Anda di halaman 1dari 18

page 1

[INDONESIA-L] Ben Anderson ttg Leng


apakabar@clark.net 27-Nov-97
Forwarded message: From owner-indonesia-l@indopubs.com Thu Nov 27 16:00:59 1997 Date: Thu, 27
Nov 1997 13:55:41 -0700 (MST) Message-Id: <199711272055.NAA27798@indopubs.com> To:
indonesia-l@indopubs.com From: apakabar@clark.net Subject: [INDONESIA-L] Ben Anderson ttg
Lengser Keprabon (1/4) Sender: owner-indonesia-l@indopubs.com
Date: Tue, 25 Nov 1997 12:03:58 -0500 (EST) To: apakabar@clark.net From: ba16@cornell.edu (Ben
Abel) Subject: IND: Ben Anderson ttg Lengser Keprabon (1/4)
BEN ANDERSON TENTANG "LENGSER KEPRABON" (1/4)
Ben Anderson adalah guru ilmu politik di Cornell. Kami mulai wawancara panjang ini dengan membahas
keadaan sekarang, lalu coba melihat pidato "Lengser Keprabon" itu dalam konteksnya. Menurut Pak Ben,
"Kalau Suharto ngomong secara spontan selalu yang nampak adalah kejawennya. Dari mulut
dan benaknya keluar konsep-konsep yang sama sekali tidak berhubungan dengan jaman modern. Kalau
mau pakai bahasa kasar, dia itu lagi kebadaran."
JAMAN GELISAH
T: Sejak bulan Agustus 97 lalu ada tiga krisis di Indonesia: krisis ekonomi, kebakaran hutan dan
kekeringan. Bagaimana Pak Ben memahami keadaan sekarang ini?
J: Keadaan sekarang ini menunjukkan banyak hal. Tapi buat saya yang penting itu, ternyata banyak orang
merasa bahwa pembangunan yang selama ini digembar-gemborkan kepada masyarakat itu sedang
goncang. Lalu pendapat umum -- pokoknya asal ikut pemerintah, asal tunduk atau baik-baik saja,
maka kemajuan dan kemakmuran akan datang dengan sendirinya -- itu jadi goyah.
Malahan ternyata goncangnya bukan hanya di Indonesia saja, tetapi juga di banyak negara lain. Lalu
masyarakat ini semuanya shock. Shocknya itu karena merasa sudah enak, sudah bisa beli ini-itu, bisa
melancong kesana-kemari, eh tahu-tahu kok semuanya macet? Orang Indonesia, orang Thai, orang
Pilipina -- khususnya orang-orang yang berada -- seperti sedang enak-enak mimpi, eh tahu-tahu
dibangunin mimpi buruk.
Sebenarnya sudah lama ada frustrasi dalam masyarakat Indonesia, yang terus meningkat selama 6-7
tahun belakangan ini. Dibuktikan dari banyaknya pemogokan, dari munculnya huru-hara di sana-sini.
Tapi selama ini angin seolah-olah terus di belakang pemerintah. Maka kejadian-kejadian itu
tidak menjadi ombak. Tapi setelah ngliat bahwa pemerintah sekarang sudah kena musibah -- akibat
kolusi, korupsi, jatuhnya rupiah, dan macem-macem hal lain -- maka orang merasa bahwa percik-percik
yang munculnya sendiri-sendiri itu ada kemungkinan bisa berkembang menjadi suatu api. Semua gejala
ini sudah nongol di media massa dan saban hari ada berita baru tentang peristiwa ini, tentang peristiwa
itu. Akibatnya timbul suasana seolah-olah orang lagi menunggu gong.
T: Pak Ben membuat penelitian tentang Jaman Revolusi 1944-46. Pada akhir Jaman Jepang dan selama
Jaman Revolusi itu keadaan ekonomi juga sulit luar biasa. Menurut orang tua kami banyak orang pakai
karung goni karena nggak punya pakaian. Jaman Jepang itu makan nasi sudah termasuk mewah
karena mayoritas rakyat sudah makan bubur, makan tiwul, makan gaplek, makan bekicot, daun singkong,
dsb. Ratusan ribu romusha mati atau hilang begitu saja. Kalau mengingat penelitian tentang Jaman
Jepang dan Jaman Revolusi itu lalu membandingkannya dengan keadaan sekarang, apa catatan Pak Ben?
Apa yang sama, apa yang berbeda?
J: Jauh berbeda. Jaman Jepang itu adalah jaman yang penuh penderitaan yang nyata, bukan penuh impian
buruk doang. Dan penderitaan tidak dengan sendirinya menimbulkan kegelisahan. Kalau orang diculik
menjadi romusha, atau sedang setengah mati karena kelaparan, dia tak sempat menjadi gelisah.
Kegelisahan itu timbul justru dari suasana yang penuh ketidak-tentuan. Yaitu ketika orang merasa bahwa
sesuatu sedang terjadi dengan cepat sekali dengan hasil akhir yang sama sekali tidak jelas. Jadi orang

page 2
merasa terpaksa coba-coba untuk berbuat sesuatu supaya tidak kelewatan arus, atau tenggelam di
dalamnya. Kegelisahan di Jaman Jepang baru timbul pada titik terakhirnya ketika orang-orang mulai
mengerti bahwa Jepang sedang mau kalah. Lalu apa yang akan terjadi? Situasi seperti itu yang
mendorong para pemuda untuk bergerak supaya 'Indonesia Merdeka' cepat-cepat terjadi dari puingpuingnya rejim Jepang. Dan sebelum Belanda, Inggris, dan Amerika masuk.
T: Bagaimana kalau dibandingkan dengan kegelisahan menjelang Peristiwa 65?
J: Saya kira agak berbeda. Karena Peristiwa 65 itu timbul dalam suasana ekonomi yang sudah merosot
bertahun-tahun dan khususnya ketika uang rupiah sudah tak ada harga lagi akibat inflasi yang dahsyat.
Pada tahun 65 itu cari orang kaya di Indonesia itu sudah sulit. Lagipula, konflik-konflik politik makin
lama makin tajam. Peristiwa l Oktober 65 memang suatu shock ketika itu terjadi. Tetapi setelah terjadi
orang siap melihatnya hanya sebagai kulminasi dari suatu krisis yang sudah berlangsung bertahun-tahun.
Orang kiri bisa menilai peristiwa itu sebagai lanjutan dari konspirasi lama yang disiapkan para jendral
dan CIA. Orang kanan bisa menilainya sebagai bukti terakhir dan terserem dari konspirasi lama yang
digodok PKI dan para cokin. Bukannya impian buruk. Tidak banyak orang ketika itu yang perasaannya
shock seperti sekarang. Eh, sudah biasa mewah kok nggak bisa mewah lagi? Dulu sering dapat proyek,
wah sekarang sudah nggak gampang lagi.
KEPERCAYAAN RAKYAT
T: Rapim Golkar mencalonkan kembali Suharto sebagai presiden. Menyambut pencalonan kembali ini
pada tanggal 19 Oktober 97 Suharto pidato dengan banyak kata-kata dalam bahasa Jawa. Pidato tanpa
teks ini cukup panjang, banyak topik yang dia bahas. Kami akan tanyakan empat topik saja:
kepercayaan rakyat, lengser keprabon, madeg pandito dan 'ojo-ojo' itu.
Di bagian pertama Suharto bilang, "Memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, harus
mawas diri atau ngulad sariro hangroso wani," dst. Lalu dia bertanya, "Apakah benar-benar rakyat masih
mempercayai saya?" Bagaimana Pak Ben menafsirkan bagian pertama ini? Apa yang Suharto maksud
dengan "mengucapkan puji-syukur, mawas diri dan kepercayaan rakyat" itu?
J: Ini semacam sopan-santun atau basa-basi politik saja. Karena semuanya itu cuman omongan klise yang
bisa diucapkan setiap waktu. Kalau ingin tahu maksud Suharto yang sebenarnya, lihat saja apa yang
terjadi dalam Peristiwa 27 Juli. Bagaimana dia menggulingkan Megawati dan merusak solidaritasnya
PDI. Dari peristiwa itu jelas bahwa dia berusaha keras supaya Mega dan massanya dihancurkan sebelum
pemilu. Jadi mawas diri itu sama sekali 'ora ono.'
Mengapa Suharto omong seperti ini sekarang? Sedangkan tahun lalu, waktu Peristiwa 27 Juli, tidak. Itu
karena dia tahu bahwa sekarang Indonesia sedang dilanda kebakaran hutan, kelaparan dan krisis ekonomi
yang sangat nyata. Jadi dia cukup mengerti bahwa dia tidak bisa omong seolah-olah semuanya
berjalan lancar. Artinya dia harus omong seolah-olah emangnya rendah hati, mau mawas diri, dsb.
Jadi ini cuman omongan yang biasanya muncul dari seorang boss yang sebenernya galak. Tapi karena
ternyata ada skandal besar di keluarganya dan di kantornya maka paling sedikit dia harus pura-pura
rendah hati. Walaupun maksud yang sebenarnya adalah siapa yang berani melawan bakal saya gebugin.
Ini cuma sandiwara. Tapi sandiwara yang dicocokkan dengan keadaan yang menakutkan.
T: Beberapa orang menafsirkan "kepercayaan rakyat" yang diomongin Suharto itu dengan cara berpikir
modern. Seperti bikin referendum, bikin polling, dsb. Apakah dalam alam pemikiran raja-raja Jawa
kepercayaan rakyat itu memang penting? Apa yang dimaksud raja dengan kepercayaan rakyat itu?
J: Raja jaman dulu jelas tidak banyak mikirin pendapat rakyat yang hampir semuanya buta huruf, hidup di
desa-desa yang terisolir, dan umurnya rata-rata tidak lebih dari 30 tahun. Secara sadar raja Jawa tidak
memikirkan kepentingan rakyat. Tapi kalau kita lihat kejadian-kejadian dalam sejarah Dinasti Mataram,
jelas kepercayaan rakyat itu penting pada saat tertentu. Bukan kepercayaan bahwa si raja itu baik, karena
itu sangat jarang. Yang penting itu apakah rakyat percaya bahwa si raja itu masih punya wahyu.
Kalau rakyat merasa wahyunya si raja sudah pindah, ya sulit untuk ditarik kembali. Dan kalau begitu
kesetiaan rakyat bisa lenyap dalam waktu yang singkat. Dari keadaan demikian si calon raja yang baru

