Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PRAKTIKUM PATOLOGI KLINIK

BLOK SISTEM DIGESTIF


Pemeriksaan Feses

Asisten:
Yefta
G1A011066
Kelompok B1:
1
2
3
4
5
6
7

G1A012040
G1A012041
G1A012042
G1A012043
G1A012044
G1A012045
G1A010013

Dzicky Rifqi Fuady


Masayu Athifah Fitriahani
Astri Dewi Wardhani
Mohammad Benni Kadapih
Hazar Arfita Audina
Sofiana Ulya Nuha
Kholifah Alhuda

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2014

BAB I
DASAR TEORI
Feses adalah sisa hasil pencernaan dan absorbsi dari makanan yang kita
makan, dikeluarkan lewat anus dari saluran cerna. Dalam keadaan normal dua pertiga
tinja terdiri dari air dan sisa makanan, zat hasil sekresi saluran pencernaan, epitel
usus, bakteri apatogen, asam lemak, urobilin, debris, celulosa gas indol, skatol,
sterkobilinogen dan bahan patologis. Normal : 100 200 gram / hari. Frekuensi
defekasi : 3x / hari 3x / minggu (Gandasoebrata, 2008).
Bahan pemeriksaan tinja sebaiknya berasal dari defekasi spontan, jika
pemeriksaan sangat diperlukan contoh tinja dapat diambil dengan jari bersarung dari
rektum. Untuk pemeriksaan rutin dipakai tinja sewaktu dan sebaiknya tinja diperiksa
dalam keadaan segar karena bila dibiarkan mungkin sekali unsur unsur dalam tinja
menjadi rusak. Pemeriksaan tinja terdiri atas pemeriksaan makroskopik, mikroskopik
dan kimia. Jenis makanan serta gerak peristaltik mempengaruhi bentuk, jumlah
maupun konsistensinya. Indikasi pemeriksaan tinja tersebut antara lain adanya diare
dan konstipasi, adanya ikterus, adanya gangguan pencernaan, adanya lendir dalam
tinja, kecurigaan penyakit gastrointestinal, dan adanya darah dalam tinja
(Gandasoebrata, 2008).
Bentuk dan komposisi feses tergantung pada proses absorbsi, sekresi dan
fermentasi. Feses normal akan berwarna kuning (berasal dari degradasi pigmen
empedu olleh bakteri), tidak lembek dan tidak keras, berbau khas (berasal dari Indol,
skatol dan asam butirat). Protein yang tidak tercerna dengan baik akan menyebabkan
bau yang kuat (Rachmawati, 2010).
Pada umumnya warna feses adalah warna coklat. Adanya warna pada faeces
adalah karena kehadiran bilirubin dalam empedu. Perubahan di bilirubin
mempengaruhi warna faeces oleh karena pergerakan empedu melalui empedu ducts
(dan gallbladder) dan ke dalam intestines. Pada perjalanan bilirubin melalui
intestines, beberapa diantaranya mengalami perubahan kimiawi lebih lanjut, dan
beberapa perubahan ini dapat memiliki efek pada warna air besar. Perubahan ini
terutama bergantung pada kecepatan yang sesuai dengan isi usus yang melintasi
intestines. Jika isi usus pergerakannya pada kecepatan normal, warna faeces
coklat muda. Jika isi usus perjalanan lebih cepat, perubahan kimia untuk bilirubin
dapat mengubah faeces menjadi warna hijau. Jika tidak ada bilirubin dalam empedu,

di faeces warna faeces adalah abu-abu, seperti warna tanah liat, yang penting dalam
mengubah warna yang menunjukkan bahwa aliran empedu ke dalam usus diblokir.
Yang paling umum adalah penyebab halangan oleh tumor dari duktus empedu atau
pankreas (Levinson, 2008).
Salah satu hal penting proses internal yang dapat mengubah warna air besar
adalah pendarahan didalam intestine. Faeces dapat berubah menjadi hitam karena
perubahan kimia ke dalam hemoglobin darah yang disebabkan, dalam bagian, oleh
tindakan enzim dari usus, terutama jika perdarahan lebih cepat dan terdapat sejumlah
besar hemoglobin dalam intestines. Perubahan menjadi warna hitam juga dapat
terjadi jika adanya pendarahan bagian atas intestine setelah terdapat lebih banyak
waktu untuk perubahan kimia ke hemoglobin. Faeces yang hitam karena pendarahan
juga "lengket" (lekat) dan baunya tidak enak. Kedua karakteristik ini membantu
membedakan faeces warna hitam akibat pendarahan internal dari Faeces hitam
disebabkan oleh proses zat besi atau bismut-berisi obat-obatan misalnya, bismut
subsalicylate ( Pepto Bismol). Di sisi lain, pendarahan yang terjadi lebih rendah di
intestines, khususnya di usus, akan menyebabkan warna merah atau merah maron
dikotoran karena adanya sedikit waktu untuk perubahan kimia ke hemoglobin untuk
mengambil tempat. Beberapa virus dapat mengubah warna faeces. Besi dan
kandungan obat bismut (misalnya, Pepto Bismol) merubah faeces menjadi hitam
Beets dan mungkin beberapa sayuran merah lainnya dan buah-buahan yang dapat
mengubah kotoran menjadi warna kemerahan. Pewarna makanan digunakan untuk
makanan juga dapat mengubah warna kotoran (Levinson, 2008).
1.

