terasa panas, kadang-kadang hanya mengeluh perasaan tidak enak di dada
karena pasien tidak dapat menjelaskan dengan baik, lebih-lebih jika pendidikan
pasien kurang. 9
- Hubungan dengan aktivitas

Nyeri dada pada angina pektoris biasanya timbul pada saat melakukan aktivitas,
misalnya sedang berjalan cepat, tergesa-gesa, atau sedang berjalan mendaki atau
naik tangga. Pada kasus yang berat aktivitas ringan seperti mandi atau menggosok
gigi, makan terlalu kenyang, emosi, sudah dapat menimbulkan nyeri dada. Nyeri
dada tersebut segera hilang bila pasien menghentikan aktivitasnya. Serangan
angina dapat timbul pada waktu istirahat atau pada waktu tidur malam. 9
- Lamanya serangan
Lamanya nyeri dada biasanya berlangsung 1-5 menit, kadang-kadang perasaan
tidak enak di dada masih terasa setelah nyeri hilang. Bila nyeri dada berlangsung
lebih dari 20 menit, mungkin pasien mendapat serangan infark miokard akut dan
bukan angina pektoris biasa. Pada angina pektoris dapat timbul keluhan lain seperti
sesak napas, perasaan lelah, kadang-kadang nyeri dada disertai keringat dingin. 9

2. Pemeriksaan fisik
Pasien tampak cemas, tidak dapat istirahat (gelisah), sering kali ekstremitas pucat
disertai keringat dingin. Sekitar seperempat pasien infark anterior memiliki
manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis ( takikardia dan/atau hipotensi), dan
hampir setengah pasien infark inferior menunjukkan hiperaktivitas saraf

parasimpatis (bradikardia dan/atau hipotensi) tanda fisis lain pada disfungsi


ventrikular adalah , dijumpai S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas bunyi jantung
pertama, split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan peningkatan
suhu sampai 38C dalam minggu pertama pasca STEMI.10
3. EKG
Gambaran EKG saat istirahat dan bukan pada saat serangan angina sering masih
normal. Gambaran EKG dapat menunjukkan bahwa pasien pernah mendapat infark
miokard di masa lampau. Kadang-kadang menunjukkan pembesaran ventrikel kiri
pada pasien hipertensi dan angina; dapat pula menunjukkan perubahan segmen ST
dan gelombang T yang tidak khas. 9 Untuk mendiagnosa STEMI dari EKG adalah
adanya elevasi segmen ST > 1mm pada 2 sadapan ekstremitas atau elevasi ST >
2mm pada 2 sadapan prekordial yang berhubungan, LBBB yang dianggap baru.11

4. Foto Dada
Foto rontgen dada sering menunjukkan bentuk jantung yang normal; pada pasien
hipertensi dapat terlihat jantung membesar dan kadang-kadang tampak adanya
kalsifikasi arkus aorta. 9
5. Laboratorium
- CKMB : meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak
-

dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari.


cTn : ada dua jenis, yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila
ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat

dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.


Mioglobin : dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-

8 jam.
Ceratinin Kinase (CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan

mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
Lactic dehydrogenase (LDH) : meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark
miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.10,12

6.
7.
-

2.1.7

Teknik non invasif penentuan klasifikasi koroner dan anatomi koroner :


Computed Tomography
Magnetic Resonance Arteriography1
Pemeriksaan invasif menetukan anatomi koroner1
Arteriografi koroner
Ultrasound intravaskular (IVUS)

Diagnosis Banding

Penyakit
Penyakit

Penyebab
Arteriosklerosis

EKG
ST elevasi

Klinis
Nyeri

dada

seperti

jantung

diremas,menjalar

koroner

tangan

GERD

sampai punggung
Rasa
terbakar

Perikarditis

Kelemahan

Normal

ke

kiri,rahang,
di

dada,nyeri

esopagus
Idiopatik, tersering

ST

kesulitan menelan.
Nyeri dada terutama

Tirah

virus

semua lead

saat

Simpomatik

Echovirus

elevasi

Coxsackievirus
gurp B

Tatalaksana

Penanganan di Instalasi Gawat Darurat

dada,

PPI,H2 Reseptor

Sphincter

dan

2.1.8

Pengobatan
MONACO

menarik

nafas/batuk,demam(+)

