ABSTRACT
The objective of this research is to understanding and describing of the landlord
perception towards implementation of income tax art. 4(2) about the rent income from
land and/or building categorized as boarding house in Malang and gives the solution
for the perception results which already analyzed. The following perception discuss
about to consort the tax standard, tax fee, and execution of the object from its national
standard. The research classified as qualitative research using interview method to the
landlord and/or boarding house owners and to an account representative at KPP
Pratama Malang Utara. The research conclusion shows that all boarding house owners
feel animosity to the standard performance. Hence, the first solution could be gathered
by exclude or remove landlord and/or boarding house owners as object in its standard.
Keywords: perception, socialization, tax fee, tax object, Income Tax Art. 4(2)
PENDAHULUAN
Salah satu daerah yang menjadi penyumbang baik pajak pusat maupun pajak
daerah adalah Kota Malang. Pada tahun 2010 Kota Malang memiliki jumlah penduduk
sebesar 820.243 jiwa dengan luas 110.06
. Kota Malang dikenal dengan kota
pendidikan dan pariwisata. Banyaknya jumlah perguruan tinggi baik negeri maupun
swasta dan fasilitas pendidikan yang cukup memadai menjadikan Kota Malang sebagai
salah satu tempat bagi para pelajar untuk menimba ilmu. Bahkan tak sedikit para pelajar
tersebut berasal dari luar Kota Malang. Selain itu Malang juga memiliki banyak tempat
pariwisata mulai dari wisata alam, kuliner, seni dan budaya, maupun wisata buatan.
Dengan ditunjang kondisi geografis alam yang sedemikian rupa serta udara yang cukup
sejuk menjadikan Malang sebagai salah satu destinasi wisatawan lokal maupun
mancanegara. Dengan julukan kota pendidikan dan pariwisata tersebut menjadikan
pertumbuhan ekonomi di Kota Malang cukup potensial. Sehingga banyak juga
pendatang yang menetap sementara atau permanen untuk menimba ilmu, berbisnis,
berwisata, dan lain sebagainya.
Seiring dengan berjalannya waktu, berkembangnya perekonomian dan pendidikan
di Kota Malang menimbulkan banyaknya jumlah pendatang yang sebagian besar
adalah mahasiswa. Dan tidak dapat dipungkiri lagi keberadaan akan rumah kos sebagai
tempat tinggal sementara sangat dibutuhkan dan semakin meningkat. Sektor ini dinilai
bisnis yang cukup menjanjikan kedepannya. Sehingga banyak pengusaha rumah kos
bermunculan yang merupakan penduduk asli setempat hingga penduduk dari luar Kota
Malang datang untuk berinvestasi. Melihat kondisi tersebut tentu saja menjadi sangat
potensial terhadap penerimaan pajak baik daerah maupun pusat.
Di Kota Malang sendiri terdapat pajak daerah yang mengatur mengenai pajak hotel
kategori rumah kos. Peraturan ini tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota
Malang Nomor 16 Tahun 2010 Tentang Pajak Daerah. Mungkin sebagian besar
pemilik kos di Kota Malang tidak terlalu asing terhadap Perda Kota Malang Nomor 16
Tahun 2010 tersebut. Di dalam peraturan ini menyebutkan yang termasuk objek pajak
hotel adalah rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari sepuluh. Subjek pajak
hotel/kos-kosan ini adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran
kepada orang pribadi atau badan yang mengusahakan hotel/kos-kosan. Tarif yang
dikenakan adalah sebesar 5% dari jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar
kepada pemilik kos.
Sementara itu di lain sisi pada pajak pusat juga terdapat aturan perpajakan bagi
pemilik rumah indekos yang tertuang dalam PPh khususnya pasal 4 ayat (2) mengenai
penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan. Pemilik rumah indekos sesuai
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang pribadi atau badan yang memiliki
rumah, kamar, atau bangunan yang disewakan kepada pihak lain sebagai tempat
tinggal/pemondokan dan mengenakan pembayaran sebagai imbalan dalam jumlah
tertentu. Atas penghasilan dari persewaan rumah indekos tersebut, pemilik rumah
indekos dikenai PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau
bangunan yang bersifat final. Subjek pajak pada aturan ini adalah orang pribadi atau
badan yang memperoleh penghasilan dari persewaan atas tanah dan/atau bangunan.
