Oleh :
Kelompok 12
Kelas A
Rahmat Ardiansyah
200110120198
Muhammad Yunus
200110130055
Yudi Rusmana
200110130157
Etya Nurrimas G
200110130333
Witono Brotoseno
200110130371
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2016
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kemampuan genetik ternak, dapat juga disebut kemampuan bereproduksi
dan berproduksi, tidak dapat dilihat, tetapi dapat ditaksir. Prinsip dasar pemuliaan
ternak mengajarkan bahwa kemampuan genetik di wariskan dari tetua ke anak,
secara acak. Peningkatan produktivitas ternak dapat dilakukan melalui perbaikan
lingkungan (mutu pakan dan tatalaksana) serta program pemuliaan. Peningkatan
mutu genetik melalui program pemuliaan dapat dilakukan dengan perkawinan
silang (persilangan) dan program seleksi.
Seleksi dan persilangan merupakan dua metode yang dapat dilakukan
dalam perbaikan mutu genetik untuk meningkatkan produktivitas ternak. Seleksi
yang baik dapat dilakukan dengan adanya sistem pencatatan yang lengkap. Selain
itu, untuk mencapai hasil pemuliaan yang diinginkan terdapat beberapa parameter
genetik yang penting untuk diketahui salah satunya adalah faktor koreksi, sifat
produksi, nilai pemuliaan, korelasi genetik dan heritabilitas. Pendugaan parameter
genetik mutlak diperlukan untuk melakukan seleksi. Tanpa parameter gentik, kita
tidak dapat melakukan seleksi dengan baik. Beberapa parameter tersebut akan
dibahas lebih lanjut dalam makalah ini.
1.2
adalah segala hal yang berkaitan dengan pencatatan terhadap ternak secara
individu yang menunjukkan pertumbuhan dan perkembangannya. Apalagi jika
berkaitan dengan ternak bibit, karena berhubungan dengan kualitas ternak ke
depan. Untuk memudahkan pemahaman tentang recording, maka dibuat
penggolongan recording. Secara umum recording yang biasa dilakukan pada sapi
yaitu:
1.
Identitas.
Setiap ternak diberi identitas agar lebih mudah dalam pengenalan.
Identitas dapat dibagi menjadi beberapa yaitu identifikasi fisik, penandaan fisik
dan penandaan tambahan. Dalam hal ini, Identifikasi fisik meliputi ciri-ciri fisik
misalnya warna bulu, konformasi tubuh, bulu sekitar mata, tanduk, kaki, bentuk
telinga, punuk, dll. Penandaan fisik ternak dapat dibedakan menjadi semi
permanen dan permanen. Contoh : Penandaan permanen adalah penandaan pada
sapi yang bersifat tetap. Sedangkan semipermanen bersifat sementara saja, dan
jika sewaktu-waktu diperlukan mudah dihilangkan atau diganti. Sedangkan
penandaan tambahan adalah penandaan yang diberikan pada sapi di lingkungan
sapi tersebut hidup yang memudahkan dikenali meskipun dari kejauhan. Sebagai
contoh pemberian papan nama di atas masing-masing kandang, berikut nama sapi,
jenis sapi, kode sapi, tanggal lahir, dan asal sapi.
2.
Dokumentasi.
Pada kondisi sekarang ini upaya mendokumentasikan kegiatan sangat
diperlukan tidak terkecuali untuk sapi jika memang populasinya dalam lokasi
peternakan cukup besar. Pendokumentasian sapi dapat dilakukan melalui
pembuatan sketsa atau gambar individu, profilnya, foto maupun rekaman video.
Data-data tersebut akan membantu memudahkan pengelolaan ternaknya. Menurut
Catatan Khusus.
