Anda di halaman 1dari 20

3.

1 FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK BATUBARA


Menurut L.E. Schlatters (1973) menyebutkan bahwa pembentukan batubara
merupakan proses yang kompleks yang harus dipelajari dari banyak segi,
karena ada bermacam-macam proses yang berbeda satu dengan lainnya yang
mempengaruhi pembentukan batubara, baik derajat maupun jenis batubaranya
pada suatu cekungan (Gb. 3.1).
3.1.1 Posisi geotektonik (geotectonic position)
Di dalam genesa cekungan batubara, posisi geotektonik merupakan faktor yang umum,
dominan, dan memegang peranan penting. Posisi geotektonik mempengaruhi iklim,
morfologi cekungan, kecepatan sedimentasi, kecepatan penurunan dasar cekungan, jenis
flora, dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap jenis batubara (coal type), derajat
batubara (coal rank), dan geometri lapisan batubara yang terbentuk (Gambar 3.2).
Pada daerah bertektonik kuat, penurunan cekungan akan berjalan cepat selama
pengendapan berlangsung. Akibatnya akan berpengaruh terhadap perbedaan petrografi
dan geometri lapisan batubara serta menambah kontaminasi mineral, seperti sulfida,
klorit, dan karbonat.
Cekungan batubara dapat terbentuk diberbagai posisi dari suatu tatanan tektonik (lihat
cekungan batubara, R.P. Koesoemadinata, Bab 2). Batubara di Sumatera Selatan terjadi di
cekungan belakang busur pada lingkungan yang sebagian besar berair payau, sedangkan
batubara Ombilin terjadi di cekungan intra-montane pada lingkungan air tawar. Batubara
di Bengkulu terjadi cekungan muka busur pada lingkungan delta. Batubara di Kalimantan
Timur pada delta yang progradasi, seperti di Delta Mahakam.

3.1.2 Topografi purba (paleotopografi)


Morfologi cekungan mempunyai arti penting di dalam menentukan penyebaran
rawa-rawa tempat batubara terbentuk. Pada daerah pantai datar dan tidak
berbukit merupakan lingkungan yang baik untuk pembentukan batubara,
demikian juga di daerah cekungan benua, tetapi jumlahnya terbatas. Pada
dataran stabil, erosi akan mempengaruhi ukuran dan bentuk lakustrin, asal dan
luas pengaliran, aliran air, dan permukaan airtanah. Faktor-faktor tersebut
mempengaruhi pembentukan batubara.

3.1.3 Posisi geografi (geographical position)

Posisi geografi berpengaruh terhadap iklim, khususnya temperatur. Pada daerah tropik
dan subtropik, tumbuhan dapat tumbuh subur dibanding pada daerah sedang, sedangkan
di daerah kutub tidak baik bagi pertumbuhan tumbuhan. Pembentukan batubara yang baik
pada rawa-rawa paralik yang tingginya sama dengan permukaan air laut.
Menurut Teichimuller (dalam Stach, 1975), lingkungan pembentukan endapan gambut
dipengaruhi oleh:
1. Kenaikan muka airtanah lambat atau penurunan dasar cekungan lambat, sehingga endapan
gambut terhindar dari abrasi air laut.
2. Adanya beting pantai, gosong pasir, atau tanggul alam yang menghalangi rawa-rawa dari
abrasi air laut, sehingga dapat mempertahankan endapan gambut dari banjir sungai dan
abrasi laut.
3. Relief daratan yang rendah, sehingga pengendapan material fluviatil berbutir halus akan
menutupi endapan gambut yang terbentuk terlebih dahulu.
Berdasarkan posisi geografinya, terjadinya endapan batubara dapat di lingkungan daratan
(limnic) dan pantai laut (paralic). Pada prinsipnya pembentukan endapan gambut
memerlukan kondisi pemukaan airtanah yang konstan sepanjang tahun, sehingga endapan
organik dari tumbuhan yang mati segera terdekomposisi. Kondisi demikian tergantung
posisi geografinya, di samping iklim dan biasanya dijumpai di daerah tepi pantai dimana air
laut membendung air yang datang dari daratan. Juga pada rawa-rawa dekat pantai. Untuk
gambut di daratan dapat pada garis tepi danau atau rawa yang besar.

3.1.4 Iklim (climate)


Gambut berasal dari tumbuhan, sedangkan perkembangan tumbuhan
dipengaruhi oleh iklim, lebih khusus lagi adalah kelembaban. Pada daerah
beriklim tropik dan subtropik yang bertemperatur tinggi, umumnya sesuai untuk
pertumbuhan tumbuhan dibandingkan daerah beriklim dingin. Di samping itu,
suhu yang lebih panas tidak hanya mempercepat pertumbuhan tumbuhan,
tetapi juga mempercepat pembusukan.

Hasil penelitian menyebutkan bahwa hutan rawa tropis mempunyai siklus pertumbuhan
setiap 7-9 tahun dan tumbuhan mencapai tinggi sekitar 30 m, sementara di iklim dingin
atau sedang untuk waktu yang sama pertumbuhannya hanya mencapai ketinggian 5-6 m.
Daerah iklim sedang miskin bahan makanan, sehingga didominasi oleh lumut, sedangkan
daerah tropik didominasi pohon.

