Anda di halaman 1dari 22

EDEMA SEREBRI

PENDAHULUAN
Edema serebri atau edema otak adalah keadaan patologis terjadinya akumulasi
cairan di dalam jaringan otak sehingga meningkatkan volume otak. Dapat terjadi
peningkatan volume intraseluler (lebih banyak di daerah substansia grisea)
maupuri ekstraseluler (daerah substansia alba), yang menyebabkan terjadinya
peningkatan tekanan intrakranial.
ETIOLOGI
Edema otak dapat muncul pada kondisi neurologis dan nonneurologis:
1. Kondisi neurologis: Stroke iskemik dan perdarahan intraserebral, trauma kepala,
tumor otak, dan infeksi otak.
2. Kondisi non neurologis: Ketoasidosis diabetikum, koma asidosis laktat,
hipertensi maligna, ensefalopati, hiponatremia, ketergantungan pada opioid, gigitan
reptil tertentu, atau high altitude cerebral edema (HACE).
KLASIFIKASI
Edema otak dapat terjadi intraseluler, ekstraseluler (interstisial), atau kombinasi
keduanya. Edema sel otak (edema sitotoksik) dapat terjadi akibat hiperosmolaritas
intraseluler atau akibat hipotonisitas ekstraseluler. Edema ekstraseluler (interstisial)
terjadi akibat adanya timbunan cairan di ruang ekstraseluler parenkim otak, yang
dapat berupa edema hidrostatik, vasogenik, osmotik, dan ekstraseluler akibat
hidrosefalus. Berbagai bentuk edema tidak selalu muncul sendiri-sendiri melainkan
lebih sering muncul bersamaan.
DIAGNOSIS
Pada kondisi terjadi peningkatan tekanan intrakranial dapat ditemukan tanda dan
gejala berupa:

1. Nyeri kepala hebat.


2. Muntah; dapat proyektil maupun tidak.
3. Penglihatan kabur.
4. Bradikardi dan hipertensi; terjadi akibat iskemi dan terganggunya pusat
vasomotor medular. Hal ini merupakan mekanisme untuk mempertahankan aliran
darah otak tetap konstan pada keadaan meningkatnya resistensi serebrovaskular
akibat kompresi pembuluh darah kapiler serebral oleh edema.
5. Penurunan frekuensi dan dalamnya pemapasan; respirasi menjadi lambat dan
dangkal secara progresif akibat peningkatan tekanan intrakranial (TIK) yang
menyebabkan herniasi unkal. Saat terjadi kompresi batang otak, timbul perubahan
pola pernapasan menjadi pola Cheyne-Stokes, kemudian timbul hiperventilasi,
diikuti dengan respirasi yang ireguler, apnea, dan kematian.
6. Gambaran papiledema pada funduskopi; ditandai dengan batas papil yang tidak
tegas, serta cup and disc ratio lebih dari 0,2.
Dapat dilakukan pemeriksaan CT scan atau MRI otak untuk melihat etiologi dan
luas edema serebri.
PENATALAKSANAAN
1. Posisi Kepala dan Leher. Posisi kepala harus netral dan kompresi vena jugularis
harus dihindari. Fiksasi endotracheal tube (ETT) dilakukan dengan menggunakan
perekat yang kuat dan jika posisi kepala perlu diubah harus dilakukan dengan hatihati dan dalam waktu sesingkat mungkin.
Untuk mengurangi edema otak dapat dilakukan elevasi kepala 30.
2. Analgesik, Sedasi, dan Zat Paralitik. Nyeri, kecemasan, dan agitasi
meningkatkan kebutuhan metabolisme otak, aliran darah otak, dan tekanan
intrakranial. Oleh karena itu, analgesik dan sedasi yang tepat diperlukan untuk
pasien edema otak. Pasien yang menggunakan ventilator atau ETT harus diberi
sedasi supaya tidak memperberat TIK. Obat sedasi yang sering digunakan untuk
pasien neurologi diantaranya adalah opiat, benzodiazepin, dan propofol.
3. Ventilasi dan Oksigenasi. Keadaan hipoksia dan hiperkapnia harus dihindari
karena merupakan vasodilator serebral poten yang menyebabkan penambahan

volume darah otak sehingga terjadi peningkatan TIK, terutama pada pasienm
dengan pernicabilitas kapilcr yang abnormal. Intubasi dan ventilasi mekanik
diindikasikan jika ventilasi atau oksigenasi pada pasien edema otak buruk.
4. Penatalaksanaan Cairan. Osmolalitas serum yang rendah dapat menyebabkan
edema sitotoksik sehingga harus dihindari. Keadaan ini dapat dicegah dengan
pembatasan ketat pemberian cairan hipotonik (balans 200 ml).
5. Penatalaksanaan Tekanan Darah. Tekanan darah yang ideal dipengaruhi oleh
penyebab edema otak. Pada pasien stroke dan trauma, tekanan darah harus
dipelihara dengan cara menghindari kenaikan tekanan darah tiba-tiba dan
hipertensi yang sangat tinggi untuk menjaga perfusi tetap adekuat. Tekanan perfusi
serebral harus tetap terjaga di atas 60-70 mmHg pascatrauma otak.
6. Pencegahan Kejang, Demam, dan Hiperglikemi. Kejang, de-mam, dan
hiperglikemi merupakan faktor-faktor yang dapat memperberat sehingga harus
dicegah atau diterapi dengan baik bila sudah terjadi. Penggunaan antikonvulsan
profilaktik seringkali diterapkan dalam praktek klinis. Suhu tubuh dan kadar
glukosa darah kapiler harus tetap diukur.
Terapi Osmotik
Terapi osmotik menggunakan manitol dan salin hipertonik.
Manitol
Efek Ostnotik
Efek Hemodinamik
Efek Oxygen Free Radical Scavenging
Dosis awal manitol 20% 1-1,5 g/kgBB IV bolus, diikuti dengan 0,25-0,5 g/kgBB
IV bolus tiap 4-6 jam. Efek mak-simum terjadi setelah 20 menit pemberian dan
durasi kerjanya 4 jam.
Pernberian manitol ini harus disertai pemantauan kadar osmolalitas serum.
Osmolalitas darah yang terlalu tinggi akan meningkatkan risiko gagal ginjal
(terutama pada pasien yang sebelumnya sudah mengalami vollyrfg depletion).
Kadar osmolalitas serum tidak boleh lebih dan 320 mOsmol/L.
Salin Hipertonik
Cairan salin hipertonik (NaC1 3%) juga dapat digunakan sebagai alternatif
pengganti manitol dalam terapi edema otak. Mekanisme kerjanya kurang lebih
sama dengan manitol, yaitu dehidrasi osmotik.

