Anda di halaman 1dari 21

Analisa uu penyiaran no.

32/ 2002
Setelah saya membaca beberapa artikel tentang kontroversi
yang muncul dari uu penyiaran no.32 / 2002, ada faktor-faktor yang
mempengaruhi para kalangan penyiaran.

Kronologis dari demokratisasi penyiaran


Kejatuhan Soeharto pada 1998 memang nampak memberi

angin segar bagi demokratisasi penyiaran Indonesia. karena tanpa


didasari rencana jangka panjang yang jelas, pada saat menjabat
sebagi

kepala

Negara,

Abdurrahman

Wahid

membubarkan

Departemen Penerangan. Perkembangan yang lebih penting adalah


ketika kelompok-kelompok sipil yang kritis terlibat dalam penyusunan
UU

Penyiaran

yang

membawa

semangat

demokratisasi

penyiaran.
UU Penyiaran yang akhirnya lahir pada 2002 memuat pasalpasal yang mendorong terjadinya demokratisasi penyiaran. Pertamatama, UU memperkenalkan gagasan tentang adanya sebuah lembaga
pengatur penyiaran independen, Komisi Penyiaran Indonesia. KPI,
menurut UU, dipilih dan bertanggungjawab kepada DPR dan
keanggotaannya berasal dari mereka yang diharapkan tidak mewakili
kepentingan industri penyiaran, pemerintah, ataupun partai politik.
Pembuatan UU juga tidak meniadakan sama sekali peran pemerintah.
Dalam berbagai bagiannya, UU menetapkan bahwa peraturanperaturan lebih lanjut harus disusun oleh KPI bersama pemerintah,
yang mencerminkan semangat win-win solution. Begitu juga dalam
1|P a g e

hal

perizinan,

KPI

tidak

dibiarkan

menatanya

sendirian.

UU

menetapkan keputusan akhir dalam hal perizinan ditentukan bersama


oleh KPI dan pemerintah.

Jelas bahwa UU Penyiaran 2002

menetapkan bahwa peran pemerintah tetap ada, namun dibuat


sedemikian rupa sehingga lebih
pemegang

kekuasaan

mutlak,

menjaga jangan KPI menjadi


karena

bagaimanapun

peran

pemerintah tetap dibutuhkan untuk menetralisir pendapat atau


kebebasan penyiaran yang diajukan oleh kalangan penyiaran itu
sendiri.
UU penyiaran pun mengatur bahwa sistem penyiaran televisi
tidak lagi berpusat di Jakarta. UU Penyiaran mengusung gagasan
desentralisasi penyiaran televisi, di mana tidak lagi dikenal adanya
stasiun televisi nasional yang mampu menjangkau penonton di seluruh
Indonesia secara langsung dari Jakarta. Dalam sistem baru ini, tidak
lagi ada stasiun televisi nasional melainkan sistem jaringan televisi
secara nasional, dengan kata lain laintelevisi nasional harus membikin
jaringan tv lokal disetiap daerah yang mewakili, jika ingin siarannya
sampai secara nasional. Berdasarkan UU ini, stasiun-stasiun televisi
lokal di luar Jakarta dapat berdiri, baik sebagai stasiun independen
atau menjadi bagian dari jaringan stasiun televisi nasional. Pemodal
Jakarta tetap dapat mendirikan stasiun-stasiun televisi lokal di seluruh
Indonesia, namun mereka tidak otomatis memperoleh izin penyiaran di
semua daerah, harus diperebutkan secara terbuka, termasuk dengan
pemodal lokal. Di daerah di luar Jakarta, stasiun televisi besar dapat
saja mendirikan sendiri stasiun televisi lokal atau memilih mencari
2|P a g e

mitra stasiun televisi lokal sebagai bagian dari jaringan mereka.


Izin penyiaran pun diberikan melalui proses terbuka dan melibatkan
publik. Bila di masa Orde Baru, stasiun televisi dapat memperoleh izin
dari para pemegang kekuasaan melalui proses tertutup, menurut UU
2002, izin baru dapat diperoleh melalui proses terbuka yang
melibatkan publik. Ada beberapa tahap yang harus dilalui pemohon izin
baru ataupun pemohon perpanjangan izin:

Pemohon mengajukan proposal ke KPI .

KPI menyelenggarakan public hearing yang melibatkan publik


untuk mendengar

penjelasan pemohon.

