Anda di halaman 1dari 31

Bagian Ilmu Bedah

PR Ujian

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
PNEUMOTORAKS, FRAKTUR BASIS CRANII DAN MANITOL

Disusun oleh:
Hardin (1310029045)

Pembimbing:
dr. Arie Ibrahim, Sp. BS

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN
RSUD ABDUL WAHAB SJAHRANIE SAMARINDA
2016

PNEUMOTORAKS
Definisi
Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di dalam
pleura yang menyebabkan kolapsnya paru yang terkena (3).
Klasifikasi
Menurut penyebabnya, pneumotoraks dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu (2), (3) :
1. Pneumotoraks spontan
Yaitu

setiap

pneumotoraks

yang

terjadi

secara

tiba-tiba.

Pneumotoraks tipe ini dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu
:
a. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi
secara tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya.
b. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi
dengan didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki
sebelumnya, misalnya fibrosis kistik, penyakit paru obstruktik
kronis (PPOK), kanker paru-paru, asma, dan infeksi paru.
2. Pneumotoraks traumatik,
Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma, baik
trauma penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura,
dinding dada maupun paru.
Pneumotoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua
jenis, yaitu :
a. Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang
terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada,
barotrauma.
b. Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi
akibat komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks jenis inipun
masih dibedakan menjadi dua, yaitu :
1) Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental

Adalah suatu pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan


medis karena kesalahan atau komplikasi dari tindakan
tersebut, misalnya pada parasentesis dada, biopsi pleura.
2) Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate)
Adalah suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan
dengan cara mengisikan udara ke dalam rongga pleura.
Biasanya tindakan ini dilakukan untuk tujuan pengobatan,
misalnya

pada

pengobatan

tuberkulosis

sebelum

era

antibiotik, maupun untuk menilai permukaan paru.


Dan berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumotoraks dapat diklasifikasikan ke
dalam tiga jenis, yaitu (4) :
1. Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka
pada dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar.
Tekanan di dalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat
laun berubah menjadi negatif karena diserap oleh jaringan paru
disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru belum mengalami re-ekspansi,
sehingga masih ada rongga pleura, meskipun tekanan di dalamnya sudah
kembali negatif. Pada waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan udara
di rongga pleura tetap negatif.
2. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax),
Yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga
pleura dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar (terdapat
luka terbuka pada dada). Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama
dengan tekanan udara luar. Pada pneumotoraks terbuka tekanan
intrapleura sekitar nol. Perubahan tekanan ini sesuai dengan perubahan
tekanan yang disebabkan oleh gerakan pernapasan (4).
Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu
ekspirasi tekanan menjadi positif

(4)

. Selain itu, pada saat inspirasi

mediastinum dalam keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi

mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang terluka (sucking


wound) (2).
3. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax)
Adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan
makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis
yang bersifat ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui trakea,
bronkus serta percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura
melalui fistel yang terbuka. Waktu ekspirasi udara di dalam rongga
pleura tidak dapat keluar

(4)

. Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura

makin lama makin tinggi dan melebihi tekanan atmosfer. Udara yang
terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering
menimbulkan gagal napas (2).
Sedangkan menurut luasnya paru yang mengalami kolaps, maka
pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu (4) :
1. Pneumotoraks parsialis, yaitu pneumotoraks yang menekan pada
sebagian kecil paru (< 50% volume paru).
2. Pneumotoraks totalis, yaitu pneumotoraks yang mengenai sebagian besar
paru (> 50% volume paru).
Patofisiologi
Paru-paru dibungkus oleh pleura parietalis dan pleura visceralis. Di antara
pleura parietalis danvisceralis terdapat cavum pleura. Cavum pleura normal berisi
sedikit cairan serous jaringan.Tekanan intrapleura selalu berupa tekanan negatif.
Tekanan negatif pada intrapleura membantu dalam proses respirasi. Proses
respirasi terdiri dari 2 tahap : fase inspirasi dan fase eksprasi. Padafase inspirasi
tekanan intrapleura : -9 s/d -12 cmH2O; sedangkan pada fase ekspirasi
tekananintrapleura: -3 s/d -6 cmH2O. Pneumotorak adalah adanya udara pada
cavum pleura. Adanya udara pada cavum pleura menyebabkan tekanan negatif
pada intrapleura tidak terbentuk. Sehingga akan mengganggu padaproses
respirasi. Pneumotorak dapat dibagi berdasarkan penyebabnya (6,7,9) :

1. Pneumotorak spontan Oleh karena : primer (ruptur bleb), sekunder


(infeksi, keganasan), neonatal
2. Pneumotorak yang di dapat Oleh karena : iatrogenik, barotrauma, trauma
Pneumotorak dapat dibagi juga menurut gejala klinis:
1. Pneumotorak simple : tidak diikuti gejala syok atau pre-syok
2. Tension Pnuemotorak : diikuti gejala syok atau pre-schock
Pneumotorak dapat dibagi berdasarkan ada tidaknya dengan hubungan luar
menjadi :
1.Open pneumotorak
2.Closed pneumotorak
Secara garis besar ke semua jenis pneumotorak mempunyai dasar
patofisiologi yang hampir sama.
Pneumotorak spontan, closed pneumotorak, simple pneumotorak, tension
pneumotorak, dan open pneumotorak. Pneumotorak spontan terjadi karena
lemahnya dinding alveolus dan pleura visceralis. Apabila dinding alveolus dan
pleura viceralis yang lemah ini pecah, maka akan ada fistel yang menyebabkan
udara masuk ke dalam cavum pleura. Mekanismenya pada saat inspirasi rongga
dada mengembang, disertai pengembangan cavum pleura yang kemudian
menyebabkan paru dipaksa ikut mengembang, seperti balon yang dihisap.
Pengembangan paru menyebabkan tekanan intraalveolar menjadi negatif
sehingga udara luar masuk. Pada pneumotorak spontan,paru-paru kolpas, udara
inspirasi ini bocor masuk ke cavum pleura sehingga tekanan intrapleura tidak
negatif. Pada saat inspirasi akan terjadi hiperekspansi cavum pleura akibatnya
menekan mediastinal ke sisi yang sehat. Pada saat ekspirasi mediastinal kembali
lagi ke posisi semula.Proses yang terjadi ini dikenal dengan mediastinal flutter
(6,7,9).
Pneumotorak ini terjadi biasanya pada satu sisi, sehingga respirasi paru
sisi sebaliknya masihbisa menerima udara secara maksimal dan bekerja dengan
sempurna.

