Anda di halaman 1dari 8

Migas Indonesia "Mau Kemana ?

Herry Putranto herryputranto@cendrawasih


Migas Indonesia "Mau Kemana?"
Sekedar berbagi keprihatinan dan mohon sumbang saran untuk solusi real.
"Tidak gampang hidup di Indonesia" saat ini, dalam berbagai segi, carut marut kehidupan makin
berdegup kencang bahkan mungkin sudah tak terasa lagi, hal demikian sudah menjadi
keniscayaan ;mungkin karena kemampuan beradaptasi bangsa kita yang tinggi, dan terlepas dari
karena ketidakmampuan atau ketidakpedulian untuk lepas menuju altar kesejahteraan yang paling
minim sekalipun.
Fenomena Minyak Bumi
Lebih dari seabad sejarah perminyakan Indonesia dan selama itu pula kita tidak berhasil lepas dari
ketergantungan terhadap teknologi,standard,pola dan modal asing. Hampir seluruh kebijakan
Negara dan pola permainan di dunia Minyak Indonesia mulai dari hulu sampai hilir dikuasai atau
minimal dikooptasi oleh asing. </p>
Tentunya kita sudah dapat merasakan bahwa wind fall kenaikan harga minyak hanya sekedar
lewat karena Negara terpaksa mensubsidi untuk konsumsi produk turunan minyak yang diimpor.
Kondisi ini terjadi sebagai akibat langsung dari tingginya tingkat konsumsi masyarakat yang tidak
berimbang dengan tingkat produksi dan eksploitasi minyak mentah dari lapangan yang ada, dan
minimnya kapasitas produksi kilang minyak yang ada di Indonesia (belum lagi keberadaan kilang
yang spesifik dalam penggunaan umpan minyak mentah, serta lokasi berdirinya kilang yang tidak
merata di Indonesia).
Dapat dicatat hanya sebagian kecil lapangan minyak baru yang ditemukan, dieksplorasi dan
dieksploitasi di Indonesia tanpa ketergantungan pihak asing; kondisi yang kurang lebih sama juga
terjadi di bidang pengolahan minyak mentah, dari seluruh kilang yang ada tidak satupun
menerapkan teknologi hasil karya bangsa Indonesia. Akibatnya penemuan sumur minyak baru dan
pembuatan kilang baru akan sangat mahal biayanya, dan ujung-ujungnya Negara dan
masayarakat yang terpuruk, hanya sebagian kecil dari kita yang merasakan nikmatnya Indonesia
dengan produksi dan konsumsi minyak tinggi.
Fenomena Gas
Setelah harga minyak sebagai bahan bakar utama dunia meroket , komoditas energi lain makin
mendapat tempat, selain batu bara pemerintah menggalakan penggunaan gas yang dulu sempat
dijual obral ke asing sebagai LNG. Semangat konversi minyak tanah ke LPG merupakan langkah

