Posisi geografi berpengaruh terhadap iklim, khususnya temperatur. Pada daerah tropik
dan subtropik, tumbuhan dapat tumbuh subur dibanding pada daerah sedang, sedangkan
di daerah kutub tidak baik bagi pertumbuhan tumbuhan. Pembentukan batubara yang baik
pada rawa-rawa paralik yang tingginya sama dengan permukaan air laut.
Menurut Teichimuller (dalam Stach, 1975), lingkungan pembentukan endapan gambut
dipengaruhi oleh:
1. Kenaikan muka airtanah lambat atau penurunan dasar cekungan lambat, sehingga endapan
gambut terhindar dari abrasi air laut.
2. Adanya beting pantai, gosong pasir, atau tanggul alam yang menghalangi rawa-rawa dari
abrasi air laut, sehingga dapat mempertahankan endapan gambut dari banjir sungai dan
abrasi laut.
3. Relief daratan yang rendah, sehingga pengendapan material fluviatil berbutir halus akan
menutupi endapan gambut yang terbentuk terlebih dahulu.
Berdasarkan posisi geografinya, terjadinya endapan batubara dapat di lingkungan daratan
(limnic) dan pantai laut (paralic). Pada prinsipnya pembentukan endapan gambut
memerlukan kondisi pemukaan airtanah yang konstan sepanjang tahun, sehingga endapan
organik dari tumbuhan yang mati segera terdekomposisi. Kondisi demikian tergantung
posisi geografinya, di samping iklim dan biasanya dijumpai di daerah tepi pantai dimana air
laut membendung air yang datang dari daratan. Juga pada rawa-rawa dekat pantai. Untuk
gambut di daratan dapat pada garis tepi danau atau rawa yang besar.
Hasil penelitian menyebutkan bahwa hutan rawa tropis mempunyai siklus pertumbuhan
setiap 7-9 tahun dan tumbuhan mencapai tinggi sekitar 30 m, sementara di iklim dingin
atau sedang untuk waktu yang sama pertumbuhannya hanya mencapai ketinggian 5-6 m.
Daerah iklim sedang miskin bahan makanan, sehingga didominasi oleh lumut, sedangkan
daerah tropik didominasi pohon.
Pada Karbon Akhir atau Tersier Awal, umumnya gambut terbentuk di iklim tropis dan
basah. Meskipun demikian, di belahan bumi selatan dan Siberia dijumpai batubara yang
terbentuk di iklim sedang dan basah, bahkan di iklim dingin seperti batubara Gondwana
(Permo-Karbon)
dengan
tumbuhan
utamaGangamopteris,
Glossopteris,
Cycadophyta, dan Conifers.
Lapisan batubara yang terbentuk di lingkungan iklim tropis basah umumnya tebal dan
cemerlang (bright coal), sebaliknya di iklim sedang atau dingin terdiri dari sedikit batubara
cemerlang. Meskipun demikian, selama pembentukan batubara tidak selalu iklimnya tetap,
seperti di belahan bumi selatan terdapat batubara tebal diselingi lapisan yang tidak
mengandung batubara. Kondisi ini ditafsirkan sebagai masa yang kering dengan ciri
sedimen berkadar garam tinggi dan diperkirakan suhunya lebih dingin dibanding suhu
sekarang.
3.1.5 Tumbuhan
(flora)
Tumbuhan merupakan unsur utama pembentuk batubara. Protoplasma adalah sel pengisi
tumbuhan hidup yang merupakan zat koloidal yang sebagian besar terdiri dari air dan
albumin kompleks atau campuran unsur C, H, O, N, S, dan P. Albumin hampir tidak
memiliki daya tahan terhadap pembusukan, fungsinya sebagai zat makan atau nutrient
bagi bakteri penyebab pembusukan.
Selaput sel terutama terdiri dari cellulose, merupakan karbohidrat yang tahan terhadap
perubahan kimiawi, tetapi dapat dengan mudah ditelan oleh mikro-organisme. Di alam,
cellulose bersama-sama dengan sederet unsur lain seperti hemicellulose, pectins, lemak,
dan lignin. Tiga yang pertama tidak memiliki daya tahan terhadap pembusukan, sehingga
kurang penting dalam pembentukan batubara. Lignin diperlukan dalam perubahan bentuk
tumbuhan, selalu terjalin secara submikroskopis dengan cellulose dan merupakan bahan
dasar jaringan kayu, walau terdapat pula dalam daun. Resin dan lilin juga dihasilkan oleh
tumbuhan, biasanya termasuk hidrokarbon polimer tinggi dengan oksigen dan belerang
dalam
jumlah
kecil.
