Anda di halaman 1dari 22

CHRISTIAAN SNOUCK HURGRONJE (18571936)

Oleh Rimbun Natamarga


Belanda kembali berkuasa di Jawa dan sejumlah tempat di Nusantara pada
1816, dengan pusat pemerintahan yang ada di Batavia. Seperti Kompeni,
periode kali ini dimulai dengan kebutaan mereka terhadap Islam di Hindia
Belanda. Semula, Belanda tidak berani mencampuri urusan yang terkait
Islam secara langsung. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat mereka masih
kekurangan pengetahuan terhadap Islam itu sendiri. 1 Aqib Suminto yang
secara khusus meneliti tentang sikap Belanda terhadap Islam di Hindia
Belanda pun pernah mengatakan,
Sikap Belanda dalam masalah ini dibentuk oleh kombinasi
kontradiktif antara rasa takut dan harapan yang berlebihan.
Di satu pihak Belanda sangat khawatir akan timbulnya
pemberontakan orang-orang Islam fanatik. Sementara di
pihak lain Belanda sangat optimis bahwa keberhasilan
kristenisasi akan segera menyelesaikan semua persoalan.
Dalam hal ini Islam sangat ditakuti, karena dianggap mirip
dengan Katolik. Hubungan antara umat Islam di kepulauan
initerutama para ulamanyadengan Khalifah Turki,
semula dianggap sama dengan hubungan antara umat
Katolik dengan Paus di Roma. Tetapi waktu itu Pemerintah
Hindia Belanda belum berani mencampuri masalah Islam,
dan belum mempunyai kebijaksanaan yang jelas mengenai
masalah ini. Di samping karena belum memiliki
pengetahuan Islam dan bahasa Arab, pada waktu itu
pemerintah Belanda juga belum mengetahui sistem sosial
Islam.
1

Pada masa-masa seperti inilah, meletus perlawanan-perlawanan besar dari umat

Islam terhadap pemerintah Hindia Belanda. Beberapa yang patut disebut adalah
Perang Padri (18211827) dan Perang Diponegoro (18251830). Juga bisa disebut
di sini Perang Aceh yang meletus sejak 1873. Ketika menangani Perang Aceh inilah,
pemerintah Hindia Belanda mulai memahami karakter sosial pemeluk-pemeluk
Islam di Hindia Belanda.

Yang juga mesti diketahui, undang-undang yang dibuat Pemerintah


Hindia Belanda waktu itu memberikan ruang yang cukup bebas bagi siapa
saja di Hindia Belanda untuk menjalankan keyakinannya. Dalam Regeerings
Reglement atau peraturan pemerintah ayat 119, misalnya, dikatakan bahwa
Setiap warga negara bebas menganut pendapat agamanya, tidak
kehilangan perlindungan masyarakat dan anggotanya atas pelanggaran
peraturan umum hukum agama.
Sayangnya, aturan seperti itu tidak selalu dijalankan. Buktinya,
terkait masalah haji, pemerintah kolonial tetap tidak bisa tidak mencampuri
urusannya, karena para haji sampai masuk abad ke-20 dicurigai sebagai
pembawa sikap fanatik terhadap agama dan pendorong terjadinya
pemberontakan di tengah umat Islam.
Dari situlah kemudian, sebagai misal yang lain, pemerintah Hindia
Belanda membuat peraturan baru pada 1859 yang memberi wewenang
kepada gubernur jenderal untuk mencampuri masalah agama di Hindia
Belanda, jika dipandang perlu demi kepentingan ketertiban dan keamanan
masyarakat. Dalam peraturan yang baru itu juga, seorang gubernur jenderal
melalui bawahannya diharuskan untuk mengawasi setiap tindakan yang
dilakukan oleh pemuka-pemuka agama Islam di tengah masyarakat.
Setelah datang Christiaan Snouck Hurgronje (18571936) atau
Abdul Ghaffar ke Hindia Belanda, pemerintah Hindia Belanda dapat
memahamidan juga sekaligus menguasaiumat Islam di Hindia Belanda
dengan lebih baik. Bahkan, Harry J. Benda, salah seorang pengkaji sejarah
Islam di Indonesia pada zaman kolonial, berani menyebut Hurgronje
sebagai arsitek keberhasilan politik Islam yang paling legendaris,
terutama di Hindia Belanda.
Hurgronje lahir di Tholen, Ousterhout, Belanda, pada tanggal 8
Februari 1857. Ayahnya adalah seorang pendeta berdarah Yahudi yang
bernama J.J. Snouck Hurgronje. Ibunya bernama Anna Maria Visser, putri

Pendeta Christian de Visser. Sejatinya, hubungan ayah dan ibu Hurgronje


adalah hubungan gelap. Karena hubungan itulah, ayah Hurgronje dipecat
dari Gereja Reformasi Belanda2 yang ada di Tholen pada tanggal 3 Mei 1849.
Mereka baru menikah secara resmi di Terheijden pada tanggal 31 Januari
1855.3 Waktu itu, mereka sudah memiliki dua orang anak. 4 Hurgronje
sendiri adalah anak kedua mereka yang lahir setelah pernikahan itu.
Sejak kecil, Hurgronje telah diarahkan orangtuanya untuk menaruh
perhatian terhadap teologi. Tidak heran, setamat dari sekolah menengahnya
di Breda, Belanda, Hurgronje mengambil kuliah di Fakultas Teologi di
Universitas Leiden, Belanda, pada 1875. Ia kemudian pindah kuliah ke
Fakultas Sastra jurusan Arab, masih di universitas yang sama.
2

Gereja Reformasi Belanda adalah salah satu kelompok denominasi (baca: mazhab)

Kristen Protestan. Gereja Reformasi Belanda (Nederlandse Hervormde Kerk [NHK])


adalah salah satu yang banyak memengaruhi gereja Protestan di Jawa khususnya
dan di Indonesia umumnya.
3