Pada Karbon Akhir atau Tersier Awal, umumnya gambut terbentuk di iklim tropis dan
basah. Meskipun demikian, di belahan bumi selatan dan Siberia dijumpai batubara yang
terbentuk di iklim sedang dan basah, bahkan di iklim dingin seperti batubara Gondwana
(Permo-Karbon)
dengan
tumbuhan
utamaGangamopteris,
Glossopteris,
Cycadophyta, dan Conifers.
Lapisan batubara yang terbentuk di lingkungan iklim tropis basah umumnya tebal dan
cemerlang (bright coal), sebaliknya di iklim sedang atau dingin terdiri dari sedikit batubara
cemerlang. Meskipun demikian, selama pembentukan batubara tidak selalu iklimnya tetap,
seperti di belahan bumi selatan terdapat batubara tebal diselingi lapisan yang tidak
mengandung batubara. Kondisi ini ditafsirkan sebagai masa yang kering dengan ciri
sedimen berkadar garam tinggi dan diperkirakan suhunya lebih dingin dibanding suhu
sekarang.

3.1.5 Tumbuhan

(flora)

Tumbuhan merupakan unsur utama pembentuk batubara. Protoplasma adalah sel pengisi
tumbuhan hidup yang merupakan zat koloidal yang sebagian besar terdiri dari air dan
albumin kompleks atau campuran unsur C, H, O, N, S, dan P. Albumin hampir tidak
memiliki daya tahan terhadap pembusukan, fungsinya sebagai zat makan atau nutrient
bagi bakteri penyebab pembusukan.
Selaput sel terutama terdiri dari cellulose, merupakan karbohidrat yang tahan terhadap
perubahan kimiawi, tetapi dapat dengan mudah ditelan oleh mikro-organisme. Di alam,
cellulose bersama-sama dengan sederet unsur lain seperti hemicellulose, pectins, lemak,
dan lignin. Tiga yang pertama tidak memiliki daya tahan terhadap pembusukan, sehingga
kurang penting dalam pembentukan batubara. Lignin diperlukan dalam perubahan bentuk
tumbuhan, selalu terjalin secara submikroskopis dengan cellulose dan merupakan bahan
dasar jaringan kayu, walau terdapat pula dalam daun. Resin dan lilin juga dihasilkan oleh
tumbuhan, biasanya termasuk hidrokarbon polimer tinggi dengan oksigen dan belerang
dalam
jumlah
kecil.
Keduanya
sangat
tahan
terhadap
pembusukan.
Pemunculan tumbuhan tidak terlepas dari evolusi kehidupan yang menghasilkan kondisi
berbeda selama masa sejarah geologi. Mulai Paleozoik-Devonian, tumbuhan tidak tumbuh
dengan baik. Setelah Devon pertama kali terbentuk lapisan batubara di daerah lagunal
yang dangkal. Periode ini merupakan titik awal dari pertumbuhan tumbuhan secara besarbesaran dalam kurun waktu yang singkat pada setiap kontinen. Hutan tumbuh dengan
subur selama Karbon, pada Tersier merupakan perkembangan yang sangat luas dari
berbagai jenis tumbuhan.
3.1.6 Pembusukan (decomposition)

Pembusukan tumbuhan adalah proses peruraian unsur yang merupakan bagian


transformasi biokimia dari bahan organik tumbuhan. Setelah tumbuhan mati, maka yang
berperan adalah proses degradasi biokimia. Prosesnya adalah pembusukan oleh kerja
bakteri dan jamur, terutama di daerah yang bertemperatur hangat dan lembab daripada di
daerah kering dan bertemperatur dingin. Bakteri bekerja pada lingkungan tanpa oksigen,
mula-mula menghancurkan bagian yang lunak dari tumbuhan seperti cellulose,
protoplasma, dan pati. Dalam suasana kekurangan oksigen akan berakibat keluarnya air
dan sebagian unsur karbon dalam bentuk karbondioksida, karbonmonoksida, dan metan.
Akibat pelepasan unsur atau senyawa tersebut, maka jumlah relatif unsur karbon akan
bertambah. Dari proses ini akan terjadi perubahan dari kayu menjadi gambut.
Kecepatan pembentukan gambut bergantung pada kecepatan pertumbuhan tumbuhan
dan proses pembusukan. Bila tumbuhan yang mati tertutup oleh air dengan cepat, maka
akan terjadi proses penguraian oleh bakteri. Sebaliknya apabila tumbuhan yang telah mati
terlalu lama berada di udara terbuka, maka kecepatan pembentukan gambut akan
berkurang, karena hanya bagian yang keras saja yang tertinggal, sehingga menyulitkan
penguraian oleh bakteri.
Pembusukan umumnya berjalan lebih cepat pada kondisi lingkungan yang selalu berganti,
yaitu dari reduksi ke oksidasi dan seterusnya. Kadar pembusukan akan berpengaruh
terhadap batubara yang akan terbentuk.

3.1.7 Penurunan

dasar

cekungan

(subsidence)

Penurunan cekungan merupakan hal penting, yaitu jika penurunan dan akumulasi
tumbuhan berjalan seimbang, maka akan menghasilkan endapan batubara
tebal. Pergantian transgresi dan regresi juga akan mempengaruhi pertumbuhan tumbuhan
dan pengendapannya, juga menyebabkan adanya infiltrasi material dan mineral yang akan
mempengaruhi
komposisi
batubara.
Kecepatan penurunan yang lebh cepat dari kecepatan akumulasi tumbuhan akan
mengakibatkan air menggenangi rawa-rawa dan hutan sekelilingnya, sehingga kehidupan
tumbuhan terganggu. Jika penurunan lebih lambat dari kecepatan akumulasi tumbuhan,
maka akan menyebabkan akumulasi tumbuhan di permukaan. Akibatnya permukaan
airtanah akan turun dan tumbuhan membusuk oleh udara.