Steroid
Glukokortikoid efektif untuk mengatasi edema vasogenik yang menyertai tumor,
peradangan, dan kelainan lain yang berhubungan dengan peningkatan
permeabilitas sawar darah-otak, termasuk akibat manipulasi pembedahan. Namun,
steroid tidak berguna untuk mengatasi edema sitotoksik dan berakibat buruk pada
pasien iskemi otak.
Deksametason paling disukai karena aktivitas mineralokorti-koidnya yang sangat
rendah. Dosis awal adalah 10 mg IV atau per oral, dilanjutkan dengan 4 mg setiap
6 jam. Dosis ini ekuivalen dengan 20 kali lipat produksi kortisol normal yang
fisiologis. Responsnya seringkali muncul dengan cepat namun pada beberapa jenis
tumor hasilnya kurang responsif. Dosis yang lebih tinggi, hingga 90 mg/hari, dapat
diberikan pada kasus yang refrakter. Setelah penggunaan selama berapa hari, dosis
steroid harus diturunkan secara bertahap (tape* off) untuk menghindari komplikasi
serius yang mungkin timbul, yaitu edema rekuren dan supresi kelenjar adrenal.
Deksametason kini direkomendasikan untuk anak > 2 bulan penderita meningitis
bakterialis. Dosis yang dianjurkan adalah 0,15 mg/kg IV setiap 6 jam pada 4 hari
pertama pengobatan disertai dengan terapi antibiotik. Dosis pertama harus
diberikan sebelum atau bersamaan dengan terapi antibiotik (lihat bab meningitis
bakterialis).
Hiperventilasi
Sasaran pCO, yang diharapkan adalah 30-35 mmHg agar menimbulkan
vasokonstriksi serebral sehingga menurunkan volume darah serebral.
Barbiturat
Barbiturat dapat menurunkan tekanan intrakranial secara efektif pada pasien cedera
kepala berat dengan hemodinamik yang stabil. Terapi ini biasanya digunakan pada
kasus yang refrakter terhadap pengobatan lain maupun penanganan TIK dengan
pembedahan.
Furosemid
Terkadang dikombinasikan dengan manitol. Terapi kombinasi ini telah terbukti
berhasil pada beberapa penelitian. Furosemid dapat meningkatkan efek manitol,
namun harus diberikan dalam dosis tinggi, sehingga risiko terjadinya kontraksi
volume melampaui manfaat yang diharapkan. Peranan asetasolamid, penghambat
karbonik anhidrase yang mengurangi produksi CSS, terbatas pada pasien highaltitude illness dan hipertensi intrakranial benigna.

Induksi hipotermi telah digunakan sebagai intervensi neuroproteksi pada pasien.


dengan lesi serebral akut.
DAFTAR PUSTAKA

1.

Price AS. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. EGC. 2006

2.

Panitia Lulusan Dokter 2002-2003 FKUI, Update In Neuroemergencies, Balai Penerbit FKUI Jakarta,
2002. 24-26.

3.

Caplan, Louis R. Stroke. A Clinical Approach, 2 nd Edition. British Library Cataloguing-in- Publication
Data. 1993. 179-180.

4.

Harsono. Buku Anjar Neurologi Klinis, Yogyakarta; UGM Press, 2005

5.

Campbel, WW. The Neurologic Examination. Lippincott Willems and Wilkens 530 Walnut Street,
Philadelphia, 2005. 600-6001.

6.

Millikan HC, dkk. Stroke. Lea and Febiger, Philadelphia. 1987; 35-37.

7.

Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat. 2003.

8.

Sidharta, P. Neurologi Klinis dalam Praktek Umum. Dian Rakyat 2004.

9.

American Stroke Association. Stroke, 2000. Dikutip dari stroke. ahajournals.org.

10.

Wibowo, S. Bofir A. Farmakoterapi dalam Neurologi. Penerbit Salemba Medika. 2001. 64-65.

Monggo dibagi :

MIGREN (migraine)

BAB I
PENDAHULUAN
Nyeri kepala merupakan keluhan yang sering dikeluhkan oleh pasien. Salah satu
keluhan tersebut adalah nyeri kepala sebelah atau yang dikenal sebagai migren.
30-40 % penduduk USA pernah mengalami nyeri kepala hebat pada masa
hidupnya, dimana nyeri tegang otot dan migraine menduduki peringkat nomor
satu.1
Migren merupakan penyakit yang sering terjadi di masyarakat baik mulai dari
anak-anak sampai dewasa, akan tetapi jarang setelah umur 40 tahun. Diperkirakan
9% dari laki-laki, 16% dari wanita, dan 3-4% dari anak-anak menderita migren.
Dua perseratus dari kunjungan baru di unit rawat jalan penyakit saraf menderita
nyeri kepala migren. 2
Migren merupakan nyeri kepala primer. Nyeri kepala biasanya terasa berdenyut di
satu sisi kepala (unilateral) dengan intensitas sedang sampai berat dan bertambah
dengan aktivitas. Dapat disertai mual dan atau muntah atau fonofobia dan fotofobia
Banyaknya dan frekuensi serangan sangat beraneka-ragam, dari tiap hari sampai
satu serangan per minggu atau bulan.1
Meski belum diketahui pasti penyebabnya, migrain diperkirakan terjadi akibat
adanya hiperaktivitas impuls listrik otak yang meningkatkan aliran darah di otak
dan mengakibatkan terjadinya pelebaran pembuluh darah otak serta proses
inflamasi (peradangan). Pelebaran dan inflamasi ini menyebabkan timbulnya nyeri
dan gejala lain, seperti mual. Semakin berat inflamasi yang terjadi, semakin berat
pula migrain yang diderita. Faktor genetik umumnya sangat berperan pada
timbulnya migren.
Nyeri kepala ini merupakan penyakit yang sering menyebabkan disabilitas, di lain
pihak sampai saat ini tampaknya belum ada pengobatan yang dapat
menyembuhkan migren kecuali hanya usaha mengendalikan serangan nyeri kepala

