Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Prolaps

organ

panggul

(POP)

merupakan

masalah

kesehatan wanita yang umum terjadi dan sangat mengganggu,


serta penanganannya sering kali memerlukan biaya yang sangat
tinggi.

Meskipun

prolaps

organ

panggul

umumnya

tidak

menimbulkan kematian, tetapi biasanya dapat memperburuk


kualitas hidup pasien termasuk menimbulkan kelainan pada
kandung kemih, sistem saluran cerna serta gangguan fungsi
seksual. Seiring dengan meningkatnya usia harapan hidup dan
meningkatnya populasi usia lanjut maka prevalensi prolaps organ
panggul pun semakin meningkat.
Inkontinensia

urine

didefinisikan

oleh

International

Continence Society sebagai kehilangan urine secara involunter


yang mewakili masalah higienis dan sosial pada tiap individu.
Inkontinensia
dilaporkan

urine

pasien,

dapat
dapat

dianggap
juga

sebagai

sebagai

suatu

gejala

yang

tanda

yang

ditemukan saat dilakukan pemeriksaan dan dapat juga berbentuk


suatu gangguan.
Inkontinensia urine tidak dianggap sebagai suatu penyakit
karena tidak ada etiologi yang spesifik bagi kondisi ini, dan tiap
kasus bersifat multifaktorial. Etiologi bagi inkontinensia urine ini
dapat beragam dan dalam kebanyakan kasus tidak dapat
difahami sepenuhnya.

BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 PENGERTIAN PROLAPS ORGAN PANGGUL

Prolaps organ panggul merupakan turunnya atau herniasi


isi organ panggul melalui saluran vagina akibat kelemahan
pada struktur penyokong dasar panggul.

2.2 PENYEBAB PROLAPS ORGAN PANGGUL

Dukungan panggul berasal dari otot-otot dasar panggul,


menghubungkan jaringan (fascia), dan potongan menebal
fasia yang berfungsi sebagai ligamen. Ketika otot-otot dasar
panggul melemah, fasia dan ligamen harus menanggung
beban berat. Akhirnya, mereka dapat meregangkan dan
gagal, memungkinkan organ panggul untuk drop dan tekan ke
dalam dinding vagina.
Wanita yang memiliki kelahiran vagina multipel memiliki
risiko terbesar untuk prolaps organ panggul, terutama setelah
menopause. Faktor risiko lain termasuk operasi ke lantai
panggul, gangguan jaringan ikat, dan obesitas.

2.3 GEJALA PROLAPS ORGAN PANGGUL

Wanita

dengan

prolaps

ringan

ditemukan

selama

pemeriksaan rutin panggul mungkin tidak memiliki gejala

sama sekali. Tetapi yang lain merasa sangat tidak nyaman dan
berbagai gejala, termasuk:
1.

2.

3.

4.

2.4

Tekanan dan nyeri. Keluhan yang paling umum adalah


perasaan tekanan panggul, atau bantalan bawah,
kelelahan kaki, dan nyeri pinggang.
Gejala kencing. Sistokel, urethrocele, dan prolaps uterus
dapat menyebabkan inkontinensia stres dan kesulitan
dalam memulai untuk buang air kecil.
Gejala usus. Rectocele mungkin menyebabkan masalah
dengan buang air besar dengan membentuk saku tepat di
atas sfingter anal. Feses bisa menjadi terperangkap,
menyebabkan nyeri, tekanan, dan sembelit.
Masalah seksual. Prolaps A dapat menyebabkan jaringan
vagina teriritasi atau nyeri selama hubungan seksual, serta
stres psikologis.
KLASIFIKASI PROLAPS ORGAN PANGGUL
Prolaps

organ

panggul

mulanya

diklasifikasikan

berdasarkan derajat kerusakan anatomi yang dialami


pasien, yakni tergantung pada lokasi defek dan perkiraan
organ

panggul

yang

mengalami

gangguan.

Dalam

perkembangannya, sejumlah sistem penentuan derajat


prolaps

telah

diajukan.

