Anda di halaman 1dari 30

10

BAB II
KONSEP PENYESUAIAN SOSIAL SANTRI DI PONDOK PESANTREN
A. Penyesuaian Sosial
Sebagai makhluk sosial, individu selalu berinteraksi dengan lingkungan.
Individu dituntut untuk mampu mengatasi segala permasalahan yang timbul
sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan dan mampu menampilkan diri
sesuai dengan aturan atau norma yang berlaku.
Penyesuaian diri merupakan salah satu persyaratan penting bagi kesehatan
mental individu, karena salah satu ciri pokok dari kepribadian yang sehat mental
adalah pribadi yang memiliki kemampuan untuk melakukan penyesuaian diri
secara harmonis, baik terhadap diri sendiri maupun lingkungan (Kartono,
2000:259). Pada kenyataannya, banyak individu yang menderita dan tidak mampu
mencapai kebahagian dalam hidup karena ketidakmampuan dalam menyesuaikan
diri, baik dalam kehidupan keluarga, sekolah, pekerjaan dan dalam masyarakat
pada umumnya. Tidak jarang banyak orang mengalami stres dan depresi
disebabkan oleh kegagalan dalam penyesuaian diri dengan kondisi yang penuh
dengan tekanan.
Bagi seorang individu yang baru menginjak masa remaja, akan mengalami
beberapa transisi; yaitu transisi fisik, sosial, dan emosi. Beberapa transisi tersebut
terkadang menimbulkan masalah bagi remaja. Oleh sebab itu remaja harus bisa
menyesuaikan diri dengan beberapa transisi yang terjadi pada diri remaja.
Penyesuaian penting dilakukan oleh remaja agar terjadi keseimbangan antara

11
tuntutan diri dan lingkungan, sehingga remaja dapat diterima di lingkungan sosial
temapt remaja berinteraksi.
1. Pengertian Penyesuaian Sosial
Pembahasan tentang penyesuaian sosial tidak akan terlepas dari konsep
penyesuaian diri, karena penyesuaian sosial merupakan bagian dari penyesuaian
diri. Schneiders membagi penyesuaian diri menjadi empat aspek, yaitu:
penyesuaian diri personal, penyesuaian sosial, penyesuaian perkawinan, dan
penyesuaian vokasional atau jabatan. Pada pembahasan akan dijelaskan terlebih
dahulu tentang konsep penyesuaian diri.
Schneiders (1964:21) mengemukakan penyesuaian diri dapat diartikan
sebagai proses individu dalam merespon sesuatu, baik yang bersifat behavioral
maupaun mental dalam upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan dalam diri,
tegangan emosional, frustasi dan konflik, dan mememelihara keharmonisan antara
pemenuhan kebutuhan tersebut dengan tuntutan norma masyarakat.
J.P Chaplin dalam Kamus Psikologi, mengartika adjusment (penyesuaian
diri) sebagai 1) variasi dalam kegiatan organisme untuk mengatasi suatu hambatan
dan memuaskan kebutuhan-kebutuhan. 2) menegakkan hubungan yang harmonis
dengan lingkungan fisik dan sosial. Kedua pengertian tersebut mengandung
makna bahwa proses penyesuaian diri pada individu merupakan proses
pemenuhan kebutuhan dan pemecahan masalah melalui perilaku yang diubahubah sehingga mencapai kepuasan terhadap lingkungan sosialnya. (Kartono,
2000:11)

12
Penyesuaian diri bersifat dinamis, proses ini akan akan berlangsung terusmenerus sepanjang rentan kehidupan manusia. Pada dasarnya penyesuaian diri
melibatkan individu dengan lingkungan. Lingkungan yang dapat menciptakan
penyesuaian diri yang sehat bagi remaja antara lain lingkungan keluarga,
lingkungan teman sebaya, dan lingkungan sekolah.
Penyesuaian sosial merupakan aspek penyesuaian diri yang berkaitan
dengan interaksi individu dengan lingkungan sosial, penyesuian sosial bertujuan
untuk mencapai kesesuaian antara kebutuhan diri individu dengan keadaan
lingkungan dimana individu berada dan berinteraksi. Schneiders (1964:454-455)
mengartikan penyesuaian sosial sebagai kemampuan individu untuk memberikan
reaksi secara efektif dan bermanfaat terhadap realitas, situasi, dan hubungan sosial
yang sesuai dengan tuntutan norma masyarakat.
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Sosial
Keberhasilan seseorang dalam melakukan penyesuaian sosial tidak lepas
dari beberapa faktor yang mempengaruhinya. Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi penyesuaian sosial erat kaitannya dengan penyesuaian diri karena
penyesuaian sosial merupakan bagian dari penyesuaian diri.
Alexander Schneiders (1964:122) mengelompokan faktor-faktor yang
mempengaruhi penyesuaian diri sebagai berikut:
a. Physical condition (kondisi jasmaniah), yang meliputi
1) Pengaruh pembawaan dan struktur jasmaniah
Beberapa ciri kepribadian memiliki hubungan dengan struktur jasmaniah
yang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor pembawaan. Pada beberapa hal

13
kecenderungan salah suai (maladjustment) dapat diwariskan secara genetis
terutama dengan perantara temperamen. Sebagai komponen primer dalam
kepribadian, termperamen menentukan karakteristik yang berkenaan
dengan penyesuaian diri. Secara tidak langsung pembawaan merupakan
kondisi yang mempengaruhi penyesuaian diri.
2) Kesehatan dan kondisi jasmaniah
Kualitas penyesuaian diri yang baik dapat diperoleh dan dipelihara dalam
kondisi kesehatan jasmani yang sehat. Orang yang memiliki penyakit
jasmani kemungkinan memiliki kurang percaya diri, perasaan rendah diri,
ketergantungan, dan perasaan ingin diperhatikan oleh orang lain. Namun
tidak semua orang yang memiliki penyakit jasmani tidak dapat
menyesuaiakan diri dengan baik.
b. Development dan maturation (perkembangan dan kematangan)
Perkembangan dan kematangan mempunyai hubungan yang erat dengan
proses penyesuaian diri, dalam arti bahwa proses penyesuaian diri itu akan
banyak tergantung pada tingkat perkembangan dan kematangan yang dicapai.
Dalam proses perkembangan, respon anak berkembang dari respon yang
bersifat instingtif menjadi respon yang diperoleh melalui belajar dan
pengalaman. Dengan berrtambahnya usia anak juga matang untuk melakukan
respon, proses ini menentukan pola-pola penyesuaian diri.
c. Psychological condition (kondisi psikologis)
Banyak sekali faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi penyesuaian
diri. Diantaranya adalah faktor pengalaman, frustasi, konflik, iklim psikologis dan