bloker,Antasida
Baring,

Pasien-pasien yang tiba di UGD, harus segera dievaluasi karena kita berpacu
dengan waktu dan bila makin cepat tindakan reperfusi dilakukan hasilnya akan lebih
baik. Tujuannya adalah mencegah terjadinya infark miokard ataupun membatasi
luasnya infark dan mempertahankan fungsi jantung. Manajemen yang dilakukan
adalah sebagai berikut :
a. Dalam 10 menit pertama harus selesai dilaksanakan adalah:
1) Pemeriksaan klinis dan penilaian rekaman EKG 12 sadapan,
2) Periksa enzim jantung CK/CKMB atau CKMB/cTnT,
3) Berikan segera: 02, infus NaCl 0,9% atau dekstrosa 5%,
4) Pasang monitoring EKG secara kontiniu,
5) Pemberian obat:
-

Nitrat sublingual/transdermal/nitrogliserin intravena titrasi (kontraindikasi bila


TD sistolik < 90 mmHg, bradikardia (< 50 kpm)

Aspirin 160-325 mg: bila alergi/tidak responsif diganti dengan dipiridamol,


tiklopidin atau klopidogrel, dan

Mengatasi nyeri: morfin 2,5 mg (2-4 mg) intravena, dapat diulang tiap 5
menit sampai dosis total 20 mg atau petidin 25-50 mg intravena atau
tramadol 25-50 mg intravena.
Prinsip Management:
STEMI

: MONACO + Reperfusi

NSTEMI

: MONACO + Heparin

b. Hasil penilaian EKG, bila:


1) Elevasi segmen ST > 0,1 mV pada 2 atau lebih sadapan ekstremitas
berdampingan atau > 0,2 mV pada dua atau lebih sadapan prekordial
berdampingan atau blok berkas (BBB) dan anamnesis dicurigai adanya IMA
maka sikap yang diambil adalah dilakukan reperfusi dengan :

Terapi trombolitik bila waktu mulai nyeri dada sampai terapi < 12 jam, usia <
75 tahun dan tidak ada kontraindikasi.
o

Streptokinase: BP > 90 mmHg

tPA: BP < 70mmHg

Kontraindikasi: Riwayat stroke hemoragik, active internal bleeding,


diseksi aorta.

Jika bukan kandidate reperfusi maka perlakukan sama dengan


NSTEMI/UAP.

Angioplasti

koroner

(PTCA)

primer

bila

fasilitas

alat

dan

tenaga

memungkinkan. PTCA primer sebagai terapi alternatif trombolitik atau bila


syok kardiogenik atau bila ada kontraindikasi terapi trombolitik
2) Bila sangat mencurigai ada iskemia (depresi segmen ST, insersi T), diberi
terapi anti-iskemia, maka segera dirawat di ICCU; dan
3) EKG normal atau nondiagnostik, maka pemantauan dilanjutkan di UGD.
Perhatikan monitoring EKG dan ulang secara serial dalam pemantauan 12 jam
pemeriksaan enzim jantung dari mulai nyeri dada dan bila pada evaluasi
selama 12 jam, bila:

EKG normal dan enzim jantung normal, pasien berobat jalan untuk evaluasi
stress test atau rawat inap di ruangan (bukan di ICCU), dan

EKG ada perubahan bermakna atau enzim jantung meningkat, pasien di rawat di
ICCU.

Tujuan penanganan pada STEMI adalah:


a. Penanganan kegawatdaruratan diperlukan untuk menegakkan diagnosis secara
cepat dan penilaian awal stratifikasi risiko, menghilangkan/ mengurangi nyeri
dan
pencegahan atau penanganan henti jantung.
b. Penanganan dini untuk membuat keputusan segera terapi reperfusi untuk
membatasi proses infark serta mencegah perluasan infark serta menangani
komplikasi segera seperti gagal jantung, syok dan aritmia yang mengancam
jiwa.
c. Penanganan selanjutnya untuk menangani komplikasi lain yang timbul
selanjutnya.
d. Evaluasi dan penilaian risiko untuk mencegah terjadinya progresi penyakit
arteri koroner, infark baru, gagal jantung, dan kematian11

