Anda di halaman 1dari 2

Adil Bagi si Murid

Oleh
Ari P.
Seorang anak kecil menggambar. ia
membayangkan seeokor ular Sanca
menelan utuh seekor gajah jantan dewasa.
Dalam gambarnya : sosok gajah jantan itu
sudah tak tampak lagi. Yang nampak ialah
perut si ular yang menggelembung.
Kemudian,
anak
kecil
tersebut
menunjukkan gambarnya kepada orang
dewasa. Apakah kau takut melihat ini?
Tanya si anak kecil. Kenapa harus takut
melihat gambar sebuah topi, jawab si
orang dewasa.
Disitulah, kegagalan orang dewasa,
sebagaimana kisah Pangeran kecil
Antonie de Saint yang diceritakan ulang
oleh
Goenawan
dalam
Catatan
Pinggirnya. Orang dewasa tak gentar
bukan karna takut melihat ular menelan
seekor gajah, melainkan mereka tak bisa
membayangkan sesuatu yang lain dari
apa yang kasatmata, praktis dan lazim.
Sebagaimana cerita itu, tulisan ini akan
menyoal kegagalan guru sebagai orang
dewasa
dalam
memahami
proses
pembelajaran anak didiknya di sekolah.
Kita tahu bahwa saat ini dunia
pendidikan
kita
sedang
mencoba
menyisipkan harapan lain selain sisi
pengetahuan . harapan lain itu adalah
terbentuknya sikap dan keterampilan.
Sederhananya seorang siswa ketika selesai
pada bangku sekolah ia diharapkan
memiliki
sikap,
pengetahuan
dan
keterampilan yang baik. Agar ia lulus dari
satuan pendidikan, ia mesti memiliki 3
kompetensi yang kelak akan dilaporkan
pada akhir pendidikan. Untuk itu
diterapkanlah aturan. Bersamaan dengan

itu lahirlah kurikulum 2013. Dan sekolah


harus taat pada aturan tersebut.
Sebagaimana dalam kurikulum itu,
anak anak dituntut harus mendaptakan 3
kompetensi yang dituangkan dalam nilai.
Maka proses pembelajaranpun dimulai.
Anak anak menjadi murid. Dan si murid
belajar tentang pengetahuan dari A-Z.
Ketika si murid ribut karena merasa bosan,
maka si murid ditegur. jangan ribut tegur
sang guru. Si anak diam. Teguran itu untuk
sikap si murid yang tak menghargai sang
guru. Disinalah proses mengajar sikap itu.
Dan selesailah pula proses input sikap
itu. Sang guru lupa bahwa ia pernah
menjadi anak yang ribut di dalam kelas.
Maka dimulailah kegagalan seorang guru
dalam memahami sisi lain proses
pembelajaran yang sederhana, kasatmata
dan praktis saja. Sang guru tak adil dalam
memberikan porsi input sikap.
Ketika Sang guru menginput
pengetahuan, ia mengusai berbagai macam
teori dan metode agar pengetahuan itu
sampai pada si anak. Begitu pula dengan
waktu yang diberikan. Waktu untuk
mengajar pengetahuan tersedia lebih
banyak dibandingkan belajar tentang sikap
dan keterampilan. Tapi untuk sikap tak
ada teori, tak ada metode dan tak ada
cukup waktu. Hanya teguran ketika si anak
berlaku salah. Itu pun dilakukan karena si
anak
menggangu
proses
input
pengetahuan. Jadi input sikap memang
dari awal tidak ada.
Dari situ, kita tahu : guru tak bisa
memberikan porsi yang sama adilnya
antara pengetahuan, sikap dan
keterampilan. Atau memang lebih
mudah
mengajarkan
sikap
dan
keterampilan? sehingga tak butuh teori,
metode dan waktu yang banyak.

Ketika akhir semester, nilai sikap


diperlukan. Untuk itu, maka nilai sikap
harus ada karena ia merupakan indikator
penting kelulusan si murid dalam
melanjutkan ke tingkat berikutnya. Nilai
itu bersumber dari dokumentasi hasil
pengamatan sang guru terhadap si anak.
Dari situ kita tahu sikap siswa memang
dinilai tanpa proses pembelajaran seperti
pengetahuan.
Nilai sikap yang bersumber dari
pengetahuan guru tentang sikap si murid
tadi diharapkan mampu merubah sikap si
murid. Jadi misalnya si bengal
mendapatkan nilai bengal. Maka dengan
nilai yang
bengal itu, si bengal
diharapkan sadar dan bisa berubah menjadi
si alim. Orientasi perubahan sikapnya
ada pada nilai. Sehingga agar si murid
mendapatkan nilai sikap yang baik, maka
ia harus berbuat baik pula. Maka si murid
berbuat baik bukan karena harus berbuat
baik, melainkan karena nilai. Dan suatu
saat, ketika si murid berada di masyarakat
ia hanya akan berbuat baik jika :
perbuatan itu bernilai dan berharga bagi
dirinya
sendiri.
Tentu
kita
tak
mengharapkan itu. Yang kita harapkan
ialah : si murid berlaku baik karena merasa
ia adalah manusia yang memang harus
berbuat baik.
Kita juga berharap proses input
sikap dan keterampilan bisa berimbang.

Dan Sang guru harus sadar akan hal


tersebut. Jika input sikap hanya berupa
teguran seperti hei, jangan ribut, maka
tukang ojek pun bisa melakukan itu. Tapi
guru bukan tukang ojek, meskipun mereka
sama sebagai orang dewasa. Bedanya sang
guru kuliah dan tukang ojek tak kuliah.
Dulu ketika sang guru kuliah,
guru besarnya menjejalinya dengan
berbagai macam pengetahuan. Ia tidak
diajari banyak tentang sikap dan
keterampilan sebagaimana yang dituntut
dalam kurikulum saat ini. Maka wajar saja
ketika ia mengajar di sekolah, ia juga tak
mengajari banyak hal tentang sikap dan
keterampilan. Mungkin ini lebih mirip
seperti hubungan kausalitas, atau bisa jadi
memang tidak ada sinkronisasi antara
kurikulum di kampus dengan kurikulum
pendidikan di sekolah.
Tulisan ini memang tidak memberi
solusi atas permasalahan Input sikap dan
keterampilan
sebagaimana
yang
diharapkan dalam kurikulum. Sederhana
saja, karna penulis memang belum
menemukan cara input sikap hingga
tahap internalisasi. Tulisan ini hanya
berusaha menunjukkan sesuatu yang lain
dari apa yang kasat mata, praktis dan lazim
namun tak disadari.
*)Penulis adalah tenaga pengajar pada
salah satu yayasan di kota Palu.

Anda mungkin juga menyukai