3.1.8 Waktu

geologi

(geological

age)

Waktu geologi menentukan berkembangnya beragam tumbuhan, misal pada jaman Karbon

dijumpai endapan batubara yang melimpah karena pada jaman tersebut perkembangan
tumbuhan mencapai puncaknya.
Waktu geologi juga dapat meningkatkan derajat batubara, karena makin tua umur endapan
batubara, maka besar kemungkinannya tertimbun lebih dalam dan lebih tebal oleh
endapan sedimen dibandingkan yang berumur muda. Meskipun demikian, pada batubara
yang lebih tua selalu ada risiko mengalami deformasi tektonik dan pengaruh erosi,
sehingga dapat mengganggu atau mengurangi endapan batubara yang ada.
Perkecualian dapat terjadi, sekalipun endapan batubara berumur tua, belum tentu akan
tertimbun oleh sedimen yang lebih tebal atau mempunyai peringkat yang lebih tinggi.
Bahkan adanya terobosan batuan beku dapat membuat endapan batubara muda mencapai
peringkat yang tinggi, misalnya endapan semi antrasit yang berumur Mio-Pliosen di Suban,
Tanjung Enim dan berumur Miosen Tengah di Bukit Sunur, Bengkulu.

3.1.9 Sejarah setelah pengendapan (post-depositional history)


Sejarah cekungan batubara sangat tergantung pada posisi geotektoniknya, karena posisi
geotektonik mempengaruhi perkembangan cekungan batubara dan berpengaruh pada
tebalnya lapisan penutup yang pada akhirnya menentukan proses kecepatan metamorfose
organik dan bertanggungjawab terhadap struktur cekungan batubara, lipatan, sesar, atau
terobosan batuan beku. Secara singkat dapat berpengaruh terhadap aspek geometri
lapisan batubara dan kualitas batubara.

3.1.10 Metamorfosa organik (organic metamorphism)


Perubahan fisik dan kimia dari organisme secara berangsur menjadi bentuk lain yang
susunannya lebih kompleks, umumnya pada kondisi tanpa oksigen. Prosesnya dibagi
menjadi dua tahap, yaitu perubahan biokimia dan perubahan geokimia.
Proses biokimia yaitu perubahan dari tumbuhan mati menjadi gambut dan proses
geokimia yaitu perubahan dari gambut menjadi batubara. Pada proses geokimia, kenaikan
suhu memegang peranan penting, yaitu berkurangnya unsur hidrogen dan oksigen yang
diikuti oleh meningkatnya unsur karbon, sehingga derajat batubara makin meningkat.
Kenaikan suhu ini terutama disebabkan oleh tebalnya batuan yang menindihnya atau
adanya terobosan magma batuan beku.

Metamorfosa organik dipengaruhi oleh proses yang bekerja setelah pengendapan, secara
tidak langsung juga dipengaruhi oleh posisi geotektonik, kecepatan penurunan cekungan,
dan waktu geologi.
3.2 PEMBATUBARAAN
Secara umum telah diterima bahwa batubara berasal dari tumbuhan yang karena
proses-proses geologi, maka terbentuklah endapan batubara yang kita lihat sekarang.
Pembentukan tumbuhan mati menjadi gambut dan batubara melalui dua tahap, yaitu
tahap diagenesa gambut (peatification) dan tahap pembatubaraan (coalification).
3.2.1 Tahap biokimia/diagenesa gambut (peatification)
Tahap diagenesa gambut
merupakan tahap awal pembentukan batubara,
yaitu mencakup perubahan oleh mikroba dan proses kimia. Dimulai dari
pembusukan tumbuhan sampai terbentuk gambut (peat). Pada tahap ini
dicirikan oleh aktivitas bakteri aerob (membutuhkan oksigen) dan anaerob
(tidak membutuhkan oksigen).
Jika tumbuhan tumbang di suatu rawa, maka dapat terjadi proses biokimia yang
secara vertikal dapat dibagi menjadi dua zone, yaitu zone permukaan yang
umumnya perubahan berlangsung dengan bantuan oksigen dan zone tengah
sampai kedalaman 0,5 m yang disebut denganpeatigenic layer (Teichmuller,
1982). Pada zone peatigenic terdapat bakteri aerob, lumut, dan actinomyces
yang aktif. Bakteri aerob akan menyebabkan oksidasi biologi pada komponenkomponen tumbuhan yang material utamanya adalah cellulose. Senyawasenyawa protein dan gula cenderung terhidrolisa. Cellulose akan diubah menjadi
glikose dengan cara hidrolisis:
C6H10O5 + H2O --> C6H12O6
(cellulose)
(glikose)
Jika suplai oksigen berlangsung terus, maka proses ini akan menuju pada
penguraian lengkap dari senyawa organik, yaitu:
C6H10O5 + 6 O2 --> 6 CO2 + 5 H2O
Bagian-bagian dari material tumbuhan tersebut cenderung membentuk koloid
dan umumnya disebut dengan asam humus (humic acid). Lemak dan material
resin umumnya hanya mengalami perubahan sedikit.

Apabila kandungan oksigen air rawa sangat rendah dan dengan bertambahnya
kedalaman, sehingga tidak memungkinkan bakteri-bakteri aerob hidup, maka
sisa tumbuhan tersebut tidak mengalami proses pembusukan dan
penghancuran yang sempurna, dengan kata lain tidak terjadi proses oksidasi
yang sempurna. Pada kondisi tersebut hanya bakteri-bakteri anaerob saja yang
berfungsi melakukan proses pembusukan yang kemudian membentuk gambut
(peat).

Prosesnya adalah dengan bertambahnya kedalaman, maka bakteri aerob akan


berkurang (mati) dan diganti dengan bakteri anaerob sampai kedalaman 10 m,
dimana kehidupan bakteri makin berkurang dan hanya terjadi perubahan kimia,
terutama kondensasi primer, polymerisasi, dan reaksi reduksi. Pada bakteri
anaerob akan mengkonsumsi oksigen dari substansi organik dan mengubahnya
menjadi produk bituminous yang kaya hidrogen, selanjutnya dengan tidak
tersedianya oksigen, maka hidrogen dan karbon akan menjadi H2O, CH4, CO,
dan CO2.