2.
3.

Komposisi Feses
a. Sisa makanan yang tidak dapat dicerna
b. Pigmen dan garam empedu
c. Sekresi intestinal termasuk mucus
d. Leukosit yang bermigrasi dari aliran darah
e. Epitel
f. Bakteri
g. Material inorganik terutama kalsium dan fosfat
h. Makanan yang tercerna (dalam jumlah yang sangat sedikit)
i. Gas (Rachmawati, 2010).
Sampel feses
a. Feses sewaktu
b. Feses 24 jam (Rachmawati, 2010).
Cara memperoleh feses
a. Spontan (dapat menggunakan pencahar)
b. Rectal toucher
c. Rectal swab dengan cotton wool (terutama pada bayi) (Rachmawati, 2010).

4.

5.

Persiapan penderita
a. Terangkan cara penampungan apa yang akan diperiksa
b. Penderita diminta untuk defekasi pada penampung feses bermulut lebar
c. Jangan kencing ditempat penampungan
d. Jangan meletakkan kertas toilet pada penampung karena akan berpengaruh
terhadap hasil (Rachmawati, 2010).
Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk mendapatkan sampel yang memenuhi
syarat
a. Feses harus dikumpulkan pada tempat yang kering, bersih, bebas urin,
kemudian dipindahkan ke penampung dengan menggunakan, tunge spatel.
Untuk mendapatkan hasil yang terbaik maka harus segera dikirim ke
b.

laboratorium pemeriksa.
Feses yang masih hangat sangat baik untuk pemeriksaan telur dan parasit.
Untuk keperluan ini feses tidak boleh dimasukkan atau di simpan dalam

c.

lemari es.
Feses yang disimpan dalam almari es tidak boleh langsung diperiksa tetapi

d.
e.
f.

sebaiknya dibiarkan dulu pada temperature ruang.


Tidak boleh di simpan dalam inkubator.
Sampel terbaik adalah yang fresh (baru)
Pengumpulan sampel harus dilakukan sebelum terapi antibiotika dan diambil

g.

seawal mungkin pada saat sakit


Jumlah sampel yang dibutuhkan hanya sedikit, kira-kira sebesar ibu jari kaki
bayi. Bila dijumpai mucus atau darah maka sampel diambil dari tempat

6.

7.

8.

h.

tersebut karena parasit biasanya terdapat disitu.


Tidak boleh menggunakan feses yang ditampung di kloset atau

i.

terkontaminasi dengan barium atau produk X ray.


Beri label yang berisi identitas seperti nama, tanggal, alamat, pemeriksaan

apa yang diminta (Rachmawati, 2010).


Hal yang perlu dilakukan bila ada penundaan pemeriksaan
a. Feses dimasukkan almari es
b. Diberi formalin
c. Diberi nitrogen (Rachmawati, 2010).
Indikasi pemeriksaan feses
Indikasi pemeriksaan feses secara umum adalah gangguan traktus gastro
intestinalis seperti :
a. Sembelit
b. Berak darah lender
c. Problem makanan
d. Diare (Rachmawati, 2010).
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium feses ada bermacam-macam yaitu :
a. Makroskopis

Pemeriksaan meliputi warna, darah, lendir, konsistensi, bau, pH, dan


b.

sisa makanan.
Mikroskopis.
Pemeriksaan feses terutama ditujukan untuk mencari protozoa dan
telur cacing. Untuk mencari protozoa digunakan larutan eosin 1-2 % atau

c.

d.

lugol 1-2 %
Kimia
Pemeriksaan meliputi pemeriksaan darah samar, bilirubin, dan
urobilinogen.
Bakteriologis (Rachmawati, 2010).
Pemeriksaan dengan bahan feses bertujuan untuk mendeteksi berbagai kuman

seperti Salmonella, Shigella, Escherichia coli, Staphylococcus, dan lain lain.


Pemeriksaan dengan bahan feses ini terdiri atas dua, yaitu pemeriksaan lengkap dan
pemeriksaan kultur atau pembiakkan.
a.

Pemeriksaan feses lengkap merupakan pemeriksaan feses yang terdiri atas

b.

pemeriksaan warna, bau, konsistensi, lendir, darah, dan lain lain.


Pemeriksaan feses kultur merupakan pemeriksaan feses melalui biakkan dengan
cara toucher (Alimul, 2008).
Pemeriksaan feses diperlukan saat pasien mengeluh gas berlebihan, kembung,

dan untuk melihat serat otot dan lemak dan bisa juga untuk parasit seperti G. Lamblia
(Iselbacher,1995)
Analisis specimen feses dapat memberikan informasi tentang kondisi
kesehatan klien. Beberapa tujuan pemeriksaan feses meliputi :
a. Untuk mengetahui adanya darah samar. Perdarahan dapat terjadi akibat adanya
b.
c.
d.

ulkus, penyakit inflamasi, atau tumor.


Untuk mengetahui produk diet dan sekresi. Misalnya jumlah lemak pada steatore.
Untuk mendeteksi adanya telur dan parasit.
Untuk mendeteksi adanya bakteri dan virus yang hanya memerlukan sedikit feses
karena nantinya akan dikultur (Berman, 2009).