Terjadinya hiperekspansi cavum pleura tanpa disertai gejala pre-syok atau


syok dikenal dengan simple pneumotorak. Berkumpulnya udara pada cavum
pleura dengan tidak adanya hubungan dengan lingkungan luar dikenal dengan
closed pneumotorak .Pada saat ekspirasi, udara juga tidak dipompakan balik
secara maksimal karena elastic recoil dari kerja alveoli tidak bekerja sempurna.
Akibatnya bilamana proses ini semakin berlanjut,hiperekspansi cavum pleura
pada saat inspirasi menekan mediastinal ke sisi yang sehat dan saat ekspirasi
udara terjebak pada paru dan cavum pleura karena luka yang bersifat katup
tertutup terjadilah penekanan vena cava,shunting udara ke paru yang sehat, dan
obstruksi jalan napas.Akibatnya dapat timbulah gejala pre-syok atau syok oleh
karena

penekanan

vena

cava.Kejadian

ini

dikenal

dengan

tension

pneumotorak(6,7,9).
Pada open pneumotorak terdapat hubungan antara cavum pleura dengan
lingkunga luar. Open pneumotorak dikarenakan trauma penetrasi. Perlukaan
dapat inkomplit (sebatas pleura parietalis)atau komplit (pleura parietalis dan
visceralis). Bilamana terjadi open pneumotorak inkomplit pada saat inspirasi
udara luar akan masuk ke dalam cavum pleura. Akibatnya paru tidak dapat
mengembang karena tekanan intrapleura tidak negatif. Efeknya akan terjadi
hiperekspansi cavumpleura yang menekan mediastinal ke sisi paru yang sehat.
Saat ekspirasi mediastinal bergeser kemediastinal yang sehat. Terjadilah
mediastinal flutter. Bilamana open pneumotorak komplit maka saat inspirasi
dapat terjadi hiperekspansi cavum pleura mendesak mediastinal ke sisi paru yang
sehat dan saat ekspirasi udara terjebak pada cavum pleura dan paru karena luka
yang

bersifat

katup

tertutup.

Selanjutnya

terjadilah penekanan vena

cava,shunting udara ke paru yang sehat, dan obstruksi jalan napas. Akibatnya
dapat timbulah gejala pre-syok atau syok oleh karena penekanan vena cava.
Kejadian ini dikenal dengan tension pneumotorak.
Gejala klinis
Berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul adalah (2), (4), (5) :

1. Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali sesak


dirasakan mendadak dan makin lama makin berat. Penderita bernapas
tersengal, pendek-pendek, dengan mulut terbuka.
2. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan tajam
pada sisi yang sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri pada
gerak pernapasan.
3. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.
4. Denyut jantung meningkat.
5. Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang kurang.
6. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10% pasien,
biasanya pada jenis pneumotoraks spontan primer.
Berat ringannya keadaan penderita tergantung pada tipe pneumotoraks tersebut,
(2)

:
1. Pneumotoraks tertutup atau terbuka, sering tidak berat
2. Pneumotoraks ventil dengan tekanan positif tinggi, sering dirasakan lebih
berat
3. Berat ringannya pneumotoraks tergantung juga pada keadaan paru yang
lain serta ada tidaknya jalan napas.
4. Nadi cepat dan pengisian masih cukup baik bila sesak masih ringan, tetapi
bila penderita mengalami sesak napas berat, nadi menjadi cepat dan kecil
disebabkan pengisian yang kurang.

Pada pemeriksaan fisik torak didapatkan (3), (4):


1. Inspeksi :
a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper ekspansi
dinding dada)
b.

Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal

c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat


2. Palpasi :
a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar
b. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat
c. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit

3. Perkusi :
a. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak
menggetar
b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan
intrapleura tinggi
4. Auskultasi :
a. Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang
b. Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni

negatif
Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Rontgen
Gambaran radiologis yang tampak pada foto rntgen kasus
pneumotoraks antara lain (6):
a. Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps
akan tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru
yang kolaps tidak membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler
sesuai dengan lobus paru.
b. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio
opaque yang berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan
kolaps paru yang luas sekali. Besar kolaps paru tidak selalu
berkaitan dengan berat ringan sesak napas yang dikeluhkan.
c. Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium
intercostals melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah.
Apabila ada pendorongan jantung atau trakea ke arah paru yang
sehat, kemungkinan besar telah terjadi pneumotoraks ventil dengan
tekanan intra pleura yang tinggi.
d. Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan
sebagai berikut (3):
1)

Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi


jantung, mulai dari basis sampai ke apeks. Hal ini terjadi

apabila pecahnya fistel mengarah mendekati hilus, sehingga


udara yang dihasilkan akan terjebak di mediastinum.
2)

Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam


dibawah kulit. Hal ini biasanya merupakan kelanjutan dari
pneumomediastinum.

Udara

yang

tadinya

terjebak

di

mediastinum lambat laun akan bergerak menuju daerah yang


lebih tinggi, yaitu daerah leher. Di sekitar leher terdapat banyak
jaringan ikat yang mudah ditembus oleh udara, sehingga bila
jumlah udara yang terjebak cukup banyak maka dapat
mendesak jaringan ikat tersebut, bahkan sampai ke daerah dada
depan dan belakang.
3)

Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka akan


tampak permukaan cairan sebagai garis datar di atas diafragma.

2. Analisa Gas Darah


Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi
meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada pasien
dengan gagal napas yang berat secara signifikan meningkatkan mortalitas
sebesar 10%.
3. CT-scan thorax
CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema
bullosa dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan
ekstrapulmoner dan untuk membedakan antara pneumotoraks spontan
primer dan sekunder.
Penatalaksanaan
Tujuan

utama

penatalaksanaan

pneumotoraks

adalah

untuk

mengeluarkan udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan


untuk kambuh lagi. Pada prinsipnya, penatalaksanaan pneumotoraks adalah
sebagai berikut :
1. Observasi dan Pemberian O2

Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleura


telah menutup, maka udara yang berada didalam rongga pleura tersebut
akan diresorbsi. Laju resorbsi tersebut akan meningkat apabila diberikan
tambahan O2.