Sedangkan objek pajaknya adalah penghasilan dari persewaan atas tanah dan/atau
bangunan. Tarif pajak yang dikenakan adalah sebesar 10% dari jumlah bruto nilai
persewaan. Jadi perbedaan aturan ini terhadap Perda Kota Malang Nomor 16 Tahun
2010 adalah terletak pada subjek, objek, dan tarif pajaknya.
Namun penulis rasa sebagian besar pemilik kos di Kota Malang masih banyak
yang belum mengetahui adanya aturan mengenai PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan
dari persewaan tanah dan/atau bangunan kategori rumah indekos. Hal ini tentu saja
menimbulkan banyak kebingungan dan pertanyaan bagi pemilik/pengusaha kos.
Apakah pemilik kos yang sudah terdata dan telah membayar pajak daerahnya juga
harus membayar lagi PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari persewaan tanah
dan/atau bangunan? Apakah pemilik kos yang belum terdata atau yang memiliki
jumlah kamar kurang dari sepuluh juga harus membayar PPh Pasal 4 ayat (2) atas
penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan? Hal ini tentunya akan
menimbulkan beragam reaksi atau tanggapan dari para pemilik usaha kos mengenai
aturan tersebut.
Berangkat dari penelitian sebelumnya yang berjudul Penyebab Terhambatnya
Pemungutan Pajak Hotel Kategori Rumah Kos di Kota Malang oleh Setiawan (2014),
peneliti memperoleh informasi bahwa apa yang telah direncanakan oleh Dinas
Pendapatan Daerah Kota Malang terhadap pemungutan pajak rumah kos belum
terlaksana sesuai dengan apa yang diharapkan.
Pernyataan tersebut juga diperkuat oleh peneliti terdahulu lainnya yaitu Swastika
(2014) dalam penelitiannya yang berjudul Persepsi Pemilik Rumah Kos Terhadap
Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 16 Tahun 2010 Tentang Pajak Daerah
menunjukkan hasil bahwa sosialisasi Perda Kota Malang No. 16 tahun 2010 belum
dilaksanakan secara menyeluruh dan merata, tarif pajak kos yang dikenakan sebesar
5% per bulan dirasa terlalu besar, objek pajak yang diberlakukan yaitu rumah kos yang
memiliki jumlah kamar lebih dari sepuluh dirasa kurang adil dan kurang tepat sasaran.
Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian ini dan peneliti membuat rumusan masalah yaitu bagaimana
persepsi pemilik usaha kos terhadap pemungutan PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan
dari persewaan tanah dan/atau bangunan kategori rumah indekos di Kota Malang?
Adapun tujuan pada penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana persepsi
pemilik usaha kos terhadap pemungutan PPh pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari
persewaan tanah dan/atau bangunan kategori rumah indekos di Kota Malang.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Indekos
Menurut KBBI online dalam Buku Panduan Perpajakan Bagi Pemilik Rumah
Indekos 2013, ada beberapa definisi yang perlu kita ketahui:
a. in-de-kos adalah tinggal di rumah orang lain dengan atau tanpa makan (dengan
membayar setiap bulan); memondok;
b. meng-in-de-kos-kan adalah menumpangkan seseorang tinggal dan makan
dengan membayar; memondokkan.
Dari kedua definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pemilik rumah indekos
adalah orang pribadi atau badan yang memiliki rumah, kamar, atau bangunan, yang
disewakan kepada pihak lain sebagai tempat tinggal/pemondokan dan mengenakan
pembayaran sebagai imbalan dalam jumlah tertentu. Atas penghasilan dari persewaan
rumah indekos tersebut, pemilik rumah indekos dikenai PPh Pasal 4 ayat (2) atas
penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan yang bersifat final.
Dasar Hukum
Dasar hukum yang terkait pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas
penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan adalah:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 (berlaku sejak 18 April 1996)
tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah
dan/atau Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 5 Tahun 2002 (berlaku sejak 1 Mei 2002);
3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394/KMK.04/1996 (berlaku sejak 5Juni
1996) tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pemotongan Pajak Penghasilan
atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana telah
diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 120/KMK.03/2002
(berlaku sejak 1 Mei 2002);
4. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-227/PJ./2002 (berlaku sejak 1
Mei 2002) tentang Tata Cara Pemotongan dan Pembayaran, serta Pelaporan
Pajak Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan;
5. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-50/PJ./1996 tentang
Penunjukan Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri Tertentu sebagai
Pemotong Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau
Bangunan.
