Anda di halaman 1dari 3

DARI peristiwa eksploitasi kekayaan alam yang tak menyejahterakan masyarakat

setempat, sehingga mereka berdemonstrasi, lalu terjadi konflik fisik antara mereka dan aparat
keamanan, manakah yang termasuk kekerasan? Banyak orang dengan mudah akan menjawab:
konflik fisik tersebut. Eksplorasi kekayaan alam seperti itu akan lebih dilihat hanya sebagai
kesalahan kebijakan atau paling banter kerakusan sejumlah oknum. Kekerasan memang seringkali
dipahami secara sempit. Kekerasan cenderung dipahami secara tradisional: kekerasan orang
terhadap orang secara langsung. Kekerasan hanya direduksi sebagai perilaku satu manusia terhadap
manusia lain atau sekelompok manusia terhadap manusia lain untuk mempertahankan kekuasaan
atau eksistensi manusia atau kelompok manusia tersebut. Kekerasan terhadap alam atau lingkungan
hidup seperti tak disadari sebagai kekerasan
Di sana, manusia atau kelompok manusia menjadi homo homini lupus, serigala bagi manusia atau
kelompok manusia lain. Tak heran jika Thomas Hobbes mendefinisikan kekerasan sebagai keadaaan
alamiah yang bersemayam di dalam diri manusia sebagai makhluk yang dikuasasi dorongandorongan irrasional, anarkis, dan mekanis yang saling mengiri dan membenci, sehingga menjadi
kasar, jahat, buas, dan pendek pikir.
Kalau kekerasan dipahami dalam horizon yang sempit seperti itu, perusakan alam atau lingkungan
hidup tak akan pernah dipandang sebagai tindakan yang sungguh- sungguh mengancam keselamatan
manusia. Keselamatan manusia pada masa mendatang hanya menjadi sesuatu yang diasumsikan,
diangankan, atau diandaikan terjadi. Ia cuma ilusi. Bukan sesuatu yang dipastikan mewujud. Sebab,
masa depan sejatinya sesuatu yang belum pasti. Kepastian hanya ada pada masa kini atau bahkan
hari ini. Karena itu, apa yang bisa diperoleh atau dinikmati dari alam harus diprioritaskan untuk
memenuhi kebutuhan manusia pada masa kini atau bahkan hari ini tanpa peduli apakah prioritas
tersebut akan mengancam keselamatan generasi penerus atau tidak. Yang pokok, manusia masa kini
atau hari ini selamat. Sebab, tanpa masa kini atau hari ini, tak ada masa depan.
Di titik itu, eksplorasi kekayaan alam yang berubah menjadi eksploitasi kekayaan alam tak akan
pernah ditempatkan sebagai tindakan kekerasan. Begitu pula dengan perilaku lain yang tak
menunjukkan keramahan pada alam, seperti menebang pohon dan membunuh satwa di hutan
lindung, pembalakan liar atau illegal logging, pembuangan limbah pabrik ke sungai secara
serampangan, pembuangan sampah secara sembarangan, pencemaran udara, pemanfaatan kertas
yang berlebihan, serta pembangunan gedung yang penuh dengan kaca. Padahal, dalam konteks
lingkungan dan pembangunan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menegaskan bahwa salah satu
prinsip kunci pembangunan berkelanjutan adalah upaya memenuhi kebutuhan sekarang tanpa
mengesampingkan kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
Dalam konteks Indonesia, Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan
bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya perlu dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik generasi sekarang maupun mendatang.
Kalau kita tidak dapat bertindak untuk melindungi bumi, air, dan kekayaan alam, ongkos yang akan
kita tanggung akan menjadi begitu langsung dan menekan lantaran konsekuensinya begitu besar.
Anak-cucu kita pada masa mendatang pun akan membayar jauh lebih mahal karena beban yang kita
wariskan begitu berat, yakni kerusakan alam yang sangat parah.
Kalau perilaku yang berhubungan langsung dengan alam atau lingkungan hidup saja tak
ditempatkan sebagai tindakan kekerasan, apalagi perilaku yang tak berkaitan langsung. Padahal,
perilaku tersebut bisa lebih mengancam keselamatan manusia masa kini sekaligus masa depan.
Misalnya, konsep pembangunan dan produksi yang eksploitatif, korupsi dana reboisasi, korupsi