Bila

dianggap

memuaskan,

KPI

akan

mengeluarkan

rekomendasi izin.

Rekomendasi izin itu akan dibicarakan dalam dalam sebuah


rapat bersama

dengan pemerintah.

Forum Bersama KPI-pemerintah mengeluarkan izin. Harus


ditekankan bahwa izin

siaran televisi itu berlaku hanya untuk daerah terbatas (misalnya


terbatas pada
Provinsi tertentu), dan bukan untuk wilayah nasional.

Dengan pendekatan baru ini, diharapkan tidak lagi terjadi penjajahan


3|P a g e

Jakarta atas daerah-daerah lain di seluruh Indonesia. Kedaulatan


masyarakat setiap daerah menjadi terjamin, dan sentralisasi dan
homogenisasi informasi dapat dicegah.
TVRI dan RRI yang semula adalah lembaga penyiaran
pemerintah diubah statusnya menjadi lembaga penyiaran publik. Lalu
lembaga tersebut ditarik keluar dari jajaran Departemen Penerangan
dan tidak berada di bawah kekuasaan Presiden. Menurut UU, TVRI
dan RRI seharusnya dipimpin oleh Dewan Direkasi yang dipilih oleh
dewan Komisaris yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat. TVRI
dan RRI diharapkan menjadi media yang independen dan netral yang
bisa

selalu

menempatkan

kepentingan

publik

di

atas

segalanya.
UU Penyiaran memperkenalkan kehadiran lembaga penyiaran
komunitas (LPK). Sebagaimana tertuang dalam UU terseebut, LPK
adalah lembaga penyiaran yang didirikan oleh komunitas tertentu,
bersifat independen, dan tidak komersial, dengan daya pancar rendah,
luas jangkauan wilayah terbatas, serta untuk melayani kepentingan
komunitasnya. LPK lahir dari gagasan perlunya dibuka ruang bagi
inisiatif masyarakat untuk memiliki lembaga penyiaran yang melayani
kepentingan komunitasnya. Ia adalah semacam lembaga penyiaran
publik yang didirikan atas inisiatif masyarakat sendiri.
UU Penyiaran 2002 memang seperti memberi jaminan bagi
demokratisasi penyiaran. Pemerintahan dipinggirkan, untuk digantikan
oleh lembaga regulasi penyiaran yang mewakili kepentingan publik.
Proses perolehan perizinan, yang merupakan jantung penyiaran,
4|P a g e

dibuat murah, transparan, dan harus dipertanggungjawabkan kepada


publik. Peluang bagi kolusi penguasa dan pengusaha dipersempit.
Media propaganda pemerintah ditutup. Sementara, masyarakat akar
rumput diberi peluang untuk mengembangkan media kecil dan murah.
Namun kini, hampir lima tahun setelah UU itu disahkan, tandatanda bahwa amanat demokratisasi itu bisa dijalankan ternyata
semakin meredup. Masalahnya, pembelokkan bisa setiap saat terjadi,
dan hal ini yang berlangsung secara kasat mata saat ini. Duet
kepentingan penguasa-pengusaha kembali mengemuka, dan dengan
jelas menghabisi secara bertahap prospek demokratisasi di Indonesia.

Terjadinya kontroversi dari UU no.32/ 2002


Terjadinya

kampanye

industri

penyiaran

untuk

menolak

pemberlakuan UU Penyiaran yang memang jelas-jelas mengancam


kepentingan para pemodal besar. Industri secara kolektif melakukan
kampanye atas UU penyiaran tahun 2002, serta mengajukan Judicial
Review pada Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan UU Penyiaran.
Memang, sejak masih RUU hingga ditetapkan menjadi UU,
materinya tak pernah berhenti dari kontroversi. Beberapa hal yang
dikhawatirkan kalangan penyiaran umumnya adalah soal ketatnya
regulasi, yang menurut mereka bisa membatasi kebebasan informasi,
serta pemberian kewenangan terlalu besar pada Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI). Kekhawatiran itu bisa dimengerti karena menyangkut
kepentingan bisnis mereka. Namun, jika dicermati lebih jauh dari
5|P a g e