page 3
bisa mendapat sokongan dalam banyak bentuk. Jadi masalahnya adalah psikologi masyarakat. Itu
penting jaman dulu dan saya kira tetap masih ada efeknya sampai sekarang. Tapi sampai kemana ini
bakal berpengaruh dalam bulan-bulan mendatang, saya nggak bisa pastikan.
LENGSER KEPRABON
T: Di bagian lanjut pidatonya Suharto mengatakan seandainya rakyat tidak percaya lagi maka dia, "Akan
menempatkan diri dalam falsafah suksesi pewayangan." Katanya, falsafah itu adalah, "Lengser keprabon,
madeg pandito." Kalau raja tidak lagi memimpin kerajaan, dia bisa menjadi pendeta.
Bagaimana memahami 'falsafah suksesi' versi Suharto itu?
J: Apa memang ada satu falsafah pewayangan? Apalagi falsafah tentang suksesi. Jangan lupa bahwa
suksesi itu kata Barat. Saya nggak tahu apakah ada padanannya dalam bahasa Jawa. Tetapi kalau kita
lihat di pewayangan dan di babad-babad, konsep suksesi sebagai suatu proses konstitusional yang
diatur oleh hukum, itu sama sekali tidak ada. Kalau ada raja baru nongol, itu atas dasar hubungan darah
atau dengan kekerasan.
Menarik bahwa Suharto omong tentang falsafah pewayangan dan tidak bicara tentang falsafah babadbabad. Padahal babad-babad itu adalah sejarah yang sebenarnya dari dinasti-dinasti Jawa sepanjang
jaman. Sebenarnya, suasana dan moralitas yang nampak di wayang dan di babad itu berbeda jauh. Di
dunia wayang, sampai batas tertentu, norma-norma moralitas satria sejati lumayan terbukti. Tetapi babadbabad itu penuh dengan pengkhianatan, dengan kudeta, dengan tipu muslihat, dengan guna-guna, dan
segala macam kebusukan dan kekejaman yang mengerikan.
Dalam babad-babad sulit dicari tokoh seperti Arjuna atawa Yudistira. Sedangkan dalam dunia wayang kita
tidak akan ketemu tokoh bangsanya Ken Arok, Pakubuwono X, dsb. Dan sepengetahuan saya, dalam
Babad Tanah Jawi tidak pernah ada raja yang lengser keprabon. Kalau di-lengser-keprabon-kan itu
ada, dan sering.
Lengser keprabon di dunia wayang, misalnya Mahabharata, yang saya ingat cuma sekali terjadi. Palingpaling Abiyoso. Dan Eyang Abiyoso gagal sama sekali dalam madeg panditonya. Sebagai akibat pilih
kasih antara putra-putranya -- yang nota bene semuanya ada cacat -- pada akhirnya cucu dan cicitnya
saling membunuh secara mengerikan dalam perang Brotoyudo. Jadi, repot kalau Mbah Byoso yang
dijadikan tauladan.
Dan itu satu-satunya kasus. Jadi kalau dikatakan lengser keprabon itu adalah falsafah suksesi wayang, itu
sama sekali tidak benar! Saya juga nggak pasti apakah klise 'lengser keprabon madeg pandito' adalah
sesuatu yang betul-betul kuno atau sesuatu yang dibikin-bikin pada akhir jaman kolonial.
T: Apakah pemikiran Suharto ini cocok dengan pikiran Pak Ben tentang, "The idea of power in Javanese
culture." Misalnya tentang wahyu, sepi ing pamrih, halus, dsb?
J: Pidato itu bisa diartikan sebagai usaha seorang raja yang menghadapi kesulitan yang berat. Lalu dia
cari jalan supaya masih tetap berkuasa. Jaman dulu orang merasa kalau ada gempa bumi, kalau ada
letusan gunung api, ada penyakit menular, semuanya itu pratanda bahwa wahyu sedang pindah. Dan
pasti cukup banyak orang masih punya perasaan seperti itu. Karena mereka lihat banyak peristiwa yang
tidak baik selama dua tahun belakangan ini bisa timbul gagasan bahwa masa-jayanya Suharto sedang
berakhir. Dan memang, banyak orang menilai bahwa mataharinya Orde Baru sedang terbenam. Jadi
dalam hal itu bisa cocok juga dengan the Idea of Power in Javanese Culture.
T: Bayangan Suharto tentang pemerintahan itu sederhana sekali. Katanya, "Kerajaan yang dipimpin oleh
Sang Nata Batara, Sang Prabu. Kemudian dibantu oleh Patih yang bertindak sebagai Perdana Menteri.
Disampingnya itu ada Pandita yang mendampingi Sang Nata dalam rangka perjuangan spiritual."
Udah, cuma segitu!
J: Dari ucapan Suharto kami juga bisa lihat betapa dia tidak punya konsep yang jelas tentang
kepresidenan. Seolah-olah "presiden" itu suatu konsep yang kosong atau semu. Sedangkan "raja" bagi dia
itu konsep yang cocok dengan ide-idenya tentang kebudayaan dan tradisi Jawa.

page 4
Kalau Suharto berpidato resmi semua ucapannya penuh istilah dan bahasa yang kebarat-baratan:
pembangunan yang berkesinambungan, konstitusi, pertumbuhan ekonomi, dsb. Itu memang pidato-pidato
yang ditulis oleh stafnya di Sekneg. Tapi kalau dia ngomong secara spontan cara bicaranya berobah
100%. Ingatlah ledakan marahnya di Pekan Baru, wejangannya yang aneh-aneh didepan KNPI, dimana
dia melepaskan diri dari bahasa resmi.
Kalau dia ngomong secara spontan selalu yang nampak adalah kejawennya. Dari mulut dan benaknya
keluar konsep-konsep yang sama sekali tidak berhubungan dengan jaman modern -- umpamanya
pentingnya Hanacaraka. Kalau mau pakai bahasa kasar, dia itu lagi 'kebadaran.'
Suharto ini orang yang complicated. Dia seorang yang dilahirkan dan dibesarkan dalam masa peralihan
dari dunia lama ke dunia modern itu. Selain itu jangan lupa bahwa pada jaman raja-raja dulu tidak ada
pemilu, tidak ada parpol, tidak ada LSM, tidak ada pers. Jadi sikon sekarang ini sulit dibandingkan
dengan jaman baheula (bersambung-2/4).
BEN ANDERSON TENTANG "LENGSER KEPRABON" (2/4)
Bagaimana memahami pidato Suharto itu dalam konteksnya, ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi,
kebakaran, kekeringan dan kelaparan? "Mau tidak mau Suharto mengerti bahwa banyak bencana dibawah
kediktatorannya yang sangat panjang itu. Bencana-bencana itu dus menyangkut kepemimpinannya baik
dari sudut kejawen maupun dari sudut modern."
MADEG PANDITO
T: Setelah menjelaskan falsafah suksesi itu, Suharto menjelaskan apa tugas seorang pandito, "Pertama,
mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang kedua, mengasuh anak cucu dan cicit supaya
menjadi orang yang berguna bagi negara dan bangsa. Kepada masyarakat akan memberi saran-saran, atau
'wur-wur sumbur.' Kepada penguasa, tut wuri handayani." Bagaimana Pak Ben memahami tugas pandito
versi Suharto ini?
J: Ini sebenarnya agak lucu. Karena dalam dunia wayang pandito itu kan orang yang dihormati karena
pengalamannya dan kewicaksanaannya. Nah, kalau setelah lengser keprabon, si pandito baru merasa
harus mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Kuasa, yah seolah-olah selama hidupnya dia justeru
lumayan jauh dari Tuhan. Jadi ini seperti bau-baunya orang menjelang mati, coba tobat dikit dong!
Apakah ini contoh yang bagus? Lagipula, perhatikan kata-katanya secara terperinci. Si pandito itu ingin
lebih dekat dengan sifat Tuhan yang mana? Ee, kok Tuhan Yang Maha Kuasa. Bukankah sebaiknya dan
malahan perlu selalu didekatin itu Yang Maha Pengasih dan Yang Maha Pemaaf?
Kalau yang kedua, mengasuh anak-cucu dan cicit. Ya, itu jelas sudah lama Suharto kerjakan dengan rajin.
Tapi kalau diasuh sampai menjadi orang yang berguna bagi negara dan bangsa, wah itu masih jauh. Perlu
dicatat juga pada jaman dulu konsep 'berguna bagi bangsa' itu nggak ada. Ketidak-adaan ini bisa dilihat
dari memoarnya Pangeran Diponegoro yang menulis bahwa targetnya adalah "menaklukkan seluruh tanah
Jawa." Bukannya berguna bagi bangsa Jawa. Jadi pikiran "tradisional" Suharto tentang madeg pandito
sama sekali tidak ada hubungan dengan tradisi yang sebenarnya.
Kalau soal tut wuri handayani, itu ajaran Ki Hajar yang muncul pada akhir jaman kolonial. Asalnya,
filsafat birokrat priyayi jaman Belanda, yaitu "perintah halus." Sama sekali tidak berhubungan dengan
dunia wayang, apalagi dengan Babad Tanah Jawi.
Dari pikirannya tentang madeg pandito ini bisa dilihat bahwa Suharto punya mentalitas yang beranekawarna. Ada unsur mental priyayi kecil jaman kolonial, ada unsur dari wayang, ada unsur Makiavelistis
dari Babad Tanah Jawi, ada sedikit ajaran Ki Hajar Dewantoro, ada sisa nasionalisme jaman revolusi, ada
pengaruh sistim militer yang semula diciptakan oleh tentara Prusia, dsb. Jadi ini semacam gado-gado.
Justru karena itu, orangnya menarik.
T: Dalam cerita wayang banyak tokoh raja atau prabu. Misalnya ada Sri Rama, Arjuna Sasrabahu,
Dasamuka, Subali, Yudistira, Kresna, Baladewa, Suyudana, Parikesit, dll. Masing-masing punya ciri