Subjek dan Objek Pajak
Subjek Pajak persewaan tanah dan/atau bangunan adalah orang pribadi atau badan
yang memperoleh penghasilan dari persewaan atas tanah dan/atau bangunan yang
berupa tanah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, pertokoan,
atau pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang, dan
bangunan industri. Termasuk dalam pengertian rumah adalah rumah indekos.
Objek Pajak persewaan tanah dan/atau bangunan adalah penghasilan dari
persewaan atas tanah dan/atau bangunan yang berupa tanah, rumah, rumah susun,
apartemen, kondominium, gedung perkantoran, pertokoan, atau pertemuan termasuk
bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang, dan bangunan industri. Termasuk
dalam pengertian rumah adalah rumah indekos. (Keputusan Direktur Jenderal Pajak
Nomor KEP-227/PJ./2002)
Tarif Pajak
Tarif Pajak Penghasilan Pajak 4 ayat (2) atas penghasilan dari persewaan tanah
dan/atau bangunan adalah:
PPh Pasal 4 ayat (2) = 10% X jumlah bruto nilai persewaan
Keterangan:
a. Jumlah bruto nilai persewaan adalah semua jumlah yang dibayarkan atau
terutang oleh penyewa dengan nama dan dalam bentuk apapun juga yang
berkaitan dengan tanah dan/atau bangunan yang disewa termasuk biaya
perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan, biaya fasilitas lainnya, dan
service charge baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang
disatukan. (Keputusan Menteri Keuangan Nomor 120/KMK.03/2002);
b. Service charge adalah balas jasa yang menyebabkan ruangan yang disewa dapat
dihuni sesuai dengan tujuan yang diinginkan penyewa yang diantaranya adalah
biaya listrik, air, keamanan, kebersihan, dan biaya administrasi.
Pihak Penyewa Rumah Indekos
Dalam kaitannya dengan kewajiban perpajakan, penyewa rumah indekos dapat
diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu:
a. pihak penyewa merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak ditunjuk
sebagai pemotong PPh;
b. pihak penyewa merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan yang
ditunjuk sebagai pemotong PPh.
Yang menjadi pemotong PPh Pasal 4 ayat (2) atas persewaan tanah dan/atau
bangunan adalah:
1. badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, bentuk usaha tetap, kerjasama operasi, perwakilan perusahaan
luar negeri lainnya;
2. orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong berdasarkan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak KEP-50/PJ./1996. Surat keputusan penunjukan
yang diterbitkan oleh kepala KPP dengan menggunakan formulir yang ada
di lampiran KEP-50/PJ./1996, yaitu:
a. akuntan, arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT),
kecuali PPAT tersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan, yang
melakukan pekerjaan bebas;
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif. Alasan
peneliti menggunakan penelitian kualitatif adalah karena peneliti ingin lebih
memahami secara mendalam mengenai persepsi para pemilik usaha kos yang berada
di Kota Malang terkait keberadaan aturan PPh pasal 4 ayat 2 atas penghasilan dari
persewaan tanah dan/atau bangunan kategori rumah indekos. Dengan jenis penelitian
tersebut diharapkan peneliti dapat mengetahui secara langsung kondisi atau realita
yang terjadi di lapangan.
Lokasi Penelitian
Lokasi dari penelitian yang dilakukan adalah pada pemilik usaha rumah kos yang
berada di wilayah Kota Malang dan KPP Pratama Malang Utara. Alasan peneliti
melakukan wawancara pada lokasi tersebut karena:
1. Berdasarkan data yang peneliti peroleh dari (http://ngalam.id) Malang
memiliki 62 perguruan tinggi baik negeri maupun swasta.
2. Memiliki salah satu perguruan tinggi yaitu Universitas Brawijaya yang masuk
dalam peringkat enam menurut versi Kementrian Riset Teknologi dan
Pendidikan Tinggi tahun 2015, peringkat enam versi Webometrics tahun 2015.
Sumber Data
1. Data primer
Merupakan data yang diperoleh langsung dari sumbernya. Sumber dari data primer
ini adalah berdasarkan hasil dari terjun ke lapangan, yaitu melalui wawancara
langsung dengan narasumber yang dirasa tepat berkaitan dengan permasalahan
yang akan diteliti. Dalam hal ini data primernya diperoleh dari narasumber yaitu
sembilan pemilik usaha kos yang berada di kota Malang dan pegawai di KPP
Pratama Malang Utara bernama Pak Dani. Alasan peneliti mewawancarai Pak Dani
adalah karena beliau merupakan seorang account representative pada seksi
Pengawasan dan Konsultasi (Waskon) yang bertugas melakukan pengawasan
kepatuhan wajib pajak terkait pelaporan dan pembayaran pajaknya.