ini. Diagnosis yang akurat, memberi penerangan mengenai penyakitnya, berusaha


menenangkan pasien serta memberi perhatian dan mengajak pasien bekerja sama
dalam mengenal gejala dini dan gejala migren pada umumnya serta tindakan
penanggulangannya merupakan bagian dari penatalaksanaan migren yang dapat
menurunkan angka morbiditas pasien.1
BAB II
II. 1 DEFINISI
Migren adalah serangan nyeri kepala berulang, dengan karakteristik lokasi
unilateral, berdenyut dan frekuensi, lama serta hebatnya rasa nyeri yang beraneka
ragam.2,3,5Blau mengusulkan definisi migren sebagai berikut nyeri kepala yang
berulang-ulang dan berlangsung 2-72 jam dan bebas nyeri antara serangan nyeri
kepalanya harus berhubungan dengan gangguan visual atau gastrointestinal atau
keduanya.2
Angka kejadian
Migren dapat terjadi pada anak-anak sampai orang dewasa, biasanya jarang terjadi
setelah berumur lebih dari 50 tahun. Angka kejadian migren dalam kepustakaan
berbeda-beda pada setiap negara, umumnya berkisar antara 5 6 % dari populasi.
Di Indonesia belum ada data secara kongkret. Pada wanita migren lebih banyak
ditemukan dibanding pria dengan skala 2:1. Wanita hamil tidak luput dari serangan
migren, pada umumnya serangan muncul pada kehamilan trimester I.
II. 2 KLASIFIKASI
Klasifikasi migren menurut International Headache Society (IHS):
1. Migrain tanpa aura (common migraine)- Nyeri kepala selama 4-72 jam tanpa
terapi. Sekurang-kurangnya 10 kali serangan. Pada anak-anak kurang dari 15
tahun, nyeri kepala dapat berlangsung 2-48 jam.
- Nyeri kepala minimal mempunyai dua karakteristik berikut ini:
Lokasi unilateralKuafitas berdenyut
Intensitas sedang sampai berat yang menghambat aktivitas sehari-hari.
Diperberat dengan naik tangga atau aktivitas fisik rutin.
- Selama nyeri kepala, minimal satu dari gejala berikut muncul:
Mual dan atau muntah
Fotofobia dan fonofobia- Minimal terdapat satu dari berikut:
Riwayat dan pemeriksaan fisik tidak mengarah pada kelainan lain.
Riwayat dan pemeriksaan fisik mengarah pada kelainan lain, tapi telah
disingkirkan dengan pemeriksaan penunjang yang memadai (mis: MRI atau CT

Scan kepala)
2. Migrain dengan aura (classic migraine)
- Terdiri dari empat fase yaitu: fase prodromal, fase aura, fase nyeri kepala dan fase
postdromal.
- Aura dengan minimal 2 serangan
- Terdapat minimal 3 dari 4 karakteristik sebagai berikut :
Satu gejala aura atau lebih mengindikasikan disfungsi CNS fokal (mis: vertigo,
tinitus, penurunan pendengaran, ataksia, gejala visual pada hemifield kedua mata,
disartria, diplopia, parestesia, paresis, penurunan kesadaran) Gejala aura timbul
bertahap selama lebih dari 4 menit atau dua atau lebih gejala aura terjadi bersamasama Tidak ada gejala aura yang berlangsung lebih dari 60 menit; bila lebih dari
satu gejala aura terjadi, durasinya lebih lama
Nyeri kepala mengikuti gejala aura dengan interval bebas nyeri kurang dari 60
menit, tetapi kadang-kadang dapat terjadi sebelum aura.
- Sekurang-kurangnya terdapat satu dari yang tersebut dibawah ini :
Riwayat dan pemeriksaan fisik tidak mengarah pada kelainan lain.
Riwayat dan pemeriksaan fisik mengarah pada kelainan lain, tapi telah
disingkirkan dengan pemeriksaan penunjang yang memadai (mis: MRI atau CT
Scan kepala)
3. Migraine with prolonged aura
- Memenuhi kriteria migren dengan aura tetapi aura terjadi selama lebih dari 60
menit dan kurang dari 7 hari.
4. Basilar migraine (menggantikan basilar artery migraine)
- Memenuhi kriteria migren dengan aura dengan dua atau lebih gejala aura sebagai
berikut: vertigo, tinnitus, penurunan pendengaran, ataksia, gejala visual pada
hemifield kedua mata, disartria, diplopia, parestesia bilateral, paresis bilateralda
penurunan derajat kesadaran.
5. Migraine aura without headache (menggantikan migraine equivalent atau
achepalic migraine)
- Memenuhi kriteria migren dengan aura tetepi tanpa disertai nyeri kepala
6. Benign paroxysmal vertigo of childhood- Episode disekuilibrium, cemas,
seringkali nystagmus atau muntah yang timbul secara sporadis dalam waktu
singkat.
- Pemeriksaan neurologis normal.
- Pemeriksaan EEG normal
7. Migrainous infraction (menggantikan complicated migraine)
- Telah memenuhi kriteria migren dengan aura.
- Serangan yang terjadi sama persis dengan serangan yang sebelumnya, akan tetapi
defisit neurologis tidak sembuh sempurna dalam 7 hari dan atau pada pemeriksaan

neuroimaging didapatkan infark iskemik di daerah yang sesuai- Penyebab infark


yang lain disingkirkan dengan pemeriksaan yang memadai.
8. Migren oftalmoplegik dengan ciri-ciri:
Migren yang dicirikan oleh serangan berulang-ulang yang berhubungan dengan
paresis
Tidak ada kelainan organik.
Paresis pada saraf otak ke III, IV, VI
9. Migren hemiplegic familial
- migren dengan aura termasuk hemiparesis dengan criteria klinik yang sama
seperti migren aura dan sekurang-kurangnya seorang keluarga terdekat memiliki
riwayat migren yang sama
10. Migren retinal dengan ciri-ciri:
Terjadi berulang kali dalam bentuk buta tidak lebih dari 1 jam. Gangguan okuler
dan vaskuler tidak dijumpai.
11. Migren yang berhubungan dengan intrakranial dengan ciri-ciri:
Gangguan intrakranial berhubungan dengan awitan secara temporal.
Aura dan lokasi nyeri kepala berhubungan erat dengan jenis lesi intrakranial.
Aura ialah gejala fokal neurologi yang komplek dan dapat timbul sebelum, pada
saat atau setelah serangan nyeri kepala
II. 3 ETIOLOGI DAN FAKTOR PENCETUS
Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti faktor penyebab migren, di duga
sebagai gangguan neurobiologis, perubahan sensitivitas sistim saraf dan avikasi
sistem trigeminal-vaskular, sehingga migren termasuk dalam nyeri kepala primer.
Diketahui ada beberapa faktor pencetus timbulnya serangan migren yaitu:
1. Menstruasi biasa pada hari pertama menstruasi atau sebelumnya/ perubahan
hormonal.
Beberapa wanita yang menderita migren merasakan frekuensi serangan akan
meningkat saat masa menstruasi. Bahkan ada diantaranya yang hanya merasakan
serangan migren pada saat menstruasi. Istilah menstrual migraine sering
digunakan untuk menyebut migren yang terjadi pada wanita saat dua hari sebelum
menstruasi dan sehari setelahnya. Penurunan kadar estrogen dalam darah menjadi
biang keladi terjadinya migren.
2. Kafein
Kafein terkandung dalam banyak produk makanan seperti minuman ringan, teh,
cokelat, dan kopi. Kafein dalam jumlah sedikit akan meningkatkan kewaspadaan
dan tenaga, namun bila diminum dalam dosis yang tinggi akan menyebabkan
gangguan tidur, lekas marah, cemas dan sakit kepala
3. Puasa dan terlambat makan
Puasa dapat mencetuskan terjadinya migren oleh karena saat puasa terjadi