Dalam pengelolaan peternakan besar sangat diperlukan pencatatan detail
bagi setiap individu sapi, sehingga diperlukan pencatatan khusus. Yang termasuk
pencatatan khusus meliputi nama sapi, tanggal lahir, nomor kode ternak, asalnya,
berat badannya, berat lahir, berat sapih, bangsa, juga kesehatannya. Selain itu,
catatan perkawinan atau inseminasi buatan termasuk dalam hal ini. Catatan ini
harus memuat segala hal lengkap agar memudahkan bagi tenaga medis atau
perawat ternak yang lain melakukan penangan dan mengurangi terjadinya
kesalahan penanganan.
4.
Sertifikat Ternak.
Recording yang terakhir ini menjadi penting keberadaannya jika terkait
Manfaat Recording
Sifat Produksi
2.2.1
Sifat kualitatif
Sifat kualitatif adalah suatu sifat dimana individu-individu dapat
diklasifikasikan ke dalam satu dari dua kelompok atau lebih dan pengelompokan
ini berbeda jelas satu sama lain. Ciri-ciri ini berdasarkan satu atau beberapa
pasangan alel. Dalam arti luas, sifat kualitatif dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
1.
Sifat Luar
Sifat luar adalah sifat yang nampak dengan sedikit atau tidak sama sekali
Cacat Genetik
Yaitu cacat genetik yang tampak, terdiri dari cacat yang sedikit
Pengaruh letal dari cacat dapat terlihat pada saat yang berbeda-beda, ada cacat
yang segera mati setelah ternak lahir atau bahkan ada yang setelah ternak dewasa,
atau bahkan sampai akhir hidupnya. Namun seringkali cacat letal segera diketahui
setelah ternak lahir.
3.
Polimorfisme genetik
Sifat kualitatif genetik ini dapat diketahui pada seekor ternak hanya
dengan penelitian laboratorium pada cairan atau jaringan tubuh. Dalam banyak hal
biasanya tidak ada hubungannya dengan kemampuan produksi atau meskipun ada
namun sangat kecil.
Kebanyakan sifat-sifat kualitatif dari ketiga tipe umum yang disebutkan di
atas dikontrol selengkapnya oleh gen-gen dan tidak banyak dipengaruhi oleh
lingkungan. Namun adakalnya perbedaan lingkungan dapat mempengaruhi sifat
kualitatif tertentu misalnya mengkilapnya warna bulu hewan, namun bukan warna
dasarnya. Sehingga adakalanya sukar untuk menentukan apakah penyebab suatu
sifat kualitatif karena pengaruh genetik atau lingkungan, terutama untuk sifat
cacat.
2.2.2
Sifat Kuantitatif
Sifat kuantitaif adalah sifat yang tidak dapat dogolongkan dengan batas
jelas. Dapat dikatakan semua sifat, yang ada hubungannya dengan hasil dan kadar
termasuk di dalamnya, seperti hasil susu, kadar lemak, ukuran badan,
pertumbuhan, dll. Kalau hewan-hewan kita susun dari yg buruk hingga yg baik,
akan kita dapati semua tingkat peralihan. Ciri-ciri ini dipelajari disebabkan
bekerjanya sejumlah pasangan alel, sementara pengaruh tiap alel biasanya sedikit
sekali dan tidak kentara. Alel-alel atau gen ini disebut juga poligen. Namun selain
pengaruh genetik, sifat ini sangat dipengaruhi oleh perbedaan lingkungan dan
kemungkinan juga adanya aksi bolak-balik antara gen dan lingkungan, atau
disebut juga interaksi genotip lingkungan. Sebagai contoh adalah sifat produksi
susu, produk susu merupakan akibat dari bekerjanya fungsi-fungsi tubuh. Semua
fungsi tubuh ini diawasi oleh alel-alel, namun disamping itu, produksi susu juga
sangat ditentukan oleh kualitas makanan, tatalaksana dan lain-lain. Sifat
kuantitatif dapat diukur, ditimbanga atau dihitung. Hampir semua sifat ekonomis
yang penting dari ternak dapat dianggap sebagai sifat ini.
2.3
Heritabilitas
Heritabilitas merupakan parameter paling penting dalam pemuliaan ternak.
