Anda di halaman 1dari 12

Jurnal

*Kepaniteraan Klinik Senior/ G1A213053


** Pembimbing/ dr. Nur Amaliyah Verbty, Sp.S

Sindrom Guillain Barre


Pradinasetia, S.Ked* dr. Nur Amaliyah Verbty, Sp.S **

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN NEUROLOGI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
2015

Sindrom Guillain Bare


Sindrom Guillain Barre ditandai dengan beberapa karakteristik yang ditandai dengan
adanya kondisi akut arefleksia(hilangnya refleks tendo yang biasanya menyeluruh) dengan
disosiasi sitologi albumin (dalam cairan serebrospinal yang normal terdapat elevasi protein).
Sejak menurunnya angka kejadian poliomyelitis, maka Sindroma Guillain Barre menjadi
penyebab terbanyakit. penyakit Acute Neuromuscular Paralysis yang lebih dikenal sebagai Acute
Flaccid Paralysis (AFP) dan merupakan kegawatan serius dalam neurologi. Kesalahpahaman
yang sering terjadi adalah anggapan bahwa sindrom Guillain Bare memiliki prognosis yang
baik. Namun hinggga 20% pasien mengalami disabilitas yang parah dan sekitar 5% meninggal,
meskipun telah mendapat imunoterapi. Sindrom Miller Fisher, yang memiliki karakteristik
dengan optalmomplegi, ataksia dan arefleksia dilaporkan pada tahun 1956 merupakan varian
penyakit yang menyerupai sindrom Guillain Bare, dikarenakan cairan serebrospinal pasien yang
terkena menunjukan adanya disosiasi sitologi albumin. Pada akhirnya, sindrom Frank Gullain
Barre ditemukan pada beberapa pasien dengan Sindrom Miller Fisher.
Berbagai penelitian imunopatologis sindrom Gullain Barre menyimpulkan bahwa
penyakit tersebut sekelompok gannguan saraf perifer.masing- masing dibedakan berdasarkan
kelemahan pada inervai saraf tungkai atau saraf kranialis dan penyakit yang mendasari.
Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa penyakit inni disebabkan oleh proses autoimun
dan profil antibody sangat membantu dalam mengkonfirmasi hubungan klinis dan
elektropsikologi yang khas pada sindrom Guillen Bare dan beberapa kondisi saraf tepi lain.
Ulasan ini membahas mengenai pengetahuan terkini, diagnosis dan menejemen sindrom Guillain
Bare.

Epidemiologi
Angka kejadian sindrom Guillain Bare dinegara barat berkisar dari 0,89 hingga 1,89 kasus
(median 1,11) per 100.000 per tahun dan mengalammi peningkatan setiap 10 tahun pada decade
awal kehidupan. Rasio antara laki-laki dan perempuan adalah 1, 78.
Dua per tiga kasus didahului dengan gejala infeksi saluran nafas atas atau diare. Frekuensi
terbanyak teridentifikasi yang berhubungan dengan sindrom Gullain

Bare adalah

Campylobacter jejuni30% dan cytomegalovirus 10% . infeksi lain yang berhubungan dengan
sindrom Gullain

Bare diantaranya adalah virus Epstein barr, virus

varicella zoster dan

mycoplasma pneumonia.

Di amerika serikat, orang

yang menerima vaksin mengelami peningkatan perkembangan

sindrom guillain Bare. Dengan adanya pendemik influenza A (H1N1) pada tahun 2009, ada
kekhawatiran besar bahwa vaksinasi terhadap H1 N1 memungkinkan terjadinya sindrom Guillin
Bare, namun hal tersebut tidak terjadi.
Diagnosis
Gejala pertama sindrom Guillain Bare, adanya mati rasa, kelemahan, nyeri pada tungkai atau
beberapa kombinasi dari gejala tersebut. Gejla utamanya adalah kelemahan anggota badan secara
progresif bilateral dan simetris. Kelemahan berlangsung selama 12 jam hingga 28 hari sebelum
menetap. Pasien biasanya menalam ihiporefleksi atau arefleksia
Riwayat infeksi saluran nafas atas tau diare 3 -6 hari seebelum onset penyakit tidak selalu terjadi.
Diagnosis banding sangat banyak

dan pemeriksaan neurologi secara mendalam

untuk

melokalisasi penyakit pada saraf perifer yang berasal batang otak, sumsum tulang belakang,
cauda equine, persambungan neuromuskuler atau otot. Adanya parestesi pada bagian distal
meningkatkan kemungkinan bahwa diagnosis sindrom Guillain Bare adalah benar. Jika tidak
adanya keterlibatan sensorik, mka adapat dipertimbngkan adanya gangguan seperti polimielitits,
miastenia gravis, ganggun elektrolit, botulisme atau miopati akut. Hipokalemi memiliki tadatand aseperti sindrom Guillain Bare namun sering diabaikan dalam diagnose banding. Pasien
dengan miopati akut mengalami penarikkan tndon yang menetap dan mangalami peningkatan
keratin kinase. Jika kelumpuhan tiba tiba meluas dan terjadi terjadi retensi urin yang menonjol,
MRI perlu dilakukan untuk menyingkirkan adanya lesi akibat penekanan.
Penelitian mengenai konduksi saraf membantu untuk mengkonfirmasi keadaan, pola dan
keparahan neuropati. penelitian ini penting utnuk memberikan kriteria spesifik untuk
mengkategorikan diagnosis. Namun hal tersebut tidak wajib dialkukan. untuk tujuan singkat
kriteria Brighton dapat digunakan di tempata yang sumber dayanya rendah. Jika diagnosis
pertama merupakan akut neuropati sudah jelas. Sindrom Guillain Bare merupakan kemungikan
besar diagnosis penyakit tersebut. Namun dokter harus mempertimbangkan penyebab alternative
lain seperti vaskulitis, beri-beri, porpiria, neuropati toksik, penyakit lyme dan diphteri.
Fungsi lumbal biasanya dilakukan pada pasien yang diduga mengalami sindrom Guillain Bare
terutama untuk menyingkirkan penyakit menular seperti pnyakit Lyme atau kondisi keganasan
seperti limfoma. Kesalahpahaman sering terjadi yang menganggap harus selalu adanya disosiasi
4

sitologi albumin. Padahal disosiasi sitologi albumin muncul tidak lebih dari 50% pasien dengan
sindrom Gullain Bare pada minggu pertama penyakit. Meskipun persentase ini meningkat pada
minggu ketiga. Beberapa pasien yang mengalami imunodefisiensi dan menderita Guillain Bare
mengalami Pleositosis
Sindrom Guillain Bare biasanya tidak berulang. Namun dua atau lebih episode kekambuhan
dilaporkan terdapat 7% .interval rata-rata kekambuhan pasien adalah 7 tahun. meskipun
hiporefleksi atau arefleksia merupakan ciri dari sindrom Guillin Bare , 10 % pasien memiliki
reflek normal atau cepat. Namun diagnose tidak boleh dikeluarkan pada pasien degan normal
reflek jika semua penilaian mendukung diagnosis. Kelainan klinis setelah tatalaksana awal atau
stabilisasi dengan imunoterapi menendakan bahwa pengobatan hanya menunjukkan perbaikan
sementara atau telah adanya demielinasi polineuropati.
Perjalanan alami dan prognosa
Mayoritas pasien mengalami peningkatan perjalanan penyakit dari 1-3 minggu dari onset gejala.
Dua pertig apsien tidak dapat berjalan sendiri ketika kelamahan sudah terjasi maksimal.
Insufiensi pernafasan terjadi pada 25 % pasien dan komplikasi mayor, termasuk pneumonia,
sepsis, emboli pulmonal dan perdarahan gastrointestinal. Terdapat 60% pasien yang diintubasi.
Diantara pasien yang mengalami keparahan 20% tetap dpat berjalan 6 bulan setelah timbulnya
gejala tersebut. Variasi dalam kejadian dan pemulihan dalam Guillain Bare sindrom membuat
prognosa sulit ditegakkan.
Salah satu sistem penilaian klinis yang telah dikembangkan menggunakan usia pasien, ada
tidaknya diare dan tingkat keparahan penyakit untuk menentukan apakah pasien dapat berjalan
secara mandiri dalam 1,3 atau 6 bulan( tabel dalam lampiran tambahan)
Skala prognostik lain menggunakan jumlah hari antara onset kelemahan hingga masuk rumah
sakit, ada tidaknya kelemahan wajah atau mata dan beratnya kelemahan ekstremitas. untuk
memprediksi berkembangya insufiensi pernafasan. Kedua penilaian ini masing-masing dapat
berguna dalam perawatan pasien dengan sindrom Guillain Bare.
Demilelinasi dan axonal subtype
Penilaian histologi sindrom Guillain Bare mendukung kalsifikasi termasuk demielinasi dan
axonal subtype, inflamasi akut polineuropati demielinasi dan neuropati axonal motor akut.
5