BAB II
ALAT, BAHAN, DAN CARA KERJA
1. Pemeriksaan Makroskopis
a. Alat :
1) Beaker Glass
2) Batang lidi
3) Obyek glass
b. Bahan
Sampel sewaktu : Feses yang dikeluarkan secara spontan
c. Cara Kerja
1) Amati langsung sampel yang akan diperiksa dan laporkan yang tampak
2) Bila kurang jelas sampel diratakan di atas obyek glass
3) Amati dengan teliti komponen apa yang tampak
4) Komponen yang diperiksa adalah :
a) Bentuk dan konsistensi
b) Warna dan bau
c) Darah dan lendir
2. Pemeriksaan Mikroskopis
a. Alat
1) Obyek glass
2) Penutup obyek glass

3) Pengaduk
4) Mikroskop
b. Bahan
1) Eosin 1-2 %
2) Lugol 1-2 %
3) Asam asetat 30 %
4) Garam fisiologis atau aquadest
5) Feses
c. Cara Kerja
1) Sel-sel darah dan epitel
a) Letakkan sedikit sampel feses pada obyek glass
b) Campur feses dengan reagen eosin 1-2 % sebanyak 1 tetes
c) Tutup dengan penutup obyek glass dan amati di bawah mikroskop
d) Komponen yang diamati adalah :
1. Sel epitel
2. Makrofag
3. Leukosit
4. Eritrosit
2) Sisa-sisa makanan
a) Pati/amylum
1. Feses dicampur dengan setets lugol 1-2 % tutup dengan kaca
penutup
2. Panaskan di atas api Bunsen
3. Amati di bawah mikroskop akan tampak butiran-butiran berwarna
biru
b) Protein
1. Feses dicampur dengan setets asam asetat 30 % dan tutup dengan
kaca penutup
2. Amati di bawah mikroskop langsung dan akan Nampak serabut
bengkak homogen warna kuning muda.
c) Lemak
1. Metode pemanasan
a. Feses dibuat preparat tipis, lalu tutup dengan penutup obyek
glass
b. Panaskan atau baka diatas api Bunsen
c. Amati di bawah mikroskop
2. Metode asam asetat 30 %
a. Feses dibuat preparat tipis lalu campur dengan 1-2 tetes asam
asetat 30 %, tutup dengan kaca penutup
b. Panaskan di atas api Bunsen
c. Amati di bawah mikroskop
3) Parasit dan kristal
a) Feses dibuat preparat tipis lalu tetesi dengan eosin 1-2 % sebanyak 1
tetes
b) Tutup dengan penutup obyek glass
c) Amati di bawah mikroskop
d) Komponen yang damati, adakah :

1. Telur cacing
2. Amuba atau kista
3. Kristal triple fosfat, kalsium oksalat, Charcot Layden, dan
hematoidin
3. Pemeriksaan Biokimiawi
a. Alat
1) Kertas saring
2) Corong
3) Tabung reaksi
b. Bahan
1) Reagen Fouchet
2) Barium Chlorida 10 %
3) Aquadest
4) Feses
c. Cara Kerja
1) Buat suspense feses dengan barium chloride 10 % dan biarkan beberapa
menit, kemudian di saring pada kertas saring
2) Biarkan endapan pada kertas saring agak kering, kemudian tetesi dengan
reagen fouchet
3) Amati perubahan warna yang terjadi

BAB III
HASIL PENGAMATAN
1. Pemeriksaan makroskopis
a. Bentuk
: tidak beraturan (normal)
b. Konsistensi
: agak padat (normal)
c. Warna
: cokelat tua (normal)
d. Bau
: khas (normal)
e. Darah
: negatif (normal)

f. Lendir
: negatif (normal)
g. Parasit
: negatif (normal)
2. Pemeriksaan mikroskopis
a. Sel darah:
1) Eritrosit
: negatif (normal)
2) Leukosit
: negatif (normal)
3) Makrofag
: negatif (normal)
b. Sel epitel
: negatif (normal)
c. Sisa makanan:
1) Pati
: negatif (normal)
2) Protein
: negatif (normal)
3) Lemak
: negatif (normal)
4) Sisa serat otot
: negatif (normal)
d. Parasit dan telurnya : negatif (normal)
e. Kristal
: ditemukan kristal asam lemak
3.

Pemeriksaan Kimiawi
Pemeriksaan bilirubin : negatif, tidak terjadi perubahan warna (normal)