1.
2.
3.
4.

Apabila ditinjau secara vertikal, maka lapisan gambut paling atas mempunyai
pertambahan kandungan karbon relatif cepat sesuai kedalamannya
sampai peatigenic layer, yakni 45-50% sampai 55-60%. Lebih dalam lagi,
pertambahan kandungan karbon mencapai 64%. Kandungan karbon yang tinggi
pada peatigenic layer disebabkan karena pada lapisan tersebut kaya substansi
yang mengandung oksigen, terutama cellulose dan humicellulose yang diubah
secara mikrobiologi.
Dari keseluruhan proses, maka pembentukan substansi humus merupakan
proses penting yang tidak tergantung pada fasies dan tidak semata-mata pada
kedalaman. Oleh karena itu, faktor yang mempengaruhi proses humifikasi
dimana bakteri dapat beraktivitas dengan baik adalah kondisi lingkungan
berikut ini:
Keasaman air, yaitu pada pH 7,0-7,5.
Kedalaman, yaitu pada kedalaman sekitar 0,5 m untuk bakteri aerob, sedangkan
untuk bakteri anaerob bisa sampai kedalaman 10 m.
Suplai oksigen, akan menurun mengikuti kedalaman.
Temperatur lingkungan, pada suhu yang hangat akan mendukung kehidupan
bakteri.

Potonie (1920 dalam Teichmuller, 1982 dan Diessel, 1984) menyebutkan bahwa
pada rumpun tumbuhan yang sama, iklim dan kondisi lingkungan yang sama,
maka potensial redox (Eh) memegang peranan penting untuk aktifitas bakteri
dan penggambutan. Ketersediaan oksigen menentukan apakah proses
penggambutan berjalan atau tidak. Berikut ini transformasi organik dalam
kaitannya dengan ketersediaan oksigen (Tabel 3.1), dimana salah satu dari
empat proses biokimia di bawah ini akan terjadi pada tumbuhan yang telah
mati, yaitu:
1.Bahan tumbuhan bereaksi dengan oksigen dan merapuh (desintegration), menghasilkan zat
terbang, terutama CO2, metan, dan air. Umumnya menghasilkan sisa yang tidak padat.
Beberapa unsur utama tumbuhan akan lebih tahan pada tipe ubahan ini, misal resin dan
lilin.

2. Proses humifikasi atau pembusukan, yaitu bahan tumbuhan akan berubah menjadi humus
akibat oleh terbatasnya oksigen dari atmosfir dan tingginya kandungan air lembab.
Batubara yang dihasilkan berupa humic coal.
3. Proses penggambutan (peatification), yaitu keadaan muka air tinggi di atas lapisan yang
terakmulasi dapat mencegah terjadinya oksidasi, akibatnya pada lingkungan yang reduksi
dan adanya bakteri anaerob, jaringan-jaringan tumbuhan menjadi hancur, kemudian
terakumulasi dan menjadi gambut, selanjutnya akan menghasilkan humic coal.
4.Putrefaction (permentasi) yaitu peruraian hancuran tanaman akuatik (terutama algae),
bahan hanyutan, dan plankton dalam lingkungan reduksi pada kondisi air diam (stagnant),
hasilnya membentuk sapropel, sedangkan batubara yang dihasilkan adalah batubara
sapropelik.
Secara umum tahapan biokimia dapat dikelompokan menjadi dua jenis
(Diessel, 1992), yaitu:
1. Vitrinisasi (vitrinisation path)
Hasil humifikasi pada dekomposisi hidrolik terhadap tumbuhan yang telah mati akan mengalami suatu
deret kestabilan dari kandungan sel-sel yang lunak menjadi celulose, hemicelulose, dan beberapa
komponen yang lebih tahan seperti lignin (Waksman dan Stevens, 1929). Fluida humik akan
berubah sepanjang tahapan humifikasi. Kompaksi dan dehidrasi gambut akibat penambahan
beban oleh lapisan penutup mengakibatkan fluida humik mengental. Dalam batubara muda fluida
humik muncul sebagai humocollinit (jika berupa koloid) dan humodetrinit (jika bercampur dengan
fragmen-fragmen sisa sel). Koloid humik dapat mengisi ruang-ruang sel jaringan tumbuhan dan
setelah pembatubaraan pada tingkat batubara bitumen akan muncul sebagai gelocollinit. Setelah
presipitasi, koloid humik dapat berupa granular (sebagai porigelinit) dan kemudian lumer (gelify)
berbentuk larutan atau zat yang jernih (sebagai eugellinit).

2. Fusinitisasi (fusinitisation path)


Pada lapisan batubara juga ditemukan maseral-maseral inertinit yang mempunyai kandungan
karbon tinggi, artinya menunjukan bahwa bahan-bahan tumbuhan ini sebelum sedimentasi
berakhir telah mengalami dehidrasi pada suatu periode kering dan oksidasi yang intensif
(fusinitisasi). Ada tiga model proses fusinitisasi, yaitu:

--> Pengawetan akibat pengeringan dinding sel dan dehidrasi pada koloid koloid humik yang
kemudian terubah sehingga tidak dapat mengalami rehidrasi dan melanjutkan hidrolisa. Hasilnya
disebut oxi-semifusinite yang memperlihatkan efek humifikasi akibat mikroba dengan baik.
Pembentukan semifusinit sebagai akibat dekomposisi selektif oleh
organisme terhadap
jaringan kayu, terutama jaringan yang lunak (degrado semifusinit).

