Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Disusun Oleh:
RHIMA RAHMAWATI FATIMAH
14/367512/SP/26406
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga
penyusunan makalah ini dapat saya selesaikan. Sholawat serta salam semoga senantiasa
tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah menghantarkan kita dari zaman
kegelapan sampai dengan ke zaman yang terang dan penuh rahmat ini.
Makalah dengan judul Peran Perlindungan Anak dalam Kasus Pariwisata Seks
Anak ini disusun dalam rangka pemenuhan tugas Penulisan Akademik untuk Ujian Akhir
Semester Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penyelesaian penyusunan makalah ini
tidak terlepas dari bantuan serta dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis
menghaturkan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Janianton
Damanik, M.Si dan Ibu Dra. Suzanna Eddyono, M.Si, MA selaku Dosen Pengampu mata
kuliah Penulisan Akademik. Terimakasih kepada teman-teman Jurusan Pembangunan
Sosial dan Kesejahteraan Angkatan 2014, atas dukungan, bantuan, serta sarannya dalam
menyempurnakan makalah ini. Tanpa mengurangi rasa hormat, penulis turut mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu di sini.
Mohon maaf apabila di dalam makalah ini masih terdapat kesalahan baik dalam isi
maupun penulisan gelar/tittle jabatan, sesungguhnya kesempurnaan hanyalah milik Allah
SWT semata. Oleh kakrena itu, penulis dengan senang hati menerima komentar serta saran
pembaca demi melengkapi makalah ini.
Penulis tidak mungkin bisa membalas segala budi baik yang telah direlakan oleh
semua pihak, hanya ungkapan terimakasih yang dapat diberikan, semoga seluruh amal
kebaikan mendapat balasan dari Allah SWT. Amin.
Yogyakarta, 31 Desember 2014
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anak merupakan cerminan dari masa depan. Tidak hanya untuk dirinya sendiri dan
keluarganya, melainkan juga cerminan dari masa depan bangsa dan negaranya. Dapat
dikatakan tanpa anak maka tidak ada masa depan, sebab anak adalah generasi penerus yang
menentukan masa depan. Dengan memperhatikan kualitas hidup anak, maka sama saja kita
telah menjaga aset masa depan bangsa. Seperti yang telah dirumuskan dalam Konvensi Hak
Anak PBB yang didalamnya tercantum Perlindungan Anak terhadap Eksploitasi Seksuual
Komersial Anak (ESKA)1. Anak perlu dilindungi harga diri dan martabatnya serta dijamin
haknya untuk hidup dan berkembang sesuai dengan fitrah dan kodratnya. 2 Namun yang
sangat disayangkan di Indonesia hak anak masih kurang diperhatikan baik oleh pemerintah
maupun oleh masyarakat sendiri. Hal ini diperkuat dengan maraknya kasus kekerasan yang
terjadi pada anak, diskriminasi, penelantaran, eksploitasi, bahkan pelecehan dan kekerasan
seksual. Tidak sedikit kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia.
Bahkan Country Manager Terre des Hommes untuk Indonesia, Sudaryanto, mencatat
Indonesia masuk ke dalam 10 besar negara dengan kasus kekerasan seksual tertinggi
terhadap anak-anak. Pada tahun 2005 Indonesia menempati peringkat ke-7, terjadi
peningkatan pada tahun 2007 di peringkat ke-5, dan yang paling mencengangkan pada tahun
2009 Indonesia berada pada peringkat ke-3.3
Kajian mengenai wisata seks di ASEAN yang dilapporkan sebagai child wise tourism,
mengungkapkan bahwa pada tahun 2007 Indonesia ditempatkan pada posisi ketiga setelah
Vietnam dan Kamboja sebagai negara tujuan wisata seks yang melibatkan anak-anak.4
1 ESKA adalah sebuah pelanggaran mendasar terhadap anak-anak. Pelanggaran tersebut terdiri dari
kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan dalam bentuk uang tunai atau barang
terhadap anak, orang ketiga, atau orang-orang lainnya.
