Anda di halaman 1dari 40

Kasus 2

Lumpuh Mendadak
Seorang laki- laki berusia 60 tahun dibawa keluarganya ke unit gawat
darurat RS karena mendadak mengalami kelemahan separuh badannya saat
mandi. Tidak berselang lama, pasien mengeluhkan sakit kepala dan muntah.
Pasien mempunyai riwayat hipertensi. Riwayat trauma tidak diketahui oleh
keluarga pasien. Dari pemeriksaan didapatkan pasien tampak mengalami
penurunan kesadaran, tekanan darah 180/100 dan siriraj score = 4,5. Pada
pemeriksaan neurologis didapatkan hemiparesis sinistra spastik. Keluarga sangat
khawatir apakah kondisinya bisa pulih seperti sebelumnya.

STEP 1
1. Trauma: Cedera fisik/ emosional yang secara medis berpacu pada cedera
serius/ kritis, luka/ syok.
2. Siriraj score: Untuk menentukan jenis stroke pada pasien (hemoragik/ nonhemoragic)
3. Hipertensi: Tekanan darah seseorang melebihi batas normal
4. Hemiparesis sinistra spastik: Ketegangan otot meningkat akibat kerusakan
sistem neuromuskular sehingga kontraksi tidak terkontrol oleh pusat
kesadaran dan mengalami kelemahan sebagian anggota tubuh bagian kiri.

STEP 2
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Bagaimana anatomi dari sistem perdarahan otak?


Bagaimana mekanisme regulasi dan penyesuaian darah serebral?
Apa saja faktor risiko terjadinya kelumpuhan sebelah?
Apa saja faktor risiko terjadinya stroke?
Bagaimana penegakan klasifikasi, diagnosis (manifestasi klinis) stroke?
Bagaimana penatalaksaan stroke dan rehabilitasi stroke?
Bagaimana cara menghitung siriraj score dan algoritma gajah mada?
Apa hubungan riwayat hipertensi dengan penyakit yang terjadi pada

pasien?
9. Apakah pasien dapat sembuh kembali?

STEP 3
1. Arteri: -A. Carotis: *eksterna dan interna
-A. Vertebralis
Vena V. Profunda V. Jugularis interna

2. - Serebrovaskuler Aliran darah (banyak zat makanan jika terhenti


hilang kesadaran.
- Iskemia Serebral Kerusakan Irreversible dapat kembali lagi 4-5
menit penghentian O2 Cerebral 50ml/ 100gr jar.otak/ menit
Istirahat 1/6 curah jantung otak 20% O2 Cerebral Darah
-

tersumbat Sirkulasi kolateral membantu mempertahankan CBF.


Sirkulasi Kolateral Melalui sirkulasi Willisi untuk menjamin

distribusi darah ke otak sehingga tidak terjadi iskemik.


3. Hipertensi
-Stress
-Usia
-Alkohol
-Jenis Kelamin
-Obesitas
-Merokok
-Keturunan
4. Terdapat 2 Faktor:
Major
Minor
5. Stroke
Gejala/ syndrome yang terdiri dari tanda atau gejala hilangnya
fungsi SSP.
Anamnesis
PF
Lab dan Penunjang
6. Rehabilitasi
Akut ( Dirawat di rumah, Ruang rawat biasa)
Subakut
Kronik
7. #Siriraj Score

Rumus (2,5 x kesadaran) + (2 x sakit kepala) + (2 x muntah) +


(0,1 x Tekanan diastol) (3 x Pertanda Ateroma) 12
#Algoritma Gajah Mada

Kesadaran
Nyeri Kepala
Refleks Babinski

8. Hipertensi Pecahnya pembuluh darah Menyempit Kelumpuhan/


Kematian.
9. Tidak bisa, karena sistem saraf tidak bisa mentolerir kurangnya pasokan
O2 dan nutrisi lebih dari 4 menit.

STEP 4
1. A. Carotis dan A. Vertebralis Anastomosis Willisi juga sering terjadi
penyempitan tidak memungkinkan pertukaran darah gampang pecah
arterinya
-Fisiologi CBF 50ml
1200gr 1400gr 700- 840ml/ menit 1/3 disalurkan A. Carotis
interna, 2/3 A. Basilar

2. Mekanisme regulasi
Mikrosirkulasi serebral jika laju dari substansia alba laju

kapiler darah ke otak 4x lipat lebih besar


Kapiler di otak Semipermeabel karena

mempunyai celah bacanya aliran darah kapiler


Autotoregulasi otak Fungsi dilakukan dan mengatur aliran darah,

antara

endotel

resistensi untuk mempertahankan tekanan aliran darah ke otak

dalam rentang fisiologi 60- 160 mmHg


CBF Terkoagulasi daerah tersebut di aliran darah yang

mengangkat O2 hemiparesis, hemiparestesia (baal)


3. - Hipertensi sumbatan pada otak kontralateral

-Stress aliran darah


4. Major
Hipertensi 160/95, merokok (resiko 2x lebih tinggi), alkohol, DM
tipe kolesterolemia, penyakit jantung, vibrilasi atrium kelainan
jantung koroner
Minor

Usia, genetik, jenis kelamin (perempuan menopause lebih rentan),


Hiperkolesterolemia, kontrol plak pembuluh darah menyumbat

pembuluh darah
5. A. Hemoragik (kerusakan pembuluh darah)
B. Non- Hemoragik/ iskemik cerebri

(kebutuhan

aliran

darah

20ml/100gr/menit)
TIA (Transient Ischemic Attack)
RIND (Reversible Ischemic Neurologis) > 24 jam, defisit
neurologic berkurang

Hemoragik

Intraserebral: Berat, penyebab hipertensi, hemiparesis sejak

awal permenit/ perjam, nyeri kepala


Ekstraserebral: Subarakhnoid (ringan lelah sakit)

Non- Hemoragik

Parenkim otot
Ruang subarakhnoid

Faktor Anatomi (Lesi)

Trombosis (tidak terjadi tiba-tiba, hemiplegia tubuh)


Serebral (tiba-tiba hemiparesis, serangan saat beraktivitas)

Gejala Klinis

Buta mendadak
A. Cerebri anterior (gangguan mental)

A. Cerebri posterior (hilangnya kemampuan membaca)

Anamnesis

Gejala awal (kejang)


Faktor resiko
Pemakaian obat
Faktor T distabilitas epilepsi
Ketidakseimbangan cairan

Pemeriksaan Fisik

Sistem pembuluh darah perifer


Auskultasi jantung (murmur ada/ tidak)
EEG Gelombang otak spesifik
Neurologik (refleks- refleks defekasi)

Laboratorium

Hitung jenis
Darah

Penunjang

CT Scan
Angiografi serebral
MRI

6. Obat- obatan
Asetesal Antiregresi trombosit 80/80 mg/hr
Antikoagulan Kopi droplesi Antiregresi ke 2
Rehabilitasi
-Fisik
-Mental
-Sosial
Mendapatkan terapi fisik (fisioterapi, okupasional, bicara dan

bahasa rehabilitasi mental dan sosial


Terapi Akut
-Mengendalikan
-Emboli (percepatan dan terapi trombolitik)
-Tekanan darah arteria dikontrol tetap

-Tanda klinis intra kranial


7. Kesadaran
-0 compos mentis
-1 somnolen
-2 koma
8. Risiko stroke 4x- 5x

penatalaksanaan
Hub dg struktur anatomi perdarahan otak
klasifikasi

STROKE
Hemoragik
Non hemoragik

penegakan diagnosis

STEP 5
1. Penegakan klasifikasi, diagnosis (manifestasi klinis) stroke?
2. Penatalaksanaan stroke dan rehabilitasinya?
3. Mekanisme terjadinya lesi vaskuler serebral berdasarkan letak lesinya,
berhubungan dengan kelainan sensorik dan motorik dan saraf lainnya
STEP 6

BELAJAR MANDIRI

STEP 7
1. Klasifikasi, diagnosis stroke
Klasifikasi Utama Stroke
Sistem klasifikasi lama biasanya membagi stroke tiga kategori berdasarkan
penyebab tromembolik, hemoragik. Kategori ini sering didiagnosis
berdasarkan riwayat perkembangan dan gejala. Dengan teknik-teknik
pencitraan yang baru seperti CT scan dan MRI, kita dapat mendiagnosis
perdarahan subaraknoid dan intraserebrum dengan tingkat kepastian yang
tinggi. Perbedaan antara trombus dan embolus sebagai penyebab suatu
stroke iskemik masih belum tegas sehingga saat ini keduanya digolongkan
ke dalam kelompok yang sama stroke iskemik. Dengan demikian, dua
kategori dasar gangguan sirkulasi yang menyebabkan stroke adalah
iskemia-infark

dan

pedarahan

intrakranium,

yang

masing-masing

menyebabkan 80% sampai 85% dan 15% sampai 20% dari semua kasus
stroke. Penyakit serebrovaskular iskemik dibagi menjadi dua kategori
besar. Oklusi trombolik dan oklusi embolik. Kuasa pasti iskemia sering
tidak dapat ditentukan, stroke lakunar melibatkan arteri-arteri panetrans
halus di otak, misalnya arteri letikulostriata yang bercabang dari arteri
serebri media. Arteri-arteri ini bercabang pada sudut 90 derajat dari arteri
konduktans utama sirkulus willisi dan biasanya merupakan end-arteri yang
kurang memiliki sirkulasi kolateral. Sekitar 15% stroke iskemik
disebabkan oleh stroke lakunar. Iskemik serebrum disebabkan oleh
berkurangnya aliran darah yang berlangsung selama beberapa detik sampai
beberapa menit. Apabila melebihi beberapa menit,maka terjadi infark
jaringan otak. Perdarahan intrakranium dapat terjadi di jaringan otak itu

sendiri ( parenkim ), ruang subaraknoid,atau ruang subdura atau epidura.