Tidak berapa lama dari pernikahan mereka, ayah Hurgronye berusaha

memulihkan kedudukannya di Gereja Reformasi Belanda. Pada tanggal 13 Agustus


1856, permohonan itu dikabulkan oleh pihak Gereja Reformasi Belanda. Dalam
salah satu arsip, pengabulan diiringi dengan harapan dari gereja. Dengan berdoa
dari hati yang tulus karena sadar akan kesalahannya serta melalui perayaan Jamuan
Kudus, demikian arsip itu ditulis, semoga hatinya yang telah putus asa dapat asa
dapat dihibur sehingga mendorong semangatnya. Selain itu diharapkan agar ia
menemukan rangsangan baru hingga tetap setia kepada itikad-itikad baik dan
ikrar-ikrar kudus. Dengan dilengkapi perilaku yang baik, semua itu setidaktidaknya dapat menghapus noda dahulu.
4

Dua kakak kandung Hurgronje yang lahir dari hubungan gelap orangtuanya itu

bernama Anna Maria dan Jacqueline Julie. Karena lahir tanpa ikatan pernikahan,
keduanya memakai nama ibunya, De Visser, pada nama-nama mereka (Anna Maria
de Visser dan Jacqueline Julia de Visser). Jika Anna lahir pada tanggal 24 Mei 1849,
maka Julie lahir pada tanggal 4 Desember 1850. Sebulan setelah pernikahan
orangtua Hurgronje, lahir lagi seorang anak perempuan mereka pada tanggal 19
Februari 1855. Kakak perempuan ketiga Hurgronje ini diberi nama Christina Anna
Catherina.

Pada

tanggal

24

November

1880,

ia

akhirnya

lulus

dari

pendidikannya dengan yudisium cum laude. Ia pun berhak dengan titel


doktor untuk bidang Sastra Semit. Disertasinya berjudul Het Mekkaanshe
Feest yang berisi pembahasan tentang ibadah haji di Mekkah. Dalam
disertasi itu, ia menyimpulkan bahwa ibadah haji yang memiliki kedudukan
penting bagi umat Islam adalah sebuah ritual peninggalan paganisme
bangsa Arab.
Setelah itu, Hurgronje memulai karirnya sebagai dosen pada
Pendidikan Khusus Calon Pegawai di Hindia Belanda di Universitas Leiden.
Ia diserahi tugas untuk menyiapkan calon-calon pegawai kolonial Belanda
yang akan dikirim ke Hindia Belanda. Pada masa-masa inilah, ia mengenal
sejumlah orientalis terkenal, seperti Carl Bezold (18591922). Sebelum itu,
Hurgronje juga sempat mengikuti kuliah-kuliah Theodore Noldeke (1836
1930), seorang orientalis terkemuka berkebangsaan Jerman.
Agustus 1884, Hurgronje berangkat menuju Jazirah Arab. Tentang
alasan yang mendorongnya melakukan itu, ada yang berpendapat bahwa
perjalanannya

ke

Arab

ini

terinspirasi

oleh

pertemuannya

yang

mengesankan dengan Carlo Landberg (18481924) dan Amin Al-Madani


pada Konfrensi Orientalis Internasional tahun 1883. Landberg adalah
seorang orientalis dari Swedia, sedangkan Al-Madani seorang penulis dan
pedagang kitab-kitab Arab.
Di samping itu, Hurgronje berangkat ke Jazirah Arab, sebenarnya,
untuk menghindari kebekuan intelektual yang sedang terjadi di tengah
lingkungan akademisnya. Tidak seperti abad ke-17, di Leiden perhatian
terhadap kajian hukum Islam waktu itu sedang mengalami kemunduran
dan Hurgronje tidak menginginkan hal itu. Ada juga berpendapat bahwa
sebab yang mendorongnya adalah keinginannya Hurgronje pribadi untuk
memperdalam pengetahuan praktisnya terhadap bahasa Arab.
Terlepas dari semua pendapat itu, selama lima bulan pertama di
Jazirah Arab, Hurgronje tinggal di Jeddah bersama Konsul Belanda, J.

Kruyt. Darinya, Hurgronje mendapat bantuan uang dan kemudahankemudahan lainnya.


Dari Jeddah, ia kemudian bertolak ke Mekkah dan tiba di sana pada
tanggal 22 Februari 1885. Untuk memudahkan urusannya, ia menyatakan
diri masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Abdul Ghaffar. Dengan
statusnya yang baru ini, ia dapat bertemu dengan sejumlah syaikh tarekat,
pengajar-pengajar di Masjidil Haram, dan berbagai macam orang, terutama
yang berasal dari Sumatera dan Jawa.
Di Mekkah, Hurgronje tinggal selama tujuh bulan, mengumpulkan
data baru terkait Islam dan para pemeluknya serta mengamati dari dekat
kehidupan di pusat Islam. Apa yang ia dapatkan itu kelak ia susun menjadi
sebuah karya baru yang berjudul Mekka.5
5