2 Undang-undang Perlindungan Anak, (Bandung: Fokus Media, 2011), hal. Iii.
3 Indra Akuntono, Waspada Predator Anak di Indonesia, www.kompas.com (akses 30 Desember
2014)
4 ASEAN Child-Sex Tourism Review, Child Wise Tourism, (Agustus, 2007), seperti dikutip oleh Siti
Octrina Malikah, Pariwisata Seks Anak: Sebuah Fenomena Negara Berkembang dan Negara Maju di
Rumusan Masalah
Bagaimana peran Perlindungan Anak dalam kasus Pariwisata Seks Anak?
Manfaat Penilisan
a. Sebagai bahan kajian mahasiswa dalam menangani kasus Pariwisata Seks Anak.
b. Sebagai referensi bagi penulis lain dengan topik permasalahan yang sama.
c. Sebagai wahana penambah wawasan bagi penulis dan pembaca.
1.5.
Metode Penulisan
Dunia Internasional, (Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina, Jakarta, 2009).
Batasan Masalah
1) Pengertian Perlindungan Anak
2) Pengertian Pariwisata Seks Anak
3) Hak Perlindungan Anak dalam menangani Pariwisata Seks Anak
4) Cara mengantisipasi Pariwisata Seks Anak
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Perlindungan Anak
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan
hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.5 Keadilan dalam suatu masyarakat dapat diwujudkan dengan adanya
perlindungan anak, sehingga perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang
kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Akan tetapi perlu diingat bahwa perlindungan anak
tidak boleh dilakukan secara berlebihan serta harus tetap memperhatikan dampak bagi
lingkungan maupun anak itu sendiri agar usaha perlindungan anak yang dilakukan tidak
berdampak negatif. Perlindungan anak seyogyanya dilakukan secara rasional dan
bertanggungjawab sehingga mampu mencerminkan usaha yang efektif dan efisien. Usaha
perlindungan anak sebaiknya tidak mengakibatkan disfungsi pada inisiatif, kreatifitas, dan
hal lain yang menyebabkan anak menjadi bergantung pada orang lain dan sulit mengontrol
emosinya sehingga ia tidak mampu menikmati apa yang menjadi haknya dan melaksanakan
apa yang menjadi kewajibannya.
Perlindungan anak dapat dibedakan menjadi dua bagian, yakni Perlindungan anak
yang bersifat yuridis, meliputi perlindungan dalam bidang hukum publik dan dalam bidang
hukum keperdataan. Selain itu juga terdapat Perlindungan anak yang bersifat non yuridis,
meliputi perlindungan dalam bidang sosial, bidang kesehatan, bidang pendidikan.6
lainnya hanya memanfaatkan kesempatan yang ada di tengah situasi dimana hanya ada anakanak yang tersedia sebagai mangsa.8
Pariwisata Seks Anak adalah sub bagian dari dunia pelacuran, dan dunia pelacuran ini
berada di peringkat ketiga9 setelah senjata dan obat-obatan terlarang dalam kategori
banyaknya orang yang terlibat dalam akksi kejahatan, baik sebagai korban ataupun pelaku.
Hal ini dikarenakan banyaknya orang yang terlibat dalam PSA ini akan memberikan
keuntungan yang besar bagi pelaku eksploitasi anak yang dapat mempermudah dirinya dalam
beraksi.
