Anda di halaman 1dari 42

25

BAB II
LANDASAN TEORI
A. KESEHATAN MENTAL
1. Definisi Kesehatan Mental
Dalam mendefinisikan kesehatan mental, sangat dipengaruhi oleh kultur
dimana seseorang tersebut tinggal. Apa yang boleh dilakukan dalam suatu budaya
tertentu, bisa saja menjadi hal yang aneh dan tidak normal dalam budaya lain, dan
demikian pula sebaliknya (Sias, 2006). Menurut

Pieper dan Uden (2006),

kesehatan mental adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak mengalami


perasaan bersalah terhadap dirinya sendiri, memiliki estimasi yang relistis
terhadap dirinya sendiri dan dapat menerima kekurangan atau kelemahannya,
kemampuan menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya, memiliki kepuasan
dalam kehidupan sosialnya, serta memiliki kebahagiaan dalam hidupnya.
Notosoedirjo dan Latipun (2005), mengatakan bahwa terdapat banyak cara
dalam mendefenisikan kesehatan mental (mental hygene) yaitu: (1) karena tidak
mengalami gangguan mental, (2) tidak jatuh sakit akibat stessor, (3) sesuai dengan
kapasitasnya dan selaras dengan lingkungannya, dan (4) tumbuh dan berkembang
secara positif.
1. Sehat mental karena tidak mengalami gangguan mental
Orang yang sehat mentalnya adalah orang yang tahan terhadap sakit jiwa
atau terbebas dari sakit dan gangguan jiwa. Vaillaint (dalam Notosoedirjo &
Latipun, 2005), mengatakan bahwa kesehatan mental atau psikologis itu as the
presence of successfull adjustmet or the absence of psychopatology dan yang

25

Universitas Sumatera Utara

26

dikemukakan oleh Kazdin yang menyatakan kesehatan mental as a state in which


there is an absence of dysfunction in psychological, emotional, behavioral, and
sosial spheres.
Pengertian ini bersifat dikotomis, bahwa orang berada dalam keadaan sakit
atau sehat psikisnya. Sehat jika tidak terdapat sedikitpun gangguan psikisnya, dan
jika ada gangguan psikis maka diklasifikasikan sebagai orang sakit. Dengan kata
lain sehat dan sakit itu mental itu bersifat nominal ytang dapat dibedakan
kelompok-kelompoknya. Sehat dengan pengertian terbebas dari gangguan,
berarti jika ada gangguan sekialipun sedikit adanya, seseorang itu diangganb tidak
sehat.
2. Sehat mental jika tidak sakit akibat adanya stressor
Notosoedirjo dan Latipun (2005), mengatakan bahwa orang yang sehat
mentalnya adalah orang yang dapat menahan diri untuk tidak jatuh sakit akibat
stressor (sumber stres). Seseorang yang tidak sakit meskipun mengalami tekanantekanan maka menurut pengertian ini adalah orang yang sehat. Pengertian ini
sangat menekankan pada kemampuan individual merespon lingkungannya.
3. Sehat

mental jika sejalan dengan kapasitasnya dan selaras dengan

lingkungannya
Michael dan Kirk Patrick (dalam Notosudirjo & Latipun, 2005)
memandang bahwa individu yang sehat mentalnya jika terbebas dari gejala
psikiatris dan individu itu berfungsi secara optimal dalam lingkungan sosialnya.
Pengertian ini terdapat aspek individu dan aspek lingkungan. Seseorang yang

26

Universitas Sumatera Utara

27

sehat mental itu jika sesuai dengan kapasitasnya diri sendiri, dan hidup tepat yang
selaras dengan lingkungannya.
4. Sehat mental karena tumbuh dan berkembang secara positif
Frank, L. K. (dalam Notosudirjo & Latipun, 2005)

merumuskan

pengertian kesehatan mental secara lebih komprehensif dan melihat kesehatan


mental secara positif. Dia mengemukakan bahwa kesehatan mental adalah
orang yang terus menerus tumbuh, berkembang dan matang dalam hidupnya,
menerima tanggung jawab, menemukan penyesuaian (tanpa membayar terlalu
tinggi biayanya sendiri atau oleh masyarakat) dalam berpartisipasi dalam
memelihara aturan sosial dan tindakan dalam budayanya.
Dari berbagai pengertian yang ada, Johada (dalam Notosoedirjo dan
Latipun, 2005), merangkum pengertian kesehatan mental dengan mengemukakan
tiga ciri pokok mental yang sehat:
(a) Seseorang melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungan atau melakukan
usaha untuk menguasai, dan mengontrol lingkungannya, sehingga tidak pasif
menerima begitu saja kondisi sosialnya. (b) Seseorang menunjukkan kutuhan
kepribadiaanya mempertahankan integrasi kepribadian yang stabil yang
diperoleh

sebagai

akibat

dari

pengaturan

yang

aktif.

(c)

Seseorang

mempersepsikan dunia dan dirinya dengan benar, independent dalam hal


kebutuhan pribadi.
Federasi Kesehatan Mental Dunia (World Federation for Mental Health)
merumuskan pengertian kesehatan mental sebagai berikut. (1) Kesehatan mental
sebagai kondisi yang memungkinkan adanya perkembangan yang optimal baik

27

Universitas Sumatera Utara

28

secara fisik, intelektual dan emosional, sepanjang hal itu sesuai dengan keadaan
orang lain. (2) Sebuah masyarakat yang baik adalah masyarakat yang
membolehkan perkembangan ini pada anggota masyarakatnya selain pada saat
yang sama menjamin dirinya berkembang dan toleran terhadap masyarakat yang
lain. Dalam konteks Federasi Kesehatan Mental Dunia ini jelas bahwa kesehatan
mental itu tidak cukup dalam pandangan individual belaka tetapi sekaligus
mendapatkan dukungan dari masyarakatnya untuk berekembang secara optimal.
Dengan demikian, pengertian kesehatan mental beragam, namun demikian
merumuskan pengertian kesehatan mental secara komprehensif adalah bukan
suatu hal yang mudah dilakukan. Untuk membantu memahami makna kesehatan
mental, terdapat prinsip-prinsip yang dapat dijadikan sebagai pegangan bagi kita.
Prinsip-prinsip pengertian kesehatan mental adalah sebagai berikut:
1. Kesehatan mental adalah lebih dari tiadanya perilaku abnormal.
Prinsip ini menegaskan bahwa yang dikatakan sehat mentalnya tidak
cukup kalau dikatakan sebagai orang yang tidak megalami abnormalitas atau
orang yang normal. Karena pendekatan statistik memberikan kelemahan
pemahaman normalitas itu. Konsep kesehatan mental lebih bermakna positif
daripada makna keadaan umum atau normalitas sebagaimana konsep statistik.
2. Kesehatan mental adalah konsep yang ideal.
Prinsip ini menegaskan bahwa kesehatan mental menjadi tujuan yang amat
tinggi bagi seseorang. Apalagi disadari bahwa kesehatan mental itu bersifat
kontinum. Jadi sedapat mungkin orang mendapatkan kondisi sehat yang paling
optimal dan berusaha terus untuk mencapai kondisi sehat yang setingi-tingginya.