by accident, terlihat dari sulitnya pengadaan LPG, serta tabung LPG 3 kg yang dikategorikan LowTech pun lagi-lagi harus diimpor.
Belajar dari fenomena minyak yang sudah menipis serta dominasi asing yang sangat luar biasa,
tentunya kita berharap banyak langkah perbaikan yang harus dilakukan dalam penanganan gas
bumi ini. Pemerintah harus bertindak tegas dan membela kepentingan bangsanya, mengingat
cadangan gas bumi Indonesia masih sangat besar. Ketergantungan pada pihak asing harus cepat
disubstitusi oleh kemandiriian bangsa.
Saat ini penggunaan peralatan dalam industri gas hanya sedikit yang merupakan aplikasi teknologi
Indonesia, bahkan gasket dan sekrup pun juga harus diimpor. Pada suatu saat fenomena minyak
akan terulang lagi di arena industri gas, dan tanda-tanda kearah itu sudah terlihat dengan jelas.
Keseriusan Bangsa dan Arah Pengelolaan MIGAS
Memang tidak mudah untuk memproduksi barang baik dan harga kompetitif, membutuhkan usaha
panjang tak kenal lelah dan terencana dan tentunya pemerintah memiliki porsi tanggung jawab
yang besar demi ketahanan energi saat ini maupun kehidupan bangsa kedepan. Mulai dari
penyiapan generasi cerdas melalui gizi yang seimbang, pendidikan terarah dan terspesialiasasi,
lembaga latihan kerja, penghargaan yang tinggi bagi pekerja dibidang teknologi, dan yang
terpenting political will dari pemerintah dalam pemberian kesempatan untuk anak bangsa untuk
berbuat banyak di bidang industri gas bumi.
Selain pembenahan dari sektor diatas, pemerintah dan kita semua perlu merubah "perilaku" yang
kontra produktif seperti pola hidup boros dengan energy, substitusi budaya instan dengan budaya
kerja cerdas dan keras,penghargaan kepada output person bukan dari kekayaan yang bukan
haknya, budaya koropsi, curang dan tidak jujur dan lain sebagainya.
Upaya diatas memang membutuhkan biaya dan usaha yang besar, sebenarnya lingkaran setan
dalam pembiayaan program diatas bukanlah problem, pemerintah dan bangsa kita saat ini
haruslah adil bagi generasi yang akan mengisi Negara ini dikemudian hari. Porsi subsidi dan
keuntungan BUMN dapat digerakan.
Bangsa Cina dikarunia jumlah penduduk yang besar dan pada 20 tahun yang lalu tidak lebih baik
dari Indonesia, kesadaran bangsa dan terutama pemimpin serta para tokohnya yang telah bahu
membahu membangun bangsa Cina telah menorehkan hasil pencapaian yang luar biasa dengan
kinerja ekonominya saat ini.
Walaupun produk Cina tidak sehebat Jepang ataupun malah Korea, tetapi the show must go on,
dagang hayu tapi ekspor dan pengembangan teknologi juga hayu. Bangsa kita lebih suka jadi
pedagang produk dan teknologi asing di negaranya sendiri. Budaya instan benar-benar telah
mendarah daging baik dari level atas sampai bawah, baik penguasa maupun pengusaha.
Pemerintah dan kita semua harus bahu membahu mengarahkan SDA MIGAS untuk kepentingan
bangsa saat ini dan yang akan datang, pola kebijakan yang sangat reaktif dan cenderung di
kendalikan oleh pihak luar, baik dengan ketersediaan modal maupun teknologi harus segera

dikurangi bahkan dihindarkan. Arahnya pengelolaannya sebenarnya sudah jelas apabila kita
mencermati Visi dan Misi dari Departemen ESDM sebagai pengemban tugas mengelola energi
dan sumber daya mineral, tinggal bagaimana secara real Visi dan Misi itu dapat dicapai.
Apabila langkah diatas dijalankan tidak ada salahnya jika kita berharap pada saat nanti kata-kata
"tidak gampang hidup di Indonesia" hanya tinggal sejarah, anak cucu dan cicit kita dapat
mengalami dan menikmati apa yang bangsa Cina saat ini rasakan sebagai buah kerja cerdas dan
keras serta memiliki kemandiriian dalam teknologi, dan kita di alam lain menikmati doa dari anak
cucu dan cicit kita..semoga
Dirman Artib
Mas Herry,
Minggu lalu tamu kita dari US datang, urusan utama adalah Sistem Pertahanan Nasional, tapi
mungkin ada agenda titipan saat minum kopi spt. kasus Exxon di Natuna.
Seperti biasanya, selang beberapa hari setelah Mr. US akan diikuti oleh Mr. UK, diwakili oleh sang
Royal member, mungkin agenda titipan nya adalah Si Cantik dari Tangguh Papua.
Kok saya punya feeling, selang bbrp. minggu ke depan akan ada pula kunjungan dari saudara tuacahaya Asia Timur, lalu saudara dari daratan Asia, mereka kan perlu keamanan pasok kentut bumi
dari Nusantara, jangan-jangan tamu-tamu terdahulu berniat mengancam rencana dan komitmen.
Semuanya adalah peta baru perebutan pengaruh atas sumber-sumber energi fosil, karena
menakut-nakuti Rusia adalah kerjaan beresiko, mengharap kebaikan Hugo Savez kayaknya harus
nunggu hasil pemilu, MidEast terus bergolak, harapan sumber dari Africa harus berdarah-darah.
Nah Endonesia ......harus dibangunin, kalau nggak bangun diguyur air, dielus-elus, kalau nggak
bangun juga .......lapor mak Erot lah pasti bangun.
Konon Pulau Jawa ini terapung karena ada gas dibawahnya, saking "well plan" siap-sediaantisipasi, pembangkit Muara Tawar sudah 2 tahun lelah menunggu gas yg tak kunjung mengaliri
sudu-sudu kincirnya. Andaikan kita bisa kembali 5 tahun ke belakang, kalau perlu kita bikin
komitmen untuk balapan, hanya butuh waktu 5 bulan dari tender area, rencana investasi, tender
FEED, EPC, sampai realisasi fisik. Bayangkan jika skrg. kita punya 3 jt bbl/day, tentu langsung kita
borong F16 beberapa biji, ah kecil.
Dasep Nurjani
Lonjakan harga dan gejolak pasar minyak beberapa tahun terakhir seolah memberi amunisi bagi
era kebangkitan dan bermunculannya pemain-pemain global baru di bidang minyak dan gas dari
negara-negara berkembang. Tidak sedikit di antara mereka adalah badan usaha milik negara.

