Anda di halaman 1dari 4

Pentingnya Akses Bantuan Hukum

Untuk Korban (Pengguna) Napza


Posted by totokyuliyanto on January 17, 2013

1
0
Rate This

Dalam penentuan tindak pidana yang ditentukan padanya, setiap orang berhak
atas jaminan untuk mendapatkan bantuaan hukum demi kepentingan keadilan dan
tanpa membayar jika ia tidak mempunyai dana yang cukup untuk membayarnya
Pasal 14 ayat (3) point D Konvensi hak Sipil dan Politik-

HYPERLINK

"https://totokyuliyanto.files.wordpress.com/2013/01/pelatihan-kepolisian.jpg"
Ibu
Shinta marah kepada anaknya (21th) karena, ketika persidangan tidak bisa
menyampaikan bukti-bukti riwayat pengobatan yang sudah payah dicari dari berbagai
rumah sakit tempat anaknya pernah berobat karena masalah akibat penggunaan
narkotika. Pada saat persidangan Si Anak tertunduk lesu, menahan dampak akibat
ketergantungan narkotika ketika majelis hakim menanyakan apakah ada bukti yang
ingin diajukan. Ibu Shanty yang hanya mengandalkan pensiunan alm Suaminya tidak
diberitahu atas akses bantuan hukum, begitupula anaknya dan menerima vonis hakim
begitu saja. Alhasil si Anak harus menjalani pidana selama 4 tahun dan
denda Rp.800.000.000 atau subsider 5 bulan terkena Pasal yang seharusnya dikenakan
pada Pengedar bukan kepada Pengguna/ Penyalahguna Narkotika.
Gambaran kasus diatas umumnya terjadi diseluruh kasus-kasus narkotika, apabila
Kita melihat ruang-ruang persidangan hampir setiap hari terdapat kasus pengguna
narkotika yang tidak didampingi oleh pengacara waluapun saat itu Jaksa sedang
mendakwa dan menuntut Terdakwa degan ancaman pidana penjara paling sedikit 4

tahun dan paling lama 12 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.800.000.000 dan
paling banyak Rp.8.000.000.000;
Saat ini Kasus narkotika menjadi salah satu kelompok kasus yang mendominasi
tindak pidana di Indonesia, berdasarkan data yang dilansir BNN, sejak 2007 2011
di Indoneia terdapat 138.558 kasus narkotika, dimana 52.145 kasus adalah
penggunaan narkotika dengan 73.357 tersangka. Data ini diluar dari Pengguna
narkotika yang dikenakan pasal pengedar karena memiliki, menyimpan, menguasai,
membeli narkotika yang akhirnya dikategorikan sebagai Pengedar Narkotika.
Permasalahan UU Narkotika tidak secara jelas memisahkan antara Pengguna dan
Pengedar narkotika, terutama pada unsur memiliki, menyimpan, menguasai atau
membeli narkotika merupakan permasalahan ketidakpastian hukum yang menimpa
seluruh pengguna narkotika yang dihadapkan dimuka persidangan. Namun yang lebih
parah banyak Tersangka/Terdakwa Pengguna narkotika ketika menghadapi
sangkaan/dakwaan tersebut tidak mendapatkan akses bantuan hukum. Banyak
Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim yang tidak memberikan informasi adanya akses
bantuan hukum atau banyak juga oknum aparat penegak hukum yang menekan /
menakut-nakuti agar tidak menggunakan Pengacara.
Berdasarkan hasil Monitoring Lembaga Kajian dan Advokasi Untuk Independensi
Peradilan (LEIPS) tentang Bantuan Hukum di Indonesia di Jakarta Pusat, Jakarta
Barat dan Jakarta Selatan pada September Desember 2010, diketahui dari 14990
kasus terdapat 1171 Kasus (79%) yang tidak mendapatkan bantuan hukum dan hanya
318 Kasus (21%) yang mendapatkan akses bantuan hukum di Pengadilan. Dugaan
tindak pidana narkotika menduduki posisi tertinggi untuk kasus yang tidak
didampingi oleh bantuan hukum yakni sebanyak 598 kasus dari 713 kasus yang
dimonitoring.[1].
Tidak adanya akses bantuan hukum tidak hanya mengakibatkan minimnya pembelaan
diruang-ruang peradilan, namun juga diduga mengakibatkan banyak pelanggaran
HAM pada kasus narkotika khususnya kepada Pengguna. Menurut hasil
pendokumentasian Jaringan Pemantau Pelanggaran HAM pada Pengguna Napza di
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta sejak 1997 2011,
dari 139 kasus terdapat 108 kasus penyangkalan hak untuk mendapatkan bantuan
hukum. Berdasarkan data yang dihimpun setidaknya terdapat peristiwa : kekerasan
fisik/penganiyaan (106 peristiwa), Penyiksaan (71 peristiwa), Penggeledahan Tidak
Sah (70 Peristiwa), Pemerasan (46 Peristiwa), ancaman/intimidasi (34 peristiwa),
Perampasan/ Penyitaan (15 peristiwa).
Disahkanya UU No 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (UU Bantuan Hukum)
memberikan harapan bagi kami kelompok-kelompok yang memberikan edukasi
terhadap Pengguna narkotika yang kami kategorikan sebagai korban narkotika.
Adanya akses bantuan hukum, tidak hanya menjamin proses peradilan berjalan secara
baik (fair trial) namun juga membantu program pemerintah terhadap pemberantasan