28

Universitas Sumatera Utara

29

3. Kesehatan mental sebagai bagian dan karakteristik kualitas hidup.


Prinsip ini menegaskan bahwa kualitas hidup seseorang salah satunya
ditunjukkan oleh kesehatan mentalnya. Tidak mungkin membiarkan kesehatan
mental seseorang untuk mencapai kualitas hidupnya, atau sebaliknya kualitas
hidup seseorang dapat dikatakan meningkat jika juga terjadi peningkatan
kesehatan mentalnya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kesehatan mental adalah
Suatu kondisi dimana kepribadian, emosional, intelektual dan fisik seseorang
tersebut dapat berfungsi secara optimal, dapat beradaptasi terhadap tuntutan
lingkungan

dan

stressor,

menjalankan

kapasitasnya

selaras

dengan

lingkungannya, menguasai lingkungan, merasa nyaman dengan diri sendiri,


menemukan penyesuaian diri yang baik terhadap tuntutan sosial dalam
budayanya, terus menerus bertumbuh, berkembang dan matang dalam hidupnya,
dapat menerima kekurangan atau kelemahannya, kemampuan menghadapi
masalah-masalah dalam hidupnya, memiliki kepuasan dalam kehidupan sosialnya,
serta memiliki kebahagiaan dalam hidupnya.
2. Dimensi Kesehatan Mental
Maslow dan Mittlemenn (dalam Notosoedirjo & Latipun, 2005)
menguraikan pandangannya mengenai prinsip-prinsip kesehatan mental, yang
menyebutnya dengan manifestation of psychological health. Maslow menyebut
kondisi yang sehat secara psikologis itu dengan istilah self actualization sekaligus
sebagai puncak kebutuhan dari teori hierarki kebutuhan yang disusunya.
Manifestasi mental yang sehat (secara psikologis) menurut Maslow dan

29

Universitas Sumatera Utara

30

Mittlemenn tercermin dari kesebelas dimensi kesehatan mental yakni adalah


sebagai berikut:
1. Adequate feeling of security (rasa aman yang memadai). Perasaan merasa
aman dalam hubungannya dengan pekerjaan, sosial, dan keluarganya.
2. Adequate self evaluation (kemampuan menilai diri sendiri yang memadai),
yang mencakup (a) Memiliki harga diri yang memadai dan merasa ada nilai
yang sebanding antara keadaan diri yang sebenarnya (potensi diri) dengan
prestasinya, (b) Memiliki perasaan berguna akan diri sendiri, yaitu perasaan
yang secara moral masuk akal, dan tidak diganggu oleh rasa bersalah yang
berlebihan, dan mampu mengenal beberapa hal yang secara sosial dan
personal tidak dapat diterima oleh kehendak umum yang selalu ada sepanjang
kehidupan di masyarakat.
3. Adequate spontaneity and emotionality (memiliki spontanitas dan perasaan
yang memadai dengan orang lain), hal ini ditandai oleh kemampuan
membentuk ikatan emosional secara kuat dan abadi, seperti hubungan
persahabatan

dan

cinta,

mampu

mengekspresikan

ketidaksukaan

ketidaksetujuan tanpa kehilangan kontrol, kemampuan memahami dan


membagi perasaan kepada orang lain, kemampuan menyenangi diri sendiri
dan tertawa. Ketika seseorang tidak senang pada suatu saat, maka dia harus
memiliki alasan yang tepat mengapa dia tidak senang.
4. Efficient contact with reality (mempunyai kontak yang efesien dengan realitas)
kontak ini sedikitnya mencakup tiga aspek yaitu dunia fisik, sosial, dan diri
sendiri dan internal. Hal ini ditandai (a) Tiadanya fantasi (khayalan dan angan-

30

Universitas Sumatera Utara

31

angan) yang berlebihan, (b) Mempunyai pandangan yang realistis dan luas
terhadap dunia, yang disertai dengan kemampuan menghadapi kesulitan hidup
sehari-hari, misalnya sakit dan kegagalan, dan (c) Kemampuan untuk merubah
diri sendiri jika situasi eksternal (lingkungan) tidak dapat dimodifikasi
(dirubah) dan dapat bekerjasama tanpa merasa tertekan (cooperation with the
inevitable)
5. Adequate bodily desires and ability to gratify them (keinginan-keinginan
jasmani yang memadai dan kemampuan untuk memuaskannya). Hal ini
ditandai dengan (a) Suatu sikap yang sehat terhadap fungsi jasmani, dalam arti
menerima fungsi jasmani tetapi bukan dikuasai oleh fungsi jasmani tersebut,
(b) Kemampuan memperoleh kenikmatan dan kebahagiaan dari dunia fisik
dalam kehidupan seperti makan, tidur, dan pulih kembali dari kelelahan, (c)
Kehidupan

seksual

yang

wajar

dan

keinginan

yang

sehat

untuk

memuaskannya tanpa rasa takut dan konflik, (d) Kemampuan bekerja, (e)
Tidak adanya kebutuhan yang berlebihan untuk mengikuti dalam berbagai
aktivitas.
6. Adequate self knowledge (mempunyai kemampuan pengetahuan yang wajar).
Termasuk di dalamnya (a) Cukup mengetahui tentang: motif, keinginan,
tujuan, ambisi, hambatan, kompetensi, pembelaan, dan perasaan rendah diri,
(b) Penilaian yang realistis terhadap diri sendiri baik kelebihan maupun
kekurangan, (c)Mampu menilai diri secara jujur (jujur pada diri sendiri),
mampu untuk menerima diri sendiri apa adanya, dan mengakui serta

31

Universitas Sumatera Utara

32

menerima sejumlah hasrat atau pikiran meskipun beberapa diantara hasrathasrat itu secara sosial dan personal tidak dapat diterima.
7. Integration and consistency of personality (kepribadian yang utuh dan
konsisten).

Ini bermakna (a)

Cukup baik

perkembangan diri dan

kepribadiannya, kepandaiannya, dan berminat dalam beberapa aktivitas, (b)


Memiliki prinsip moral dan kata hati yang tidak terlalu berbeda dengan
pandangan kelompok, (c) Mampu untuk berkonsentrasi, dan (d) Tiadanya
konflik-konflik besar dalam kepribadiannya dan tidak dissosiasi terhadap
kepribadiannya.
8. Adequate of life goal (memiliki tujuan hidup yang wajar). Hal ini berarti (a)
Memiliki tujuan hidup yang sesuai dengan dirinya sendiri dan dapat dicapai,
(b) Mempunyai usaha yang tekun dalam mencapai tujuan tersebut, dan (c)
Tujuan itu bersifat baik untuk diri sendiri dan masyarakat.
9. Ability to learn from experience (kemampuan belajar dari pengalaman).
Kemampuan untuk belajar dari pengalaman hidupnya sendiri. Bertambahnya
pengetahuan, kemahiran dan keterampilan mengerjakan sesuatu berdasarkan
hasil pembelajaran dari pengalamannya. Selain itu, juga termasuk didalamnya
kemampuan untuk belajar secara spontan.
10. Ability to satisfy to requirements of the group (kemampuan memuaskan
tuntutan kelompok). Individu harus: (a) Dapat memenuhi tuntutan kelompok
dan mampu menyesuaikan diri dengan anggota kelompok yang lain tanpa
harus kehilangan identitas pribadi dan diri sendiri, (b) Dapat menerima normanorma yang berlaku dalam kelompoknya, (c) Mampu menghambat dorongan