Hematom subdura dan epidura biasanya disebabkan oleh trauma dan
dibahas di Bab 56. Sebagian besar perdarahan intraserebrum berkaitan
dengan hipertensi. Perdarahan subaraknoid biasanya terj adi akibat
aneurisma sakular (Berry) atau, yang lebih jarang, suatu malformasi
arteriovena (MAV) (Price, 2006).
Mekanisme Patofisiologi Umum
Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi di mana saja di
dalam arteri-arteri yang membentuk sirkulus Willisi: arteria karotis interna
dan sistem vertebrobasilar atau semua cabang-cabangnya (Gbr. 53-3).
Secara umum, apabila aliran darah ke jaringan otak terputus selama 15
sampai 20 menit, akan terjadi infark atau kematian jaringan. Perlu di
ingatkan bahwa oklusi di suatu arteri tidak selalu menyebabkari infark di
daerah otak yang diperdarahi oleh arteri tersebut. Alasannya adalah bahwa
mungkin terdapat sirkulasi kolateral yang memadai ke daerah tersebut.
Proses patologik yang mendasari mungkin salah satu dan berbagai proses
yang teijadi di dalam pembuluh darah yang memperdarahi otak.
Patologmya dapat berupa (1) keadaan pen yakit pada pembuluh itu sendiri,
seperti pada ateroskierosis dan trombosis, robeknya dinding pembuluh,
atau peradangan; (2) berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran
darah, misalnya syok atau hiperviskositas darah 3) gangguan aliran darah
akib bekuan atau embolus feksi yang berasal dari jantung atau pembuluh
ekstrakranium; atau (4) ruptur vaskular, di dalam jaringan otak atau ruang
subaraknoid (Price, 2006).
STROKE ISKEMIK
Sekitar 80% stroke adalah stroke iskemik, yang terjadi akibat obstruksi
atau bekuan di satu atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum.
obstruksi dapat disebabkan bekuan ( trombus ) yang terbentuk dalam
suatu pembuluh otak atau pembuluh organ distal. pada trobus vaskular
distal bekuan dapat terlepas , atau mungkin terbentuk di dalam suatu
organ seperti jantung., dan kemudian di bawa melalui sistem arteri ke otak
sebagai suatu embolus . terdapat beragam penyebab stroke trombolik dan

embolik

primer,

termasuk

aterosklorosis,

arteriritis

keadaan

hiperkoogulasi, dan penyakit jantung struktural. namun, trombosis yang


menjadi penyulit aterosklosis merupakan penyebab pada sebagian besar
kasus stroke tombotik, dan embolus dari pembuluh abesar atau jantung
merupakan penyebab tersering stroke embolik (Price, 2006).
Sumbatan aliran di arteria karotis interna sering merupakan
penyebab stroke pada oarang berusia lanjut, yang sering mengalami
pembenntukan plak aterosklerotik di pembuluh darah sehingga terjadi
penyempitan atau stenosis. pangkal arteria karotis interna merupakan
tempat tersering terbntuknya aterosklorosis . darah di dorong melalui
sistem vaskular oleh gradien tekanan, tetapi pada pembuluh darah yang
menyempit, aliran darah yang lebih cepat melalui lumen yang lebih kecil
akan menurukan gradien tekanan di tempat konstriksi tersebut. apanila
stenosis mencapai suatu tingkat kritis tertentu, maka meningkatnya
turbulensi di sekitar penyumbatan akan menyebabkan penurunan tajam
kecepatan aliran. secara klinis titik stnosis adalah 80% sampai 85% dari
uas potongan melintang lumen (Hademenos, 1997). penyebab lain stroke
iskemik adalah vasospasme, yang sering merupakan respons vaskular
reaktif terhadap pendarahan ke dalam ruang antara lapisan araknoid dan
piameter meningen. sebagian besaR stroke iskemik tidak menimbulkan
rasa nyeri , karena jaringa otak tidak peka terhdap nyeri, namun pembulih
besar di leher dan batang otak memiliki banyak reseptor nyeri, dan cedera
pada pembuluh ini saat serangan iskemik dapat menimbulkan nyeri kepala.
dengan demikinna, pada pasien dengan stroke iskemik desertai gambaran
klinis berupa nyeri kepala perlu dilakukan uji diagnostik yang dapat
mendeteksi cedera seperti aneurisma disekan di pembuluh darah leher dan
batang otak (Price, 2006).
STROKE KRIKPTOGENIK
Walaupun kardioembolisme menimbulakn gambaran klinis yang dramatis
dan hampir patognomonik, namun sebagian pasien mengalami oklusi
mendadak pembuluh intrakranium besar tanpa penyebab yang jelas.
kelainan ini disebut dengan stroke kriptogenik karena sumbernya

"Tersembunyi", bahkan setelah dilakuan pemeriksaan klinisyang ekstensif.


mungkinkausa tersebut tetap tidak jelas selama beberapa bulan atau tahun,
ketika kemudian muncul kembali gejala serupa yang kausanya diketahui .
namun, sebagian besar stroke yang kausanya tidak jelas terjadi pasa pasien
yang profit klinisnya tidak dapat dibedakan dari meraka yang mengadap
aterotrombosis (Price, 2006).
STROKE LAKUNAR
Infark lakunar terjadi karena penyakit pembuluh halus hipertensif dan
menyebabkan syndrom stroke yang biasanya muncul dalam beberapa jam
atau kadang atau kadang lebih lama. infark lakunar meruapakan infark
yang terjadi setelah oklusi aterotrombotik atau hialinlipid salah satu dari
cabang penetrans sirkulus willisi,ateria serebria atau arteri vertebralis dan
basilaris ( smith et al,2001 ) trombosis yang terjadi di dalam pembuluh ini
menyebabkan daerah infrak yang kecil, lunak dan disebut lakuna. Gejala
yang mungkin sangat berat, walaupun terisolasi dan berbatas tegas,
bergantung pada kedalaman pembuluh yang tekena menembus jaringan
sebelum mengalami trombosis (Price, 2006).
STROKE TROMBOTIK PEMBULUH BESAR
Trombosis pembuluh besar dengan aliran lambat adalah subtipe kedua
stroke iskemik. seagian besar dari stroke ini terjadi saat tidur, saat pasien
relatif mengalami dehidrasidan dinamika sirkulasi menurun. Gejala dan
tanda yang muncul akibat stroke ini bergantung pada lokasi sumbatan dan
tingkat aliran kolateral di jaringa otak yang yang terkena. stroke ini sering
berkaitan dengan lesi aterosklorotikyang menyebabkan penyempitan atau
stenosis di arteri karotis interna atau yang lebih jarang di pangkal arteria
serebri media atau di taut arteria vertebralis dan basilaris (Price, 2006).
STROKE EMBOLIK
Stroke embolik diklasifikasikan berdasarkan arteri yang terlibat (misalnya,
stroke arteria vertebralis) atau asal embolus. Asal stroke embolik dapat

suatu arteri distal atau jantung (stroke kardioembolik). Trombus mural


jantung merupakan sumber tersering: infark miokardium, fibrilasi atrium,
penyakit katup jantung, katup jantung buatan, dan kardiomiopati iskemik.
Dari hal-hal ini, fibrilasi atrium sejauh ini merupakan penyebab tersering.
Penyebab penting selanjutnya adalah tromboemboli yang berasal dari
arteri, terutama plak ateromatosa di arteri karotis (Price, 2006).
Stoke yang terjadi akibat embolus biasanya menimbulkan defisit
neurologik mendadak dengan efek maksimum sejak awitan penyakit.
Biasanya serangan terjadi saat pasien beraktivitas. Trombus embolik ini
sering tersangkut di bagian pembuluh yang mengalami stenosis. Stroke
kardioembolik, yaitu jenis stroke embolik tersering, didiagnosis apabila
diketahui adanya kausa jantung seperti fibrilasi atrium atau apabila pasien
baru mengalami infark miokardium yang mendahului terjadinya sumbatan
mendadak pembuluh besar otak. Embolus berasal dari bahan trombotik
yang terbentuk di dinding rongga jantung atau katup mitralis. Karena
biasanya adalah bekuan yang sangat kecil, fragmen-fragmen embolus dari
jantung mencapai otak melalui arteria karotis atau vertebralis. Dengan
demikian, gejala klinis yang ditimbulkannya bergantung pada bagian mana
dari sirkulasi yang tersumbat dan seberapa dalam bekuan berjalan di
percabangan arteri sebelum tersangkut (Price, 2006).
Selain itu, embolisme dapat terurai dan terus mengalir sepanjang
pembuluh darah sehingga gejala-gejala mereda. Namun, fragmen
kemudian tersangkut di sebelah hilir dan menimbulkan gejala-gejala fokal.
Sayangnya, pasien dengan stroke kardioembolik memiliki resiko yang
lebih besar menderita stroke hemoragik di kemudian hari, saat terjadi
perdarahan petekie atau bahkan perdarahan besar di jaringan yang
mengalami infark beberapa jam atau mungkin haru setelah proses emboli
pertama. Penyabab perdarahan tersebut adalah bahwa struktur dinding
arteri sebelah distal dari oklusi embolus melemah atau rapuh karena
kekurangan perfusi. Dengan demikian, pemulihan tekanan perfusi dapat

menyebabkan perdarahan arteriol atau kapiler di pembuluh tersebut (Price,


2006).

PENYEBAB LAIN STROKE ISKEMIK


Beberapa penyebab lain stroke yang lebih jarang adalah dysplasia
fibromuskular, arteritis (misal, arteritis temporalis, poliarteritis nodosa),
dan gangguan hiperkoagulasi. Walaupun penyebab ini umumnya masuk
kedala klasifikasi stroke trombotik, masing-masing juga memiliki
gambaran dari subtype stroke lain. Dysplasia fibromuskular terjadi di
arteria servikalis dan dijumpai hampir hanya pada perempuan. Pada
pemeriksaan Doppler, tampak banyak lesi seperti sosis di arteri, dengan
penyempitan stenotik berselang-seling dengan bagian-bagian yang
mengalami dilatasi. Arteritis temporalis (sel raksasa) adalah suatu penyakit
yang mengenai orang berusia lanjut dengan arteria karotis eksterna, dan
terutama arteria temporalis, mengalami peradangan granulomatosa dengan
sel-sel raksasa. Arteritis temporalis dapat menyebabkan defisit nonreversibel fokal yang parah, dan dapat disembuhkan apabila ditemukan
secara dini. Tanda-tanda awal bersifat non spesifik dan samar, yang
biasanya menyebabkan diagnosis tertunda. Dengan demikian, para petugas
kesehatan perlu mewaspadai penyakit ini dan bertindak berdasarkan
gejala, tanda, dan profil resiko pasien untuk memberikan intervensi secara
dini. Arteritis temporalis jarang dijumpai pada pasien berusia kurang dari
50 tahun dan lebih sering mengenai laki-laki daripada perempuan. Gejala
awal umumnta bersifat nonspesifik dan berupa penurunan berat badan,
anoreksia, myalgia generalisata, dan rasa lelah. Temuan laboratorium yang
khas

adalah

peningkatan

mencolok

Laju

Endap

Darah

(LED).