BAB IV
PEMBAHASAN
A. Pemeriksaan makroskopis
Sebelum dilakukan pemeriksaan, harus diperhatikan cara pengumpulan
sampel feses yang akan diperiksa. Menurut Endarwati dalam artikel Pemeriksaan
Tinja Metode Kato-Katz tahun 2012, cara persiapan dan pengumpulan sampel
feses dapat dilakukan dengan:
1. Sebelum pot tinja dibagi, perlu dilakukan wawancara tentang pengetahuan
cacingan dan kebiasaan hidup sehat probandus.
2. Setelah wawancara, responden dibagikan pot tinja yang telah diberi kode dan
identitas dari pemilik sampel feses.
3. Jumlah tinja yang dimasukkan ke dalam pot/kantong plastik sekitar 100 mg
(sebesar kelereng atau ibu jari tangan).
4. Spesimen harus segera diperiksa pada hari yang sama, sebab jika tidak telur

cacing tambang akan rusak atau menetas menjadi larva. Jika tidak
memungkinkan tinja harus diberi formalin 5-10% sampai terendam.
Dalam pemeriksaan makroskopis feses, dinilai bentuk, warna, konsistensi,
bau, darah, lendir, dan parasit (Endarwati, 2012).
1. Bentuk
Sampel feses memiliki bentuk silindris tak beraturan. Bentuk ini
menggambarkan feses normal. Karena dari bentuk feses dapat dilihat bila
ada gangguan pada saat pengeluaran feses (Endarwati, 2012).
2. Warna
Sampel feses yang diperiksa berwarna cokelat tua. Warna feses yang
normal berkisar antara kuning cokelat dan cokelat tua. Warna feses dapat
mengalami perubahan karena pengaruh jenis makanan, obat-obatan, atau
perdarahan pada saluran cerna (Endarwati, 2012).
3. Konsistensi
Konsistensi feses pada sampel agak padat. Hal ini menunjukkan bahwa
konsistensi feses probandus masih dalam batas normal. Pada diare
konsistensi menjadi sangat lunak atau cair, sedangkan sebaliknya tinja
yang keras atau skibala didapatkan pada konstipasi. Peragian karbohidrat
dalam usus menghasilkan tinja yang lunak dan bercampur gas (Corwin,
2001).
4. Bau
Sampel feses memiliki bau yang khas. Bau normal fese dipengaruhi oleh
zat-zat seperti indol, skatol, dan asam butirat. Feses abnormal memiliki
bau tengik, asam, ataupun basi. Feses yang berbau tengik atau asam
disebabkan oleh fermentasi gula yang tidak sempurna seperti pada
keadaan diare (Endarwati, 2012).
5. Darah
Tidak didapatkan penampakan darah pada pemeriksaan makroskopis
feses. Feses normal tidak mengandung darah. Bila ada darah pada feses,
perlu diperhatikan warna darah tersebut dan apakah darah bercampur
dengan tinja atau hanya pada bagian luar feses saja (Gandasoebrata,
2008).
6. Lendir
Tidak didapatkan lendir pada sampel feses. Feses normal tidak
mengandung lender. Bila terdapat lendir pada feses, dapat disebabkan
oleh iritasi atau inflamasi pada dinding usus. Bila terdapat lendir pada
feses, perlu diperhatikan apakah lendir bercampur dengan deses atau
hanya pada permukaan luar feses saja. Lendir yang bercampur dengan

feses dapat berarti terjadi iritasi pada usus halus. Lendir yang hanya
dipermukaan, dapat berarti terjadi iritasi pada usus besar (Gandasoebrata,
2008).
7. Parasit
Tidak ditemukan parasit pada sampel feses. Hal ini menandakan bahwa
saluran pencernaan probandus masih normal tanpa ada infeksi dari
parasit (Gandasoebrata, 2008).
B. Pemeriksaan mikroskopis
Feces (tinja) normal terdiri dari sisa-sisa makanan yang
tidak

tercerna,

air,

bermacam

produk

hasil

pencernaan

makanan dan kuman-kuman nonpatogen. Orang dewasa normal


mengeluarkan 100300 gram tinja per hari. Dari jumlah tesebut 60-70%
merupakan air dan sisanya terdiri dari substansi solid (10-20%) yang
terdiri dari makanan yang tidak tercerna (selulosa), sisa makanan yang
tidak terabsorbsi, sel- sel saluran pencernaan (sel epitel) yang rusak, bakteri dan
unsur-unsur lain (30%) (Endarwati, 2012).
1. Sel darah
a. Eritrosit
Tidak ditemukan eritrosit pada sampel feses. Eritrosit dapat muncul pada
pemeriksaan bila terdapat lesi pada kolon, rektum, atau anus, dan
keadaan-keadaan ini selalu bersifat patologis (Gandasoebrata, 2008).
b. Leukosit
Tidak ditemukan leukosit pada sampel feses. Pada keadaan normal, tidak
ditemukan adanya leukosit. Namun bila terdapat disentri basiler, kolitis
ulseratif atau peradangan lain, jumlah leukosit dapat meningkat
(Gandasoebrata, 2008).
c. Makrofag
Tidak ditemukan makrofag pada sampel feses. Makrofag adalah sel besar
berinti satu yang memiliki daya fagositosis. Dalam pemeriksaan,
makrofag

akan

tampak

seperti

amuba

tetapi

tidak

bergerak

(Gandasoebrata, 2008).
2. Sel epitel
Tidak ditemukan sel epitel pada sampel feses. Pada keadaan normal, dapat
ditemukan sel epitel pada feses. Bila sel epitel berasal dari saluran pencernaan
yang lebih proksimal, sel itu dapat sebagian atau seluruhnya rusak (Corwin,
2001).
3. Sisa makanan
Tidak ditemukan sisa makanan pada sampel feses. Pada keadaan normal,

