Anda di halaman 1dari 17

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Cedera Kepala


2.1.1. Definisi
Cedera kepala dapat disebut juga dengan head injury ataupun traumatic
brain injury. Kedua istilah ini sebenarnya memiliki pengertian yang sedikit
berbeda. Head injury merupakan perlukaan pada kulit kepala, tulang tengkorak,
ataupun otak sebagai akibat dari trauma. Perlukaan yang terjadi dapat
mengakibatkan terjadinyabenjolan kecil namun dapat juga berakibat serius
(Heller, 2013). Sedangkan, traumatic brain injury merupakan gangguan fungsi
otak ataupun patologi pada otak yang disebabkan oleh kekuatan (force) eksternal
yang dapat terjadi di mana saja termasuk lalu lintas, rumah, tempat kerja, selama
berolahraga, ataupun di medan perang (Manley dan Mass, 2013). Head injury
merupakan istilah yang lebih luas dari traumatic brain injury.Tidak adanya
konsensus yang mengatur tentang definisi yang tepat menyebabkan terjadinya
tumpang tindih ini (Williams, 2004).
Cedera kepala disebut-sebut terjadi sebagai hasil dari interaksi antara
seorang individu dengan agen eksternal seperti kekuatan mekanis (Reilly dan
Bullock, 2005).Cedera kepala merupakan fenomena klinis yang kompleks dengan
klasifikasi, perjalanan penyakit (clear natural history), ataupun kriteria diagnostik
patologi anatomi yang kurang jelas (Raji, dkk, 2014). Menurut Dawodu (2013),
cedera kepala merupakan gangguan pada otak yang bukan diakibatkan oleh suatu
proses degeneratif ataupun kongenital, melainkan suatu kekuatan mekanis dari
luar tubuh yang bisa saja menyebabkan kelainan pada aspek kognitif, fisik, dan
fungsi psikososial seseorang secara sementara ataupun permanen dan berasosiasi
dengan hilangnya ataupun terganggunya status kesadaran seseorang.

2.1.2. Epidemiologi
Insidensi cedera kepala di seluruh dunia cenderung untuk terus meningkat.
Kejadian ini berhubungan dengan meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor
yang terlihat jelas pada negara-negara yang berpendapatan rendah dan menengah
(Roozenbeek, Maas, dan Menon, 2013). Menurut WHO, kejadian cedera kepala
akan melebihi kejadian berbagai penyakit lainnya dalam menyebabkan kematian
dan kecacatan pada tahun 2020. Beban akibat cedera kepala ini terutama tampak
jelas pada negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Sebab, di negaranegara ini terdapat banyak faktor risiko yang dapat mendorong terjadinya cedera
kepala. Hal ini semakin diperparah oleh ketidaksiapannya sistem kesehatan di
negara-negara tersebut (Hyder, dkk, 2007).
Insidensi cedera kepala secara global diperkirakan sekitar 200 per 100.000
orang setiap tahunnya. Namun, angka tersebut dianggap bukanlah suatu angka
yang pasti dan merupakan angka yang underestimated (Bryan-Hancock dan
Harrison, 2010). Data yang diperoleh dari Center of Disease Control and
Prevention (CDC) menunjukkan bahwa kejadian cedera kepala di Amerika Serikat
adalah sekitar 1,7 juta kasus setiap tahunnya (Roozenbeek, Maas, dan Menon,
2013). Di Eropa, cedera kepala yang diterima di rumah sakit adalah sekitar 235
kasus per 100.000 orang setiap tahunnya (Tagliaferri, dkk, 2006). Insidensi cedera
kepala di Afrika Selatan adalah sekitar 310 kasus per 100.000 orang setiap
tahunnya (Roozenbeek, Maas, dan Menon, 2013). Pada tahun 2004, terdapat
sekitar 14.948 kasus cedera kepala yang diterima di 77 rumah sakit di Negara
China Timur (Wu, dkk, 2008).
Di Indonesia, penelitian mengenai insidensi cedera kepala masih sangat
minim sehingga angka kejadian cedera kepala di Indonesia masih belum dapat
ditentukan.Di RSUP Haji Adam Malik Medan tercatat sekitar 1.627 kasus cedera
kepala terjadi pada tahun 2010 (Indharty, 2012). Di RSUD dr. Pirngadi Medan
dijumpai 1.095 kasus cedera kepala pada tahun 2002 dengan jumlah kematian 92
orang (Nasution, 2010).