pelepasan hormon yang berhubungan dengan stress dan penurunan kadar gula
darah. Hal ini menyebabkan penderita migren tidak dianjurkan untuk berpuasa
dalam jangka waktu yang lama.
4. Makanan misalnya akohol, coklat, susu, keju dan buah-buahan.
Cokelat dilaporkan sebagai salah satu penyebab terjadinya migren, namun hal ini
dibantah oleh beberapa studi lainnya yang mengatakan tidak ada hubungan antara
cokelat dan sakit kepala migren. Anggur merah dipercaya sebagai pencetus
terjadinya migren, namun belum ada cukup bukti yang mengatakan bahwa anggur
putih juga bisa menyebabkan migren. Tiramin (bahan kimia yang terdapat dalam
keju, anggur, bir, sosis, dan acar) dapat mencetuskan terjadinya migren, tetapi tidak
terdapat bukti jika mengkonsumsi tiramin dalam jumlah kecil akan menurunkan
frekuensi serangan migren. Penyedap masakan atau MSG dilaporkan dapat
menyebabkan sakit kepala, kemerahan pada wajah, berkeringat dan berdebar debar
jika dikonsumsi dalam jumlah yang besar pada saat perut kosong. Fenomena ini
biasa disebut Chinese restaurant syndrome. Aspartam atau pemanis buatan yang
banyak dijumpai pada minuman diet dan makanan ringan, dapat menjadi pencetus
migren bila dimakan dalam jumlah besar dan jangka waktu yang lama.
5. Cahaya kilat atau berkelip.
Cahaya yang terlalu terang dan intensitas perangsangan visual yang terlalu tinggi
akan menyebabkan sakit kepala pada manusia normal. Mekanisme ini juga berlaku
untuk penderita migren yang memiliki kepekaan cahaya yang lebih tinggi daripada
manusia normal. Sinar matahari, televisi dan lampu disko dilaporkan sebagai
sumber cahaya yang menjadi faktor pencetus migren.6. Psikis baik pada peristiwa
duka ataupun pada peristiwa bahagia (stress)
7. Banyak tidur atau kurang tidur
Gangguan mekanisme tidur seperti tidur terlalu lama, kurang tidur, sering terjaga
tengah malam, sangat erat hubungannya dengan migren dan sakit kepala tegang,
sehingga perbaikan dari mekanisme tidur ini akan sangat membantu untuk
mengurangi frekuensi timbulnya migren. Tidur yang baik juga dilaporkan dapat
memperpendek durasi serangan migren.
8. Faktor herediter
9. Faktor kepribadian
II. 4 GEJALA DAN TANDA
1. Jenis nyeri kepala berdenyut-denyut adalah khas untuk menunjukan nyeri kepala
vaskuler, selain itu terasa tertusuk-tusuk atau kepala mau pecah.
2. Migren merupakan nyeri kepala episodik berlangsung selama 5 20 jam tetapi
tidak lebih dari 72 jam.3. Puncak nyeri 1-2 jam setelah awitan dan berlangsung 6
36 jam.
4. Waktu terjadinya migren dapat muncul sewaktu-waktu baik siang maupun

malam, tetapi sering kali mulai pada pagi hari.


5. Lokasi migren sering bersifat unilateral (satu sisi) biasanya pada daerah frontal,
temporal, namun suatu saat dapat menyeluruh.
6. Nyeri berdenyut dari migren sering ditutupi oleh perasaan nyeri yang bersifat
terus menerus.
7. Gejala yang menyertai migren adalaho Mual, muntah, dan anoreksia.
o Gejala visual baik yang positif dan negatif.
o Gejala hemiferik.
1. Hemiparesis
2. Parestesia
3. Gangguan berbahasa.
4. Gangguan batang otak:
1. Vertigo
2. Disartria3. Ataksia4. Diplopia
5. Kuandriparesis
8. Aktivitas bekerja memperberat terjadinya migren.
9. Migren mereda apabila dipakai untuk istirahat, menghindari cahaya dan tidur.
Migren merupakan suatu penyakit kronis, bukan sekedar sakit kepala. Secara
umum terdapat 4 fase gejala, meskipun tak semua penderita migren mengalami
keempat fase ini. Keempat fase tersebut adalah : fase prodromal, aura, serangan,
dan postdromal.
A. Fase Prodromal
Fase ini terdiri dari kumpulan gejala samar / tidak jelas, yang dapat mendahului
serangan migren. Fase ini dapat berlangsung selama beberapa jam, bahkan dapat 12 hari sebelum serangan. Gejalanya antara lain:
o Psikologis : depresi, hiperaktivitas, euforia (rasa gembira yang berlebihan),
banyak bicara (talkativeness), sensitif / iritabel, gelisah, rasa mengantuk atau
malas.
o Neurologis : sensitif terhadap cahaya dan/atau bunyi (fotofobia & fonofobia),
sulit berkonsentrasi, menguap berlebihan, sensitif terhadap bau (hiperosmia)
o Umum : kaku leher, mual, diare atau konstipasi, mengidam atau nafsu makan
meningkat, merasa dingin, haus, merasa lamban, sering buang air kecil.
B. Aura
Umumnya gejala aura dirasakan mendahului serangan migren. Secara visual, aura
dinyatakan dalam bentuk positif atau negatif. Penderita migren dapat mengalami
kedua jenis aura secara bersamaan.Aura positif tampak seperti cahaya berkilauan,
seperti suatu bentuk berpendar yang menutupi tepi lapangan pengelihatan.