Kalasifikasi tersebut sebagai dasar

penelitian konduksi saraf ( gambar 1 di suplementari

appendix). Terdapat perbedaan penting dalam distribusi gografis subtype sindrom. Di eropa dan
Amerika utara angka kejadian demielinisasi Guillain Bare hingga 90% dari kasus. Sedangkan di
Cina, Jepang, Banglades frekuansi aksonal Guillain Bare sindrom dari 30% hingga 65% dan
frekuensi demielinisasi Gullain Bare sindrom dari 22% hingga 46%. Dalam penelitian kohort
konduksi saraf di Italia insiden demielinisasi Guillain Bare meningkat

ketika penelitian

dilakukan pada awal perjalanan penyakit dan penelitian konduksi saraf

dibutuhkan untuk

melakukan reklarifikasi : proporsi kasus yang telah diklasifikasikan subtype demielinasi


menururn dari 67% hingga 58%, dan klasifikasi proporsi subtipe meningkat dari18% hingga
38%. Hal ini menunjukkan hasil yang diperoleh dari awal perjalanna penyakit dapat
menyebabkan kesalahan klasifikasi subtipe, untuk itu penelitian konduksi saraf penting untuk
klasifikasi yang lebih akurat
Dalam neuropati aksonal motor sensori terdapat keterlibatan yang jelas dari serat saraf sensorik.
Neuropati blok konduksi motoric adalah bentuk ringan neuropati motoric aksonal akut namun
tidak mengalami degenarasi akson yang berlanjut. Ada bentuk lokal dari sindrom Guillain Bare
yang dibedakan berdasarkan keterlibatan kelompok otot atau saraf tertentu. Diplegia wajah
dengan parestesi adalah bentuk lokal dari demielinisasi sindrom Guillain Bare. Sedangkan
kelemahan faring, servikal, dan brachila, yang ditandai dengan kelemahan akut orofaringeal,
leher dan otot bahu menunjukkan aksonal sindrom Guillain Bare lokal.
THE MILLER FISHER SYNDROME
Sindrom Miller Fisher menunujukkan kondisi umum sindrom Guillain Bare yang tinggal di Asia
Timur atau d bagian belahan dunia lain. Ditemukan hingga 20% pasien di Taiwan dan 25 %
pasien di Jepang. Sebanyak 4, 39 pasien dengan sindrom Miller Fisher memiliki bukti infeksi 1
hingga 3 minggu sebelum berkembangnya oftalmoplegia atau ataksia; pda salah satu penelitian,
205 pasien mengalami infeksi C. Jejuni dan 8 % mengalami infeksi hemofilus influenza.
Adanya paresthesia distal berhubungan dengan sindrom Miller Fisher. Penilaian klinis yang teliti
dan investigasi yang terfokus seperti pencitraan otak dan pemeriksaan elektrofisiologi dapat
menyingkirkan kondisi lain seperti strok batang otak, ensefalopati Wernickes, Myasthenia
Gravis san Botulisme. Penyakit kondisinya meningkat dalam 1 minggu dan perbaikan sering
dimulai setelah 2 minggu.
6

Perbaikan dari gejala ataksia dan oftalmoplegi terjadi dalam 1-3 bulan, terutama setelah 6 bulan
setelah onset gejalaneurologi.
PATOGENESIS
Hubungna penelitian setelah kematian dan patologiklinik
Temuan patologis klasik dalam inflmasi akut polineuropati demielinisasi (terutama sel T dan
makrofag) dan area demielinisasi segmental, sering dikaitkan dengan tanda-tanda sekunder
degenerasi aksonal. Yang dapat dideteksi dalam akar tulang belakang sama halnya dengan dalam
nervus motor dan sensori baik besar maupun kecil. Terdapat bukti aktivasi komplemen awal
yang didasarkan pada antibody yang mengikat permukaan luar sel Schwan dan endapan
komponen yang aktif; endapan tersebut tampaknya memulai vasikulasi myelin. (gambar 2)
Invasi maskrofag diamati dalam satu minggu setelah terjadi kerusakan mediasi komplemen.
Pada neuropati motorik aksonal akut.
Pada neuropati motor aksonal akut igG dan aktivasi komplemen mengikat aksolemen pada serat
motor di nodus ranvier mengikuti serangan pada membrane komplek hail mengiktan ynag
berkepanjangan mengikuti serat saraf motor tidak hanya terjadi inflamasi miositik melainkan
terjadi demielinisasi. Terdapat laporan otopsi yang mengindikasikan tanda neurologi pada
sindrom miller fisher melengkapi sindrom Guillain Bare(terlebih dahulu diawali oftalmologi dan
ataksia kemudian diakhiri dengan kelainan cabang saraf yang memberi kesan bahwa penelitian
imunohistologi dan mikroskop electron tidak dapat membedakan secara akurat subtype
demielinisasi dari subtype aksonal Guillain Bare sindrom. Keutamaan hasil patologi sindrom
miller fisher tidak pasti karena hamper semua pasien pada akhirnya sembuh secara sempurna dan
kasus yang sanat fatal jarang terjadi.

Antibody antigangliosit
Gangliosit yang terdiri dari keramid sebuah perlekatan satu gula aau lebih (heksosa) dan terdiri
dari asam sialik (N-Asetineuraminik) berhubungan dengan inti oligosakarida yang merupakan
komponen penting saraf perifer. Empat ganglionsida GM1, GD1a, GT1a dan GQ1b yang
memiliki perbedaan pada jumlah dan posisi asam sialik dimana M, D,T dan Q merepresentasikan
mono, di ,tri dan quarti kelompok asam sialik (gambar 1) autoantibodi igG berhubungan dengan
neuropati aksonl dan motoric dengan subtype meluas dan menyempit namun tidak berhubungan
terhadap

poliseuropai inflamasi demielinisasi akut. Nervus sensorik dan motoric

mengekspresikan jumlah dari GM1 dan GD1a namun ekspresi mereka dalam berbagai jaringan