Cedera kepala menjadi penyebab utama kematian orang dewasa yang


berusia dibawah 45 tahun dan pada anak-anak berusia 1 sampai 15 tahun
(Sharples, dkk, 1990). Kasus cedera kepala terbanyak merupakan cedera kepala
derajat ringan (Thornhill, dkk, 2000). Pasien dengan cedera kepala ringan
memiliki prognosis yang baik bila penanganan dilakukan dengan baik pula.
Secara kesuluruhan angka kematian pada pasien-pasien cedera kepala
ringan adalah sekitar 0,1% dan paling sering disebabkan oleh perdarahan
intrakranial yang tidak terdiagnosa. Walaupun banyak pasien cedera kepala ringan
yang dapat kembali bekerja, namun sekitar 50% dari pasien ini memiliki
disabilitas sedang sampai berat bila diukur dengan Glasgow Outcome Scale
(GOS) atau Disability Outcome Scale (DOS). Hal ini menunjukkan bahwa cedera
kepala ringan pun memiliki morbiditas yang signifikan (Moppett, 2007).
Pada pasien-pasien yang mengalami cedera kepala yang lebih parah,
prognosisnya jauh lebih buruk. Sekitar 30% dari pasien yang diterima di rumah
sakit dengan Glasgow Coma Scale (GCS) <13 akhirnya akan meninggal.
Mortalitas pasien-pasien dengan GCS 8 setelah dilakukan resusitasi adalah
sekitar 50%. Pasien-pasien yang diterima di rumah sakit dengan GCS 12, sekitar
8% pasien tersebut akan meninggal dalam 6 jam pertama, dan 2% akan meninggal
dalam 1 jam pertama. Manifestasi jangka panjang pasien-pasien dengan cedera
kepala berat jauh lebih buruk disbanding dengan pasien dengan cedera kepala
ringan. Hanya sekitar 20% pasien dengan cedera kepala berat dapat pulih dengan
baik diukur dengan GOS (Moppett, 2007).
2.1.3. Etiologi
Menurut Hyder, dkk (2007), penyebab cedera kepala yang paling sering
dialami di seluruh dunia adalah akibat kecelakaan lalu lintas. Sekitar 60% dari
kasus cedera kepala merupakan akibat dari kelalaian dalam berlalu lintas, 20
sampai 30% kasus disebabkan oleh jatuh, 10% disebabkan oleh kekerasan, dan
sisanya disebabkan oleh perlukaan yang terjadi di rumah maupun tempat kerja.

Cedera kepala dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu :


1. Trauma Primer, terjadi akibat trauma pada kepala secara langsung
maupun tidak langsung (akselerasi dan deselerasi).
2. Trauma Sekunder, terjadi akibat trauma saraf (melalui akson) yang
meluas, hipertensi intracranial, hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi
sistemik (Sibuea, 2009).
2.1.4. Klasifikasi
Terdapat beberapa macam klasifikasi cedera kepala dimulai dari klasifikasi
berdasarkan tingkat keparahannya sampai dengan klasifikasi cedera kepala
berdasarkan patofisiologinya. Namun demikian, terdapat tiga sistem klasifikasi
yang umum digunakan, yaitu :
1. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahannya, klasifikasi ini seringkali
digunakan untuk kepentingan penelitian klinis.
2. Klasifikasi berdasarkan tipe pathoanatomic-nya, klasifikasi ini
terutama digunakan untuk menentukan penanganan pasien cedera
kepala pada fase akut.
3. Klasifikasi berdasarkan

mekanisme

terjadinya

cedera

kepala,

klasifikasi ini paling sering digunakan untuk kepentingan pencegahan


(Saatman, dkk, 2008).
2.1.4.1. Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Keparahan
Sampai saat ini, penelitian mengenai penanganan pasien-pasien dengan
cedera kepala dilakukan berdasarkan pada kriteria tingkat keparahan kerusakan
neurologis (neurologic injury severity criteria) pasien tersebut (Saatman, dkk,
2008). Beberapa sistem skoring dapat menilai status neurologik awal, diantaranya
Glasgow Coma Scale (GCS),