Fenomena ini disebut juga sebagai scintillating scotoma (scotoma = defek lapang
pandang). Skotoma ini dapat membesar dan akhirnya menutupi seluruh lapang
pandang. Aura positif dapat pula berbentuk seperti garis-garis zig-zag, atau
bintang-bintang.
Aura negatif tampak seperti lubang gelap/hitam atau bintik-bintik hitam yang
menutupi lapangan pengelihatannya. Dapat pula berbentuk seperti tunnel vision;
dimana lapang pandang daerah kedua sisi menjadi gelap atau tertutup, sehingga
lapang pandang terfokus hanya pada bagian tengah (seolah-seolah melihat melalui
lorong).
Beberapa gejala neurologis dapat muncul bersamaan dengan timbulnya aura.
Gejala-gejala ini umumnya: gangguan bicara; kesemutan; rasa baal; rasa lemah
pada lengan dan tungkai bawah; gangguan persepsi penglihatan seperti distorsi
terhadap ruang; dan kebingungan (confusion).
C. Fase Serangan
Tanpa pengobatan, serangan migren umumnya berlangsung antara 4-72 jam.
Migren yang disertai aura disebut sebagai migren klasik. Sedangkan migren tanpa
disertai aura merupakan migren umum (common migraine). Gejala-gejala yang
umum adalah:
1. Nyeri kepala satu sisi yang terasa seperti berdenyut-denyut atau ditusuk-tusuk.
Nyeri kadang-kadang dapat menyebar sampai terasa di seluruh bagian kepala
2. Nyeri kepala bertambah berat bila melakukan aktivitas
3. Mual, kadang disertai muntah
4. Gejala gangguan pengelihatan dapat terjadi
5. Wajah dapat terasa seperti baal / kebal, atau semutan
6. Sangat sensitif terhadap cahaya dan bunyi (fotofobia dan fonofobia)
7. Wajah umumnya terlihat pucat, dan badan terasa dingin
8. Terdapat paling tidak 1 gejala aura (pada migren klasik), yang berkembang
secara bertahap selama lebih dari 4 menit. Nyeri kepala dapat terjadi sebelum
gejala aura atau pada saat yang bersamaan.
D. Fase Postdromal
Setelah serangan migren, umumnya terjadi masa prodromal, dimana pasien dapat
merasa kelelahan (exhausted) dan perasaan seperti berkabut.
II. 5 PATOFISIOLOGI
Dulu migren oleh Wolff disangka sebagai kelainan pembuluh darah (teori
vaskular). Sekarang diperkirakan kelainan primer di otak. Sedangkan kelainan di
pembuluh darah sekunder. Ini didasarkan atas tiga percobaan binatang2:1.
Penekanan aktivitas sel neuron otak yang menjalar dan meluas (spreading
depression dari Leao)

Teori depresi yang meluas Leao (1944), dapat menerangkan tumbuhnya aura pada
migren klasik. Leao pertama melakukan percobaan pada kelinci. Ia menemukan
bahwa depresi yang meluas timbul akibat reaksi terhadap macam rangsangan lokal
pada jaringan korteks otak. Depresi yang meluas ini adalah gelombang yang
menjalar akibat penekanan aktivitas sel neuron otak spontan. Perjalanan dan
meluasnya gelombang sama dengan yang terjadi waktu kita melempar batu ke
dalam air. Kecepatan perjalanannya diperkirakan 2-5 mm per menit dan didahului
oleh fase rangsangan sel neuron otak yang berlangsung cepat. Jadi sama dengan
perjalanan aura pada migren klasik.
Percobaan ini ditunjang oleh penemuan Oleson, Larsen dan Lauritzen (1981).
dengan pengukuran aliran darah otak regional pada penderita-penderita migren
klasik. Pada waktu serangan migren klasik, mereka menemukan penurunan aliran
darah pada bagian belakang otak yang meluas ke depan dengan kecepatan yang
sama seperti pada depresi yang meluas. Mereka mengambil kesimpulan bahwa
penurunan aliran darah otak regional yang meluas ke depan adalah akibat dari
depresi yang meluas.
Terdapat persamaan antara percobaan binatang oleh Leao dan migren klinikal,
akan tetapi terdapat juga perbedaan yang penting, misalnya tak ada fase
vasodilatasi pada pengamatan pada manusia, dan aliran darah yang berkurang
berlangsung terus setelah gejala aura. Meskipun demikian, eksperimen perubahan
aliran darah memberi kesan bahwa manifestasi migren terletak primer di otak dan
kelainan vaskular adalah sekunder.
2. Sistem trigemino-vaskular
Pembuluh darah otak dipersarafi oleh serat-serat saraf yang mengandung. substansi
P (SP), neurokinin-A (NKA) dan calcitonin-gene related peptid (CGRP).

Semua ini berasal dari ganglion nervus


trigeminus sesisi SP, NKA. dan CGRP menimbulkan pelebaran pembuluh darah
arteri otak. Selain ltu, rangsangan oleh serotonin (5hydroxytryptamine) pada
ujung-ujung saraf perivaskular menyebabkan rasa nyeri dan pelebaran pembuluh

darah sesisi.
Seperti diketahui, waktu serangan migren kadar serotonin dalam plasma
meningkat. Dulu kita mengira bahwa serotoninlah yang menyebabkan
penyempitan pembuluh darah pada fase aura. Pemikiran sekarang mengatakan
bahwa serotonin bekerja melalui sistem trigemino-vaskular yang menyebabkan
rasa nyeri kepala dan pelebaran pembuluh darah. Obat-obat anti-serotonin
misalnva cyproheptadine (Periactin) dan pizotifen (Sandomigran, Mosegor)
bekerja pada sistem ini untuk mencegah migren.
3. lnti-inti syaraf di batang otak
Inti-inti saraf di batang otak misalnya di rafe dan lokus seruleus mempunyai
hubungan dengan reseptor-reseptor serotonin dan noradrenalin.