Semakin tinggi nilai heritabilitas suatu sifat yang diseleksi, maka semakin tinggi
peningkatan sifat yang diperoleh setelah seleksi. Tingginya nilai heritabiltas suatu
sifat menunjukkan tingginya korelasi ragam fenotipik dan ragam genetik. Pada
kondisi ini seleksi fenotipik individu sangat efektif, sedangkan jika nilai
heritabilitas rendah, maka sebaiknya seleksi dilakukan berdasarkan kelompok.
Sebagaimana diketahui bahwa fenotipe pada seekor ternak ditentukan oleh
faktor genetik dan non genetik. Faktor genetik merupakan faktor yang
mendapatkan perhatian pemulia ternak, karena faktor genetik tersebut diwariskan
dari generasi tetua kepada anaknya. Selanjutnya perlu diketahui sampai sejauh
mana fenotipe seekor ternak dapat digunakan sebagai indikator dalam menduga
mutu genetik ternak. Untuk itulah kemudian dikembangkan suatu konsep berupa
koefesien yang dikenal dengan heritabilitas.
Heritabilitas merupakan salah satu pertimbangan paling penting dalam
melakukan evaluasi ternak, metode seleksi dan sistem perkawinan. Secara lebih
spesifik heritabilitas merupakan bagian dari keragaman total pada sifat-sifat yang
disebabkan oleh perbedaan genetik diantara ternak-ternak yang diamati.
pengaruh genetik additif biasanya lebih penting dari pengaruh genetik total. Oleh
karena itu, sekarang dalam pustaka dan penelitian pemuliaan ternak, istilah
heritabilitas biasanya menunjukkan taksiran bagian ragam genetik aditif terhadap
ragam keturunan.
Pada umumnya dikenal dua pengertian tentang heritabilitas. Pertama,
heritabilitas dalam arti luas (broad sense), yaitu perbandingan antara ragam
genetik yang merupakan gabungan dari ragam genetik aditif, dominan dan
epistasis, dengan ragam fenotipik. Heritabilitas dalam arti luas hanya dapat
menjelaskan berapa bagian dari keragaman fenotipik yang disebabkan oleh
pengaruh genetik dan berapa bagian pengaruh faktor lingkungan, namun tidak
dapat menjelaskan proporsi keragaman fenotipik pada tetua yang dapat diwariskan
pada turunannya. Diketahui bahwa genotipe seekor ternak tidak diwariskan secara
keseluruhan pada turunannya. Keunggulan seekor ternak yang disebabkan oleh
gen-gen yang beraksi secara dominansi dan epistasis akan terpecah pada saat
proses pindah silang dan segregasi dalam meoisis. Oleh karena itu, heritabilitas
dalam arti luas tidak bermanfaat dalam pemuliaan ternak (Martojo, 1992).
Kedua, heritabilitas dalam arti sempit (narrow sense) yaitu perbandingan
antara ragam genetik additif dengan ragam fenotipik. Heritabilitas dalam arti
sempit selanjutnya disebut heritabilitas atau dengan notasi h2. Untuk banyak
tujuan, heritabilitas dalam arti sempit (h2) merupakan dugaan yang paling banyak
bermanfaat karena mampu menunjukkan laju perubahan yang dapat dicapai
dengan seleksi untuk suatu sifat di dalam populasi. Pengaruh taksiran additif
biasanya lebih penting dari pengaruh genetik total. Sedangkan ragam dominan
dan epistasis pada umumnya kurang respon terhadap proses seleksi dan tidak
diturunkan dari generasi tetua pada anaknya. Namun, simpangan dominan dan
epistasis bermanfaat dalam program persilangan ternak, baik persilangan antar
strain, persilangan antar jenis maupun galur inbred.