Sebuah versi yang agak berbeda dikemukakan oleh Yusuf Mpd dalam salah satu

postingannya di www.kompasiana.com. Di situ, ia menulis, Selama tujuh bulan,


Hurgronje tinggal di Makkah. Meski terbilang singkat, dia mengamati, mencatat,
dan mempelajari kehidupan masyarakat lokal. Waktu itu, Makkah memiliki salah
satu pasar budak terbesar di dunia, dan Hurgronje kagum dengan perlakukan
manusiawi yang diberikan kepada budak karena budak-budak itu diperlakukan
sebagai anggota keluarga. Hurgronje juga mengamati kehidupan wanita di
Makkah. Persoalan status sosial, rasa mode, dan kebebasan yang diberikan kepada
kalangan wanita ini dibandingkannya dengan wanita di kota-kota di Timur lainnya.
Minatnya yang begitu besar terhadap Makkah membuat curiga pemerintah negara
Eropa yang lain. Setelah itu terungkap bahwa Hurgronje adalah seorang matamata, penipu, sekaligus sebagai sedikit dari kalangan orientalis kala itu. Tak lama
usai menikahi wanita Ethiopia, dia dideportasi dari Arab Saudi atas permintaan
pemerintah Prancis yang menuduhnya telah mencuri batu Taima. Akibatnya,
Hurgronje harus segera meninggalkan Makkah. Dengan tergesa- gesa , dia
mengumpulkan catatan dan foto-foto yang diperolehnya selama tinggal di Makkah.
Namun peralatan kamera ditinggalnya dan dititipkan kepada temannya yang
seorang mahasiswa fotografi, Al-Sayyid Abd Al-Ghaffar. Hurgronje kemudian balik
ke Belanda dan mulai menulis berbagai artikel mengenai Makkah. Dia tetap
menjalin kontak dengan temannya, Al-Sayyid untuk bertukar informasi dan
mendapatkan foto-foto terbaru mengenai Makkah, termasuk foto-foto mengenai

Ia baru pergi dari Mekkah pada Agustus 1885. Terkait kepergian


Hurgronje dari Mekkah itu, Abdurrahman Badawi yang menuliskan profil
Hurgronje dalam Mawsuah Al-Mustasyriqin mengatakan,
Namun akhirnya, pada bulan Agustus, Snouck dipaksa
keluar dari Mekkah oleh Konsul Perancis. Dia pulang dengan
empat ekor unta yang membawa barang-barang yang
dikumpulkan selama mukim di sana. Yang disesalkan adalah
perintah untuk meninggalkan Mekkah itu bertepatan
dengan awal musim haji. Padahal disertasi yang pernah
ditulisnya berkaitan dengan musim haji, meskipun hanya
berdasarkan pada sumber-sumber literatur, manuskripmanuskrip, dan pengalaman-pengalaman orang yang sudah
berziarah ke sana. Bukan atas dasar pengalamannya
sendiri.
Keterangan yang mirip bisa kita dapati pada apa yang pernah ditulis
Suminto. Dalam disertasinya yang terkenal itu, Suminto menulis,
Andaikata bukan karena hasutan dari wakil Konsul
Perancis, tentulah ia belum akan mengakhiri kunjungannya
di kota suci ini. Kunjungan ini sengaja dilakukannya di luar
musim haji, sehingga leluasa menggunakan waktu seharihari untuk membicarakan masalah Islam dengan para
ulama di sana. Ia juga bermaksud melihat koleksi buku dan
naskah yang ada di sana, sekaligus meneliti situasu kondisi
warga negara Belanda yang ada di kota ini. Ternyata di
sinilah terletak jantung kehidupan Islam di Hindia Belanda,
dan dari sini pula urat nadi selalu memompakan darah
jamaah haji. Sekembalinya di tanah kelahirannya, tak diketahui kabar selanjutnya,
apakah dia masih memegang agama Islamnya, atau kembali ke agama asalnya.
Namun, banyak karya yang dibuatnya mengenai Islam dan budaya Makkah.
Mungkin karena itu pula, hubungan dia dengan petinggi Arab Saudi bisa terjalin
baik. Sebagai pertanda eratnya hubungan itu, Pangeran Saud dari Kerajaan Saudi
sampai tiga kali mengunjungi Belanda selama kurun waktu 1926-1935.

segar yang tak terhitung berapa jumlahnya ke seluruh


penduduk muslim di Hindia Belanda.
Hurgronje kembali ke Leiden. Ia meneruskan aktivitas mengajarnya
seperti biasa, namun itu sebentar saja. Pada 1887, muncul keinginannya
untuk mengadakan penelitian di Hindia Belanda selama dua tahun.
Keinginannya

ini,

ternyata,

mendapat

dukungan

dari

Bataviaasch

Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, sebuah lembaga kebudayaan


yang didirikan oleh Gubernur Jenderal Reinier de Klerk (17101780) di
Batavia pada tanggal 24 April 1778.6 Rencananya, dalam penelitian itu,
Hurgronje akan mengumpulkan data tentang lembaga Islam di Hindia
Belanda.
Pada tanggal 9 Februari 1888, Hurgronje mengajukan permohonan
resminya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Direktur Pendidikan,
Agama dan Perindustrian mendukung keinginan Hurgronje itu dan
menyetujui pemberian tunjangan kepada Hurgronje sebesar f. 1150 (baca:
1150 florin) yang akan dibayar penuh setibanya di Batavia. Pemerintah
Belanda, lewat Menteri Jajahan, akhirnya menyatakan persetujuannya atas
permohonan Hurgronje itu dan meminta kepada Gubernur Jenderal Hindia
Belanda untuk menyiapkan segala sesuatunya untuk Hurgronje nanti.
Tepat tanggal 11 Mei 1889, Hurgronje tiba di Batavia. Lima hari
berikutnya, keluar keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk
mengangkat Hurgronje sebagai peneliti di Hindia Belanda selama dua
tahun yang untuk itu akan mendapat gaji sebesar f.700 per bulannya.
Keputusan itu kemudian diperkuat dengan keputusan Raja Belanda nomor
25 tertanggal 22 Juli 1889.

Secara hafiah, Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen berarti

Masyarakat Ilmu Pengetahuan dan Kesenian Batavia. Pada 1910, lembaga itu mulai
dikenal khalayak lewat sebutan Koninglijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten
en Wetenschappen. Museum Gajah dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
adalah dua contoh warisan lembaga itu kepada bangsa Indonesia.