14
lain-lain. Proses belajar merupakan suatu dasar yang fundamental dalam
penyesuaian diri, karena melalui proses belajar ini akan berkembang pola-pola
respon yang akan membentuk kepribadian
d. Environmental condition (kondisi lingkungan)
1) Pengaruh rumah dan keluarga.
Lingkungan rumah dan keluarga merupakan faktor lingkungan yang paling
besar pengaruhnya terhadap penyesuaian diri individu. Hal ini karena
keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama dalam kehidupan
individu. Seorang individu akan banyak mempelajari adat dan kebiasaan
dari anggota keluarga lain, adat dan kebiasaan tersebut akan sangat
berperan dalam proses penyesuaian diri. Beberapa karakteristik kehidupan
keluarga yang mempengaruhi penyesuaian diri seorang individu seperti:
susunan keluarga, peranan sosial dalam keluarga, kohesi

keluarga,

hubungan orang tua dengan anak, hubungan saudara, kondisi sosial


ekonomi, dan lain sebagainya. Fahmi Mustafa (1982:121) mengemukakan
bahwa dalam lingkungan keluarga anak memperoleh sejumlah kebiasaaan
penyesuaian diri yang memungkinkan untuk dapat menyesuaiakan diri
dengan situasi sehari-hari.
2) Pengaruh masyarakat.
Lingkungan masyarakat merupakan tempat individu bergerak, bergaul dan
melakukan peranan sosial. Sehingga individu sedikit banyak akan
terpengaruh oleh lingkungan sekitar. Pengaruh masyarakat merupakan
kondisi-kondisi yang menentukan proses dan pola-pola penyesuaian diri.

15
Pergaulan yang kurang sehat akan mempengaruhi tingkah laku seseorang
dan dapat berpengaruh pada pola-pola penyesuaian diri.
3) Pengaruh sekolah
Sekolah mempunyai peran yang penting dalam menentukan pola
penyesuaian seseorang, karena sekolah mempunyai peran sebagai medium
untuk mempengaruhi kehidupan intelektual, sosial dan moral siswa,
sehingga individu diharapkan mampu mengembangkan kemampuan
menyesuaikan diri dalam segala aspek.
e. Culture and religion (budaya dan agama)
1) Pengaruh budaya
Faktor kebudayaan mempunyai pengaruh terhadap pembentukan watak
dan tingkah laku individu yang diperoleh melalui media pendidikan dalam
keluarga, sekolah, dan masyarakat secara bertahap dipengaruhi oleh
faktor-faktor kebudayaan. Budaya yang sehat dalam suatu lingkungan
masyarakat akan memberikan pengaruh yang baik kepada anggota
masyarakatnya, begitu pula sebaliknya budaya yang tidak sehat akan
mempengaruhi perilaku anggota yang ada di lingkungan tersebut.
2) Pegaruh agama
Agama merupakan sumber nilai, kepercayaan, dan pola-pola tingkah laku
yang akan memberikan arti, tujuan, dan kestabilan hidup kepada umat
manusia. Agama memberikan suasana psikologis tertentu dalam
mengurangi

konflik,

frustasi

dan

memberikan suasana tenang dan damai.

ketegangan

lainnya

kemudian

16
3. Kematangan dan Penyesuaian Diri
Penyesuaian diri memiliki hubungan yang erat dengan kematangan
seseorang. Penyesuaian meliputi usaha seseorang dalam menghadapi tuntutan
dalam diri dan lingkungan dengan cara yang efisien dan sehat. Setiap tahapan usia
akan akan memberikan tuntutan-tuntutan yang baru dalam hal fisik, intelektual,
sosial, dan kebutuhan-kebutuhan lain. Kematangan adalah faktor yang menyuplai
organisme dalam berbagai keterampilan, sikap atau respon yang sesuai untuk
menghadapi semua tuntutan. Kematangan bukanlah satu tolak ukur yang berdiri
sendiri namun ditentukan banyak faktor. Tiga faktor yang paling menentukan
adalah kematangan fisik, kematangan intelektual, dan kematangan emosi.
Kematangan fisik dan intektual merupakan pondasi dasar yang harus dimiliki
individu untuk dapat melakukan penyesuaian diri dengan baik. Bila individu
terhambat dalam mengembangkan kematangan fisik dan intektual, maka
penyesuaian diri akan sulit dilakukan. Selain dua faktor tersebut kematangan
emosional juga tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan perkembangan seseorang.
a. Kematangan fisik
Meliputi setidaknya pertumbuhan yang normal dalam hal ukuran tinggi dan
berat badan, tingkat kekuatan, keterampilan yang dimiliki, koordinasi organ-organ
tubuh,

dan

beberapa

perkembangan

fisiologis

yang

diperlukan

untuk

mempertahankan kesehatan, stamina, dan energi.


b. Kematangan intelektual
Meliputi tingkat perkembangan seseorang yang harus dipenuhi agar ia
mampu untuk mengikuti serangkaian pendidikan melalui proses pembelajaran