page 5
khasnya sendiri. Pak Ben pernah bikin buku tentang tokoh-tokoh wayang ini. Kira-kira siapa tokoh
cerita wayang yang sifatnya agak mirip dengan Suharto?
J: Saya kira tidak ada. Karena dalam cerita wayang saya tidak ingat ada tokoh yang berjiwa dingin. Tapi
kalau di Babad Tanah Jawi itu mungkin ada. Ya, bangsanya Senopati itulah. Kalau ingin mencari Suharto,
bagusnya dicek dalam Babad Tanah Jawi. Jangan dicari-cari dalam dunia pewayangan.
Kita juga harus ingat juga bahwa dunia wayang itu diselimuti dengan suasana tertentu. Yang penting, dan
ini berulang-ulang diucapkan oleh Ki Dalang, semua yang terjadi itu terjadi karena pada akhirnya sudah
ditakdirkan oleh para dewa. Kalau Kresna tidak jujur atau membohongi Kurawa, itu tidak salah dan tidak
perlu dimaafkan atau dijelaskan secara politik. Karena bagaimanapun Bratayuda ditakdirkan harus
terjadi. Dan tokoh ini atau tokoh itu harus mampus di lapangan waktu perangnya terjadi. Suasana
kosmologis seperti itu sedikit sekali dalam babad-babad.
T: Selama 30 tahun Suharto berkuasa ini, keadaannya mendekati keadaan dalam Babad Tanah Jawi atau
mirip ideal wayang?
J: Orang Jawa pada umumnya mengira bahwa dunia wayang adalah dunia yang realistis tentang
masyarakat Jawa di jaman "sangat dulu." Ada semacam kepercayaan bahwa Pendowo itu emangnya orang
Jawa priyayi, bangsawan Jawa yang sempurna. Orang biasa tidak sadar bahwa Mahabharata
sebenarnya diciptakan oleh seorang penyair Keling. Dan Arjuna versi aslinya bermukim ditepi Kali
Gangga, bukannya di pinggir Bengawan Solo.
Selain itu "sangat dulu" berarti Orang Jawa jelas membedakan antara dunia wayang dan dunia babad,
yang terakhir ini malahan "agak dekat." Cerita wayang bukan cerita yang diciptakan oleh si penyair ini
itu, dan bukan sesuatu yang perlu dicek kebenarannya. Tapi Orang Jawa mengerti bahwa babad adalah
ciptaan manusia, dan ditulis oleh si Anu di keraton Anu. Mereka sadar juga bahwa babad-babad itu
adalah semacam sejarah, yang nota bene ditulis oleh Orang-orang Jawa sendiri, bukan oleh Belanda.
Justru karena asalnya babad demikian, si penulis tidak segan-segan menggambarkan segala macam
kejelekan yang dilakukan oleh raja-raja. Kecuali raja seorang itu yang kebetulan menjadi Gustinya -tentu saja!

page 6
OJO-OJO
T: Bagaimana memahami pemikiran Suharto dibagian akhir pidato ini. Dari soal suksesi mendadak dia
pindah topik, kasih petuah tentang "ojo dumeh, ojo gumunan, ojo kagetan" itu.
J: Mengapa dia pakai bahasa klise itu? Saya kira pertama, karena dia memang percaya bahwa klise itu
punya makna. Kedua, Suharto ini orang yang biasanya tertutup. Untuk manusia macam ini klise-klise
berguna untuk menyembunyikan perasaannya.
Kalau Suharto omong betul-betul spontan, seolah-olah dia nongol di depan umum cuma pakai celana
kolor saja. Seolah-olah topeng kepresidennya bisa tercopot. Lalu kliatan aslinya. Dugaan saya, di balik
topeng itu dia ini mungkin orang Jawa yang paling dingin. Dinginnya bukan main.
T: Dingin dalam arti bagaimana?
J: Dingin dalam arti semuanya diperhitungkan. Kalau kejam, tidak karena marah tetapi karena pasang
strategi. Dia orang yang hati-hati, curiga, jarang bertindak secara spontan. Kalau dia mencoba ramah,
kita tidak merasa ada kehangatan, malahan ngliat kiri-kanan dimana itu batu? Jangan-jangan ada udang
dibaliknya?
T: Bagaimana Pak Ben memahami pidato Suharto itu dalam konteksnya. Dalam keadaan kekeringan,
kebakaran, kelaparan ini?
J: Mau tidak mau Suharto mengerti bahwa banyak bencana dibawah kediktatorannya yang sangat panjang
itu. Bencana-bencana itu dus menyangkut kepemimpinannya baik dari sudut kejawen maupun dari sudut
modern. Saya ingat pada waktu asap kebakaran menghilangkan matari bukan hanya di Kalimantan
dan Sumatra tapi juga sudah menyebar di Malaysia, Muang Thai dan Filipina, untuk pertama kali Suharto
merasa terpaksa minta maaf. Bukan pada bangsa dewek, tetapi hanya kepada bangsa-bangsa tetangga.
Toh minta maaf macam ini sebelumnya tidak pernah terjadi. Tapi minta maaf ini artinya rada semu.
Karena dia tidak langsung mikul tanggungjawab secara pribadi. Kan pengrusakan di Kalimantan akibat
kerakusan Bob Hasan dkk yang dikasih hutan begitu luas justru karena teman main golfnya sang
presiden, dan 'Oom'nya anak-anak.
Kita harus ingat Suharto bisa bertahta selama 30 tahun justru karena dia memang lihai dan pinter main
politik. Saya kira pidato ini sekali lagi menunjukkan sifat itu. Dia mengerti kapan dia harus seolah-olah
rendah hati dan mawas diri. Tapi itu tidak berarti bahwa dia tidak ingin terus pegang kekuasaan sampai
dipanggil Yang Maha Kuasanya.
REAKSI-REAKSI
T: Bagaimana memahami reaksi para pendukungnya yang mengatakan, "Pak Harto demokrat sejati,
negarawan, sangat konstitusional, sangat bijaksana," dsb?
J: Memang pendukungnya harus omong begitu. Itu tiada berarti apa-apa. Mereka akan bilang apa saja.
Dan tidak perlu digubris.
T: Kenapa orang-orang yang bukan pendukungnya masih berusaha untuk menganggap ucapan-ucapan
Suharto ini sesuatu yang serius, atau berhubungan dengan politik modern. Kenapa mereka nggak bilang
itu omong kosong, titik!
J: Saya kira ada dua penjelasan. Pertama, mental kelas menengah di Indonesia yang bagaimanapun dalam
hati kecilnya masih merasa bahwa Suharto itu "Pak Harto." Kalau secara angan-angan mereka "melawan"
suatu rejim yang dianggapnya kelewat korup dan kejam, tapi pemimpin dari rejim itu masih disebut "Pak
Harto," itu menunjukkan bahwa dalam hati kecil mereka masih merasa dekat dengan penguasa. Siapa
tahu nanti bisa dipanggil menjadi menteri.
Saya sudah lama mengatakan kepada anak muda kalau mau betul-betul menjadi oposisi harus merubah
beberapa sikap mental dan kebiasaan sehari-hari. Pertama, masalah penyebutan terhadap Suharto. Bisa
disebut presiden Suharto karena dia memang presiden. Bisa dikatakan Suharto saja, karena memang

page 7
itu namanya. Bisa dikatakan mantan Jenderal Suharto karena memang dia mantan jenderal. Bisa juga
disebut Haji Mohammad Suharto, karena memang pernah naik haji dengan pesawat terbang bersama
keluarganya dan masuk TV. Tapi kalau sebutan "Pak Harto, Mbak Tutut, Mas Bambang," yaitu bahasa
akrab yang semu, dan itu keluar dari mulut seorang oposan, yah itu menjengkelkan! Juga
menunjukkan bagaimana orang-orang ini, yang ngaku dirinya oposan, sebenarnya dalam banyak hal
cuma seperti anak kecil yang awe-awe dari jauh. Minta supaya diperhatikan oleh orang tuanya. Itu
penjelasan pertama.
Kedua, karena hal yang lebih praktis. Kalau seorang profesor atau politikus diserbu wartawan lalu
ditanya, "Bagaimana komentar tentang apa yang dikatakan Pak Harto?" Mereka tidak akan berani bilang
bahwa omongan itu nonsense, atau basa-basi kosong. Jadi yang keluar dari bibirnya cuma yah,
'musti konstitutional,' dsb itu. Jadi ini sebagian juga akibat keadaan pers. Selama beberapa tahun kita lihat
bahwa pers itu isinya bukan informasi penting, tapi banyak wawancara dan pidato. Maka itu
membosankan banget.
T: Dalam wawancara dengan TEMPO Online (34/02, 25 Okt 97) Emha Ainun Nadjib mengajukan
interprestasi begini, "Ia minta ijin, karena dia merasa sudah waktunya lengser keprabon. Jadi bukan
salahnya sendiri kalau ada orang mencalonkannya. Dia ingin menciptakan lakon dimana seolah-olah dia
diminta oleh rakyat lewat MPR." Apa pendapat Pak Ben tentang interprestasi ini?
J: Saya kira itu benar. Ingat bahwa rakyat tidak pernah bisa bersuara lewat MPR. Dari 1000 anggotanya
nggak ada yang tidak diangkat oleh presiden dan bisa dicopot oleh presiden. MPR itu bikinan Suharto.
Jadi ini MPR sandiwara. Emha cukup mengerti itu.
Selain itu Suharto merasa bahwa mulai tahun lalu, dengan nongolnya Megawati, seolah-olah arwah Bung
Karno sudah kembali lagi untuk menghadapinya. Lalu nampak bagaimana Suharto dipukul dalam pemilu
yang belakangan ini. Hasilnya diluar rencana dan tidak memuaskan. Karena itu baik Hartono maupun
Harmoko dilengserken. Boleh dikatakan hancurnya PDI resmi di pemilu itu berarti kebangkitan semacam
golput yang berhasil.
Jadi untuk pertama kali selama Orde Baru skenario yang diciptakan oleh penguasa untuk pemilu
berantakan. Di DPR sekarang cuman tinggal dua partai saja yang berarti. Padahal itu justru sesuatu yang
mau dicegah selama Orde Baru. DPR makin nampak sebagai wayang-wayangan saja. Justru karena
itu, status dan gengsinya MPR harus lebih ditingkatkan lagi, maka itu mesti sering-sering ditonjolkan.
PERAN GANDA
T: Pidato "lengser keprabon" ini disiarkan seluruh jaringan TV di Indonesia, dan bikin banyak orang jadi
bengong. Terutama anak mudanya. Mereka kaget. Katanya presiden, kok ngomongnya seperti ini? Kok
melihat dirinya sebagai raja? Bagaimana Suharto bisa menjalankan peran ganda ini? Sebagai raja
dan juga sebagai presiden?
J: Ini bisa dibandingkan dengan sepak terjangnya sebagian anak-anak muda dari Indonesia, Muang Thai
atau Pilipina yang ditaroh menjadi pelajar atau mahasiswa di Amerika. Tipenya anak konglomerat atau
pejabat yang bodo kemudian disekolahkan di sekolah "lunak" di Boston dan LA. Yang paling
rajin mereka pelajari adalah harga segala macam barang di mall, dan gosip paling anget tentang bintangbintang film, bintang-bintang musik, bintang-bintang basket ball, dsb. Mereka rajin juga mengikuti
pertandingan football lalu bisa teriak keras-keras, "Touchdown!" Maksud kerajinan ini ialah supaya di
mata temen-temennya mereka bisa kliatan paling maju, paling tahu, paling ngetren.
Menyolok bahwa anak-anak ini nggak ada hasrat untuk berhubungan akrab dengan orang Amerika atau
untuk betul-betul mengerti masyarakat Amerika yang sangat beranekawarna. Kemodernan mereka itu
nggak dalam. Tetapi bisa dipakai sebagai senjata terhadap orang Indonesia lain. Mereka tidak bener-benar
masuk dunia modern di Amerika. Mereka cuma ngambil kulit-plastiknya untuk bisa pamer kepada bangsa
dewek. Kamu kan belum punya ini? Kamu belum tahu itu kan? Aduuuuh kasihaaaan. Jadi untuk nongol
di panggung saja. Nah mentalnya presiden mungkin sedikit mirip dengan mentalnya anak-anak penggede
yang konyol itu.