berbeda. Ini dapat menjelaskan adanya kerusakan motor akson terlihat saat neuropati motor
aksonal akut.
Autoantibodi igG hingga GQ1b yagn bereaksi silang dengan GT1a sangat berhubungan dengan
sindrom miller fisher ( oftamoparesis akut dan neuropatiataksia akut) dan variasi sentral nervus
sistem, Bickerstaffs ensepalitis batang otak yang termasuk oftalmoplegi akut, ataksia dan
kesadaran yang meyebar setelah episode infeksi. Pasien dengan kelemahan faring, servikal, dan
brachial cenderung memiliki antibody igG nti GT1a yang mungkin bereaksi silang dengan
GQ1b dan cenderung memiliki antibody igG anti GD1a yang menunjukkan hubungan ke
Sindrom Guillain bare aksonal. Lokasi sasaran ntigen gangglionsit talah dikaitkan dengan tanda
klinik dari oftalmoplegi, ataksia dan kelemahan mata. GQ1b sangat berhubungan dengan nervus
okulomotorius, troklearis, dan abdusen sama halnya dengan serabut saraf di tungkai.. . nervus
glosofaringeal dan vagus sangat mengekspresikan GT1a dan GQ1b, emungkinkan untuk menilai
disfagia.
Pada beberapa situasi , antibody terhadap komplek terdiri dari dua ganglionsit yang berbeda.
Antibody

terhadap

ganglion

tunggal

berkembang

menjadi

Sindrom

Guillain

Bare.

Menunujukkan penkususan yang dibentk glikolipid.


Molekular mimikri
Bebrapa bukti mendukung adanya molecular mimikri antara ganglionsit dan agen yang terinfeksi
pada pesien dengan sindrom Guillain bare dan sindrom Miller Fisher.
Percobaan Hewan
Pada model kelinci, amti GM1 mengakibatkan pembentukan membrane pada akar anterior tulang
belakang yang diikuti hilangnya saluran cluster natrium. Hal tersebut mrmungkinkan kegagalan
konduksi saraf dan kelemahan otot. Degenerasi aksonal terjadi pada tahap berikutnya. Dalam
model murine transfer pasif anti GM1 atau anti GD1a membentuk antibodi yang sama terhadap
sindrom Guillain Bare dan melengkapi perkembangan sindrom Guillain Bare aksonal. GM1 atau
anti GD1a menghambat degenerasi aksonal setelah cidera saraf perifer dan eritropoetin yng
digunakan untuk terapi anemia pada CKD meningkatkan regenerasi saraf. Aktivasi Rho Adan
RhO kinase muncul untuk mencegah perkembangan neuritis yang disebabkan oleh anti GM1
atau GD1A.

Hubungan Penyakit Infeksi


Infeksi terkait cytomegalovirus atau Epstein-Barr harus dikaitkan dengan Sindrom Guillin Bare
demielinisasi sedangkan c. jejunidikaitkan dengan Sindrom Guillain Bare aksonal.
Terapi

WE
Pengobatan umun
Meskipun di Negara berkembang 5% pasien dengan sindrom Gillain Barre meningk=gal
dikarenakan oleh komplikasi medis seperti sepsis, emboli paru dan henti jantung yang tak dapat
dijelaskan. Mungkin terkait dengan disautonomia. Dengan demikian membutuhkan langkahlangkah untuk mendeteksi dini komplikasi. Idealya semua pasien dirawat hingga ditemukan
bukti tidak adanya perburukan gejala pasien. Pasien layak untuk ditempatkan di ICU dimana
dapat memungkinkan pemantauan jantung dan pernafasan. Pasien dengan kelemahan ringan dan
10