hamper selalu dapat ditemukan sisa makanan pada feses. Namun, hal ini
bukan merupakan keadaan patologis (Gandasoebrata, 2008).
4. Parasit dan telurnya
Tidak ditemukan parasit pada sampel feses. Hal ini menandakan bahwa
saluran pencernaan probandus masih normal tanpa ada infeksi dari parasit
(Gandasoebrata, 2008).
5. Kristal
Ditemukan kristal asam lemak dengan kuantitas sangat banyak pada sampel
feses. Kristal asam lemak dapat dijumpai pada feses normal dalam jumlah
tertentu. Bila terdapat kelainan pada saluran pencernaan, dapat muncul kristal
Chacott-Leyden dan ktistal hematoidin. Kristal Chacott-Leyden biasa
ditemukan pada kelainan ulseratif usus. Sementara ktistal hematoidin dapat
ditemukan bila terdapat perdarahan usus (Corwin, 2001).
C. Pemeriksaan kimiawi
1. Pemeriksaan bilirubin
Pemeriksaan bilirubin pada sampel feses memberikan hasil negatif. Hasil
tersebut adalah normal karena bilirubin di usus akan diubah menjadi
urobilinogen, dan kemudian akan teroksidasi menjadi urobilin (Corwin,
2001).

BAB V

APLIKASI KLINIS
1.

Melena
Melena didefinisikan sebagai suatu kondisi di mana keluarnya feses
berwarna hitam per rectal yang mengandung campuran darah. Hal tersebut
biasana terjadi karena adanya perdarahan pada usus bagian proksimal. Melena
sendiri dapat diakibatkan oleh lesi di bagian manapun mulai dari esophagus
hingga colon, di mana lesi pada saluran pencernaan bagian atas dapat
menyebabkan perdarahan per rektal yang nyata.. Ciri feses yang dihasilkan pada
kondisi melena yaitu feses yang keluar menjadi lengket dan kehitaman, dengan
bau yang khas (Grace, 2007). Melena dapat disebabkan oleh adanya lesi berupa
perdarahan pada saluran cerna, di mana hal tersebut dapat terjadi pada berbagai
hal. Penyebab melena sendiri di antaranya ialah esophagitis, ulkus gaster, ulkus
duodenii, dan tumor esophagus (Davey, 2005).
Mengingat melena merupakan suatu hal kompleks dengan adanya
perdarahan (lesi) pada saluran cerna, maka penatalaksanaannya ialah dengan
melakukan tindakan bedah. Selama waktu tersebut, cairan tubuh pasien perlu
sekali untuk di-maintain untuk menghindari terjadinya dehidrasi pada pasien
tersebut (Davey, 2005).

2.

Konstipasi
Konstipasi merupakan sebuah kondisi sulit atau jarang defekasi (Corwin,
2009). Di dalam referensi lain disebutkan bahwa konstipasi merupakan
ketidakmampuan atau kesulitan defekasi. Hal tersebut dapat terjadi karena
banyak hal, di antaranya feses yang mengeras, kelemahan otot polos saluran
pencernaan (Rahardjo, 2008). Definisi konstipasi sendiri bersifat relatif dan
tergantung pada keluarnya feses. Buang air besar setiap tiga hari dengan feses
yang keras dan sulit keluar dapat dianggap sebuah kondisi konstipasi (Behrman,
2000).
Sifatnya yang relatif ini membuat kesulitan dalam memastikan apakah
seseorang mengalami konstipasi atau tidak. Untuk menentukan hal tersebut dapat
digunakan kriteria Rome sebagai berikut (Brooker, 2008) :
1. Mengejan minimal seperempat waktu dari total waktu defekasi.
2. Feses berbentuk bongkahan dan/atau keras minimal seperempat waktu
defekasi.

3. Sensasi evakuasi feses inkomplet minimal seperempat waktu defekasi.


4. Defekasi 2 kali per minggu.
Penyebab paling umum dari konstipasi adalah kebiasaan yang jelek,
seperti kurangnya respons berulang terhadap dorongan untuk buang air besar,
kurangnya serat dalam diet, kurang asupan cairan, dan kehilangan nada dalam
otot-otot usus. Terlalu sering menggunakan obat pencahar, ketegangan saraf,
gugup, faktor perilaku dan kepribadian merupakan penyebab paling sering
(Mahan and Stump, 2003).
Konstipasi dapat diatasi dengan mengembangkan kebiasaan keteraturan
melalui program pelatihan dan usus dengan membentuk kebiasaan kesehatan
yang baik seperti makan dengan teratur, diet yang memadai, menyediakan serat
yang cukup, waktu yang cukup untuk eliminasi, istirahat, relaksasi,cukup asupan
cairan, dan olahraga (Mahan and Stump, 2003).
Sebuah bagian penting dari pengobatan untuk pasien dengan konstipasi
adalah penyediaan diet normal yang tinggi serat, baik larut dan tidak larut. Diet
rendah serat menyebabkan waktu transit yang lama melalui usus, memungkinkan
penyerapan air yang berlebihan dan pembentukan kotoran mengeras. Efek utama
serat makanan pada fungsi usus telah dikaitkan dengan kapasitas menahan air,
yang dapat mengakibatkan peningkatan dalam jumlah besar feses dan
menyebabkan efek peregangan pada usus besar, merangsang dorongan untuk
defekasi. Bagaimanapun, hal ini terjadi sebagai efek stimulasi yang berasal dari
asam lemak volatil rantai pendek yang dihasilkan dari serat oleh aksi bakteri di
usus besar. Konsumsi serat setidaknya 25 gram setiap harinya,yang dapat
diperoleh dari sayuran, buah-buahan dan gandum. Gandum efektif dalam proses
pembentukan feses dan mencegah konstipasi. Konsumsi gandum ini harus lebih
ditingkatkan, yaitu dari 1 sendok teh/hari menjadi 4-6 sendok makan/hari, diiringi
dengan masukan air yang juga lebih ditingkatkan (Mahan and Stump, 2003).
3.