Hal

ini

menunjukkan

bahwa

penentuan derajat prolaps yang memiliki keterulangan


atau reprodusibilitas yang baik sulit dilakukan. Sehingga,
kita sulit membandingkan berbagai pemeriksaan pada
suatu

waktu

dengan

pemeriksaan

yang

diakukan

di

kemudian hari pada wanita yang sama maupun pada


wanita yang berbeda.
Berdasarkan kerusakan anatomi
Prolaps organ panggul dapat diklasifikasikan berdasarkan
kerusakan struktur anatomi
a. Uretrokel
1.

Prolaps dinding vagina anterior bagian bawah, dan hanya


meliputi uretra
b. Sistokel
Prolaps dinding vagina anterior bagian atas meliputi
kandung kemih. Umumnya, juga terkait dengan prolaps
uretra, sehingga disebut juga sebagai sistouretrokel
c. Prolaps uterus
Istilah ini dipakai untuk menggambarkan prolaps uterus,
serviks dan vagina bagian atas
d. Enterokel
Prolaps dinding vagina posterior bagian atas, yang
biasanya juga meliputi sebagian kecil usus halus
e. Rektokel

Dinding vagina posterior bagian bawah berupa


penonjolan rektum ke dalam vagina
2. Berdasarkan sistem skoring POPQ
Gejala prolaps seringkali sulit dihubungkan dengan
lokasi anatomisnya dan derajat keparahannya umumnya
tidak spesifik.2 Gejala umumnya meliputi terasa adanya
tonjolan atau vagina terasa berat, gejala iritasi kandung
kemih berulang, sulit berkemih, inkontinensia urin atau
alvi, kesulitan saat buang air besar serta nyeri punggung
dan nyeri panggul. Semua gejala prolaps tersebut dinilai
berdasarkan derajat keparahannya berdasarkan suatu
metode evaluasi standar yang disebut sistem kuantifikasi
prolaps organ panggul atau pelvic organ prolapse
quantification (POP-Q).
The
International
Continence
Society
(ICS)
mengajukan sistem POP-Q sebagai sistem skoring prolaps
terstandarisasi untuk menilai derajat prolaps dengan lebih
obyektif. Sistem ini mempunyai derajat keterulangan yang
baik.
Sistem skoring POP-Q melibatkan pengukuran
sejumlah titik di dinding vagina anterior, posterior, serviks

dan badan perineum terhadap suatu titik rujukan yang


tetap, yakni himen atau selaput dara.
Penentuan derajat beratnya prolaps organ panggul
berdasarkan sistem POPQ adalah sebagai berikut:
a. Derajat O: Tidak tampak prolaps
b. Derajat 1: Ujung prolaps paling distal berada > 1 cm dari
atas hymen
c. Derajat 2: Ujung prolaps paling distal berada < 1 cm dari
hymen
d. Derajat 3: Ujung prolaps paling distal berada 1 cm di
bawah himen, tetapi
panjang tonjolan <2cm dari
panjang total vagina
e. Derajat 4: Tampak prolaps lengkap

2.5ETIOLOGI PROLAPS ORGAN PANGGUL


Faktor predisposisi meliputi jenis kelamin, ras, tulang
panggul, ketebalan jaringan, kekuatan jaringan, suplai
pembuluh darah, persarafan, dan serat kolagen. Promotor
meliputi

kondisi-kondisi

yang

diperkirakan

dapat

meningkatkan risiko POP melalui mekanisme peningkatan


tekanan intraabdomen kronik, yakni kehamilan, obesitas,
konstipasi, pekerjaan, rekreasi, penyakit paru dan batuk.
Faktor inisiasi meliputi trauma akut akibat kecelakaan,
trauma

persalinan,

khususnya

terapi

histerektomi.

radiasi,

dan

Sedangkan

pembedahan,
dekompensator

meliputi atrofi jaringan dan kelemahan jaringan yang


berhubungan dengan proses penuaan, penyakit, dan obatobatan.
Kemudian, faktor predisposisi dan dekompensator
digolongkan

lagi

menjadi

faktor

intrinsik

yang

sulit

dimodifikasi; sedangkan faktor inisiasi dan promotor dapat


digolongkan

menjadi

faktor

ekstrinsik

yang

dapat

dimodifikasi yang diharapkan dapat mencegah terjadinya


POP.