page 8
Buat Suharto dunia yang nyata adalah dunianya di Indonesia. Ya, dia memang bikin perjalanan jangka 10
hari ke luar negeri. Tapi saya tidak percaya dia punya orang asing yang betul-betul jadi temannya. Karena
seluruh mentalnya itu terarah kedalam negeri. Dan dia tahu bahwa untuk menguasai Indonesia dia juga
harus kliatan modern. Kalau mesti pidato di TV, atau ketemu direktur IMF, bossnya Caltex atau duta
besar, dia harus bisa bicara lancar soal anggaran berimbang, defisit anggaran berjalan, pendapatan
perkapita, pemilihan umum, globalisasi. Mobnas termasuk. Tapi apakah dia betul-betul yakin atas
lembaga kepresidenan diantara sekian banyak kepresidenan di dunia ini? Apa dia yakin betul pada UUD45? Saya tidak percaya itu. Mungkin hanya sebagai senjata.
Satu contoh saja. UUD-45 dianggap sakral, tak boleh dirobah atau diganggu-gugat. Tapi UUD-45 ini
secara eksplisit mengatakan bahwa daerah Indonesia adalah daerah bekas Hindia Belanda. Kalau gitu,
pencaplokan Tim Tim jelas melanggar UUD-45. Tapi penguasa senyum-senyum saja, nggak peduli.
Jangan lupa bahwa Suharto adalah seorang yang dibesarkan di desa, lalu ikut KNIL. Tingkat
pendidikannya cuma MULO dan Muhammadiyah di Jaman Belanda. Lalu pada tahun 1967 bisa jadi
presiden. Jadi, ya mungkin dia sendiri heran. Kok saya bisa jadi presiden? Terus mungkin kaget.
Emangnya aneh. Berbeda dengan sejarahnya Ken Arok. Dia itu seorang bajingan desa yang tahu-tahu jadi
raja Singosari, suatu desa dikaki Gunung Kawi. Lumrah, kan? Tapi kalau si Ken Arok jadi presiden, ya
itu luar biasa.
T: Apakah pidato Suharto ini bakal dipercaya oleh pemuda jaman sekarang. Apa mereka bisa mengerti
maksud Suharto dan kemudian menuruti kemauan Prabu Suharto?
J: Wah, saya nggak bisa jawab. Karena sudah begitu lama nggak ke Indonesia. Tapi saya kurang percaya
kalau kebanyakan anak muda bisa dikelabuhin oleh pidato yang beginian. Apalagi banyak anak muda
melihat sendiri apa yang terjadi tahun lalu, dalam Peristiwa 27 Juli. Setidaknya mereka juga ingat bahwa
selama ini Suharto tidak merasa bertanggung-jawab secara pribadi atas bencana-bencana besar yang
sudah terjadi.
Kalau rupiah jatuh, itu bukan salah dia. Kalau ada kebakaran di Kalimantan dan Sumatra, lalu jutaan
orang menderita, itu juga bukan salah dia. Seolah-olah dia sama sekali tidak punya salah. Saya kira cari
orang muda yang betul-betul percaya pidato ini mungkin sulit. Tapi saya tidak bisa buktikan itu. Ini perlu
ditanyakan kepada orang-orang di lapangan (bersambung-3/4).
BEN ANDERSON TENTANG "LENGSER KEPRABON" (3/4)
Salah satu gejala menyolok dalam berbagai krisis sekarang ini adalah karena jenderal-jenderal itu dieem
saja. Mengapa? "Mereka nggak bisa menemukan dalangnya, karena dalangnya itu punya bintang lima.
Kalau mau "tembak di tempat," ya ayo cepat-cepat ke istana, kan? Jadi mereka agak kesulitan."
BIKIN DINASTI
T: Banyak orang mengamati nepotisme dalam MPR yang baru diangkat. Bukan hanya karena tokohtokohnya itu orang-orang yang dekat dengan Suharto. Karena selain adik-adiknya, anak-anak dan
menantu, ada juga pengawal, ajudan, dsb. Tetapi banyak tokoh yang juga memakai kesempatan dekat
dengan presiden ini untuk mengangkat istrinya atau anak-anak mereka sendiri untuk duduk di
MPR. Misalnya Ginanjar membawa 3 adik dan satu anaknya. Wiranto membawa istri dan anaknya yang
baru berumur 21 tahun. Beberapa gubernur (Sumbar, Kaltim, Sumsel, Jambi) datang dengan istrinya.
Beberapa menteri juga datang dengan istri mereka. Seperti Hartono, Harmoko, Feisal Tanjung, Yogie,
Sjarifuddin Baharsyah. Menurut Ketua Golkar, "Nggak ada nepotisme. Mereka punya prestasi." Menurut
Pak Ben gimana?
J: Kita harus ingat bahwa enggak ada orang yang duduk di MPR kalau tidak disetujui oleh Suharto. Jadi
kalau bininya Sjarifuddin Baharsyah dicalonkan tapi Suharto bilang "no," ya tidak bisa naik. Begitu juga
anaknya Wiranto yang umurnya 21 tahun itu. Ini semacam sifat dari sistim patronagenya Suharto. Karena
kamu baik, maka saya kasih tempat untuk kamu sama anakmu dan binimu. Dus punya anak-bini di MPR
cuman salah satu atribut bagi orang-orang yang untuk sementara disenangi oleh penguasa. Tapi jangan

page 9
lupa kalau mulai bikin jengkel si penguasa, maka setiap saat siapa saja bisa direcall. Ingat kasus Sri
Bintang, Marzuki Darusman, Bambang WK, Aberson, dsb.
Kita bisa mengerti semuanya dari sudut patronage. Presiden sendiri tahu bahwa di mata banyak orang,
termasuk juga orang luar negeri, rejimnya dianggap nepotis. Karena Keluarga Besarnya -- yang
emangnya lumayan besar -- ikut-ikutan berkuasa dan ambil untung. Nah, mungkin dia ingin kasih
lihat seolah-olah itu hal yang normal di Indonesia. Bukan hanya dia saja, tapi semua orang Indonesia juga
begitu. Anak orang lain juga "punya prestasi." Tidak hanya Tommy yang gede prestasinya kan.
Sebenarnya gejala ini sudah lama dan banyak terjadi di Asia Tenggara pada umumnya. Di Kongres
Pilipina juga banyak muncul dinasti. Kalau suami jadi gubernur lalu istrinya menjadi wakil di DPR, itu
dianggap lumrah. Dalam politik di Muangthai itu bini dan anak juga masuk DPRnya atas dasar
kekuasaan lokal, duit, senapan, dsb. Kalau gejala ini makin meluas di Indonesia itu mungkin berarti
semacam proses Pilipinisasi atau Thailanisasi dari politik Indonesia dalam rangka semangat ASEAN.
Bisa saza masuk 'Asian Values,' lho.
TOKOH-TOKOH
T: Beberapa tokoh dalam masyarakat menjadi lebih keras suaranya. Misalnya Amien Rais. Dalam diskusi
di LBH, ketika didesak Permadi apakah dia berani mencalonkan diri sebagai presiden, Amien bilang,
"Insya Allah saya berani karena kita mempunyai cita-cita sama" (D&R 4 Okt). Kemudian dalam
wawancara dengan D&R Amien mengajukan beberapa isu penting. Misalnya soal demokrasi, kejujuran
seorang pemimpin, keberagaman masyarakat, visi ke depan, mampu bekerjasama, dsb. Ada tiga soal yang
dianggap paling penting oleh Amien. Soal pengelolaan kekayaan alam, soal pemerintahan yang bersih
dan soal kualitas sumber daya manusia. Bagaimana Pak Ben memahami pemikiran Amien Rais ini?
J: Saya kurang mengerti pertanyaan ini. Karena yang Amien Rais omongin itu boleh dikatakan klise.
Ribuan orang sudah membicarakan itu selama puluhan tahun. Saya tidak melihat ada apa-apa yang
istimewa atau yang baru. Omongan seperti itu sangat umum, sangat moralistis. Ya, baik juga. Tapi saya
tidak melihat ada apa-apa yang luarbiasa.
Kita harus bisa membedakan antara omongan dan tindakannya. Kalau dia bilang presiden harus dipilih,
ini omongan yang saya anggap klise. Kalau dia bilang saya bersedia untuk dicalonkan sebagai presiden
karena saya jelas bersih, baik, demokratis, jujur, dsb. Itu bagus. Tetapi itu masih omongan. Yang penting
kan tindakan? Lihat saja nanti apakah dia akan meneruskan omongan dengan tindakan? Insyallah.
T: Tapi pendapat Amien Rais ini menjadi berita besar. Mengapa?
J: Kalau dengan omongan begitu saja lalu jadi heboh di koran, itu cuman karena pers di Indonesia begitu
dikekang. Pers haus berita tapi banyak berita tak boleh diterbitkan. Omongan seperti ini sama sekali tidak
akan menjadi berita di negara yang persnya agak terbuka. Akan dianggap, ya biasa-biasa saja.
T: Apa Pak Ben mengamati kata-kata atau ucapan menarik dari tokoh lain dalam lakon "Lengser
Keprabon" ini? Apa ada ide atau ucapan yang sudah Pak Ben catat dari Habibie, Gus Dur, Megawati,
Sarwono, Siswono, Mar'ie, Wiranto, Agum Gumelar, Prabowo, atau yang lainnya?
J: Sama sekali tidak ada.
JENDERAL-JENDERAL
T:: Salah satu hal yang kami amati selama berbagai krisis terjadi adalah hampir tidak terdengar suara
jenderal yang biasanya galak. Tidak ada jenderal yang ngomong keras atau membuat analisa tajam
tentang kebakaran hutan, kekeringan atau krisis ekonomi. Biasanya kalau ada apa-apa jenderaljenderal lalu mencari, "Siapa di belakangnya?!" Atau mereka ngumpulin wartawan lalu membanggakan
analisanya yang sudah berhasil, "Menemukan dalangnya." Atau ada jenderal yang akan mengeluarkan
perintah yang lebih buas lagi, "Tembak ditempat!" Sekarang mereka dieeem saja. Mengapa?
J: Mereka nggak bisa menemukan dalangnya, karena dalangnya itu punya bintang lima. Kalau mau
"tembak di tempat," ya ayo cepat-cepat ke istana, kan? Jadi mereka agak kesulitan. Apalagi ini masalah
yang luar biasa besarnya. Kebakaran hutan, krisis ekonomi, dan kekeringan ini bukan masalah 30