Keduanya
sangat
tahan
terhadap
pembusukan.
Pemunculan tumbuhan tidak terlepas dari evolusi kehidupan yang menghasilkan kondisi
berbeda selama masa sejarah geologi. Mulai Paleozoik-Devonian, tumbuhan tidak tumbuh
dengan baik. Setelah Devon pertama kali terbentuk lapisan batubara di daerah lagunal
yang dangkal. Periode ini merupakan titik awal dari pertumbuhan tumbuhan secara besarbesaran dalam kurun waktu yang singkat pada setiap kontinen. Hutan tumbuh dengan
subur selama Karbon, pada Tersier merupakan perkembangan yang sangat luas dari
berbagai jenis tumbuhan.
3.1.6 Pembusukan (decomposition)
3.1.7 Penurunan
dasar
cekungan
(subsidence)
Penurunan cekungan merupakan hal penting, yaitu jika penurunan dan akumulasi
tumbuhan berjalan seimbang, maka akan menghasilkan endapan batubara
tebal. Pergantian transgresi dan regresi juga akan mempengaruhi pertumbuhan tumbuhan
dan pengendapannya, juga menyebabkan adanya infiltrasi material dan mineral yang akan
mempengaruhi
komposisi
batubara.
Kecepatan penurunan yang lebh cepat dari kecepatan akumulasi tumbuhan akan
mengakibatkan air menggenangi rawa-rawa dan hutan sekelilingnya, sehingga kehidupan
tumbuhan terganggu. Jika penurunan lebih lambat dari kecepatan akumulasi tumbuhan,
maka akan menyebabkan akumulasi tumbuhan di permukaan. Akibatnya permukaan
airtanah akan turun dan tumbuhan membusuk oleh udara.
3.1.8 Waktu
geologi
(geological
age)
Waktu geologi menentukan berkembangnya beragam tumbuhan, misal pada jaman Karbon
dijumpai endapan batubara yang melimpah karena pada jaman tersebut perkembangan
tumbuhan mencapai puncaknya.
Waktu geologi juga dapat meningkatkan derajat batubara, karena makin tua umur endapan
batubara, maka besar kemungkinannya tertimbun lebih dalam dan lebih tebal oleh
endapan sedimen dibandingkan yang berumur muda. Meskipun demikian, pada batubara
yang lebih tua selalu ada risiko mengalami deformasi tektonik dan pengaruh erosi,
sehingga dapat mengganggu atau mengurangi endapan batubara yang ada.
Perkecualian dapat terjadi, sekalipun endapan batubara berumur tua, belum tentu akan
tertimbun oleh sedimen yang lebih tebal atau mempunyai peringkat yang lebih tinggi.
Bahkan adanya terobosan batuan beku dapat membuat endapan batubara muda mencapai
peringkat yang tinggi, misalnya endapan semi antrasit yang berumur Mio-Pliosen di Suban,
Tanjung Enim dan berumur Miosen Tengah di Bukit Sunur, Bengkulu.
Metamorfosa organik dipengaruhi oleh proses yang bekerja setelah pengendapan, secara
tidak langsung juga dipengaruhi oleh posisi geotektonik, kecepatan penurunan cekungan,
dan waktu geologi.
3.2 PEMBATUBARAAN
Secara umum telah diterima bahwa batubara berasal dari tumbuhan yang karena
proses-proses geologi, maka terbentuklah endapan batubara yang kita lihat sekarang.
Pembentukan tumbuhan mati menjadi gambut dan batubara melalui dua tahap, yaitu
tahap diagenesa gambut (peatification) dan tahap pembatubaraan (coalification).
3.2.1 Tahap biokimia/diagenesa gambut (peatification)
Tahap diagenesa gambut
merupakan tahap awal pembentukan batubara,
yaitu mencakup perubahan oleh mikroba dan proses kimia. Dimulai dari
pembusukan tumbuhan sampai terbentuk gambut (peat). Pada tahap ini
dicirikan oleh aktivitas bakteri aerob (membutuhkan oksigen) dan anaerob
(tidak membutuhkan oksigen).