Trauma Score, Trauma Score Revised, dan

Abbreviated Injury Scale (AIS). GCS

terlepas dari berbagai kekurangannya,

merupakan system yang paling banyak dipakai. GCS sederhana, merupakan skala
praktis untuk menilai derajat kesadaran pasien dan untuk memprediksi hasil
akhirnya (Sastrodiningrat, 2012).

GCS dibuat oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974. Selain digunakan
untuk menafsirkan tingkat kesadaran dan prognosis penderita cedera kepala, GCS
juga dapat dipakai untuk menilai kelainan neurologis secara kuantitatif serta dapat
digunakan secara umum untuk mendeskripsikan keparahan pasien-pasien cedera
kepala.Nilai GCS dapat diperoleh dengan cara memeriksa kemampuan membuka
mata, motorik, dan verbal pasien. Masing-masing komponen pemeriksaan
memiliki nilai tertinggi sebesar 4,6, dan 5.Berdasarkan GCS, cedera kepala dapat
dikategorikan menjadi cedera kepala ringan (GCS 14 15), cedera kepala sedang
(GCS 9 13), dan cedera kepala berat (GCS 3 8) (Sibuea, 2009).
Tabel 2.1. Glasgow Coma Scale (Teasdale dan Jannet, 1974)
Assesment Area
Score
Eye Opening (E)
Spontaneus
4
To speech
3
To pain
2
None
1
Motor Response (M)
Obey command
6
Localized pain
5
Normal flexion
4
Abnormal flexion
3
Abnormal extension
2
None
1
Verbal Response (V)
Oriented
5
Confused conversation
4
Inappropriate word
3
Incomprehenble sound
2
None
1
Selain berdasarkan GCS, Central of Disease Control and Prevention
(CDC) pada tahun 2008 mengeluarkan panduan terhadap cedera kepala.
Klasifikasi cedera kepala berdasarkan CDC yaitu:
1. Ringan

: GCS 13-15; Amnesia post-traumatik kurang dari 1 hari; Pingsan

0-30 menit
2. Sedang
: GCS 9-12; Amnesia post-traumatik 1-7 hari; Pingsan 30 menit
hingga 24 jam

3. Berat

: GCS 3-8; Amnesia post-traumatik lebih dari 7 hari; Pingsan

lebih dari 24 jam


2.1.4.2. Klasifikasi Berdasarkan Pathoanatomic
Klasifikasi pathoanatomic menunjukkan lokasi atau ciri-ciri anatomis
yang mengalami abnormalitas. Fungsi klasifikasi ini adalah untuk terapi yang
tepat sasaran. Kebanyakan pasien dengan trauma yang parah akan memiliki lebih
dari satu jenis perlukaan bila pasien diklasifikasikan menggunakan metode ini.
Penilaian dilakukan dimulai dari bagian luar kepala hingga ke dalam untuk
melihat tipe perlukaan yang terjadi dimulai dari laserasi dan kontusio kulit kepala,
fraktur tulang tengkorak, perdarahan epidural, perdarahan subdural, perdarahan
subaraknoid, kontusio dan laserasi otak, perdarahan intraparenkimal, perdarahan
intraventrikular, dan kerusakan fokal maupun difus dari akson. Masing-masing
dari entitas tersebut dapat dideskripsikan lebih jauh lagi meliputi seberapa luas
kerusakan yang terjadi, lokasi, dan distribusinya (Saatman, dkk, 2008).
2.1.4.3. Klasifikasi Berdasarkan Mekanisme Fisik
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan pada apakah kepala
menabrak secara langsung suatu objek (contact or impact loading) ataupun
otak yang bergerak di dalam tulang tengkorak (noncontact or inertial loading)
dan akhirnya menimbulkan cedera. Arah dan kekerasan pada kedua tipe perlukaan
tersebut dapat menentukan tipe dan keparahan suatu trauma. Klasifikasi
berdasarkan mekanisme fisik ini memiliki manfaat yang besar dalam mencegah
terjadinya cedera kepala (Saatman, dkk, 2008).
2.1.5. Patogenesis& Patofisiologi
2.1.5.1. Cedera Otak Primer
Secara umum, cedera otak primer menunjuk kepada kejadian yang tak
terhindarkan dan disertai kerusakan parenkim yang terjadi sesaat setelah terjadi
trauma (Saatman, dkk, 2008 dan Werner dan Engelhard, 2007). Cedera ini dapat
berasal dari berbagai bentuk kekuatan seperti akselerasi, rotasi, kompresi, dan
distensi sebagai akibat dari proses akselerasi dan deselerasi. Kekuatan-kekuatan