Selama ini, industri minyak dunia dikuasai oleh tujuh perusahaan minyak raksasa dari negara
maju, yang sering dijuluki sebagai "The Seven Sisters". Ketujuh pemain besar dari negara maju ini
adalah Exxon, BP, Royal Dutch Shell, Mobil Oil, Texaco, Gulf, dan Chevron. Mereka sangat kuat
karena menguasai sekitar 40 persen pasokan minyak dunia. "Alasan mengapa 'The Seven Sisters'
begitu penting adalah karena mereka yang membuat aturan (rule makers), mereka menguasai
industri dan pasar. Kini, 'Seven Sisters' yang baru yang membuat aturan dan perusahaanperusahaan minyak internasional itu hanya menjadi pengikut (rule takers)," ujar Robin West,
Chairman PFC Energy, sebagaimana dikutip harian Financial Times. Tampaknya sejarah berulang.
Dulu, ketujuh perusahaan minyak raksasa ini mengambil alih dominasi dan kepemimpinan pasar
dari "Seven Sisters" (julukan yang pertama kali diberikan oleh pakar energi Italia Enrico Mattei)
generasi pertama, yang menguasai industri minyak dunia pasca-Perang Dunia II.
Mereka adalah Standard Oil of New Jersey, Royal Dutch Shell, Anglo Persian Oil Company,
Standard Oil of New York, Standard Oil of California, Gulf Oil, dan Texaco.
Kini giliran generasi kedua "The Seven Sisters" yang mulai tergusur oleh pemain-pemain global
baru dari negara berkembang, yang sebagian besar di antaranya perusahaan milik negara. Dari 50
perusahaan minyak terbesar dunia, lebih dari separuh adalah badan usaha milik negara (BUMN)
dan 15 di antaranya dari negara berkembang. Bersama sejumlah perusahaan migas milik swasta,
BUMN- BUMN migas ini ini berkembang menjadi perusahaan-perusahaan multinasional
(transnational companies/TNCs) yang cukup diperhitungkan dan matang dalam beberapa tahun
terakhir. Banyak dari mereka yang mencatatkan saham di Bursa Saham New York (NYSE),
termasuk CNNOC (China), Petrobras (Brasil), Petrochina (perusahaan afiliasi CNPC), dan
Sinopec. Para pemain global baru ini menjadi bagian dari era baru kebangkitan TNCs
multinasional negara-negara berkembang, terutama Asia. Harian Financial Times menyusun daftar
tujuh calon penghuni baru kelompok bergengsi itu berdasarkan basis sumber daya yang dikuasai,
tingkat output (produksi), ambisi perusahaan, skala pasar domestik, serta tingkat pengaruh mereka
pada industri minyak dan gas dunia. Mereka adalah: Aramco (Arab Saudi), Gazprom (Rusia),
CNPC (China), National Iranian Oil Company/NIOC (Iran), PDVSA (Venezuela), Petrobras (Brasil),
dan Petronas (Malaysia). Dalam daftar yang dibuat United Nations Conference on Trade and
Development (UNCTAD), semua perusahaan itu, kecuali Aramco, masuk dalam daftar 19
perusahaan minyak terbesar dunia dengan operasi secara global. Aramco tidak masuk karena
sebagian besar kegiatan eksplorasi dan produksi dilakukan di dalam negerinya sendiri. Di mana
posisi Pertamina?
Tidak masuk hitungan!
Dari sisi kepemilikan saham di kegiatan produksi minyak asing, peran BUMN-BUMN minyak Asia,
menurut laporan The Role of Asian Oil Companies, memang masih kecil, sekitar 2 persen dari
produksi minyak global pada 2005- 2006. Mereka diperkirakan juga belum akan menjadi ancaman
bagi perusahaan minyak raksasa dari negara maju dalam pasokan ke pasar dalam waktu dekat.
Namun, ketujuh perusahaan itu kini menguasai sekitar sepertiga produksi serta cadangan minyak
dan gas dunia. Sebagai gambaran betapa strategisnya posisi mereka, "The Seven Sisters" dari
negara maju yang sekarang--yang kemudian menciut menjadi empat karena konsolidasi di antara
mereka pada tahun 1990-an (menjadi ExxonMobil, Chevron, BP, dan Shell)--hanya memproduksi
sekitar 10 persen produksi minyak dan gas dunia serta menguasai sekitar 3 persen cadangan
minyak dan gas dunia. Badan Energi Internasional (EIA), memprediksikan 90 persen pasokan