2.6PENCEGAHAN
1.
Cukup melakukan senam kegel sebanyak 10 kali dan
dilakukan setiap hari. Selain mudah, senam ini juga
terhitung murah dan bisa dilakukan di mana saja. senam
kegel itu sendiri adalah suatu gerakan senam yang
berguna untuk memperkuat otot-otot dasar panggul
terutama otot pubococcugeal, sehingga bisa memperkuat
otot-otot saluran kandung kemih yang bisa mencegah
inkontinensia urine serta menguatkan otot-otot vagina.

Melakukan gaya hidup sehat dan menghindari


terjadinya obesitas dan melatih otot kandung kemih juga
bisa dilakukan oleh para wanita untuk melakukan
pencegahan terhadap sebab-sebab lainnya.
2.

2.7PENANGANAN
Untuk menangani keluhan disfungsi dasar panggul
prolaps (peranakan turun) bisa menggunakan cincin vagina
yang dapat bertahan selama 4 tahun, cincin ini biasanya
memiliki diameter 60 cm sampai 80 cm atau bisa juga
dengan melakukan operasi.
Sedangkan apabila gangguan sudah sampai pada
taraf gangguan yang berat,

penyakit ini bisa diatasi

dengan merangsang kerja otot-otot terkait menggunakan


alat atau dengan tindakan operatif. Tindakan operatif
dilakukan kalau gangguan itu sudah sama sekali tidak bisa
ditahan. Selain untuk memperbaiki organ, tindakan operatif
dilakukan untuk mengangkat rahim bagi mereka yang
sudah tidak ingin punya anak.
2.8PENGERTIAN INKOTINENSIA URINE
Inkontinensia urine didefinisikan oleh International
Continence

Society

sebagai

kehilangan

urine

secara

involunter yang mewakili masalah higienis dan sosial pada


tiap individu. Inkontinensia urine dapat dianggap sebagai
gejala yang dilaporkan pasien, dapat juga sebagai suatu
tanda yang ditemukan saat dilakukan pemeriksaan dan
dapat juga berbentuk suatu gangguan.

Inkontinensia urine tidak dianggap sebagai suatu


penyakit karena tidak ada etiologi yang spesifik bagi
kondisi ini, dan tiap kasus bersifat multifaktorial. Etiologi
bagi inkontinensia urine ini dapat beragam dan dalam
kebanyakan kasus tidak dapat difahami sepenuhnya.
Terdapat
didefiniskan

empat

dalam

jenis

Clinical

inkontinensia
Practice

urine

yang

Guideline

yang

dikeluarkan oleh Agency for Health Care Policy and


Research,

yaitu;

stress,

urge,

mixed

dan

overflow.

Inkontinensia urine tipe stress ditandai dengan kebocoran


urine yang terjadi saat adanya peningkatan tekanan intraabdominal, pada saat tertawa, bersin, batuk, menaiki
tangga atau stres fisik lainnya. Inkontinensia tipe urge
adalah kebocoran urine involunter yang disertai dengan
urgensi. Inkontinensia urine tipe mixed adalah kombinasi
dari stress dan urge yang ditandai dengan kebocoran
terkait urgensi dan peningkatan tekanan intra-abdominal.
2.9EPIDEMIOLOGI
Prevalensi kejadian inkontinensia urine yang tepat
sukar untuk ditentukan. Antara kesulitan yang ditemukan
adalah dalam menentukan derajat, kuantitas dan frekuensi
kehilangan urine yang esensial dalam menentukan suatu
kondisi patologis.
Sebanyak