Juga dengan pembuluh darah otak yang


letaknya lebih tinggi dan sumsum tulang daerah leher yang letaknya lebih rendah.
Rangsangan pada inti-inti ini menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak
sesisi dan vasodilatasi pembuluh darah di luar otak. Selain itu terdapat penekanan
reseptor-reseptor nyeri yang letaknya lebih rendah di sumsum tulang daerah leher.
Teori ini menerangkan vasokonstriksi pembuluh darah di dalam otak dan
vasodilatasi pembuluh darah di luar otak, misalnya di pelipis yang melebar dan
berdenyut.
Faktor pencetus timbulnya migren dapat dibagi dalam faktor ekstrinsik dan faktor
intrinsik. Faktor ekstrinsik, misalnya ketegangan jiwa (stress), baik emosional
maupun fisik atau setelah istirahat dari ketegangan, makanan tertentu, misalnya
buah jeruk, pisang, coklat, keju, minuman yang mengandung alkohol, sosis yang
ada bahan pengawetnya. Lain-lain faktor pencetus seperti hawa terlalu panas, terik
matahari, lingkungan kerja yang tak menyenangkan, bau atau suara yang tak

menyenangkan. Faktor intrinsik, misalnya perubahan hormonal pada wanita yang


nyeri kepalanya berhubungan dengan hari tertentu siklus haid. Dikatakan bahwa
migren menstruasi ini jarang terdapat, hanya didapatkan pada 3 dari 600-700
penderita. Pemberian pil KB dan waktu menopause sering mempengaruhi serangan
migren.
Mual dan muntah mungkin disebabkan oleh kerja dopamin atau serotonin pada
pusat muntah di batang otak (chemoreseptor trigger zone/ CTZ). Sedangkan
pacuan pada hipotalamus akan menimbulkan fotofobia. Proyeksi/pacuan dari LC
ke korteks serebri dapat mengakibatkan oligemia kortikal dan mungkin
menyebabkan penekanan aliran darah, sehingga timbulah aura7.
Pencetus (trigger) migren berasal dari:
1. Korteks serebri: sebagai respon terhadap emosi atau stress,
2. Talamus: sebagai respon terhadap stimulasi afferen yang berlebihan: cahaya
yang menyilaukan, suara bising, makanan,
3. Bau-bau yang tajam,
4. Hipotalamus sebagai respon terhadap 'jam internal" atau perubahan
"lingkungan" internal (perubahan hormonal),
5. Sirkulasi karotis interna atau karotis eksterna: sebagai respon terhadap
vasodilator, atau angiografi.
II. 6 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Banyak dokter yang meminta suatu serial pemeriksaan darah untuk pemeriksaan
penyakit kelenjar gondok, anemia atau infeksi yang dapat menyebabkan sakit
kepala. Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan sken otak seperti computed
tomographic scan (CT-scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) untuk
menepis gangguan otak yang serius. Jika dicurigai adanya aneurisma pembuluh
darah otak, perlu dilakukan pemeriksaan angiogram.
Untuk mendiagnosis migren tidak selalu mudah, terutama pada pasien-pasien yang
memiliki gejala yang tidak jelas. Elektroensefalogram (EEG) dilakukan untuk
mengukur aktivitas kerja otak. EEG ini dapat mengidentifikasi suatu malfungsi
saraf otak, tetapi tidak dapat menunjukkan secara tepat masalah yang
menyebabkan suatu sakit kepala.
Termografi, suatu teknik percobaan yang sedang dikembangkan untuk
mendiagnosis sakit kepala dan menjanjikan untuk menjadi alat klinis yang berguna
dikemudian hari. Pada termografi, sebuah kamera infra merah akan mengubah
temperatur kulit menjadi suatu gambar yang berwarna atau suatu termogram
dengan berbagai warna yang berbeda sebagai akibat tingkat pemanasan yang
berbeda.
Temperatur kulit ini dipengaruhi oleh aliran darah. Para saintis menemukan

termogram pada pasien-pasien yang menderita sakit kepala menunjukkan pola


panas yang berbeda sangat menyolok dari mereka yang tidak pernah atau jarang
mengalami sakit kepala.
II. 7 DIAGNOSIS
Tidak ada pemeriksaan khusus untuk mendiagnosis migren. Untuk menentukan
sakit kepala yang diklasifikasikan sebagai migren adalah setelah dilakukan
pencatatan riwayat penyakit (anamnesis) dan pemeriksaan fisik yang lengkap.
Dokter akan menanyakan penderita mengenai gejala-gejala yang dialaminya.
Misalnya berapa sering sakit kepala terjadi, lokasi nyeri kepala, lamanya dan gejala
lainnya yang timbul sebelum, selama atau setelah sakit kepala tersebut.
Perlu suatu catatan harian yang mencatat karakteristik dari sakit kepala tersebut
yang dihubungkan dengan gaya hidup, diet, menstruasi dan penggunaan obat.
BAB III
III. 1 PENATALAKSANAAN
Penatalaksaan migrain secara garis besar dibagi atas mengurangi faktor resiko,
terapi farmaka dengan memakai obat dan terapi nonfarmaka. Terapi farmaka dibagi
atas dua kelompok yaitu terapi abortif (terapi akut) dan terapi preventif (terapi
pencegahan), walau pada terapi nonfarmaka juga dapat bertujuan untuk abortif dan
pencegahan. Terapi abortif merupakan pengobatan pada saat serangan akut yang
bertujuan untuk meredakan serangan nyeri dan disabilitas pada saat itu dan
menghentikan progresivitas. Pada terapi preventif atau profilaksis migrain terutama
bertujuan untuk mengurangi frekwensi, durasi dan beratnya nyeri kepala.1,4
1. Mengurangi faktor risiko/pencetus
- Stres dan kecemasan
- Kurang atau telalu banyak tidur, perubahan jadwal seperti jetlag.
- Hipoglikemia (terlambat makan)
- Kelelahan
- Perubahan hormonal seperti haid, obat hormonal
Kadar estrogen yang berfluktuasi dapat dilakukan dengan menghentikan pil KB
atau obat-obat pengganti estrogen
- Diet
Menghindari makanan tertentu cukup membantu pada 25-30% penderita
migrain. Secara umum, makanan yang harus dihindari adalah: MSG, beberapa
minuman beralkohol (anggur merah, prot, sherry, scotch, bourbon), keju (Colby,
Roquefort, Brie, Gruyere, cheddar, bleu, mozzarella, Parmesan, Boursault,
Romano), coklat, dan aspartame.