keseluruhan materi UU No 32/2002, ada kesan kekhawatiran itu


berlebihan.
Regulasi yang ketat di bidang penyiaran adalah hal yang berlaku di
seluruh negara demokrasi yang maju. Termasuk keberadaan komisi
penyiaran, di Amerika Serikat ada FCC (Federal Communication
Commission), di Kanada ada CBA (Canada Broadcasting Authority),
dan di Inggris ada ITC & RA (Independent Television Commission &
Radio Authority). Semua komisi itu berwenang mengeluarkan izin
penyiaran (issuing licences), menyusun standar isi program, iklan,
sponsor, dan kualitas teknis penyiaran. Termasuk memberi sanksi jika
ada pelanggaran.
Menurut Pasal 8 UU Penyiaran, KPI mempunyai kewenangan
serupa, menyusun standar program, menetapkan pedoman perilaku
penyiaran, mengawasi pelaksanaan dan memberi sanksi bagi yang
melanggar. Bedanya, KPI punya tugas tambahan, menetapkan
pedoman perilaku. Inilah yang tidak dilakukan ITC dan FCC, biasanya
diserahkan kepada perusahaan media masing-masing, atau asosiasi
profesi.
Kewenangan KPI membuat regulasi hingga memberi sanksi dari
teguran tertulis, penghentian sementara mata acara yang bermasalah,
sampai pencabutan izin siaran memang bisa "menakutkan". Apalagi
kewenangan itu dilaksanakan bersama pemerintah.
Pada 2004, dua keputusan menentukan pun terjadi. Pertama,
Mahkamah Konstitusi, walaupun tidak mengabulkan sebagian besar
permintaan industri, MK malah mengeluarkan keputusan yang justru
6|P a g e

mengembalikan peran pemerintah ke inti sistem penyiaran Indonesia.


Menurut MK, mengenai penyiaran yang harus disusun oleh KPI dan
pemerintah, harus diubah secara mendasar menjadi harus disusun
oleh pemerintah

dan menghilangkan kata KPI dari pasal-pasal

tersebut. Dengan demikian, pemerintah menjadi pihak tunggal yang


berhak mengeluarkan peraturan-peratutan lebih jauh mengenai dunia
penyiaran. KPI sendiri tetap berhak mengeluarkan peraturan, namun
hanya terutama untuk hal-hal yang secara khusus dinyatakan UU
Penyiaran melibatkan KPI (misalnya mengenai isi siaran dan
perizinan). Industri penyiaran sendiri nampak sangat gembira dengan
keputusan MK tersebut, sikap yang mencerminkan kelaziman industri
penyiaran untuk diatur oleh pemerintah daripada diatur oleh wakil
kepentingan publik. KPI sendiri saat itu tidak secara frontal menolak
keputusan MK karena menganggap bahwa kalaupun pemerintah yang
mengeluarkan keputusan, pemerintah tetap harus tunduk pada
ketentuan dan semangat UU Penyiaran 2002 .
Perkembangan berikutnya adalah keputusan Presiden SBY yang
terpilih melalui pemilu yang sangat demokratis, yaitu mengembalikan
Departemen Penerangan dalam bentuk Departemen Komunikasi dan
Informatika.

Walaupun

peringatan

mengenai

kelahiran

kembali

Departemen penerangan ini cukup keras disuarakan, KPI menerapkan


praduga tak bersalah menyatakan bahwa Departemen ini tidak perlu
dengan sendirinya dicurigai dan diberi kesempatan untuk membuktikan
kualitas.
Namun pada akhir 2005 Pemerintah mengeluarkan Peraturan
7|P a g e

Pemerintah tentang penyiaran, dan sejak saat itu pula demokratisasi


penyiaran

mengalami

langkah

mundur

luar

biasa.

Dengan

mengabaikan UU Penyiaran, Menteri Sofyan Djalil kembali menunjuk


dirinya sebagai pihak yang dapat memberikan dan mencabut izin.
Pemerintah menetapkan bahwa perkembangan lembaga penyiaran
swasta sangat bergantung pada Menteri Sofyan Djalil. Perubahan
direksi lembaga penyiaran harus dilaporkan dan diperiksa oleh
Menteri. Wilayah jangkauan siaran ditetapkan oleh Menteri. Wartawan
asing harus melapor kepada Menteri. Pemerintah menepati posisi
menentukan dalam lembaga penyiaran publik. Pemerintah melarang
lembaga penyiaran komunitas menyiarkan siaran berita. Pemerintah
melarang mengulang berita asing. Pemerintah bahkan menentukan
apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan KPI.
Kendati campur tangan secara langsung atas isi siaran tidak lagi
dapat dengan leluasa dilakukan, pemerintah terbukti memanfaatkan
posisi vital mereka. Sebuah acara parodi yang kerap mengkarikaturkan
pemerintah, BBM, dihentikan di stasiun Indosiar tak lama setelah
berlangsung pertemuan antara Wakil Presiden dengan para pemilik
stasiun televisi. Ketika program itu beralih format menjadi News Dot
Com di Metro TV, kembali para pembuatnya diancam somasi oleh
Menkominfo, dengan alasan acara itu secara tidak pantas mengolokolok Preiden.
Walau budaya telepon ala Orde Baru udah tidak lagi berlangsung,
pemerintah sekarang cenderung menghubungi langsung para pemilik
stasiun untuk mengingatkan para profesional yang bekerja untuk
8|P a g e