Observasi dilakukan dalam beberapa hari dengan foto

toraks serial tiap 12-24 jam pertama selama 2 hari

(2)

. Tindakan ini

terutama ditujukan untuk pneumotoraks tertutup dan terbuka (4).


2. Tindakan dekompresi
Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus
pneumotoraks yang luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan
untuk mengurangi tekanan intra pleura dengan membuat hubungan antara
rongga pleura dengan udara luar dengan cara (2) :
a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura,
dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan
berubah menjadi negatif karena mengalir ke luar melalui jarum
tersebut (2), (4).
b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :
1)

Dapat memakai infus set


Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam
rongga pleura, kemudian infus set yang telah dipotong pada
pangkal saringan tetesan dimasukkan ke botol yang berisi
air. Setelah

klem

penyumbat

dibuka,

akan

tampak

gelembung udara yang keluar dari ujung infus set yang


berada di dalam botol (4).
2)

Jarum abbocath
Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari
gabungan jarum dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada
posisi yang tetap di dinding toraks sampai menembus ke
rongga pleura, jarum dicabut dan kanula tetap ditinggal.
Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa plastik infus
set. Pipa infuse ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang
berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak

gelembung udara yang keluar dari ujung infuse set yang


berada di dalam botol (4).
3)

Pipa water sealed drainage (WSD)


Pipa khusus (toraks kateter) steril, dimasukkan ke
rongga pleura dengan perantaraan troakar atau dengan
bantuan klem penjepit. Pemasukan troakar dapat dilakukan
melalui celah yang telah dibuat dengan bantuan insisi kulit di
sela iga ke-4 pada linea mid aksilaris atau pada linea
aksilaris posterior. Selain itu dapat pula melalui sela iga ke-2
di garis mid klavikula.
Setelah troakar masuk, maka toraks kateter segera
dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian troakar dicabut,
sehingga hanya kateter toraks yang masih tertinggal di
rongga pleura. Selanjutnya ujung kateter toraks yang ada di
dada dan pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa plastik
lainnya. Posisi ujung pipa kaca yang berada di botol
sebaiknya berada 2 cm di bawah permukaan air supaya
gelembung udara dapat dengan mudah keluar melalui
perbedaan tekanan tersebut (3), (4).
Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan
intrapleura tetap positif. Penghisapan ini dilakukan dengan
memberi tekanan negatif sebesar 10-20 cm H2O, dengan
tujuan agar paru cepat mengembang. Apabila paru telah
mengembang maksimal dan tekanan intra pleura sudah
negatif kembali, maka sebelum dicabut dapat dilakukuan uji
coba terlebih dahulu dengan cara pipa dijepit atau ditekuk
selama 24 jam. Apabila tekanan dalam rongga pleura
kembali menjadi positif maka pipa belum bisa dicabut.
Pencabutan WSD dilakukan pada saat pasien dalam keadaan
ekspirasi maksimal (2).

3. Torakoskopi
Yaitu suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga toraks
dengan alat bantu torakoskop.
4. Torakotomi
5. Tindakan bedah (4)
a. Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi, kemudian
dicari lubang yang menyebabkan pneumotoraks kemudian dijahit
b. Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura yang
menyebabkan paru tidak bias mengembang, maka dapat dilakukan
dekortikasi.
c. Dilakukan resesksi bila terdapat bagian paru yang mengalami
robekan atau terdapat fistel dari paru yang rusak
d. Pleurodesis. Masing-masing lapisan pleura yang tebal dibuang,
kemudian kedua pleura dilekatkan satu sama lain di tempat fistel.
Terapi Tambahan
1. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan
ditujukan terhadap penyebabnya. Misalnya : terhadap proses TB paru

diberi OAT, terhadap bronkhitis dengan obstruksi saluran napas diberi


antibiotik dan bronkodilator (4).
2. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat (4).
3. Pemberian antibiotik profilaksis setelah setelah tindakan bedah dapat
dipertimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi, seperti
emfisema (3).
Rehabilitasi(4)
1. Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan
pengobatan secara tepat untuk penyakit dasarnya.
2. Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk atau bersin
terlalu keras.
3. Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif, berilah
laksan ringan.
4. Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan batuk,
sesak napas.

DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi
9. Jakarta : EGC; 1997. p. 598.
2. Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus,
Simadibrata. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi
IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p. 1063.
3. Bowman, Jeffrey, Glenn. Pneumothorax, Tension and Traumatic.
Updated: 2010 May 27; cited 2016 January 6. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/827551
4. Alsagaff, Hood. Mukty, H. Abdul. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru.
Surabaya : Airlangga University Press; 2009. p. 162-179
5. Schiffman, George. Stoppler, Melissa, Conrad. Pneumothorax (Collapsed
Lung).
Cited
:
2016
January
6.
Available
from
:
http://www.medicinenet.com/pneumothorax/article.htm
6. Malueka, Rusdy, Ghazali. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta : Pustaka
Cendekia Press; 2007. p. 56

FRAKTUR BASIS CRANII


Batasan
Fraktur basis cranii/Basilar Skull Fraktur (BSF) merupakan fraktur
akibat benturan langsung pada daerah daerah dasar tulang tengkorak dan
transmisi energi yang berasal dari benturan pada wajah atau mandibula; atau efek
remote dari benturan pada kepala2.
Cedera kepala adalah penyebab utama kematian, dan kecacatan. Manfaat
dari

kepala,

termasuk tengkorak dan wajah adalah untuk melindungi otak

terhadap cedera. Selain perlindungan oleh tulang, otak juga tertutup lapisan
keras yang disebut meninges fibrosa dan terdapat cairan yang disebut
cerebrospinal fuild

(CSF). Trauma tersebut berpotensi menyebabkan fraktur

tulang tengkorak, perdarahan di ruang sekitar otak, memar pada jaringan otak,
atau kerusakan hubungan antar nervus pada otak1.
Dalam beberapa studi telah terbukti fraktur basis cranii dapat
disebabkan oleh berbagai mekanisme termaksud ruda paksa akibat fraktur
maksilofacial, ruda paksa dari arah lateral kranial dan dari arah kubah kranial,
atau karena beban inersia oleh kepala3.
Mekanisme Fraktur Basis Cranii
Fraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung pada
daerah daerah dasar tulang tengkorak yaitu oksiput, mastoid, dan supraorbita;
transmisi energi yang berasal dari benturan pada wajah atau mandibula; atau
efek remote dari benturan pada kepala di mana gelombang tekanan yang
dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak2.
Tipe dari BSF yang parah adalah jenis ring fraktur, karena area ini
mengelilingi foramen magnum, apertura di dasar tengkorak di mana spinal cord
lewat. Ring fraktur komplit biasanya segera berakibat fatal akibat cedera
batang otak. Ring fraktur in komplit lebih sering dijumpai (Hooper et al.