32

Universitas Sumatera Utara

33

dan hasrat diri sendiri yang dilarang oleh kelompoknya, (d) Mau berusaha
untuk memenuhi tuntutan dan harapan kelompoknya: ambisi, ketepatan,
persahabatan, rasa tanggung jawab, dan kesetiaan, serta (e) Berminat untuk
melakukan aktivitas atau kegiatan yang disenangi oleh kelompoknya.
11. Adequate emancipation from the group or culture (mempunyai emansipasi
yang memadai dari kelompok atau budaya). Hal ini mencakup: (a)
Kemampuan untuk menilai sesuatu itu baik dan yang lain adalah buruk
berdasarkan penilaian diri sendiri tanpa terlalu dipengaruhi oleh kebiasaankebiasaan dan budaya serta kelompok, (b) Dalam beberapa hal bergantung
pada pandangan kelompok, (c) Tidak ada kebutuhan yang berlebihan untuk
membujuk (menjilat), mendorong, atau menyetujui kelompok, dan (d) Mampu
menghargai perbedaan budaya.
Carl Rogers mengenalkan konsep fully functioning (pribadi yang berfungsi
sepenuhnya) sebagi bentuk kondisi mental yang sehat (Pieper & Uden, 2006).
Secara singkat fully functioning person ditandai (1) Terbuka terhadap
pengalaman; (2) Ada kehidupan pada dirinya; (3) Kepercayaan kepada
organismenya; (4) Kebebasan berpengalaman; dan (5) Kreativitas.
Golden Allport (dalam Notosoedirdjo & Latipun, 2005) menyebut mental
yang sehat dengan maturity personality. Dikatakan bahwa untuk mencapai kondisi
yang matang itu melalui proses hidup yang disebutnya dengan proses becoming.
Orang yang matang jika: (1) Memiliki kepekaan pada diri secara luas, (2) Hangat
dalam berhubungan dengan orang lain, (3) Keamanan emosional atau penerimaan

33

Universitas Sumatera Utara

34

diri, (4) Persepsi yang realistik, keterampilan dan pekerjaan, (5) Mampu menilai
diri secara objektif dan memahami humor, dan (6) Menyatunya filosofi hidup.
D.S. Wright dan A Taylor (dalam Notosoedirdjo & Latipun, 2005)
mengemukakan tanda-tanda orang yang sehat mentalnya adalah sebagai berikut:
(1) Bahagia (happiness) dan terhindar dari ketidakbahagiaan, (2) Efisien dalam
menerapkan dorongannya untuk kepuasan kebutuhannya, (3) Kurang dari
kecemasan, (4) Kurang dari rasa berdosa (rasa berdosa merupakan refleks dari
kebutuhan self-punshment), (5) Matang, sejalan dengan perkembangan yang
sewajarnya, (6) Mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungannya, (7) Memiliki
otonomi dan harga diri, (8) Mampu membangun hubungan emosional dengan
orang lain, dan (9) Dapat melakukan kontak dengan realita.
3. Prinsip dalam Kesehatan Mental
Menurut Schbeiders (dalam Notosoedirdjo & Latipun, 2005) ada lima
belas prinsip yang harus diperhatikan dalam memahami kesehatan mental. Prinsip
ini berguna dalam upaya pemeliharaan dan peningkatan kesehatan mental serta
pencegahan terhadap gangguan-gangguan mental. Prinsip-prinsip tersebut adalah
sebagai berikut:
2. Prinsip yang didasarkan atas sifat manusia, meliputi:
a. Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan atau bagian yang tidak
terlepas dari kesehatan fisik dan integritas organisme.
b. Untuk memelihara kesehatan mental dan penyesuaian yang baik, perilaku
manusai harus sesuai dengan sifat manusia sebagai pribadi yang bermoral,
intelektual, religius, emosional dan sosial.

34

Universitas Sumatera Utara

35

c. Kesehatan

dan

penyesuaian

mental

memerlukan

integrasi

dan

pengendalian diri, yang meliputi pengendalian pemikiran, imajinasi,


hasrat, emosi dan perilaku.
d. Dalam

pencapaian

khususnya

dalam

memelihara

kesehatan

dan

penyesuaian kesehatan mental, memperluas tentang pengetahuan diri


sendiri merupakan suatu keharusan
e. Kesehatan mental memerlukan konsep diri yang sehat, yang meliputi:
peneeimaan diri dan usaha yang realistik terhadap status atau harga dirinya
sendiri.
f. Pemahaman diri dan penerimaan diri harus ditingkatkan terus menerus
memperjuangkan untuk peningkatan diri dan realisasi diri jika kesehatan
dan penyesuaian mental hendak dicapai.
g. Stabilitas mental dan penyesuaian yang baik memerlukan pengembangan
terus menerus dalam diri seseorang mengenai kebaikan moral yang
tertinggi, yaitu: hukum, kebijaksanaan, ketabahan, keteguhan hati,
penolakan diri, kerendahan hati, dan moral.
h. Mencapai dan memelihara kesehatan dan penyesuaian mental tergantung
kepada penanaman dan perkembangan kebiasaan yang baik.
i.

Stabilitas dan penyesuaian mental menuntut kemampuan adaptasi,


kapasitas untuk mengubah meliputi mengubah situasi dan mengubah
kepribadian.

35

Universitas Sumatera Utara

36

j.

Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan perjuangan yang terus


menerus untuk kematangan dalam pemikiran, keputusan, emosionalitas
dan perilaku.

k. Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan belajar mengatasi secara


efektif dan secara sehat terhadap konflik mental dan kegagalan dan
ketegangan yang ditimbulkannya.
3. Prinsip yang didasarkan atas hubungan manusia dengan lingkungannya,
meliputi:
l.

Kesehatan dan penyesuaian mental tergantung kepada hubungan


interpersonal yang sehat, khususnya didalam kehidupan keluarga.

m. Penyesuaian yang baik dan kedamaian pikiran tergantung kepada


kecukupan dalam kepuasa kerja.
n. Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan sikap yang realistik yaitu
menerima realitas tanpa distorsi dan objektif.
4. Prinsip yang didasarkan atas hubungan manusia dengan Tuhan, meliputi:
o. Stabilitas mental memerlukan seseorang mengembangkan kesadaran atas
realitas terbesar daripada dirinya yang menjadi tempat bergantung kepada
setiap tindakan yang fundamental.
p. Kesehatan mental dan ketenangan hati memerlukan hubungan yang
konstan antara manusia dengan Tuhannya.

36

Universitas Sumatera Utara

37

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Mental


Ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap tingkat kesehatan mental
yakni sebagai berikut:
e. Biologis
Para ahli telah banyak melakukan studi tentang hubungan antara dimensi
biologis dengan kesehatan mental. Berbagai penelitian itu telah memberikan
kesimpulan yang meyakinkan bahwa faktor biologis memberikan kontribusi
sangat besar bagi kesehatan mental. Karena itu, kesehatan manusia, khususnya
disini adalah kesehatan mental, tentunya tidak terlepaskan dari dimensi biologs
ini.
Pada bagian ini akan dijelaskan tentang hubungan tersebut, khususnya
beberapa aspek biologis yang secara langsung berpengaruh terhadap kesehatan
mental, diantaranya: otak, sistem endokrin, genetik, sensori, kondisi ibu selama
kehamilain.
1. Otak
Otak sangat kompleks secara fisiologis, tetepi memiliki fungsi
yang sangat esensi bagi keseluruhan aktivitas manusia. Diferensiasi dan
keunikan yang ada pada manusia pada dasarnya tidak dapat dilepaskan
dari otak manusia. Keunikan manusia terjadi justru karena keunikan otak
manusia dalam mengekspresikan seluruh pengalaman hidupnya. Jika
didipadukan dengan pandangan-pandangan psikologi, jelas adanya
kesesuaian antara perkembangan fisiologis otak dengan perkembangan