Akibat pembakaran pada gambut (pyrofusinite) yang tidak sempurna, maka akan
menyebabkan perbedaan reflektansi dari jaringan-jaringan sel tumbuhan dengan berbedanya
kedalaman.
Ciri umum gambut adalah sebagai berikut:
1. Berwarna kecoklatan sampai hitam.
2. Kandungan air > 75% (pada brown coal < 75%)
3. Kandungan karbon umumnya < 60% (pada brown coal > 60%).
4. Masih memperlihatkan struktur tumbuhan asal, terdapat sellulose(pada brown coal cellulose
tidak hadir).
5. Dapat dipotong dengan pisau (pada brown coal tidak dapat dipotong).
6. Bersifat porous, bila diperas dengan tangan, keluar airnya.
Berdasarkan ciri di atas adalah tidak mudah secara pasti membedakan antara peat dan brown
coal, apalagi proses perubahannya berlangsung secara bertahap.
3.2.2. Tahap geokimia/pembatubaraan (coalification)
Menurut Stach (1972) tahap geokimia atau tahap pembatubaraan disebut sebagai tahap
fisika-kimia (physicochemical stage), yaitu tahap perubahan dari gambut menjadi batubara secara
bertingkat (brown coal, sub-bituminous coal, bituminous coal, semi anthracite, anthracite, metaanthracite) yang disebabkan oleh peningkatan temperatur dan tekanan.
Prosesnya, jika lapisan gambut yang terbentuk kemudian ditutupi oleh lapisan sedimen,
maka akan mengalami tekanan dari lapisan sedimen tersebut, tekanan akan meningkat dengan
bertambahnya ketebalan lapisan sedimen. Tekanan yang bertambah akan mengakibatkan
peningkatan temperatur. Di samping itu, temperatur juga akan meningkat dengan bertambahnya
kedalaman yang disebut gradien geotermal. Kenaikan temperatur dan tekanan juga disebabkan
oleh aktivitas magma dan aktivitas tektonik lainnya. Peningkatan tekanan dan temperatur pada
lapisan gambut akan mengkonversi gambut menjadi batubara dimana terjadi proses pengurangan
kandungan air, pelepasan gas-gas (H 2O, CH4, CO, dan CO2), peningkatan kepadatan dan kekerasan,
serta peningkatan kalor. Faktor tekanan dan temperatur serta waktu merupakan faktor-faktor yang
menentukan kualitas batubara.
Pada tahap ini terjadi perubahan rombakan tumbuhan dari kondisi reduksi ke suatu seri
menerus dengan prosentase karbon makin meningkat dan prosentase oksigen serta hidrogen
makin berkurang. Juga sifat fisik maseral mulai terbentuk, seperti kenaikan reflektansi maseral
batubara seiring dengan naiknya derajat proses kimia-fisika.

Perubahan-perubahan fisika-kimia berlangsung secara bertahap, yaitu:

1. Tahap pertama adalah pembentukan peat, proses berlangsung terus sampai membentuk
endapan, di bawah kondisi asam menguapnya H2O, CH4, dan sedikit CO2 membentuk

C65H4O30 yang dalam kondisi dry basis besarnya analisa pada ultimate adalah karbon 61,7%,
hidrogen 0,3%, dan oksigen 38,0%.

2. Tahap kedua adalah tahap lignit kemudian meningkat ke bituminous tingkat rendah dengan
susunan C79H55O141 yang pada kondisi dry basis adalah karbon 80,4%, hidrogen 0,3%, dan
oksigen 19,1%.
3. Tahap ketiga adalah peningkatan dari batubara bituminous tingkat rendah sampai tingkat
medium dan kemudian sampai batubara bituminous tingkat tinggi. Pada tahap ini
kandungan hidrogen tetap dan oksigen berkurang sampai satu atom oksigen tertinggal di
molekul.
4. Tahap keempat, kandungan hidrogen berkurang, sedangkan kandungan oksigen menurun
lebih lambat dari tahapan sebelumnya. Hasil sampingan tahap tiga dan empat adalah CH 4,
CO2, dan sedikit H2O.
5. Tahap kelima adalah proses pembentukan antrasit dimana kandungan oksigen tetap dan
kandungan hidrogen menurun lebih cepat dari tahap-tahap sebelumnya.

Meningkatnya tekanan dapat disebabkan oleh penambahan ketebalan lapisan penutup


(lapisan sedimen di atasnya) atau penurunan post-depositional. Akibat tekanan yang tinggi, maka
porositas pada gambut akan menurun dan sejalan dengan terdekomposisinya senyawa OH grup
akan mengakibatkan menurunnya kandungan air. Di samping itu, grup senyawa yang lain (COOH,
CH3, CO) akan terpecah, sehingga terbentuk karbondioksida dan makin meningkatnya oksigen
yang hilang, maka kandungan karbon akan meningkat.
Derajat batubara tergantung pada temperatur, yaitu dapat akibat terobosan batuan beku,
gradien geotermal, dan konduktifitas panas batuan. Contoh pada sedimen Tersier di Upper Rhein
Graben dengan gradien hidrotermal 7-80C/100 m, menghasilkan batubara bituminous pada
kedalaman 1500 m, sedangkan di daerah dingin yang gradien hidrotermalnya 4 0C/100m dapat
mencapai derajat yang sama pada kedalaman 2600m.
Faktor waktu menurut hasil penelitian pada gambut lepas setebal 10-12 ft akan
menghasilkan 1 ft gambut padat memmerlukan waktu sekitar 100 tahun. Dalam proses dari gambut
menjadi batubara terjadi pemampatan dan jika diambil contoh kayu sebagai basis (100%)

pembentukan gambut dan batubara, maka perbandingan volume dalam % adalah:


Gambut
= 28 - 45%
Lignite

= 17 - 28%

Bituminous coal
Anthracite

= 10 - 17%

= 5-10%

Jika diasumsikan bahwa waktu yang diperlukan untuk menghasilkan 1 ft gambut


termampatkan adalah 100 tahun, maka dengan menggunakan persentasi di atas dapat diasumsikan
bahwa waktu yang dibutuhkan untuk akumulasi gambut hingga diperoleh ketebalan batubara 1 ft,
yaitu:

Lignite

= 160 tahun

Bituminous = 260 tahun


Anthracite = 490 tahun
Angka-angka di atas hanya untuk menggambarkan bahwa laju akumulasi gambut dan
batubara sedemikian lambatnya, sementara kondisi di alam demikian banyak faktor yang
mempengaruhinya.
Pengaruh waktu akan berarti bila diikuti temperatur yang tinggi, seperti contoh berikut ini.
Di Gulf Coast of Louisiana yang mengandung batubara Miosen Akhir, terbenam pada kedalaman
5440 m selama 17 juta tahun dengan temperatur 140 0C menghasilkan high volatile bituminous (3540% VM), sedangkan pada batubara Karbon dengan kedalaman yang sama selama 270 juta tahun
hanya mencapai low volatile bituminous (14-16% VM). Contoh lain yang terkenal adalah lignit di
Moscow Basin yang berumur Karbon Bawah, tetapi sampai sekarang tidak pernah menjadi
batubara, karena temperaturnya tidak tercapai.
Selanjutnya, tercapainya derajat batubara juga dapat tergantung pada gabungan temperatur
dan waktu. Sebagai contoh, pada batubara dengan kandungan zat terbang 19% dapat terbentuk
pada kondisi:

1. 2000C selama lebih dari 10 juta tahun


2. 1500C selama lebih dari 50 juta tahun
3. 1000C selama lebih dari 200 juta tahun
4. 50-600C tidak pernah terbentuk batubara
Berdasarkan penjelasan di atas, maka pada prinsipnya derajat batubara ditentukan oleh
faktor temperatur, tekanan, dan waktu, sehingga bisa disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mengendalikan adalah:
1. Derajat batubara sebelum terganggu kegiatan intrusi atau struktur geologi.
2. Ukuran dan bentuk kegiatan intrusi atau struktur geologi.
3. Jumlah dan asal tekanan.
4. Jarak batubara dari gangguan.
5. Suhu batubara dari gangguan
6. Lama gangguan berlangsung.

3.3. PEMBENTUKAN BATUBARA BERDASARKAN TEMPAT TERJADINYA

Berdasarkan tempat terjadinya, maka pembentukan batubara dapat dibagi menjadi


batubara yang terbentuk secara in-situ dan batubara yang bahan pembentuknya sudah mengalami
transportasi (drift) atau disebut juga denganautochthonous coals dan allochthonous coals
(Hacquebard & Donaldson, 1969 dalam Roy D. Merrit, 1986).

3.3.1 Autochthonous coals


Batubara yang bahan-bahan pembentuknya berasal dari tumbuhan yang tumbang di
tempat tumbuhnya dan membentuk batubara di tempat itu juga.
Karakteristik batubaranya adalah sebagai berikut:
1. Hadirnya seat earths.
2. Ada struktur akar tumbuhan yang tegak terhadap bidang perlapisan.
3. Ada pokok (tunggul) pohon yang tumbuh di tempat itu.
4.Batubaranya relatif bersih, kadar abunya relatif kecil, baik pada lapisan batubara maupun lapisan
antar seam.
5. Umumnya berasosiasi dengan lingkungan rawa dengan drainase buruk.
6. Sebarannya luas dan merata di seluruh lapangan batubara.
7. Ketebalannya seragam (kurang bervariasi)cenderung tipis dan berbentuk lentikuler.
8. Hadirnya batupasir kuarsa halus atau ganister.
9. Kontaknya tegas (tiba-tiba) antara batubara dengan lapisan sedimen di atasnya.
10.Berasosiasi dengan lingkungan floating swamps, low-lying swamps, dan raised swamps.
11. Maceral terawetkan secara baik dan hadir litotipe vitrain, clarain, durain, danfusain.

3.3.2. Allochthonous coals


Batubara yang bahan pembentuknya (bagian-bagian dari tumbuhan) berasal dari tempat
lain dimana tumbuhan asal berada, kemudian tertransport, terendapkan, dan membentuk
batubara.
Karakteristik batubaranya adalah sebagai berikut:
1. Tidak adanya seat earths.
2. Tidak dijumpainya struktur akar tumbuhan atau pokok pohon yang tegak terhadap bidang perlapisan.
3. Ketebalan dan kualitas lebih bervariasi.
4. Berasosiasi dengan endapan delta.
5. Batubara yang berasosiasi dengan lingkungan marin.
6. Hadirnya coal balls pada batupasir lapisan penutup.
7. Sebarannya tidak luas dan tersebar pada beberapa tempat.
8. Kadar abunya relatif lebih tinggi, banyak pengotornya.

9. Mengandung maceral yang

resisten

seperti liptinites dan inertinites denganmineral

melimpah.
http://gandukaleng.blogspot.co.id/2013/04/ganesa-batubara.html

matter yang

Safarrudin

The International Handbook of Coal Petrography (1963) menyebutkan bahwa


batubara adalah batuan sedimen yang mudah terbakar, terbentuk dari sisa
tanaman dalam variasi tingkat pengawetan, diikat proses kompaksi dan
terkubur dalam cekungan-cekungan pada kedalaman yang bervariasi.
Sedangkan Prijono (Dalam Sunarijanto, dkk, 2008) berpendapat bahwa
batubara adalah bahan bakar hidrokarbon tertambat yang terbentuk dari
sisa tumbuh-tumbuhan yang terendapkan dalam lingkungan bebas oksigen
serta terkena pengaruh temperatur dan tekanan yang berlangsung sangat
lama. Sedang menurut Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara dijelaskan bahwa batubara adalah
endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa
tumbuh-tumbuhan.
Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa batubara adalah
mineral organik yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba
yang mengendap di dalam tanah selama jutaan tahun. Endapan tersebut
telah mengalami berbagai perubahan bentuk/komposisi sebagai akibat dari
dari adanya proses fisika dan kimia yang berlangsung selama waktu
pengendapannya. Oleh karena itu, batubara termasuk dalam katagori bahan
bakar fosil.