Heritabilitas menunjukkan bagian atau persentase dari keragaman
fenotipik yang disebabkan oleh keragaman genetik additif. Semakin tinggi nilai
h2 dapat diartikan bahwa keragaman sifat produksi lebih banyak dipengaruhi oleh
perbedaan genotipe ternak dalam populasi, dan hanya sedikit pengaruh keragaman
lingkungan.
Dari persamaan tersebut di atas juga dapat dilihat bahwa nilai h2 dapat
meningkat (atau mengecil) karena VA yang membesar atau VP yang mengecil.
Oleh karena itu, dalam pendugaan heritabilitas dianjurkan agar keragaman
lingkungan yang dikenakan terhadap populasi ternak diperkecil dengan
memberikan lingkungan yang relatif homogen. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa perbedaan sifat produksi pada ternak disebabkan oleh karena adanya
perbedaan genotipe di antara ternak yang diamati.
Secara teoritis nilai heritabilitas berkisar dari 0 - 1, namun jarang
ditemukan nilai ekstrim nol atau 1 pada sifat kuantitatif ternak. Sifat produksi
yang memiliki nilai heritabilitas nol adalah sifat dimana semua keragaman
fenotipik pada ternak disebabkan semata-mata oleh pengaruh faktor lingkungan,
dan diasumsikan pengaruh genetik tidak ada sama sekali. Nilai heritabilitas 1
menunjukkan sifat kuantitatif dimana semua keragaman sifat disebabkan oleh
faktor genetik.
Nilai heritabilitas dibedakan atas tiga kategori yaitu kecil, sedang dan
besar. Nilai heritabilitas dikatakan kecil (rendah) jika nilainya 0 0,2; sedang: 0,2
0,4 dan besar (tinggi) jika bernilai lebih dari 0,4. Preston dan Willis (1974)
mengklasifikasikan nilai heritabilitas, dikatakan rendah jika kurang dari 0,25,
sedang jika nilainya 0,25 0,50 dan besar jika bernilai lebih dari 0,50. Menurut
Hardjosubroto (1994), nilai heritabilitas dikatakan rendah apabila bernilai kurang
dari 0,10; sedang jika nilainya antara 0,10 - 0,30 dan tinggi jika lebih dari 0,30.
Sifat-sifat yang berhubungan dengan fertilitas, seperti persentase kebuntingan
jumlah anak pada babi, kelinci,anjing, dan daya tetas telur, umumnya memiliki
heritabilitas rendah. Sifat-sifat yang memiliki heritabilitas sedang contohnya
produksi susu dan sifat-sifat pertumbuhan ternak lepas sapih. Sifat-sifat yang
diukur pada saat ternak telah dewasa kelamin, seperti kualitas karkas, bobot
dewasa kelamin memiliki heritabilitas tinggi.
Nilai heritabilitas memiliki sifat sebagai berikut (1) bukan suatu konstanta,
(2) untuk setiap sifat (pada umumnya sifat kuantitatif) nilai heritabilitas suatu sifat
dapat berbeda karena perbedaan lokasi pengamatan, perbedaan kelompok ternak,
waktu pengamatan dan cara menghitung heritabilitas.
Nilai h2 untuk sifat-sifat ketegaran (fittnes) seperti sifat reproduksi dan
daya hidup biasanya kecil. Hal ini terjadi karena seleksi alam yang berlangsung
lama membuat VA menjadi kecil. Dalam kondisi ini maka peranan VD dan VI
menjadi lebih penting. Karena nilai pemuliaan (breeding value) ternak ditentukan
oleh VA, maka h2 dapat dianggap sebagai parameter yang memberikan gambaran
mengenai keragaman nilai pemuliaan.
Warwick dkk (1995) menyatakan bahwa nilai heritabilitas negatif atau
lebih dari satu secara biologis tidak mungkin. Bila hal tersebut ditemukan
kemungkinan disebabkan oleh: (1) keseragaman yang disebabkan oleh lingkungan
yang berbeda untuk keluarga kelompok yang berbeda, (2) metode statistik yang
digunakan tidak tepat sehingga tidak dapat memisahkan antara ragam genetik dan
ragam lingkungan dengan efektif dan (3) kesalahan dalam pengambilan contoh.
Nilai heritabilitas dapat meningkat atau menurun dengan berubahnya
bagian komponennya. Meningkatnya h2 dapat disebabkan oleh turunnya ragam
lingkungan atau meningkatnya ragam genetik. Sebaliknya bila ragam lingkungan
meningkat atau ragam genetik menurun maka heritabilitas akan turun.
Heritabilitas secara tepat hanya berlaku pada populasi dan lokasi dimana nilai h2
tersebut dihitung. Nilai heritabilitas negatif yang diperoleh dari pendugaan dengan
banyak cara analisis ragam (anova) kemungkinan disebabkan oleh : (a) jumlah
hubungan
kekerabatan.
Nilai
heritabilitas
dapat
dihitung
(fullsib), saudara tiri (halfsib), antara induk dengan anak (parent and off spring).
Selain itu dapat juga menentukan heritabilitas nyata (realized heritability)
berdasarkan kemajuan seleksi. Estimasi nilai heritabilitas juga bisa didapat dengan
menghitung nilai ripitabilitas, yakni penampilan sifat yang sama pada waktu
berbeda dari individu yang sama sepanjang hidupnya. Ripitabilitas dapat
digunakan untuk menduga sifat individu dimasa mendatang. Cara lain menduga
nilai heritabilitas adalah dengan memakai hewan kembar identik asal satu telur.
Hewan kembar identik memiliki genotipe yang sama sehingga perbedaan dalam
sifat produksi diantara hewan kembar disebabkan oleh faktor non genetik.
2.4
Nilai Pemuliaan
Nilai pemuliaan (Breeding Value) didefinisikan sebagai nilai seekor ternak
dalam
suatu
peternakan.
Sebaliknya,
ternak-ternak
yang
perah adalah laktasi pertama, laktasi kedua dan seterusnya, pada domba adalah
produksi wol pencukuran pertama, pencukuran kedua dan seterusnya. Berikut ini
rumusnya :
Keterangan:
Pengukuran Anak-anaknya
Catatan produksi anak sering digunakan untuk pendugaan NP tetuanya,
terutama bapanya. Pada sapi perah tampak nyata bahwa seekor pejantan (bapak)
tidak dapat diketahui tingkat keunggulan dalam menghasilkan susu. Oleh sebab
itu satu-satunya cara untuk mengetahui tingkat keunggulan pejantan adalah
melalui penampilan anak-anaknya yang betina. Prinsip ini yang dikenal dengan
Uji Zuriat atau Uji Keturunan. Berikut ini rumusnya :
Keterangan:
2.5
Korelasi Genetik
Ternak memiliki beberapa sifat yang bernilai ekonomis. Sifat-sifat tersebut
ada yang saling berhubungan atau berkorelasi, ada pula yang tidak saling
berhubungan. Korelasi antar sifat atau korelasi fenotipe dapat disebabkan oleh
faktor genetik, faktor lingkungan atau keduanya. Bentuk hubungan antar sifatsifat tersebut ada yang positif, adapula yang negatif. Pada bentuk hubungan yang
positif, bila suatu sifat ditingkatkan penampilannya lewat seleksi, sifat yang lain
juga akan meningkat pula penampilannya. Contoh: seleksi untuk meningkatkan
penambahan bobot badan per hari pada sapi, akan meningkatkan pula efesiensi
pakan. Pada bentuk hubungan yang negative, peningkatan penampilan suatu sifat
akan menurunkan penampilan sifat yang lain. Contoh: seleksi untuk
meningkatkan produksi susu akan berakibat menurunkan kadar lemak susu. Selain
bentuk hubungan, ada pula tingkat keeratan hubungan. Ada tiga tingkat keeratan
hubungan: rendah, sedang, dan tinggi.