Penanganan kegawatdaruratan (lihat Guideline AHA 2010 di bawah)


a. Tatalaksana awal:
Oksigen 4L/ menit (saturasi dipertahankan > 90%).
Aspirin 160mg (dikunyah).
Nitrat diberikan 5mg SL (dapat diulang 3x) lalu drip bila masih nyeri.
Morfin iv bila nyeri tidak teratasi dengan nitrat. 11
b. Tatalaksana lanjut sesuai indikasi dan kontraindikasi (jangan menunda reperfusi).
Anti iskemik: nitrat, B-bloker, Ca antagonis.
Anti platelet oral: aspirin, clopidogrel.
Anti koagulan: heparin (UFH, LMWH).

Terapi tambahan: Ace inhibitor/ ARB, Statin.


Dosis heparin (UFH) sebagai co-terapi: Bolus iv 60 u/ kg BB maksimum
4000u, dosis maintenance drip 12u/ kg BB selama 24 48 jam dengan
maksimum 1000 u/ jam dengan target aPTT 50 70s. Monitoring aPTT 3, 6,
12, 24 jam setelah terapi dimulai. LMWH dapat digunakan sebagai alternative
UFH pada pasien-pasien berusia < 75 tahun dengan fungsi ginjal baik

(kreatinin < 2,5 mg/dl pada laki-laki atau < 2 mg/ dl pada wanita). 11
Terapi fibrinolitik.
Dianjurkan pada:
a. Presentasi 3jam.
b. Tindakan invasif tidak mungkin dilakukan atau akan terlambat.
c. Tidak ada kontraindikasi fibrinolitik. 11
a.

b.

Kontraindikasi fibrinolitik:
Kontraindikasi absolut:
Riwayat perdarahan intracranial apapun.
Lesi structural cerebrovaskular.
Tumor intracranial (primer ataupun metastasis).
Stroke iskemik dalam 3 bulan atau dalam 3 jam terakhir.
Dicurigai adanya suatu diseksi aorta.
Adanya trauma/ pembedahan/ truma kepala dalam 3 bulan terakhir.
Adanya perdarahan aktif (termasuk menstruasi). 11
Kontraindikasi relatif:
Riwayat hipertensi kronik dan berat yang tidak terkontrol.
Riwayat stroke iskemik > 3 bulan, demensia, atau kelainan intracranial
selain yang disebutkan pada kontraindikasi absolute.
Resusitasi jantung paru traumatic atau lama > 10 menit atau operasi besar
< 3 minggu.
Perdarahan internal dalam2-4 minggu terakhir.
Terapi antikoagulan oral.
Kehamilan.
Non compressible punctures.
Ulkus peptikum aktif.
Khusus untuk streptokinase/ anistreplase: riwayat pemaparan sebelumnya
(>5hari) atau riwayat alergi terhadap zat-zat tersebut. 11

Terapi awal

Antitrombin terapi

Kontraindikasi

spesifik
Streptokinase(SK)

1,5 juta unit/ 100ml D5% Dengan

atau

tanpa Riwayat

SK

atau

atau NaCl 0,9% selama heparin iv selama 24 anistreplase


30 60 menit.
Alteplase(tPA)

48 jam

15 mg iv bolus 0,75 mg/ Heparin iv selama 24


kg BB selama 30 menit 48 jam
kemudian 0,5 mg/ kg BB
selama 60 menit iv. Dosis
total

tidak

melebihi

100mg

Percutanous coronary intervention (PCI)


a. PCI primer.
Dianjurkan pada:
Presentasi 3jam.
Tersedia fasilitas PCI.
Waktu kontak antara pasien tiba sampai dengan inflasi balon < 90 menit.
(Waktu antara pasien tiba sampai dengan inflasi) dikurangi (waktu antara pasien
tiba sampai dengan proses fibrinolitik) < 1jam.
Terdapat kontraindikasi fibrinolitik.
Risiko tinggi (gagal jantung kongestif, Killip 3).
Diagnosis infark miokard dengan elevasi ST masih diragukan. 11
b. PCI kombinasi dengan fibrinolitik.
Dapat dilakukan pada pasien-pasien dengan risiko tinggi jika tindakan PCI tidak
dapat dilakukan dengan segera dan pada pasien dengan risiko perdarahan rendah.
Pada tindakan ini tidak dianjurkan menggunakan penghambat reseptor GPIIb/ IIIa
dengan dosis penuh. 11
c. Rescue PCI.
Dilakukan bila terdapat kegagalan trombolitik pada pasien dengan infark luas
dengan:
Hemodinamik tidak stabil atau dengan aritmia.
Keluhan iskemik yang berkepanjangan.
Syok kardiogenik.