Hurgronje memang berbakat mengambil kepercayaan orang-orang


di sekitarnya. Seperti pemuka-pemuka Islam di Mekkah, dengan cepat
Hurgronje merebut kepercayaan orang-orang Islam di Batavia. Lebih dari
itu, ia dapat berteman akrab dengan mereka dan dapat meneliti masalah
Islam di Jawadan kemudian Acehdengan lebih baik.
Tentu saja, hal itu menjadi sesuatu yang mengesankan bagi Direktur
Pendidikan, Agama dan Perindustrian. Kepada Gubernur Jenderal Hindia
Belanda, sang direktur menceritakan kekagumannya. Dalam sepucuk
suratnya kepada gubernur jenderal, ia mengatakan, Melalui pergaulan
singkat, saya memeroleh kesan bahwa ia memiliki pribadi yang tenang.
Tidak tergesa-gesa. Dalam penelitiannya di Arab pun ia berbuat seperti itu.
Sesuai kesepakatan, Hurgronje berada di Batavia hanya selama dua
tahun. Akan tetapi, kinerjanya yang baik dan potensinya yang luar biasa
bagi kepentingan pemerintah Hindia Belanda mendorong pemerintah
mengangkatnya sebagai Penasehat Urusan Bahasa-Bahasa Timur dan
Hukum Islam pada tanggal 15 Maret 1891.
Dalam kedudukannya yang baru itu, pada tanggal 9 Juli 1889,
Hurgronje berangkat ke Aceh. Sejak tanggal 16 Juli 1891, ia menetap di
Kutaraja atau Banda Aceh sekarang dan mengamati dari dekat kehidupan
penduduk setempat hampir satu tahun lamanya. Pekerjaannya di Aceh itu
membuatnya dapat memahami karakter sosial masyarakat Aceh dan kelak
menjadi bekal buatnya untuk memberikan nasehat-nasehat penting terkait
Islam di Hindia Belanda.
Hurgronje pulang ke Batavia pada tanggal 4 Februari 1892. Hasil
pengamatannya di Aceh ia susun menjadi apa yang bakal dikenal sebagai
Atjeh Verslag (Laporan Aceh). Sebagian besar laporan itu kemudian ia
terbitkan menjadi dua jilid buku berjudul De Atjehers. Dalam bahasa
Belanda, jilid pertama buku itu terbit pada 1893, sedangkan jilid kedua pada
1894. Dua belas tahun kemudian, De Atjehers diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris.

Selesai dengan karya itu, tidak membuatnya lepas dari Aceh.


Sepanjang 18981903, ia sering pergi ke Aceh, membantu Jenderal Joannes
Benedictus van Heutz (18511924) menaklukkan Aceh. Seperti disinggung
pada bagian yang lalu, Perang Aceh telah meletus sejak 1873. Selama itu
pula, masyarakat Aceh telah membuat kewalahan pemerintah Hindia
Belanda. Aceh akhirnya takluk pada 1903.
Karir Hurgronje sendiri telah menanjak tinggi, ketika pada tanggal
11 Januari 1899 diangkat sebagai Penasehat Urusan Pribumi dan Arab. Ia
memegang jabatan itu sampai 1906. Ia kemudian pulang ke Belanda dan
menerima pengangkatan dirinya menjadi guru besar di Universitas Leiden
tepat pada tanggal 23 Januari 1907.7 Dalam jabatannya sebagai guru besar
itu, ia diangkat pula sebagai Penasehat Menteri Jajahan sampai akhir
hidupnya, 16 Juli 1936.
Semasa menjabat sebagai Penasehat Urusan Pribumi dan Arab,
Hurgronje

memiliki

kedudukan

yang

demikian

strategis

dalam

memengaruhi kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap umat Islam


di Hindia Belanda, apalagi dengan keberhasilan penaklukan Aceh itu yang
tidak sedikit berdasarkan nasehat-nasehatnya kepada Van Heutz dan
memang

sejumlah

pandangan

Hurgronje

menjadi

dasar

kebijakan

pemerintah Hindia Belanda, bahkan sampai jauh setelah Hurgronje selesai


bertugas.
Secara umum, saran-saran yang diberikan Hurgronje kepada
pemerintah Hindia Belanda dibangun di atas tiga prinsip utama. Dalam
karya Shihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap
Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, ketiga prinsip itu diuraikan secara
gamblang.

Dalam kedudukannya sebagai guru besar inilah Hurgronje menjadi promotor

orang Indonesia pertama yang mempertahankan disertasinya di Universitas Leiden


pada 1913, Hoesein Djajadiningrat. Disertasi yang dimaksud berjudul De Critische
Beschouwing van de Sadjarah Bantam, Tinjauan Kritis atas Sedjarah Banten.

Pertama, dalam semua masalah ritual keagamaan, atau


aspek ibadah dari Islam, rakyat Indonesia harus dibiarkan
bebas menjalankannya. Logika di balik kebijakan ini adalah
membiarkan munculnya keyakinan dalam pikiran banyak
orang bahwa pemerintah kolonial Belanda tidak ikut campur
dalam masalah keimanan mereka. Ini merupakan wilayah
yang peka bagi kaum Muslim karena hal itu menyentuh
nilai-nilai keagamaan mereka yang paling dalam. Dengan
berbuat demikian, pemerintah akan berhasil merebut hati
banyak kaum Muslim, menjinakkan mereka dansejalan
dengan ituakan mengurangi, jika tidak menghilangkan
sama sekali, pengaruh perlawanan kaum Muslim fanatik
terhadap pemerintah kolonial. []. Prinsip kedua adalah
bahwa, sehubungan dengan lembaga-lembaga sosial Islam,
atau aspek muamalat dalam Islam, seperti perkawinan,
warisan, wakaf, dan hubungan-hubungan sosial lain,
pemerintah
harus
berupaya
mempertahankan
dan
menghormati
keberadaannya.
Meskipun
demikia,
pemerintah harus berusaha menarik sebanyak mungkin
perhatian orang-orang Indonesia terhadap berbagai
keuntungan yang dapat diraih dari kebudayaan Barat. Hal
itu dilakukan dengan harapan agar mereka bersedia
menggantikan lembaga-lembaga sosial Islam di atas dengan
lembaga-lembaga sosial Barat. Diharapkan bahwa perlahanlahan, sembari berasosiasi dengan orang-orang Belanda,
orang-orang Indonesia akan menyadari keterbelakangan
lembaga-lembaga sosial Islam milik mereka dan menuntut
digantikannya lembaga-lembaga itu dengan lembagalembaga sosial model Barat. Dan akhirnya, hubungan yang
lebih erat antara penguasa Belanda dan rakyat Hindia
Belanda akan berkembang dengan sendirinya. Prinsip yang
ketiga, dan paling penting, adalah bahwa dalam masalahmasalah politik, pemerintah dinasihatkan untuk tidak
menoleransi kegiatan apa pun yang dilakukan oleh kaum
Muslim yang dapat menyebarkan seruan-seruan Pan-