Meningkatnya LED pada pasien yang berisiko harus ditindak lanjuti


dengan biopsy arteria temporalis untuk mengetahui lesi granulomatosa
penyebabnya. Apabila peradangan ini tidak cepat diobati, maka dapat

terjadi secara cepat penyulit neurologic kebutaan akibat neuritis optikus


iskemik (walaupun jarang menyebabkan stroke). Sayangnya, kebutaan ini
sering irreversible. Terapi berupa pemberian prednisone dengan dosis
sedang-tinggi (Wiederholt, 2000).

JENJANG ISKEMI dan CEDERA SEKUNDER


Selama tahun 1990an, yaitu apa yang disebut decade otak, para peneliti
membuat kemajuan besar dalam mengungkapkan mengapa sel-sel neuron
mati selama stroke iskemik. Sebagian besar stroke berakhir dengan
kematian sel-sel di daerah pusat lesi (infark) tempat aliran darah
mengalami penurunan drastis sehingga sel-sel tersebut biasanya tidak
dapat pulih. Ambang perfusi ini biasanya tidak dapat pulih. Ambang
perfusi ini terjadi apabila CBF hanya 20% dari normal atau kurang. CBF
normal adalah sekitar 50ml/100g jaringan otak/menit. The National Stroke
Association (2001) telah meringkaskan mekanisme cedera sel akibat stroke
sebagai berikut :
1) Tanpa obat-obatan neuroprotektif, sel-sel saraf yang mengalami iskemia
80% atau lebih (CBF 10ml/100g jaringan otak/menit) akan mengalami
kerusakan ireversibel dalam beberapa menit. Daerah ini disebut juga
pusat iskemik. Pusat iskemik dikelilingi oleh daerah lain jaringan yang
disebut penumbra iskemik atau zona transisi dengan CBF adalah
antara 20% dan 50% normal (10 sampai 20 ml/100g jaringan
otak/menit). Sel-sel neuron di daerah ini berada dalam bahaya tetapi
belum rusak secara ireversibel. Terdapat bukti bahwa jendela waktu
untuk timbulnya panumbra pada stroke dapat bervariasi dari 12 sampai
24 jam.
2) Secara cepat didalam pusat infark, dan setelah beberapa saat didaerah
panumbra iskemik, cedera dan kematian sel otal berkembang sebagai
berikut :

a. Tanpa pasokan darah yang memadai, sel-sel otak kehilangan


kemampuan untuk menghasilkan energy ---terutama adenosine
trifosfat (ATP)
b. Apabila terjadi kekurangan energy ini, pompa natrium-kalium sel
berhenti berfungsi sehingga neuron membengkak
c. Salah satu cara sel otak berespons terhadap kekurangan energy ini
adalah dengan meningkatkan konsentrasi kalsium intrasel. Yang
memperparah masalah, dan mendorong konsentrasi ketingkat yang
membahayakan, adalah proses eksitotoksisitas, yaitu sel-sel otak
melepaskan neurotransmitter eksitatorik glutamate dalam jumlah
berlebihan. Glutamate yang dibebaskan ini merangsang aktivitas
kimiawi dan listrik di sel otak lain dengan melekat ke suatu
molekul di neuron lain, reseptor N-metil-D-Aspartat (NMDA).
Pengikatan reseptor ini memicu pengaktifan enzim nitrat oksida
sintase (NOS), yang menyebabkan terbentuknya molekul gas,
nitrat oksida (NO). pembentukan NO dapat terjadi secara cepat
dalam jumlah besar sehingga terjadi penguraian dan kerusakan
struktur-struktur sel yang vital. Proses ini terjadi melalui
perlemahan asam deoksiribonukleosida (DNA) neuron, yang, pada
gilirannya, mengaktifkan enzim, poli (adenosine difosfat[ADP]
ribose) polymerase (PARP). PARP adalah suatu enzim nucleus
yang mengenali kerusakan pada untai DNA dan sangat penting
dalam perbaikan DNA. Namun, PARP diperkirakan menyebabkan
dan mempercepat eksitotoksisitas setelah iskemia serebrum,
sehingga terjadi deplesi energy sel yang hebat dan kematian sel
(apoptosis)
d. NO terdapat secara alami didalam tubuh dan meingkatkan banyak
fungsi fisiologik yang bergantung pada vasodilatasi, seperti ereksi
penis; zat ini juga merupakan bahan aktif dalam obat vasodilator
kuat seperti natrium nitroprusid (Nipride). Namun, dalam jumlah
berlebihan, NO dapat menyebabkan kerusakan dan kematian

neuron. Obat yang dapat menghambat NOS dan produksi NO atau


menghambat kerja enzim PARP mungkin akan bermanfaat untuk
mengurangi kerusakan otak akibat stroke.
e. Sel-sel otak akhirnya mati akibat kerja berbagai protease (enzim
yang mencerna protein sel) yang diaktifkan oleh kalsium, lipase
(enzim yang mencerna membrane sel), dan radikal bebas yang
terbentuk akibat jenjang iskemik.
f. Akhirnya, jaringan otak yang mengalami infark membengkak dan
dapat menimbulkan tekanan dan distorsi serta merusak batang
otak.
Setelah episode iskemik permulaan, factor mekanis dan kimiawi
menyebabkan kerusakan sekunder. Faktor yang paling banyak
menimbulkan cedera adalah (1) rusaknya sawar darah otak dan sawar
darah CSS akibat terpajan ke zat-zat toksik, (2) edema interstisium
otak akibat meningkatnya permeabilitas vascular di arteri yang terkena,
(3) zona hiperperfusi yang mengelilingi jaringan iskemik yang dapat
mengalihkan aliran darahdari dan mempercepat infark neuron-neuron
yang sudah mengalami iskemia., dan (4) hilangnya autoregulasi otak
sehingga CBF menjadi tidak responsive terhadap perbedaan tekanan
dan kebutuhan metabolik (Price, 2006).
Hilangnya autoregulasi adalah penyulit stroke yang sangat
berbahaya dan dapat memicu lingkaran setan berupa meningkatnya
edema otak, meningkatnya TIK, dan semakin luasnya kerusakan
neuron. Dengan hilangnya autoregulasi, arteriol-arteriol tidak lagi
mampu mengendalikan CBF sesuai kebutuhan metabolic. Arteriolarteriol tersebut juga tidak dapat melindungi kapiler otak dari
peningkatan atau penurunan mendadak tekanan darah. Aliran darah
otak sekarang dikendalikan semata-mata oleh tekanan arteri sistemik
rata-rata (MAP). Pada hipotensi berat, tekanan perfusi serebrum
menurun sehingga terjadi iskemia. Akhirnya, karena iskemia

menimbulkan perubahan kimiawi didalam sel, akan terjadi kerusakan


akibat meningkatnya edema serebrum yang semakin menurunkan
aliran darah keotak dalam suatu system beraliran lambat. Sayangnya,
dengan menghilangnya autoregulasi, hipertensi arteri sistemik yang
tidak terkendali dapat menimbulkan akibat yang sama. Serupa dengan
keadaan tekanan darah yang tinggi CBF mengikuti MAP sistemik.
Dengan demikian, CBF meningkat, walaupun TIK meningkat,
sehingga kapiler-kapiler otak mengalami distensi dan menjadi
permeable. Proses ini, tentu saja, menimbulkan lingkaran setan jenis
lain, berupa hilangnya tekanan onkotik dikapiler serebrum dan
terjadinya edema dijaringan insterstisium otak (Price, 2006).
GEJALA dan TANDA STROKE
Kita perlu mengetahui bahwa stroke adalah suatu kedaruratan
medis, karena intervensi dini dapat menghentika dan bahkan
memulihkan kerusakan pada neuron akibat gangguan perfusi. Tanda
utama stroke atau cerebrovascular accident (CVA) adalah munculnya
secara mendadak satu atau lebih defisit neurologic fokal. Defisit
tersebut mungkin mengalami perbaikan dengan cepat, mengalami
perburukan progresif, atau menetap. Aktivitas kejang biasanya bukan
merupakan aktivitas stroke. Gejala umum berupa baal atau lemas
mendadak diwajah, lengan, atau tungkai, terutama disalah satu sisi
tubuh; gangguan penglihatan seperti penglihatan ganda atau kesulitan
melihat pada satu atau kedua mata; bingung mendadak; tersandung
selagi berjalan, pusing bergoyang, hilangnya keseimbangan atau
koordinasi; dan nyeri kepala mendadak tanpa kausa yang jelas (Price,
2006).
Titik

percabangan

atau

sudut

pembuluh-pembuluh

besar

merupakan bagian yang paling rentan terhadap gangguan aliran karena


stenosis. Gambaran klinis utama yang berkaitan dengan insifisiensi
arteri ke otak dapat bersifat fokal dan temporere, atau disfungsinya
mungkin permanen, disertai kematian jaringan dan defisit neurollogik.