37

Universitas Sumatera Utara

38

mental. Funsi otak seperti motorik, intelektual, emosional dan afeksi


berhubungan dengan mentalitas manusia.
2. Sistem endokrin
Sistem endokrin terdiri dari sekumpulan kelenjar yang sering
bekerja sama dengan sistem syaraf otonom. Sistem ini sama-sama
memberikan fungsi yang penting yaitu berhubungan dengan berbagai
bagian-bagian tubuh. Tetapi keduanya memiliki perbedaan diantaranya
sistem syaraf menggunakan pesan kimia dan elektrik sedangkan sistem
endokrin berhubungan dengan bahan kimia, yang disebut dengan hormon.
Tiap kelenjar endokrin mengeluarkan hormon tertentu secara
langsung ke dalam aliran darah, yang membawa bahan-bahan kimia ini ke
seluruh bagian tubuh. Sistem endokrin berhubungan dengan kesehatan
mental seseorang. Gangguan mental akibat sistem endokrin berdampak
buruk pada mentalitas manusia. Sebagai contoh terganggunya kelenjar
adrenalin berpengaruh terhadap kesehatan mental, yakni terganggunya
mood dan perasannya dan tidak dapat melakukan coping stress.
3. Genetik
Faktor genetik diakui memiliki pengaruh yang besar terhadap
mentalitas manusia. Kecenderungan psikosis yaitu schizophrenia dan
manis-depresif merupakan sakit mental yang diwariskan secara genetis
dari orangtuanya. Gangguan lainnya yang diperkirakan sebagai faktor
genetik adalah ketergantungan alkohol, obat-obatan, Alzeimer syndrome,
phenylketunurine, dan huntington syndrome. Gangguan mental juga terjadi

38

Universitas Sumatera Utara

39

karena tidak normal dalam hal jumlah dan struktur kromosom. Jumlah
kromosom yang berlebihan atau berkurang dapat menyebabkan individu
mengalami gangguan mental.
4. Sensori
Sensori merupakan aspek penting dari manusia. Sensori merupakan
alat yang menagkap segenap stimuli dari luar. Sensori termasuk:
pendengaran,

penglihatan,

perabaan,

pengecapan

dan

penciuman.

Terganggunya fungsi sensori individu menyebabkan terganggunya fungsi


kognisi dan emosi individu. Seseorang yang mengalami gangguan
pendenganran misalnya, maka akan berpengaruh terhadap perkembangan
emosi sehingga cenderung menjadi orang yang paranoid, yakni
terganggunya afeksi yang ditandai dengan kecurigaan yang berlebihan
kepada orang lain yang sebenarnya kecurigaan itu adalah salah.
5. Faktor ibu selama masa kehamilan
Faktor ibu selama masa kehamilan secara bermakna mempengaruhi
kesehatan mental anak. Selama berada dalam kandungan, kesehatan janin
ditentukan oleh kondisi ibu. Faktor-faktor ibu yang turut mempengaruhi
kesehatan mental anaknya adalah: usia, nutrisi, obat-obatan, radiasi,
penyakit yang diderita, stress dan komplikasi.
f. Psikologis
Notosoedirjo dan latipun (2005), mengatakan bahwa aspek psikis manusia
merupakan satu kesatuan dengan dengan sistem biologis. Sebagai subsistem dari
eksistensi manusia, maka aspek psikis selalu berinteraksi dengan keseluruhan

39

Universitas Sumatera Utara

40

aspek kemanusiaan. Karena itulah aspek psikis tidak dapat dipisahkan dari aspek
yang lain dalam kehidupan manusia.
1. Pengalaman Awal
Pengalaman awal merupakan segenap pengalaman-pengalaman
yang terjadi pada individu

terutama yang terjadi pada masa lalunya.

Pengalaman awal ini dipandang sebagai bagian penting bahkan sangat


menentukan bagi kondisi mental individu di kemudian hari.
2. Proses Pembelajaran
Perilaku manusia adalah sebagian besar adalah proses belajar, yaitu
hasil pelatihan dan pengalaman. Manusia belajar secara langsung sejak
pada masa bayi terhadap lingkungannya. Karena itu faktor lingkungan
sangat menentukan mentalitas individu.
3. Kebutuhan
Pemenuhan kebutuhan dapat meningkatkan kesehatan mental
seseorang. Orang yang telah mencapai kebutuhan aktualisasi yaitu orang
yang mengeksploitasi dan mewujudkan segenap kemampuan, bakat,
keterampilannya sepenuhnya, akan mencapai pada tingkatan apa yang
disebut dengan tingkat pengalaman puncak (peack experience). Maslow
mengatakan bahwa ketidakmampuan dalam mengenali dan memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya adalah sebagai dasar dari gangguan mental
individu.

40

Universitas Sumatera Utara

41

g. Sosial Budaya
Lingkungan sosial sangat besar pengaruhnya terhadap kesehatan mental.
Lingkungan sosial tertentu dapat menopang bagi kuatnya kesehatan mental
sehingga membentuk kesehatan mental yang positif, tetapi pada aspek lain
kehidupan sosial itu dapat pulan menjadi stressor yang dapat mengganggu
kesehatan mental. Dibawah ini akan dijelaskan beberapa lingkungan sosial
yang berpengaruh terhadap kesehatan mental adalah sebagai berikut:
1. Stratifikasi sosial
Masyarakat kita terbagi dalam kelompok-kelompok tertentu.
Pengelompokan itu dapat dilakukan secara demografis diantaranya jenis
kelamin, usia, tingkat pendidikan dan status sosial. Stratifikasi sosial ini
dapat mempengaruhi kesehatan mental seseorang, misalnya kaum
minoritas memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk mengalami
gangguan mental.
2.

Interaksi sosial
Interaksi sosial banyak dikaji kaitannya dengan gangguan

mental. Ada dua pandangan hubungan interaksi sosial ini dengan


gangguan mental. Pertama teori psikodinamik mengemukakan bahwa
orang yang mengalami gangguan emosional dapat berakibat kepada
pengurangan interaksi sosial, hal ini dapat diketahui dari perilaku
regresi sebagai akibat dari adanya sakit mental. Kedua adalah bahwa
rendahnya interaksi sosial itulah yang menimbulkan adanya gangguan
mental.

41

Universitas Sumatera Utara

42

3. Keluarga
Keluarga

yang

lengkap

dan

fungsional

serta

mampu

membentuk homeostatis akan dapat meningkatkan kesehatan mental


para anggota keluaganya, dan kemungkinan dapat meningkatkan
ketahanan para anggota keluarganya dari gangguan-gangguan mental
dan ketidakstabilan emosional para anggotanya.
4. Perubahan sosial
Sehubungan dengan perubahan sosial ini, terdapat dua
kemungkinan yang dapat terjadi yaitu, perubahan sosial dapat
menimbulkan kepuasan bagi masyarakat karena sesuai dengan yang
diharapkan dan dapat meningkatkan keutuhan masyarakat dan hal ini
sekaligus meningkatkan kesehatan mental mereka. Namun, di sisi lain
dapat pula berakibat pada masyarakat mengalami kegagalan dalam
penyesuaian

terhadap

perubahan

itu,

akibatnya

mereka

memanifestasikan kegagalan penyesuaian itu dalam bentuk yang


patologis, misalnya tidak terpenuhinya tuntutan politik, suatu
kelompok

masyarakat

melakukan

tindakan

pengrusakan

dan

penjarahan.
5. Sosial budaya
Sosial budaya memiliki makna yang sangat luas. Namun dalam
konteks ini budaya lebih dikhususkan pada aspek nilai, norma, dan
religiusitas dan segenap aspeknya. Dalam konteks ini, kebudayaan
yang ada di masyarakat selalu mengatur bagaimana orang seharusnya

42

Universitas Sumatera Utara

43

melakukan sesuatu, termasuk didalamnya bagaimana seseorang


berperan sakit, kalsifikasi kesakitan, serta adanya sejumlah kesakitan
yang sangat spesifik ada pada budaya tertentu, termasuk pula adanya
gangguan mentalnya.
Kebudayaan pada prinsipnya memberikan aturan terhadap
anggota masyarakatnya untuk bertindak yang seharusnya dilakukan
dan meninggalkan tindakan tertentu yang menurut budaya itu tidak
seharunya dilakukan. Tindakan yang bertentangan dengan sistem nilai
atau budayanya akan dipandang sebagi penyimpangan, dan bahkan
dapat menimbulkan gangguan mental. Hubungan kebudayaan dan
kesehatan mental meliputi tiga hal yaitu: (1) kebudayaan mendukung
dan menghambat kesehatan mental, (2) kebudayaan memberi peran
tertentu terhadap penderita gangguan mental, (3) berbagai bentuk
gangguan mental karena faktor kultural, (4) upaya peningkatan dan
pencegahan gangguan mental dalam telaah budaya.
6. Stessor Psikososial lainnya
Situasi dan kondisi peran sosial sehari-hari dapat menjadi
sebagai masalah atau sesuatu yang tidak dikehendaki, dan karena itu
dapat berfungsi sebagai stressor sosial kontribusi ini terhadap
kesehatan mental bisa kuat atau lemah. Stressor psikososial secara
umum dapat

menimbulkan efek negatif bagi individu yang

mengalaminya. Manum demikian tentang variasi stressor psikososial

43

Universitas Sumatera Utara

44

ini berbeda untuk setiap masyarakat, bergantung kepada kondisi sosial


masyarakatnya.
h. Lingkungan
Interaksi

manusia

dengan

lingkungannya

berhubungan

dengan

kesehatannya. Kondisi lingkungan yang sehat akan mendukung kesehatan


manusia itu sendiri, dan sebaliknya kondisi lingkungan yang tidak sehat dapat
mengganggu kesehatannya termasuk dalam konteks kesehatan mentalnya.

B. PERILAKU RELIGIUS
1. Definisi Perilaku Religius
Steadmen, Palmer, dan Ellsworth (dalam Feierman, 2009) mendefinisikan
perilaku religius adalah seperangkat perilaku yang merupakan ekspresi dari
religiusitas seseorang yang tercakup didalamnya pelaksanan ritual agama,
pelaksanaan ibadah, dan berdoa. Sementara menurut Argyle (2000), bahwa
perilaku religius adalah perilaku yang menunjukkan seberapa sering seseorang
datang beribadah ke gereja (frekwensi menghadiri gereja), berdoa, dan derajat
keterlibatan seseorang dalam menghadiri kegiatan keagamaan.
Feierman (2009) mengatakan bahwa perilaku religius mencerminkan
keyakinan terhadap agama yang ditampilkan atau didemonstrasikan dalam bentuk
perilaku. Sias (2006) berpendapat bahwa perilaku religius adalah tingkatan sejauh
mana seseorang mengerjakan kewajiban ajaran agamanya yang dapat dilihat dari
frekwensi kehadiran dan pelaksanaan kegiatan keagaman. Koenig (2009)
memberikan batasan terhadap perilaku religius sebagai tingkatan sejauh mana

44

Universitas Sumatera Utara

45

seseorang mengerjakan kewajiban dan ritual di dalam kehidupan beragamanya.


Religius dapat dilihat dari frekwensi kehadiran dan pelaksanaan kegiatan
keagaman. Misalnya setiap hari minggu ke gereja, berdoa, sembayang, dan puasa.
Dapat disimpulkan bahwa perilaku religius adalah seperangkat perilaku
yang merupakan ekspresi dari religiusitas dan keyakinan terhadap agama yang
dapat diindikasikan dari tingkatan seberapa sering (frekwensi) seseorang
mengerjakan kewajiban ajaran agamanya,

frekwensi

melakukan

ibadah

(sembayang), pelaksanaan ritual agama, berdoa, melaksanakan praktik religius


seperti ke gereja, ke mesjid, berpuasa, dan shalat lima waktu.
2. Jenis-Jenis Perilaku Religius
Menurut Loewenthal (2009), ada 4 jenis perilaku religius yang merupakan
cerminan dari religiusitas individu yaitu:
a. Berdoa (Prayer)
Berdoa adalah esensi (inti) atau pusat dari perilaku religius, merupakan
pusat dari kehidupan beragama dan merupakan bukti kuat yang mengindikasikan
keyakinan terhadap Tuhan. Berdoa juga merupakan bukti kualitas hidup beragama
yang memasuki alam jiwa manusia yang paling dalam sehingga merupakan dasar
dari kehidupan beragama yang dapat mempengaruhi kerangkan pikiran dan
psikologis manusia. Tanpa adanya kegiatan berdoa, maka eksistensi agama tidak
akan pernah ada (Lowenthal, 2009). Heiler (dalam Lowenthal, 2009) mengatakan
bahwa berdoa aspek yang paling penting dalam perilaku religius dan paling
berpengaruh terhadap psikologis manusia.

45

Universitas Sumatera Utara

46

Lowenthal (2009) mendefinisikan berdoa adalah permohonan hikmat dan


ucapan syukur kepada Tuhan atau objek yang disembah. Doa juga merupakan
karakteristik dasar kehidupan yang religius yang merupakan pusat dari kehidupan
beragama dibanding dengan perilaku religius lainnya.
Beberapa ajaran agama mengharuskan bahwa berdoa harus dilakukan
secara teratur dan terus menerus. Jansen, de Hart, dan den Draak (dalam
Paloutzian & Park, 2009) mengatakan bahwa doa adalah pelaksanaan kewajiban
agama yang dilakukan secara perorangan. Setiap orang memiliki cara tersendiri
dalam berdoa tergantung pada situasi dan tujuan dari berdoa tersebut. Magee
(dalam dalam Paloutzian & Park, 2009) mengatakan bahwa dalam berdoa terdiri
dari penyembahan yang didalamnya juga termasuk pujian kepada Tuhan.
Selanjutnya diikuti dengan pengakuan atas dosa dan kekurangan yang
membutuhkan pertolongan dari Tuhan.
Menurut Stouffer (dalam Loewenthal, 2009) bahwa doa memberikan
keuntungan secara psikologis terhadap seseorang tersebut dan merupakan metode
koping stress. Sementara Cinnirella dan Loewenthal (1999) berpendapat bahwa
berdoa sangat membantu seseorang mengatasi masalah hidup dan badai hidupnya.
Menurut Loewenthal (2009) ada empat fitur dalam berdoa yaitu:
1. Bevioral Features
Berdoa terlihat dari perilaku seperti menghadap ke arah tertentu, berdiri,
duduk, berlutut, atau bentuk lain dari gerakan yang digunakan dalam berdoa
seperti menari.

46

Universitas Sumatera Utara

47

2. Linguistic Features
Seseorang yang bedoa dengan menggunakan bahasa, berkata-kata (verbal
prayer). Bahasa yang digunakan bisa saja diungkapkan denga suara yang keras,
diam, atau berdoa di dalam hati (contemplative prayer).
3. Cognitive Features
Berdoa dilakukan dengan penuh dengan tujuan dan pemaknaan terhadap
doa yang diungkapkan oleh seseorang tersebut.
4. Emotional Features
Berdoa pada dasarnya diiringi oleh perasaan kedekatan dengan Tuhan, dan
disertai dengan perasaan nyaman dan tenteram.
a.1. Tipe-tipe doa
Menurut Loewenthal (2009) ada lima tipe berdoa, yakni sebagai berikut:

Petitionary prayer: adalah tipe dari berdoa dimana seseorang dengan


menangis memohon pertolongan dari Tuhan.

Intercessory prayer: adalah tipe dari berdoa dimana seseorang memohon


pertolongan dari Tuhan untuk orang lain.

Thanksgiving: adalah tipe dari berdoa dimana seseorang mengucap syukur


dan berterima kasih atas berkat dan pemberian Tuhan

Adoration: adalah tipe dari berdoa dimana seseorang mengekspresikan


rasa hormat kepada Tuhan, kekaguman kepada Tuhan, dan puji-pujian
kepada Tuhan.