mereka untuk tidak membesar-besarkan protes masyarakat terhadap


pemerintah. Kembalinya

pemerintah

sebagai

pusat

pengendali

penyiaran juga terbukti memang menjamin kepentingan para pemodal


televisi di Jakarta. Dengan rangkaian keputusan yang ia keluarkan
dalam dua tahun terakhir, Menkominfo melenggengkan sistem
penyiaran televisi yang sentralistis dan dikuasai oleh segelintir
pemodal di Jakarta. Seperti disebut di atas, menurut UU Penyiaran,
seharusnya tidak ada lagi stasiun televisi nasional yang dapat
bersiaran langsung dari Jakarta ke daerah-daerah lain dengan hanya
menggunakan stasiun-stasiun relai. Yang diakui menurut UU adalah
stasiun berjaringan nasional. Untuk itu penataan perizinan di seluruh
daerah harus ditata ulang, karena izin siaran hanya berlaku untuk
masing-masing provinsi, bukan untuk siaran nasional. Sebagai
konsekuansi logis, setiap stasiun televisi harus mengurus izin baru
yang prosesnya berlangsung dari bawah, transparan, melalui KPI,
melibatkan publik, di setiap daerah.
Perubahan format TVRI dan RRI menjadi lembaga penyiaran publik
pun tidak terjadi. UU Penyiaran sebenarnya menempatkan TVRI dan
RRI di bawah DPR. Tapi Menteri mengeluarkan PP (2005) yang
menyatakan

bahwa

TVRI

dan

RRI

berada

di

bawah

dan

bertanggungjawab kepada Presiden. PP itu juga menyatakan Rencana


Induk

TVRI/RRI

harus

dilaporkan

kepada

Menteri

sebelum

dilaksanakan. Bahkan laporan tahunan TVRI/RRI harus diserahkan


kepada Presiden.
TVRI dan RRI yang semula diniatkan untuk menjadi lembaga
9|P a g e

penyiaran publik yang independen

kembali menjelma menjadi

semacam stasiun pemerintah. Direktur Utama TVRI saat ini adalah


seorang mantan perwira tinggi TNI yang memiliki posisi dalam inner
circle Golkar tanpa latar belakang manajemen pertelevisian. Salah
seorang direktur lain adalah inner circle Partai Demokrat. Tatkala
terjadi kontroversi kedatangan George Bush ke Indonesia kahir tahun
lalu, TVRI menyajikan program satu jam yang memuji kebijakan luar
negeri Presiden SBY. Wartawan TVRI sendiri, dalam konferensi pers
dengan George Bush, memperkenalkan diri sebagai wartawan TVRI,
stasiun pemerintah Indonesia.

10|P a g e

Pengertian Judicial Review


Judicial Review (hak uji materil) merupakan kewenangan
lembaga peradilan untuk menguji kesahihan dan daya laku produkproduk hukum yang dihasilkan oleh ekesekutif legislatif maupun
yudikatif di hadapan konstitusi yang berlaku. Pengujian oleh hakim
terhadap produk cabang kekuasaan legislatif (legislative acts) dan
cabang kekuasaan eksekutif (executive acts) adalah konsekensi dari
dianutnya

prinsip

checks

and

balances

berdasarkan

doktrin

pemisahan kekuasaan (separation of power). Karena itu kewenangan


untuk melakukan judicial review itu melekat pada fungsi hakim
sebagai subjeknya, bukan pada pejabat lain.

Judicial review yang diajukan oleh kalngan industri


Tindakan masyarakat penyiaran mengajukan judicial review atas
UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran karena ada bagian yang
melanggar

kebebasan

pers

dan

UUD

1945.