Kita sulit memastikan adanya hubungan yang erat antara gejala yang
berkaitan dengan pembuluh tertentu dan manifestasi klinis yang
sebenarnya pada seorang pasien karena factor-faktor berikut (Price,
2006) :
a. Terdapat variasi individual pada sirkulasi kolateral dalam kaitannya
dengan sirkulasi Willisi. Sumbatan total sebuah arteri karotis
mungkin tidak menimbulkan gejala apabila arteri serebri anterior
sinistra dan arteri serebri media sinistra mendapat darah yang
adekuat dari arteria kommunikans anterior. Apabila pasokan darah
ini tidak memadai, mungkin timbul gejala berupa kebingungan,
monoparesis, atau hemiparesis kontralateral, dan inkontinensia.
b. Cukup banyak terdapat anastomosis leptomeningen antara arteria
serebri anterior, media, dan posterior di korteks serebrum.
Anastomosis juga terdapat antara arteria serebri anterior kedua
hemisfer melalui korpus kalosum
c. Setiap arteria serebri memiliki sebuah daerah sentral yang
mendapat darah darinya dan suatu daerah perifer, atau daerah
perbatasan, yang mungkin mendapat darah dari arteri lain. Terdapat
anastomosis antara a.karotis eksterna dan interna, seperti disekitar
orbita, dengan darah dari pembuluh karotis eksterna mengalir balik
ke arteri oftalmika.
d. Berbagai factor sistemik dan metabolic ikut berperan dalam
menentukan gejala yang ditimbulkan oleh proses patologik tertentu.
Sebagai contoh, pembuluh yang mengalami stenosis mungkin tidak
menimbulkan gejala asalkan tekanan darah sistemik 190/110
mmHg; tetapi apabila tekanan tersebut berkurang menjadi 120/70
mmHg, dapat timbul beragam gejala, bergantung pada lokasi
daerah stenotik tersebut. Hiponatremia dan hipertermia adalah
factor metabolic yang mendorong terjadinya defisit neurologic
apabila terdapat pembuluh darah yang stenotik. Hiponatremia

menyebabkan pembengkakan neuron yang ditimbulkan oleh


pergeseran osmotik cairan dari CES kedalam CIS yang relative
hipertonik. Hipertermia meningkatkan aktivitas metabolic dan
kebutuhan oksigen pada sel-sel yang mungkin mengalami
kekurangan oksigen karena menyempitnya arteri-arteri yang
memperdarahi sel-sel tersebut.
Perdarahan Intrakranial
Perdarahan sepontan, yaitu nontraumatik, pada parenkim otak
(perdarahan intraserebral) atau kompartemen meningeal di sekitarnya
(perdarahan subraraknoid, dan perdarahan subdural) berperan pada
15-20% stroke klinis, menurut isilah yang lebih luas. Meskipun sakit
kepala dan

gangguan kesadaran lebih sering terjadi pada perdarahan

intrakranial dari pada infark serebri, kriteria klinis saja tidak dapat
membedakan stroke perdarahan dengan stroke iskemik secara sahih.
Prosedur diagnostik pilihannya adalah CT (Baehr, 2012).
Pemahaman mengenai perdarahan subarakhnoid, subdural dan
epidural memerlukan pengetahuan mengenai anatomi meninges.
Perdarahan Intraserebral (Nontraumatik)

Perdarahan Hipertensif
Etiologi penyebab tersering perdarahan intrakranial adalah hipertensi
arterial.
Peningkatan tekanan darah patologis merusak dinding pembuluh
darah arteri yang kecil, menyebabkan mikroaneurisma (aneurisma
Charcot) yang dapat ruptur spontan. Lokasi predilileksi untuk
perdarahan intraserebral hipertensif adalah ganglia basalia, talamus,
nucleus serebeli, dan pons. Substansia alba serebri yang dalam,
sebaliknnya, jarang terkena (Baehr, 2012).
Manifestasi. Manifestasi perdarahan intraserebral bergantung pada
lokasinya. Perdarahan ganglia basalia dengan kerusakan kapsula
interna biasannya menyebabkan hemiparesis kontralateral berat,
sedangkan perdarahan pons menimbulkan tanda-tanda batang otak.

Acaman utama perdarahan intraserebral adalah hipetensi intrakranial


akibat efek massa hematoma. Tidak seperti infark, yang meningkatkan
tekanan intrakranial secara perlahan ketika edema sitoktoksik yang
menyertainya bertambah berat. Perdarahan intraserbral menaikan
tekanan intrakranial secara sangat cepat. Ruptur intraventrikular
perdarahan intraserebral dapat menyebabkan hidrosefalus, baik
melalui obstruksi aliran ventrikular dengan bekuan darah atau dengan
gangguan resorpsi LCS dari granulasiones araknoideae; jika ada,
hidrosefalus makin meningkatkan tekanan intrakranial. Di fosa
posterior hampir tidak ada ruang kosong, sehingga perdarahan
intraparenkimal dibawah tentorium meningkatkan tekanan intrkranial
seacara cepat, kemungkinan menyebabkan herniasi isi fosa posterior,
baik ke atas melalui insisura tentori, atau ke bawah kedalam foramen
magnum. Karena itu, perdarahan intraparenkimal di batang otak atau
serebelum memiliki prognosis yang jauh lebih buruk di bandingkan
dengan perdarahan berukuran sama di hemisfer serebri (Baehr, 2012).
Prognosis dan terapi. Jaringan otak di area perdarahan (kebalikan
dengan infrak) umumnya tidak rusak total ; jaringan otak yang hidup
sering di temukan di tengah-tengah darah yang mengalami
ekstravasasi. Hal ini menjelaskan mengapa defisit neurologis pasien
biasanya pulih dengan lebih cepat, ketika hematoma teresorpsi, dari
pada bila di sebabkan oleh stroke iskemik (Baehr, 2012).
Dengan demikian, tujuan terapi adalah untuk mempertahankan
jaringan otak agar tetap hidup di area perdarahan. Hipertensi
intrakranial persisten harus di terapi untuk menghindari kerusakan
sekunder, tidak hanya jaringan otak di dalam dan di sekitar hematoma
tetapi juga jaringan otak yang terletak jauh. Tekanan intrakranial dapat
diturunkan dengan farmakoterapi dan/atau dengan pengakatan
hematoma seacara pembedahan saraf. pembedahan harus di
lakukan hanya bila di indikasikan sesuai dengan kriteria yang ketat,
dengan mempertimbangkan usia pasien, serta lokasi dan ukuran
hematoma.

Penelitian

bersekala

besar

menunjukkan

manfaat

terapeutik hanya di dapatkan dari pengangkatan hematoma yang besar

( >20 cm). pengangkatan hematoma yang lebih kecil secara operatif


sebenarnya dapat merugikan, karena dapat merusak lebih banyak
jaringan otak viabel di bandingkan dengan jumlah jaringan otak yang
di selamatkannya ; dan pengangkatan hematoma secara operatif di
bagian otak yang dalam selalu menimbulkan destruksi sebagian
jaringan otak yang normal di sepanjang jalur pembedahan saraf ke
hematoma. untuk alasan ini, terapi pembedahan saraf untuk hematoma
intraparenkimal yang kecil terbatas pada penanganan hidrosefalus
( jika ada ) dengan drainase ventrikular eksternal,yang dapat di
lakukan dengan cedera minimal pada jaringan otak yang normal.
Pasien dengan hematoma yang sangat besar ( > 60 cm) tidak akan
memperoleh manfaat dari pengangkatan hematoma karen terlalu

banyak jaringan otak yang telah rusak (Baehr, 2012).


Perdarahan Intraserebral Nonhipertensif
Perdarahan intraserebral dapat di sebabkan oleh banyak penyebab
selain hipertensi arterial. Penyebab yang paling penting adalah
malformasi arteriovenosus, tumor, aneurisma, penyakit vaskular yang
meliputi vaskulitis dan angiopati amiloid, kavernoma, dan obstruksi
aliran vena ( seperti yang di uraikan di atas ). Perdarahan intraserebral
kemungkinan di sebabkan oleh sesuatu selain hipertensi arterial bila
tidak terdapat di salah satu lokasi predileksi untuk perdarahan
hipertensi, atau bila pasien tidak menderita hipertensi arterial yang
bermakna. Pada kasus seperti ini ( setidaknya ), satu MRI follow up
harus di lakukan ketika hematoma telah diresorpsi untuk mendeteksi
penyebab yang menimbulkan perdarahan. Digital substracition
angiography kadang-kadang diindikasikan (Baehr, 2012).
Perdarahan Sereberal
Nuklei serebeli terletak di dalam distribusi arteri superior serebeli.
Salah satu cabang arteri ini, yang menyuplai nukleus dentatus,
terutama rentan mengalami ruptur pada pasien yang mengalami
hipertensi, perdarahan dari pembuluh darah ini lebih sering terjadi dari
pada iskemik pada teritorinya (Baehr, 2012).
Perdarahan di regio ini sering menyebabkan efek masa akut di fos
posterior dengan semua akibat yang ditimbulkannya (herniasi batang

otak dan serebelum keatas melalui insisura tentorii dan ke bawah ke


arah foramen magnum). Manifestasi klinisnnya adalah

sakit

kepala,oksipital yang berat, mual dan muntah, dan vertigo umumnya


disertai gaya berjalan tidak stabil, disartia, dan kepala menoleh serta
deviasi bola mata kearah kontralateral lesi. Perdarahan besara segera
menimbulkan somnolen, stupor, atau koma. Pada fase lanjut, pasien
menunjukan spasme ekstensor. Instabilitas hemodinamik dan akhirnya
gagal nafas, kecuali fosa posteriordapat didekompresi secara opertif.
Perdarahan yang lebih kecil, terutama di hemisfer serebeli,
menyebabkan manifestasi fokal yang meliputi ataksia ekstremitas,
kecenderungan untuk terjatuh kesisi lesi, dan deviasi gaya jalan ke
arah lesi, manifestasi ini tidak pulih sempurna bila nukleus serebeli
profunda mengalami kerusakan (Baehr, 2012).
Penyebab lain perdarahan sereberal antara lain adalah ruptur
malformasi arterio venosus atau aneurisme dan perdarahan ke dalam
tumor (biasannya metastasis).
Perdarahan Subarakhnoid
Aneurisme
Penyebab tersering perdarahan subraraknoid spontan adalah ruptur
aneurisma salah satu arteri di dasar otak. Ada beberapa jenis aneurisma.
Aneurisma sakular (berry) ditemukan pada titik bufurkasio arteri
intrkranial.
Aneurisme ini terbentuk pada lesi dinding pembuluh darah yang
sebelumnnya tela ada, baik akibat kerusakan struktural (biasanya
kongenital, maupun cedera akibat hipertensi. Lokasi tersering aneurisma
sakular adalah arteri komunikan anterior (40%, bifurkasio arteri serebri
media di fisura sylvii (20%), dinding lateralarteri karotis interna (pada
tempat berasalnya arteri oftalmika atau arteri komunikans posterior, 30),
dan basilar tip (10%.). aneurisma pada lokasi lain, seperti pada tempat
berasalnya PICA, segmen P2 arteri serebri posterior, atau segmen
perikalosal arteri serebri anterior, jarang ditemukan. Aneurismea dapat
menimbulkan defisit neurologis dengan menekan struktur disekitarnya
bahkan sebelum ruptur. Misalnya, aneurisma pada arteri komunikans

posterior dapat menekan nervus okulomotorius, menyebabkan paresis


saraf kranial ketiga (pasien mengalami diplopia) (Baehr, 2012).
Aneurisma fusiformis. Pembesaran pembuluh darah yang memanjang
(berbentuk gelondong) disebut aneurisma fusiformis. Aneurisma
tersebut umumnya melibatkan segmen intrakranial arteri karotis interna,
trunkus utama arteri serebri media, dan arteri basilaris. Struktur ini
biasannya disebabkan oleh aterosklerosis dan/atau hipertensi, dan hanya
sedikit yang menjadi sumber perdarahan. Aneurisma fusiformis yang
besar pada arteri basilaris dapat menekan batang otak. Aliran yang lambat
di dalam aneurisma fusiformis dapat mempercepat pembentukan bekuan
intra-aneurismal (Baehr, 2012).