Batubara merupakan salah satu sumber energi fosil alternatif yang


cadangannya cukup besar di dunia. Bagi Indonesia, yang sumber energi
minyak buminya sudah semakin menipis, pengusahaan penggalian batubara
sudah merupakan suatu keniscayaan. Hampir setiap pulau besar di Indonesia
memiliki cadangan batubara, walau dalam kuantitas dan kualitas yang
berbeda.
Terdapat dua model formasi pembentuk batubara (coal bearing formation),
yakni

model

formasi

insitu

dan

model

formasi

endapan

material

tertransportasi (teori drift). Berikut akan dijelaskan masing-masing model


formasi pembentuk batubara tersebut.
1). Model Formasi Insitu

Menurut teori ini, batubara terbentuk pada lokasi dimana pohon-pohon atau
tumbuhan kuno pembentukya tumbuh. Lingkungan tempat tumbuhnya
pohon-pohon kayu pembentuk batubara itu adalah pada daerah rawa atau
hutan basah. Kejadian pembentukannya diawali dengan tumbangnya pohonpohon kuno tersebut, disebabkan oleh berbagai faktor, seperti angin (badai),
dan peristiwa alam lainnya. Pohon-pohon yang tumbang tersebut langsung
tenggelam ke dasar rawa. Air hujan yang masuk ke rawa dengan membawa
tanah atau batuan yang tererosi pada daerah sekitar rawa akan menjadikan
pohon-pohon tersebut tetap tenggelam dan tertimbun.

Demikianlah seterusnya, bahwa semakin lama semakin teballah tanah


penutup pohon-pohonan tersebut. Dalam hal ini pohon-pohon tersebut tidak
menjadi busuk atau tidak berubah menjadi humus, tetapi sebaliknya
mengalami pengawetan alami. Dengan adanya rentang waktu yang lama,
puluhan atau bahkan ratusan juta tahun, ditambah dengan pengaruh
tekanan dan panas, pohon-pohonan kuno tersebut mengalami perubahan
secara bertahap, yakni mulai dari fase penggambutan sampai ke fase
pembatubaraan.

2) Model Formasi Transportasi Material (Teori Drift)


Berdasarkan teori drift ini, batubara terbentuk dari timbunan pohon-pohon
kuno atau sisa-sisa tumbuhan yang tertransportasikan oleh air dari tempat
tumbuhnya. Dengan kata lain pohon-pohon pembentuk batubara itu tumbang
pada lokasi tumbuhnya dan dihanyutkan oleh air sampai berkumpul pada
suatu cekungan dan selanjutnya mengalami proses pembenaman ke dasar
cekungan, lalu ditimbun oleh tanah yang terbawa oleh air dari lokasi sekitar
cekungan.

Seterusnya dengan perjalanan waktu yang panjang dan dipengaruhi oleh


tekanan dan panas, maka terjadi perubahan terhadap pohon-pohon atau sisa
tumbuhan

itu

mulai

dari

fase

penggambutan

sampai

pada

fase

pembatubaraan.
Terdapat perbedaan tipe endapan batubara dari kedua formasi pembentukan
tersebut. Batubara insitu biasanya lebih tebal, endapannya menerus, terdiri
dari sedikit lapisan, dan relatif tidak memiliki pengotor. Sedangkan batubara
yang terbentuk atau berasal dari transportasi material (berdasarkan teori
drift) ini biasanya terjadi pada delta-delta kuno dengan ciri-ciri: lapisannya

tipis, endapannya terputus-putus (splitting), banyak lapisan (multiple seam),


banyak pengotor, dan kandungan abunya biasanya tinggi.
Dari kedua teori tentang formasi pembentukan batubara tersebut di atas
dapat diketahui bahwa kondisi lingkungan geologi yang dipersyaratkan untuk
dapat terjadinya batubara adalah: berbentuk cekungan berawa, berdekatan
dengan laut atau pada daerah yang mengalami penurunan (subsidence),
karena hanya pada lingkungan seperti itulah memungkinkan akumulasi
tumbuhan kuno yang tumbang itu dapat mengalami penenggelaman dan
penimbunan

oleh

sedimentasi.

Tanpa

adanya

penenggelaman

dan

penimbunan oleh sedimentasi, maka proses perubahan dari kayu menjadi


gambut dan seterusnya menjadi batubara tidak akan terjadi, malahan kayu
itu akan menjadi lapuk dan berubah menjadi humus.
Terdapat dua tahapan proses pembentukan batubara, yakni proses
penggambutan (peatification) dan proses pembatubaraan (coalification).
Pada proses penggambutan terjadi perubahan yang disebabkan oleh makhluk
hidup, atau disebut dengan proses biokimia, sedangkan pada proses
pembatubaraan prosesnya adalah bersifat geokimia.
Pada proses biokimia, sisa-sisa tumbuhan atau pohon-pohonan kuno yang
tumbang itu terakumulasi dan tersimpan dalam lingkungan bebas oksigen
(anaerobik) di daerah rawa dengan sistem drainase (drainage system) yang
jelek, dimana material tersebut selalu terendam beberapa inchi di bawah
muka air rawa. Pada proses ini material tumbuhan akan mengalami
pembusukan, tetapi tidak terlapukan. Material yang terbusukkan akan
melepaskan unsur-unsur hidrogen (H), Nitrogen (N), Oksigen (O), dan Karbon
(C) dalam bentuk senyawa-senyawa: CO2, H2O, dan NH3 untuk menjadi