para pelaku peredaran gelap narkotika dan melakukan upaya pemulihan bagi pecandu,
penyalahguna dan korban penyalahguna narkotika.
Saat ini, peredaran gelap narkotika didalam tempat-tempat penahanan kembali
terangkat oleh media. Lemahnya sistem pengamanan dan keterlibatan oknum petugas
merupakan salah satu faktor, namun ada faktor lain yang luput/sengaja tidak diangkat,
yakni faktor berkumpulnya antara Pengguna Narkotika/pecandu dengan Pengedar
narkotika didalam tempat-tempat penahanan. Banyak Pengguna/Pecandu yang tidak
ditempatkan ditempat khusus yang sekaligus merupakan tempat pemulihan
sebagaimana diatur dalam KUHAP, namun karena tidak adanya pendampingan dan
pembelaan selama proses peradilan, akhirnya banyak APH yang menempatkan
Pengguna bersama para Pengedar.
Berdasarkan informasi di Lapangan, banyak para pengedar yang awalnya hanya
pengguna narkotika kemudiaan berubah menjadi pengedar dalam skala kecil (bandar
kecil) dan semakin lama-semakin meningkat, karena tidak mendapatkan
pendampingan dan pembelaan ketika awalnya berhadapan dengan hukum, proses
penahanan merupakan sarana belajar/turun ilmu dan pencariaan kader baru pengedar
narkotika. Setelah keluar dari penjara beberapa Pengguna kemudiaan bergabung
dalam sindikat peredaran gelap narkotika, walaupun banyak yang memutuskan keluar
dan membantu kawan-kawan lainya untuk keluar dari jeratan peredaran gelap
narkotika.
Pengguna narkotika tidak hanya menjadi alat peras oknum-oknum aparat penegak
hukum, permasalahan Stigma masyarakat dan negara yang terus melekat kepada
Pengguna Narkotika juga mengakibatkan hanya sedikit lembaga-lembaga pemberi
bantuan hukum yang bersedia mendampingi dan membela kasus Pengguna Narkotika.
Beberapa lembaga secara terang-terangan atau tertulis menyatakan tidak
mendampingi kasus narkotika. Beberapa dari mereka berpandangan membantu
pengguna narkotika sama dengan membantu pengedar, pengguna narkotika tidak
miskin karena setiap harinya mampu membeli narkotika dengan harga yang mahal,
menjerumuskan pengguna narkotika untuk mendapatkan hukuman yang tinggi
merupakan upaya penjeraan efektif dan berbagai stigma yang melekat.
Stigma yang kemudiaan melahirkan pembatasan/penghalangan Pengguna Narkotika
untuk mendapatkan haknya juga terlihat dari berbagai pelaksanaan suatu kebijakan.
UU Bantuan Hukum yang memberikan akses bantuan hukum terhadap masyarakat
miskin secara normatif tidak membeda-bedakan bentuk kasus yang dibela. Namun
melihat masih adanya stigma yang melekat dari pelaksana bantuan hukum dan
pemberi bantuan hukum dilapangan Kami selaku lembaga/organisasi/kelompok
masyarakat yang membantu korban (pengguna) narkotika untuk keluar dari jeratan
narkotika merasa penting untuk menekankan tidak adanya pembedaan terhadap kasus
narkotika khususnya pengguna dan tetap membuka akses bantuan hukum bagi
Pengguna narkotika yang berhadapan dengan hukum.

[1] Monitoring Legal Aid in Indonesia The Right of Suspect/Defendant to Access


legal Counsel, LEIPS, 2011

Anda mungkin juga menyukai