Jika tumbuhan tumbang di suatu rawa, maka dapat terjadi proses biokimia yang
secara vertikal dapat dibagi menjadi dua zone, yaitu zone permukaan yang
umumnya perubahan berlangsung dengan bantuan oksigen dan zone tengah
sampai kedalaman 0,5 m yang disebut denganpeatigenic layer (Teichmuller,
1982). Pada zone peatigenic terdapat bakteri aerob, lumut, dan actinomyces
yang aktif. Bakteri aerob akan menyebabkan oksidasi biologi pada komponenkomponen tumbuhan yang material utamanya adalah cellulose. Senyawasenyawa protein dan gula cenderung terhidrolisa. Cellulose akan diubah menjadi
glikose dengan cara hidrolisis:
C6H10O5 + H2O --> C6H12O6
(cellulose)
(glikose)
Jika suplai oksigen berlangsung terus, maka proses ini akan menuju pada
penguraian lengkap dari senyawa organik, yaitu:
C6H10O5 + 6 O2 --> 6 CO2 + 5 H2O
Bagian-bagian dari material tumbuhan tersebut cenderung membentuk koloid
dan umumnya disebut dengan asam humus (humic acid). Lemak dan material
resin umumnya hanya mengalami perubahan sedikit.
Apabila kandungan oksigen air rawa sangat rendah dan dengan bertambahnya
kedalaman, sehingga tidak memungkinkan bakteri-bakteri aerob hidup, maka
sisa tumbuhan tersebut tidak mengalami proses pembusukan dan
penghancuran yang sempurna, dengan kata lain tidak terjadi proses oksidasi
yang sempurna. Pada kondisi tersebut hanya bakteri-bakteri anaerob saja yang
berfungsi melakukan proses pembusukan yang kemudian membentuk gambut
(peat).
1.
2.
3.
4.
Apabila ditinjau secara vertikal, maka lapisan gambut paling atas mempunyai
pertambahan kandungan karbon relatif cepat sesuai kedalamannya
sampai peatigenic layer, yakni 45-50% sampai 55-60%. Lebih dalam lagi,
pertambahan kandungan karbon mencapai 64%. Kandungan karbon yang tinggi
pada peatigenic layer disebabkan karena pada lapisan tersebut kaya substansi
yang mengandung oksigen, terutama cellulose dan humicellulose yang diubah
secara mikrobiologi.
Dari keseluruhan proses, maka pembentukan substansi humus merupakan
proses penting yang tidak tergantung pada fasies dan tidak semata-mata pada
kedalaman. Oleh karena itu, faktor yang mempengaruhi proses humifikasi
dimana bakteri dapat beraktivitas dengan baik adalah kondisi lingkungan
berikut ini:
Keasaman air, yaitu pada pH 7,0-7,5.
Kedalaman, yaitu pada kedalaman sekitar 0,5 m untuk bakteri aerob, sedangkan
untuk bakteri anaerob bisa sampai kedalaman 10 m.
Suplai oksigen, akan menurun mengikuti kedalaman.
Temperatur lingkungan, pada suhu yang hangat akan mendukung kehidupan
bakteri.
Potonie (1920 dalam Teichmuller, 1982 dan Diessel, 1984) menyebutkan bahwa
pada rumpun tumbuhan yang sama, iklim dan kondisi lingkungan yang sama,
maka potensial redox (Eh) memegang peranan penting untuk aktifitas bakteri
dan penggambutan. Ketersediaan oksigen menentukan apakah proses
penggambutan berjalan atau tidak. Berikut ini transformasi organik dalam
kaitannya dengan ketersediaan oksigen (Tabel 3.1), dimana salah satu dari
empat proses biokimia di bawah ini akan terjadi pada tumbuhan yang telah
mati, yaitu:
1.Bahan tumbuhan bereaksi dengan oksigen dan merapuh (desintegration), menghasilkan zat
terbang, terutama CO2, metan, dan air. Umumnya menghasilkan sisa yang tidak padat.
Beberapa unsur utama tumbuhan akan lebih tahan pada tipe ubahan ini, misal resin dan
lilin.
2. Proses humifikasi atau pembusukan, yaitu bahan tumbuhan akan berubah menjadi humus
akibat oleh terbatasnya oksigen dari atmosfir dan tingginya kandungan air lembab.
Batubara yang dihasilkan berupa humic coal.