page 10
anak muda bikin demonstrasi di Surabaya. Bukan beberapa orang Dayak ngamuk di Pontianak. Ini
masalah yang para jenderal sendiri tidak bisa bereskan. Mereka tidak bisa mengatasi kebakaran hutan.
Mereka tidak mengerti seluk beluknya krisis ekonomi. Jadi yang paling aman mereka tutup mulut saja.
Apalagi mereka pasti sedang nunggu-nunggu, apa yang akan terjadi dalam situasi krisis ini? Kalau
sekarang salah langkah bisa-bisa mencilakakan karir selanjutnya.
T: Diemnya itu karena memang nggak ngerti masalah atau untuk menyelamatkan diri?
J: Ya mereka mau cari aman. Karena keadaan sekarang ini sama sekali tidak bisa disalahkan kepada
PRD, "es-krim" kiri-kanan, dsb. Masak PRD bisa bikin kebakaran di Kalimantan? Yang bener aja. Atau
masa 'bahaya laten' bisa borong bermilyar-milyar dolar, bikin krisis ekonomi? Tidak masuk akal kan?
T: Dalam wawancara dengan D&R (27 Sept) Arief Budiman mengatakan, "Kalau bicara tentang ABRI,
kita bicara ABRI sebagai siapa dulu. Kalau orang-orang yang menduduki posisi strategis, saya kira
mereka setuju (dengan naiknya Pak Harto) karena mereka tergantung pada Pak Harto. Tapi ABRI kan
ada macam-macam: ada bawahannya dan ada orang-orang sempalan yang nggak puas di ABRI."
Selanjutnya kata Arief, "ABRI sempalan ini menunggu momentum atau saat yang baik." Setuju nggak?
J: Itu sulit diterka. Saya dapat kesan sekarang ada semacam tawar-tawaran antara Suharto dengan "Kaum
Serdadu." Karena kita lihat kelompok Wiranto seolah-olah "boleh" menggeser Prabowo dkk. Lalu ada
kemungkinan Wiranto bakal jadi Pangab. Mungkin juga ada semacam tawar-tawaran tentang siapa yang
akan menjadi wapres.
Kalau ada kelompok-kelompok sempalan, itu saya percaya. Tapi kita nggak tahu mereka itu nggak
puasnya sejauh mana. Dan pasti ketidak-puasan tahun lalu berbeda dengan ketidak-puasan tahun ini.
Karena krisis ekonomi sekarang ini sudah memukul setiap warganegara. Setiap tentara, termasuk
jenderalnya, juga kena.
T: Apa ada dasar atau alasan kuat yang membuat elite tentara itu pecah?
J: Saya lihat faktor yang mungkin bisa membuat mereka pecah adalah kalau Prabowo dan 'geng'nya
dikasih kesempatan yang luar biasa. Tentara bakal lihat ada faktor nepotisme di pimpinan angkatan
bersenjata. Itu bisa jadi sumber perpecahan di militer. Kalau seandainya pemerintah ingin mempertajam
lagi masalah abangan lawan santri, itu juga bisa menjadi sumber perpecahan. Tapi saya lihat belakangan
ini seolah-olah ICMI sudah masuk tempat sampah politik. Dalam pemilu umpamanya -- seolah-olah
100% absen. Jadi mereka sudah tidak lagi bikin jengkel tentara.
Kalau tentang masalah kaya dan miskin dikalangan tentara? Yang menarik selama 10 tahun belakangan
ini kita jarang sekali mendengar tentang jenderal yang bilyuner. Jaman jenderal yang super kaya seperti
Ibnu Sutowo dkk itu sudah jauh lewat. Kalau pada tahun 70-an orang Indonesia ditanya siapa orang
yang paling kaya, semuanya tahu jawabannya. Kalau bukan Suharto, ya tentu Ibnu Sutowo. Belakangan
ini keadaannya sama sekali lain. Pasti bukan baju-ijo.
ISU SARA
T: Dalam salah satu seminar Rudini (LPSI) dan Adi Sasono (CIDES) mengajukan ide untuk, "membuat
undang-undang khusus untuk membatasi aset yang dikuasai pengusaha non-pri." Pernyataan ini
mengejutkan banyak pihak. Kemudian dalam "Dialog Nasional" tentang pri-nonpri yang diadakan oleh
CIDES dan Republika tgl 28 Oktober 97 lalu banyak tokoh diundang untuk bicara. Misalnya Sayidiman,
Sofyan Wanandi, Jusuf Kalla, ZA. Maulani, Onghokham, A. Dahana, dll. Mengapa soal SARA ini
muncul kembali pada saat ini?
J: Pertama, yang menarik itu, Rudini dan Adi Sasono kok tidak ditangkep karena menimbulkan isu
SARA. Padahal ini jelas suatu usul yang berbau rasialis. Syukur alhamdulillah mereka aman-aman saja.
Kedua, saya kira isu ini timbul dalam suasana dimana ketegangan antara pri dan non-pri makin terasa.
Dan dalam suasana dimana semua orang yang sadar politik mengerti bahwa biang keladi dari kebakaran
yang menimpa Indonesia dan negara-negara tetangga itu di antara tokoh utamanya justru orang-orang
non-pri bangsanya Bob Hasan, Prayogo Pangestu, dkk.

page 11
Sikap Bob Hasan selama kebakaran juga kliatan sombong sekali. Dan itu menjengkelkan banyak orang.
Dia sama sekali tidak mau ambil tanggung-jawab, malahan secara gendheng menyalahkan orang-orang
Dayak atau petani dan transmigran miskin. Padahal foto satelit dan malahan Menteri Perhutanan
sudah membuktikan bahwa dia sendirilah salah seorang biangkeladinya. Kesombongan dari kelompok
kecil konglomerat non-pri itu memang tidak kalah dengan kesombongan keluarga istana. Jadi ini suatu
isu yang setiap waktu bisa meletus dan bisa dipakai oleh kelompok tertentu untuk kepentingan politiknya.
Tapi kalau Rudini dan Adi Sasono mengajukan ide ini saya kira mereka sedang cari angin untuk masa
depannya sendiri. Boleh dikatakan dalam setiap krisis bakal ada orang yang kerjanya mencari kambing
hitam sambil memancing di air keruh. Dan mengkambing- hitamkan non-pri itu gampang. Tapi bukan
hanya non-pri yang bisa dijadikan kambing hitam. Banyak!
T: Mungkin juga ada keinginan jadi pahlawan dalam suasana kacau ini?
J: Iya, pasti. Rudini mungkin hendak menempatkan diri sebagai orang yang secara tidak langsung berani
ngritik Suharto. Seolah-olah Rudini bilang kalau jadi presiden saya akan lebih baik dari yang sekarang.
Tidak akan tergantung pada konglomerat non-pri. Kalau Adi Sasono harapan jadi presiden itu kecil. Jadi
ini mungkin bisa diartikan sebagai usaha mencari pengaruh dalam kelompok-kelompok Islam yang saling
bersaing.
T: Dalam majalah D&R 18 Okt dan 25 Okt ada debat antara Hikam dari LIPI dengan Achmad
Sumargono, Ketua Pelaksana Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam atau KISDI. Yang
diperdebatkan adalah kasus somasi (panggilan ke pengadilan) KOMPAS yang diajukan oleh KISDI.
Setelah disomasi oleh KISDI itu KOMPAS bagi-bagi duit, pasang iklan dimana-mana, bayar ke si ini,
bayar ke si itu. Bagaimana Pak Ben memahami perdebatan Hikam itu? Dan bagaimana tentang kasus
somasinya?
J: Hikam bilang ada sekelompok elite yang mengangkat diri mewakili umat Islam sekaligus jadi polisi
kebenaran dengan dalih membela kepentingan umat. Di mata Hikam tindakan macem ini jelas tidak
benar. Sedangkan Sumargono jawab mustahil ada orang yang benar-benar mewakili umat Islam
Indonesia. Ini bukan jawaban terhadap apa yang dikatakan Hikam. Seharusnya Margono bilang KISDI itu
tidak mewakili umat dan bukan lembaga yang pakai dalih membela kepentingan umat. Tapi apa bisa dia?
Kesan saya, yang lebih penting, kasus somasi ini menunjukkan ada semacam -- ya, istilahnya mungkin
agak keras -- 'premanisasi' di kalangan Islam. Seolah-olah KISDI mengancam KOMPAS seperti seorang
'debt collector' mengancam cukong. KOMPAS ada dalam posisi seorang konglomerat atau businessman.
Dari pada susah-susah, kasih aja duitnya! Terus preman-preman itu ambil duitnya. Dan, ya sudah,
masalahnya selesai. Tapi sekali waktu preman macam begini akan datang lagi karena mereka pernah
sukses besar dengan begitu gampang.
Saya kira pendapat Hikam betul. Kedua belah pihak -- baik KOMPAS maupun KISDI -- tidak benar.
Jakob memang betul-betul mainkan peranan konglomerat non-pri. Sedangkan kelompok KISDI ini
mainkan peranan 'tukang tagih' macem Yapto atau Yoris. Kasus ini tidak bagus untuk kepentingan umum.
Apalagi untuk kepentingan umat dalam jangka panjang.
T: Ketika krisis ekonomi melanda Asia Tenggara Mahathir menuduh Soros dan konglomerat Yahudi
sebagai biang keladinya. Walaupun dia satu-satunya tokoh Asia Tenggara yang mengatakan ini tetapi
banyak orang yang percaya. Tokoh yang lain -- Chavalit, Ramos, Goh Chok Tong dan Suharto -- tidak
punya pikiran seperti ini. Mengapa ide seperti ini muncul? Dan mengapa banyak pendukungnya?
J: Kalau Mahathir punya pikiran demikian, itu tidak mengherankan. Kalau baca buku "The Malay
Dilemma" yang dia terbitkan pada tahun 50-an di Malaysia, kita bisa lihat bahwa mentalnya dari dulu
penuh dengan prasangka-prasangka rasialis. Kerangka berpikir dia dalam menghadapi masalah adalah
"ras ini begini, ras itu begitu." Bukunya penuh kecurigaan dan konspirasi khayalan. Ini buku ditulis 40
tahun yang lalu dalam situasi yang jauh berbeda dengan jaman sekarang. Tapi saya lihat memang
Mahathir orangnya begitu. Jadi nggak aneh juga kalau dia omongin makar Yahudi se-Dunia. Tapi
sebenarnya itu tidak penting, karena bagaimanapun dia itu cuman seorang perdana menteri dari
suatu negara kecil yang dalam konteks global sebenarnya nggak banyak artinya.