ini menyebabkan tekanan pada tulang tengkorak yang dapat mempengaruhi


neuron, glia, dan pembuluh darah dan selanjutnya menyebabkan kerusakan fokal,
multifokal maupun difus pada otak. Cedera otak dapat melibatkan parenkim otak
dan / atau pembuluh darah otak. Cedera pada parenkim dapat berupa kontusio,
laserasi, ataupun diffuse axonal injury (DAI), sedangkan cedera pada pembuluh
darah otak dapat berupa perdarahan epidural, subdural, subaraknoid, dan
intraserebral yang dapat dilihat pada CT-scan (Indharty, 2012).
2.1.5.2. Cedera Otak Sekunder
Cedera otak sekunder menunjuk kepada keadaan dimana kerusakan pada
otak dapat dihindari setelah setelah proses trauma. Beberapa contoh gangguan
sekunder ini adalah hipoksia, hipertensi, hiperkarbi, hiponatremi, dan kejang
(Saatman, dkk, 2008). Menurut Indharty (2012), cedera otak sekunder merupakan
lanjutan dari cedera otak primer. Hal ini dapat terjadi akibat adanya reaksi
peradangan, biokimia, pengaruh neurotransmitter, gangguan autoregulasi, neuroapoptosis, dan inokulasi bakteri.
Faktor intrakranial (lokal) yang mempengaruhi cedera otak sekunder
adalah adanya hematoma intrakranial, iskemik otak akibat penurunan perfusi ke
jaringan di otak, herniasi, penurunan tekanan arterial otak, tekanan intrakranial
yang meningkat, demam, vasospasm, infeksi, dan kejang. Sebaliknya, faktor
ekstrakranial (sistemik) yang mempengaruhi cedera otak sekunder dikenal dengan
istilah nine deadly Hs meliputi hipoksemia, hipotensi, hiperkapnia, hipokapnia,
hipertermi, hiperglikemi dan hipoglikemi, hiponatremi, hipoproteinemia, serta
hemostasis (Indharty, 2012).
2.1.5.3. Patofisiologi Cedera Kepala Secara Umum
Fase pertama kerusakan serebral paska terjadinya cedera kepala ditandai
oleh kerusakan jaringan secara langsung dan juga gangguan regulasi peredaran
darah serta metabolisme di otak. Pola ischaemia-like ini menyebabkan
akumulasi asam laktat sebagai akibat dari terjadinya glikolisis anaerob.