Penyakit Seliak (coeliac disease)


Penyakit seliak atau celiac sprue adalah gangguan autoimun yang terjadi
usus kecil pada orang genetik cenderung dari semua bayi usia menengah. Gejala
diantaranya adalah nyeri dan ketidaknyamanan pada saluran pencernaan, sembelit
kronis dan diare, gagal tumbuh, akan tetapi ada sebagian yang asimptomatik (van

der Windt et al., 2010). Kondisi ini memiliki beberapa nama lain, termasuk
nontropical sprue, endemic sprue, and gluten enteropathy (Losowsky, 2008).
Penyakit seliak disebabkan oleh reaksi alterhadap gliadin, sebuah
prolamin (protein gluten) yang ditemukan dalam jagung, gandum dan protein
serupa yang ditemukan dalam tanaman lain (Di Sabatino & Corazza, 2009).
Karakteristik umum dari penyakit celiac adalah diare kronis pucat, tebal
dan berbau busuk disertai nyeri perut dan kram, kembung dengan distensi
abdomen. Saat usus menjadi lebih rusak, tingkat intoleransi laktosa dapat
meningkat yang biasanya gejala tersebut dianggap berasal dari irritable bowel
syndrome (IBS). Penyakit seliak menghasilkan peningkatan risiko terjadinya
adenokarsinoma dan limfoma. Masalah usus kecil ini juga tinggi dalam keluarga
tingkat pertama seperti saudara kandung, orang tua dan anak. Penyakit yang
berkepanjangan dapat menyebabkan komplikasi lain seperti jejunitis ulseratif
(Gujral et al., 2009).
Perubahan mukosa usus membuatnya kurang berfungsi untuk membuang
dan menyerap nutrisi, mineral, dan vitamin A, D dan K. Ketidakmampuan untuk
menyerap karbohidrat dan lemak dapat menyebabkan penurunan berat badan.
Anemia dapat berkembang pada beberapa cara, diantaranya adalah malabsorpsi
Fe. Kekurangan zat besi, asam folat dan vitamin B12 malabsorpsi dapat
menimbulkan Anemia megaloblastik. Malabsorpsi kalsium dan vitamin dapat
menyebabkan

osteopenia

(penurunan

kandungan

mineral

tulang)

atau

osteoporosis (melemahnya tulang dan risiko dari patah tulang) (Presutti et al.,
2007).
Penyakit celiac juga berhubungan dengan pertumbuhan bakteri yang
berlebihan dari usus kecil, yang dapat memperburuk malabsorpsi atau
menyebabkan malabsorpsi meskipun pengobatan dijalankan (Tursi et al., 2003).
Proses diagnosis dilakukan berdasarkan proses anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang, salah satunya adalah pemeriksaan feses. Pada
pemeriksaan feses, didapatkan feses yang pucat, berminyak dan turun
konsistensinya (Di Sabatino & Corazza, 2009).
4.

Diare
Diare didefinisikan sebagai buang air besar lebih dari tiga kali sehari
dengan konsistensi lembek atau cair, namun definisi diare yang baisa digunakan
berhubungan dengan peningkatan frekuensi defekasi, konsistensi feses dan
jumlah feses. Diare dapat terjadi dikarenakan oleh transportasi air dan elektrolit

yang abnormal dalam usus. Gangguan diare biasanya diklasifikasikan sebagai


diare akut dan kronis (Herbowo, 2003; Wong et al, 2009).
Rotavirus merupakan etiologi paling penting yang menyebabkan diare
pada anak dan balita. Infeksi Rotavirus biasanya terdapat pada anak-anak umur 6
bulan2 tahun. Infeksi Rotavirus menyebabkan sebagian besar perawatan rumah
sakit karena diare berat pada anak-anak kecil dan merupakan infeksi nosokomial
yang signifikan oleh mikroorganisme patogen. Salmonella, Shigella dan
Campylobacter merupakan bakteri patogen yang paling sering diisolasi.
Mikroorganisme Giardia lamblia dan Cryptosporidium merupakan parasit yang
paling sering menimbulkan diare infeksius akut. Selain Rotavirus, telah
ditemukan juga virus baru yaitu Norwalk virus. Virus ini lebih banyak kasus pada
orang dewasa dibandingkan anak-anak. Kebanyakan mikroorganisme penyebab
diare disebarluaskan lewat jalur fekal-oral melalui makanan, air yang
terkontaminasi atau ditularkan antar manusia dengan kontak yang erat
(Suharyanto, 2008; Wong et al, 2009).
Pada gejala dan tanda awalnya anak menjadi cengeng, gelisah, suhu badan
mungkin meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada nafsu makan.
Kemudian timbul diare. Tinja makin cair, mungkin mengandung darah dan atau
lendir, warna tinja berubah menjadi kehijau-hijauan karena tercampur
empedu.Meningkatnya asam laktat akibat fermentasi laktosa di dalam usus besar
menyebabkan tinja menjadi asam yang dapat mengiritasi anus dan sekitarnya
sehingga lecet (Prasetyo, 2005).
Gejala muntah dapat terjadi sebelum dan atau sesudah diare. Bila telah
banyak kehilangan air dan elektrolit dapat menyebabkan dehidrasi, berat badan
turun, ubun-ubun besar cekung pada bayi, tonus dan turgor kulit berkurang,
selaput lendir mulut dan bibir tampak kering, kehilangan cairan dan elektrolit
yang berlebihan dapat menimbulkan sesak, kejang dan kesadaran menurun (Zein,
2009).
5.