50-70%

wanita

dengan

kondisi

inkontinensia urine gagal untuk mendapatkan evaluasi dan


rawatan akibat stigma sosial. Hanya 2-5% individu dengan
inkontinensia yang mendapat perawatan yang sesuai.
Rata-rata individu dengan kondisi inkontinensia urine ini

menunggu 6-9 tahun sebelum mendapatkan konsultasi dan


perawatan medis.
Inkontinensia urine diperkirakan mengena 10-13 juta
penduduk di Amerika Serikat dan sekitar 200 juta individu
di seluruh dunia. Inkontinensia urine tipe stress merupakan
kondisi yang paling umum ditemukan pada pasien rawat
jalan, mewakili 29-75% dari keseluruhan kasus. Aktivitas
yang berlebihan dari otot detrusor menyumbang hingga
33% kasus inkontinensia, sedangkan sisanya disebabkan
oleh bentuk campuran.
2.10 ANATOMI & FISIOLOGI
Dinding dari kandung kemih terdiri atas beberapa
lapisan dan mengandung mukosa, submukosa, otot dan
lapisan adventisia. Mukosa kandung kemih terdiri atas sel
epitel transisional yang didukung oleh lamina propria.
Dengan volume kandung kemih yang kecil, lapisan mukosa
ini membentuk permukaan yang berlipat-lipat. Namun,
pada saat kandung kemih diisi dengan urine, lipatan ini
kemudian akan membentang dan menipis.

Gambar 1: Anatomi kandung kemih: Dinding kandung


kemih mengandung lapisan mukosa, submukosa, muskuler
dan adventisia.

(1)

Gambar 2: Gambar mikrograf dari dinding kandung


kemih. Mukosa kandung kemih yang kosong membentuk
lipatan rugae.
Lapisan otot kandung kemih dikenal sebagai otot
detrusor, yang terdiri atas tiga lapisan otot yang diatur dalam
anyaman

pleksiform.

Susunan

pleksiform

ini

dapat

berekspansi dengan cepat pada saat kandung kemih terisi


dengan

urine

dan

menjadi

komponen

utama

dalam

kemampuan kandung kemih untuk mengakodomasi volume


urine yang besar.
Ketika

kandung

kemih

terisi,

urogenital

merupakan

bagian

integral

Komponen

sfingter

ini

meliputi

kontraksi

sfingter

dari

sfingter

kontinensia.

uretra,

sfingter

urethrovaginal (UVS) dan kompresor uretra (CU). Sfingter


uretra adalah otot lurik yang membungkus urethra secara

10

sirkumferential. Sebagai perbandingan, UVS dan CU adalah


pita otot lurik yang melengkungkan ventral uretra dan masuk
ke dalam jaringan fibromuskular dari dinding vagina anterior.

Gambar 3: Anatomi sfingter urogenital.


Ketiga otot ini berfungsi sebagai suatu kesatuan dan
berkontraksi dengan efektif untuk menutup uretra. Sfingter
uretra ini terdiri atas slow twitch muscle fiber dan tetap
berkontraksi secara tonik, yang memberi kontribusi pada
kontinensia pada saat istirehat. Sebaliknya UVS dan CU
terdiri atas fast twitch muscle fiber yang memungkinkan
kontraksi cepat dan menutup lumen uretra pada saat
kontinensia ditantang oleh peningkatan mendadak dari
tekanan intra-abdomen.
Otot lurik sfingter urogenital menerima persarafan
motorik melalui saraf pudendal. Serabut saraf somatik ini
mengontrol otot lurik sfingter urogenital secara volunter.
Dengan demikian, neuropati pudendal yang dapat terjadi
setelah

persalinan

lama

dapat

mempengaruhi

fungsi

normal dari otot-otot ini. Selain itu, operasi panggul


sebelumnya atau radioterapi panggul juga dapat merusak

11

saraf, pembuluh darah dan jaringan lunak sekitarnya. Hal


ini dapat menyebabkan fungsi sfingter urogenital yang
tidak efektif dan selanjutnya menyebabkan inkontinensia.

Gambar 4: Innervasi kandung kemih dan uretra.