1994). Kematian biasanya terjadi seketika karena cedera batang otak disertai
dengan avulsi dan laserasi dari pembuluh darah besar pada dasar tengkorak.
Fraktur basis cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk
benturan dari arah mandibula atau wajah dan kubah tengkorak, atau akibat
beban inersia pada kepala (sering disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya
beban inersia, misalnya, ketika dada pengendara sepeda motor berhenti
secara mendadak akibat mengalami benturan dengan sebuah objek misalnya
pagar. Kepala kemudian secara tiba tiba mengalami percepatan gerakan
namun pada area medulla oblongata mengalami tahanan oleh foramen
magnum, beban inersia tersebut kemudian meyebabkan ring fraktur. Ring
fraktur juga dapat terjadi akibat ruda paksa pada benturan tipe vertikal,
arah benturan dari inferior diteruskan ke superior (daya kompresi) atau ruda
paksa dari arah superior kemudian diteruskan ke arah occiput atau mandibula.
Huelke et al. (1988) menyelidiki

sebuah

pandangan umum bahwa

fraktur basis cranii akibat hasil dari benturan area kubah kranial. Kasus
benturan pada area kubah non-kranial, yang disajikan dalam berbagai jenis
kecelakaan

kendaraan

bermotor,

telah

didokumentasikan. Para

peneliti

menemukan fraktur basis cranii juga bisa disebabkan oleh benturan pada area
wajah saja.
Pada studi eksperimen berdasarkan pengujian mayat, Gott et al.(1983)
meneliti secara rinci tengkorak dari 146 subjek yang telah mengalami
benturan/ruda paksa pada area kepala. 45 kasus fraktur tengkorak diamati
secara rinci. Terdapat 22 BSF pada grup ini. Penyebab dari kasus tersebut
disebabkan oleh ruda paksa pada area frontal (5 kasus), daerah Temporo-parietal
tengkorak (1 kasus), seluruh wajah (2 kasus) dan berbagai jenis ruda paksa kepala
lainnya (14 kasus).
Saat memeriksa respon leher akibat beban daya regang aksia, Sances et
al. (1981) mengamati BSF tanpa kerusakan ligamen melalui analisa quo-statistic

didapatkan 1780N sementara dan 3780N tampak utuh pada area leher, kepala
dan tulang belakang.
Beberapa peneliti mengamati complex kepala-leher terhadap ruda paksa
dari arah superiorinferior. Secara umum, menunjukkan bahwa lokasi skull
fraktur hasil dari ruda paksa langsung. Ketika area kepala terlindungi, leher
menjadi wilayah yang paling rentan terhadap cedera pada tingkat kekuatan di atas
4 kN (Alem et al 1984). Para peneliti menguji 19 cadaver dalam posisi supinasi
dan hanya mampu menghasilkan BSF tunggal.

Fraktur basis cranii

membutuhkan durasi yang rendah (3 ms), energi tinggi (33 J) ruda paksa dengan
kekuatan benturan dari 17 kN pada kecepatan ruda paksa 9 m /s.
Hopper et al. (1994) melakukan dua studi eksperimental pada mayat
bertujuan untuk memahami mekanisme

biomekanik

yang

mengakibatkan

fraktur basis cranii ketika kepala mandibula yang dikenakan ruda paksa:
1. Pada studi awal, cedera yang dapat ditoleransi oleh mandibula
ketika mengalami ruda paksa adalah pada area pertengahan
simfisis atau area mentalis (dagu). Enam dampak yang dinamis
dengan

jalur

vertikal

pada

satu

tes

dilakukan

dengan

menggunakan uji quasistatic. Suatu ruda paksa yang bervariasi


diberikan untuk menilai pengaruh yang terjadi. Ditemukan
bahwa toleransi energi ruda paksa untuk fraktur mandibula
pada ke enam tes tersebut adalah 5270 + 930N. Pada setiap
tes, dijumpai fraktur mandibula secara klinis namun tidak
menghasilkan fraktur basis cranii.
2. Studi kedua menilai toleransi fraktur basis cranii ketika beban
langsung diberikan kearah Temporo-mandibula joint

yang

secara tidak langsung menghasilkan pembebanan secara lokal


sekitar foramen magnum. Kekuatan puncak dan energi untuk
setiap kegagalan ditentukan dalam setiap pengujian. Beban rata
rata pada setiap fraktur ditemukan dengan kekuatan energi
4300 +350 N. Peneliti dapat menghitung energi untuk fraktur

pada

tiga dari tes

dengan rata-rata 13,0 + 1.7 J. Cedera

dihasilkan dengan cara ini konsisten dengan pengamatan klinis


fraktur basis cranii.
Peneliti menyimpulkan bahwa hasil penelitian ini mendukung hipotesis
bahwa ruda paksa pada mandibula saja biasanya hanya menyebabkan fraktur
mandibula. Selanjutnya, complete dan partial ring type BSF membutuhkan
ruda paksa temporo-mandibular yang secara tidak langsung menghasilkan
pembebanan pada daerah sekitar foramen magnum3.
Jenis Fraktur Basis Cranii
Fraktur

Temporal,

dijumpai pada 75%

dari semua fraktur basis

cranii.