Kolitis Ulseratif
Kolitis ulseratif merupakan salah satu bentuk penyakit Inflamatory Bowel
Disease (IBD), yaitu suatu peradangan kronis pada mukosa usus besar (kolon)
ataupun pada rektum, pada kolitis uklseratif bisa sembuh sendiri karena
peradangan hanya terjadi pada mukosa yang bisa berdeferensiasi untuk

memperbaiki diri. Penyakit kolitis seringkali dapat kambuh sewaktu-waktu,


sehingga kondisi tersebut akan mempengaruhi tingkat emosional dan sosial yang
mendalam bagi penderita (Ghazzawi, 2007).
Kolitis ulseratif sebagai salah satu bentuk penyakit usus meradang atau
Inflammatory Bowel Disease (IBD) merupakan suatu kondisi kronis, sehinga
secara umum membutuhkan perawatan terus-menerus. (Hanauer, 2006).
Ulseratif kolitis berdasarkan letak inflamasinya dibagi menjadi 2 yaitu
distal kolitis dan extensive kolitis. Distal kolitis adalah penyakit kolitis yang
peradangannya menyerang rektum dan kolon sigmoid. Sedangkan extensive
kolitis adalah inflamasi pada hampir seluruh bagian kolon. Extensive kolitis ini
dibagi menjadi left extensive kolitis dan pankolitis (Ahmad. et al. 2002).
Sistem imun merupakan salah satu yang berperan dalam patogenesis
kolitis ulseratif karena kolitis ulseratif merupakan salah satu penyakit autoimun,
yang insidennya meningkat di negara berkembang dikarenakan adanya
peningkatan eradikasi parasit helmint (Elliot et al, 2004)
Gejala utama kolitis ulseratif adalah diare berdarah dan nyeri abdomen,
seringkali dengan demam dan penurunan berat badan pada kasus berat. Pada
penyakit yang ringan, bisa terdapat feses yang setengah berbentuk yang
mengandung sedikit darah dan tanpa manifestasi sistemik (Glickman,2000).
Derajat klinik kolitis ulseratif dapat dibagi atas berat, sedang dan ringan,
berdasarkan frekuensi diare, ada atau tidaknya demam, derajat beratnya anemia
yang terjadi dan laju endap darah/erythrocyte sedimentation rate (klasifikasi
Truelove). Perjalanan penyakit kolitis ulseratif dapat dimulai dengan serangan
pertama yang berat ataupun dimulai ringan yang bertambah berat secara gradual
setiap minggu. Berat ringannya serangan pertama sesuai dengan panjangnya
kolon yang terlibat. Terutama hanya melibatkan lapisan mukosa. Secara
endoskopik penilaian aktifitas penyakit kolitis ulseratif relatif mudah dengan
menilai gradasi berat ringannya lesi mukosa dan luasnya bagian usus yang
terlibat (Djojoningrat,2006).
Pada kolitis ulseratif, terdapat reaksi radang yang secara primer mengenai
mukosa kolon. Secara makroskopik, kolon tampak berulserasi, hiperemik, dan biasanya
hemoragik. Gambaran mencolok dari radang adalah bahwa sifatnya seragam dan kontinu
dengan tidak ada daerah tersisa mukosa yang normal (Glickman,2000).