Islamisme8 atau menyebabkan perlawanan politik atau


bersenjata menentang pemerintah kolonial Belanda.
Pemerintah harus melakukan kontrol ketat terhadap
penyebaran gagasan apa pun yang dapat membangkitkan
semangat kaum Muslim di Indonesia untuk menentang
pemerintah
kolonial.
Pemangkasan
gagasan-gagasan
seperti ini akan memencilkan pengaruh aspek-aspek Islam
yang bersifat politis, yang menjadi ancaman terbesar
terhadap pemerintahan kolonial Belanda."
Hurgronje sendiri juga sempat menyatakan bahwa ketakutan
pemerintah kolonial selama ini terhadap Islam dan pemeluknya di Hindia
Belanda adalah sesuatu yang berlebih-lebihan. Islam tidak mengenal jenjang
kependetaan atau kepastoran, tepatnya, seperti yang dikenal dalam Kristen.
Kyai-kyai tidak bisa dipukul rata sebagai orang-orang yang fanatik.
Kemudian, para penghulu, dalam strata kepegawaian pribumi, adalah para
8

Tentang pengertian Pan Islamisme, Suminto pernah menulis, Pengertian Pan

Islam secara klasik adalah penyatuan seluruh dunia Islam di bawah satu kekuasaan
politik dan agama yang dikepalai oleh seorang khalifah. Secara modern dapat
diartikan bahwa kepemimpinan khalifah tersebut hanya meliputi bidang agama.
Pada masa Usmani Muda [sebuah masa ketika intelektual-intelektual Turki
Utsmani menentang kekuasaan milik sultan yang berlangsung pada 18651878,
pen.], Turki berusaha menggunakan Pan Islam untuk menyatukan seluruh umat
Islam di bawah kerajaan Usmani. Usaha ini cepat menarik perhatian Asia Afrika
yang pada waktu itu hampir seluruhnya sedang dijajah oleh Barat. Ide Pan Islam ini
akan memanfaatkan kemajuan Barat dan menyesuaikannya dengan ajaran Islam.
Dalam perkembangan selanjutnya, Pan Islam sekedar berusaha untuk menyatukan
seluruh umat Islam dalam satu ikatan setia kawan, atau menghidupkan rasa
ukhuwah Islamiyah di kalangan dunia Islam. Meskipun demikian, Pan Islam dalam
pengertian ini tetap dianggap berbahaya oleh negara-negara penjajah, karena bisa
membangkitkan perlawanan bangsa-bangsa Islam yang dikuasainya. Umat Islam di
suatu tempatberkat adanya Pan Islamakan bisa merasakan penderitaan
saudaranya di tempat lain. Padahal sampai akhir Perang Dunia Pertama, sebagian
besar umat Islam di permukaan bumi ini berada dalam cengkeraman penjajahan
asing.

bawahan pemerintah pribumi (seperti bupati) dan bukan atasan-atasan


mereka.
Orang-orang yang pergi ke Mekkah, menurut Hurgronje, tidak
harus selalu diartikan akan menjadi segerombolan orang yang berjiwa
fanatik dan jahat. Pengalamannya di Mekkah membuat Hurgronje
berkesimpulan bahwa sebagian besar muslim yang datang berhaji ke
Mekkah bukanlah muslim fanatik yang ingin memajukan Islam dengan
segala cara. Sebaliknya, kata Hurgronje, Banyak di antara mereka yang
kembali [ke Hindia Belanda, pen.] dalam keadaa sama bodohnya dengan
ketika mereka berangkat [ke Mekkah, pen.].
Ketimbang menguatirkan kyai-kyai lokal yang tekun beribadah,
Hurgronje menyarankan agar pemerintah kolonial lebih memerhatikan
pemeluk-pemeluk Islam yang pergi ke Mekkah untuk belajar dan berdiam
di sana bertahun-tahun lamanya sampai tumbuh dalam diri-diri mereka
rasa persatuan dan kesatuan dengan seluruh umat Islam di dunia ini
berdasarkan identitas keislaman yang sama-sama mereka hayati. Terlebih
lagi, kepada para pemeluk Islam yang mendakwahkan perang suci (baca:
jihad fi sabilillah) kepada pemerintah kafir.
Khusus gerakan-gerakan tarekat yang tumbuh subur di Hindia
Belanda, setelah mengadakan penelitian di Jawa, Hurgronje mengeluarkan
dua rekomendasi. Pertama, penguasa harus menghambat gerakan anti
tarekat, baik itu dari kalangan pejabat pemerintah ataupun dari kalangan
rakyat biasa. Seperti yang telah umum diketahui, di Hindia Belanda
menjelang akhir abad ke-19, mulai muncul kecenderungan di tengah umat
Islam yang tidak menyetujui adanya tarekat-tarekat Sufi. Meski demikian,
dan ini rekomendasinya yang kedua, pihak penguasa harus mengadakan
pengawasan yang ketat terhadap segala aktivitas tarekat-tarekat yang ada.
Bagaimana pun, tarekat, menurut Hurgronje, memiliki kedudukan
yang sangat kuat di Kepulauan Nusantara, sehingga tidak mungkin
dihapuskan atau dilarang hanya dengan surat keputusan pemerintah.