2. Data sekunder
Adalah data yang diperoleh berdasakan informasi yang telah ada. Seperti arsip,
dokumen, laporan, catatan, dan lain-lain yang banyak memuat informasi yang
berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti. Data sekunder pada
penelitian ini diperoleh melalui website internet, buku, artikel, dan undang-undang.
Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara atau Interview
Wawancara adalah suatu kegiatan untuk mencari data dengan cara mengadakan
tanya jawab secara langsung dengan berbagai pihak yang dianggap dapat
3. Penarikan kesimpulan
Kesimpulan ditarik setelah tidak lagi ditemukan informasi mengenai kasus
yang diteliti. Kesimpulan yang ditarik akan diversifikasikan dengan baik
melalui kerangka berpikir penelitian atau catatan lapangan yang ada.
Di akhir tahap ini peneliti menarik kesimpulan setelah semua data
permasalahan telah disajikan.
Analisis Data Menggunakan Triangulasi
Selain itu peneliti juga menggunakan teknik analisis data dengan Triangulasi untuk
mengecek keabsahan data. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain (Moleong, 2011:330). Denzin (1978) dalam Moleong
(2011:330) membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang
memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik, dan teori. Pada penelitian ini,
dari keempat macam triangulasi tersebut, peneliti hanya menggunakan teknik
pemeriksaan dengan memanfaatkan penggunaan sumber.
Triangulasi dengan sumber artinya membandingkan dan mengecek balik derajat
kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda
dalam penelitian kualitatif (Patton, 1987:331) dalam (Moleong, 2011:331). Adapun
untuk mencapai kepercayaan itu, maka ditempuh langkah sebagai berikut :
1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara
2. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang
dikatakan secara pribadi.
3. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian
dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.
4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat
dan pandangan masyarakat dari berbagai kelas.
5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.
Pada triangulasi dengan metode, menurut Patton (1987:329) dalam Moleong
(2011:331), terdapat dua strategi, yaitu: (1) pengecekan derajat kepercayaan penemuan
hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data dan (2) pengecekan derajat
kepercayaan beberapa sumber data dengan metode yang sama.
Teknik triangulasi jenis ketiga ini ialah dengan jalan memanfaatkan peneliti atau
pengamat lainnya untuk keperluan pengecekan kembali derajat kepercayaan data.
Pemanfaatan pengamat lainnya membantu mengurangi kemelencengan dalam
pengumpulan data. Pada dasarnya penggunaan suatu tim penelitian dapat direalisasikan
dilihat dari segi teknik ini. Cara lain ialah membandingkan hasil pekerjaan seorang
analis dengan analis lainnya (Moleong, 2011:331).
Triangulasi dengan teori, menurut Lincoln dan Guba (1981:307) dalam Moleong
(2011:331), berdasarkan anggapan bahwa fakta tidak dapat diperiksa derajat
kepercayaannya dengan satu atau lebih teori. Di pihak lain, Patton (1987:327) dalam
Moleong (2011:331) berpendapat berbeda, bahwa hal itu dapat dilaksanakan dan hal
itu dinamakannya penjelasan banding (rival explanation).
Jadi triangulasi berarti cara terbaik untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan
konstruksi kenyataan yang ada dalam konteks suatu studi sewaktu mengumpulkan data
tentang berbagai kejadian dan hubungan dari berbagai pandangan (Moleong,
2011:332). Dengan kata lain bahwa dengan triangulasi, peneliti dapat me-recheck
temuannya dengan jalan membandingkannya dengan berbagai sumber, metode, atau
teori. Untuk itu maka peneliti dapat melakukannya dengan jalan:
1. Mengajukan berbagai macam variasi pertanyaan
Disini peneliti memberikan enam variasi pertanyaan berbeda kepada petugas
pajak dan lima variasi pertanyaan berbeda kepada pemilik usaha kos dimana
masing-masing dari pertanyaan tersebut memerlukan penjelasan lebih lanjut.
2. Mengeceknya dengan berbagai sumber data
Dalam hal ini peneliti membandingkan informasi yang peneliti peroleh dari
petugas pajak dengan informasi yang diberikan pemilik usaha kos.