BAB VI
KESIMPULAN
1. Feses dapat diamati dengan melakukan tiga pemeriksaan, yaitu pemeriksaan
makroskopi, mikroskopos, dan biokimiawi.
2. Jangka waktu antara pengambilan dan pemeriksaan feses sangat penting,
semakin singkat jangka waktunya maka hasil pemeriksaannya akan semakin
baik.
3. Ketelitian pemeriksa sangat dibutuhkan, karena sangat mempengaruhi hasil
pemeriksaan.
4. Feses normal akan berwarna kuning (berasal dari degradasi pigmen empedu
olleh bakteri), tidak lembek dan tidak keras, berbau khas (berasal dari Indol,
skatol dan asam butirat).
5. Setiap pemeriksaan dapat memiliki perbedaan, sesuai dengan kondisi tertentu,
seperti pola makan, bentuk makanan, dan kondisi tubuh sesorang.
6. Warna feses akan mengalami perubahan bila terjadi pendarahan di sistem
pencernaan (lebih sering sistem pencernaan bawah), atau mengalami infeksi
pada sistem pencernaan.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad T, Armuzzi A, Bunce M, et al. 2002. The Molecular Classification of the
Clinical Manifestations of Crohns disease. Gastroenterology. 122:854-66.
Alimul, Aziz. 2008. Praktikum Keterampilan Dasar Praktik Klinik : Aplikasi Dasardasar Praktik Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika.
Behrman, Richard E., Robert M Kliegmann. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi
15 Volume 2 (Alih Bahasa : Samik Wahab). Jakarta : EGC
Berman, Audrey. 2009. Kozier and Erbs Techniques in Clinical Nursing.
Jakarta EGC.
Corwin, Elisabeth J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3 (Alih Bahasa : Nike Budhi
Subekti). Jakarta : EGC
Davey, Patrick. 2006. At a Glance Medicine (Alih Bahasa : Annisa Rahmalia, et al).
Jakarta : EKG
Di Sabatino, A., & Corazza, G.R. 2009. Coeliac disease. Lancet 373 (9673): 148093.
Djojoningrat D. 2006. Inflammantory Bowel Disease: Alur Diagnosis dan
Pengobatannya di Indonesia. Dalam: Sudoyo AW dkk, editor. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. Hal. 386-90
Elliott DE, Setiawan T, Metwali A, Blum A, Urban JF Jr, Weinstock JV.
Heligmosomoides polygyrus inhibits established colitis in IL-10-deficient mice.
Eur J Immunol. 34: 2690-2698
Endarwati, Heni. 2012. Pemeriksaan Tinja Metode Kato-Katz. Tersedia di
http://habibi.staff.ub.ac.id/files/2012/11/PEMERIKSAAN-TINJA-METODEKATO-KATZ.pdf diakses tanggal 6 Juni 2014.
Gandasoebrata R. 2008. Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta: Penerbit Dian
Rakyat.
Ghazzawi I, Al Mrayat. 2007. Review of Chronic Ulcerative Colitis Cases at King
Hussein Medical Centre, Jordan. Gastroenterology Unit Department of Internal
Medicine King Medical Centre. Amman. Jordan

Glickman RM. 2000. Penyakit Radang Usus (Kolitis Ulseratif dan penyakit Crohn).
Dalam: Aslide AH, editor. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam.
Volume 4. Edisi ke-13. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 1557-91
Grace, Pierce A., Neil R Borley. 2007. At a Glance Ilmu Bedah Edisi 3 (Alih Bahasa :
Vidhia Umarni). Jakarta : EGC
Gujral, N., Freeman, H.J., & Thomson, A.B. 2012. Celiac disease: prevalence,
diagnosis, pathogenesis and treatment. World Journal of Gastroenterology. 18
(42): 603659. doi:10.3748/wjg.v18.i42.6036. PMC 3496881. PMID 23155333
Hanauer SB, Sandborn WJ, Kornbluth A, Katz S, Safdi M, Woogen S, et al. 2005.
Delayed-release oral mesalamine at 4.8 g/day (800 mg tablet) for the treatment of
moderately active ulcerative colitis: the ASCEND II trial. Am J Gastroenterol. ;
100:247885.
Herbowo, Agus Firmansyah. 2003. Diare Akibat Infeksi Parasit. J. Sari Pediatri.
4(4) : 198-203.
Levinson W. 2008. Review of Medical Microbiology and Immunology, Tenth edition.
New York: McGrawHill.
Losowsky, M.S. 2008. A history of coeliac disease. Digestive Disorders. 26 (2): 112
20. doi:10.1159/000116768. PMID 18431060
Mahan, K.L., and Stump, S.E., 2003. Krauses Food,Nutrition and Diet Therapy. 11th
ed. USA: W.B.Saunders. 38-42 and 456-465.
Prasetyo D. 2007. Tatalaksana Diare Pada Penderita Malnutrisi. Surabaya : Kongres
Nasional III Badan Koordinasi Gastroenterologi Anak Indonesia (BKGAI)
Presutti, R.J., Cangemi, J.R., Cassidy, H.D., & Hill, D.A. 2007. Celiac disease. Am
Fam Physician 76 (12): 1795802. PMID 18217518
Rachmawati, Banundari. 2010. Pemeriksaan Patologi Klinik 2. Available from, URL :
http://www.scribd.com/doc/42059095/Pemeriksaan-Patologi-Klinik-2
Rahardjo, Rio. 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi Edisi 2. Jakarta : EGC
Tursi, A., Brandimarte, G., & Giorgetti, G. 2003. High prevalence of small intestinal
bacterial overgrowth in celiac patients with persistence of gastrointestinal
symptoms after gluten withdrawal. Am J Gastroenterol 98 (4): 83943.
van der Windt, D.A., Jellema, P., Mulder, C.J., Kneepkens, C.M., & van der Horst,
H.E. 2010. Diagnostic testing for celiac disease among patients with abdominal
symptoms: a systematic review. JAMA. 303 (17): 173846.
doi:10.1001/jama.2010.549. PMID 20442390

Anda mungkin juga menyukai