3. Proses penggambutan (peatification), yaitu keadaan muka air tinggi di atas lapisan yang
terakmulasi dapat mencegah terjadinya oksidasi, akibatnya pada lingkungan yang reduksi
dan adanya bakteri anaerob, jaringan-jaringan tumbuhan menjadi hancur, kemudian
terakumulasi dan menjadi gambut, selanjutnya akan menghasilkan humic coal.
4.Putrefaction (permentasi) yaitu peruraian hancuran tanaman akuatik (terutama algae),
bahan hanyutan, dan plankton dalam lingkungan reduksi pada kondisi air diam (stagnant),
hasilnya membentuk sapropel, sedangkan batubara yang dihasilkan adalah batubara
sapropelik.
Secara umum tahapan biokimia dapat dikelompokan menjadi dua jenis
(Diessel, 1992), yaitu:
1. Vitrinisasi (vitrinisation path)
Hasil humifikasi pada dekomposisi hidrolik terhadap tumbuhan yang telah mati akan mengalami suatu
deret kestabilan dari kandungan sel-sel yang lunak menjadi celulose, hemicelulose, dan beberapa
komponen yang lebih tahan seperti lignin (Waksman dan Stevens, 1929). Fluida humik akan
berubah sepanjang tahapan humifikasi. Kompaksi dan dehidrasi gambut akibat penambahan
beban oleh lapisan penutup mengakibatkan fluida humik mengental. Dalam batubara muda fluida
humik muncul sebagai humocollinit (jika berupa koloid) dan humodetrinit (jika bercampur dengan
fragmen-fragmen sisa sel). Koloid humik dapat mengisi ruang-ruang sel jaringan tumbuhan dan
setelah pembatubaraan pada tingkat batubara bitumen akan muncul sebagai gelocollinit. Setelah
presipitasi, koloid humik dapat berupa granular (sebagai porigelinit) dan kemudian lumer (gelify)
berbentuk larutan atau zat yang jernih (sebagai eugellinit).
--> Pengawetan akibat pengeringan dinding sel dan dehidrasi pada koloid koloid humik yang
kemudian terubah sehingga tidak dapat mengalami rehidrasi dan melanjutkan hidrolisa. Hasilnya
disebut oxi-semifusinite yang memperlihatkan efek humifikasi akibat mikroba dengan baik.
Pembentukan semifusinit sebagai akibat dekomposisi selektif oleh
organisme terhadap
jaringan kayu, terutama jaringan yang lunak (degrado semifusinit).
Akibat pembakaran pada gambut (pyrofusinite) yang tidak sempurna, maka akan
menyebabkan perbedaan reflektansi dari jaringan-jaringan sel tumbuhan dengan berbedanya
kedalaman.
Ciri umum gambut adalah sebagai berikut:
1. Berwarna kecoklatan sampai hitam.
2. Kandungan air > 75% (pada brown coal < 75%)
3. Kandungan karbon umumnya < 60% (pada brown coal > 60%).
4. Masih memperlihatkan struktur tumbuhan asal, terdapat sellulose(pada brown coal cellulose
tidak hadir).
5. Dapat dipotong dengan pisau (pada brown coal tidak dapat dipotong).
6. Bersifat porous, bila diperas dengan tangan, keluar airnya.
Berdasarkan ciri di atas adalah tidak mudah secara pasti membedakan antara peat dan brown
coal, apalagi proses perubahannya berlangsung secara bertahap.
3.2.2. Tahap geokimia/pembatubaraan (coalification)
Menurut Stach (1972) tahap geokimia atau tahap pembatubaraan disebut sebagai tahap
fisika-kimia (physicochemical stage), yaitu tahap perubahan dari gambut menjadi batubara secara
bertingkat (brown coal, sub-bituminous coal, bituminous coal, semi anthracite, anthracite, metaanthracite) yang disebabkan oleh peningkatan temperatur dan tekanan.
Prosesnya, jika lapisan gambut yang terbentuk kemudian ditutupi oleh lapisan sedimen,
maka akan mengalami tekanan dari lapisan sedimen tersebut, tekanan akan meningkat dengan
bertambahnya ketebalan lapisan sedimen. Tekanan yang bertambah akan mengakibatkan
peningkatan temperatur. Di samping itu, temperatur juga akan meningkat dengan bertambahnya
kedalaman yang disebut gradien geotermal. Kenaikan temperatur dan tekanan juga disebabkan
oleh aktivitas magma dan aktivitas tektonik lainnya. Peningkatan tekanan dan temperatur pada
lapisan gambut akan mengkonversi gambut menjadi batubara dimana terjadi proses pengurangan
kandungan air, pelepasan gas-gas (H 2O, CH4, CO, dan CO2), peningkatan kepadatan dan kekerasan,
serta peningkatan kalor. Faktor tekanan dan temperatur serta waktu merupakan faktor-faktor yang
menentukan kualitas batubara.