17
serta pengalaman. Di samping itu meliputi kemampuan mengeluarkan pendapat
dan mampu melakukan penilaian secara objektif terhadap suatu permasalahan.
Bila salah satu tidak dimiliki individu, maka dapat dikatakan secara pribadi tidak
memiliki kematangan intelektual, namun hanya sebagian kecil dari kematangan
intelektual yang harus dimiliki seseorang, karena manusia manusia melibatkan
berbagai aspek dalam kehidupannya, seperti emosi, sosial, moral, religi, dan
perekonomian.
c. Kematangan emosi
Kematangan emosional menekankan pada perkembangan individu adekuat
dan bagaimana usaha dalam mengontrol perasaan serta emosi yang ada. Kedua hal
itu merupakan dasar dari penyesuaian diri yang baik. Di sini terlihat hubungan
yang erat antara kematangan emosi dengan penyesuaian diri seseorang. Seseorang
yang memiliki temperamen yang buruk, pencemburu, pembenci, mudah gugup,
pemalu, penakut bisa dikatakan tidak matang secara emosi dan sulit melakukan
penyesuaian diri.
4. Penyesuaian Diri yang Normal
Penyesuaian diri bergerak dalam rentang dengan kontium dari penyesuaian
diri yang normal (well adjusted) ke penyesuaian diri yang menyimpang
(maladjusted).
ditekankan

Schneiders

pada

(1964:274-276)

bagaimana

individu

menyatakan

dapat

menyelaraskan diri dengan tuntutan-tuntutan


penyesuaian diri mengandung dua proses, yaitu:

tetap

dan

penyesuaian
terus

diri

berusaha

yang dihadapi, oleh karena itu

18
a. Menyesuaikan diri dengan keadaan yang ada
b. Mengubah keadaan sesuai dengan keadaan individu
Secara umum idividu yang penyesuaian dirinya normal adalah individu
yang dapat mengatasi konflik, frustasi, dan menyesuikan kesulitan dalam diri
maupun kesulitan yang berhubungan dengan lingkungan. Schneiders (1964: 274)
mengemukakan individu yang memiliki penyesuaian diri normal adalah individu
yang dapat membentuk respon yang matang, bermanfaat, dan efisien, dan
memuaskan. Efisien disini berarti dalam mencapai keinginan, tidak membuang
banyak energi, waktu, dan melakukan sedikit kesalahan. Maksud bermanfaat
adalah repson individu ditunjukkan pada lingkungan, sehingga orang lain dapat
merasakan manfaatnya.
Penyesuaian diri yang normal menurut Schneiders memiliki karakteristik
sbb:
a. Absence of excessive emotionality. Penyesuaian diri yang normal; ditandai
tidak ada emosi yang berlebihan dan tidak terdapat gangguan dalam hal emosi.
Individu yang memiliki kontrol emosi yang baik, maka dapat mengatasi situasi
dengan baik. Sebaliknya individu yang kurang tanggap atau terlalu berlebihan
dalam menganggapi sesuatu atau situasi tertentu akan menunjukkan kontrol
emosi yang tidak baik dan mengarah pada penyesuaian diri yang buruk.
b. Absence of psychological mechanism. Penyesuaian diri yang normal ditandai
dengan tidak terdapat mekanisme psikologis yang berlebihan. Artinya,
individu yang dapat memberi reaksi yang wajar terhadap masalah yang
dihadapi. Seorang yang ketika mengahadapi masalah akan melakukan

19
rasionalisasi, proyeksi, dan kompensasi maka, individu tersebut dapat
dikatakan memiliki penyesuaian diri yang buruk.
c. Absence of sense of personal frustration. Penyesuaian diri yang normal
ditandai dengan tidak ada frustasi yang dapat membuat individu mengalami
kesulitan untuk bereasi

secara wajar terhadap situasi atau masalah yang

dihadapi.
d. Relation deliberation and self direction. Penyesuaian diri yang normal
ditandai dengan kemampuan untuk berfikir secara rasional untuk dapat
mengarahkan

diri

dengan

baik.

Individu

yang

tidak

mampu

mempertimbangkan masalah secara rasional akan mengalami kesulitan dalam


penyesuaian diri
e. Ability to learn. Penyesuaian diri dengan normal ditandai oleh sejumlah
perkembangan yang berkaitan dengan cara individu belajar mengatasi situasi
tanpa menimbulkan konflik, frutasi dan stres. Melalui belajar secara terus
menerus individu akan mengembangkan kualitas diri, terutama dalam
mengahadapi tuntutan hidup sehari-hari
f. Utilization of past experience. Penyesuaian diri dengan normal ditandai oleh
kesediaan individu untuk belajar dari pengalaman, hal ini penting untuk
tercapainya penyesuaian diri yang normal. Jika individu tidak mampu
memanfaatkan pengalaman maka individu akan kesulitan untuk menghadapi
situasi dan kondisi dengan sama.
g. Realistic objective attitude. penyesuaian diri normal ditandai dengan sikap
realistis dan objektif sehingga individu dapat menilai suatu masalah atau

20
kekurangan secara objektif. Kegagalan dalam menilai kualitas diri yang tidak
terlepas dari perasaan curiga akan mempersulit individu dalam bereaksi secara
normal dalam situasi dengan dihadapi.
5. Penyesuaian Diri yang Menyimpang
Schneiders (1964: 289) mengemukakan beberapa respon yang menandai
penyesuaian diri yang menyimpang, antara lain:
a. Defense mecanisms (mekanisme pertahanan diri), yaitu respon yang tidak
disadari yang berkembang dalam struktur kepribadian individu, dan menjadi
menetap sebab dapat mereduksi ketegangan dan frustasi, dan dapat
memuaskan tuntutan penyesuaian diri
b.

Agresive reaction (reaksi menyerang), yaitu bentuk respon untuk mereduksi


ketegangan dan frustasi melalui media tingkah laku merusak, berkuasa, dan
mendominasi.

c. Withdrawal reaction and flight from reality (reaksi melarikan diri dari
kenyataan), yaitu perlawanan terhadap terhadap tuntutan dan ancaman dari
lingkungan dalam bentuk melarikan diri dari tuntutan dan ancaman tersebut.
d. Flight into ilness (penyesuaian yang bersifat patologis), individu yang
mengalami penyesuaian patologis memerlukan perawatan khusus karena
penyesuaian tersebut bersifat klinis.
Lazarus (1976: 14) mengklasifikasikan karakteristik penyesuaian yang
menyimpang (maladjustment) ke dalam empat kriteria, yaitu:
a.