Pada

saat

kandung

kemih

terisi,

sinyal

aferen

sensorik akan diteruskan ke medulla spinalis melalui saraf


pelvis dan hipogastrikus, yang kemudian akan diteruskan
ke pusat berkemih di pons melalui traktus spinotalamikus
lateral

dan

kolum

ditransmisikan

dorsal.

melalui

Stimulasi

nervus

simpatis

hipogastrikus

yang

berperan

mempertahankan aktivitas otot polos dari sfingter uretra


dan

membantu

dalam

relaksasi

otot

detrusor

untuk

penyimpanan urine. Pada waktu yang sama, sinyal somatik


eferen ke otot lurik di dasar panggul yang ditransfer
melalui saraf pudendal menyediakan aktivitas sfingter
uretra secara volunter dan augmentasi pada resistensi
urethra pada saat terjadinya peningkatan tekanan dalam
kandung kemih. Ketika intensitas sinyal aferen meningkat
pada

saat

pengisian

kandung kemih,

ambang batas

kesadaran dicapai, dimana akan timbul sensasi untuk

12

berkemih. Pada saat itu, sinyal dari pusat berkemih di pons


akan dibawa ke bagian sakral medulla spinalis melalui
traktus retikulospinal dan kortikospinal. Setelah itu akan
terjadi stimulasi kolinergik parasimpatis pada detrusor dan
refleks relaksasi otot lurik dasar panggul dan proses
berkemih akan terjadi.
Serabut saraf simpatis akan melewati saraf pleksus
hipogastrikus dan berkomunikasi dengan reseptor alfa dan
beta yang terdapat didalam kandung kemih dan uretra.
Stimulasi

pada

reseptor

beta

adrenergik

akan

menyebabkan relaksasi otot polos dalam kandung kemih


dan membantu dalam penyimpanan urine. Sebaliknya
reseptor adrenergik alfa terstimulasi oleh norepinefrin dan
menyebabkan kontraksi urethra, akan membantu dalam
penyimpanan urine dan kontinensia.
Pada saat pengosongan kandung kemih, stimulasi
simpatis akan berkurang, dan stimulasi parasimpatis akan
dipicu.

Khususnya,

impuls

pada

saraf

panggul

akan

mengstimulasi pengeluaran asetilkolin dan menyebabkan


kontraksi

otot

detrusor.

detrusor, asetilkolin ini

Bersamaan

dengan

stimulasi

merangsang reseptor asetilkolin

dalam uretra dan menyebabkan terjadinya relaksasi untuk


berkemih.
Sel otot polos diantara detrusor bergabung antara
satu sama lain sehingga jalur listrik yang keluar dari satu
sel otot ke yang berikutnya bersifat rendah resistensi.
Dengan demikian, aksi potensial dapat menyebar dengan
cepat

ke

seluruh

otot

detrusor

untuk

menyebabkan

kontraksi yang cepat dari seluruh kandung kemih. Selain


itu, susunan pleksiform serabut detrusor kandung kemih

13

memungkinkan

kontraksi

multiarah

dan

ideal

untuk

kontraksi konsentrik pada saat pengosongan kandung


kemih.
2.11 ETIOLOGI & FAKTOR RESIKO
Pada keadaan normal, tekanan pada vesika urinaria
lebih tinggi daripada tekanan di uretra, sehingga urine
akan tertinggal di dalam vesika urinaria. Pada saat terjadi
peningkatan tekanan intra-abdominal, maka tekanan ini
akan diteruskan ke vesika urinaria dan uretra secara
merata sehingga tidak terjadi perbedaan tekanan antara
vesika urinaria dan uretra. Hal ini menyebabkan terjadinya
inkontinensia.
Faktor resiko terjadinya inkontinensia urine adalah
kehamilan, umur lanjut, menopause, bedah pelvis, dan
kondisi kesehatan pasien itu sendiri seperti gangguan
neurologis dan penggunaan obat-obatan.
Tipe

dari

inkontinensia

urine

mungkin

berbeda

berdasarkan usia, dengan beberapa studi menunjukkan


prevalensi inkontinensia tipe stres yang lebih tinggi pada
wanita dengan usia kurang dari 60 tahun. Tidak semua
penelitian mengkonfirmasi temuan ini dan penyebab dari
kecenderungan ini juga masih belum diketahui dengan
pasti.
Prevalensi inkontinensia urine lebih banyak terjadi
pada

pasien

nullipara.