Diet dilakukan selama 1 bulan. Apabila setelah 1 bulan gejala tidak membaik,
berarti modifikasi diet tidak bermanfaat. Apabila makanan menjadi pencetus
gejala, maka jenis makanan tersebut harus diidentifikasi dengan cara
menambahkan satu jenis makanan sampai gejala muncul. Sebaiknya dibuat diari
makanan selama mengidentifikasi makanan apa yang menjadi pencetus migrain,
karena beberapa jenis makanan dapat langsung menimbulkan gejala (anggur
merah, MSG), sementara makanan lain baru menimbulkan gejala setelah 1 hari
(coklat, keju).2
2. Terapi farmaka migrain
Terapi Abortif
Pada terapi abortif dapat diberikan analgesia nonspesifik yaitu analgesia yang
dapat diberikan pada kasus nyeri lain selain nyeri kepala, dan atau analgesia
spesifik yang hanya bekerja sebagai analgesia nyeri kepala. Secara umum dapat
dikatakan bahwa terapi memakai analgesia nonspesifik masih dapat menolong
pada migrain dengan intensitas nyeri ringan sampai sedang. Pada kasus sedang
sampai berat atau berespons buruk dengan OAINS pemberian analgesia spesifik
lebih bermanfaat.
Domperidon atau metoklopramid sebagai antiemetik dapat diberikan saat serangan
nyeri kepala atau bahkan lebih awal yaitu pada saat fase prodromal. Fase
prodromal migrain dihubungkan dengan gangguan pada hipotalamus melalui
neurotransmiter dopamin dan serotonin. Pemberian antiemetik akan membantu
penyerapan lambung di samping meredakan gejala penyerta seperti mual dan
muntah. Kemungkinan timbulnya efek samping antiemetik seperti sedasi dan
parkinsonism pada orang tua patut diperhatikan.
Analgesik nonspesifik
Yang termasuk analgesia nonspesifik adalah asetaminofen (parasetamol), aspirin
dan obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS). Pada umumnya pemberian analgesia
opioid dihindari. Beberapa obat OAINS yang telah diteliti diberikan pada migrain
antara lain adalah:
- Diklofenak.
- Ketorolak.
- Ketoprofen.
- Indometasin.
- Ibuprofen.
- Naproksen.
- Golongan fenamat.
Ketorolak IM membantu pasien dengan mual atau muntah yang berat. Kombinasi
antara asetaminofen dengan aspirin atau OAINS serta penambahan kafein
dikatakan dapat menambah efek analgetik, dan dengan dosis masing-masing obat
yang lebih rendah diharapkan akan mengurangi efek samping obat. Mekanisme

kerja OAINS pada umumnya terutama menghambat enzim siklooksigenase


sehingga sintesa prostaglandin dihambat.1
Pasien diminta meminum obatnya begitu serangan migrain terasa. Dosis obat harus
adekuat baik secara obat tunggal atau kombinasi. Apabila satu OAINS tidak efektif
dapat dicoba OAINS yang lain. Efek samping pemberian OAINS perlu dipahami
untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Pada wanita hamil hindari
pemberian OAINS setelah minggu ke 32 kehamilan. Pada migrain anak dapat
diberikan asetaminofen atau ibuprofen.
Analgesik spesifik
Yang termasuk analgesik spesifik yang sering digunakan adalah ergotamin,
dihidroergotamin (DHE) dan golongan triptan yang merupakan agonis selektif
reseptor serotonin pada 5-HT1, terutama mengaktivasi reseptor 5HT I B / 1 D. Di
samping itu ergotamin dan DHE juga berikatan dengan reseptor 5-HT2, 1dan 2nonadrenergik dan dopamin.1
Analgesik spesifik dapat diberikan pada migrain dengan nyeri sedang sampai berat.
Pertimbangan harga kadang menjadi penghambat dipakainya analgesia spesifik ini,
walaupun golongan ini merupakan pilihan sebagai antimigren. Ergot lebih murah
dibanding golongan triptan tetapi efek sampingnya lebih besar. Penyebab lain yang
menjadi penghambat adalah preparat ini di Indonesia hanya tersedia dalam bentuk
oral dan dari golongan triptan hanya ada sumatriptan. Ergotamin dan DHE
diberikan pada migrain sedang sampai berat apabila analgesia nonspesifik kurang
terlihat hasilnya atau memberi efek samping. Dosis dan cara pemberian ergotamin
dan DHE harus diperhatikan. Kombinasi ergotamin dengan kafein bertujuan untuk
menambah absorpsi ergotamin selain sebagai analgesik pula. Hindari pada
kehamilan, hipertensi tidak terkendali, penyakit serebrovaskuler, kardiovaskuler
dan penyakit pembuluh perifer (hati-hati pada pasien > 40 tahun) serta gagal ginjal,
gagal hati dan sepsis. Efek samping yang mungkin timbul antara lain mual,
dizziness, parestesia, kramp abdominal. Ergotamin biasanya diberikan pada
episode serangan tunggal. Dosis dibatasi tidak melebihi 10 mg/minggu.1
Sumatriptan dapat meredakan nyeri, mual, fotofobia dan fonofobia sehingga
memperbaiki disabilitas pasien. Diberikan pada migrain berat atau pasien yang
tidak memberikan respon dengan analgesia nonspesifik dengan atau tanpa
kombinasi. Dosis awal sumatriptan adalah 50 mg dengan dosis maksimal dalam 24
jam 200 mg. Kontra indikasi antara lain adalah pasien, yang berisiko penyakit
jantung koroner, penyakit serebrovaskuler, hipertensi yang tidak terkontrol,
migrain tipe basiler. Efek samping berupa dizziness, heaviness, mengantuk, nyeri
dada non kardial, disforia.
Golongan triptan generasi kedua (zolmitriptan, eletriptan, naratriptan, rizatriptan)
yang tidak ada di Indonesia sebenarnya mempunyai respons yang lebih baik,