Ketidaknyamanan psikologis, yang ditandai dengan kecemasan yang


berlebih/depresi

21
b.

Inefisiensi kognitif, yaitu ketidakmampuan untuk berfikir jernih

c.

Ganguan fungsi fisik, seperti gejala-gejala psikosomatis (nafsu makan


berkurang, tekanan darah tinggi, migrain, dan lain sebagainya)

d.

Perilaku yang menyimpang dari norma yang berlaku dalam masyarakat

6. Penyesuaian Sosial di Sekolah


Penyesuaian sosial siswa di sekolah secara umum diartikan sebagai
kemampuan siswa untuk berinteraksi dengan orang lain dan situasi-situasi tertentu
dalam lingkungan sekolah secara efektif dan sehat, sehingga dapat memperoleh
kepuasan dalam upaya memenuhi kebutuhan yang dapat dirasakan diri dan
lingkungan.
Aspek-aspek penyesuaian sosial di sekolah menurut Schneiders (1964:454)
adalah sebagi berikut:
a. Kemampuan melakukan hubungan interpersonal dengan teman, guru baik
guru bidang studi maupun guru pembimbing, wali kelas, dan staf tata usaha,
yang ditandai dengan kemampuan siswa menjalin hubungan tersebut.
b. Kemampuan melaksanakan penyesuaian terhadap tata tertib sekolah yang
ditandai dengan adanya perilaku siswa yang mengarah pada ketaatan terhadap
tata tertib sekolah
c. Partisipasi dalam kegiatan kelompok belajar yang ditandai dengan adanya
partisipasi aktif siswa dalam kegiatan kelompok belajar
d. Berpastipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler, yang ditandai dengan adanya
partisipasi aktif siswa dalam mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah.

22
B. Konsep Pesantren
1. Pengertian Pesantren
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam dimana pengetahuanpengetahuan yang berhubungan dengan agama Islam diharapkan dapat diperoleh
di lingkungan pesantren.
Pondok pesantren merupakan merupakan lembaga pendidikan Islam yang
dilaksanakan dengan sistem asrama atau pondok dengan kyai sebagai sentra
utama dan masjid sebagai pusat lembaganya. (Arifin, 1993: 3). Dalam
melaksanakan fungsi sebagai lembaga pendidikan keagamaan, pondok pesantren
merupakan sub sistem pendidikan nasional yang tercantum dalam pasal 30 ayat 4
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003, yang
menyatakan Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren,
pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis. Berarti, pendidikan
pondok pesantren pada saat ini sama dan sejajar dengan pendidikan formal
lainnya. Oleh sebab itu tidak mengherankan ketika pondok pesantren saat ini
bersentuhan dengan madrasah/sekolah dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi
(Mahpuddin Noor: 2006: 4).
Jamali (Fitri Faridah 2005: 61) mengemukakan definisi pesantren sebagai
berikut: Kata pesantren merupakan kata benda bentukan dari santri yang
mendapat awalan pe dan akhiran-an, sehingga menjadi bentukan baru
pesantrian (orang jawa mengucapkannya pesantren). Dengan demikian
pesantren adalah sebuah tempat di mana para santri menginap dan menuntut ilmu.

23
Syarif (Arifin, 1993:3) mengartikan pesantren sebagai lembaga pendidikan
Islam yang dilaksanakan dengan sistem asrama, dengan kyai sebagai sentra utama
dan masjid sebagai pusat lembaga.
Menurut Abdurrahman Wahid (Fitri Faridah 2005: 61) pondok pesantren
merupakan suatu tempat yang dihuni oleh para santri. Terdapat tiga elemen
penting yang membentuk suatu pondok pesantren, yaitu 1) pola kepemimpinan
yang mandiri; 2) kitab rujukan umum yang selalu digunakan dari berbagai abad;
3) sistem nilai yang digunakan yang merupakan bagian dari masyarakat luas.
2. Unsur-Unsur Dasar Pesantren
Menurut Dhofier (Arifin, 1993: 5) terdapat lima unsur yang harus ada untuk
memahami keaslian suatu pondok pesantren. Kelima unsur tersebut antara lain:
a. Kyai
Sebutan kyai diberikan kepada pendiri atau pimpinan pondok pesantren, yang
sebagai muslim terpelajar telah membaktikan hidup untuk Allah serta
menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran Islam melalui kegiatan
pendidikan. (Arifin, 1993: 14). Kyai merupakan elemen yang esensial dari suatu
pesantren. Horikosih (Arifin, 1993: 14) menganggap bahwa fungsi keulamaan
kyai dapat dilihat dari tiga aspek sebagai berikut: 1) sebagai pemangku masjid dan
madrasah, 2) sebagai pengajar dan pendidik, 3) sebagai ahli hukum Islam. Misi
utama dari kyai adalah sebagai pendidik dan penganjur dakwah Islam dengan
baik. Kyai juga mengambil peran lanjut dari orangtua. Kyai merupakan guru
sekaligus pemimpin rohaniah keagamaan serta bertanggung jawab untuk
perkembangan kepribadian maupun kesehatan jasmani anak didiknya.