multipara

Proses

dibandingkan

persalinan

mungkin

dengan

pasien

menyebabkan

terjadinya trauma langsung pada otot dasar panggul dan


jaringan pengikat disekitarnya. Persalinan juga dapat

14

mengakibatkan

kerusakan

pada

saraf-saraf

yang

selanjutnya menyebabkan disfungsi pada otot panggul.


Beberapa

studi

secara

inkonsisten

telah

menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kejadian disfungsi


urinearia setelah usia post-menopause. Menurut penelitian
dari Iosif 1981, reseptor estrogen banyak ditemukan di
uretra, otot pubokoksigeus dan trigonum kandung kemih.
Dipercayai terjadinya perubahan pada kolagen akibat dari
hipoestrogenik, berkurangnya vaskularisasi uretral dan
penurunan

volume

menyebabkan

otot

gangguan

skelet

yang

secara

kolektif

pada

fungsi

uretra

dengan

mekanisme penurunan tekanan pada uretra pada saat


istirahat.
2.12 PATOFISIOLOGI
Inkontinensia

urine

tipe

stress

disebabkan

oleh

tekanan luar dari kandung kemih yang melebihi tekanan


penutupan
menjadi

sfingter

tidak

aktif

uretra.

Otot-otot

atau

tidak

detrusor

berkontraksi.

vesika
Pada

kebanyakan kasus, relaksasi pelvis menyebabkan leher


kandung kemih menjadi hipermobil sehingga pada saat
terjadi peningkatan tekanan intra-abdominal, dalam waktu
yang singkat akan diteruskan ke kandung kemih dan
uretra. Ini akan meningkatkan tekanan intravesika dan
intrauretra

dan

selanjutnya

menyebabkan

terjadinya

inkontinensia urine.
Pada kondisi normal, tekanan intra-abdominal akan
ditransmisi

ke

kandung

kemih

dan

uretra

secara

bersamaan. Namun pada saat terjadi atoni atau kerusakan


pada saraf pudendal setelah persalinan per vaginam, leher

15

kandung kemih akan berada di bawah otot levator ani dan


menyebabkan hilangnya angulus uretrovesika. Tekanan
intra-abdominal hanya akan distransmisi ke kandung kemih
dan mengurangi

tekanan penutupan

uretra

sehingga

terjadinya inkontinensia.

Gambar 5: Teori transmisi tekanan.


Pada
peningkatan

wanita

dengan

sokongan

yang

normal,

tekanan intra-abdomen akan didistribusikan

ke sisi kontralateral dari kandung kemih dan uretra. Pada


mereka

dengan

sokongan uretra

lemah,

peningkatan

tekanan intra-abdomen mengubah sudut urethrovesika dan


hilangnya kontinensia.
Sokongan uretra merupakan bagian integral dari
kontinensia. Sokongan ini berasal dari ligamen sepanjang
aspek lateral uretra, disebut ligamen pubourethra, vagina
dan kondensasi fasia lateral, fasia tendinous arkus panggul,
dan levator ani. Dengan hilangnya sokongan pada uretra,
kemampuan untuk menutup uretra berkurang. Hal ini
mengurangi

tekanan

penutupan

uretra

dan

ketidakmampuan untuk mengatasi peningkatan tekanan


kandung kemih. Dengan demikian, kontinensia hilang.