minyak dunia dalam 40 tahun ke depan akan datang dari para pemain negara-negara berkembang
ini. Ini membalikkan kondisi 30 tahun terakhir di mana 40 persen pasokan minyak dunia berasal
dari negara- negara maju, dengan generasi kedua The Seven Sisters sebagai sebagai operator
utama.
Para pemain baru dari negara berkembang mulai mengalahkan pemain- pemain lama dalam
agresivitas akuisisi saham perusahaan-perusahaan minyak dari berbagai negara. Aktivitas mereka
ikut meramaikan demam perburuan minyak di tengah krisis harga minyak yang hampir menyeret
perekonomian global dalam resesi akhir-akhir ini.
Motifnya untuk China lebih untuk mengamankan kebutuhan energi skala masif perekonomian
mereka di masa depan. Sementara, ekspansi BUMN- BUMN migas Rusia lebih banyak dilandasi
oleh kepentingan mengamankan akses pasar, terutama di negara maju, melalui kegiatan
terintegrasi di hulu.
Paling berhasil
Dengan menguasai 25 persen cadangan minyak dunia dan kapasitas produksi hampir tiga kali
lipat dari pesaing terdekat, Aramco, yang merupakan BUMN minyak Arab Saudi, sekarang ini bisa
dikatakan sebagai perusahaan minyak nasional paling berhasil di dunia.
Kendati lapangan terbesarnya mulai menua, BUMN ini masih menempati posisi teratas produksi
minyak dunia, disusul BUMN migas Rusia (Gazprom) dan BUMN migas Iran (NIOC).
Berbeda dengan Aramco, BUMN-BUMN dari China dan Rusia jauh lebih agresif dalam melakukan
ekspansi di luar wilayahnya. Data UNCTAD (World Investment Report 2007), investasi BUMNBUMN minyak China sudah menyebar di lebih dari 46 negara, kebanyakan di negara-negara
berkembang, meliputi kegiatan eksplorasi, produksi, transportasi, pengilangan, hingga kontrak
jasa.
Meski gagal mengakuisisi perusahaan minyak AS, Unocal, CNPC menyabet sejumlah kontrak
besar di negara maju, termasuk Australia dan Kanada. BUMN-BUMN China ini bersaing dengan
perusahaan-perusahaan minyak Rusia yang beberapa tahun terakhir aktif dalam proyek eksplorasi
dan eksploitasi di sejumlah negara bekas Uni Soviet (CIS) atau negara berkembang lain yang
memiliki keterkaitan sejarah panjang dengan
Federasi Rusia.
Sebagian dari hak kuasa penambangan yang dipegang Rusia sekarang ini diwarisi dari Uni Soviet
sebelum pecah. Bukan hanya ekspansi secara internasional, BUMN-BUMN minyak Rusia secara
agresif juga mulai "menasionalisasi" proyek-proyek migas dan energi penting di negaranya yang
semula dikuasai oleh pemain-pemain Barat.
Petronas juga tidak mau kalah. Sepak terjang perusahaan ini termasuk spektakuler. BUMN ini baru
mulai melakukan ekspansi internasional tahun 1990- an. Dimulai dari negara-negara tetangga
terdekat di Asia Tenggara, Petronas kini sudah mengembangkan sayap ke lebih dari 33 negara.
Petronas mulai terjun ke kegiatan di sektor hulu di luar Asia Tenggara pada tahun 1996, dengan