Perdarahhan Subarakhnoid Nontraumatik Akut


Perdarahan subarakhnoid (SAH) nontraumatik biasanya disebabkan oleh
ruptur spontan aneurisma sakular, denagn aliran daerah ke dalam ruang
subarakhnoid.
Manifestasi. Gejala yang menunjukan perdarahan subarakhnoid adalah
sakit kepala tiba-tiba yang sangat hebat (sakit kepala terberat yang
pernah dirasakan seumur hidup). Iritasi meningeal oleh darah
subarakhnoid menyebabkan kaku kuduk (diagnosis banding: meningitis).
Kesadaran dapat terganggu segera atau dalam bebebrapa jam pertama.
Kelumpuhan saraf kranial dan tanda neurologis fokal dapat timbul,
tergantung pada lokasi dan luas perdarahan. Skema grading yang
diajukan oleh Hunt dan Hess pada tahun 1986 masih berguna pada
praktek klinis, dan memberikan gambaran kasar pada prognosis pasien
(Baehr, 2012).
Evaluasi diagnostik. CT secara sensitif mendeteksi perdarahan
subarakhnoid akut, tetapi semakin lama interval antara kejadian akut
dengan CT scan, semakin mungkin temuan CT scan negatif. Jika SAH
masih dicurigai pada gambaran CT scan normal, pungsi lumbal harus
dilakukan. Tindakan ini memungkinkan terlihatnya darah atau siderofag
secara langsung pada cairan serebrospinal.

Begitu diagnosa SAH ditegakkan, sumber perdarahan harus


diidentifikasi. Hal ini hanya dapat dilakukan secara tepat dengan digital
substraction angiography intra-arterial yang sebaiknya hanya dilakukan
jika pasien merupakan kandidat untuk tindakan operatif untuk clipping
aneurisma

atau

menutupnya

dengan

metode

neuroradiologi

intervensional. DSA menunjukkan adanya aneurisma secara sahih dan


mengilustrasikan hubungan spasialnya dengan pembuluh darah di
sekitarnya. Keempat pembuluh darah besar yang menyuplai otak
diperiksa dengan medium kontras, karena sekitar 20% pasien dengan
aneurisma memiliki lebih dari satu aneurisma (Baehr, 2012).
Terapi. Aneurisma dapat diterapi dengan operasi pembedahan saraf
berupa penutupan leher aneurisma dengan metal clip. Dengan demikian,
aneurisma terekslklusi dari sirkulasi secara permanen, sehingga tidak
dapat berdarah lagi. Bentuk terapi ini adalah terapi definitif, tetapi
kerugiannya adalah terapi ini memerlukan operasi kepala terbuka dan
manipulasi pembedahan saraf di sekitar dasar otak yang dapat
menimbulkan komplikasi lebih lanjut. Pembedahan sebaiknya dilakukan
dalam 72 jam pertama setelah perdarahan subarakhnoid, yaitu sebelum
periode dengan resiko terbesar terjadinya vasospasme. Pembedahan dini
diketahui memmperbaiki prognosis pasien SAH grade 1, 2, atau 3 pada
Hunt dan Hess. Tindakan ini merupakan bentuk terapi terpenting untuk
mencegah perdarahan tulang (Baehr, 2012).
Perjalanan klinis, prognosis dan komplikasi. Perdarahan subarakhnoid
biasanya berhenti secara spontan, kmeungkkinan karena terbendung oleh
peningkatan tekanan intrakranial. Hanya pasien dengan aneurisma yang
telah berhenti berdarah yang dapat selamat dirujuk ke rumah sakit,
kematian pra-rumah sakit untuk SAH aneurismal sekitar 35% (Baehr,
2012).
Setelah kejadian akut, pasien menghadapai risiko tiga komplikasi
yang berpotensi fatal:
a. Hidrosefalus
b. Vasospasme

c. Perdarahan ulang
2. Penatalaksanaan dan rehabilitasi
Penatalaksanaan
Strok Akut di Unit Gawat Darurat
Waktu adalah otak merupakan ungkapan yang menunjukkan betapa
pentingnya pengobatan strok sedini mungkin, karena jendela terapi dan
strok hanya 3-6 jam. Penatalaksanaan yang cepat, tepat, dan cermat
memegang peranan hesar dalam menentukan hasil akhir pengobatan
(Mansjoer, 2010).
Hal yang harus dilakukan adalah:
1) Stabilisasi pasien dengan tindakan ABC
2) Pertimbangkan intubasi bila kesadaran stupor atau koma atau gagal
napas.
3) Pasang jalur infus intravena dengan larutan salin normal 0,9 % dengan
kecepatan 20 ml/ jam, jangan memakai cairan hipotonis seperti
dekstrosa 5% dalam air dan salin 0,45%, karena dapat memperhebat
edema otak.
4) Berikan oksigen 2-4 liter/menit melalui kanul hidung
5) Jangan memberikan makanan atau minuman lewat mulut
6) Buat rekaman elektrokardiogram (EKG) dan lakukan foto rontgen
toraks
7) Ambil sampel untuk pemeriksaan darah: pemerilcsaan darah perifer
lengkap dan trombosit, kimia darah (glukosa, elektrolit, ureum, dan
kreatinin), masa protrombin, dan masa tromboplastin parsial
8) Jika ada indikasi, lakukan tes-tes benikut: kadar alkohol, fungsi hati,
gas darah arteri, dan skrining toksikologi
9) Tegakkan diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis
CT Scan atau resonansi magnetik bila alat tersedia. Bila tidak ada,
dengan skor Siriraj untuk menentukan jenis stroke (Mansjoer, 2010).
Prinsip Penatalaksanaan Strok Iskemik
1) Membatasi atau memulihkan iskemia akut yang sedang berlangsung
(3-6

jam

pertama)

menggunakan

trombolisis

dengan

rt-PA

(recombinant tissue-plasminogen activator). Pengobatan mi Ianya


boleh diberikan pada strok iskemik dengan waktu onset <3 jam dan

hasil CT Scan normal. Obat ini sangat mahal dan hanya dapat
dilakukan di rumah sakit yang fasilitasnya lengkap (Mansjoer, 2010).
2) Mencegah perburukan neurologis yang berhubungan dengan strok
yang masih berkembang(jendela terapi sampai 72 jam).
Progresivitas strok terjadi pada 20-40% pasien strok iskemik yang
dirawat, dengan risiko teibesar dalam 24 jam pertama sejak onset
gejala Perburukan klinis dapat disebabkan oleh.salah satu mekanisme
berikut ini:
a) Edema yang progresif dan pembengkakan akibat infark:
masalah ini umumnya terjadi pada infark luas. Edema otak
umumnya mencapai puncaknya pada hari ke-3 sampai hari ke-5
setelah onset strok dan jarang menimbulkan masalah dalam 24
jam pertama. Terapi dengan manitol bermanfaat. Hindari cairan
hipotonik. Steroid tidak efektif.
b) Ekstensi teritori infark. Ini dapat disebabkan oleh trombosis
yang progresif dalam sebuah pembuluh darah yang tersumbat
(misalnya infark batang otak yang progresif pada seorang
pasien dengan trombosis arteri basilaris) atau kegagalan perfusi
distal yang berhubungan dengan stenosis atau oklusi yang lebih
proksimal (misalnya: perluasan infark zona perbatasan internal
pada seorang pasien dengan oklusi arteri karotis interna).
Heparin dapat mencegah trombosis yang progresif dan
optimalisasi
status volum dan tekanan darah yang dapat menyerupai
kegagalan perfusi.
c) Konversi hemoragis. Masalah ini diketahui dari hasil radiologis
tetapi jarang menimbulkan gejala klinis. Tiga faktor risiko
utama adalah usia lanjut, ukuran infark yang besar, dan
hipertensi akut. Jangan memberikan antikoagulan pada pasien
dengan risiko tinggi selama 48-72jam pertama setelah onset
strok. Bila ada hipertensi berat obati pasien dengan obat
antihipertensi (Mansjoer, 2010).
3) Mencegah strok berulang dini (dalam 30 hari sejak onset gejala strok)
Sekitar 5% pasien yang dirawat dengan strok iskemik mengalami