Permohonan judicial review diajukan oleh Dr Todung Mulya Lubis SH


LLM dan kawan-kawan yang memperoleh kuasa dari Ikatan Jurnalis
Televisi Indonesia, Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia
(PRSSNI), Persatuan Periklanan Indonesia, Asosiasi Televisi Swasta
Indonesia (ATVSI), Persatuan Sulih Suara Indonesia, dan Komunitas
Televisi Indonesia.
Mahkamah Konstitusi akhirnya mengabulkan permohonan uji
11|P a g e

materi (judicial review) terhadap UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002


yang diajukan enam organisasi penyiaran: IJTI, ATVSI, PRSSNI,
KomTeve, PPPI, dan PERSUSI.
MK menyatakan peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam
proses penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Penyiaran
sebagaimana diatur dalam Pasal 62 UU Penyiaran No 32/2002
bertentangan dengan UUD 1945. Konsekuensinya, peran KPI itu harus
dihapuskan dan selanjutnya penyusunan PP tentang Penyiaran hanya
menjadi wewenang pemerintah. MK mengukuhkan Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) sebagai lembaga negara dan bersifat independen
yang mengatur hal-hal penyiaran. Namun, Keputusan MK menyiratkan
kewenangan KPI yang dalam melaksanakan sanksi administratif,
termasuk pencabutan izin penyiaran, harus dilakukan melalui proses
pengadilan (due process of law).
Para praktisi penyiaran tentu sementara ini boleh lega karena
MK telah mengoreksi penafsiran UU Penyiaran yang telah disahkan
oleh DPR. Sebaliknya, banyak sekali pengajuan yang ditolak oleh MK
telah memberikan legitimasi sah kepada KPI sebagai lembaga negara
untuk mengawasi lembaga penyiaran dan diberi wewenang yang besar
terhadap sanksi pelanggaran hingga pencabutan izin meskipun harus
melalui proses pengadilan.
MK berpendapat bahwa wewenang ini perlu diberikan karena
untuk media penyiaran tidak cukup diatur hanya oleh self regulatory
saja karena media penyiaran menggunakan frekuensi yang merupakan
"ranah publik", dan karenanya menyangkut kepentingan publik secara
12|P a g e

luas. MK juga menolak permohonan untuk menguji kembali aturan


mengenai sistem jaringan penyiaran. Atas dasar kepentingan untuk
menghindari monopoli kepemilikan maupun materi isi siaran
Keputusan MK tidak bisa diartikan sebagai menang kalah pihak
mana pun, yang setuju maupun tidak setuju dengan UU Penyiaran.
Keputusan MK untuk menyatakan permohonan judicial review sebagai
partial judicial review menunjukkan bahwa semua pihak harus
menghormati, mengakui, dan mengikuti pasal-pasal UU RI No 32
Tahun 2002 tentang Penyiaran.
UU Penyiaran sejak awalnya memang sarat dengan nuansa
politik yang diwarnai oleh dua kepentingan. Di satu sisi, kepentingan
untuk mengawasi dan mengontrol secara ketat tidak hanya isi siaran,
tetapi juga industri penyiaran itu sendiri karena menggunakan ranah
publik dan menjaga diversity of ownership dan diversity of content di
satu sisi dan kepentingan untuk mempertahankan kepentingan
kebebasan pers, hak asasi memperoleh informasi yang bebas,
kebebasan

berkreasi,

serta

kebebasan

usaha

sebagaimana

dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar 1945.


Pemerintah sepertinya akan membebani industri penyiaran
dengan tanggung jawab menjaga keaslian budaya bangsa, serta
persatuan dan kesatuan nasional. Perizinan penyiaran juga masih
dihadapkan pada berbagai jenis pungli seperti di masa lalu.
Mengapa kalangan industri penyiaran lebih memercayai pemerintah
daripada KPI sebagai lembaga regulator penyiaran? Untuk sebagian

13|P a g e

bisa jadi karena masalah komunikasi. Hingga kini masih ada jarak
yang begitu lebar antara KPI dan industri penyiaran. Konfrontasi pada
skala tertentu bahkan masih terus berlangsung. Kesempatan dan
momentum untuk melakukan dialog guna mencari titik tentang
berbagai hal dalam regulasi penyiaran tidak dimanfaatkan secara
optimal. Jika pada akhirnya fungsi regulator penyiaran kembali ke
tangan pemerintah, kedua belah pihak sebenarnya sama-sama tidak
diuntungkan.
MK dan mekanisme judicial review adalah salah satu produk
reformasi hukum di negeri ini. Apa boleh buat, keputusan tersebut
tetap harus dihargai, betapapun berat konsekuensinya bagi pihak
tertentu. Meski demikian, tetap menarik untuk didiskusikan apa makna
keputusan itu bagi proses demokratisasi dunia penyiaran yang telah
berlangsung di Indonesia sejauh ini.