mengakuisisi perusahaan pengilangan di Afrika Selatan. Disusul eksplorasi di negara Afrika lain
seperti Sudan (1999), Gabon (1999), Chad (2000), Kamerun (2000), Aljazair (2001), Mozambik
(2002), Etiopia (2003), dan Niger (2005).
BUMN ini juga terlibat dalam konstruksi jaringan pipa dan pengembangan jaringan stasiun
pengisian bahan bakar (SPBU) di berbagai negara, seperti China, India, Argentina, Afrika Selatan,
Sudan, dan Inggris. Sekitar 30 persen pendapatan Petronas diperoleh dari operasi di luar negeri
dan dari hampir seratus lapangan minyak yang dikelola, sekitar 50 sudah berproduksi.
Kendati tidak seagresif China dan Malaysia, Thailand juga tak mau ketinggalan. PTT, BUMN
minyak negara ini, mulai ekspansi di luar negeri akhir 1990-an. Meski konsentrasi investasinya
masih di sekitar kawasan Asia Tenggara, beberapa tahun terakhir PTT mulai mengikuti jejak
Malaysia melalui joint venture eksplorasi dengan perusahaan minyak lain di Asia Barat dan Afrika.
PTT juga menjadi pemain penting dalam pembangunan proyek jaringan pipa trans-ASEAN.
Demam ekspansi global juga menghinggapi negara Asia lain seperti India dan Korea Selatan, dan
negara berkembang di luar Asia. Dua perusahaan minyak India, ONGH Videsh dan Indian Oil
Corporation, masing-masing sudah memproduksi minyak dari lapangan di Rusia (proyek Sakhalin
1) dan Libya.
Korsel melalui BUMN KNOC juga sudah menggarap proyek pengembangan 26 lapangan minyak
di 14 negara. Tahun lalu, perusahaan ini melakukan ekspansi di Australia, Kazakstan, Nigeria,
Rusia, dan Yaman. Sementara Petrobras dari Brasil mulai produksi di delapan negara dan terlibat
dalam kegiatan eksplorasi dan investasi di sektor hulu di 10 lokasi lainnya.
Satu dekade terakhir menjadi saksi metamorfosa dramatis BUMN-BUMN minyak dari berbagai
negara berkembang Asia. Dari semula pemain lokal, mereka menjelma jadi pemain global yang
terus merangsek ke atas dalam jajaran TNCs terbesar dunia.
Sepak terjang mereka memudarkan dominasi pemain global negara maju dan mengukuhkan
hipotesa abad ke-21 sebagai abad kejayaan Asia, milik Asia.
Sayang, Indonesia dengan BUMN migas Pertamina-nya ketinggalan gerbong dalam eforia ini.