3. Memanfaatkan berbagai metode agar pengecekan kepercayaan data dapat
dilakukan.
Disini peneliti menggunakan pendekatan sumber untuk mengecek keabsahan
data
jumlah petugas pajak yang masih sedikit. Sehingga diperlukan tambahan petugas pajak
untuk melakukan survei dan pendataan wajib pajak yang berpotensi sekaligus
sosialisasi peraturan yang terkait. Seperti yang dikutip dari pendapat Pak Dani berikut
ini,
Menurut saya kendala terbesar pemerintah untuk dapat menerapkan
aturan ini dengan sepenuhnya adalah memerlukan waktu dan proses
yang cukup lama agar pemerintah berbenah untuk bisa meningkatkan
sumber daya manusianya (SDM) baik dari segi kuantitas maupun
kualitas. Tentunya hal tersebut memerlukan materi yang tidak sedikit
agar sosialisasinya juga maksimal.
Analisis Terhadap Persepsi Pemilik Usaha Kos
Dari berbagai hasil persepsi pemilik usaha kos terhadap pemungutan PPh pasal 4
ayat 2 atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan kategori rumah
indekos didapati hasil sebagai berikut:
1. Seluruh pemilik usaha kos di Kota Malang keberatan dengan aturan
pemungutan pajak pusat ini.
2. Hampir seluruh pemilik usaha kos baru mengetahui adanya peraturan tersebut
setelah peneliti melakukan wawancara.
3. Seluruh pemilik usaha kos yang peneliti wawancarai tersebut menyimpulkan
bahwa pengenaan pajak ini dapat menimbulkan pajak berganda terhadap usaha
kos-kosan, karena mereka sebelumnya sudah pernah membayar pajak kos
tersebut melalui Dispenda.
Mereka ingin agar aturan tersebut jika memungkinkan untuk segera dihapuskan
karena sudah ada aturan daerah yang mengatur perihal pajak kos ini. Atau jika tidak
memungkinkan untuk dihapuskan, maka mereka ingin agar pemerintah mengkaji ulang
peraturan tersebut untuk disempurnakan dengan cara menambahkan atau memperjelas
penetapan kriteria pada pajak pusat ini agar tidak tumpang tindih, adil, dan tepat
sasaran.
Solusi
Menindaklanjuti dari harapan dan keinginan para pemilik usaha kos seperti yang
tertuang dalam paragraf sebelumnya, sebenarnya bukan hal yang mustahil bagi
pemerintah pusat untuk dapat memenuhinya. Sebab, peneliti mempunyai wacana atau
gambaran yang bisa dipertimbangkan oleh pemerintah pusat berdasarkan hasil yang
telah peneliti dapati dari aspirasi para pemilik usaha kos-kosan dan juga dari contoh
kasus atau permasalahan serupa yang pernah terjadi di Indonesia pada tahun-tahun
sebelumnya.
Berikut merupakan solusi yang bisa peneliti sampaikan untuk menangani
permasalahan ini, antara lain:
A. Menghapus atau mengecualikan objek rumah indekos
Sebelum peneliti menjelaskan terkait solusi pada poin A ini, peneliti ingin
memberikan gambaran terlebih dahulu mengenai permasalahan serupa yang pernah
terjadi di Indonesia. Kita bisa ambil contoh pada peraturan yang diberlakukan terhadap
pajak usaha jasa boga atau katering. Dahulu, terjadi pengenaan pajak sampai tiga kali
terhadap jasa usaha katering ini, yaitu:
1. Pengenaan PPh pasal 23 atas imbalan sehubungan dengan jasa lain.
2. Pemungutan pajak daerah yaitu pajak restoran yang termasuk juga di dalamnya
usaha jasa boga/katering berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
3. Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Dengan pengenaan pajak sampai tiga kali yang sangat memberatkan pemilik usaha
jasa katering tersebut, maka pada tahun 2009 pemerintah mengambil kebijakan untuk
menghapuskan pengenaan PPN terhadap jasa usaha katering dengan cara
menyempurnakan aturan terdahulu melalui Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009
Pasal 4A ayat 2 huruf c tentang Pajak Pertambahan Nilai dan atau Penjualan Atas
Barang Mewah.