Terdapat 3 suptipe dari fraktur temporal berupa longitudinal, transversal dan


mixed9. Tipe transversal dari fraktur temporal dan type longitudinal fraktur
temporal ditunjukkan di bawah ini (lihat gambar 3)4.
Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan
bagian squamousa pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus
externus dan tegmen timpani. Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu
bagian anterior atau posterior menuju cochlea dan labyrinthine capsule,
berakhir pada fossa cranii media dekat foramen spinosum atau pada mastoid
air cells. Fraktur longitudinal merupakan yang paling umum dari tiga suptipe
(70-90%).

Fraktur transversal

dimulai

dari foramen

magnum dan

memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth, berakhir pada fossa kranial


media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur unsur dari kedua fraktur
longitudinal dan transversal4.
Namun sistem

lain

untuk klasifikasi fraktur

os

temporal telah

diusulkan. Sistem ini membagi fraktur os temporal kedalam petrous fraktur dan
nonpetrous fraktur, yang terakhir termasuk fraktur yang melibatkan mastoid
air cells. Fraktur tersebut tidak disertai dengan defisit nervus kranialis9.

Fraktur condylar occipital, adalah hasil dari trauma tumpul energi tinggi
dengan kompresi aksial, lateral bending, atau cedera rotational pada pada
ligamentum Alar. Fraktur tipe ini dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan morfologi
dan mekanisme cedera9. Klasifikasi alternative membagi fraktur ini menjadi
displaced dan stable, yaitu, dengan dan tanpa cedera ligamen 11. Tipe I
fraktur sekunder akibat kompresi aksial yang mengakibatkan kombinasi dari
kondilus oksipital. Ini merupakan jenis cedera stabil. Tipe II fraktur yang
dihasilkan dari pukulan langsung meskipun fraktur basioccipital lebih luas,
fraktur tipe II diklasifikasikan sebagai fraktur yang stabil karena ligament
alar dan membran tectorial tidak mengalami kerusakan. Tipe III adalah cedera
avulsi sebagai akibat rotasi paksa dan lateral bending. Hal ini berpotensi
menjadi fraktur tidak stabil10.
Fraktur

clivus, digambarkan sebagai akibat ruda paksa energi tinggi

dalam kecelakaan kendaraan bermotor. Longitudinal, transversal, dan tipe


oblique telah dideskripsikan dalam literatur. Fraktur longitudinal memiliki
prognosis terburuk, terutama bila melibatkan sistem vertebrobasilar. Defisit
pada nervus kranial VI dan VII biasanya dijumpai pada fraktur tipe ini12.
Manifestasi klinis
Pasien dengan fraktur pertrous os temporal dijumpai dengan otorrhea
dan memar pada mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur basis
cranii fossa anterior adalah dengan rhinorrhea dan memar di sekitar
palpebra (raccoon eyes). Kehilangan kesadaran dan Glasgow Coma Scale
dapat bervariasi, tergantung pada kondisi patologis intrakranial4.
Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang
pendengaran dan ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang
berlangsung lebih dari 6-7 minggu. Tuli sementara yang akan baik kembali
dalam waktu kurang dari 3 minggu disebabkan karena hemotympanum dan
edema mukosa di fossa tympany. Fasial palsy, nystagmus, dan fasial numbness
adalah akibat sekunder dari keterlibatan nervus kranialis V, VI, VII. Fraktur

tranversal os temporal melibatkan saraf kranialis VIII dan labirin, sehingga


menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran permanen
(permanent neural hearing loss)4.
Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan
serius12. Sebagian besar pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama
dengan tipe III, berada dalam keadaan koma dan terkait cedera tulang belakang
servikalis.

Pasien

ini juga memperlihatkan

cedera

saraf kranialis dan

hemiplegia atau kuadriplegia.


Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah keterlibatan
nervus kranialis IX, X, dan XI akibat fraktur. Pasien tampak dengan
kesulitan fungsi fonasi dan aspirasi dan paralysis ipsilateral dari pita suara,
palatum

mole

(curtain

sign),

superior

pharyngeal

constrictor,

sternocleidomastoid, dan trapezius. Collet-Sicard sindrom adalah fraktur condylar


os oksipital dengan keterlibatan nervus kranial IX, X, XI, dan XII4,13.
Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologi
Radiografi: Pada

tahun 1987, foto x-ray

tulang

tengkorak

merujukan pada kriteria panel memutuskan bahwa skull film


kurang optimal dalam menvisualisasikan fraktur basis cranii. Foto

xray skull tidak bermanfaat bila tersedianya CT scan.


CT scan: CT scan merupakan modalitas kriteria standar untuk
membantu dalam diagnosis skull fraktur. Slice
window hingga

tipis

bone

ukuran 1-1,5 mm, dengan potongan sagital,

bermanfaat dalam menilai skull fraktur. CT scan Helical sangat


membantu dalam menvisualisasikan fraktur condylar occipital,

biasanya 3-dimensi tidak diperlukan.


MRI: MRI atau magnetic resonance angiography merupakan
suatu nilai tambahan untuk kasus yang dicurigai mengalami
cedera pada ligament dan vaskular. Cedera pada tulang jauh lebih
baik divisualisasikan dengan menggunakan CT scan4.

Pemeriksaan lainnya
Perdarahan dari telinga atau hidung pada kasus dicurigai terjadinya
kebocoran CSF, dapat dipastikan dengan salah satu pemeriksaan suatu tehnik
dengan

mengoleskan

darah

tersebut

pada

kertas

tisu, maka

akan

menunjukkan gambaran seperti cincin yang jelas yang melingkari darah,


maka disebut halo atau ring sign. Kebocoran dari CSF juga dapat dibuktikan
dengan menganalisa kadar glukosa dan dengan mengukur transferrin4.
Terapi Medis
Pasien dewasa dengan simple fraktur linear tanpa disertai kelainan
struktural neurologis tidak memerlukan intervensi apapun bahkan pasien dapat
dipulangkan untuk berobat jalan dan kembali jika muncul gejala. Sementara
itu, Pada Bayi dengan simple fraktur linier harus dilakukan pengamatan secara
terus menerus tanpa memandang status neurologis. Status neurologis pasien
dengan fraktur basis cranii

tipe linier biasanya

ditatalaksana

secara

conservative, tanpa antibiotik. Fraktur os temporal juga dikelola secara


konservatif, jika disertai

rupture membran timpani biasanya akan sembuh

sendiri5.
Simple fraktur depresi dengan tidak terdapat kerusakan struktural pada
neurologis pada bayi ditatalaksana dengan penuh harapan. Menyembuhkan
fraktur depresi dengan baik membutuhkan waktu, tanpa dilakukan elevasi
dari

fraktur

depresi.