Pada pasien-pasien dengan kegagalan reperfusi atau terjadi reoklusi dimana rescue
PCI tidak dapat dilakukan segera, reperfusi secara medikamentosa harus
dipertimbangkan dengan fibrinolitik ulang atau tirofiban. Pemilihan stent pada PCI
primer atau rescue PCI adalah Bare metal stent (BMS). 11

Tindakan pembedahan CABG (Coronary Artery Bypass Graft)


Tindakan pembedahan lebih baik jika dilakukan dibandingkan dengan pengobatan,
pada keadaan :
a. Stenosis yang signifikan ( 50 %) di daerah left main (LM)
b. Stenosis yang signifikan ( 70 %) di daerah proksimal pada 3 arteri koroner utama
c. Stenosis yang signifikan pada 2 daerah arteri koroner utama termasuk stenosis yang
cukup tinggi tingkatannya pada daerah proksimal dari left anterior descending
coronary artery.1
2.1.9 Komplikasi
a. Aritmia supraventrikular
Takikardia sinus merupakan aritmia yang paling umum dari tipe ini. Jika hal
ini terjadi sekunder akibat sebab lain, masalah primer sebaiknya diobati
pertama. Namun, jika takikardi sinus tampaknya disebabkan oleh stimulasi
simpatik berlebihan, seperti yang terlihat sebagai bagian dari status
hiperdinamik, pengobatan dengan penghambat beta yang relatif kerja singkat
seperti propanolol yang sebaiknya dipertimbangkan.13
b. Gagal jantung
Beberapa derajat kelainan sesaat fungsi ventrikel kiri terjadi pada lebih dari
separuh pasien dengan infark miokard. Tanda klinis yang paling umum adalah
ronki paru dan irama derap S3 dan S4. Kongesti paru juga sering terlibat pada
foto thoraks dada. Peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri dan tekanan
arteri pulmonalis merupakan temuan hemodinamik karakteristik, namun
sebaiknya diketahui bahwa temua ini dapat disebabkan oleh penurunan
pemenuhan diastolik ventrikel dan / atau penurunan isi sekuncup dengan
dilatasi jantung sekunder. Diuretik sangat efektif karena mengurangi kongesti
paru-paru dengan adanya gagal jantung sistolik dan / diastolik. 13
c. Sistole prematur ventrikel
Depolarisasi prematur yang jarang dan sporadik terjadi pada hampir semua
pasien dengan infark dan tidak memerlukan terapi. Sementara dulu,
ekstrasistole ventrikel distolik yang sering, multifokal atau dini secara rutin

diobati, terapi farmakologik sekarang disediakan untuk pasien dengan aritmia


ventrikel yang lama atau simptomatik. Terapi antiaritmia profilaktik dengan
tiadanya takiaritmia ventrikel yang penting secara klinis, dikontra indikasikan
karena terapi seperti itu dapat dengan jelas meningkatkan mortalitas
selanjutnya. 13

Gambar 1. Algoritma Acute Coronary Syndromes1


2.1.10 Prevensi
a. Pencegahan Primer1

b. Pencegahan sekunder1

2.1.11 Prognosis
Prognosis dapat diperkirakan dengan menggunakan TIMI score (Thrombolysis in
Myocardial Infarction )untuk STEMI yaitu 15
Usia 65 74/ 75
Tekanan darah sitolik < 100
HR > 100
Killip II - IV
Anterior ST elevasi atau LBBB
Diabetes, riwayat hipertensi atau
riwayat angina
Berat badan < 67 kg
Waktu pengobatan > 4 jam

2/3 poin
3 poin
2 poin
2 poin
1 poin
1 poin
1 poin
1 poin

Anda mungkin juga menyukai