rekurensi nyeri kepala yang lebih rendah dan lebih dapat ditoleransi.
Nama obat CaraPemberian
Sumatriptan 6 mg SC
Rizatriptan 10 mg oral
Eletriptan 80 mg oral
Zolmitriptan 5 mg oral
Eletriptan 40 mg oral
Sumatriptan 20 mg intranasal
Sumatriptan 100mg oral
Rizatriptan 2,5 mg oral
Zolmitriptan 2,5 mg oral
Sumatriptan 50 mg oral
Naratriptan 2,5 mg oral
Eletriptan 20 mg oral .
Tabel 1. Analgesik triptan pada migraine
III. 2 TERAPI PROFILAKSIS
Terapi preventif harus selalu diminum tanpa melihat adanya serangan atau tidak.
Pengobatan dapat diberikan dalam jangka waktu episodik, jangka pendek (subakut)
atau jangka panjang (kronis). Terapi episodik diberikan apabila faktor pencetus
nyeri kepala dikenal dengan baik sehingga dapat diberikan analgesia sebelumnya.
Terapi preventif jangka pendek berguna apabila pasien akan terkena faktor risiko
yang telah dikenal dalam jangka waktu tertentu seperti pada migrain menstrual.
Terapi preventif kronis akan diberikan dalam beberapa bulan bahkan tahun
tergantung respons pasien. Biasanya diambil patokan minimal dua sampai tiga
bulan.
- Indikasi:
Penyakit kambuh beberapa kali dalam sebulan
Penyakit berlangsung terus menerus selama beberapa minggu atau bulan
Penyakit sangat mengganggu kuafitas/gaya hidup penderita.
Adanya kontra indikasi atau efek samping yang tidak dapat ditoleransi terhadap
terapi abortif.
Kecenderungan pemakaian obat yang berlebih pada terapi abortif.
- Terapi profilaksis lini pertama: calcium channel blocker (verapamil), antidepresan
trisiklik (nortriptyline), dan beta blocker (propanolol)
- Terapi profilaksis lini kedua: methysergide, asam valproat, asetazolamid.
- Mekanisme kerja obat-obat tersebut tidak seluruhnya dimengerti. Diduga obat
tersebut menghambat pelepasan neuropeptida ke dalam pembuluh darah dural

melalui efek antagonis pada reseptor 5-HT2. Satu jenis obat profilaksis tidak lebih
efektif daripada obat yang lain. oleh karena itu, bila tidak ada kontraindikasi,
verapamil lebih sering digunakan pada awal terapi karena efek sampingnya paling
minimal dibandingkan yang lain.
- Apabila dizziness tidak dapat dikontrol dengan satu obat, gunakan jenis obat yang
lain. Bila dizziness sudah terkontrol, obat diberikan terus menerus selama minimal
1 tahun (kecuali methysergide yang memerlukan interval bebas obat selama 3-4
minggu pada bulan ke-6 terapi). Obat dapat diberikan ulang pada tahun berikutnya
apabila dizziness muncul lagi setelah terapi dihentikan.
Nama obat ____Dosis____
Propranolol 40-240 mg/hari
Nadolol 20-160 mg/ hari
Metoprolol 50-100 mg/ hari
Timolol 20-60 mg/ hari
Atenolol 50-100 mg/ hari
Amitriptilin 10-200 mg/ hari
Nortriptilin 10-150 mg/ hari
Fluoksetin 10-80 mg/ hari
Mirtazapin 15-45 mg/ hari
Valproat 500-1500 mg/ hari
Topiramat 50-200 mg/ hari
Gabapentin 900-3600 mg/ hari
Verapamil 80-640 mg/hari
Flunarizin 5-1 0 mg/hari
Nimodipin 30-60 mg qid___
Tabel 2. Terapi farmaka pencegahan migrain
Terapi nonfarmaka
Walaupun terapi farmaka merupakan terapi utama migren, terapi nonfarmaka tidak
bisa dilupakan. Pada kehamilan terapi nonfarmaka bahkan diutamakan. Terapi
nonfarmaka dimulai dengan edukasi dan menenangkan pasien (reassurance). Pada
saat serangan pasien dianjurkan untuk menghindari stimulasi sensoris berlebihan.
Bila memungkinkan beristirahat di tempat gelap dan tenang dengan dikompres
dingin. Menghindari faktor pencetus mungkin merupakan terapi pencegahan yang
murah.
Intervensi terapi perilaku (behaviour) sangat berperan dalam mengatasi nyeri
kepala yang meliputi terapi cognitive-behaviour, terapi relaksasi serta terapi
biofeedback dengan memakai alat elektromiografi atau memakai suhu kulit atau
pulsasi arteri temporalis. Olahraga terarah yang teratur dan meningkat secara
bertahap umumnya sangat membantu. Beberapa penulis mengusulkan terapi

alternatif lain seperti meditasi, hipnosis, akupunktur dan fitofarmaka. Pada migrain
menstrual dapat dianjurkan mengurangi garam dan retensi cairan.
KESIMPULAN
1. Migren merupakan nyeri kepala primer dengan serangan nyeri kepala berulang,
dengan karakteristik lokasi unilateral, berdenyut dan frekuensi, lama serta hebatnya
rasa nyeri yang beraneka ragam dan diperberat dengan aktifitas.
2. Klasifikasi migrain menurut International Headache Society (HIS):
- Migrain tanpa aura (common migraine)
- Migrain dengan aura (classic migraine)
- Migraine with prolonged aura
- Basilar migraine (menggantikan basilar artery migraine)
- Migraine aura without headache (menggantikan migraine equivalent atau
achepalic migraine)
- Benign paroxysmal vertigo of childhood
- Migrainous infraction (menggantikan complicated migraine)
- Migren hemiplegic familial
- Migren oftalmoplegik
- Migren retinal
- Migren yang berhubungan dengan gangguan intrakranial
3. Penatalaksaan migrain secara garis besar dibagi atas:
a. Mengurangi faktor resiko,
b. Terapi farmaka dengan memakai obat.
c. Terapi nonfarmaka.
Terapi farmaka dibagi atas dua kelompok yaitu terapi abortif (terapi akut) dan
terapi preventif (terapi pencegahan). Walaupun terapi farmaka merupakan terapi
utama migren, terapi nonfarmaka tidak bisa dilupakan. Bahkan pada kehamilan
terapi nonfarmaka diutamakan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sadeli H. A. 2006. Penatalaksanaan Terkini Nyeri Kepala Migrain. Dalam
Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Nasional II Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia. Airlangga University Press. Surabaya.
2. Harsono. 2005. Kapita Selekta Neurologi, edisi kedua. Gajahmada University
Press. Yogyakarta.
3. Dahlem M., Podoll K. 2007. Migraine Headache. http://www.migraineaura.com/content/e27892/index_en.html
4. Purnomo H. 2006. Migrainous Vertigo. Dalam Kumpulan Makalah Pertemuan

Ilmiah Nasional II Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Airlangga


University Press. Surabaya.
5. Benson AG, Robbins W. 2006. Migraine Associated Vertigo.
http.www.emedicine.com/ent/topic727.htm
6. Zuraini, Yuneldi anwar, Hasan Sjahrir. 2005. Karakteristik Nyeri Kepala Migren
dan Tension Type Headeche Di Kotamadya Medan, Neurona, Vol 22 No. 2
7. Wibowo S., Gofir A. 2001. Farmakologi dalam Neurologi. Salemba Medika.
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai