Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui definisi dari STEMI.
1.3.2 Untuk mengetahui etiologi dari STEMI.
1.3.3 Untuk mengetahui manifestasi klinis dari STEMI.
1.3.4 Untuk mengetahui penatalaksanaan dari STEMI.
1.3.5 Untuk mengetahui pathofisiologi dari STEMI.
1.3.6 Untuk mengetahui Web of Cause dari STEMI.
1.3.7 Untuk mengetahui Askep dari STEMI.
1.4 Manfaat
Dengan adanya makalah ini, diharapkan mahasiswa mampu memahami dan membuat
asuhan keperawatan pada anak dengan gangguan system pernafasan dengan penyakit
asma, serta mampu mengimplementasikannya dalam proses keperawatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di
Negara maju. Laju mortalitas awal 30% dengan lebih dari separuh kematian terjadi
sebelum pasien mencapai Rumah sakit. Walaupun laju mortalitas menurun sebesar 30%
dalam 2 dekade terakhir, sekita 1 diantara 25 pasien yang tetap hidup pada perawatan
awal, meninggal dalam tahun pertama setelah IMA (Sudoyo, 2006).
IMA dengan elevasi ST (ST elevation myocardial infarction = STEMI) merupakan
bagian dari spectrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pectoris tak
stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST. STEMI umumnya terjadi jika
aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak
aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya (Sudoyo, 2006).
2.2 Etiologi
STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi
injuri vascular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor seperti merokok, hipertensi dan
akumulasi lipid.
2.3 Patofisiologi
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah
oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri
koroner derajat tinggi yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI
karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus
arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular, dimana injuri ini dicetuskan
oleh faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.
Gambar 2.3.1: Sindrom Koroner akut (Dikutip dari Antman)
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, rupture
atau ulserasi dan jika kondisi local atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi
thrombus mural pada lokasi rupture yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian
histology menunjukkan plak koroner cendeeung mengalami rupture jika mempunyai
vibrous cap yang tipis dan intinya kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran
patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi alasan pada
STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik.
Selanjutnya pada lokasi rupture plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin,
serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan
melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor local yang poten). Selain itu aktivasi
trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIB/IIIA. Setelah
mengalami konversi fungsinya, reseptor, mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen
asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand
(vWF) dan fdibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalent yang dapat
mengikat dua platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet
dan agregasi.
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue faktor pada sel endotel yang rusak.
Faktor VII dan X diaktivasi mengakibatkan konversi protombin menjadi thrombin, yang
kemudian menkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat (culprit)
kemudian akan mengalami oklusi oleh trombosit dan fibrin.
Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang
disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas congenital, spasme koroner dan berbagai
penyakit inflamasi sistemik.
midsistolik atau late sistlik apical yang bersifat sementara karena disfungsi apparatus
katup mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai 38C dapat dijumpai
dalam minggu pertama pasca STEMI.
Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang
khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST 2mm, minimal pada 2 sandapan prekordial
yang berdampingan atau 1mm pada 2 sandapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim
jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun keputusan
memberikan terapi revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim,
mengingat dalam tatalaksana IMA, prinsip utama Penatalaksanaan adalah time is muscle.
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada
atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam 10
menit sejak kedatangan di IGD. Pemeriksaan EKG di IGD merupakan senter dalam
menentukan keputusan terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen
ST dapat mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi perfusi. JIka
pemeriksan EKG awal tidak diagnostic untuk STEMI tetapi pasien tetap simtomatik dan
terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau
pemantauan EKG 12 sandapan secara continue harus dilakukan untuk mendeteksi potensi
perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan
harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evlolusi
menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya infark miokard gelombang Q. Sebagian
kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi thrombus tidak
total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak
ditemukan elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami angina pectoris tak
stabil atau non STEMI. Pada bagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa
menunjukkan gelombang Q disebut infark non Q. Sebelumnya istilah infark miokard
transmural digunakan jika EKG menunjukkan gelombang Q atau hilangnya gelombang R
dan infark miokard miokard non transmural jika EKG hanya menunjukkan perubahan
sementara segmen ST dan gelombang T, namun ternyata tidak selalu ada korelasi
gambaran patologis EKG dengan lokasi infark (mural/transmural) sehingga terminology
IMA gelombang Q dan non Q menggantikan IMA mural/nontransmural.