2.5.1
karena gen yang bersifat pleiotropik (pleiotropic gen), kedua karena gen
berangkai (linked gen). Menurut Lasley (1978) pleiotropi adalah penyebab utama
terjadinya korelasi genetik. Dalam suatu lengan kromosom terdapat gen yang
sangat banyak. Semua gen-gen tersebut mengekspresikan dirinya. Ada tiga
kategori
gen-gen
untuk
mengekspresikan
dirinya.
Pertama,
satu
gen
memiliki
nilai
koefisien
korelasi
lebih besar daripada nol. Nilai korelasi antara dua sifat yang lebih besar dari nol
dan bernilai positif menunjukkan bahwa kedua sifat memiliki arah peningkatan
yang sama. Peningkatan pada sifat pertama diiringi dengan peningkatan pada
sifat kedua atau penurunan sifat pertama diiringi oleh penurunan sifat
kedua.
Hubungan kedua sifat dinyatakan linier sempurna apabila koefisien korelasi kedua
sifat sama dengan nol. Dua sifat dikatakan memiliki hubungan linier negatif
apabila memiliki nilai koefisien korelasi kurang dari satu. Sifat-sifat pada ternak
yang saling berkorelasi menarik untuk dipelajari karena beberapa alasan sebagai
berikut: (a) berkaitan dengan korelasi genetik akibat aksi gen pleiotropik.
Pleiotropi merupakan sifat umum dari gen mayor tetapi masih sedikit informasi
tentang kejadian pleiotropi yang berpengaruh terhadap genetika kuantitatif; (b)
berkaitan
dengan
perubahan
yang
terjadi
pada
sifat
yang berkorelasi
genetik akibat pelaksanaan seleksi pada satu sifat lainnya; (c) berkaitan
dengan seleksi alam, hubungan antara suatu sifat yang terukur dengan
penyesuaiannya merupakan sarana utama yang menentukan genetik suatu kinerja
dalam populasi alami.
Korelasi genetik menggambarkan hubungan antara sifat-sifat yang diatur
oleh gen atau rangkaian gen yang sama yang bersifat aditif. Korelasi antara dua
sifat dapat terjadi pada ternak dan disebut dengan korelasi fenotipik. Korelasi
fenotipik dapat dibagi menjadi korelasi genetik dan korelasi lingkungan. Korelasi
genetik merupakan
korelasi
antara
pengaruh
genetik
aditif
pada
dua
tersebut terjadi pada populasi yang berada dalam keseimbangan genetik dan
dalam keadaan kawin acak. Korelasi genetik antara dua sifat juga dapat terjadi
karena gen terangkai yaitu dua gen yang terletak pada kromosom yang sama dan
masing-masing mengatur sifat yang berbeda. Kondisi tersebut terjadi pada
populasi yang tidak berada dalam keadaan keseimbangan genetik.
2.5.2
sebagai berikut: negatif tinggi apabila nilainya -1,0 sampai -0,6, negatif menengah
apabila nilainya -0,5 sampai -0,4, negatif rendah apabila nilainya -0,3
sampai
-0,2, mendekati nol apabila nilainya -0,1 sampai 0,1, positif rendah
apabila nilainya 0,2 sampai 0,3, positif menengah apabila nilainya 0,4 sampai
0,5, positif tinggi apabila nilainya 0,6 sampai 1,0.
Korelasi genetik antara dua sifat memiliki nilai yang rendah menunjukkan
bahwa hanya beberapa gen yang berpengaruh terhadap dua sifat. Salah sati contoh
yang baik adalah tipe dan kinerja sapi pedaging. Seleksi untuk meningkatkan tipe
sapi pedaging ternyata hanya tidak berpengaruh banyak terhadap kinerja
sapi, demikian
pula sebaliknya.