Herry Putranto@cendrawasih
Mas Dirman & Kang Dasep
Yang mendasari keperihatinan kita mengenai ketidak berdayaan kita menghadapi dominasi asing
di industri Migas Nasional memang seperti yang sudah anda berdua uraikan itu. Dan seperti itulah
adanya. Kapan kita bisa segera bangkit kembali di bidang Migas sementara SDA dan SDM kita
sebetulnya berkelimpahan.Gemes juga ya....
Sebagai contoh, Di Indonesia banyak dijumpai idle field yang banyak diminati dan bisa dikelola
oleh pengusaha nasional. Mereka mampu dan berminat untuk mengelola lapangan gas berskala

kecil sekitar 1 sd 3 mmscfd (lumayanlah segitu juga ) itupun begitu sulitnya mengurus GSA yang
memerlukan waktu hingga ber tahun tahun, lalu kapan berproduksinya ya.
Diluar konteks nih,
Mas Dirman, memang Iklan BKKBN di jl MT Haryono/Gatot Subroto yang menghimbau 2 anak
cukup itu saya dan keluarga. So, saya juga menghimbau kepada temen2 milis yang belum
berkeluarga, tolonglah negeri tercinta yang sudah berat bebannya ini kita bantu dengan memiliki
anak tidak lebih dari 2 orang saja. Kalau sudah ada dan lebih dari 2 ya gak apa2 wong sudah
terlanjur.

Agus Suhirmanto
Menarik juga topiknya Pak. Saya jadi tergelitik untuk sedikit ikutan diskusi.
- Benar SDA berlimpahan, khusus untuk Migas, berlimpahannya SDA migas Indonesia tidak
dibarengi dengan kemudahan dalam exploitasinya. beberapa dekade terakhir, migas bukan saja
semakin sulit di-exploitasi tapi jadi makin sulit untuk di-produksi. tahap exploration pun bukanlah
hal yang makin mudah. Berbagai macam teknologi yang kebanyakan kita adopsi dari luar negeri,
sudah digunakan tapi tetap saja perkara ini masih sulit ditangani. Butuh waktu dan extra-effort
untuk melakukannya. Inilah salah satu tantangan buat tenaga-tenaga ahli migas Indonesia saat ini
dan masa depan.
- Benar SDM kita berlimpah, tapi mungkin yg berlimpah ini SDM di industri hilir bukan Hulu. Di
hulu, berdasarkan beberapa informasi yang saya baca. Justru SDM Indonesia bahkan dunia
dibidang migas hulu (upstream) seperti Geologist, Geophysicist, Petroleum Engineer, reservoir
Engineer dll yang berpengalaman dan terkait langsung dengan proses exploration, exploitation
termasuk produksi, masih sangat kekurangan. Hal ini ditambah pula dengan adanya exodus
tenaga ahli migas hulu ke luar negeri. Satu lagi yg menjadi tantangan tersendiri buat kita semua
sebagai salah satu produsen migas dunia.
- Benar di Indonesia masih banyak idle field. Berdasarkan informasi lain yang pernah saya baca
juga. Potensi-potensi migas Indonesia yang saat ini masih terbengkalai (sebenarnya bukan
terbengkalai sih...), kebanyakan adalah yang bersifat marginal yang mungkin memiliki sumberdaya
yang tidak besar dan proses serta dana untuk produksi dan transportasinya tidak sebanding
dengan hasil produksinya. Karena lapangan-lapangan marginal tersebut jauh dari fasilitas
permukaan (pipeline, Gathering station dll). Sehingga berdasarkan hitungan-hitungan ekonomi,
lapangan marginal menjadi tidak ekonomis untuk diproduksi. Potensi migas lain sebagian besar
juga masih berupa prospect-prospect baru (undrilled, new venture dll). Mungkin resources
(sumberdaya)nya besar, namun karena letaknya yang jauh dari fasilitas dan juga resiko serta
tingkat kesulitan dalam pengeborannya juga menjadikan potensi-potensi ini "terbengkalai".
- Peminat untuk mengelola lapangan dengan produksi 1-3 mmscfd gas mungkin banyak. Tapi
ternyata tidak semudah itu, butuh pendanaan dan komitmen yang terbilang besar untuk mengelola