14|P a g e

Headline News Menjadi Komoditas Media Cetak


Pembaca cenderung selalu melihat terlebih dahulu headline
pada halaman depan dibandingkan melihat isi secara keaseluruhan
karena berita utama atau headline biasanya memberikan daya tarik
lebih kaepada pembaca untuk mengetaui lebihh lanjut tentang isi dari
berita tersebut, sehingga seringkali media-media cetak yang berbasis
pada pelanggan eceran menjadikan berita utama atau headline
sebagai komoditas.

Menurut saya sah-sah saja apabila suatu surat kabar atau


media cetak lainnya menjadikan berita utama atau headline sebagai
komoditas utama karena memang dapt berpengaruh besar terhadap
penjualan. Namun yang disayangkan adalah ketika hanya judul berita
utama saja yang diutamakan, karena seringkali isi berita tidak
sedramatis judulnya sehingga jika dilihat secara keseluruhan judul dan
isi kurang sinkron.

Seharusnya media cetak jangan hanya menjual judul, karena


pelanggan membeli koran, majalah atau tabloid dengan harapan
mendapatkan informasi yang sama dengan judul berita utama yang
mereka baca, yang kemudian dijadikan gambaran menarik atau
tidaknya berita tersebut untuk dibaca lebih lanjut isinya, Sehingga isi
berita tidak mengecewakan pembaca.

15|P a g e

Konglomerasi media Indonesia

Konglomerasi media secara horizontal

Konglimerasi media secara horizontal adalah proses dimana sebuah


perusahaan

membeli

beberapa

media

yang

berbeda.

Dalam

pengertian ini Indonesia termasuk dalam konglomersi Horizontal

Contoh Konglomerasi Horizontal di Indonesia

1. MNC yang sudah memiliki RCTI, Global TV, TPI dan koran Seputar
Indonesia, ditambah lagi dengan portal berita OkeZone.Com.
2. Media Group dengan Media Indonesia, Metro-TV dan Lampung
Post
3. Metro-TV dan Lampung Post. Trans-TV mengakui sisi TV-7 dan
menggantinya menj adi Trans-7.

16|P a g e

Konglomerasi media Amerika

Konglomerasi Media Secara Horizontal

Konglomerasi media secara horizontal adalah proses dimana sebuah


perusahaan memiliki semua aspek produksi dan distribusi dari setiap
produk media. Dalam pengertian ini Amerika termasuk kedalam
konglomerasi vertical.

Contoh Konglomerasi vertikal di Amerika

Dow Jones & Company


Perusahaan publik terdaftar di NYSE:
Tipe
DJ)
Didirikan
1882
Letak
, Amerika 15 Wall Street, New York
Charles
Dow,
Founder
Tokoh pentin Edward

Jones,

Founder

Charles

Bergstresser,

Founder

Industri
Produk

Richard F. Zannino, CEO


Berita dan Penerbitan
Wall
Street

Journal

Barron's
Dow

Magazine
Jones

Dow
Dow

Jones
Jones

Financial

Newswires
Indexes
Information

Services
17|P a g e

Factiva
Far

Eastern

Economic

Review

MarketWatch.com
SmartMoney
Vedomosti

Pendapatan
Laba bersih
Karyawan
Situs

(See complete products listing.)


$1.783 Billion USD (2006)
$386.56 Million USD (2006)
7,143 (2004)
www.dowjones.com

Dow Jones & Company, Inc yang terdaftar di NYSE dengan kode DJ
adalah merupakan perusahaan Amerika yang bergerak dibidang
penerbitan dan informasi keuangan.
DJ didirikan pada tahun 1882 oleh 3 orang wartawan yang bernama
Charles Dow, Edward Jones, dan Charles Bergstresser. Seperti halnya
The New York Times dan Washington Post, perusahaan ini merupakan
perusahaan publik namun dikontrol secara privat. Mayoritas saham
perusahaan yaitu sebesar 64% dimiliki oleh Keluarga Bancroft.