Dalam salah satu nasehatnya kepada pemerintah kolonial, Hurgronje


pernah menasehati pemerintah untuk tidak melarang aktivitas Tarekat
Syattariyah di Yogyakarta yang waktu itu sempat disorot oleh pemerintah
setempat terkait rencana mengasingkan Kyai Krapyak menyusul sebuah
insiden pembunuhan pegawai pemerintahan di Sidoarjo pada Mei 1904.
Lagi pula, dalam pandangan Hurgronje, Tarekat Syattariyah pada dasarnya
tidak memiliki kecenderungan politik, sehingga kurang berbahaya. Bahkan,
Hurgronje sempat mengatakan, Uit een politiek oogpunt steekt daarin
niets bedenkelijks: voor humane en verdraagzame bergrippen laat die
mystiek zelfs veel meer plaats dan de orthodoxe Islam yang dalam bahasa
kita berarti Dari segi politik, tasawuf dan tarekat yang bersifat wihdatul
wujud bukan sesuatu yang berbahaya, justru mereka itu lebih terbuka untuk
pemikiran yang humanis dan toleran ketimbang Islam yang sempurna.
Khusus kepada para pembaca karya-karyanya dan orang-orang atau
pejabat-pejabat

yang

ditugaskan

untuk

meneliti

Islam

dan

para

pemeluknya, Hurgronje mengemukakan pandangannya tentang cara


memahami pemeluk-pemeluk Islam dalam pengantarnya di jilid pertama
De Atjehers. Menurutnya, mereka yang memang betul-betul ingin
menyelami faktor Islam dalam kehidupan suatu bangsa atau masyarakat
hendaklah mengetahui juga permainan anak-anak bangsa itu, kesenangan
orang-orang dewasa di situ, seluk-beluk pengaturan desa atau daerah
mereka, dan karya-karya sastrawi mereka, sebab semua itu memiliki segisegi yang sama penting dengan (1) kitab-kitab yang digunakan oleh mereka
dalam pengajaran agama mereka, (2) tarekat-tarekat Sufi yang berkembang
di tengah-tengah mereka dan (3) kedudukan pemuka-pemuka agama
mereka.
Jangan mengira sudah cukup dengan mengetahui ajaran agama
suatu masyarakat, tegas Hurgronje, sebab dalam kehidupan masyarakat,
unsur-unsur agama dan non-agama saling terkait dan tidak bisa dipisahkan.
Selain melihat Islam, lihatlah juga para pemeluk Islam itu sebagai individu

dan sebagai anggota suatu masyarakat, sebagai makhluk sosial. Lihat,


bagaimana ajaran agama mereka dipraktekkan dalam kehidupan nyata.
Karena pandangannya yang seperti itu, Hurgronje akhirnya
mengamati adat-adat setempat yang berlaku di masyarakat objek
pengamatannya dan membuatnya ditabalkan sebagai salah seorang penemu
hukum adat. Bahkan, ialah pula yang dikenal sebagai orang pertama yang
menggunakan istilah hukum adat untuk unsur-unsur adat yang mempunyai
akibat hukum.

SNOUCK HURGRONJE MUSLIM?

Di antara hal yang paling banyak diperdebatkan terkait Hurgronje adalah


statusnya sebagai seorang muslim. Apakah Hurgronje masuk Islam secara
tulus atau hanya kamuflase untuk tujuan-tujuan tertentu? Para pemerhati
dan peneliti sejarah Islam di Indonesia, dulu dan sekarang atau muslim dan
non-muslim, telah berusaha menjawab pertanyaan itu dan sebagian mereka
percaya bahwa Hurgronje masuk Islam karena tuntutan profesi.
Peter Sjord van Koningsveld pernah secara khusus meneliti catatan-catatan
pribadi dan tulisan-tulisan Hurgronje di Mekkah. Sebagian hasil penelitian
itu kemudian dikumpulkan dan diterbitkan di bawah judul Snouck
Hurgronje en Islam: Acht artikelen over leven en werk van een orientalist uit het
koloniale tijdperk.
Terkait waktu dan cara masuk Islamnya Hurgronje, Van Koningsveld
menulis,
Mengenai masuk Islamnya Snouck untuk sementara orang dapat berbeda
pendapat. Atas dasar keterangan-keterangan dari buku harian kecil Snouck di
Jeddah telah saya rekonstruksikan jalannya peristiwa itu yang paling mungkin,
bahwa masuk Islamnya berlangsung secara resmi melalui pengucapan syahadat di
hadapan qadli Jeddah dengan dihadiri dua orang saksi, pada tanggal 16 Januari
1885.
Kemudian, terkait tujuan masuk Islamnya Hurgronje, Van Koningsveld
menegaskan bahwa

Masuk Islamnya Snouck dilangsungkan dengan dasar dasar pour besoin de la


cause [demi sesuatu urusan], yakni untuk mengunjungi Mekah. Perjalanannya
bertujuan ganda: (1) menyelidiki jemaah haji Hindia Belanda di negeri Arab, untuk
maksud itu, secara tidak langsung memperoleh tunjangan perjalanan dari
Kementerian Urusan Jajahan; tak lama setelah kedatangannya ia langsung
menekuni masalah itu di Jeddah dengan memotret kelompok-kelompok jemaah haji
Hindia Belanda; selanjutnya ia membuat banyak catatan di dalam buku hariannya
berdasarkan wibawa Raden Abu Bakar Djajadiningrat, seorang pelajar Sunda di
Mekkah. (2) Di samping itu Snouck terutama ingin mengikuti contoh pakar Islam
Ignaz Goldziher yang menjadi murid para syaikh Azhar di Kairo yang mempelajari
Islam dari dalam. Snouck mengikuti contoh Goldziher ini dengan cara yang sama,
ingin diterima sebagai murid para ulama Mekah.
Apa yang disampaikan Van Koningsveld itu menarik. Sekarang, perhatikan
apa yang juga pernah ditulis Suminto, terkait masuk Islamnya Hurgronje.
Dalam Politik Islam Hindia Belanda, halaman 120, Suminto mengatakan,
Bagaimana Snouck Hurgronje bisa memasuki kota suci yang pada hakekatnya
tertutup bagi nonomuslim ini, jawabannya cukup sederhana. Snouck pergi atas
nama muslim dengan nama Abdul Gaffar. Di tengah kekaguman atas prestasinya
yang luar biasa, yakni berhasil memasuki kota suci yang tidak mungkin dimasuki
oleh rekan-rekannya dan berhasil mengungkapkan aneka data berharga dalam
perjalanan tersebut, timbullah kritik atas ketidak jujuran Snouck Hurgronje.
Sebagian besar data yang diperolehnya secara lisan, didapatkan dari informan yang
justeru percaya atas keislamannya. Secara ilmiah dia tidak menjelaskan cara
bagaimana, kapa dan dari siapa data tersebut diperoleh. Dengan demikian ia
terhindar dari penilaian secara ilmiah. Kenyataan ini cukup memadai [menodai?,
pen.] karir ilmiahnya. Memang pribadi Snouck Hurgronje menampilkan dua
gambar: sebagai ilmiawan dan sebagai politikus.
Pada halaman 123-125, masih dalam buku yang sama, Suminto menyatakan,