24
b. Santri
Siradj (Arifin, 1993: 12-13) mengartikan santri sebagai sebutan bagi
siswa yang mendalami agama di pesantren. Kata santri berasal dari kata
chantrik, yang berarti orang yang sedang belajar kepada guru. Kemudian bahasa
itu diserap ke dalam bahasa Jawa menjadi santri
Dhofier (Arifin, 1993: 12-13) membagi santri menjadi dua kelompok sesuai
dengan tradisi pesantren yang diamatinya, yaitu:
1) Santri mukim, santri mukim yaitu murid-murid yang berasal dari daerah yang
jauh dan menetap dalam kelompok. Santri mukim yang paling lama tinggal di
pesantren biasanya merupakan satu kelompok tersendiri yang bertanggung
jawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari. Mereka juga bertanggung
jawab mengajar santri-santri muda tentang kitab-kitab dasar dan menengah.
2) Santri kalong, santri kalong yaitu murid-murid yang berasal dari desa di
sekeliling pesantren, dan biasanya tidak menetap di pesantren. Untuk
mengikuti pelajaran di pesantren, santri kalong biasanya pulang pergi dari
rumah masing-masing.
Sementara Arifin (1993:13) mengemukakan bentuk lain dari kelompok
santri yaitu:
1) Santri alumnus, yaitu santri yang sudah tidak aktif dalam kegiatan pesantren,
namun masih sering datang pada acara-acara insidental yang diadakan
pesantren. Mereka masih memiliki komitmen hubungan dengan pesantren,
terutama dengan kyai pesantren.

25
2) Santri luar, yaitu santri yang tidak terdaftar secara resmi di pesantren dan tidak
mengikuti kegiatan di pesantren sebagaimana santri mukim dan santri kalong,
tetapi mereka memiliki hubungan yang dekat dengan kyai, sewaktu-waktu
mereka bisa mengikuti pengajian-pengajian agama yang diberikan oleh kyai.
c. Pondok
Dhofier (Arifin, 1993:6) mendefinisikan pondok sebagai sebuah asrama
pendidikan Islam tradisional dimana para siswa (santri) tinggal bersama di bawah
bimbingan guru atau lebih dikenal dengan sebutan kyai. Setiap pondok
pesantren biasanya memiliki asrama untuk tempat tinggal para santri. Biasanya
asrama ini terdiri dari kamar-kamar yang disediakan oleh pesantren untuk tempat
tinggal para santri selama belajar di pesantren. Beberapa pesantren yang
menerima santri putra dan santri putri akan memisahkan asrama berdasarkan jenis
kelamin dengan peraturan yang ketat.
d. Masjid
Sejak jaman nabi Muhammad SAW. masjid sudah dijadikan sebagai pusat
pendidikan Islam. Begitu juga dengan pesantren, masjid merupakan bagian yang
tidak dapat dipisahkan dari pesantren. Selain sebagai tempat ibadah, masjid juga
dijadikan pusat kegiatan pendidikan dan bimbingan oleh kyai terhadap santrisantrinya. Kegiatan-kegiatan pendidikan yang diselenggarakan di dalam masjid
antara lain, kegiatan mengaji kitab, praktek ibadah shalat, majlis talim dan lain
sebagainya.
e. Pengajaran kitab-kitab klasik

26
Pengajaran kitab-kitab klasik diberikan sebagai upaya untuk meneruskan
tujuan utama pesantren, yaitu mencetak calon-calon ulama yang setia kepada
paham Islam. Pada pesantren-pesantren tradisional (salaf) pendekatan melalui
sistem sorogan dengan pengajaran kitab-kitab kuning merupakan suatu hal yang
rutin.
Seiring dengan perkembangan zaman, kini banyak bermunculan
pesantren-pesantren modern, yaitu tipe pondok pesantren yang memasukkan
unsur-unsur di luar pesantren menjadi bagian dari pesantren. Kurikulum yang
digunakan memadukan antara kurikulum pemerintah dengan kurikulum yang
dibuat pesantren. Selain itu kegiatan ekstrakurikuler para siswa lebih beragam,
bidang ektrakurikuler tersebut diantaranya seni, olahraga, dan keterampilanketerampilan yang ditujukan untuk perkembangan para santri.
3.

Pola-Pola Pondok Pesantren


Hasil penelitian LP3ES (Arifin, 19993:7) menemukan 5 macam pola fisik
pondok pesantren yaitu:
a. Pola pertama. Terdiri dari masjid dan rumah kyai. Pondok pesantren semacam
ini masih bersifat sederhana, dimana kyai mempergunakan masjid atau
rumahnya sendiri untuk tempat mengajar. Dalam pondok pesantren tipe ini
santri hanya datang dari darah sekitar pesantren itu sendiri.
b. Pola kedua. Terdiri dari masjid, rumah kyai dan pondok (asrama) untuk
tempat menginap para santri yang datang dari daerah yang cukup jauh.

27
c. Pola ketiga. Terdiri dari masjid, rumah kyai dan pondok (asrama) dengan
sistem wetonan dan sorogan, pondok pesantren tipe ketiga ini telah
menyelenggarakan pendidikan formal seperti madrasah.
d. Pola keempat. Pondok pesantren tipe keempat ini selain memiliki komponenkomponen fisik seperti poal ketiga, juga memiliki tempat untuk pendidikan
keterampilan seperti kerajinan, perbengkelan, toko koperasi, sawah, ladang,
dan sebagainya.
e. Pola kelima. Dalam pola ini pondok pesantren telah berkembang dan bisa
disebut pondok pesantren modern atau pondok pesantren pembangunan. Di
samping masjid, rumah kyai/ustadz, pondok (asrama), madrasah dan atau
sekolah umum, terdapat pula bangunan-bangunan fisik lainnya lain seperti: (1)
perpustakaan, (2) dapur umum, (3) ruang makan, (4) kantor administrasi, (5)
toko, (6) rumah penginapan tamu, (7) ruang operasional lainnya.
4. Sistem Pendidikan Pondok Pesantren
Pendidikan pesantren memiliki dua sistem pengajaran, yaitu sistem
sorogan, yang sering disebut sistem individual, dan sistem bandongan atau
wetonan yang sering disebut kolektif. Dengan cara sistem sorogan tersebut, setiap
murid mendapat kesempatan untuk belajar secara langsung dari kyai atau
pembantu kyai. Sistem ini biasanya diberikan dalam pengajian kepada muridmurid yang telah menguasai pembacaan Al-quran dan kenyataan merupakan
bagian yang paling sulit sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan
dan disiplin pribadi dari murid. Murid seharusnya sudah paham tingkat sorogan