47

Universitas Sumatera Utara

48

Confession, dedication, communion: adalah tipe dari berdoa dimana


seseorang berdoa supaya Tuhan membenarkan dirinya, mengaku dosa dan
menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Tuhan.

Objective prayer: adalah tipe dari berdoa yang fokus pada penyembahan,
mengagungkan, dan memuliakan Tuhan.

Subjective prayer: adalah tipe dari berdoa yang fokus pada penyerahan diri
dan memasrahkan diri pada kuasa Tuhan, berdoa yang fokus pada
pergumulan atau permasalahan hidup, rintangan hidup dan permohonan
supaya Tuhan memimpin hidupnya.

Less mature form of prayer: adalah tipe dari berdoa dimana seseorang
mengharapkan bahwa Tuhan akan menjawab doa mereka (petitionary
prayer)

More mature form of prayer: adalah tipe dari berdoa dimana seseorang
berdoa untuk mendekatkan diri pada Tuhan dan menjalin hubungan yang
lebih erat dengan Tuhan.

b. Ritual
Paloutzian dan Park (2009), mengatakan bahwa pelaksanan ritual agama
adalah salah satu hal yang mendasar dalam kehidupan beragama seseorang.
Pelaksanaan ritual agama adalah merupakan cerminan dari keyakinan seseorang
akan ajaran agama. Ritual adalah secara fundamental merupakan pola perilaku,
dimana perilaku terstruktur yang dilakukan baik secara perorangan maupun secara
bersama-sama dengan orang lain, yang dilakukan secara berulang dan bertujuan.
Menurut Paloutzian dan Park (2009), pelaksanaan ritual agama berbeda antara

48

Universitas Sumatera Utara

49

agama yang satu dengan yang lainnya. Perilaku religius yang tercakup dalam
ritual agama adalah pelaksanaan seremonial agama.
c. Praktik Religius
Menurut James (dalam Paloutzian & Park, 2009) praktik religius
mencakup membaca kitab suci, ibadah dan berpuasa. Berikut ini akan dijelaskan
ketiga jenis praktik religius tersebut:
c.1 ibadah (sembayang)
Ibadah atau sembayang

adalah praktik religius yang dilakukan oleh

seseorang baik secara individu atau dalam suatu kelompok atau grup tertentu
(melibatkan banyak orang) sehingga membentuk suatu komunitas ibadah tertentu.
Dalam pelaksanaan ibadah atau sembayang ini dapat dilakukan di gereja, di
tempat-tempat ibadah tertentu, di rumah-rumah atau dengan menonton ritual
keagamaan melalui media elektronik seperti televisi dan radio.
c.2. Membaca Kitab Suci
Membaca kitab suci adalah pelaksanaan praktik keagamaan dimana
individu komitmen untuk membaca untuk memahami ajaran agama yang
dianutnya sebagimana tercantum dalam kitab suci mereka.
c.3. Puasa
Puasa adalah salah satu jenis praktik religius, dimana individu yang
menganut agamanya memberhentikan diri dari aktivitas kesehariannya seperti
makan, minum, melakukan hubungan intim, dan dari perilaku duniawi lainnya
yang dilakukan dalam waktu temporal. Ketentuan dalam pelaksanaan puasa ini
tergantung dari ajaran agama yang mereka anut.

49

Universitas Sumatera Utara

50

Bergar (dalam Paloutzian & Park, 2009) berpendapat bahwa dalam


melakukan praktik religius seseorang mendapatkan penguat (reinforcement) sebab
dalam melakukan praktik religius ini seseorang akan mendapatkan dampak
psikologis secara positif yaitu mereka dapat mengurangi stress dan kecemasan
mereka selain itu menurut Bergar seseorang yang melakukan praktik religius
dapat melihat makna dalam hidup mereka sehingga mereka dapat menilai
kehidupan mereka secara lebih positif.
d. Social Behavior, Group and Norms
Perilaku religius seseorang tercermin dari bagaimana dia berinteraksi
dengan lingkungan sekitarnya. Perilaku religius haruslah diwujudkan dalam suatu
perkumpulan yang dinamakan kelompok religius. Sehingga kelompok religius ini
adalah identitas sosial dari seseorang dalam mendefinisikan dirinya sebagai umat
beragama (Loewenthal, 2009). Dalam konteks perilaku sosial yang religius
haruslah sesuai dengan norma-norma yang berlaku bagi budaya setempat.
Menurut Loewenthal (2009) yang termasuk dalam perilaku sosial sehubungan
dengan perilaku religius adalah:
1. Mengikuti aktivitas keagamaan dalam mengambil bagian dalam pelayanan
kegiatan kerohanian, seperti pelayanan di tempat ibadah atau organisasi sosial
kerohanian.
2. Berperan serta dalam misi pelayanan kerohanian dalam pemberitaan dan
penyiaran ajaran agama.

50

Universitas Sumatera Utara

51

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Perilaku religius


Paloutzian (2009), mengatakan bahwa perilaku religius terbentuk dalam
diri manusia sejak masa kanank-kanak melalui suatu proses dan dinamika.
Sementara Nelson (2009), berpendapat bahwa terbentuk dan berkembangnya
perilaku religius manusia adalah didasari akan pemahaman diri dan Tuhan, Piaget
(dalam Loewenthal, 2008) meyakini bahwa berkembangnya perilaku religius
dimukai sejak masa kanak-kanak seiring dengan berkembangnya kemampuan
kognitifnya. Menurut Argyle (2000) ada beberapa faktor yang mempengatuhi
perilaku religius seseorang, yakni sebagai berikut:
a. Kebudayaan
Budaya merupakan kompleks keseluruhan dimana termasuk di dalamnya
pengetahuan, keyakinan, seni, hukum, moral, adat-istiadat, dan kemampuan lain
apapun serta kebiasaan yang diperoleh oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Argyle (2000) mengatakan bahwa ada bukti yang kuat bahwa kebudayaan dimana
seseorang tersebut tinggal mempengaruhi perilaku religiusnya. Batasan dimana
perangkat budaya dalam perilaku disebut norma, yang merupakan aturan
sederhana dimana menentukan atau melarang beberapa perilaku dalam situasi
yang spesifik. Norma dalam budaya memberikan pola-pola perilaku tertentu
seperti pola kehidupan yang religius.
Selain itu, nilai budaya yang merupakan kepercayaan yang dipertahankan
dimana menguatkan apa yang diinginkan juga merupakan faktor budaya yang
membimbing manusia untuk mengadopsi perilaku religius.

51

Universitas Sumatera Utara

52

b. Pendidikan
Seseorang yang diberikan didikan agama seperti doktrin (ajaran agama)
akan mengarahkan dan membantu manusia untuk mengmbangkan perilaku
religiusnya. Didikan yang diberikan seperti belajar Alkitab, belajar Al-Quran,
teologi dan ritual agama dapat manumbuhkan perilaku religiusnya.
c. Keluarga
Keluarga adalah tempat pertama dimana seseorang belajar segala sesuatu
tentang dunia termasuk agama. Di dalam keluarga pertama sekali seorang anak
akan mengenal dan mengerti keyakinan terhadap agama. Perilaku religius seorang
anak terbentuk dalam pola bagaimana orangtua mereka bersikap dan berperilaku
terhadap anak mereka dalam kaitannya dengan keyakinan agama yang mereka
anut.
Hubungan anak dan orangtua menjadi hal yang sangat penting bagi
berkembangnya perilaku religius anak. Hood (dalam Argyle, 2000) mengatakan
bahwa perilaku religius berkembang dan mengalir dalam keluarga. Orangtua
adalah orang yang paling berpengaruh besar terhadap berkembang dan
terbentuknya perilaku religius anak. Ibu memiliki pengaruh yang lebih besar
daripada ayah terhadap pembentukan religius anak.
d. Sosial Learning
Perilaku religius dapat berkembang seiring dengan pengalaman seseorang
tersebut dalam lingkungan kehidupan sosialnya. Meniru orang lain dalam tata cara
berperilaku tertentu adalah cenderung dilakukan oleh manusia, termasuk perilaku
religius. Orangtua, nenek, tetangga, atau orang lain yang menunjukkan perilaku

52

Universitas Sumatera Utara

53

religius seperti berdoa, beribadah ke gereja, sembayang, puasa, membaca kitab


suci dapat menjadi model bagi seseorang untuk belajar menumbuhkembangkan
perilaku religiusnya.
e. Teman sebaya (peer group)
Teman sebaya adalah figur yang penting bagaimana sebuah perilaku
terbentuk. Argyle (2000), mengatakan bahwa teman sebaya adalah sumber kedua
dimana sosialisasi terbentuk dalam mengembangkan keyakinan agama dan
perilaku religius. Anak yang sering berhubungan dengan teman sebayanya yang
juga berperilaku religius, Argyle meyakini bahwa perilaku religius anak akan
semakin mengkristal. Akan tetapi terbentuknya perilaku religius lebih dipengaruhi
oleh orang tua daripada teman sebaya. Namun demikian, teman sebaya tetap
memberikan kontribusi untuk bekembangnya perilaku religius seseorang. Teman
sebaya adalah figur yang penting dalam bagaimana perilaku religius berkembang
seperti pergi beribadah ke tempat ibadah, berdoa, dan mengikuti aktivitas
keagamaan.
f. Kepribadian
Kepribadian seseorang memiliki dampak yang spesifik terhadap
terbentunya perilaku religius.
g. gender
Tamminen (dalam Argyle, 2000) mengatakan bahwa terdapat perbedaan
perilaku religius dalam kaitannya dengan gender. Perempuan lebih berperilaku
religius dalam beberapa hal. Brasher (dalam Argyle, 2000) berkesimpulan bahwa

53

Universitas Sumatera Utara

54

perempuan lebih banyak terlibat dalam aktivitas pelayanan agama daripada lakilaki
4. Efek / Pengaruh Perilaku Religius
Leowenthal (2008) mengatakan bahwa perilaku religius seseorang
berpengaruh terhadap banyak dimensi kehidupan manusia. Sementara Nelson
(2009) meyakini bahwa perilaku religius seseorang berpengaruh terhadap
kehidupan psikologis dan fisik manusia. Berikut ini akan dijelaskan beberapa
pengaruh perilaku religius terhadap kehidupan manusia:
1. Kesehatan Fisik (physical health)
Leowenthal (2008)

mengatakan bahwa perilaku religius diasosiasikan

dengan kesehatan yang lebih baik. Religius dapat melindungi individu

dari

serangan penyakit dan dapat meningkatkan kesehatan individu. Levin (dalam


Leowenthal, 2008) berpendapat bahwa perilaku religius memberikan efek pada
umur yang lebih panjang dan tingkat mengalami penyakit yang lebih rendah.
Hubungan perilaku religius dengan kesehatan menurut Mueller (2002)
adalah hubungan yang kompleks. Perilaku religius menuntun individu untuk
menghindari pola hidup yang berbahaya seperti merokok, minum alkohol,
menyalahgunakan obat-obatan. Mueller juga yakin bahwa perilaku religius
individu menghindarinya dari pemikiran dan emosi negatif yang tentunya hal ini
adalah faktor yang berhubungan dengan kesehatan fisik. Strawbridge (dalam
Leowenthal, 2008) mengatakan bahwa perilaku religius individu menuntun
seseorang untuk memilih gaya hidup sehat sehingga terhindar dari beragam
penyakit seperti kanker, jantung dan penyakit kronik lainnya.

54

Universitas Sumatera Utara

55

Levin (2005) berpendapat bahwa perilaku religius memberikan efek sebagai


berikut:

Meningkatkan gaya hidup sehat

Mendukung keyakinan yang positif seperti pandangan yang positif


terhadap orang lain, optimis dan penuh dengan harapan

Memberikan atau mengarahkan individu untuk melakukan pemecahan


masalah yang lebih baik

Mengatur emosi yang yang lebih positif

2. Kesehatan mental (mental health)


Freud (dalam Nelson, 2009) mengatakan bahwa perilaku religius adalah
akibat dari pemikiran yang obsesif dan tindakan kompulsif manusia sehingga
merupakan sumber dari psikopatologi, akan tetapi Nelson mengatakan bahwa
perilaku religius memberikan efek yang positif terhadap kesehatan mental. Weltch
(dalam Nelson, 2009) mengatakan bahwa kesehatan mental juga merupakan akar
dari perkembangan perilaku religius yang baik. Perilaku religius meningkatkan
kesehatan mental karena perilaku religius melindungi individu dari perasaan
negatif, emosi yang negatif, dapat mengadapi stress, memiliki strategi pemecahan
masalah yang baik, dan merasakan kebahagiaan dalam hidup (Koenig, 2009).
Meyer (2003), berpendapat bahwa perilaku religius diasosaisikan dengan
kesehatan mental yang baik. Meyer meyakini bahwa perilaku religius individu
mengarahkannya untuk dapat mengambil makna dan tujuan hidup yang terarah.
Sementara Nelson (2009) menambahkan bahwa perilaku religius individu
melindunginya dari psychological distress, hal ini terjadi karena perilaku religius

55

Universitas Sumatera Utara

56

melindunginya dari gangguan mengalami kecemasan, depresi, dan memiliki


strategi pemecahan masalah yang baik dalam menangani masalah yang datang
sehingga individu tidak sampai mengalami masalah psikologis yang patologis.
Selain itu, perilaku religius individu membantu seseorang untuk dapat melihat
dirinya secara lebih positif, sehingga memiliki perasaan berharga, emosi yang
positif (matang secara emosi), harga diri yang tinggi dan terhindar dari rasa
bersalah dimana hal ini adalah merupakan sumber dari kesehatan mental yang
baik (Heiler, 1999).
3. Perilaku (behavior)
Argyle

(2000),

mengatakan

bahwa

perilaku

religius

individu

membimbingnya untuk mengembangkan pola perilaku dan gaya hidup yang


konstruktif. Koenig (2009), mengatakan bahwa perilaku religius berpengaruh
terhadap perilaku altrusime. Koenig juga berpendapat bahwa perilaku altrusime
adalah sebagai wujud kesehatan mental baik yang mengarahkan seseorang
tersebut untuk lebih peduli dengan orang lain daripada dirinya sendiri. Selain itu
perilaku religius juga memberikan efek terhadap perilaku prososial yakni tindakan
yang dinilai positif oleh masyarakat.

C. GAY
Menurut Carroll (2005), bahwa gay adalah laki-laki yang secara seksual
tertarik kepada sesama jenisnya. Sementara Kinsey (dalam Carroll, 2005)
mengatakan

bahwa

ketertarikan

secara

seksual

tidak

cukup

dalam

mendeskripsikaan orientasi seksual. Orientasi seksual (dalam hai ini gay) meliputi

56

Universitas Sumatera Utara

57

(1). Perilaku seksual, (2). fantasi seksual, (3). Ketertarikan secara emosional, (4).
Ketertarikan secara sosial, (5). Ketertarikan gaya hidup, (6). Ketertarikan secara
seksual, dan (7). Identifikasi diri. Sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
gay adalah laki-laki yang secara seksual tertarik kepada laki-laki, perilaku seksual
diarahkan pada laki-laki, memiliki fantasi seksual terhadap laki-laki, memiliki
ketertarikan secara emosional terhadap laki-laki, ketertarikan secara sosial
diarahkan pada laki-laki, memiliki gaya hidup yang tertarik kepada sesama jenis,
dan mengidentifikasi dirinya sebagai orang yang menyukai sesama jenisnya.