serangan strok kedua dalam 30 hari pertama. Risiko ini paling tinggi
(lebih besar dan 10%) pada pasien dengan stenosis kanotis yang berat
dan kardioemboli serta paling rendah (1%) pada pasien dengan infark
lakuner. Terapi dini dengan heparin dapat mengurangi risiko strok
berulag dini pada pasien dengan kardioemboli (Mansjoer, 2010).
Protokol Penatalaksanaan Strok Iskemik Akut
1) Pertimbangkan rt-PA intravena 0,9 mg/kgBB intravena (dosis
maksimum 90mg). Sepuluh persen diberikan bolus intravena dan
sisanya diberikan per drips dalam waktu ljam jika onset gejala strok
dapat dipastikan kurang dan 3 jam dan hasil CT Scan otak tidak
memperlihatkan infark dini yang luas.
2) Pertimbangkan pemantauan irama jantung untuk pasien dengan aritmia
jantung atau iskemia miokard. Bila terdapat fibrilasi atrium respons
cepat maka dapat diberikan digoksin 0,125-0,5 mg intravena atau
verapamil 5-10 mg intravena atau amiodaron 200mg drips dalam
l2jam.
3) Tekanan darah yang tinggi pada strok iskemik tidak boleh cepat-cepat
diturunkan.
Akibatnya, penurunan tekanan darah yang terlalu agresif pada strok
iskemik akut dapat memperluas infark dan perburukan neurologis.
Aliran darah yang meningkat akibat tekanan perfusi otak yang
meningkat bermanfaat bagi daerah otak yang mendapat perfusi
marginal (penumbra iskemik). Tetapi tekanan darah yang terlalu tinggi,
dapat menimbulkan infark hemoragik dan memperhebat edema serebri.
Oleh sebab itu, pedoman untuk penatalaksanaan hipertensi pada strok
iskemik akut adalah bila terdapat salah satu hal berikut:
Hipertensi diobati jika terdapat kegawatdaruratan
nonneurologis:
i.
Iskemia miokard akut
ii.
Edema paru kardiogenik
iii.
Hipertensi maligna (retinopati)
iv. Nefropati bipertensif
v. Diseksi aorta

hipertensi

Hipertensi diobati jika tekanan darah sangat tinggi pada 3 kali


pengukuran selang 15 menit:
1. Sistolik>220 mmHg
2. Diastolilc> 120 mmHg
3. Tekanan arteri rata-rata > 140 mmHg.
Pasien adalah kandidat trombolisis intravena dengan rt-PA di mana
tekanan darah sistolik > 180 mniHg dan diastolik> 110 mniHg. Dengan
obat-obat antihipertensi golongan penyekat alfa beta (labetalol),
penghambat ACE (kaptopril atau sejenisnya) atau antagonis kalsium
yang bekerja perifer (nifedipin atau sejenisnya) penurunan tekanan
darah pada strok iskemik akut hanya boleh maksimal 20% dari tekanan
darah sebelumnya. Nifedipin sublingual harus diberikan dengan hatihati dan dengan pemantauan tekanan darah ketat setiap 15 menit atau
dengan alat monitor kontinu sebab dapat terjadi penurunan tekanan
darah dapat drastis. Oleh sebab itu, sebaiknya dimulai dengan dosis
5mg sublingual dan dapat dinaikkan menjadi 10mg tergantung respons
sebelunrnya. Pada tekanan darah yang sulit diturunkan dengan obat di
atas atau bila diastolik > 140 mmHg secara persisten maka harus
diberikan natrium nitroprusid intravena, 50 mg/250 ml dekstrosa 5 %
dalarn air (200 mg/ml) dengan kecepatan 3 ml/jam (10 mg/menit) dan
dititrasi sampai tekanan darah yang diinginkan. Alternatif lain dapat
diberikan

nitrogliserin

drips

10-20

ug/menit.

Tekanan darah yang rendah pada strok akut adalah tidak 1azim. Bila
dijumpai maka tekanan darah harus dinaikkan dengan dopamin atau
dobutamin drips serta mengobati penyebab yang mendasarinya.
4) Pertimbangkan observasi di unit rawat intensif pada pasien dengan
tanda klinis atau radiologis adanya infark hemisferik atau serebelum
yang masif, kesadaran menurun, gangguan pernapasan, atau strok
dalam evolusi.
5) Pertimbangkan konsul bedah saraf untuk dekompresi pada pasien
dengan infark serebelum yang luas.
6) Pertimbangkan sken resonansi magnetik pada pasien dengan strok
vertebrobasiler atau sirkulasi posterior atau infark yang tidak nyata
pada CT Scan.

7) Pertimbangkan pemberian heparin intravena dimulai dosis 800


unit/jam, 20.000 unit dalam 500 ml salin normal dengan kecepatan 20
ml/jam, sampai masa tromboplastin parsial mendekati 1,5 kontrol pada
kondisi berikut ini:
a. Kemungkinan besar strok kardioemboli
b. Iskemia otak sepintas (TIA) atau infark karena stenosis arteri
karotis
c. Strok dalam evolusi
d. Diseksi arteri
e. Trombosis sinus dura
Heparin merupakan kontraindikasi relatif pada pasien dengan infark
luas yang berhubungan dengan efek massa atau konversi/transformasi
hemoragik. Pasien strok dengan infark miokard baru, fibrilasi atrium,
penyakit katup jantung atau trombus intrakardiak hams diberikan
antikoagulan oral (warfarin) sampai minimal 1 tahun dengan
mempertahankan masa protrombin 1,5-2,5 kali kontrol atau INR 2-3.
8) Pemeriksaan penunjang neurovaskular diutamakan yang noninvasif.
Pemeriksaan berikut ini dianjurkan pada pasien infark serebri bila alat
tersedia dan biaya terjangkau.
a. Ekokardiografi untuk rnendeteksi adanya sumber emboli dan
jantung. Pada banyak pasien, ekokardiografi transtorakal sudah
memadai. Ekokardiografi transesofageal memberikan hasil yang
lebih mendetail terutama kondisi atrium kiri dan arkus aorta serta
lebih sensitif untuk mendeteksi trombus mural atau vegetasi katup.
b. Ultrasonografi Doppler karotis diperlukan untuk menyingkikan
stenosis karotis yang simtomatis serta lebih dari 70%, yang
merupakan indikasi untuk enarterektomi karotis.
9) Pemeriksaan berikut ini dilakukan selektif pada pasien tertentu.
a. Ultrasonografi Doppler transkranial dapat dipakai untuk
mendiagnosis oklusi atau stenosis arteri intrakranial besar.
Gelombang intrakranial yang abnormal dan pola aliran kolateral
dapat juga dipakai untuk menentukan apakah suatu stenosis pada
leher menimbulkan gangguan hemodinamik yang bermakna.
b. Angiografi resonansi magnetik dapat dipakai untuk mendiagnosis
stenosis atau oklusi arteri ekstrakranial atau intrakranial

c. Pemantauan Holter dapat dipakai untuk mendeteksi fibrilasi atrium


intermiten.
10) Pertimbangkan pemeriksaan darah berikut ini pada kasus-kasus
penyebab strok yang tidak lazim, terutama pada usia muda:
a. Kultur darah jika mencurigai endokarditis.
b. Pemeriksaan prokoagulan: aktivitas protein C, aktivitas protein S.
aktivitas

antitrombin

III,

antikoagulan

lupus,

antibodi

antikardiolipin.
c. Pemeriksaan untuk vaskulitis: antibodi antinuklear (ANA), faktor
reumatoid, reagin plasma cepat (RPR), serologi virus hepatitis, laju
endap darah, elektroforesis protein serum, krioglobulin, dan
serologi virus herpes simpleks.
d. Profil koagulasi untuk menyingkirkan koagulasi intravaskular
diseminata (DIC).
e. Beta gonadotropin

konionik

manusia

(b-HCG)

untuk

menyingkirkan kehamilan pada wanita muda dengan strok


i. (Mansjoer, 2010).

Protokol Penatalaksanaan Strok Hemoragik


1) Singkirkan kemungkinan koagulopati: pastikan hasil masa protrombin
dan masa tromboplastin parsial adalah normal. Jika masa protrombin
memanjang, berikan plasma beku segar (FFP) 4-8 unit intravena setiap
4jam dan vitamin K 15 mg intravena bolus, kemudian 3 kali sehari 15
mg subkutan sampai masa protrombin normal. Koreksi antikoagulasi
heparin dengan protamin sulfat 10-50mg lambat bolus (1 mg
mengoreksi 100 unit heparin)
2) Kendalikan hipertensi: Berlawanan dengan infark serebri aktif,
pendekatan pengendalian tekanan darah yang lebih agresif dilakukan
pada pasien dengan perdarahan intraserebral akut, karena tekanan yang
tinggi dapat menyebabkan perburukan edema perihematoma serta
meningkatkan kemungkinan perdarahan ulang. Tekanan darah sistolik
> 180 mmHg hams diturunkan sampai 150-180 mmHg dengan
labetalol (20 mg intravena dalam 2 menit: ulangi 40-80 mg intravena
dalam interval 10 menit sampai tekanan yang diinginkan; kemudian

infus 2 mg/menit (120 ml/jam) dan dititrasi atau penghambat ACE


(misalnya:
kaptopril 12,5-25 mg, 2-3 kali sehari) atau antagonis kalsium
(misalnya nifedipin oral 4 kali 10mg).
3) Pertimbangkan konsultasi bedah saraf bila: perdarahan serebelum
diameter lebih dan 3 cm atau volum >50 ml) untuk dekompresi atau
pemasangan pintasan ventrikulo-peritoneal bila ada hidrosefalus
obstruktif akut atau kliping aneurisma.
4) Pertimbangkan angiografi untuk rnenyingkirkan aneurisma atau
malformasi arteriovenosa. Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada
pasien usia muda (<50 tahun) yang non-hipertensif bila tersedia
fasilitas.
5) Berikan manitol 20 % (1 kg/kgBB, intravena dalam 20-30 menit)
untuk pasien dengan koma dalam atau tanda-tanda tekanan intrakranial
yang meninggi atau ancaman herniasi. Steroid tidak terbukti efektif
pada perdarahan intraserebral Steroid hanya dipakai pada kondisi
ancaman herniasi transtentorial. Hiperventilasi dapat dilakukan untuk
membantu menurunkan tekanan intrakranial.
6) Pertimbangkan fenitoin (10-20 mg/kgBB intravena, kecepatan
maksimal 50mg/menit; atau per oral) pada pasien dengan perdarahan
luas dan derajat kesadaran menurun. Umumnya, antikonvulsan hanya
diberikan bila ada aktivitas kejang. Namun, terapi profilaksis beralasan
jika kondisi pasien cukup kritis dan membutuhkan intubasi, terapi
tekanan intrakranial meningkat atau pembedahan.
7) Pertimbangkan terapi hipervolemik dan nimodipin untuk mencegah
vasospasme bila secara klinis, pungsi lumbal atau CT Scan
menunjukkan perdarahan subaraknoid akut primer.
8) Perdarahan intraserebral
i. Obati penyebabnya
ii. Turunkan tekanan intrakranial yang meninggi
iii. Berikan neuroprotektor
iv. Tindakan bedah, dengan pertimbangan usia dan skala koma
Glasgow (>4), hanya dilakukan pada pasien dengan:
a. Perdarahan serebelum dengan diameter > 3cm (kraniotomi
dekompresi)

b. Hidrosefalus akut akibat perdarahan intraventrikel atau


serebelum (VP shunting)
c. Perdarahan lobar di atas 60cc dengan tanda-tanda peninggian
tekanan intrakranial akut dan ancaman herniasi
9) Tekanan intrakranial yang meninggi pada pasien strok dapat
diturunkan dengan salah satu cara/gabungan berikut ini:
i.
Manitol bolus, lgram/kgBB dalam 20-30 menit kemudian
dilanjutkan dengan dosis 0,25- 0,5 g/kgBB setiap 6jam sampai
ii.