16

Gambar 6: Perbedaan sokongan pada fascia puboservikal


yang masih intak dengan fascia yang sudah robek.
Pada inkontinensia tipe urge, komponen sfingter
berfungsi dengan baik, namun terjadi peningkatan yang
abnormal

pada

otot

detrusor

yang

hipertonik

atau

terjadinya disfungsi neurologis. Pada saat adanya sensasi


untuk berkemih, kandung kemih yang terisi tidak dapat di
inhibisi dan terjadi kontraksi yang kuat pada otot detrusor
sehingga

menyebabkan

sfingter

urethra

terbuka

dan

terjadi pengosongan kandung kemih yang tidak dapat


dikawal

oleh

pasien.

Jika

penyebab

inkontinensia

berhubung dengan gangguan defisit neurologis, maka


kondisi ini dinamakan neurogenic detrusor overactivity.
Namun jika gejala inkontinensia tipe urge di dapat tanpa di
temukan gangguan neurologis, maka kondisi ini dinamakan
detrusor instability.

BAB III
KESIMPULAN
Prolapsus organ panggul terjadi akibat kelemahan atau
cedera otot dasar panggul sehingga tidak mampu lagi
menyangga organ panggul. Prolapsus organ panggul

sering

terjadi terutama pada wanita tua. Diperkirakan lebih dari 50%


wanita yang pernah melahirkan normal akan mengalami
keadaan ini dalam berbagai tingkatan.

17

Selama kehamilan, tegangan yang sangat besar terjadi


pada dasar pelvis yang dipengaruhi oleh hormonal pada fasia
dasar pelvis, berat janin yang sedang berkembang, dan
perubahan postur pelvis. Sedangkan selama persalinan otot
meregang, sehingga mengontraksikan otot ini pada masa
pasca natal menjadi sulit dilakukan dan menjadi nyeri. Oleh
karena itu latihan dasar pelvis perlu diajarkan kepada ibu
hamil pada masa antenatal untul mempertahankan tonus otot
sehingga dapat tetap berfungsi dengan baik.
Inkotinensia urine, tipe yang paling sering terjadi pada
wanita hamil ada tipe stress, dihubungkan dengan disfungsi
dari otot dasar panggul. Secara teori, ini dikaitkan dengan
wanita

yang

memang

memiliki

resiko

untuk

mendapat

inkontinensia, terutama pada wanita dengan jaringan ikat atau


kolagen dasar panggul yang lemah, efek kumulatif dari
persalinan

multipel,

usia

lanjut,

menopause

mengatasi

mekanisme kompensasi dari hilangnya sokongan otot dasar


panggul

hingga

menyebabkan

timbulnya

gejala

dari

inkontinensia. Deteksi dini adalah perlu sebagai suatu langkah


pencegahan.

DAFTAR PUSTAKA

18

1. Prawirohardjo,Sarwono (2008). Ilmu Kebidanan, penerbit PT Bina


2.
3.
4.
5.

6.

Pustaka, jakarta
Prawirohardjo,Sarwono (2008). Ilmu Kandungan, penerbit PT Bina
Pustaka, jakarta
Nasruddin, (2009). Diktat Kuliah Ginekologi.
Manuaba, Ida Ayu Chandranita (2009). Memahami Kesehatan
Reproduksi Wanita,Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta EGC.
Manuaba,Fajar (2008). Gawat Darurat Obstetri Ginekologi &
Obstetri Ginekologi Sosial Untuk Profesi Bidan, Penerbit Buku
Kedokteran, Jakarta EGC.
Thompson,Fiona (2008). Panduan Lengkap Kebidanan, Penerbit
PALMALL, Yogyakarta.

7. Williams (2009). Obstetri Williams, Penerbit Buku Kedokteran,

jakarta EGC.
8. Yulianingsih,Anik Maryunani (2009). Asuhan Kegawatdaruratan
Dalam Kebidanan, Penerbit Trans Info Media, Jakarta.
9. Maulana,Mirza (2009). Seluk Beluk Reproduksi Dan Kehamilan,
Penerbit Garailmu, Jogjakarta.
10. Benson,Ralph c (2008).Buku Saku Obstetri & Ginekologi, Penerbit
Buku Kedokteran, ed.9, Jakarta EGC.

19

Anda mungkin juga menyukai