Obat

anti

kejang

dianjurkan

jika

kemungkinan

terjadinya kejang lebih tinggi dari 20%. Open fraktur, jika terkontaminasi,
mungkin

memerlukan antibiotik disamping tetanus toksoid. Sulfisoxazole

direkomendasikan pada kasus ini.


Fraktur condylar tipe I dan II os occipital ditatalaksana secara
konservatif dengan stabilisasi leher dengan menggunakan collar atau traksi halo.
Pemberian antibiotik sebagai terapi profilaksis pada fraktur basis
cranii dengan pertimbangan terjadinya kebocoran dari lapisan meningeal

akan menyebabkan mikroorganisme pathogen dari saluran nafas atas (hidung


dan telinga) dapat mencapai otak dan selaput mengingeal, hal ini masih menjadi
controversial.

Pemberian

antibiotik

profilaksis

berkontribusi

terhadap

terjadinya peningkatan resistensi antibiotik dan akan menyebabkan infeksi yang


serius14.
Pada sebuah review artikel yang di publish antara tahun 1970 dan
1989, menemukan 848 kasus dari fraktur basis cranii (519 mendapatkan
antibiotik profilaksis dan 8% menjadi meningitis) dan kesimpulannya adalah
antibiotik tidak mencegah terjadinya meningitis pada fraktur basis cranii 14. Studi
lain juga menunjukkan dengan menggunakan uji statistik, dari total 1241 pasien
dengan fraktur basis

cranii,

719 pasien

diantaranya mendapat

antibiotik

profilaksis dan 512 pasien tidak mendapat antibiotik profilaksis. Kesimpulan


dari penelitian tersebut menunjukkan antibiotik profilaksis tidak mencegah
terjadinya meningitis pada pasien fraktur basis cranii. (odds ratio (OR) =
1.15; 95% confidence interval (CI) = 0.68-1.94 P = .678)14.
Terapi Bedah
Peran operasi terbatas dalam pengelolaan skull fraktur. Bayi dan anakanak dengan open fraktur depresi memerlukan intervensi bedah. Kebanyakan
ahli bedah lebih suka untuk mengevaluasi fraktur depresi jika segmen depresi
lebih dari 5 mm di bawah inner table dari adjacent bone. Indikasi untuk
elevasi segera adalah

fraktur

pneumocephalus, dan hematom

yang

terkontaminasi,

yang

dural

tear

mendasarinya. Kadang

dengan
kadang,

craniectomy dekompresi dilakukan jika otak mengalami kerusaksan dan


pembengkakan
dikemudian hari.

akibat

edema. Dalam

hal

ini, kranioplasti

dilakukan

Indikasi lain untuk interaksi bedah dini adalah fraktur

condylar os oksipital tipe unstable (tipe III) yang membutuhkan arthrodesis


atlantoaxial. Hal ini dapat dicapai dengan fiksasi dalam-luar16.
Menunda untuk dilakukan intervensi bedah diindikasikan pada keadaan
kerusakan ossicular (tulang pendengaran) akibat fraktur basis cranii jenis

longitudinal

pada

os

temporal. Ossiculoplasty mungkin diperlukan jika

kehilangan berlangsung selama lebih dari 3 bulan atau jika membran


timpani tidak sembuh sendiri. Indikasi lain adalah terjadinya kebocoran CSF
yang persisten setelah fraktur basis cranii. Hal ini memerlukan secara tepat
lokasi kebocoran sebelum intervensi bedah dilakukan5, 15, 16.
Komplikasi
Risiko infeksi tidak tinggi, bahkan tanpa antibiotik, terutama
disertai

yang

dengan rhinorrhea. Fasial palsy dan gangguan ossicular yang

berhubungan dengan fraktur basis cranii dibahas di bagian klinis. Namun,


terutama, fasial palsy yang terjadi pada hari ke 2-3 pasca trauma adalah
akibat sekunder untuk neurapraxia dari nervus kranialis VII dan responsif
terhadap steroid, dengan prognosis yang baik. Onset fasial palsy secara tiba tiba
pada saat bersamaan terjadinya fraktur biasanya akibat skunder dari transeksi
nervus, dengan prognosis buruk.
Nervus kranialis lain mungkin juga terlibat dalam fraktur basis cranii.
Fraktur
gasserian.

pada

ujung pertosus os temporale

Cedera

nervus

kranialis

VI

mungkin melibatkan ganglion


yang terisolasi bukanlah akibat

langsung dari fraktur, tapi mungkin akibat skunder karena terjadinya


ketegangan pada nervus. Nervus kranialis (IX, X, XI,dan XII) dapat terlibat
dalam fraktur condylar os oksipital, seperti yang dijelaskan sebelumnya dalam
Vernet dan sindrom Collet-Sicard (vide supra). Fraktur os sphenoidalis dapat
mempengaruhi nervus kranialis III, IV,dan VI
arteri karotis
pseudoaneurysma

interna

dan jugadapat mengganggu

dan berpotensi menghasilkan

dan fistula

caroticocavernous

pembentukan

(jika melibatkan

struktur

vena). Cedera karotis diduga terdapat pada kasus kasus dimana fraktur
berjalan melalui kanal karotid, dalam hal ini, CTangiografi dianjurkan5.