maksimal 48 jam. Target osmolaritas = 300-320 mosmol/liter


Gliserol 50 % oral , 0,25-1 g/ kg setiap 4-6 jam atau gliserol 10
% intravena, 10 ml kgBB dalam 3-4 jam (untuk edema serebri

iii.
iv.

ringan-sedang)
Furosemid 1 mg/kgBB intravena
Intubasi dan hiperventilasi terkontrol

dengan

oksigen

hiperbarik sampai pCO2 = 29-35 mmHg.


v. Steroid tidak diberikan secara rutin dan masih kontroversial.
vi.
Tindakan kraniotomi dekompresif
10) Perdarahan subaraknoid
11) Nimodipin dapat diberikan untuk mencegah vasospasme pada
perdarahan subaraknoid primer akut.
12) Tindakan operasi dapat dilakukan pada perdarahan subaraknoid
stadium I dan II akibat pecahnya aneurisma sakular Berry (clipping)
dan adanya komplikasi hidrosefalus obstruktif (VP shunting)
(Mansjoer, 2008).
Tahap rehabilitasi
Rehabilitasi stadium akut
Sejak awal tim rehabilitasi medic telah diikutkan, terutama untuk
mobilisasi. Programnya segera dijalankan oleh tim, biasanya latihan aktif
dimulai sesudah prosesnya stabil, 24-72 jam sesudah serangan. Kecuali
pda perdarahan. Sejak awal ST diikutsertakan untuk melatih otot-otot
menelanyang biasanya terganggu pada stadium akut. Apalagi jika terdapat
kesulitan bicara. Psikolog dan PSM untuk mengevaluasi status psikis. Dan
membantu kesulitan keluarga (Harsono,2011).
Rehabilitasi stadium subakut
Pada stadium ini, kesadaran membaik, penderita mulai menunjukan tandatanda depresi, fungsi bahasa dapat lebih terperinci. Pada pasca GPDO pola
kelemahan ototnya menimbulkan apa yang disebut hemiplegic posture.

Kita berusaha mencegahnya dengan cara aturan posisi, stimulasi sesuai


kondisi pasien (Harsono,2011)
Rehabilitasi stadium kronik
Pada saat ini, terapi kelompok telah ditekankan, dimana terapi ini biasanya
sudah dapat dimulai pada akhir stadium subakut. Keluarga penderita lebih
banyak dilibatkan. PSM dan psikolog harus lebih aktif (Harsono,2011)
3. Lesi vaskular dan manifestasi serebral
Akibat penurunan CBF regional suatu daerah otak terisolasi dari
jangkauan aliran darah, yang mengangkut O2 dan glukosa yang sangat
diperlukan untuk metabolism oksidatif serebral. Daerah yang terisolasi itu
tidak berfungsi lagi dan karena itu timbullah manifestasi defisit neurologik
yang biasanya berupa hemiparalisis, hemihipestesia-hemiparastesia yang
bisa juga disertai defisit fungsi luhur seperti afasia (Mardjono dan
Sidharta, 2012).
Jika regional CBF tersumbat secara parsial, maka daerah yang
bersangkutan langsung menderita, karena kekurangan O2. Daerah tersebut
dinamakan daerah iskemik. Didaerah itu didapatkan; tekanan perfusi yang
rendah, PO2 turun, CO2 dan asam laktat tertimbun. Autoregulasi dan kelola
vasomotor dalam daerah tersebut bekerja sama untuk menanggulangi
keadaan iskemik dengan mengadakan vasodilatasi maksimal. Pada
umumnya, hanya pada perbatasan daerah iskemik saja bisa dihasilkan
vasodilatasi kolateral, sehingga daerah perbatasan tersebut dapat
diselamatkan dari kematian. Tetapi pusat daerah iskemik itu tidak dapat
teratasi oleh mekanisme autoregulasi dan kelola vasomotor. Disitu akan
berkembang proses degenerasi yang ireversibel. Semua pembuluh darah
dibagian pusat daerah iskemik itu kehilangan tonus, sehingga berada
dalam keadaan vasoparalisis. Keadaan ini masih bisa diprbaiki, oleh
karena sel-sel otot polos pembuluh darah bisa bertahan dalam keadaan
anoksik yang cukup lama. Tetapi sel-sel saraf daerah iskemik itu tidak bisa
bertahan lama. Pembengkakan sel dengan pembengkakan serabut saraf dan
selubung mielinnya (edema serebri) merupakan reaksi degeneratif dini.
Kemudian disusul dengan diapedesis eritrosit dan leukosit. Akhirnya selsel saraf akan musnah. Yang pertama adalah gambaran yang sesuai dengan

keadaan iskemik dan yang terakhir adalah gambaran infark (Mardjono dan
Sidharta, 2012).
Unsur yang masih bisa menyelamatkan daerah iskemik adalah
pembuluh darahnya. Observasi terhadap reaksi pembuluh darah serebral
didaerah iskemik menghasilkan 4 fenomen, yaitu (Mardjono dan Sidharta,
2012):
1. Distal dari oklusi terdapat daerah iskemik yang bisa menjadi infark.
2. Thrombus dapat hancur dan serpihan-serpihannya dapat berlalu ke
salah satu cabang kecil. Aliran darah menjadi sehat kembali dan
menuju secara pasif ke tempat dengan vasoparalisis. Disitu akan
didapati CBF yang besar dan PO2 serta PCO2 yang tinggi juga. Inilah
yang dinamakan luxury perfusion syndrome, suatu daerah yang
tadinya iskemik, tetapi kemudian setelah penyumbatan hilang menjadi
daerah yang mendapat jatah darah yang berlebihan. Karena CBF
daerah itu baik kembali, maka vasoparalisis hilang dan pembuluh
darah mendapat kembali autoregulasi dan reaksi vasomotornya.
3. Jika thrombus tidak mengalami lisis dan tetap menyumbat arteri, maka
daerah distal dari tempat yang tersumbat itu tidak menerima darah.
Didaerah tersebut terdapat vasoparalisis. Vasoparalisis ini bisa sangat
menguntungkan, apabila aliran darah pulih kembali seperti luxury
perfusion. Tetapi jika penyumbatan tetap ada, maka tiap tindakan
yang dapat menimbulkan vasodilatasi serebral, seperti inhalasi CO2
atau pemberian obat vasodilantasia akan memperbesar CBF daerah
otak yang sehat, namun menyedot darah dari daerah yang iskemik itu.
Inilah keadaan yang dinamakan steal syndrome.
4. Apabila terdapat penyumbatan pada suatu arteri oleh thrombus maka
CBF untuk daerah yang terletak distal dari tempat penyumbatan itu
berkurang. Tetapi apabila vasokontriksi serebral diadakan dengan
jalan hiperventilasi misalnya, maka darah dari bagian otak yang sehat
akan diterima secara pasif oleh pembuluh darah didalam daerah
iskemik itu, oleh karena itu disitu terdapat vasoparalisis yang berarti
bahwa resistensi vaskularnya minimal. Fenomen ini dinamakan
inverse steal syndrome.

LESI VASKULAR SEREBRAL dan MANIFESTASI KLINIS


Lesi yang terjadi akibat penyumbatan total, seperti yang terlukis
diatas sebagai contoh pertama, berupa infark, yang berkolerasi dengan
hemiparalisis yang menetap. Fenomen luxury perfusion syndrome sesuai
dengan penyumbatan sementara, akibat vasospasmus atau embolisasi yang
kecil (Mardjono dan Sidharta, 2012).
Fenomen ketiga tersebut diatas mencerminkan penyumbatan
parsial yang menimbulkan iskemia serebri regional dan kemudian
langsung menjadi infark akibat pemberian obat vasodilatansia atau inhalasi
CO2.
Sebagaimana sudah dijelaskan, daerah iskemik menjadi bengkak
dan dinamakan edema serebri regional. Jika tetap tidak ada darah yang
mengalir ke daerah itu, maka edema serebri bertambah. Jika setelah 5 hari
tidak terdapat perbaikan, maka pusat daerah itu menjadi nekrotik. Apabila
edema serebri yang serentak berkembang dengan timbulnya manifestasimanifestasi klinik dari stroke dapat diperbaiki dengan cepat, maka jatah
darah untuk bagian otak yang iskemik itu akan menjadi besar sesuai
dengan mengurangnya edema (Mardjono dan Sidharta, 2012).
Edema serebri memperbesar volume otak dan meningkatkan
resistensi serebral (CVR). Jika tekanan perfusi masih cukup tinggi, CBF
akan menurun karena CVR meninggi. Apabila edema serebri tidak
diberantas dan tekanan perfusi bisa terpelihara pada tingkat yang cukup
tinggi itu, maka CBF dapat bertambah. Dalam keadaan demikian, daerah
perbatasan lesi vascular itu bisa mendapat sirkulasi kolateral yang cukup
aktif. Dari situ, darah akan mengalir secara pasif ke tempat iskemik oleh
karena itu disitu terdapat pembuluh darah yang berada dalam keadaan
vasoparalisis (Mardjono dan Sidharta, 2012).
Melalui mekanisme itu, daerah iskemik sekeliling pusat yang
mungkin sudah nekrotik, masih dapat diselamatkan, sehingga lesi vascular
dapat diperkecil sampai daerah pusat yang kecil saja, yang memangnya
sudah tidak dapat diselamatkan lagi. Karena sudah nekrotik. Apabila
sirkulasi kolateral tidak dimanfaatkan untuk menolong daerah perbatasan