28
ini sebelum dapat mengikuti pendidikan selanjutnya di pesantren (Mahpuddin
Noor, 2006:43).
Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren ialah sistem
bandongan atau wetonan. Dalam sistem ini, sekelompok murid mendengarkan
seorang guru yang membaca, menerjemahkan, dan menerangkan buku-buku Islam
dalam bahasa Arab. Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah
yang artinya sekelompok siswa yang belajar dibawah bimbingan seorang guru
(Mahpuddin Noor, 2006:43). Sistem sorogan juga digunakan di pondok pesantren
tetapi biasanya hanya untuk santri baru yang memerlukan bantuan individual.
Pesantren sekarang ini dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu
pesantren tradisional dan pesantren modern. Sistem pendidikan pesantren
tradisional sering disebut sistem salafi, yaitu sistem yang tetap mempertahankan
pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Pondok
pesantren modern merupakan sistem pendidikan yang berusaha mengintegrasikan
secara penuh sistem tradisional dan sistem sekolah formal seperti madrasah.
Tujuan proses modernisasi pondok pesantren adalah berusaha untuk
menyempurnakan sistem pendidikan Islam yang ada di pesantren. Akhir-akhir ini
pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka
renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan. Perubahan-perubahan
yang bisa dilihat di pesantren modern termasuk mulai akrab dengan metodologi
ilmiah modern, lebih terbuka atas perkembangan di luar dirinya, kegiatan di
pesantren makin terbuka dan luas, dan sudah dapat berfungsi sebagai pusat
pengembangan masyarakat (Mahpuddin Noor, 2006:89 )

29
5. Karakteristik Santri
Santri merupakan sebutan bagi siswa yang belajar mendalami agama di
pesantren (Arifin, 1993:11). Para santri tinggal di asrama yang telah disediakan
oleh pesantren. Di lingkungan pesantren santri dibiasakan untuk hidup mandiri
mereka mengurusi segala keperluan mereka sendiri. Mulai dari menyuci pakaian
sendiri, memasak, dan mengurusi diri mereka sendiri. Namun seiring dengan
perkembangan zaman pesantren mulai menyediakan makanan untuk santri,
menyediakan laundry dan berbagai fasilitas untuk kemudahan santri. Santri
memiliki cara hidup yang sederhana, mereka

dibekali nilai-nilai keagamaan

seperti ukhuwah (persaudaraan), taawun (tolong-menolong), ittihad (persatuan),


menuntut ilmu, ikhlas, jihad, taat kepada Allah, Rasul, ulama atau kyai sebagai
pewaris nabi, dan kepada para pemimpin. Para santri memiliki iklim sosial yang
sama derajatnya dan saling membantu, mereka memiliki solidaritas yang tinggi
karena sama-sama merasa jauh dari keluarga.
6. Potensi dan Masalah yang Dimiliki Santri
Sistem pendidikan yang dimiliki pondok pesantren yang tidak hanya
mengedepankan sisi intelektual tetapi juga akhlak membuat para santri memiliki
potensi positif yang harus terus dikembangkan, diantaranya a) para santri dibekali
ilmu agama yang cukup banyak sehingga mereka memiliki pemahaman
keagamaan yang baik, b) para santri memiliki penyesuaian diri yang positif dan
mengundang kekaguman sebagian besar masyarakat karena mereka mampu
menempatkan diri pada situasi yang betul-betul dibutuhkan masyarakat, c) para
santri memiliki disiplin yang baik karena selama hidup di pesantren santri harus

30
menaati peraturan dan jadwal kegitan sehari-hari yang telah ditentukan oleh
pondok pesantren. d) para santri memiliki kemadirian yang lebih baik karena
mereka dilatih untuk dapat mengurusi kebutuhan mereka sendiri. e) para santri
memiliki sopan santun dalam bergaul terutama kepada orang yang lebih dewasa
dan patuh terhadap pimpinan pondok dan para ustadz. f) para santri memiliki
kreatifitas, terutama para santri yang berasal dari pondok modern mereka
diberikan kebebasan berekspresi selama tidak menyimpang dari ajaran Islam.
Selain potensi yang dimiliki, para santri juga tidak lepas dari berbagai
masalah yang dihadapi, diantaranya a) tidak tahan dengan disiplin pondok
pesantren yang telalu ketat, a) merasa jenuh dengan aktifitas di pondok pesantren,
c) konflik dengan teman atau dengan ustadz, d) tidak betah e) tidak mampu
membayar biaya sekolah dan asrama e) sering sakit, dan lain sebagainya (Arifin,
1993:11.

C. Bimbingan dan Konseling Pribadi Sosial untuk Penyesuaian Sosial Santri


1. Pengertian Bimbingan dan Konseling
Bimbingan menurut Uman Suherman (2007:10) merupakan proses
bantuan kepada individu (konseli) sebagai bagian dari program pendidikan yang
dilakukan oleh tenaga ahli (konselor) agar individu (konseli) mampu memahami
dan mengembangkan potensinya sesuai dengan tuntutan lingkungannya.
Konseling menurut Uman Suherman (2007:16) merupakan salah satu
hubungan yang bersifat membantu konseli agar dapat tumbuh ke arah yang
dipilihnya agar dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.