pedaging ternyata tidak berpengaruh banyak terhadap tipe sapi pedaging. Seleksi
pada salah satu sifat yang ternyata sifat tersebut memiliki nilai korelasi genetik
bernilai positif dan tinggi akan menghasilkan peningkatan kinerja pada dua sifat
yang berkorelasi walaupun seleksi tidak dilakukan secara langsung pada sifat
kedua. Misalnya seleksi untuk meningkatkan berat sapih pada kambing sekaligus
dapat meningkatkan berat setahunan karena antara berat sapih dengan berat
setahunan memiliki korelasi genetik bernilai positif dan tinggi. Berbeda dengan
seleksi pada sapi perah untuk meningkatkan produksi susu akan menurunkan
kadar lemak susu karena korelasi genetik antara produksi susu dengan kadar
lemak bernilai negarif dan berkisar antara sedang sampai tinggi.
Hal
tersebut
menunjukkan
bahwa
pelaksanaan
seleksi
harus
memperhatikan adanya korelasi genetik dengan sifat lain yang berkorelasi. Dua
sifat yang diestimasi dengan metode tertentu dapat menunjukkan nilai yang
berbeda apabila diestimasi dengan metode yang berbeda karena setiap metode
memiliki kemampuan yang berbeda dalam menyingkirkan keragaman genetik non
aditif dari keragaman genetik aditif. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
korelasi genetik antara lain sistem pemuliabiakan yang diterapkan dalam populasi,
struktur data, dan metode estimasi.
2.5.4
III
KESIMPULAN
1. Recording adalah adalah catatan segala kejadian mengenai ternak yang
dipelihara yang dapat memberikan informasi yang diperlukan untuk membuat
keputusan yang objektif didasarkan atas fakta yang ada, sehingga keputusan
yang dibuat merupakan keputusan yang baik.
2. Sifat produksi merupakan sifat yang dimiliki oleh ternak meliputi sifat
kualitatif dan sifat kuantitatif.
3. Heritabilitas adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan bagian dari
keragaman total (yang diukur dengan ragam) dari suatu sifat yang diakibatkan
oleh pengaruh genetik. Heritabilitas merupakan parameter paling penting
dalam pemuliaan ternak. Semakin tinggi nilai heritabilitas suatu sifat yang
diseleksi, maka semakin tinggi peningkatan sifat yang diperoleh setelah
seleksi.
4. Nilai pemuliaan (Breeding Value) didefinisikan sebagai nilai seekor ternak
sebagai tetua (the value of an individual as a parent) yanrg diperoleh dari
perkawinan acak
5. Koefisien korelasi merupakan nilai yang digunakan untuk mengukur tingkat
keeratan hubungan antara dua peubah atau dua sifat. Derajat hubungan kedua
sifat tersebut diukur dengan koefisien korelasi (r).
DAFTAR PUSTAKA
Basuki, P., W. Hardjosubroto., Kustono dan N. Ngadiono. 1999. Performans
produksi dan reproduksi kambing Peranakan Etawah dan kambing
Bligon. Proc. Seminar Penelitian peternakan, Bogor.
Hardjosubroto W. 1994. Aplikasi pemuliabiakan ternak di lapangan. Grasindo,
Jakarta.
Lasley JE. 1978. Genetics of livestock improvement. New Jersey: Prentice Hall
Inc. Englewood Cliffs.
Martojo, H., 1992. Peningkatan Mutu Genetik Ternak. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. Direktorat Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas
Bioteknologi IPB, Bogor. http://www.agrin.ttri.gov.tw 6 Maret 2016.
Preston,T.R and M.B. Willis. 1974. Intensives Beef nproduction. Pergamon Press.
Inc. New York.
Rahmani, N., Pallawarukka, dan A. Anggraeni. 2000. Evaluasi Genetik Produksi
Susu Sapi Fries Holland di PT Cijanggel Lembang. Seminar Nasional
Peternakan dan Veteriner 2000
Soetarno, T. 2003. Manajemen Ternak Perah. Fakultas Peternakan UGM,
Jogjakarta.
Warwick, I.J., J. Maria Astuti dan W. Hardjosubroto. 1995. Pemuliaan Ternak.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.