Pada tahap ini terjadi perubahan rombakan tumbuhan dari kondisi reduksi ke suatu seri
menerus dengan prosentase karbon makin meningkat dan prosentase oksigen serta hidrogen
makin berkurang. Juga sifat fisik maseral mulai terbentuk, seperti kenaikan reflektansi maseral
batubara seiring dengan naiknya derajat proses kimia-fisika.
1. Tahap pertama adalah pembentukan peat, proses berlangsung terus sampai membentuk
endapan, di bawah kondisi asam menguapnya H2O, CH4, dan sedikit CO2 membentuk
C65H4O30 yang dalam kondisi dry basis besarnya analisa pada ultimate adalah karbon 61,7%,
hidrogen 0,3%, dan oksigen 38,0%.
2. Tahap kedua adalah tahap lignit kemudian meningkat ke bituminous tingkat rendah dengan
susunan C79H55O141 yang pada kondisi dry basis adalah karbon 80,4%, hidrogen 0,3%, dan
oksigen 19,1%.
3. Tahap ketiga adalah peningkatan dari batubara bituminous tingkat rendah sampai tingkat
medium dan kemudian sampai batubara bituminous tingkat tinggi. Pada tahap ini
kandungan hidrogen tetap dan oksigen berkurang sampai satu atom oksigen tertinggal di
molekul.
4. Tahap keempat, kandungan hidrogen berkurang, sedangkan kandungan oksigen menurun
lebih lambat dari tahapan sebelumnya. Hasil sampingan tahap tiga dan empat adalah CH 4,
CO2, dan sedikit H2O.
5. Tahap kelima adalah proses pembentukan antrasit dimana kandungan oksigen tetap dan
kandungan hidrogen menurun lebih cepat dari tahap-tahap sebelumnya.
= 17 - 28%
Bituminous coal
Anthracite
= 10 - 17%
= 5-10%
Lignite
= 160 tahun
resisten
melimpah.
http://gandukaleng.blogspot.co.id/2013/04/ganesa-batubara.html
matter yang
Safarrudin
model
formasi
insitu
dan
model
formasi
endapan
material
Menurut teori ini, batubara terbentuk pada lokasi dimana pohon-pohon atau
tumbuhan kuno pembentukya tumbuh. Lingkungan tempat tumbuhnya
pohon-pohon kayu pembentuk batubara itu adalah pada daerah rawa atau
hutan basah. Kejadian pembentukannya diawali dengan tumbangnya pohonpohon kuno tersebut, disebabkan oleh berbagai faktor, seperti angin (badai),
dan peristiwa alam lainnya. Pohon-pohon yang tumbang tersebut langsung
tenggelam ke dasar rawa. Air hujan yang masuk ke rawa dengan membawa
tanah atau batuan yang tererosi pada daerah sekitar rawa akan menjadikan
pohon-pohon tersebut tetap tenggelam dan tertimbun.
itu
mulai
dari
fase
penggambutan
sampai
pada
fase
pembatubaraan.
Terdapat perbedaan tipe endapan batubara dari kedua formasi pembentukan
tersebut. Batubara insitu biasanya lebih tebal, endapannya menerus, terdiri
dari sedikit lapisan, dan relatif tidak memiliki pengotor. Sedangkan batubara
yang terbentuk atau berasal dari transportasi material (berdasarkan teori
drift) ini biasanya terjadi pada delta-delta kuno dengan ciri-ciri: lapisannya
oleh
sedimentasi.
Tanpa
adanya
penenggelaman
dan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Kandungan air total (total moisture), yakni jumlah kandungan air yang
ada pada fisik batubara, yang terdiri dari air dalam batubara itu sendiri
dan air yang terbawa waktu melakukan penambangan.
Kandungan air bawaan (inheren moisture), yakni air yang ada dalam
batubara itu mulai saat awal pembentukannya. Kadar air itu pada
Nilai kalori (CV), adalah jumlah kalori yang dihasilkan per kg batubara
yang dibakar. Semakin tinggi nilai kalorinya, semakin baguslah mutu
batubaranya.