Dalam kasus pengenaan pajak pusat terhadap pajak kos, pemerintah seharusnya
bisa untuk segera mengambil kebijakan dengan cara menerbitkan aturan baru untuk
membuat pengecualian atau menghapuskan terhadap salah satu objek pada pajak ini
yaitu rumah. Karena seperti yang telah dijelaskan pada bab dua mengenai objek pada
pajak ini adalah penghasilan dari persewaan atas tanah dan/atau bangunan yang berupa
tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, pertokoan,
atau pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang, dan
bangunan industri. Termasuk dalam pengertian rumah adalah rumah indekos.
(Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-227/PJ./2002).
B. Mengkaji ulang untuk menerbitkan aturan baru
Jika solusi pertama tidak bisa direalisasikan oleh pemerintah pusat, maka solusi
kedua yaitu pemerintah perlu mengkaji ulang peraturan ini dan setelah itu menerbitkan
aturan baru untuk mempertegas atau memperjelas pada aturan sebelumnya. Pada solusi
kedua ini peneliti menyimpulkan aspirasi dari para pemilik usaha kos yang telah
peneliti wawancarai. Nantinya di dalam aturan baru yang akan dikeluarkan oleh
pemerintah pusat tersebut berisi perbaikan pada aturan sebelumnya khususnya
mengenai tarif dan kriteria rumah kos yang dapat dikenai PPh pasal 4 ayat 2 atas
penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan kategori rumah indekos.
Untuk menyajikan solusi tersebut, peneliti memberikan analogi terhadap aturan
yang ada di daerah mengenai pajak kos yang diterapkan di beberapa kota di Indonesia
seperti Malang, Surabaya, dan Medan untuk dibandingkan dengan aturan PPh pasal 4
ayat 2 atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan kategori rumah
indekos.
Perda Kota
Malang No. 16
tahun 2010
Perda kota
Rp 0,Rp 845.000,Surabaya No. 4
tahun 2011
Perda Kota Medan
Rp 0,Rp 1.690.000,No. 4 tahun 2011
PPh pasal 4 ayat
Rp 1.000.000,Rp 1.690.000,(2) atas
penghasilan dari
persewaan tanah
dan/atau bangunan
kategori rumah
indekos
Keterangan: Rumah Kos X = 20 kamar @Rp 500.000,-/bulan
Rp 0,-
Rp 0,Rp 1.440.000,-
Berdasarkan hasil penghitungan dari table 4.1 maka kita dapat melihat bahwa
terjadi perbedaan penerimaan pajak dari masing-masing aturan tersebut. Pada
penghitungan pajak kota Malang dapat dianalisa terjadi ketimpangan antara pemilik
usaha Rumah Kos Z yang memiliki hunian kos eksklusif dimana harga sewa kamar per
bulannya sebesar Rp 1.800.000,- yang tidak dikenai pajak karena memiliki jumlah
kamar kurang dari sepuluh dibanding dengan pemilik usaha Rumah Kos X yang
memiliki hunian kos sederhana dimana harga sewa kamar per bulannya sebesar Rp
500.000,- yang dikenai pajak karena memiliki jumlah kamar lebih dari sepuluh.
Padahal jika di total pemilik usaha Rumah Kos Z dalam bulan Juli memperoleh
penghasilan bruto sebesar Rp 14.400.000,- sedangkan pemilik usaha Rumah Kos X
lebih rendah yaitu sebesar Rp10.000.000,-. Hal ini justru sangat merugikan bagi
pemilik usaha kos yang biasa-biasa saja ketimbang pemilik usaha kos eksklusif.
Dan dari tabel di atas juga diperoleh bahwa dengan menggunakan mekanisme
penghitungan PPh pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau
bangunan kategori rumah indekos terlihat amat sangat membebani masyarakat karena
tidak terdapat kriteria atau penetapan tertentu terhadap kos yang dapat dikenai pajak
dan tidak dikenai pajak. Hal ini tentu sangat merugikan pemilik usaha rumah kos yang
sederhana atau biasa-biasa saja dan memiliki jumlah kamar kos yang sedikit. Terlebih
lagi besaran tarif yang dikenakan terlalu tinggi dan memberatkan yaitu sebesar 10%.
Dan dengan adanya penerapan aturan ini pemilik usaha kos terkena pajak berganda
antara pajak pusat dan daerah.
Sementara hasil penghitungan pajak untuk Kota Surabaya dan Medan dirasa tidak
terlalu memberatkan karena memiliki kriteria penetapan pengenaan pajak kos yang
cukup jelas. Dan aturan mengenai pajak kos dari pemerintah daerah Kota Surabaya dan
Medan memang terlihat untuk kos yang eksklusif atau mewah.