2.5 Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam tatalaksana pasien
STEMI namun tidak boleh menghambat implementasi terapi repefusi.
1. Petanda (Biomarker) Kerusakan Jantung
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah Creatinin Kinase (CK)MB dan cardiac specific
troponin (cTn)T atau cTn1 dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai
petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada
keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan
gejala IMA, terapi reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak tergantung pada
pemeriksaan biomarker. Pengingkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal
menunjukkan ada nekrosis jantung (infark miokard).
1. CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak
dalam 10-24 jam dan kembali normal dala 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis
dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
2. cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dab cTn I. Enzi mini meningkat setelah 2 jam bila
ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat
dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
2. Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu:
1. Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 48 jam.
2. Creatinin Kinase (CK): Meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
3. Lactic dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24 jam bila ada infark miokard,
mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.
Garis horizontal menunjukkan upper reference limit (URL) biomarker jantung pada
laboratorium kimia klinis. URL adalah nilai mempresentasikan 99th percentile kelompok
control tanpa STEMI.
Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah leikositosis polimorfonuklear yang
dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari.
Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/u1.
2.6 Penatalaksanaan
Tatalaksana IMA dengan elevasi ST saat ini mengacu pada data-data dari evidence based
berdasarkan penelitian randomized clinical trial yang terus berkembnag ataupun konsesus
dari para ahli sesuai pedoman (guideline).
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada,
penilaian dan implementasi strategi perfusi yang mungkin dilakukan, pemberian
antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana
komplikasi IMA. Terdapat beberapa pedoman (guidelie) dalam tatalaksana IMA dengan
elevasi ST yaitu dari ACC/AHA tahun 2004 dan ESC tahun 2003. Walaupun demikian
perlu disesuaikan dengan kondisi sarana/fasilitas di tempat masing-masing senter dan
kemampuan ahli yang ada (khususnya di bidang kardiologi Intervensi).
1. Tatalaksana Awal
3. Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit dan
pasien dibawa ke rumah sakit dengan sarana PCI, hospital-door-to-balloon time
harus dalam waktu 90 menit.
Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <90%. Pada
semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat
diberikan sampai 3 dosis dengan Intervensi 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG
juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan
meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang
terkena infark atau pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan
NGT intravena. NGT intravena juga diberikan untuk mngendalikan hipertensi atau edema
paru.
Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90mmHg atau
pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark inferior pada EKG, JVP
meningkat, paru bersih dan hipotensi). Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang
menggunakan phosphodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam sebelumnya karena
dapat memicu efek hipotensi nitrat.
Mengurangi atau menghilangkan nyeri dada sangat penting, karena nyeri dikaitkan
dengan aktivasi simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban
jantung.
Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesic pilihan dalam
tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat
diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu
diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui
penurunan simpatis, sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung
dan tekanan arteri. Efek hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai pada
kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan IV dengan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat
menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat
tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi dengan
pemberian atropine 0,5 mgIV.
Aspirin
Aspirinmerupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada
spectrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang
dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorbsi aspirin bukkal dengan
dosis 160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis
75-162 mg.
Penyekat Beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV, selain
nitrat mungkin efektif. Regimen yang bias adiberikan adalah metoprolol 5 mg setiap 2-5
menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung >60 menit, tekanan darah
sistolik >100 mmHg, interval PR <0,24 detik dan ronchi tidak lebih dari 10 cm dari
diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral
dengan dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6
jam dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.
Terapi Reperfusi
i.
Beberapa hal haru dipertimbangkan dalam seleksi jenis terapi reperfusi antara lain:
1. Waktu onset gejala
Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan predictor penting luas infark dan
outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolisis dalam menghancurkan thrombus sangat
tergantung dengan waktu. Terapi fibrinolisis yang diberikan dalam 2 jam pertama
(terutama dalam jam pertama) terkadang menghentikan infark miokard dan secara
dramatis menurunkan angka kematian.
Sebaliknya, kemampuan memperbaiki arteri yang mengalami infark menjadi paten,
kurang banyak tergantung pada lama gejala pasien yang menjalani PCI. Beberapa laporan
menunjukkan tidak ada pengaruh keterlambatan waktu terhadapa laju mortalitas jika PCI
dikerjakan setelah 2 sampai 3 jam setelah gejala.
The Task Force on the Management of Acute Myocardial Infraction of the European
Society of Cardiology dan ACC/AHA merekomendasikan target medical contact-toballoon atau door-tto-balloon time dalam waktu 90 menit.
1. Risiko STEMI
Beberapa model telah dikembangkan yang membantu dokter dalam menilai risiko
mortalitas pada pasien STEMI. JIka estimasi mortalitas dengan fibrinolisis sangat tinggi,
seperti pada pasien renjatan kardiogenik, bukti klinis menunjukkan strategi PCI lebih
baik.
1. Risiko Perdarahan
Penilaian terapi reperfusi juga melibatkan risiko perdarahan pada pasien. Jika terapii
reperfusi bersama-sama tersedia PCI dan fibrinolisis, semakin tinggi risiko perdarahan
dengan terapi fibrinolisis, semakin kuat keputusan untuk memilih PCI. Jika PCI tidak
tersedia, manfaat terapi reperfusi farmakologis harus mempertimbangkan mafaat dan
risiko.
1. Waktu yang Dibutuhkan untuk Transport ke Laboratorium PCI
Adanya fasilitas kardiologi Intervensi merupakan penentu utama apakah PCI dapat
dikerjakan. Untuk fasilitas yang dapat mengerjakan PCI, penelitian menunjukkan PCI
lebih superior dari reperfusi farmakologis. Jika composite end point kematian, infark
miokard rekuren non fatal atau strok dianalisis, superioritas PCI terutama dalam hal
penurunan laju infark miokard non fatal berkurang.
Langkah-langkah Penilaian dalam Memilih Terapi Reperfusi pada Pasien STEMI:
Langkah 1: Nilai waktu dan risiko
1. Waktu sejak onset gejala
2. Risiko STEMI
3. Risiko fibrinolisis
4. Waktu yang dibutuhkan untuk transportasi ke laboratorium PCI yang mampu
Langkah 2: Tentukan apakah firinolisis atau strategi invasif lebih disukai. Jika presentasi
kurang dari 3 jam dan tidak ada keterlambatan untuk strategi invasive, tidak ada
preferensi untuk strategi lain.
Transport jauh
Intervensi koroner perkutan, biasanya angioplasty dan atau stenting tanpa didahului
fibrinolisis disebut PCI primer. PCI ini efektif dalam mengembalikan perfusi pada
STEMI jika dilakukan dalam beberapa jam pertama infark miokard akut. PCI primer
lebih efektif dari fibrinolisis dalam melakukan arteri koroner yang teroklusi dan dikaitkan
dengan outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik. Dibandingkan
trombolisis, PCI primer lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama pasien <75
tahun), risiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3
jam jika bekuan lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat fibrinolisis. Namun
demikian PCI lebih mahal dalam hal personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas
berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa Rumah Sakit.
1.
Fibinolisis
Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan dalam 30 menit sejak
masuk (door-to-needle time <30 menit). Tujuan utama fibrinolisis adalah restorasi cepat
patensi arteri koroner. Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik antara lain: tissue
plasminogen activator (tPA), streptokinase, tenekteplase (TNK) dan reteplase (rPA).
Semua obat ini bekerja dengan cara memicu konversi plasminogen menjadi plasmin,
yang selanjutnya melisiskan thrombus fibrin. Terdapat 2 kelompok yaitu golongan
spesifik fibrin seperti tPA dan non fibrin seperti streptokinase.
Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri koroner yang terlibat (culprit)
digambarkan dengan skala kualitatif sederhana disebut thrombolysis in myocardial
infarction (TIMI) grading system:
1. Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri yang terkena
infark.
2. Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik obstruksi
tetapi tanpa perfusi vascular distal.
3. Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke bagian distal
tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan arteri normal.
4. Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark dengan
aliran normal.
Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3, karena perfusi penuh pada arteri
koroner yang terkena infark menunjukkan hasil yang lebih baik dalam membatasi luasnya
infark, mempertahankan fungsi ventrikel kiri dan menurunkan laju mortalitas jangka
pendek dan jangka panjang.
Terapi fibrinolitik dapat menurunkan risiko relative kematian di rumah sakit sampai 50%
jika diberikan dalam jam pertama onset gejala STEMI, dan manfaat ini dipertahankan
sampai 10 tahun. Setiap hitungna menit dan pasien yang mendapat terapi dalam 1-3 Jm
onset gejala akan mendapat manfaat yang terbaik. Walaupun laju mortalitas lebih sedang,
terapi masih tetap bermanfaat pada banyak pasien 3-6 jam setelah onset infark, dan
beberapa manfaat nampaknya masih ada samapi 12 jam terutama jika nyeri dada masih
ada dan segmen ST masih tetap elevasi pada sadapan EKG yang belum menunjukkkan
gelombang Q yang baru. Jika dibandingkan dengan PCI pada STEMI (PCI primer),
fibrinolisis secara umum merupakan strategi reperfusi yang lebih disukai pada pasien
pada jam pertama gejala, jika perhatian pada masalah logistic seperti transportasi pasien
ke pusat PCI yang baik, atau ada antisipasi keterlambatan sekurang-kurangnya 1 jam
antara waktu trombolisis dapat dimulai dibandingkan implementasi PCI.
tPA dan activator plasminogen spesifik fibrin lain seperti rPA dan TNK lebih efektif
daripada streptokinase dalam mengembalikan perfusi penuh, aliran koroner TIMI grade 3
dan memperbaiki survival sedikit lebih baik.
1.
2. Streptokinase (SK)
Merupakan fibrinolitik non spesifik fibrin. Pasien yang pernah terpajan dengan SK tidak
boleh diberikan pajanan selanjutnya karena terbentuknya antibody. Reaksi alergi tidak
jarang ditemukan. Manfaat mencakup harganya yang murah dan insiden perdarahan
intracranial yang rendah, manfaat pertama diperlihatkanpada GISSI-1 trial.
1. Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase)
GUSTO-1 trial menunjukkan penurunan mortalitas 30 hari sebesar 15% pada pasien yang
mendapat tPA dibandingkan SK. Namun tPA harganya lebih mahal daripada SK dan
risiko perdarahan intracranial sedikit lebih tinggi.
1. Reteplase (Retevase)
INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan sebvanding SK dan sebanding tPA pada
GUSTO III trial, dengan dosis bolus lebih mudah karena waktu paruh yang lebih
panjang.
1. Tenekteplase (TNKase)
Keuntungan mencakup memperbaiki spesifisitas fibrin dan resistensi tinggi terhadap
plasminogen activator inhibitor (PAI-1). LAporan awal dari TIMI 10B menunjukkan
i.
TERAPI FARMAKOLOGIS
6. Antitrombotik
Penggunaan terapi antilatetlet dan antitrombin selama fase awal STEMI berdasarkan
bukti klinis dan laboratories bahwa thrombosis mempunyai peran penting dalam
pathogenesis. Tujuan primer pengobatan adalah untuk mementapkan dan
memepertahankan potensi arteri kororner yang terkait infark. Tujuan sekunder adalah
menurunkan tendensi pasien menjadi thrombosis. Aspirin merupakan antiplatelet standar
pada STEMI dapat dilihat pada Antiplatelets Trialists Collaboration. Data dari hampir
20.000 pasien dengan infark miokard yang berasal dari 15 randomised trial dikumpulkan
dan menunjukkan penurunan relative laju mortalitas sebesar 27% dari 14,2% pada
kelompok control dibandingkan 10,4% pada pasien yang mendapat antiplatelet. PAda
penelitian ISIS-2 pemberian aspirin menurunkan mortalitas vascular sebesar 23% dan
infark nonfatal sebesar 49%.
Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk mencegah komplikasi thrombosis
pada pasien STEMI yang menjalani PCI. Penelitian ADMIRAL membandingkan
abciximab dan stenting dengan placebo dan stenting. Hasilnya menunjukkan penurunan
kematian, reinfark atau revaskularisasi segera dan 20 hari dan 6 bulan pada kelompok
abciximab dan stent.
Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah infractionated
heparin. Pemberian UFHIV segera sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan obat
trombolitik spesifik fibrin relative (tPA, rPA atau TNK) membantu trombolisis dan
memantapkan serta mempertahankanpatensi arteri yang terkait infark. Dosis yang
direkomendasi adlah bolus 60U/kg (maksimum 4000U) dilanjutkan infuse inisial 12U/kg
perjam (maksimum 1000 U/jam). Activated partial thromboplastin time selama terapi
pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali.
Antikoagulan alternative pada pasien STEMI adalah low molecular weight heparin
(LMWH). Pada penelitian ASSENT-3 enoksaparin dengan tenekteplase dosis penuh
memperbaiki mortalitas reinfark di Rumah Sakit dan iskemik refrakter di Rumah Sakit.
Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal jantung kongestif,
riwayat emboli, thrombus mural pada ekokardiografi 2 dimensi atau fibrilasi atrial
merupakan risiko tinggi tromboemboli paru terapeutik penuh (UFH atau LMWH) selama
dirawat, dilanjutkan sekurang-kurangnya 3 bulan.
1. Penyekat Beta
Manfaat penyekat beta pada pasien STEMI dapat dibagi menjadi: yang terjadi segera jika
obat diberikan secara akut dan yang diberikan dalam jangka panjang jika obat diberikan
untuk pencegahan sekunder setelah infark. Pemberian penyekat beta akut IV
memperbaiki hubungan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri,
mengurangi luasnnya infark dan menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang
serius.
Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar pasien termasuk
yang mendapat terapi inhibitor ACE. Kecuali pada pasien dengan kontraindikasi (pasien
dengan gagl jantung atau fungsi sistolik kiri sangat menurun, blok jantung, hipotensi
ortostatik atau riwayat asma).
1. Inhibitor ACE
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap mortalitas
bertambah dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Penelitian SAVE, AIRE, dan
TRACE menunjukkan manfaat inhibitor ACE yang jelas. Manfaat maksimal tampak pada
pasien dengan risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark anterior, riwayat infark
sebelumnya, dan atau fungsi ventrikel kiri menurun global). Namun bukti menunjukkan
manfaat jangka pendek terjadi jika inhibitor ACE diberikan pada semua pasien dengan
haemodinamik stabil pada STEMI pasien dengan tekanan darah sistolik >100 mmHg.
Mekanisme yang mengakibatkan mekanisme remodeling ventrikel pasca infark berulang
juga leibh rendah pada pasien yang mnedapat inhibitor ACE menahun pasca infark.
Inhibitor ACE harus diberikan dalam 2 jam pertama pasien STEMI. Pemberian inhibitor
ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung, pada
pasien dengan pemeriksaan imaging menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara
global atau terdapat abnormalitas gerakan dinding global atau pasien hipertensif.
Penelitian klkinis dalam tatalaksana pasien gagal jantung termasuk data dari penelitian
klinis pada pasien STEMI menunjukkan bahwa angiotensin receptor blockers (ARB)
mungkin bermanfaat pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri menurun atau gagal jantung
klinis yang tak toleran terhadapa ACE inhibitor.
2.7 Algoritma STEMI
Lakukan penanganan :
1. Monitor ABCs klien, persiapkan untuk melakukan CPR dan defibrilasi
2. Beri oksigen, aspirin, nitrogliserin, dan morfin jika diperlukan
3. Jika tersedia lakukan perekaman EKG lead 12. Jika ada elevasi ST :
-
Skor Risiko/Mortalitas 30
hari(%)
0 (0,8)
1 (1,6)
2 (2,2)
3 (4,4)
4 (7,3)
5 (12,4)
6 (16,1)
7 (23,4)
8 (26,8)
>8 (35,9)
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1. Data Demografi/ identitas
1. Nama : Tn. H
2. Umur : 53 Tahun
3. Alamat: Perak 73 Surabaya
4. Keluhan Utama
Rasa tertimpa beban berat pada dada kiri.
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Tn. H datang ke RS dengan keluhan nyeri dada juga dirasakan sangat nyeri seperti rasa
terbakar dan ditindih benda berat. Keluhan dirasakan menjalar ke lengan kiri tetapi
keluhan agak berkurang jika OS istirahat.
paru Vesikuler +/+, jantung : Bunyi SI-S2 reguler, cardiomegali (-), bising sistolik (-), dari
pemeriksaan penunjang EKG didapatkan ST elevasi : V1 V5 , ST depresed : II, III,
AVF, V6
1. Riwayat Penyakit Keluarga
: 36,5C
2. Nadi
: 88x/menit
: 30x/menit
5. Breathing
Gejala : napas pendek
1. Pemeriksaan fisik :
Tanda : dispnea, inspirasi mengi, takipnea, pernapasan dangkal.
1. Blood
Gejala : penyakit jantung congenital
Tanda : takikardia, disritmia, edema.