dan memproduksinya. Jadi tidak semua operator yang sanggup untuk melakukannya. Buat
perusahaan besar seperti "The Seven Sisters" itu mungkin tidak masalah buat mereka, yang
menjadi masalah apakah mereka mau mengeluarkan dana jutaan dolar yang secara ekonomi tidak
ekonomis untuk produksi migas dari lapangan marginal. Buat perusahaan macam Chevron, Exxon,
Total...lapangan minyak marginal yg punya est'd rec. reserves cuma 1-2 MMBO hanya menjadi
remah. Terlalu kecil. Tapi buat perusahaan kecil yang punya dukungan dana sangat kuat, mungkin
menarik.
- Soal ber-KB-an, saya sih prinsipnya kalau kita mampu untuk menghidupi keluarga kita, gak pake
ngutang sana-ngutang sini, gak pake ngamen dan ngemis di jalan. Punya anak lebih dari 2 sih
ndak jadi masalah. Yang akan jadi masalah adalah kalau secara material tidak mampu, tapi nekat
punya anak sepuluh. Wah jaman sekarang perlu hati-hati. Buat saya, anak-anak itu rahmat dan
karunia Tuhan. Anak itu amanah yang harus dijaga dan dipelihara.
Yang mungkin perlu ditolong adalah Pemerintah supaya mampu menegakan hukum dan keadilan
di negara ini. Jangan sampai maling ayam harus mati digebuki masyarakat, sementara maling duit
negara/duit rakyat cuma dihukum setahun, trus cuma disuruh bayar denda 500jt, padahal korupsi 5
Miliar atau 5 triliyun. Saya jadi inget kisah nyata di China. Mungkin ini salah satu alasan mengapa
China bisa sedemikian pesat perkembangan ekonominya. Presiden China (saya lupa namanya) yg
saat ini memimpin, berkata: "Siapkan 100 peti mati, 99 peti buat para koruptor, yang satu buat
saya...Jika saya juga melakukan korupsi".
Kalo diindonesia khan kayaknya agak beda gitu looh. "Siapkan 100 peti isinya duit, 99 buat saya,
yang satu silakan bagi-bagi"...hehehe. Just joking.
InsyaAllah, begitu hukum (hukum disegala aspek/bidang) ditegakkan seadil-adilnya di negara ini,
InsyaAllah, negara Indonesia bisa kembali menjadi negara yang disegani di dunia. Merdeka!
Baskoro Tejo
Kalau menurut Saya, Saya pernah mendengar komentar dari salah seorang anggota DPR yang
masih peduli dengan Indonesia, Mas Tjatur Sapto Edy,
Dia mengatakan bahwa sekarang ini Pertamina ibaratnya mau lari, tapi belakangnya dipegangi.
Jadi ya lari ditempat.Hal ini terjadi karena kebijakan pemerintah, yaitu selalu mengambil
keuntungan Pertamina. Sehingga Pertamina tidak bisa maju lebih cepat seperti tetangga kita,
Petronas. Setau saya, Petronas sekarang ini memakai sistem kebijakan Pertamina lama, saya
masih kurang paham juga tentang ini.
Bagaimana tanggapan Pertamina tentang ditemukannya Sumur Minyak terbesar di dunia yang
berada di Aceh?? Kalo bukan national company yang mendapatkannya, lalu mau diberikan
kemana lagi minyak2 kita yang seharusnya bisa memberikan keuntungan bagi rakyat kita??
Bangun..bangun...!!! Jangan bangga hanya dengan cadangan minyak dan gas kita yang besar.
Bagi yang punya kemampuan dan networking, Saya hanya bisa menyarankan untuk tetap selalu
indonesian oriented. Supaya anak cucu kita gak cuma jadi "tamu di negeri sendiri" nantinya...

Anda mungkin juga menyukai