lesi iskemik itu, maka daerah pusatnya yang sudah nekrotik akan meluas,
sehingga lesi ireversibel mencakup juga daerah yang sebelumnya hanya
iskemik saja. Keadaan tersebut berkolerasi dengan cacat fungsional yang
menetap, yang dapat berupa hemiplegia berat dan afasi (Mardjono dan
Sidharta, 2012).
Perkembangan lesi vascular serebral mencerminkan pada manifestasi
klinisnya, seperti :
A. (1). Penyumbatan salah satu aliran darah karena vasospasmus,
langsung menimbulkan gejala defisit atau perangsangan, sesuai
dengan fungsi daerah otak yang terkena. Setelah vasospasmus itu
hilang, gejala-gejala itu akan hilang juga dan keadaan sehat seperti
semula pulih kembali (TIA). Gejala defisit itu bisa berupa
monoparesis atau hemiparesis dengan hemiparestesia atau hipoksemia
dapat dijumpai juga dan ini biasanya berupa kejang fokal.
(2). Vasospasmus regional bisa terjadi sehubungan
melonjaknya

tekanan

darah

sistemik,

sebagai

suatu

dengan
reaksi

vasokontriksi yang berlebihan. Pada tekanan intralumenal yang


membahayakan,

memang

autoregulasi

vaskular

sewajarnya

mengadakan vasokontriksi. Pada orang-orang sehat, vasokontriksi itu


berlangsung sejenak, karena lonjakan tekanan darahnya pun tidak
berlangsung lama. Tetapi pada orang-orang hipertensif, lonjakan
hipertensi melewati batas kritis atas dan bisa berlangsung agak lama.
Bahwasanya vasospasmus terjadi pada salah satu arteri, dapat
diartikan bahwa mekanisme autoregulasi setempat sudah tidak
sempurna lagi. Gangguan mekanisme autoregulasi regional itu
terdapat pada tempat-tempat arteri yang mengandung plaque
sclerotique. Apabila proses sklerosis sudah menyeluruh, seperti
halnya pada kebanyakan orang dengan hipertensi maligne yang
kronik, maka apabila terjadi vasospasmus, vasokontriksi itu
menyeluruh. Maka dari itu manifestasi klinisnya terdiri dari koma
yang terjadi secara tiba-tiba dan langsung disusul oleh konvulsi umum
yang menyeluruh.
(3). Arteri karotis dan vertebralis kedua sisi memperdarahi kedua
belah otak secara tersendiri-sendiri., namun bekerja sama secara

integral apabila kerja sama itu diperlukan. Apabila salah satu antara
mereka tidak mampu memberikan jatah darah yang biasanya
dibebankan atas dirinya, maka yang lainnya mengambil alih tugas itu.
(Mardjono dan Sidharta, 2012)
B. Penyumbatan aliran darah regional yang disebabkan oleh thrombus
jarang bersifat total, tetapi hampir selalu parsial. Sebagaimana sudah
diketahui, arteri serebral yang sudah menyempit sehingga hanya ada
10-30% dari lumennya saja tersisa, tidak usah tidak berdaya untuk
menyampaikan jatah dara yang diperlukan oleh suatu daerah otak.
Dalam hal itu, tekanan perfusi yang cukup tinggi merupakan faktor
kompensatorik. Tetapi tidak disangka pula, bahwa ambang kritis
tekanan perfusi daerah tersebut lebih tinggi dari daerah otak lainnya
yang tidak mempunyai trombosis parsial. Pada adanya kecenderungan
hipotensi seperti yang sering dijumpai pada orang-orang tua dengan
arteriorklerosis, penderita penyakit jantung dengan aritmia dan heart
block dan hipotensi artostatik akibat obat antihipertensi jenis blokade
ganglion, maka perfusi dapat menurun melewati ambang ktiris,
sehingga CBF regional tidak dapat memenuhi kebutuhan daerah itu.
Akibatnya ialah bahwa fungsi daerah yang terkena terganggu.
Manifestasi klinisnya sesuai dengan perkembangan CBF yang
semakin berkurang. (Mardjono dan Sidharta, 2012).
C. Penumbatan yang terjadi secara tiba-tiba, hampir selalu disebabkan
oleh embolus. Apabila embolus itu kecil dan dapat menerobos kapiler,
maka lesi yang dihasilkan oleh gangguan tersebut ialah iskemia
serebri regional yang reversibel. Tetapi apabila embolus menyumbat
arteri yang cukup besar secara total, maka iskemia serebri regional
yang mencakup daerah yang besar itu, dapat cepat berkembang
menjadi infark. Manifestasi kliniknya terdirri dari hemiparalisis yang
terjadi secara tiba-tiba dan langsung menjadi komplit. Efek dari
embolus yang menyumbat salah satu arteria karotis interna atau
serebri media, tergantung berbagai faktor:
1) Kemampuan sirkulasi kolateral kompensatorik,
2) Kemampuan fibrinolitik yang dimiliki susunan darah,

3) Kualitas

arterial

serebral.

Ada

atau

tidak

adanya

arteriosklerosis. (Mardjono dan Sidharta, 2012).


D. Apabila terjadi trombosis pada susunan vena serebral, maka darah dari
otak yang dialirkan kembali ke jantung tersumbat. Dan daerah yang
membuang darah venousnya ke vena yang tersumbat itu mengalami
iskemia. Darah arterial yang masuk ke darah itu masih dapat
menghantarkan O2 dan glukosa untuk metabolisme regional tersebut.
Akan tetapi daerah itu tidak dapat menghanyutkan katabolitnya karena
aliran darah vena tersebut tersumbat. Maka dari itu manifestasi dini
pada trombosis vena ialah kejang fokal, akibat iskemia serebri
regional (Mardjono dan Sidharta, 2012).
Iskemia serebri regional akibat trombosis serebri berkembang
menjadi infark iskemik dan hemoragik. Pada tahap ini berkembanglah
hemiparesis yang tidak lama akan menjadi hemiparalisis. Trombosis
vena atau sinus, biasanya sekunder terhadap infeksi di wilayah wajah,
mastoid dan sinus paranasalis. Radang yang akut menjalar ke venavena besar melalui osteomielitis setempat. Atau menyebabkan
tromboflebitis

pada

pembuluh-pembuluh

diploika

yang

kecil,

kemudian menjalar ke vena-vena besar melalui vena emisaria. Sebabsebab lain trombosis vena otak ialah kakeksia terutama pada anak,
keadaan postpartum (akibat hiperfibrinogemia), pemakaian obat anti
hamil (belum diketahui mekanismenya), polisitemia, kelainan jantung
bawaan dan dekompemsasio kordis (Mardjono dan Sidharta, 2012).
Apa yang telah diuraikan hingga kini ialah patogenesis lesi
vaskular serebral regional dan manifestasi klinis jenis CVD yang
bersifat oklusif belaka, tidak peduli apakah penyumbatan itu
disebabkan oleh spasmus, trombosis parsial atau total, embolisasi
ataupun kompresi terhadap arteri dari luar oleh suatu tumor (Mardjono
dan Sidharta, 2012).
E. Timbulnya infark serebral regional dapat juga disebabkan oleh
pecahnya arteri serebral. Daerah distal dari tepat dinding arteri pecah,
tidak lagi kebagian darah sehingga wilayah tersebut menjadi iskemik
dan kemudian menjadi infark yang tersiram darah ekstravasal hasil
perdarahan. Daerah infark itu tidak berfungsi lagi sehingga

menimbulkan defisit neurologik, yang biasanya berupa hemiparalisis.


Dan darah ekstravasal yang tertimbun intraserebral merupakan
hematoma yang cepat menimbulkan kompresi terhadap seluruh isi
tengkorak berikut bagian rostral batang otak. Keadaan demikian
menimbulkan koma dengan tanda-tanda neurologik yang sesuai
dengan kompresi akut terhadap batang otak secara rostrokaudal, yang
terdiri dari gangguan pupil, pernapasan, tekanan darah sistemik dan
nadi, hal tersebut di kenal sebagai apopleksia serebri atau
hemorrhagic stroke (Mardjono dan Sidharta, 2012).
Arteri yang sering pecah ialah arteria lentikulostriata di wilayah
kapsula interna. Dinding arteri yang pecah selalu menunjukkan tandatanda, bahwa di situ terdapat aneurisme kecil-kecil yang dikenal
sebagai aneurisme Charcot Bouchard. Aneurismata tersebut timbul
pada orang-orang dengan hipertensi kronik, sebagai hasil proses
degeneratif itu pada otot dan unsur elastik dari dinding arteri. Karena
perubahan degeneratif itu dan ditambah dengan beban tekanan darah
tinggi, maka timbullah beberapa pengembungan kecil setempat yang
dinamakan aneurismata Charcot-Bouchard. Karena sebab-sebab yang
belum jelas, aneurismata tersebut berkembang terutama pada rami
perforantes arteria serebri media, yaitu arteria lentikulostriata. Pada
lonjakan tekanan darah sistemik, sewaktu orang marah, mengeluarkan
tenaga banyak, dan sebagainya, aneurisme kecil itu bisa pecah. Pada
saat itu juga orangnya jatuh pingsan, nafasnya mendengkur dalam
sekali dan memerlihatkan tanda-tanda hemiplegia. Oleh karena stress
yang menjadi faktor presipitasi, maka hemorrhagic stroke ini dikenal
juga sebagai stress stroke (Mardjono dan Sidharta, 2012).

Daftar Pustaka

Baehr, Mathias. 2012. Diagnosis topik neurologis Duus : anatomi, fisiologi, tanda, gejala
Edisi 4. Jakarta, EGC
Harsono.2011. Buku Ajar Neurologi Klinis. Jakarta. Gadjah Mada University Press

Mansjoer, Arif [et all]. 2008. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 2. Jakarta,
Media Aesculapius.

Mardjono dan Shidarta. 2012. Mekanisme Gangguan Vaskular Susunan Saraf.


Dalam: Neurologi Klinis Dasar. Mardjono dan Shidarta (penyunting).
Dian Rakyat, Jakarta.
Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Edisi 6 Volume 2. Jakarta. EGC

Anda mungkin juga menyukai