1. Brain
Gejala : nyeri pada dada anterior (sedang sampai berat/tajam) diperberat oleh
inspirasi
Tanda : Gelisah
1. Bowel
Normal
1. Bladder
Normal
2. Bone
Gejala: kelelahan, kelemahan.
Tanda : takikardia, penurunan tekanan darah, dispnea dengan aktivitas
1. Terapi
Terapi yang diberikan untuk pasien ini berupa O2 3 4 liter/menit, posisi duduk, diit
jantung I, infus D 5% Lini 16 tetes/menit, Captopril 3 x 6.25 mg (ACE inhibitor), Aspilet
Data
Etiologi
Masalah Keperawatan
Nyeri akut
i
Iskemia
i
As Laktat
i
Nyeri akut
DS: Disritmia
DO: riwayat penyakit
jantung konginetal
Kontraktilitas jantung
menurun
i
Gagal jantung
i
Penurunan CO
Intervensi
Rasional
Kolaboratif
Berikan obat-obatan sesuai indikasi:
1. Agen non steroid, mis:
indometasin(indocin);, ASA(aspirin)
3. Steroid
Mandiri
1. Selidiki keluhan nyeri dada,
memperhatikan awitan, faktor
pemberat atau penurun
Intervensi
Rasional
Mandiri
1. Pantau irama dan frekuensi jantung
Kolaboratif
1. Berikan oksigen komplemen
3. Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan b.d menurunya suplai oksegen ke
otot.
Kriteria hasil: mempertahankan atau mendemonstrasikan perfusi jaringan adekuat secara
individual misalnya mental normal, tanda vital stabil, kulit hangat dan kering, nadi
perifer`ada atau kuat, masukan/ haluaran seimbang.
Intervensi:
Intervensi
Rasional
Mandiri
1. Evaluasi status mental. Perhatikikan 1. Indicator yang menunjukkan embolisasi
terjadinya hemiparalisis, afasia,
sistemik pada otak.
kejang, muntah, peningkatan TD.
2. Selidiki nyeri dada, dispnea tibatiba yang disertai dengan takipnea, 2. Emboli arteri, mempengaruhi jantung
nyeri pleuritik, sianosis, pucat
dan / atau organ vital lain, dapat terjadi
sebagai akibat dari penyakit katup, dan/
atau disritmia kronis
1. Tingkatkan tirah baring dengan
tepat
Kolaborasi
Intervensi
Rasional
Mandiri:
1. Evaluasi frekuensi pernafasan dan
kedalaman. Contoh adanya dispnea,
penggunaan otot bantu nafas,
pelebaran nasal.
1.
Kolaborasi:
Intervensi
Rasional
Mandiri
1. Kaji respon pasien terhadap
aktivitas. Perhatikan adanya dan
perubahan dalam keluhan
kelemahan, keletihan, dan dispnea
berkenaan dengan aktivitas
1. Miokarditis menyebabkan
inflamasi dan kemungkinan
kerusakan sel-sel miokardial,
sebagai akibat GJK. Penurunan
pengisian dan curah jantung dapat
menyebabkan pengumpulan
cairan dalam kantung perikardial
bila ada perikarditis. Akhirnya
endikarditis dapat terjadi dengan
disfungsi katup, secara negatif
mempengaruhi curah jantung
2. Membantu derajad dekompensasi
jantung and pulmonal penurunan
TD, takikardia, disritmia, takipnea
adalah indikasi intoleransi jantung
terhadap aktivitas.
Kolaborasi
Berikan oksigen suplemen
Intervensi
Rasional
Mandiri
1. Jelaskan efek inflamasi pada
jantung, ajarkan untuk
memperhatikan gejala sehubungan
dengan komplikasi/berulangnya
dan gejala yang dilaporkan dengan
segera pada pemberi perawatan
misalny demam, nyeri,
peningkatan berat badan,
peningkatan toleransi terhadap
aktifitas.
2. Anjurkan pasien/orang terdekat
tentang dosis, tujuan dan efek
samping obat: kebutuhan
diet/pertimbangan khusus:
aktivitas yang diizinkan/dibatasi
3.4 Evaluasi
Evaluasi adalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam
pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau
intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001). Evaluasi yang diharapkan pada
pasien dengan myocarditis (Doenges, 1999) adalah :
1. Nyeri hilang atau terkontrol
DAFTAR PUSTAKA