humus. Selanjutnya bakteri-bakteri anaerobik serta fungi merubah material


tadi menjadi gambut (peat). (Susilawati, 1992 dalam Sunarijanto, 2008: 5).
Sedangkan pada proses pembatubaraan (coalification), terjadi proses
diagenesis dari komponen-komponen organik yang terdapat pada gambut.
Peristiwa diagenesis ini menyebabkan naiknya temperatur dalam gambut itu.
Dengan semakin tebalnya timbunan tanah yang terbawa air, yang menimbun
material gambut tersebut, terjadi pula peningkatan tekanan. Kombinasi dari
adanya proses biokimia, proses kimia, dan proses fisika, yakni berupa
tekanan oleh material penutup gambut itu, dalam jangka waktu geologi yang
panjang, gambut akan berubah menjadi batubara. Akibat dari proses ini
terjadi peningkatan persentase kandungan Karbon (C), sedangkan kandungan
Hidrogen (H) dan Oksigen (O) akan menjadi menurun, sehingga dihasilkan
batubara dalam berbagai tingkat mutu (Susilawati, 1992 dalam Sunarijanto,
2008: 5).

Secara berurutan, proses yang dilalui oleh endapan sisa-sisa tumbuhan


sampai menjadi batubara yang tertinggi kualitasnya adalah sebagai berikut:

1.
2.
3.

4.

5.

6.
7.

Sisa-sisa tumbuhan mengalami proses biokimia berubah menjadi


gambut (peat);
Gambut mengalami proses diagenesis berubah menjadi batubara muda
(lignite) atau disebut juga batubara coklat (brown coal);
Batubara muda (lignite atau brown coal) menerima tekanan dari tanah
yang menutupinya dan mengalami peningkatan suhu secara terus
menerus dalam waktu jutaan tahun, akan berubah menjadi batubara
subbituminus (sub-bituminous coal);
Batubara subbituminus tetap mengalami peristiwa kimia dan fisika
sebagai akibat dari semakin tingginya tekanan dan temperatur dan dalam
waktu yang semakin panjang, berubah menjadi batubara bituminus
(bitumninous coal);
Batubara bitumninus ini juga mengalami proses kimia dan fisika,
sehingga batubara itu semakin padat, kandungan karbon semakin tinggi,
menyebabkan warna semakin hitam mengkilat. Dalam fase ini terbentuk
antrasit (anthracite);
Antrasit, juga mengalami peningkatan tekanan dan temperatur,
berubah menjadi meta antrasit (meta anthrasite);
Meta antrasit selanjutnya akan berubah menjadi grafit (graphite).
Peristiwa perubahan atrasit menjadi grafit disebut dengan penggrafitan
(graphitization).

Dalam semua tingkatan pembentukan batubara itu terdapat berbagai unsur


yang sangat mempengaruhi peringkat mutu batubaranya dan sebagai dasar
pembagian klas penggunaannya. Secara garis besarnya dalam batubara
terdapat unsur-unsur:

Kandungan air total (total moisture), yakni jumlah kandungan air yang
ada pada fisik batubara, yang terdiri dari air dalam batubara itu sendiri
dan air yang terbawa waktu melakukan penambangan.

Kandungan air bawaan (inheren moisture), yakni air yang ada dalam
batubara itu mulai saat awal pembentukannya. Kadar air itu pada

dasarnya akan mempengaruhi nilai batubara, artinya semakin tinggi


kandungan air, maka semakin rendahlah mutu batubara tersebut.

Kandungan zat terbang (volatile matter), adalah semua unsur yang


akan menguap (terbang) waktu batubara itu mengalami pemanasan.
Volatile matter yang tinggi akan menyebabkan mutu batubara jadi
rendah, karena pada intinya volatile matter tidak memberikan nilai kalor.
Batubara dengan volatile matter tinggi, yang tertumpuk pada stockpile,
akan mudah mengalami swabakar, terutama pada udara lembab dan
adanya unsur pemicu oksidasi di dalamnya, seperti pirit dan sebagainya.

Total sulphur (belerang), adalah salah satu unsur yang dapat


menurunkan mutu batubara, karena unsur belerang yang banyak akan
menyebabkan rendahnya nilai kalor dan dapat menyebabkan kerusakan
pada dapur pembakaran, serta juga menyebabkan adanya gas beracun.

Kandungan abu (ash content), adalah sejumlah material yang didapat


dari sisa pembakaran batubara. Semakin tinggi kadar abu batubara, maka
semakin rendahlah mutu batubara tersebut. Sebagaimana telah
dijelaskan di atas, abu ini berasal dari material yang tidak dapat
dioksidasi oleh oksgen.

Kandungan karbon tertambat (fixed carbon), adalah persentase karbon


yang ada pada suatu satuan volume batubara. Semakin tinggi kadar
karbon, maka semakin baguslah kualitas batubara tersebut, karena yang
paling berguna dari batubara itu adalah karbon ini, karena karbonlah
yang menghasilkan nilai kalori pada waktu dilakukan pembakaran
batubara.

Nilai kalori (CV), adalah jumlah kalori yang dihasilkan per kg batubara
yang dibakar. Semakin tinggi nilai kalorinya, semakin baguslah mutu
batubaranya.

Azhary Rahim http://tambangunp.blogspot.co.id/2013/12/proses-pembentukanbatubara-ganesa.html````````````````````````````````````

Anda mungkin juga menyukai