page 12

Apa dia punya banyak pendukung? Itu saya masih belum lihat. Mungkin saya kurang mengikuti korankoran dan majalah-majalah. Tapi saya tidak melihat banyak orang langsung membela Mahathir. Malah
ada beberapa pejabat Malaysia yang secara tidak langsung memperlihatkan rasa malu atas gegabahnya
mereka punya boss.
T: Sejauh mana peranan konglomerat Yahudi dan Tionghoa dalam krisis ekonomi Asia Tenggara? Karena
mereka ini memang orang-orang yang betul-betul punya duit banyak dan juga punya jaringan
internasional.
J: Ini bukan masalah suku atau ras. Masalahnya orang-orang spekulator! They come from all over the
world. Tidak hanya Yahudi atau Tionghoa. Everybody has been speculating. Yang mula-mula
menimbulkan krisis -- mereka yang bikin begitu banyak hutang -- ada konglomerat Tionghoanya, tapi
banyak juga yang pribumi. Dan bukan orang-orang gede saja.
Di Muangthai, umpamanya, selama 10 tahun belakangan ini saya lihat siapa saja yang punya duit sudah
ikut spekulasi di sektor properti. Banyak orang yang bangun gedung-gedung tinggi, kemudian gedunggedung itu kosong karena nggak ada penyewanya. Atau beli kondo dengan harapan dua bulan lagi bisa
dijual dengan harga dua kali lipat. Yang "bikin gara-gara" adalah seluruh kelas menengahnya. Di
Indonesia juga mirip kan? Bupati itu, bini pejabat ini, seluruh kelas menengah itu mau cepet kaya dengan
spekulasi, bukan dengan produksi. Malaysia juga begitu. Jadi siapa biangkeladi yang sebenarnya?
Yah, bangsa dewek.
NASIONALISME SUHARTO
T: Kami sering mendengar Suharto memperjuangkan kepentingan nasional. Misalnya dengan munculnya
proyek mobil nasional, motor nasional, pesawat terbang nasional. Tapi disisi lain kami lihat nasionalisme
itu tipis. Misalnya dengan hutang nasional yang sudah mencapai rekord nasional. Menurut Econit, setelah
pinjaman IMF yang baru ini maka total hutang sudah sampai U$145 milyar. Untuk bayar bunga dan
cicilannya saja sudah bakal bikin repot seluruh rakyat. Kami lihat juga boss-boss itu tidak banyak peduli
dengan jutaan penduduk yang terkena bencana "asap nasional" itu. Suharto sendiri cepat sekali "minta
petunjuk IMF" ketika ekonomi nasional kacau. Bagaimana memahami nasionalisme Suharto ini?
J: Saya nggak begitu jelas dengan pertanyaan ini. Prinsip mobil nasional itu saya tidak anti. Tapi kalau
mobil nasional dibikin oleh orang Korea, itu kan dagelan saja. Tapi ini bukan di Indonesia saja. Di
Malaysia juga yang dianggap mobil nasional itu nggak mungkin jadi kalau bukan Jepang yang
urus. Kalau pinjam duit di luar negeri, ya nggak apa-apa asal bisa bayar pada waktunya. Masalahnya
karena mereka sudah minjem lalu tidak mau bertanggung jawab. Mau seenaknya pinjam tanpa
memikirkan kemungkinan krisis ekonomi di kemudian hari.
Kalau perkara bencana asap nasional saya merasa sukar membayangkan kalau boss-boss itu memang
perduli. Bagaimana kalau besok pagi Bob Hasan nongol di TVRI dan nangis mikirin nasib anak-anak
suku Dayak yang 'diasep' itu. Siapa akan percaya? Apa ini tidak lebih konyol lagi? Mungkin lebih baik
mereka pura-pura tidak peduli.
Nasionalisme Suharto saya kira ada. Bagaimanapun juga dia produk dari revolusi. Cuma itu suatu
nasionalisme yang sangat konservatif. Dan dia tidak membedakan antara kepentingan bangsa dan
kepentingan dirinya sendiri.
ARUS TUNGGAL
T: Pak Ben pernah menulis makalah untuk seminar tentang "Demokrasi di Indonesia" di Universitas
Monash tahun 92. Waktu menutup makalah itu Pak Ben bilang, "We do not exactly feel today that we are
in an Age in Motion, but we are in an era where there is a stronger sense of a single 'arus' than at any time
in the last half century." Apa yang Pak Ben maksud dengan 'arus' itu? Apakah sekarang arus itu semakin
jelas?
J: Pada waktu menulis itu maksud saya bukan kata 'arus' yang harus digaris- bawahi. Tapi kata 'single.'
Sampai tahun 60-an masih banyak orang di dunia percaya bahwa kapitalisme akan hancur. Bahwa
sosialisme adalah masa depan manusia. Tapi sejak 10 tahun belakangan ini banyak orang merasa

page 13
sebaliknya. Karena amblesnya Uni Soviet, selesainya perang dingin, dan suksesnya Tiongkok Komunis
menjadi juara No. 2 di dunia dalam rangkaian korupsi besar setelah Indonesia yang terkenal antiKomunis. Dengan selesainya Perang Dingin orang semakin merasa bahwa kapitalisme itu adalah satusatunya masa depan.
Kalau sekarang ditanyakan gimana maunya negara-negara Dunia Ketiga ini? Rasanya tidak bakal banyak
menimbulkan perdebatan. Saya tertarik pada apa yang diucapkan oleh si Jiang, anak emasnya Deng Xiao
Ping, waktu barusan mengunjungi Amerika. Dia cepet-cepet ke Wall Street, ke Harvard dan bilang, "Kami
juga mau demokrasi, lho. Kami juga menghormati ini-itu, kok." Yang menyolok dalam kalimat ini adalah
kata 'juga.'
Kita lihat perbedaan besar dengan yang diucapkan oleh tokoh-tokoh politik dunia pada tahun 50-an.
Misalnya di PBB Bung Karno pernah bilang, ayo kita rame-rame "Membangun Dunia Kembali." Ada
juga yang ngomongin, "Ayo kita hapuskan itu penghisapan manusia oleh manusia," dsb. Sekarang ini
jarang sekali kita denger omongan begitu. Memang ada satu usaha untuk bikin arus baru yang sedikit
menyimpang dari kemonotonan global, yaitu dicetuskannya konsep "Asian Values." Tapi nggak laku.
T: Nggak laku di Asia atau nggak laku untuk dunia pada umumnya?
J: Saya kira semua tahu, "nilai-nilai Asia" ini cuma omongan penguasa-penguasa otoriter untuk
memperkokoh rejimnya dan omongan kawan se'geng' di lapangan internasional. Orang di Asia pada
umumnya tidak merasa dirinya 'Orang Asia.' Mereka baru menjadi Orang Asia kalau ada di Amerika atau
di Eropa. Dan itu biasanya hanya atas dasar warna kulit, bentuk mata, dan potongan badan saza di tengah
orang-orang bule yang belum tahu Indonesia atau Laos itu dimana letaknya. Kalau orang Indonesia
mangkalnya di Blitar, dia tidak merasa diri sebagai "Orang Asia."
"Asian Value" itu cuman fantasi dari segelintir pejabat, dan hanya dipamerkan di luar negeri. Nilai-nilai
yang sebenarnya hidup dalam masyarakat Asia, ya nilai-nilai beriman, nilai-nilai Budha, Islam, Kristen,
Katolik, dsb. Dan itu bukan nilai-nilai Asia.
KEBADARAN
T: Dalam wawancara tahun lalu (Apakabar, 11 Juli 96), Pak Ben memakai istilah 'malihan' untuk
menggambarkan raksasa jahat yang bisa merubah dirinya menjadi satria yang halus dan baik budi. Tapi
pada titik terakhir lakon raksasa malihan ini topengnya jatuh. Itu disebut 'kebadaran.' Apakah keadaan
sekarang ini masih cocok dengan lakon "satria malihan yang kebadaran" itu?
J: Masih. Cuma belum sampai goro-goro. Tapi Togog dan Bilung/*/ sudah masuk di 'kelir,' sudah nongol
di layar.
(Catatan editor: /*/ Togog dan Bilung (adiknya, kadang-kadang disebut juga Sarawita) adalah
punakawan satria yang jahat. Sifat mereka itu tidak setia dan suka pindah-pindah majikan).
(Bersambung-4/4)
BEN ANDERSON TENTANG "LENGSER KEPRABON" (4-Habis)
Kalau Suharto bicara spontan terlihat sebenarnya raja ini tidak paham sejarah, tidak paham tradisi
etniknya sendiri, tidak paham agamanya sendiri, dsb. Mengapa begitu banyak orang bisa ketipu, begitu
banyak orang pinter yang sempet dibodo-bodoin? Dan mengapa bisa ditipu begitu lama? Dimana
rahasia 'kesaktian'nya Prabu Suharto ini? Menurut Pak Ben, "Saya kira orang Indonesia pada umumnya
ndak tertipu, mereka tahu siapa Suharto. Buat mereka yang penting adalah ekonomi yang diciptakannya,
bedil yang dipergunakannya, dan ketiduran-pasca-trauma besar yang diaturnya." Dan apa rahasia Dinasti
Mataram yang bisa berumur panjang (400 tahun)?
KELUARGA RAJA
T: Untuk mempertahankan kekuasaan raja jaman dulu mau mengorbankan orang tuanya sendiri, anaknya,
menantunya, sahabatnya, dsb. Apakah gejala itu juga terlihat dalam sejarah raja Suharto ini?