DAFTAR PUSTAKA
1. Wedro B C, Stoppler MC. Head Injury Overview. on emedicine health.
Available
at
http://www.emedicinehealth.com/script/main/art.asp?
articlekey=59402&page=1#overview last update 10 Mei 2011
2. Listiono L D. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, edisi III; Cedera Kepala
Bab 6. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
3. Thai T J G K. Helmet protection against basilar skull fraktur. Biomechanical
of basilar skull fraktur. On ATSB Research and analysis report road safety
research grant report 2007-03. Australia 2007
4. Qureshi N H, Harsh G, Nosko M G, Talavera F, Wyler A R, Zamboni
P. Skull fraktur. On emedicine
health
2009.
Available
at
http://emedicine.medscape.com/article/248108-clinicalmanifestations
last
update 10 Mei 2011
5. Qureshi N H, Harsh G, Nosko M G, Talavera F, Wyler A R, Zamboni
P. Skull fraktur. On emedicine
health
2009.
Available
at
http://emedicine.medscape.com/article/248108-threatment last update 10 mei
2011
6. American College of Surgeon Committe on Trauma. Cedera kepala. Dalam:
Advanced Trauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia,
penerjemah. Edisi 7. Komisi trauma IKABI; 2004. 168-193.
7. Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto L,
Hartanto H, Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk,
penerjemah. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6.
Jakarta: EGC: 2006.740-59
8. Netter FH, Machado CA. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon
Learning System LLC;2003.
9. Ishman SL, Friedland DR. Temporal bone frakturs: traditional
classification and clinical relevance. Laryngoscope. Oct 2004;114(10):173441.
10. Anderson PA, Montesano PX. Morphology and treatment of occipital condyle
frakturs. Spine (Phila Pa 1976). Jul 1988;13(7):731-6.
11. Tuli S, Tator CH, Fehlings MG, Mackay M. Occipital condyle frakturs.
Neurosurgery. Aug 1997;41(2):368-76; discussion 376-7.
12. Menku A, Koc RK, Tucer B, Durak AC, Akdemir H. Clivus frakturs: clinical
presentations and courses. Neurosurg Rev. Jul 2004;27(3):194-8.
13. Legros B, Fournier P, Chiaroni P, Ritz O, Fusciardi J. Basal fraktur of the
skull and lower (IX, X, XI, XII) kranial nerves palsy: four case reports
including two frakturs of the occipital condyle--a literature review. J
Trauma. Feb 2000;48(2):342-8.
14. Villalobos T, Arango C, Kubilis P, and Rathore M. Antibiotic Prophylaxis
After Basilar Skull Frakturs: A Meta-Analysis; a review article On
cid.oxfordjournals.org. 1998

15. Rathore MH. Do prophylactic antibiotics prevent meningitis after basilar


skull fraktur Pediatric Infect Dis J 1991;10:878.
16. Pait TG, Al-Mefty O, Boop FA, Arnautovic KI, Rahman S, Ceola W. Insideoutside technique for posterior occipitocervical spine instrumentation and
stabilization: preliminary results. J Neurosurg. Jan 1999;90(1 Suppl):1-7.

MANITOL
Batasan
Manitol (osmitrol) merupakan 6-karbon alkohol, yang tergolong sebagai
obat diuretik osmotik.(1) Istilah diuretik osmotik terdiri dari dua kata yaitu diuretik
dan osmotik. Diuretik ialah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan
urine dengan adanya natriuresis (peningkatan pengeluaran natrium) dan diuresis
(peningkatan pengeluaran H2O).(1,2)
Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi cairan udem, yang
berarti mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan
ekstrasel kembali menjadi normal. Secara umum diuretik dapat dibagi dalam dua
golongan besar yaitu: (1) diuretik osmotik; (2) penghambat mekanisme transport
elektrolit di dalam tubuli ginjal.(2)
Satu zat dapat bertindak sebagai diuretik osmotik apabila memenuhi 4
syarat berikut: (1) difiltrasi secara bebas oleh glomerulus; (2) tidak atau hanya
sedikit direabsorpsi sel tubuli ginjal; (3) secara farmakologis merupakan zat yang
inert; dan (4) umumnya resisten terhadap perubahan-perubahan metabolik.
Dengan sifat-sifat ini, maka diuretik osmotik dapat diberikan dalam jumlah cukup
besar sehingga turut menentukan derajat osmolaritas plasma, filtrasi gomerulus,
dan cairan tubuli. Contoh obat goongan ini adalah manitol, gliserol, urea, dan
isosorbit. Dalam klinik manitol yang paling sering digunakan di antara obat
segolongannya.(2,3,5)
Farmakodinamik
Adanya manitol dalam sirkulasi akan meningkatkan tekanan osmotik
sehigga jumlah elektrolit dan air yang dieksresi bertambah besar. Tetapi untuk
menimbulkan diuresis yang cukup besar diperlukan dosis diuretik usmotik yang
cukup tinggi.

Tempat kerja utama manitol adalah: (1) tubuli proksimal, yaitu dengan
menghambat reabsorpsi natrium dan air melalui daya osmotiknya; (2) ansa henle,
yaitu dengan penghambatan reabsorpsi natrium dan air oleh karena hipertonisitas
daerah medula menurun; (3) duktus koligentes, yaitu dengan penghambatan
reabsorpi natrium dan air akibat adanya papillary wash out, kecepatan aliran
filtrat yang tinggi, atau adanya faktor lain.
Manitol dapat menurunkan tekanan maupun volume intra okuler maupun
serebrospinal dengan meninggikan tekanan osmotik plasma sehingga air dari
kedua macam cairan tersebut akan berdifusi kembali ke dalam plasma dan ke
dalam ruang ekstra sel. Di dalam sirkulasi cairan akan dikeluarkan dari tubuh
dengan mekanisme kerja manitol pada ginjal.(1,2,3)
Farmakokinetik
Manitol merupakan diuretik osmotik yang spesifik karena tidak diabsorpsi
dalam traktus gastrointestinal dan harus diberikan per intravena dalam jumlah
besar, karena itu manitol tidak praktis untuk pengobatan udem kronis. Manitol
sangat sedikit dimetabolisme oleh tubuh, lebih kurang 7% dimetabolisme di hati
dan hanya 7% diabsorpsi. Sebagian besar manitol (>90%) dikeluarkan oleh ginjal
dalam bentuk utuh pada urin.(2)
Indikasi
Diuretik osmotik mungkin bisa digunakan untuk beberapa tujuan yang
jelas dan terpisah, tetapi semua tergantung pada sifat darasnya. Manitol
digunakan misalnya untuk profilaksis gagal ginjal akut, suatu keadaan yang dapat
timbul akibat operasi jantung, luka traumatik berat, dan menderita ikterus berat.
Manitol juga banyak digunakan untuk menurunkan tekanan serebrospinal dan
tekanan intraokuler, serta pada pengelolaan terhadap reaksi hemolitik transfusi.
(1,2,3)