Pariwisata seks anak dilakukan dengan modus pemberian uang, pakaian, makanan,
atau bentuk kebaikan lainnya kepada anak atau pihak ketiga untuk melakukan hubungan
seksual. Selain itu menurut Agus Santoso, Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK), modus yang digunakan pelaku PSA bermacam-macam dan
para turis itu sudah mendapat informasi sebelum masuk ke daerah-daerah yang ada di
Indonesia melalui internet. Bekal informasi yang diterima pelaku antara lain, dengan
menyiapkan coklat untuk korban, uang sepuluh dolar untuk ibunya, dan satu dolar untuk
dana tutup mulut kepada polisi apabila ada masalah. Selanjutnya setelah pelaku masuk ke
daerah atau kampun yang menjadi tempat tujuan wisatanya, ia akan meminta anak yang
menjadi korban untuk duduk di pangkuannya, dibelai, dipeluk, dicium, bahkan ada yang
diminta untuk telanjang sembari bermain air hujan. Namun ironisnya, ibu-ibu di
perkampungan tersebut justru senang melihat anak mereka dipegang oleh orang asing.
Mereka bahkan rela mengantri agar anak mereka dapat difoto bersama orang asing tersebut
bahkan dalam keadaan telanjang sekalipun. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan budaya,
dimana di Indonesia anak yang dibiarkan telanjang di tempat umum sudah menjadi hal yang
biasa dan mungkin menjadi tabu di negara lain.10
8 Luc Ferran, Giorgio Berardi, Patchareeboon Sakulpitakphon, Memerangi Pariwisata Seks Anak: Tanya
& Jawab terj. Ramlan, S.Pd.I. (Medan: ECPAT Affiliate Group in Indonesia, 2008), hal. 6.
9 Ahmad Sofian, wawancara dengan penulis, 2009, seperti dikutip oleh Siti Octrina Malikah, Pariwisata Seks
Anak: Sebuah Fenomena Negara Berkembang dan Negara Maju di Dunia Internasional, (Fakultas Falsafah dan
Peradaban Universitas Paramadina, Jakarta, 2009).
Ketuan umum Komisi Nasional Perlindungan anak, Arist Merdeka Sirait mengaku
sudah mengendus masuknya ratusan turis pedofil dari negara tetangga ke indonesia yang
berwisata seks sejak 2011. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Susanto,
mengungkapkan bahwa hanya di Indonesia masyarakat yang senang apabila kampungnya di
datangi oleh wisatawan asing. Kondisi ini yang kemudian dimanfaatkan oleh sejumlah
oknum dalam negeri untuk memperoleh keuntungan dengan membantu turis PSA memenuhi
hasrat seksualnya. 11
tujuan wisata, melainkan juga merupakan sebuah tindakan ilegal serta memberikan dampak
yang sangat negatif bagi anak.
Selain memberikan informasi kepada wisatawan PSA, hal yang perlu dilakukan
lainnya adalah dengan kesadaran dari wisatawan itu sendiri meskipun kelihatannya tidak
semudah membalikkan telapak tangan. Banyak negara yang telah mengembangkan
perundang-undangan ekstrateritorial untuk menuntut warga negara yang melakukan
kejahatan seksual terhadap anak. Karena itu, wisatawan PSA bisa saja dimintai pertanggung
jawaban atas tindakannya di negara asal mereka, namun hal ini tidak dilaksanakan oleh
keluarga korban lantaran keawaman mereka mengenai hukum. Jika sebuah negara
mengadopsi perundang-undangan ekstrateritorial, maka dapat dipastikan tidak ada daerah
tujuan yang memberikan kekebalan bagi pelaku eksploitasi seks anak. Akan tetapi, tidak
cukup jika hanya memberikan peringatan kepada wisatawan PSA mengenai konsekuensi
hukum dari Pariwisata Seks Anak. Hal yang tidak kalah penting bagi masyarakat untuk
mengetahui berbagai saluran yang ada untuk melaporkan pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan oleh wisatawan.