[S]ampai kini masalah masuk Islamnya Snouck Hurgronje ini tetap menjadi
persoalan; bahkan majalah Universitas Leidenpada tahun 1980juga masih
mempermasalahkan masuk Islam tidaknya Snouck Hurgronje. Van Koningsveld,
penulis artikel tentang ini dalam majalah tersebut memberikan suatu penilaian,
bahwa Snouck Hurgronje kurang jujur. Kepada orang Islam ia bersikap seolah-olah
muslim dan tidak membantah pembenaran mereka, sebaliknya kepada orang
Belanda sendiri dia tidak pernah menyatakan masuk Islam. Menurut Gobee
tidaklah jelas apakah Snouck Hurgronje masuk Islam atau tidak, tapi yang jelas
para ulama Arab mengambil kesimpulan bahwa dia masuk Islam. Uraian Gobee ini
didramatisir oleh Van Koningsveld, bahwa atas dasar pembicaraan tentang
pengetahuan Islam dengan Snouck Hurgronje, maka para ulama Makkah
mengambil suatu kesimpulan masuk Islamnya Snouck Hurgronje. Sebenarnya
Snouck Hurgronje bukanlah muslim. Para ulama Makkah tertipu dan ini
merupakan kesalahan mereka sendiri. Pada hemat penulis [maksudnya, Suminto
sendiri, pen.] Snouck Hurgronje memang menyatakan diri muslim pada waktu itu,
terlepas dari alasan pura-pura atau tidak. Sebab betatapun tingginya pengetahuan
Islam seseorang, selama dia tidak melaksanakan rukun Islam, maka di mata orang
Islam ia bukanlah muslim. Dalam hal ini andaikata rukun Islam pertama
syahadattidak diucapkan Snouck Hurgronje, sangatlah tidak mungkin dia
begitu saja diakui sebagai muslim. Apalagi semua orang tahu bahwa Snouck
Hurgronje mengucapkan kalimah syahadah, tapi besar kemungkinan bahwa ia
juga menunaikan salat, bahkan mungkin pula melaksanankan puasa; sebab terlalu
sulit agaknya bagi Abdul Gaffar untuk mempertahankan pengakuan Islamnya
selama enam bulan tanpa melakukan ibadah salat, karena tinggal di kota suci
Makkah. Satu hal yang perlu diingat adalah batasan tentang iman dalam agama
Islam, yaitu ucapan lisan yang dibenarkan hati dan dibuktikan oleh amal perbuatan
sehari-hari. Andaikata pengakuan Snouck Hurgronje ternyata kemudian hanya
merupakan pengakuan tipu daya, masalahnya bisa dikembalikan kepada kejujuran
Snouck Hurgronje sendiri, dan bukan kesalahan atau kebodohan orang lain yang
mempercayainya. Setelah berada di Indonesia pun dia berperilaku semacam
syaikhul Islam, tapi setelah kembali ke negeri Belanda ternyata dia menampilkan
gambar yang berbeda antara kulit dan isi. Memang tidak bisa diinkari, bahwa

setelah memasuki lingkungan Fakultas Teologi di Universitas Leiden, Snouck


Hurgronje berada dalam pengaruh para profesor rasionalis saat itu. Mereka tidak
mau menerima hal-hal yang dinilainya irasional dalam agama Kristen, seperti
Trinitas dan kedudukan Yesus sebagai anak Allah, sehingga tidak begitu jauh
jaraknya dengan agama Islam. Namun sikapnya yang pura-pura masuk Islam itu,
betapapun sudah melebihi sifat toleransi atau simpansi, bahkan lebih mendekati
kecurangan dan ketidakjujuran.
Lebih gamblang adalah pendapat W.F. Wertheim, penulis The Indonesian
Society in Transition. Dalam artikel berjudul Snouck Hurgronje en de Ethiek
van Sociaalwetenschappelijk Onderzoek yang dimuat dalam De Gids, 5,
Tahun 1981, ia menyatakan bahwa sikap pura-pura muslim bahkan purapura sebagai teman dari bangsa yang akan diperanginya masih bisa dinilai
sebagai pegawai kolonial yang cakap. Akan tetapi, karena tindakan itulah,
tulis Wertheim, gambaran umum sebagai ilmuwan pada awal karirnya,
ternoda oleh kenyataan ini.
Untuk melengkapi keterangan dari Van Koningsveld dan Suminto serta
keterangan ringkas dari Wertheim, dalam acara bedah buku Dari Buku Ke
Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu P. Swantoro di Aula Pusat Studi
Bahasa Jepang, Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran (Unpad), tahun
2002, Guru Besar Ilmu Sejarah Unpad, Nina Herlina Lubis, menyatakan
bahwa masuk Islamnya Snouck Hurgronje adalah sebuah kepura-puraan
belaka. Hurgronje melakukan itu agar ia dapat masuk ke Mekkah dan
diterima oleh ulama-ulama di sana.
Pernyataan Lubis itu sendiri muncul terkait sebuah uraian menarik yang
dipaparkan Swantoro dalam bukunya, tepat pada halaman 169-170. Di situ,
Swantoro menulis,
Snouck Hurgronje memang menekuni studi bahasa Arab dan Islamologi,
khususnya ilmu syariat. Ia mengalami tinggal di Mekah selama limasetengah bulan