31
Bimbingan dan Konseling menurut Syamsu Yusuf dan Juntika (2006):
Merupakan suatu proses yang berkesinambungan bukan suatu kegiatan yang
seketika atau kebetulan yang bertujuan untuk memberikan bantuan kepada peserta
didik dalam mengembangkan diri, mengatasi masalah, atau mengambil keputusan
sehingga peserta didik mampu mengenal dan memahami diri; berani menerima
kenyataan secara objektif; mengarahkan diri sesuai dengan kemampuan,
kesempatan dan sistem nilai; melakukan pilihan dan mengambil keputusan atas
tanggung jawab sendiri.
2. Tujuan Bimbingan dan Konseling
Tujuan konseling menurut Shertzer & Stone (Uman Suherman, 2007:
14-16) yaitu :
a. Adanya perubahan perilaku
b. Kesehatan mental
c. Pemecahan masalah
d. Keefektifan pribadi
e. Pengambilan keputusan
Tujuan bimbingan dan konseling menurut Uman Suherman (2007:16) agar
individu (konseli) mampu memahami dan mengembangkan potensinya secara
optimal sesuai dengan tuntutan lingkungannya. Tujuan bimbingan dan konseling
tersebut dijabarkan agar individu dapat :
1) memahami dan menerima diri secara obyektif dan konstruktif, baik yang
terkait dengan keunggulan maupun kelemahan, baik fisik maupun psikis

32
2) memahami tentang kondisi, tuntutan dan irama kehidupan lingkungan yang
fluktuatif antara yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, serta mampu
meresponnya secara positif sesuai dengan norma pribadi, sosial, dan ajaran
agama yang dianut
3) merencanakan

aktivitas

penyelesaian

studi,

perencanaan

karir

serta

kehidupannya di masa yang akan datang


4) mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya serta memanfaatkan
kekuatan lingkungan secara optimal
5) menyesuaikan diri, baik dengan tuntutan lingkungan pendidikan, masyarakat,
pekerjaan, serta agama yang dianutnya
6) mengatasi hambatan dan kesulitan yang dihadapinya dalam studi, penyesuaian
dengan lingkungan pendidikan, masyarakat, pekerjaan maupun dalam
melakukan penghambaan kepada Tuhan-Nya.
Menurut Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling
dalam Jalur Pendidikan Formal, tujuan bimbingan dan konseling agar konseli
dapat :
a) merencanakan kegiatan penyelesaian studi, perkembangan karir serta
kehidupannya di masa yang akan datang
b) mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimilikinya seoptimal
mungkin
c) menyesuaikan diri dengan lingkungan pendidikan, masyarakat dan lingkungan
kerjanya

33
d) mengatasi hambatan dan kesulitan yang dihadapi dalam studi, penyesuaian
dengan lingkungan pendidikan, masyarakat maupun lingkungan kerja
Tujuan khusus dari layanan bimbingan dan konseling menurut Dewa Ketut
Sukardi (2008:44) adalah untuk membantu para siswa agar dapat mencapai tugastugas perkembangan meliputi aspek pribadi-sosial, belajar, dan karier.
3. Fungsi Bimbingan dan Konseling
Menurut Syamsu Yusuf dan Juntika (2006:16-17) sejalan dengan Ramburambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan
Formal, fungsi bimbingan dan konseling, sebagai berikut:
a. Pemahaman, yaitu membantu peserta didik (siswa) agar memiliki pemahman
terhadap dirinya (potensinya) dan lingkungannya (pendidikan, pekerjaan, dan
norma agama), sehingga dapat mengembangkan potensi secara optimal dan
menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
b. Preventif, yaitu upaya konselor untuk senantiasa mengantisipasi berbagai
masalah yang mungkin terjadi dan berupaya untuk mencegah supaya peserta
didik tidak mengalaminya.
c. Pengembangan, yaitu konselor senantiasa berupaya menciptakan lingkungan
belajar yang kondusif, yang memfasilitasi perkembangan siswa. Konselor
bekerjasama dengan para personil sekolah lainnya dalam melaksanakan
program bimbingan dan konseling agar siswa mampu mencapai tugas-tugas
perkembangannya.

34
d. Perbaikan (penyembuhan), yaitu fungsi bimbingan yang bersifat kuratif yang
memberikan bantuan kepada siswa yang telah mengalami masalah baik
menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar maupun karir.
e. Penyaluran, yaitu fungsi bimbingan dalam membantu siswa memilih kegiatan
ekstrakurikuler, jurusan atau program studi, dan memantapkan penguasaan
karir atau jabatan yang sesuai dengan minat, bakat, keahliandan ciri-ciri
kepribadian lainnya.
f. Adaptasi, yaitu fungsi membantu konselor, guru atau dosen untuk
mengadaptasikan program pendidikan terhadap latar belakang pendidikan,
minat, kemampuan dan kebutuhan individu (siswa).
g. Penyesuaian, yaitu fungsi bimbingan dalam membantu individu (siswa) agar
dapat menyesuaikan diri terhadap program pendidikan, peraturan sekolah atau
norma agama.
4. Prinsip-prinsip Bimbingan dan Konseling
Menurut Syamsu Yusuf dan Juntika (2006:17-19) sejalan dengan Ramburambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan
Formal, prinsip-prinsip bimbingan dan konseling, sebagai berikut:
a. Bimbingan diperuntukkan bagi semua individu (guidance is for all
individuals), artinya bimbingan diberikan kepada semua individu (siswa), baik
yang tidak bermasalah maupun yang bermasalah; baik pria ataupun wanita;
baik anak-anak, remaja, maupun dewasa.

35
b. Bimbingan bersifat individualisasi, membantu individu memaksimalkan
potensinya sebagai individu yang unik yang berfokus pada individu meskipun
bimbingannya menggunakan teknik kelompok.
c. Bimbingan menekankan hal yang positif, meluruskan persepsi negatif siswa
terhadap bimbingan dan konseling. Karena bimbingan sebenarnya merupakan
proses bantuan yang menekankan kekuatan dan kesuksesan, karena bimbingan
merupakan cara untuk membangun pandangan yang positif terhadap diri
sendiri, memberikan dorongan, dan peluang untuk berkembang.
d. Bimbingan merupakan usaha bersama, dimana konselor tidak bekerja
sendirian saja, tapi harus dapat bekerjasama dengan para personil sekolah
lainnya.
e. Pengambilan keputusan merupakan hal yang esensial dalam bimbingan,
bimbingan diarahkan untuk membantu individu agar dapat melakukan pilihan
dan mengambil keputusan.
f. Bimbingan berlangsung dalam berbagai setting (adegan) kehidupan, tidak
hanya berlangsung di sekolah tetapi juga di lingkungan keluarga,
perusahaan/industri, lembaga-lembaga pemerintah/swasta, dan masyarakat
pada umumnya.
5. Asas Bimbingan dan Konseling
Keberhasilan

bimbingan

dan

konseling

sangat

ditentukan

oleh

diwujudkannya asas-asas yang ada. Menurut Syamsu Yusuf dan Juntika (2006:2224) asas-asas bimbingan dan konseling, sebagai berikut:

36
a. Rahasia, yaitu menjaga data atau keterangan mengenai peserta didik yang
menjadi sasaran layanan sehingga tidak diketahui oleh orang lain.
b. Sukarela, yaitu adanya kesukaan atau kerelaan peserta didik (konseli)
mengikuti/menjalani layanan/kegiatan yang diperlukan baginya.
c. Terbuka, yaitu menghendaki adanya keterbukaan dan tidak berpura-pura dari
peserta didik (konseli) ketika memberikan keterangan atau informasi baik
mengenai dirinya ataupun orang lain.
d. Kegiatan, yaitu menghendaki agar konseli ikut berpartisipasi dalam
penyelenggaraan kegiatan bimbingan
e. Mandiri, yaitu mengarahkan individu (konseli) agar dapat mandiri dalam
mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.
f. Kini, yaitu menghendaki adanya permasalahan konseli dalam kondisinya
sekarang. Kondisi konseli masa depan ataupun masa lampau dilihat sebagai
dampak dan atau kaitannya dengan kondisi yang ada dan apa yang diperbuat
sekarang.
g. Dinamis, menghendaki agar layanan bimbingan yang diberikan kepada konseli
selalu bergerak maju, tidak monoton, dan terus berkembang serta
berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangan konseli dari
waktu ke waktu.
h. Terpadu, adanya koordinasi yang dilakukan oleh konselor baik dengan
konselor lainnya ataupun dengan personil sekolah lainnya.
i. Harmonis, kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada norma dan nilai
yang ada, tidak boleh bertentangan satu sama lainnya.

37
j. Ahli, penyelenggaraan bimbingan dan konseling didasarkan atas dasar kaidahkaidah profesional.
k. Alih Tangan Kasus (Referal), menghendaki agar pihak-pihak yang tidak
mampu menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling secara tepat dan
tuntas atas suatu permasalahan konseli mengalihtangankan permasalahan
kepada pihak yang lebih ahli.
l. Tut Wuri Handayani, menghendaki kegiatan bimbingan dan konseling dapat
menciptakan

suasana

yang

memberikan

rasa

aman

(mengayomi),

mengembangkan keteladanan, memberikan rangsangan dan dorongan serta


kesempatan kepada peserta didik agar maju.

D. Bimbingan Pribadi Sosial untuk Mengembangkan Penyesuaian Sosial


Santri
Bimbingan sosial-pribadi membantu peserta didik dalam mengahadapi dan
mengatasi

masalah-masalah

sosial-pribadi,

seperti

masalah

pergaulan,

penyelesaian konflik, dan penyesuaian diri (Juntika Nurihsan, 2006:14)


Bimbingan sosial-pribadi merupakan upaya pengembangan kemampuan
peserta didik untuk menghadapi dan mengatasi masalah-masalah sosial pribadi
dengan cara menciptkan lingkungan interaksi pendidikan yang kondusif,
mengembangkan sistem pemahaman diri, dan sikap-sikap positif, serta dengan
mengembangkan keterampilan-keterampilan sosial-pribadi. (Syamsu Yusuf:
2005:12)

38
Dewa Ketut Sukardi (2008: 53) mengartikan bimbingan dan konseling
pribadi sosial sebagai upaya membantu siswa untuk mengembangkan pribadi yang
beriman dan bertakwakepada Tuhan Yang Maha Esa, mantap dan mandiri serta
sehat jasmani dan rohani.
Bimbingan sosial-pribadi diarahkan untuk memantapkan kepribadian dan
mengembangkan kemampuan individu dalam menangani masalah-masalah
dirinya. Bimbingan ini merupakan layanan yang mengarah pada pencapaian
pribadi yang seimbang dengan memperhatikan keunikan karakteristik pribadi
serta ragam permasalahan yang dialami individu. Bimbingan pribadi-sosial
diberikan dengan cara menciptakan lingkungan yang kondusif, interaksi
pendidikan yang akrab, mengembangkan sistem pemahaman diri dan sikap-sikap
yang positif, serta keterampilan-keterampilan pribadi-sosial yang tepat
Tujuan dari bimbingan dan konseling pribadi sosial ialah agar individu
dapat:
1. Memahami tentang kondisi, tuntutan dan irama kehidupan lingkungan yang
fluktuatif antara yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, serta mampu
meresponnya secara positif sesuai dengan norma pribadi, sosial, dan ajaran
agama yang dianut.
2. Memiliki komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai keimanan dan
ketakwaaan kepada Tuhan Yang Maha Esa baik dalam kehidupan pribadi,
keluarga, pertemanan, sekolah, tempat bekerja maupun kehidupan masyarakat
pada umumnya.

39
3. Memiliki sikap toleransi terhadap orang lain dan saling menghormati dan
memelihara hak dan kewajiban masing-masing.
4. Memiliki sikap respek terhadap orang lain, menghargai dan menghormati
orang lain, serta tidak melecehkan harkat, martabat dan harga diri orang lain.
5. Memiliki pemahaman dan penerimaan diri secara positif, objektif dan
konstruktif, baik yang berkaitan dengan keunggulan maupun kelemahan, baik
fisik maupun psikis.
6. Memiliki kemampuan pilihan dan membuat keputusan secara sehat dan
efektif.
7. Memiliki kemampuan berinteraksi sosial yang diwujudkan dalam bentuk
persahabatan, persaudaraan, atau silaturahmi dengan sesama manusia.
8. Memiliki kemampuan interpersonal, baik dalam menyelesaikan konflik yang
bersifat internal maupun dengan orang lain.

Anda mungkin juga menyukai