Pelatihan dan peningkatan kapasitas pekerja di sektor pariwisata juga merupakan
salah satu cara dalam mengantisipasi PSA. Dalam hal ini, para pekerja pariwisata merupakan
sumber daya yang sangat penting. Sebagai seseorang yang memiliki kontak langsung dengan
wisatawan, para pekerja pariwisata tersebut berada dalam sebuah posisi untuk berperan
secara aktif mempromosikan pariwisata yang bertanggung jawab, memperingatkan
wisatawan yang berniat jahat menginginkan PSA. Setelah menerima berbagai laporan dari
para wisatawan lain, selanjutnya pekerja pariwisata ini bertugas menyebarkan bahan-bahan
informasi kepada para pelanggan serta melaporkan kejahatan tersebut kepada pihak
kepolisian, kelompok ECPAT, maupun ECPAT Internasional. Selain itu, beberapa orang yang
bekerja dalam industri pariwisata seperti resepsionis hotel, penunjuk jalan (guide), ataupun
agen booking, mungkin memiliki akses nama, detail passport atau informasi data diri penting
lainnya mengenai wisatawan, sehingga mereka dapat dengan mudah melaporkan wisatawan
yang dicurigai melakukan tindak eksloitasi seks anak. Dengan alasan posisi yang unik,
beberapa perusahaan perjalanan dan pariwisata melakukan pelatihan bagi staf mereka
mengenai isu PSA. Setelah menyelesaikan pelatihannya, para pekerja pariwisata diharapkan
dapat lebih mengenali PSA serta bertindak untuk ikut memeranginya.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Bentuk perlindungan hukum terhadap hak anak dalam menghadapi kasus pariwisata
seks anak didasarkan pada ketentuan bahwa setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan diskriminasi.17
adanya peran perlindungan anak dalam kasus pariwisata seks anak meskipun yang
dibutuhkan korban bukan hanya sekedar wadah peraturan perundang-undangan saja,
Saran
Pemerintah sebagai pemegang kendali kebijakan terhadap perlindungan anak harus
segera membuat aturan mengenai penyediaan tenaga ahli (psikolog anak maupun psikiater)
guna pendampingan anak yang berhadapan dengan hukum. Hal ini dilakukan agar anak tidak
merasakan physical shocked dalam menghadapi proses hukum yang tengah dijalaninya.
Selain itu diharapkan pula agar pemerintah bisa memulai memberlakukan undang-undang
ekstrateritorial untuk melindungi anak-anak dari jeratan kasus PSA yang semakin merajai
dunia. Akan tetapi, selain membuat peraturan pemerintah juga sebaiknya turut serta dalam
mengawasi peraturan yang dibuatnya tersebut agar anak bisa merasakan perlindungan
konkert yang menjadi haknya bukan hanya sekedar perlindungan dalam bentuk peraturan.
Diharapkan kedepannya pemerintah dapat menjalankan kewajiban tersebut agar segala
bentuk peraturan perundang-undangan yang bertujuan sebagai perlindungan terhadap anak
dapat berjalan semestinya tidak hanya sekedar menjadi wacana.
DAFTAR PUSTAKA
Akuntono, Indra. 2013. Waspada Predator Anak di Indonesia.
www.kompas.com, (diakses pada tanggal 30 Desember 2014).
Annas, Galang K. 2014. Perlindungan Hukum Terhadap Hak-hak Anak yang Berhadapan
dengan Hukum dengan Menggunakan Pendekatan Diversi dan Restorative Justice.
Skripsi. Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Hutashunut, Indra M. 2010. Menyelamatkan Tunas Muda dari Pariwisata Seks Anak.
http://aids-ina.org/modules.php?name=AvantGo&file=print&sid=3478, (diakses pada
tanggal 29 Desember 2014).
Luch Ferran, Gorgio Berardi, Patchareeboon S. 2008. Memerangi Pariwisata Seks Anak: Tanya
& Jawab. Terjemahan oleh Ramlan. 2008. Medan: ECPAT Affiliate Group in
Indonesia.
Malikah, Siti O. 2009. Pariwisata Seks Anak: Sebuah Fenomena Negara Berkembang dan
Negara Maju di Dunia Internasional.