page 14
J: Yah, lakonnya Suharto belum selesai. Selama 30 tahun belakangan ini justru dia selalu berusaha untuk
menjaga kepentingan Keluarga Besarnya. Baru sekarang timbul gejala pencekalan terhadap Probo,
Bambang cs dalam situasi yang kepepet. Tapi nasibnya si Sigit memperlihatkan bagaimana akibatnya
kalau 'putra mahkota' bikin jengkel si sinuhun.
Yang lebih penting adalah fakta bahwa Presiden adalah jabatan yang sangat berlainan dengan jabatan
Raja. Presiden adalah jabatan modern, yang berdasarkan UUD dan hukum yang sedang berlaku, plus
'mewakili' bangsa. Raja-raja dulu tak pernah merasa menjadi wakil bangsanya.
Jaman dulu di Eropa seorang raja bisa menambah luasnya kerajaan dengan kawin dengan putri raja lain
yang membawa sebagian dari kerajaan babenya sebagai, yah semacam 'mahar.' Pada jaman nasionalisme
modern itu tidak mungkin lagi. Sehingga perkawinan pembesar menjadi hal pribadi, tanpa efek politik.
Jaman dulu dianggap lumrah kalau putra-putra si raja dikasih jabatan penting, dan putri-putrinya
didagangkan ke raja lain atawa bangsawan yang tinggi. Itu semua bagian dari 'seni'nya menjadi raja yang
sukses. Itu lumrah. Makanya pada jaman dulu konsep nepotisme yang negatip itu tidak ada dalam kamus
Jawa, Sunda, Batak dan lainnya. Tetapi jaman sekarang praktek-praktek tadi dicap sebagai nepotisme dan
dianggap irrasional dan anti-demokrasi.
Selain itu, Asia diluar cengkeraman agama Kristen dengan tabiat resminya yang monogami. Raja-raja
Asia biasa berbini banyak, sehingga anak-anaknya bisa jadi ratusan. Padahal 'warisan' si Babe itu terbatas
dan harus dibagi-bagi. Bagaimana caranya supaya anak-anak tidak jadi tengkar mati-matian? Nggak
ada! Makin berbiak, makin seru persaingan diantara keturunannya. Apalagi ketika Belanda masuk dan
berangsur-angsur menarik bagian-bagian dari pulau Jawa menjadi bawahan Batavia. Dengan demikian
'warisan' tadi makin lama makin ciut. Jadi tambah serulah kompetisi. Diponegoro semula berontak karena
tak kebagian yang semestinya. Dan pada akhirnya raja-raja Jawa terpaksa hidup dari subsidi-subsidi dari
pusat, dari Kumpeni. Mirip gubernur-gubernur sekarang harus hidup dari subsidi yang dibagi-bagi Pusat,
biar mereka jinak.
T: Kalau tentang sabahat-sahabatnya?
J: Hubungan pertemanan itu kan hubungan yang setara, tidak ada yang lebih atas atau lebih bawah.
Karena raja -- orang yang berkuasa mutlak -- merasa dirinya wakil atau utusan atau titisan dewa, maka
dia anggap tidak ada orang yang setara atau sama dengan dia. Selain itu, karena tidak ada
hukum, konstitusi, dsb, maka raja merasa setiap saat dia bisa saja dilengserkan. Karena itu dia selalu
penuh kecurigaan. Dalam babad-babad kata 'teman' itu juga tidak pernah nongol. Raja-raja di Eropa juga
tidak punya teman. Apa Suharto punya sahabat? Saya belum pernah dengar.
BONEKA 'ARUS TUNGGAL'
T: Begitu ekonomi mau ambruk, cepat sekali IMF datang dan memberi utang baru U$23 milyar. Kalau
ditambah dengan bantuan negara-negara donor, utang barunya mendekati U$40 milyar. Mengapa IMF
begitu murah hati? Dan apakah gejala ini juga terlihat dalam hubungan antara Dinasti Mataram dengan
Kumpeni dan pemerintah Hindia Belanda?
J: Yah jelas. IMF dan World Bank sama sekali nggak punya maksud untuk menggulingkan Suharto atau
menggoyangkan stabilitas negara-negara di Asia Tenggara. Mereka cuman ingin supaya Jakarta taat pada
peraturannya, menjadi "anak baek-baek." Mereka sendiri tidak tahu bagaimana jadinya Indonesia
nanti kalau mereka terlalu keras.
Jaman Kumpeni lain. Belanda juga berniat memakai raja-raja kecil bawahannya demi Rust en Orde, kalau
dipribumikan sekarang menjadi 'kamtib,' keamanan dan ketertiban itu. Raja-raja itu baru digulingkan
kalow 'mbalelo.' Dan sikap mbalelo jarang nongol. Tapi pada jaman itu Kumpeni punya banyak kartu
yang baik. Dan Kumpeni tahu, kalau raja ini-itu ditumbangkan, masyarakat yang 95% petani buta huruf
itu tak akan banyak tahu-menahu atawa peduli. 'Masa depan' Jawa pada masa itu jauh lebih terang di
mata si bule, daripada masa depan Indonesia sekarang ini.
T: Dinasti Mataram umurnya 400 tahun. Sejak didirikan oleh Senopati sekitar 1584 sampai Hamengku
Buwono-10, Paku Buwono-12, dsb sekarang ini. Mengapa dinasti ini bisa bertahan begitu lama? Misalnya
kalau dibandingkan dengan Dinasti Majapahit yang cuma 200 tahun. Majapahit mulai sejak didirikan

page 15
Raden Wijaya 1293 s/d Brawijaya-5 yang dikabarkan 'mukso' atau 'menghilang' di puncak G. Lawu tahun
1520.
J: Mataram bisa panjang umur karena bersedia menjadi hamba Kumpeni. Seharusnya dinasti ini habis
dengan larinya Amangkurat-I ke Tegalarum mencari bantuan dari Kumpeni. Atau habis ketika kraton
Kartasura diporak-porandakan oleh Geng Cokin yang berani anti-Belanda. Tapi Belanda melihat bahwa
dinasti ini tak punya watak yang jantan. Mereka gampang diperalat asal dikasih subsidi, dibangunin
kraton-kraton baru, asal ada basa-basi dikit. Lama-lama raja ini menjadi boneka doang. Dan boneka
emangnya bisa hidup lama.
KESAKTIAN SANG PRABU
T: Kalau dia bicara spontan terlihat sebenarnya Suharto tidak paham sejarah, tidak paham tradisi
etniknya sendiri, tidak paham agamanya sendiri, dsb. Mengapa begitu banyak orang bisa ketipu?
Mengapa begitu banyak orang pinter yang sempet dibodo-bodoin? Dan mengapa bisa ditipu begitu lama?
Dimana rahasia 'kesaktian'nya Prabu Suharto ini?
J: Kita harus ingat bahwa saat 'kebadaran' ini hanya sekali-sekali terjadi. Biasanya Suharto bicara dengan
suara seorang Presiden, bukannya dengan suara sinuhun. Bahwa Suharto dan isterinya punya mental
pingin-menjadi-sinuhun sebenarnya sudah lama ketahuan. Lihat saja bakal kuburannya di Mangadeg
yang seolah-olah bersaing dan mau mengatasi bangsanya Imogiri dan kuburan-kuburan Mangkunegaran.
Bandingkan dengan Bung Karno, yang tak pernah bikin gituan. Tapi orang diem-diem ketawa saja, tak
dianggap serioes.
Pernah kedengaran saudagar kecil di Solo kasih komentar tentang Mangadeg dengan nada sinis, "Kok
koyo kuburan Cino?" Emangnya megah, tapi pada suatu hari bisa saja digusur. Saya kira orang Indonesia
pada umumnya ndak tertipu, mereka tahu siapa Suharto. Buat mereka yang penting adalah ekonomi
yang diciptakannya, bedil yang dipergunakannya, dan ketiduran-pasca-trauma besar yang diaturnya.
Kalau diem-diem dia merasa diri seperti raja, yah biarlah.
T: Rakyat Indonesia yang 'non-Jawa' itu lebih banyak. Selain yang di luar Jawa, di P. Jawa sendiri ada
suku Sunda dan Madura. Apakah mereka juga terpengaruh oleh konsep "raja yang punya wahyu" itu?
J: Apakah ada dalam budaya tetangga - Sunda, Bali, Madura? Saya kurang tahu. Tapi diluar Jawa belum
pernah saya dengar tentang konsep wahyu. Di daerah sana, teknik menjadi raja besar agak lain. Silahkan
baca umpamanya Hikayat Hang Tuah dari Melayu. Tapi dimana-mana raja berusaha untuk
meyakinkan masyarakat bahwa dia mewakili, diutus, inkarnasi, titisan, atawa punya 'bekking' dari Dewa.
Dan Dewa ini bisa macam-macam, tergantung jaman, agama, dan situasi.
Jadi pada dasarnya sama dengan Jawa. Begitu juga dengan raja-raja Eropa jaman dulu. Ingatlah "The
Divine Right of Kings." Di Eropa agama Kristen cukup dinodai oleh kongkalikong pemimpinnya dengan
nonsens macem ini. Mau saja para uskup menobatkan raja-raja di gereja. Memalukan! Di Timur Tengah,
jabatan Kalifah -- artinya penerus dari Nabi Muhammad SAW -- plus Sultan diperkokoh oleh apa yang
diajarkan oleh sebagian ulama. Padahal Nabi Muhammad SAW tidak pernah mau dijadikan seorang
sultan alias prabu. Sehingga masalah lengser keprabon dereng wonten pada Jaman Mas itu.
BAHASA DAN KEKUASAAN
T: Bung Karno juga suka memakai istilah-istilah dalam Bahasa Jawa. Misalnya gotong royong, ganyang,
gontok-gontokkan, holopis kuntul baris, sontoloyo, dsb. Apa ada bedanya istilah-istilah yang dipakai BK
dengan yang dipakai Suharto?
J: Bung Karno suka memakai kata-kata Jawa -- dengan bentuk potong-potongan, bukan kalimat -- karena
dia menikmati lezatnya, 'hidup'nya kata-kata itu sebagai semacam bumbu untuk masakan bahasa
Indonesianya. Jarang beliau pakai klise-klise yang membosankan. Dan orang non-Jawa merasa ikut
nikmat sehingga kata-kata Jawa seperti ganyang, gotong-royong, dsb bisa cepat masuk kamus sehariharinya. Tapi Jawanya Suharto kebanyakannya berupa kalimat, seolah-olah pepatah. Tak masuk diakal
bahwa 'lengser keprabon madeg pandito' akan dipakai sehari-hari oleh orang non-Jawa kecuali sebagai
lelucon politik. Satu-satunya kata Jawa yang diperkenalkan oleh Suharto dan menjadi populer adalah:
gebug!