Melihat gambaran diatas pemerintah pusat dapat mempertimbangkan untuk
mengkaji ulang terhadap aturan tersebut. Pemerintah dapat menerbitkan aturan baru
sebagai penyempurnaan dari aturan sebelumnya. Misalnya dengan cara menurunkan
tarif pajak yang sebelumnya dikenakan sebesar 10% menjadi 5% dari penghasilan neto,
bukan dari penghasilan bruto. Lalu menambahkan kriteria usaha kos yang bisa dikenai
pajak dan lain sebagainya.
Hasil Analisis Data Menggunakan Triangulasi
Berdasarkan hasil dari data yang diperoleh peneliti dari berbagai sumber, maka
untuk memeriksa keabsahan data tersebut peneliti menggunakan teknik analisis
triangulasi dengan memanfaatkan penggunaan sumber. Disini peneliti membandingkan
data atau informasi yang diperoleh dari hasil wawancara sembilan pemilik usaha kos
yang ada di Kota Malang dengan salah seorang pegawai KPP Pratama Malang Utara
bernama Pak Dani yang bertindak sebagai account representative pada seksi
pengawasan dan konsultasi.
Dari hasil analisis tersebut dapat disimpulkan mengenai perbandingan data terkait
sosialisasi yang telah dilakukan oleh KPP Pratama Malang Utara guna mempersiapkan
penerapan peraturan PPh pasal 4 ayat 2 atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau
bangunan kategori rumah indekos dengan kondisi yang sebenarnya terjadi di lapangan.
Dari sembilan pemilik usaha kos yang peneliti telah wawancarai, ternyata ditemukan
hanya berjumlah dua orang saja yang sudah tahu dan pernah diberikan sosialisasi secara
langsung. Mereka juga mengaku pernah mendapatkan undangan untuk hadir dalam
sosialisasi aturan tersebut. Sedangkan sekitar tiga orang hanya sebatas mengetahui
sekilas aturan tersebut yang diperoleh dari obrolan sesama pemilik kosan. Mereka
mengaku belum pernah didatangi petugas pajak apalagi diundang untuk sosialisasi.
Sementara sisanya yaitu berjumlah empat orang yang sama sekali tidak mengetahui
akan adanya aturan tersebut dan juga tidak pernah didatangi petugas pajak apalagi
diundang untuk sosialisasi.
PENUTUP
Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil wawancara didapati hasil bahwa semua pemilik usaha kos
mengaku keberatan atau tidak setuju terhadap penerapan peraturan PPh Pasal 4
ayat (2) atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan kategori
rumah indekos. Keberatan tersebut meliputi:
a) Dapat menimbulkan pajak berganda terhadap usaha kos
b) Tarif yang tinggi
c) Objek pajak yang memberatkan
d) Pemerintah dinilai masih tebang pilih dalam pemberlakuan aturan ini
karena penerapannya masih belum merata.
2. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa banyak sekali pemilik usaha kos di Kota
Malang yang masih belum mengetahui adanya peraturan ini. Dari 9 (sembilan)
orang pemilik usaha kos di Kota Malang yang peneliti wawancarai, ditemukan
hanya dua orang yang sudah mengetahui aturan tersebut dari petugas pajak
secara langsung. Sedangkan sekitar tiga orang hanya sebatas mengetahui
sekilas saja aturan tersebut yang diperoleh dari obrolan sesama pemilik kosan.
Dan sisanya berjumlah empat orang sama sekali tidak mengetahui adanya
aturan tersebut. Minimnya sosialisasi menjadi faktor utama penyebabnya.
Keterbatasan Penelitian
1. Selama melakukan penelitian, peneliti mengalami kesulitan dalam mencari data
atau keterangan dari pemilik usaha kos karena rata-rata dari mereka mengira
bahwa peneliti adalah petugas pajak yang sedang menyamar untuk melakukan
survei mengenai pajak kos, sehingga peneliti hanya memperoleh sembilan
keterangan dari pemilik kos. Hal ini disebabkan sikap pemilik kos yang tidak
taat dan sadar pajak.
2. Data yang diperoleh merupakan hasil wawancara secara acak terhadap
sembilan rumah kos di Kota Malang. Tidak ada pengklasifikasian terhadap
usaha rumah kos tersebut seperti kategori rumah kos kebawah, menengah, dan
keatas.