Selanjutnya, terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah diikuti dengan


pembentukan oedem. Sebagai akibat berlangsungnya metabolisme anaerob, sel-sel
otak kekurangan cadangan energi yang turut menyebabkan terjadinya kegagalan
pompa ion di membran sel yang bersifat energy-dependent (Werner dan
Engelhard, 2007).
Pada fase kedua dapat dijumpai depolarisasi membran terminal yang
diikuti dengan pelepasan neurotransmitter eksitatori (glutamat dan aspartat) yang
berlebihan. Selain itu, pada fase kedua dapat juga ditandai oleh teraktifasinya Nmethyl-D-aspartate,

-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolpropionate,

serta

kanal ion kalsium dan natrium yang voltage-dependent(Werner dan Engelhard,


2007).
Influks kalsium dan natrium menyebabkan terjadinya proses self-digesting
di intraseluler. Kalsium mampu mengaktifkan beberapa enzim seperti lipid
peroxidases, protease, dan fosfolipase yang dapat menyebabkan peningkatan
konsentrasi asam lemak bebas dan radikal bebas di intraseluler. Sebagai
tambahan, aktifasi dari enzim caspases (ICE-like proteins), translocases, dan
endonuklease mampu menginisiasi perubahan struktural dari membran biologis
dan nucleosomal DNA secara progresif. Fase-fase ini secara bersamaan
mendukung terjadinya proses degradasi membran vaskular dan struktur seluler
dan akhirnya menyebabkan terjadinya proses nekrotik ataupun kematian sel
terprogram (apoptosis)(Werner dan Engelhard, 2007).
2.2. Computed Tomography Scanning / CT-Scan Kepala
Computed tomography (CT) merupakan sebuah teknologi yang secara
ekstensif digunakan dalam bidang neuroradiologi yang mampu menghasilkan
gambaran cross-sectional suatu jaringan. Gambar yang dihasilkan CT merupakan
hasil dari radiasi ion-ion yang diperoleh dari penyerapan X-ray pada jaringan
spesifik yang diperiksa. CT menawarkan berbagai keperluan yang berguna untuk
memeriksa otak seseorang (Jordan, dkk, 2010). CT juga merupakan pemeriksaan

diagnostik yang cepat, tidak menyakitkan, noninvasif, dan akurat. Hasil dari CT
juga mampu mengurangi keperluan dilakukannya tindakan pembedahan
eksploratif maupun biopsi yang invasif (Fertikh, dkk, 2013).
2.2.1. Prinsip Dasar Kerja CT-Scan
Prinsip dasar dari radiografi adalah bahwa sinar X diserap berbagai jenis
jaringan dengan berbagai derajat yang berbeda. Penyerapan sinar X terbanyak
adalah oleh tulang. Alasannya, tulang merupakan jaringan padat yang
menyebabkan perjalanan sinar X menuju film ataupun detektor yang berada pada
posisi bersebrangan dengan pemancar sinar menjadi terhambat. Sedangkan,
jaringan dengan densitas yang rendah seperti udara dan lemak hampir tidak
menyerap sinar X sedikitpun sehingga, sinar X dapat menuju film atau detektor
(Perron, 2008).
2.2.2. Indikasi CT-Scan Kepala
Secara umum terdapat dua indikasi untuk melakukan CT-scan otak,
yaitu(Jordan, dkk, 2010):
1. Indikasi primer
a. Trauma kepala akut
b. Ada dugaan perdarahan intrakranial akut
c. Evaluasi terhadap aneurisma
d. Deteksi ataupun evaluasi proses kalsifikasi
e. Evaluasi segera paska pembedahan untuk terapi tumor,
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.

perdarahan intrakranial, ataupun lesi perdarahan.


Adanya dugaan malfungsi shunt
Perubahan status mental
Peningkatan tekanan intrakranial
Sakit kepala
Defisit neurologis akut
Dugaan infeksi intrakranial
Dugaan hidrosepalus
Lesi kongenital (seperti kraniosinostosis, makrosepali, dan

mikrosepali)
n. Evaluasi kelainan psikiatri
o. Herniasi otak
p. Dugaan adanya massa atau tumor

2. Indikasi sekunder
a. Bila magnetic resonance imaging (MRI) tidak tersedia atau di
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.

kontraindikasikan bagi penderita


Diplopia
Disfungsi saraf kranialis
Kejang
Apnea
Sinkop
Ataksia
Dugaan penyakit neurodegeneratif
Pertumbuhan yang terlambat
Disfungsi neuroendokrin
Encefalitis
Toksisitas obat
Displasia kortikal ataupun kelainan morfologi otak lainnya