Manitol bekerja dengan menekan efek osmotik cairan tubular,


menghambat reabsorpsi air, dan menjaga laju aliran urin dengan syarat membran
normal. Hal ini melindungi ginjal dari kerusakan. Manitol juga dapat
meningkatkan aliran plasma ginjal yang menyebabkan efek vasodilatasi, sehingga
manitol dapat digunakan untuk evaluasi oligouria akut dan keadaan penurunan
pada sebagian fungsi glomerulus seperti pada kehilangan cairan tubuh yang
berlebih.(3)
Pada penanganan perdarahan intrakranial atau penyakit serebrovaskuler
dengan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial dapat pula diberikan
manitol sebagai anti udem.(3,6) Manitol jarang diberikan dalam kasus gagal ginjal
kronis kecuali pada keadaan yang menyertai dialysis disegr sisequilibrium
syndrome. Dalam hal ini kerja manitol mengurangi udem serebral yang
menyebabkan mual, muntah, tremor, dan kejang. Manitol dapat pula digunakan
untuk mengeluarkan racun dan obat pada kasus keracunan atau over dosis obat.
(1,3)

Kontraindikasi
Pada penderita payah jantung pemberian manitol berbahaya, karena
volume darah yang beredar meningkat sehingga memperberat kerja jantung yang
telah gagal. Pemberian manitol juga dikontraindikasikan pada penyakit ginjal
dengan anuria, kongesti atau udem paru yang berat, dehidrasi hebat, dan
perdarahan intra kranial, kecuali bila akan dilakukan kraniotomi, serta pada
pasien yang hipersensitivitas terhadap manitol.(1,2,3,5,7)
Sediaan
Manitol tersedia dalam berbagai kemasan dan konsentrasi, yaitu: Manitol
10% dalam kemasan plabottle 250 ml (25 gr) dan 500 ml (50 gr). Manitol 20%
dalam kemasan plabottle 250 ml (50 gr) dan 500 ml (100 gr).(1,3,5,7,8)
Dosis dan Cara Pemberian

Sebelum

digunakan

manitol

dihangatkan

terlebih

dahulu

untuk

melarutkan kristal-kristalnya. (3) Untuk suntikan intravena digunakan larutan 5


25% dengan volume antara 50 1000 ml. Dosis untuk menimbulkan diuresis
ialah 50 200 gr yang diberikan dalam cairan infus selama 24 jam dengan
kecepatan infus sedemikian, sehingga diperoleh diuresis sebanyak 30 50
ml/jam.
Untuk penderita dengan oligouria hebat diberikan dosis percobaan yaitu
200 ml/kg BB yang diberikan melalui infus selama 3 5 menit. Bila dengan 1 2
kali dosis percobaan diuresis masih kurang dari 30 ml/jam dalam 2 3 jam, maka
status pasien harus dievaluasi kembali sebelum pengobatan dilanjutkan.
Untuk pencegahan gagal ginjal akut pada tindakan operasi atau untuk
mengatasi oligouria, dosis total manitol untuk orang dewasa ialah 50 100 gr.
Untuk menurunkan tekanan intrakranial yang meninggi, menurunkan tekanan
intraokuler pada seorang akut glaukoma kongestif, atau sebelum operasi mata,
digunakan manitol 1,5 2 gr/kg BB sebagai larutan 15 20%, yang diberikan
melalui infus selama 30 60 menit.(2,3)
Efek Samping dan Perhatian
Infus maniotol harus segera dihentikan jika terdapat tanda-tanda
gangguan fungsi ginjal yang progresiv, payah jantung, atau kongesti paru.
Keracunan akut dapat menyertai pada pemberian intravena manitol jika aliran
ginjal tidak adekuat.(1,2,3,5)
Manitol adalah larutan hiperosmolar, larutan ini tidak boleh dicampur
dengan produk lain.(3) Larutan hiperosmotik manitol harus diberikan dengan
pelan-pelan secara injeksi intravena dan tidak boleh dicampur dengan darah
dalam peralatan transfusi.(2,3)
Hiperkalemia juga dapat timbul, dimana kadar potasium meningkat dalam
darah. Pasien harus segera diobservasi untuk tanda-tanda ketidakseimbangan
elektrolit dan cairan ini dengan pemeriksaan elektrolit darah.

Reaksi anafilaksis atau alergi bisa terjadi yang menyebabkan kardiak


output dan tekanan arterial gagal drastis. Destruksi eritrosit yang ireversibel juga
dapat terjadi pada pemberian manitol.

DAFTAR PUSTAKA
1. Bairstrow Kendra. Manitol. 2002 May. Available from: URL: http://www.
science.mcmaster.ca/biology/4S03/manitol.htm. Diakses tanggal 6 Januari
2016
2. Sunaryo R. Obat yang Mempengaruhi Air dan Elektrolit. Dalam: Ganiswara
SG, Setiabudy Rp, Suyatna FD, Purwantyastuti, Nafrialdi, Ed. Farmakologi
dan Terapi. Edisi ke-4. Jakarta. Gaya Baru. 1997; 380-399.
3. Kohler C & PPE. Intramed Mannitol 20% m/v Infusion. 12-214/8-94. 1979
January.
Available
from:
URL:
http://www.home.intekom.com/pharm/intramed/ manitl20.html. Diakses
tanggal 6 Januari 2016
4. Guyton AC. Fisiologi Manusia & Mekanisme Penyakit. Edisi ke-3. Jakarta.
EGC. 1995; 310-320.
5. Mannitol
(Diuretico
Osmotico).
Available
from:
URL:
http://www.thejog.com/ urgencies/64.html#indica0. Diakses tanggal 6 Januari
2016
6. Saanin Syaiful. Ilmu Bedah Saraf. Lab. Bedah Saraf RS. M. Jamil, FK
UNAND
Padang.
Available
from:
URL:
http://www.agelfire.com/nc/neurosurgery/PIS. html. Diakses tanggal 6
Januari 2016
7. Winotopradjoko M, Patra K, Ritiasa K, et al. ISO Indonesia. Edisi
Farmakoterapi. Vol XXXV. Jakarta. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia. 2000;
243.
8. PT Otsuka Indonesia. Pedoman Cairan Infus. Edisi ke-7. PT Otsuka
Indosesia. 2000; 11

Anda mungkin juga menyukai