dapat berjalan sendiri perlu membutuhkan terapi suportif. Meskipun tanpa adanya gejala klinis
dri distres pernfasan, ventilasi mekanik mungkin dibutuhkan pada pasiean dengan setidaknya
satu kriteria mayor atau dua kriteria mayor. Kriteria mayornya adalah hiperkarbia ( tekanan
pasrsial dari karbon dioksida arteri> 6,4 kps( 48 mmhg) , hipoksemia (tekanan parsial O2 arteri
pasien bernafas < 7,5 kapa (56 mmHg) dan kapasitas vital kurang dari 15 ml / kilogram berat
badan, dan kriteria minor yaitu batuk yang tidak efisien, gangguan menelan dan atelectasis..
suatu penilaian awal dari menelean akan mengidentifikasi pasien dari resiko aspirasi, dibutuhkan
pemasanagan NGT. Dekontaminasi selektif dari traktus digestivus mengurangi waktu
penggunaan ventilator.
Disfungsi autonimik yang serius dan berpotensial, seperti aritmia dan hipertensi ekstrim atau
hipotensi timbul di 20% dari sindrom Guillain Barre. Bradikardi berat lonjakkan melebihi
85mmHg) pada tekanan darah sistolik setiap hari. Bradikardi kemungkinan terjadinya asistole,
sehingga dibutuhkan alat pacu jantung secara permanen ketika pasien sindrom Guillain Bare
tidak dirawat jalan. Pencegahan terhadap thrombosis vena dalam dengan penggunaan heparin
subkutaneus merupakan hal penting. Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah adanya retensi
urin dan konstipasi yang dapat diatasi dengan keterterisasi dan penggunaan obat pencahar.
Nyeri dalam bentuk distesia atau muskular, radicular, atralgia dan nyeri

meningitis telah

dilaporkan mendahului kelemahan pad asepertiga pasien dengan sindrom Gullain Barre. Dua
pertiga dari semua pasien mengalami nyeri selama fase akut dan sepertiga tahun kemudian.
Rekomendasi awal pengobatan yang penting diantaranya adalah

opioid, gabapentin dan

karbamazepin mungkin cukup efektif, sedangka pemberian kortikosteroid tidak cukup efektif.
Kelelahan (fatigue) yang cukup parah dilaporkan 60% dari 71 pasien dan ketika menetap
kemungkinan dapat berespon terhadap terapi kekuatan fisik, aerobik dan latihan fungsional.
Sindrom Guillain Barre dapat berakibat pada sistem saraf pusat. Daalam bebrapa penelitian
menjelaskan bahwa terdapat halusinasi dan psikosis mempengaruhi sepertiga pasien .perubahan
ini terjadi ketika perkambangan penyakit meningkat dan hilang ketika pasien pulih.
Imunoterapi
Pertukaran plasma adalah pengobatan pertama yang pertama ditemukan efektif dalam
mempercepat pemulihan pasien dan tampak paling efektif ketika dalam 2 minggu pertama
setelah onset penyakit pada pasien yang tidak dapat berjalan. Pemeriksaan elektrofisiologis tidak
11

selalu diperlukan untuk memulai imunoterapi. Pertukaran plasma tidak spesifik menghilangkan
antibody dan komplemen dan hal tersebut cenderung menurunkan kerusakan saraf dan
mempercepat perbaikan klinis

disbanding dengan terapi suportif tunggal. Regimen

yang

digunakan adalah 5 volume plasma selama 2 minggu. Pertukaran tersebut efektif terhadap
pasien yang tidak dapat berjalan sendiri.Diperkirakan bahwa immunoglobulin dapat bertindak
sebagai antibody pathogen dan menghambat aktivasi komplemen sehinggah mengurangi cidera
saraf dan memperbaiki keadaan klinis, disbanding tidak dilakukan tanpa pengobatan.
Menurut regimen pengobatan standar immunoglobulin diberikan dengan dosis total 2 gram
perkilogram berat badan selama periode 5 hari. Konsorium neuropati inflamasi menjelaskan
bahwa pertukaran plama diikuti oleh immunoglobulin intravea tidak lebih efektif dibanding
penggunaan masing- masing pengobatan tersebut secara tersendiri. Penggunaan prednisone
ataupun metil prednisolone menunjukkan keefektifan pada pengobatan jangka panjang. Dalam
penelitian

retrospektif

oftalmoplegi

immunoglobulin tanpa pertukaran plaama mempercepat pemulihan

atau ataksia pada pasien dengan sindrom Miller Fisher meskipun waktu

penyembuhan tidak berubah.

12

Anda mungkin juga menyukai