Selain dari berbagai kriteria tersebut, terdapat Canadian CT Head Rule


yang menyebutkan bahwa pasien-pasien dengan cedera kepala ringan harus
dilakukan pemeriksaan CT kepala bila terdapat beberapa indikasi berikut (Stiell,
dkk, 2001):
1. Risiko tinggi
a. Skor GCS < 15 setelah 2 jam paska trauma
b. Dicurigai adanya fraktur tengkorak terbuka ataupun depressed
c. Adanya tanda fraktur basis kranii (hemotimpani, racoon
eyes, cairan serebrospinal yang keluar dari telinga ataupun
hidung, battles sign)
d. Muntah 2 kali
e. Usia 65 tahun
2. Risiko menengah
a. Amnesia before impact > 30 mins
b. Mekanisme trauma yang berbahaya (pejalan kaki yang ditabrak
oleh kendaraan bermotor, penumpang yang terlempar dari
kendaraan bermotor, jatuh dari ketinggian lebih dari 3 kaki atau
5 tangga)
2.2.3. Berbagai Kelainan Intrakranial pada CT-Scan Kepala
2.2.3.1. Fraktur Tengkorak

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa tulang memiliki densitas tertinggi


pada CT Scan (+1000HU). Atas alasan inilah, berbagai fraktur pada tengkorak
baik comminuted fracture maupun depressed fracture dapat diidentifikasi dengan
mudah pada CT Scan. Walaupun demikian, terdapat beberapa jenis fraktur yang
tidak mudah diidentifikasi seperti, fraktur nondepressed (berupa garis linier) dan
fraktur basis kranii (Perron, 2008). Klasifikasi fraktur tulang tengkorak dapat
dilakukan berdasarkan (Japardi, 2004) :
1. Gambaran fraktur, dibedakan atas :
a. Linier
b. Diastase
c. Comminuted
d. Depressed
2. Lokasi anatomis, dibedakan atas :
a. Konveksitas (kubah tengkorak)
b. Basis crania (dasar tengkorak)
3. Keadaan luka, dibedakan atas :
a. Terbuka
b. Tertutup

Gambar 2.1. Gambaran CT Scan pada fraktur tengkorak : A. linear skull fracture;
B. depressed, comminuted skull fracture; C. fraktur basis kranii
Sumber : Andrew D. Perron dalam How to Read a Head CT Scan (2008)
Fraktur dapat terjadi pada berbagai tempat di tengkorak. Adanya fraktur
tengkorak meningkatkan kecurigaan telah terjadinya kelainan pada intrakranial.
Bila pada CT Scan dijumpai adanya udara pada intrakranial, hal ini
mengindikasikan bahwa telah terjadi kerusakan pada tulang tengkorak dan selaput
duramater. Fraktur basis kranii paling sering dijumpai pada petrous ridge (bagian
padat yang berbentuk piramid yang berada pada tulang temporal). Akibat dari
densitas tulang ini, garis fraktur akan sulit untuk diidentifikasi pada area ini.
Selain berusaha mencari garis fraktur untuk menegakkan terjadinya fraktur basis
kranii ini, pada klinisi dapat pula memberi perhatian pada mastoid air cells yang
terdapat pada tulang ini. Adanya darah pada mastoid air cells menandakan bahwa
terjadinya fraktur basis kranii. Sama halnya dengan mastoid air cells, sinus-sinus
seperti maksilaris, etmoidalis, dan sphenoid harus terlihat pada CT Scan dan berisi
udara. Apabila dijumpai cairan pada salah satu dari sinus ini, dapat dicurigai
bahwa telah terjadi fraktur pada tulang tengkorak (Perron, 2008).

Gambar 2.2. Gambaran CT Scan kepala yang menunjukkan adanya udara pada
intrakranial
Sumber : Andrew D. Perron dalam How to Read a Head CT Scan (2008)
2.2.3.2. Perdarahan Epidural
Karakteristik gambaran perdarahan epidural pada CT scan berupa lesi
yang bikonveks, fokal, dan berbatas halus. Perdarahan epidural tidak akan
melewati garis sutura yang disebabkan oleh intaknya lapisan duramater.
Perdarahan epidural secara primer (85%) berasal dari laserasi pembuluh arteri
terutama arteri meningeal media yang disebabkan oleh fraktur tengkorak. Pada
sedikit kasus, asal darah pada perdarahan epidural dapat berasal dari pembuluh
vena otak. Perdarahan epidural cenderung berakumulasi dengan cepat, inilah
alasannya mengapa perdarahan epidural termasuk kedalam kasus
kegawatdaruratan medis (Perron, 2008 dan Khan, 2013).

Gambar 2.3. Perdarahan epidural yang terjadi pada lobus frontalis kanan
Sumber : Douglas K. McDonald, dkk dalam Imaging in Epidural Hematoma
(2013)
2.2.3.3. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural merupakan penumpukan darah di bawah lapisan
duramater tetapi masih diluar dari otak dan lapisan araknoid (Meagher, 2013).
Gambaran perdarahan subdural pada CT Scan menyerupai bentuk bulan sabit /
crescent. Selain itu, pada perdarahan subdural, darah dapat melewati garis sutura
(Perron, 2008). Perdarahan subdural memiliki angka morbiditas dan mortalitas
yang tinggi, sekalipun ditangani dengan baik. Umumnya perdarahan subdural
disebabkan oleh trauma, tetapi perdarahan ini dapat pula terjadi secara spontan
ataupun sebagai akibat dari suatu tindakan medis seperti pungsi lumbal Pemberian
obat-obatan antikoagulan seperti heparin maupun warfarin juga menjadi faktor

risiko yang meningkatkan terjadinya perdarahan subdural (Engelhard III, dkk,


2014).

Gambar 2.4. Perdarahan subdural (biru) dengan pergeseran garis sutura (oranye)
Sumber : Andrew D. Perron dalam How to Read a Head CT Scan (2008)
2.2.3.4. Perdarahan Subaraknoid
Perdarahan subaraknoid didefinisikan sebagai adanya darah pada ruang
subaraknoid yang normalnya berisi cairan serebrospinal. Gambaran hiperdens
darah pada CT Scan dapat terlihat dalam waktu beberapa menit setelah terjadi
perdarahan (Perron, 2008). Perdarahan subaraknoid paling sering disebabkan oleh
rupturnya aneurisma otak dan arteriovenous malformasi (AVM) (Becske, 2013).

Gambar 2.5. Perdarahan subaraknoid : A. darah mengisi sisterna suprasellar; B.


darah mengisi sisterna shylvii
Sumber : Andrew D. Perron dalam How to Read a Head CT Scan (2008)
2.2.3.5. Perdarahan Intraparenkim
Perdarahan intraparenkim adalah akumulasi darah di parenkim otak.
Perdarahan dengan diameter 5mm dapat dideteksi pada pemeriksaan CT Scan
kepala. Perdarahan intraparenkim dapat diikuti dengan terjadinya edema yang
akhirnya menyebabkan terkompresinya jaringan otak di sekitarnya. Parenkim otak
yang bergeser ini menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial yang
berpotensial menyebabkan sindrom herniasi yang fatal (Liebeskind, 2013 dan
Perron, 2008).
2.2.3.6. Perdarahan Intraventrikular
Perdarahan intraventrikular dapat terjadi sebagai akibat dari trauma
langsung ataupun komplikasi dari perdarahan intraparenkim dan subaraknoid
yang disertai dengan ruptur ventrikel. Perdarahan intraventrikular dapat dikenali
dari gambarannya yang berupa white density pada rongga ventrikel yang
normalnya berwarna gelap. Komplikasi dari perdarahan intraventrikular dapat
berupa hidrosepalus (Perron, 2008).

Gambar 2.6. Perdarahan intraparenkim (oranye) disertai dengan perdarahan


intraventrikular (biru)
Sumber : Andrew D. Perron dalam How to Read a Head CT Scan (2008)

Anda mungkin juga menyukai