page 16

JIWA BIROKRAT
T: Dalam sejarah Indonesia modern banyak tokoh hebat yang juga dari suku Jawa. Misalnya Bung Karno
yang satu generasi diatas Suharto. Pramoedya yang hampir seumur dengan Suharto, Pram lahir 1925,
Suharto lahir 1921. Dan Gus Dur, satu generasi dibawah Suharto. Mereka nggak punya ide bahwa
presiden itu mirip raja. Mereka nggak kedengeran memakai klise-klise kuno seperti Ojo Dumeh, dsb.
Mereka juga nggak tergila-gila dengan konsep Tut Wuri Handayani, dsb. Mereka beda dengan Suharto!
Mengapa?
J: Kita ingat tokoh Sastro Kassir di novel-novelnya Pram yang dinamakannya karya Buru. Dia bersedia
berbuat apa saja 'demi jabatan.' Menarik bahwa orang-orang yang disebut tadi sebagai tokoh Jawa yang
hebat tak ada diantaranya seorang pegawai negeri, baik sipil maupun militer. Mereka orang merdeka, dan
dua diantaranya memang orang pergerakan. Sedangkan Suharto sepanjang hidup menjadi birokrat.
Semula sebagai bintara di KNIL, terus masuk polisi dan kemudian PETA bikinan Jepang selama
pendudukan Jepang, dan setelah itu masuk ABRI. Selama jaman kolonial dan pendudukan Jepang sama
sekali tak ada bukti bahwa dia menjadi oposan atau aktivis. Malah sebaliknya, dia berhamba kepada
KNIL dan Gunseikanbu. Tentu saja tidak sendirian. Ratusan ribu orang Jawa lain demikian.
Seumur hidup saya belum ketemu dengan birokrat di negara manapun juga yang punya jiwa yang
merdeka dan kreatip. Mereka dilatih untuk melaksanakan perintah atasannya dan tidak mbalelo. Waktu
masih muda harus membiasakan diri untuk sering kena semprot atasannya dengan harapan 'mulia' bahwa
setelah 20 tahun naik pangkat terus akhirnya berkesempatan nyemprotin bawahannya. Oya, ojo dumeh
bukan klise. Itu bahasa sehari-hari dan maksudnya hanya sebagai teguran: jangan, asal mumpung, jadi
angkuh. Kata itu juga banyak disebut dalam pembelaannya Disman di depan Mahmilub.
KEKEJAMAN DAN KEKUASAAN
T: Kekejaman raja-raja jaman dulu itu terjadi bukan hanya di Jawa. Kami sudah nonton film Braveheart,
tentang pemberontakan rakyat Skotland terhadap kesewenang-wenangan raja Inggris, Edward-1, pada
tahun 1297. Waktunya kira-kira sama dengan jamannya Raden Wijaya, cicitnya Ken Arok,
mendirikan Majapahit pada tahun 1293. Pemimpin pemberontakan itu, William Wallace (dimainkan oleh
Mel Gibson) tertangkap. Dia disiksa dengan kejam sekali. Badannya diiris-iris, lalu dipotong jadi empat
dan dikirim ke empat penjuru negeri. Kepalanya ditanam di London Bridge. Kekejaman itu dilakukan
untuk membuat takut rakyat. Budaya Jawa dan Inggris itu beda sekali. Toh kebuasan raja terjadi juga.
Apakah ini terjadi karena budaya atau karena tidak ada kontrol dalam 'sistim politik'nya?
J: Itu kebiasan di mana-mana di jaman pra-industri. Raja-raja merasa perlu ditakutin dan disegani. Tetapi
mereka nggak punya polisi yang besar dan teratur, apalagi tentara tetap dan profesional. Tidak punya
badan inteljen strategis. Tak punya alat penyadap tilpon karena tilpon belum ada. Penjara modern tidak
ada, malahan yang primitif juga relatif jarang. Jadi hampir semua peralatan negara modern yang bisa
dikerahkan untuk nakutin orang itu belum ada. Maka, satu-satunya alat yang ampuh adalah siksaan
spektakuler dan eksekusi yang mengerikan yang justru dipertontonkan kepada masyarakat.
Jaman sekarang siksaan dan eksekusi tetap banyak tetapi dijalankan diem-diem di belakang pintu tebal,
dan masyarakat tak boleh menyaksikannya. Horornya Hitler hanya mungkin atas dasar modernitas dan
jaman industri. Gulagnya Stalin begitu juga. Jadi ini bukan perkara kebudayaan, tapi perkara jaman
dan dasar ekonomi.
Orang-orang buas ada di sepanjang jaman dan dalam setiap kultur. Tapi dasar ekonomi-teknologi berubah
sehingga sekarang ada perbedaannya. Dalam Perang Vietnam, Amerika sempat membunuh kira-kira 3
juta manusia di Vietnam, Kamboja dan Laos, sebagian besar dengan bom dan alat supermodern,
sedangkan orang Amerika yang mati 'cuman' 48 ribu manusia. Toh kalah. Sebaliknya, pada tahun 65-66
di Indonesia ketika lebih dari setengah juta orang Indonesia mati, alat sembelehnya jauh lebih sederhana,
karena tingkat ekonomi Indonesia emangnya sederhana: golok, tombak, klewang, clurit, bedil, bukannya
gas racun atawa bom.
T: Dalam negara modern seperti di AS ini, 'raja'nya juga bisa kejam luar biasa. Misalnya Nixon (film
sejarah "Nixon" sudah dibuat oleh Oliver Stone, Nixon dimainkan oleh Anthony Hopkins). Ini orang yang
membom Kamboja, Vietnam dan Laos. Korbannya jutaan orang, dan penderitaan rakyat di sana -- karena

page 17
bom-bom beracun, ranjau darat, dsb -- masih terjadi sampai sekarang. Nixon membohongi rakyatnya
sendiri. Dia baru apes gara-gara bandit swasta yang dia sewa untuk ngobrak-abrik sarang partai lawannya
di hotel Watergate itu ketangkep. Supaya bisa terus kuasa, dia tega mengorbankan teman-teman dekatnya
sendiri seperti Bob Haldeman (White House Chief of Staff), John Ehrlichman (Counsel to the President),
John Mitchell (Attorney General). Mengapa Nixon -- orang yang sangat terdidik lalu menjadi presiden
suatu negara modern, dengan penduduk yang terdidik, dengan lembaga-lembaga negara yang modern -toh tindakannya tidak lebih beradab dibandingkan raja-raja jaman dulu?
J: Nixon memang bejat. Tapi ada perbedaan yang menyolok dengan raja-raja dulu baik di Eropa maupun
di Jawa: dia tidak akan terlalu berani bunuh bangsa dewek. Ingatlah krisis besar ketika empat mahasiswa
di Universitas Kent State dibunuh polisi ketika lagi protes perang Vietnam. Di Indonesia selama
Orde Baru ngabisin nyawa mahasiswa -- seperti di Ujung Pandang tahun lalu -- yah, itu dianggep
perkara kecil dan tak pernah menggoncangkan pemerintah. Emangnya mbalelo, lantas semestinya
digebugin, kan? Sedangkan yang banyak dibunuh Nixon itu, yah orang asing yang kampungnya jauh dari
Amerika. Dan ini semua dengan dalih 'perang.' Sepanjang sejarah manusia, perang
menyucikan segalanya. Asal tentara lagi perang, tidak dianggap kriminal kalau membunuh manusia lain.
Sedangkan raja-raja dulu biasanya minta korban bangsanya sendiri. Pertama, karena mereka dianggap
'hamba'nya, atau 'kawula'nya, bukan warganegara. Kedua, karena ketika itu nggak ada pers dan TV. Dan
ketiga, alat pembunuh jarak-jauh -- pembom dahsyat B-52, peluru kendali ICBM, dllnya -- belum
ada. Seandainya si raja dulu ingin menyaingi Hitler dalam perlombaan menjadi juara "Orang paling
kejam sedunia," mana bisa menang! Alatnya masih kurang canggih.
Sepanjang sejarah raja-raja kuno di Jawa, maupun sejarah Kumpeni, tak pernah ada penguasa yang
sempat ngabisin setengah juta pribumi dalam beberapa bulan saja seperti yang terjadi tahun 65-66. Bukan
karena mereka itu lebih manusiawi, bukan/*/. Tapi karena birokrasi-maut dan alat-alat teror lain
waktu itu belum terbayangkan apalagi diciptakan. Kata Walter Benjamin, "Every document of civilization
is at the same time a document of barbarism." (Habis, wawancara tgl 3 dan tgl 20 Nop 1997).***
Catatan: /*/ Ini sebagai contoh : Kumpeni pernah membantai ampir semua penduduk pulau Banda di
1621 [red.:lih. buku Willard A. Hanna & thesis H.G. Aveling "Bandanese Culture and society, about 1600"
hal.16 ttg Jan Coen] - Untuk raja Jawa ambil saja sejarah Genghiz Khan tanah Java, Sultan Agung.
Dalam 1620-1625 saban usai musim panen Surabaya dan sekitarnya itu menjadi kubangan serdadu
Mataram yang merampok dan membunuhi orang. Di 1936 Balambangan ditaklukkan dan hampir seluruh
penduduknya dibuang. [red.:lih. Sembah-Sumpah ... hal.21, khususnya catatan kaki 23-24]
PUSTAKA UNTUK WAWANCARA
1. Kompas, 20/10/97, "Renungkan Kembali," (Memuat pidato presiden Suharto tentang "lengser
keprabon" di depan Rapim Golkar tgl 19/10/97)
2. Coedes, G., 1968, "The Indianized States of Southeast Asia." The East-West Center Press, Honolulu
(Buku ini banyak mengutip Negarakertagama karangan Prapancha, (th. 1365), Pararaton (akhir abad-15).
Kisah singkat Ken Angrok juga dari sini).
3. Hefner, Robert W., 1990, "The Political Economy of Mountain Java. An Interpretive History,"
University of California Press, Los Angeles (Informasi tentang akhir Majapahit sekitar tahun 1520,
kemudian jatuh ke bawah kepemimpinan politik dan spiritual Demak)
4. Soetarno AK, Drs. R., 1987 "Ensiklopedia Wayang," Dahara Prize, Semarang, h 261, 290 (Tentang
Togog dan Sarawita).
5. Halliday, F.E., 1995, "England, a concise history," Thames and Hudson, New York, h 58 (Tentang
Edward-1 dan William Wallace).
6. Maclean, Fitzroy, 1996, "Scotland, a concise history," Thames and Hudson, New York, h 37, 38
(Tentang Edward-1 dan William Wallace).

page 18
7. Aitken, Jonathan, 1993, "Nixon, a life," Regnery Publishing, Inc., Washington D.C., Chapter 17, 18
dan 19 (Tentang Nixon, pemboman Vietnam dan skandal Watergate).
8. Indonesian Banda : colonialism and its aftermath in the Nutmeg Islands / by Willard A. Hanna.
9. Sembah-sumpah (Courtesy and Curses): The politics of Language and Javanese Culture / by Benedict
R. Anderson, dalam "Change and Continuity in Southeast Asia" ed. by Roger A. Long & Damaris A.
Kirchhofer.
10.Mythology and the tolerance of the Javanese / by Benedict R. O'G. Anderson - edisi terbaru terbitan
Cornell Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Cornell University, 1996.
11. Film "Bravehart"
12. Film "Nixon"

Anda mungkin juga menyukai