dana penanganan bencana alam atau banjir, penyuapan atau penyogokan dalam kasus pelanggaran
peraturan lingkungan hidup, kelalaian dalam pengawasan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup, serta kelalaian dalam pengantisipasian kemungkinan terjadinya bencana alam atau banjir.
Populasi manusia di bumi diperkirakan melewati delapan miliar pada 2025, sedangkan pertumbuhan
perekonomian global yang cepat akan makin memacu eksploitasi terhadap sumber daya alam.
Akibatnya, dunia akan menghadapi kelangkaan sumber daya alam. Menurut Thomas F. HomerDixon, kelangkaan tersebut akan memiliki konsekuensi sosial yang mendalam: berkontribusi pada
terjadinya pemberontakan, bentrokan etnis, kerusuhan sosial di perkotaan, dan bentuk lain kekerasan
sipil, terutama di negara- negara berkembang. Di lini ekonomi, menurut John B. Cobb, perluasan
produksi akan menambah kekerasan terhadap lingkungan, sehingga mempercepat kelelahan sumber
daya dan pencemaran lingkungan.
Karena itu, setiap perilaku yang tak ramah lingkungan sudah saatnya ditempatkan sebagai tindakan
kekerasan dalam perspektif yang luas sebagaimana dipahami Johan Galtung. Sosiolog kelahiran
Oslo, Norwegia, 24 Oktober 1930, tersebut memang menerjemahkan kekerasan secara sangat luas.
Baginya, kekerasan juga bisa muncul jika manusia dipengaruhi sedemikian rupa, sehingga realisasi
jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya. Tingkat realisasi potensial
merupakan apa yang mungkindirealisasikan terhadap suatu kenyataan sesuai dengan tingkat
wawasan, sumber daya, dan kemajuan yang telah dicapai pada zamannya. Dia menggabungkan
tersedianya fasilitas dan mobilitas dengan kemauan baik untuk mengatasi kekerasan.
Bila wawasan, sumber daya, dan hasil kemajuan disalahgunakan untuk tujuan lain atau dimonopoli
segelintir orang saja, ada kekerasan dalam sistem tersebut. Misalnya, banjir yang rutin terjadi di
negeri ini. Hujan yang menjadi salah satu penyebab banjir memang tak dapat dipastikan kapan
turunnya, tapi kita mengenal rentang masa ketika hujan biasa luruh ke bumi. Kita paham wilayahwilayah yang rutin dilanda banjir. Kita juga mafhum bahwa tak biasanya masyarakat membuat
sampah di tempatnya turut berpotensi mengundang banjir. Kalau kondisi-kondisi yang secara
langsung atau tak langsung dapat memicu terjadinya banjir kurang atau tidak diantisipasi atau
bahkan dibiarkan, pada saat yang sama, kekerasan telah dimulai. Ketika banjir meratakan banyak
wilayah serta pelbagai alasan langsung dan tak langsung meluapkan ketidakmampuan atau
kekurangmampuan penanganannya, kekerasan telah sungguh-sungguh menenggelamkan tubuhtubuh masyarakat. Karena itu, setiap perusak alam atau lingkungan hidup semestinya dikenai sanksi
atau hukuman lebih berat. Bukan hanya sanksi administratif, penjara 1-15 tahun, dan denda Rp500
juta-Rp15 miliar sebagaimana yang dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sebab, taruhannya bukan hanya manusia
dan makhluk hidup masa kini, tapi juga manusia dan makhluk hidup masa depan. Apalagi, misalnya,
fakta menunjukkan, laju kerusakan hutan Indonesia yang 2,8 juta hektare per tahun terjadi akibat
lemahnya pengawasan dan ringannya sanksi terhadap pelaku perusakan hutan. Kalau belum lama ini
Ketua Mahkamah Konsititusi, Mahfud M.D., menyarankan pada hakim berani mengganjar setiap
koruptur dengan hukuman mati lantaran peraturannya memungkinkan, apalagi sanksi terhadap
setiap koruptur dana yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Sanksi
sosial pun dapat ditimpakan kepada perusak alam atau lingkungan hidup. Cuma, hal itu butuh waktu
yang panjang lantaran selama ini masyarakat tak menempatkan perusakan alam atau lingkungan
dalam horison kekerasan. Untuk itu, penanaman kesadaran terhadap setiap pemimpinbaik formal
maupun informal, mulai dari tataran terkecil seperti pemimpin keluarga hingga aras tertinggi seperti
pemimpin negarA setiap agen atau calon agen perubahan, dan setiap generasi penerus menjadi
sangat penting.

Di sisi lain, setiap individu atau lembaga yang berperilaku atau berkontribusi pada upaya-upaya
pelestarian alam atau lingkungan hidup juga mesti diapresiasi. Misalnya, pemberian insentif pajak
terhadap perusahaan atau insitusi yang intens melakukan kegiatan-kegiatan yang ramah lingkungan.
Atau, pengurangan tarif pajak bumi dan bangunan (PBB) atau pemberlakukan tarif PBB yang
berbeda terhadap pemilik tanah dan bangunan yang berperilaku ramah lingkungan. Misalnya,
beranda rumahnya tak ditutup keramik ataupun adukan semen atau bahkan ditanami hingga rimbun
dan dibikinkan lubang-lubang resapan air (biopori). Anugerah Kalpataru dapat diberikan pada
aktivitas pelestarian alam yang lebih beragam, sehingga mampu mengakomodasi kegiatan-kegiatan
yang lebih sederhana, tapi membumi dan inspiratif.

Anda mungkin juga menyukai