Media cetak

Media cetaknya yang sangat terkenal adalah The Wall Street Journal
(WSJ), yang merupakan surat kabar harian yang beritanya meliputi
Amerika dan dunia bisnis internasional serta berita dan masalah
keuangan . Diterbitkan pertama kalinya pada tanggal 8 Juli 1889. Versi
lain dari WSJ adalah :

The Wall Street Journal Asia meliputi berita bisnis Asia;


18|P a g e

The Wall Street Journal Europe meliputi berita bisnis Eropa ;

The Wall Street Journal Special Editions divisi yang menerbitkan


terjemahan artikel untuk dimuat dalam koran lokal khususnya di
Amerika Latin.

Penerbitan yang masih sekeluarga dengan WSJ adalah :

Barron's Magazine, sebuah ulasan minguan dari ekonomi dan


pasar dunia;

Far Eastern Economic Review, yang merupakan jurnal bulanan


dan

SmartMoney yang merupakan majalah konsumen.

Dow Jones juga memiliki Ottaway Newspapers, Inc., yang


menerbitkan beberapa koran komunitas di Amerika .

Media elektronik

Media elektronik Dow Jones memiliki beberapa situs sebagai media


penerbitan edisi online seperti :

CareerJournal.com

*CollegeJournal.com;

*OpinionJournal.com,

dengan fitur isi menyerupai Wall Street Journal yang secara politis
merupakan halaman editorial konservatif

StartupJournal.com yang merupakan portal bisnis

RealEstateJournal.com; dan

Factiva, layanan informasi bisnis dan berita yang merupakan


patungan bersama Reuters.

19|P a g e

Pada bulan Januari 2005, Dow Jones membeli MarketWatch dengan


nilai pembelian sebesar 528 juta USD. MarketWatch adalah suatu situs
keuangan yang sangat terkenal diantara para investor ritel.
Dow Jones juga memiliki Dow Jones Newswires, yang merupakan
saluran berita yang merupakan saingan dari Reuters dan Bloomberg.
Dow Jones juga merupakan pemilik dari :

Layanan Informasi Keuangan Dow Jones , yang merupakan


penyedia berita, informasi,

Peristiwa khusus yang terjadi pada pasar keuangan dan sektor


industri

Ekuitas privat, Modal ventura, Hutang dan kepailitan, energi dan


komoditi, perdagangan luar negeri dan bidang lain .

Lembaga penyiaran

Dalam lembaga penyiaran, Dow Jones menyediakan isi berita untuk


CNBC Amerika dalam acara The Wall Street Journal Report dan The
Dow Jones Money Report.

Kepemilikan

Keluarga Bancroft , yang merupakan ahli waris dari Clarence W.


Barron , secara efektif mengontrol jalannya perusahaan berdasarkan
kepemilikan atas saham kelas "B" yang masing-masing memiliki setara
dengan 10 hak suara saham biasa. Dengan demikian maka keluarga
ini memiliki hak suara sebesar 64% . Dow Jones dan News
Corporation milik konglomerat Rupert Murdoch telah mencapai kata
20|P a g e

sepakat sementara pada tanggal 1 Agustus 2007 soal tawaran


pengambilalihan Dow Jones, dengan penawaran sebesar 5.6 milyar
USD atau sebesar 65% diatas harga pasar saat ini atau seharga 60
USD per saham. Dua rintangan harus dilewati sebelum perjanjian
pengambil alihan perusahaan Dow Jones ini dapat dilaksanakan yaitu
persetujuan dari para pemegang saham lainnya dan persetujuan
antitrust. Setelah News Corp memperoleh persetujuan dari 37% hak
suara yang dimiliki oleh keluarga Bancroft maka upaya guna
memperoleh persetujuan dari mayoritas pemegang saham pada rapat
umum pemegang saham tahun ini dirasakan bukan suatu hal yang sulit
terlaksana. Masih terbuka kemungkinan bagi News Corp guna
memperoleh persetujuan dari lebih banyak lagi hak suara yang masih
dimiliki oleh keluarga Bancroft lainnya guna pengambil alihan tersebut,
sebagaimana diumumkan oleh Chief Executive Dow Jones, Richard
Zannino kepada karyawannya pada tanggal 1 Agustus 2007.

21|P a g e

Anda mungkin juga menyukai