Saran
1. Terhadap Pemerintah
a) Lebih gencar lagi meningkatkan sosialisasi karena dari hasil penelitian
terbukti bahwa masih sangat sedikit sekali pemilik kos yang mengetahui
keberadaan peraturan ini. Salah satu peningkatan sosialisasi bisa
dilakukan dengan cara menambahkan jumlah tenaga peagawai pajak
untuk bisa terjun langsung ke lapangan memberikan sosialisasi
mengenai pajak.
b) Untuk benar-benar menerapkan peraturan tersebut secara adil dan
merata, pemerintah pusat diharapkan tidak tebang pilih dan perlu
menambah jumlah sumber daya manusia di bidang terkait agar
pelayanan dan penerimaan pajak dari sektor ini efektif. Hal ini tentu
memerlukan tambahan dana yang cukup besar dan waktu yang relatif
lama agar penerapannya dapat berjalan maksimal.
c) Untuk menghindari terjadinya pengenaan pajak berganda pemerintah
pusat bisa mengambil kebijakan dengan cara menghapus atau
mengecualikan objek pajak rumah indekos pada peraturan pemungutan
PPh pasal 4 ayat 2 atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau
bangunan kategori rumah indekos karena usaha kos-kosan ini sudah
menjadi pengenaan pajak daerah.
d) Apabila pemerintah pusat tidak berkenan untuk menghapus peraturan
tersebut, maka sebaiknya pemerintah perlu mengkaji ulang aturan
tersebut dan nantinya diharapkan segera mengambil kebijakan untuk
mengeluarkan aturan baru sebagai penyempurnaan dari aturan
sebelumnya. Penyempurnaan aturan tersebut harus mempunyai kriteria
penetapan yang jelas mengenai mana yang seharusnya dikenai pajak
dan tidak.
2. Terhadap peneliti selanjutnya
a) Kepada peneliti yang ingin melakukan pengembangan terhadap
penelitian sejenis diharapkan kedepannya memperoleh responden
(pemilik usaha kos dan petugas pajak) lebih banyak lagi dari yang
peneliti peroleh agar hasil yang didapat lebih bervariasi dan maksimal.
b) Penelitian selanjutnya juga diharapkan bisa memperoleh informasi dari
pemilik usaha kos yang mempunyai hunian rumah kos kategori
kebawah, menengah, dan keatas agar memperoleh hasil yang lebih
bervariasi dan maksimal.
c) Untuk peneliti selanjutnya diharapkan dapat memperoleh solusi yang
lebih baik lagi agar penelitian ini semata-mata tidak hanya wacana saja
dan benar-benar terselesaikan sehingga tidak menimbulkan pajak
berganda dan nantinya dapat menjadi pertimbangan pemerintah dalam
mengambil kebijakan.
Ina, Maulida. 2012. Persepsi Siswa Terhadap Implementasi Sistem Manajemen Mutu
ISO 9001:2008 di SMK Muhammadiyah 3 Yogyakarta. Tesis. Yogyakarta:
Universitas Negeri Yogyakarta (http://eprints.uny.ac.id/9686/3/bab%202pdf)
diakses pada tanggal 23 April 2015.
Keputusan Direktorat Jenderal Perpajakan Nomor KEP-227/PJ./2002 Tentang Tata
Cara Pemotongan dan Pembayaran, serta Pelaporan Pajak Penghasilan dari
Persewaan Tanah dan/atau Bangunan.
Keputusan Direktorat Jenderal Perpajakan Nomor KEP-50/PJ./1996 Tentang
Penunjukan Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri Tertentu sebagai
Pemotong Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau
Bangunan.
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 120/KMK.03/2002 tentang
Pelaksanaan Pembayaran dan Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan
dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan.
Moleong, Lexy. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Rosda. Bandung.
Murandika, Muhammad Friansyah. 2014. Analisis Kebijakan Pemungutan Pajak Hotel
Atas Rumah Kos Ditinjau Dari Perspektif Asas-Asas Pemungutan Pajak Daerah
(Studi Pada Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Kota Surabaya).
Skripsi. Malang: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
Swastika, Anjani Dwi. 2014. Persepsi Pemilik Rumah Kos Terhadap Peraturan Daerah
Kota Malang Nomor 16 Tahun 2010 Tentang Pajak Daerah. Skripsi. Malang:
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan Sebagaimana Telah Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2009.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Sebagaimana Telah Diubah
Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1983 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.