pada 1885. Pengalaman ini dibukukannya dalam bahasa Jerman, Mekka, terdiri
dari dua jilid, yang membuatnya terkenal secara internasional. Buku ini
mengungkapkan idealnya dalam menekuni Islam secara ilmiah: Volledige
beheersing van de schriftelijke bronnen, gepaard aan omvattende kennis van de
levende werkelijkheid. Menguasai sepenuhnya semua sumber tertulisnya, disertai
pengetahuan yang lengkap mengenai realitas yang hidup. Jilid pertama Mekka
berisi sejarah Mekah sampai 1887, yang sebagian bersumberkan bahan-bahan Arab
yang tidak dikenal, akan tetapi yang didapat oleh penulisnya di Mekah. Jilid kedua
melukiskan panjang-lebar dalam tiga bab kehidupan kemasyarakatan dan
rumahtangga, maupun kegiatan di bidang ilmu pengetahuan. Bab keempat
dikhususkan

untuk

menyoroti

sikap-tindak

orang-orang

Indonesia,

yang

merupakan kelompok besar dan yang selama satu tahun penuh hidup di tengahtengah hiruk-pikuk kosmopolitis Kota Suci.
Setelah itu, Swantoro mengemukakan pendapatnya.
Bab IV itu dapat dipandang sebagai preludium atau pengantar bagi
penelitiannya di Hindia-Belanda. Ia ingin mengetahui bagaimana Mekah
mempengaruhi kehidupan rohaniah orang-orang Indonesia. Pengaruh itu tidak
terutama secara langsung dengan pertemuan yang terjadi pada musim Haji, akan
tetapi secara tidak langsung lewat koloni Jawa di Mekah. Sebelum memasuki
Mekah, Snouck Hurgronje telah menulis, De Islam [] is eene macht, die door een
koloniale mogenheid als de onze met ernst besturdeerd en met grote wijsheid
behandeld moet worden. Islam [] adalah suatu kekuatan yang harus dipelajari
dengan sungguh-sungguh dan yang harus diperlakukan dengan sangat bijaksana
oleh kekuasaan kolonial seperti halnya Belanda.

DAFTAR RUJUKAN
Abdurrahman Badawi. Ensiklopedi Tokoh Orientalis (Penerj. Amroeni Drajat).
Yogyakarta: LKiS. 2003.
Alwi Shihab. Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap
Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (Penerj. Ihsan Ali-Fauzi). Bandung:
Mizan. 1998.
H. Aqib Suminto. Politik Islam Hindia Belanda: Het Kantoor voor Inlandsche
zaken (Cet. Ke-2). Jakarta: LP3ES. 1985.
P. Sj. Van Koningsveld. Snouck Hurgronje dan Islam: Delapan Karangan tentang
Hidup dan Karya Seorang Orientalis Zaman Kolonial (Penerj. Redaksi
Girimukti Pasaka). Jakarta: Girimukti Pasaka. 1989.
P. Swantoro. Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia dan Rumah Budaya Tembi. 2002.
Qasim As-Samarra-i. Bukti-Bukti Kebohongan Orientalis (Penerj. Syuhudi
Ismail). Jakarta: Gema Insani Press. 1996.
Ricklefs, Merle Calvin. Sejarah Indonesia Modern 12002008 (Penej. Tim
Penerjemah Serambi, Cet. Ke-3). Jakarta: Serambi. 2010.
Steenbrink, Karel. Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19.
Jakarta: Bulan Bintang. 1984.

_____. Kawan dalam Pertikaian: Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia
15961950 (Penerj. Suryan A. Jamrah). Bandung: Mizan. 1995.
http://arjaenim.blogspot.com/2013/04/tokoh-orientalisme-christiansnouck.html diakses pada tanggal 27 Juli 2013.
http://en.wikipedia.org/wiki/Theodor_N%C3%B6ldeke

diakses

pada

tanggal 27 Juli 2013.


http://id.wikipedia.org/wiki/Bataviaasch_Genootschap_van_Kunsten_en_
Wetenschappen diakses pada tanggal 28 Juli 2013.
https://id.wikipedia.org/wiki/Gereja_Reformed diakses pada tanggal 26
Juli 2013.
http://id.wikipedia.org/wiki/Reinier_de_Klerk diakses pada tanggal 28
Juli 2013.
http://id.wikipedia.org/wiki/Snouck_Hurgronje diakses pada tanggal 26
Juli 2013.
http://sejarah.kompasiana.com/2013/06/08/christiaan-snouck-hurgronje566972.html diakses pada tanggal 28 Juli 2013.
http://lib.uin-malang.ac.id/thesis/chapter_ii/09750002-a-sauqi-s.ps
diakses pada tanggal 26 Juli 2013.
http://majelispenulis.blogspot.com/2013/07/snouck-hurgronje-sangorientalis.html diakses pada tanggal 26 Juli 2013.
http://members.westnet.com.au/gary-david-thompson/page11-39.html
diakses pada tanggal 27 Juli 2013.

http://salam-online.com/2013/05/snouck-hurgronje-seorang-agnostikdan-munafik-tulen-bag-1.html diakses pada tanggal 31 Juli 2013.


http://www.referensimakalah.com/2013/01/biografi-christiaan-snouckhurgronje.html diakses pada tanggal 27 Juli 2013.
http://sejarah.kompasiana.com/2013/06/08/christiaan-snouck-hurgronje566972.html diakses pada tanggal 27 Juli 2013.

Anda mungkin juga menyukai