D. PERBEDAAN KESEHATAN MENTAL PADA GAY DITINJAU DARI


PERILAKU RELIGIUS
Tingginya tekanan sosial yang diterima oleh kaum gay seperti distigma,
diprasangka, didiskriminasikan, ditolak, diharamkan, dikutuk, dilecehkan, dihina,
dipermalukan, dianiaya, dibantai bahkan dibunuh menjadi sumber stres bagi kaum
gay sehingga mereka memiliki psychological distress dan ketegangan psikologis
yang tinggi hal ini menyebabkan kaum gay rentan mengalami gangguan kesehatan
mental (Meyer & Northridge, 2007).
Masalah kesehatan mental yang sering dihadapi kaum gay adalah depresi,
gangguan kecemasan (anxiety disorder), gangguan mood (mood disorder), harga
diri yang rendah, tidak puas dengan dirinya sendiri, merasa bersalah yang
berlebihan, merasa berdosa, gangguan stabilitas emosional, gangguan panik
(panic attack), dan perasaan tidak berharga (Greene, 2003; Jorm, Korten,

57

Universitas Sumatera Utara

58

Rodgers, Jacomb, & Christensen, 2002; MacDonald, 2006; McNair, 2003; Meyer
& Northridge, 2007; Paul, Korten, 2003).
Saroglou (2003), mengatakan bahwa setiap orang pasti melakukan suatu
mekanisme dalam usaha mengatasi masalah psikologisnya. Saroglou juga
mengatakan bahwa kaum gay melakukan mekanisme coping dan mencari
perlindungan diri dari psychological distress, depresi, gangguan kecemasan dan
masalah kesehatan mental seperti yang dipaparkan di atas. Adapun bentuk
mekanisme coping yang dilakukan oleh kaum gay untuk mengatasi masalah
kesehatan mental yang mereka alami adalah dengan berperilaku religius
(Arenofsky, 2000; Barker, 2001; Bei-hung, Skinner, Zhou,

& Kazis, 2003;

Loewenthal, 2009; McQeeney, 2009; Meyer, 2003)


Lowenthal (2009), meyakini bahwa perilaku religius adalah penyembuh
(healer) terhadap masalah psikologis seseorang. Perilaku religius yang dimiliki
oleh kaum gay memampukan mereka dalam mengatasi masalah psikologis mereka
seperti terselesaikannya konflik internal, sedikit frustrasi, ketakutan yang rendah,
trauma psikologis yang rendah, harga diri yang tinggi, kestabilan emosional,
kesehatan fisik yang lebih baik, memiliki level energi yang lebih tinggi, dan hidup
dalam cara yang lebih baik (Davis, 2004).
Efek perilaku religius terhadap kesehatan mental pada gay datang dari
pola-pola pemikiran dan perilaku yang jernih yang akan mengarahkan kaum gay
untuk memiliki orientasi dan jalan hidup yang jelas dan terarah (Ellison, 2006;
2008). Perilaku religius berinteraksi dengan fungsi psikologis dan tingkat
kesehatan mental kaum gay (Aggleton, Hurry, & Warwick, 2000). Sementara

58

Universitas Sumatera Utara

59

Miller (dalam Ploutzian, 2009), berpendapat bahwa perilaku religius individu


merupakan pengarah dan pembimbing individu untuk mengadopsi dan
menginternalisasikan pola-pola perilaku, pikiran, perasaan, emosi dan kontrol diri
yang baik atau positif.
Koening (2009)

menambahkan bahwa perilaku religius

individu

berdampak terhadap bagaimana kondisi dan status emosi, kesejahteraan


psikologis, kebahagiaan, kepuasan hidup, pengharapan, optimisme dalam hidup,
makna hidup, dan memiliki tujuan hidup yang terarah. Aspek-aspek inilah yang
dapat meningkatkan kesehatan mental individu dan sekaligus merupakan faktor
proteksi (pelindung) bagi seseorang untuk mengalami gangguan mental.
Perilaku religius adalah dasar

dalam membentuk perkembangan

kepribadian, mengarahkan dan membimbing seseorang untuk berusaha mencapai


esensi kehidupan dan kematangan diri dan pribadi serta mencapai aktualisasi diri
(self actualization) (Pieper & Uden, 2006). Maslow (dalam Notosoedirjo &
Latipun, 2005) mengatakan bahwa kematangan diri dan aktualisasi diri adalah
akar dari perkembangan kesehatan mental yang baik.
Maslow (dalam Notosoedirjo & Latipun, 2005) yang selanjutnya
diklarifikasi oleh Bailey (2000) menjelaskan bahwa aktualisasi diri dapat dicapai
di dalam perilaku religius sehingga dapat menghasilkan perasaan yang aman yang
memadai akan diri sendiri, aman dalam keluarga, aman dalam lingkungan,
pekerjaan dan sosial, memiliki perasaan berguna, tidak diganggu oleh rasa
bersalah yang berlebihan, kemampuan menikmati kebahagiaan dalam hidup, tidak
adanya konflik besar dalam dirinya, kemampuan membentuk ikatan emosional

59

Universitas Sumatera Utara

60

yang kuat dengan orang lain, dan kehidupan seksual yang wajar sehingga dengan
demikian, perilalu religius dapat memperbaiki tingkat kesehatan mental pada gay.
Glenn (1997), mengatakan bahwa perilaku religius diasosiasikan dengan
kesehatan mental yang baik. Perilaku religius pada gay berhubungan dengan
kepuasan hidup yang lebih besar, meningkatkan kesehatan psikologis, rendahnya
tingkat depresi, rendahnya menderita gangguan psikiatrik, dan harga diri yang
tinggi. Hasil temuan Francis (2008) memperkuat pernyataan Glenn dimana
perilaku religius memperkuat kontribusi terhadap kesehatan mental, kebahagiaan
hidup, merasa berharga, memiliki harga diri yang lebih tinggi, pengalaman emosi
yang positif, kecemasan yang lebih sedikit, dan terhindar dari ketakutan.
Wolkomir (2006) melakukan penelitian di Amerika Serikat terhadap
sejumlah kaum gay dan ditemukan bahwa 94% dari kaum gay tersebut yang
berperilaku religius seperti frekwensi kehadiran di gereja, berdoa dan melakukan
ritual agama memiliki pengalaman hidup yang lebih menyenangkan dan lebih
banyak mengalami kebahagiaan dalam kehidupan mereka, dimana hal ini
diasosiasikan dengan tingkat kesehatan mental yang lebih baik. Berperilaku
religius menjadikan kaum gay bebas dari tekanan, dan merasa bebas dalam
mengaktualisasikan dirinya akan tetapi tetap berserah kepada kuasa Ilahi, dan
dapat menikmati kehidupannya.
Argyle (dalam Pieper & Uden, 2006) juga mengetengahkan bahwa efek
perilaku religius dan kesehatan mental adalah berhubungan positif, dimana
perilaku religius kaum gay tersebut dapat memperbaiki dan meningkatkan
kesehatan mental mereka. Suatu studi yang dilakukan oleh Den Draaks (1990)

60

Universitas Sumatera Utara

61

menyimpulkan bahwa 40% dari partisiapan penelitian yang memiliki orientasi


seksual sebagai gay memiliki kesehatan mental yang lebih baik karena memiliki
perilaku religius seperti menghadiri ibadah, berdoa, mengikuti ritual agama, dan
frekwensi kehadiran ke gereja yang lebih tinggi.
Penelitian

lain

yang

dilakukan

Batson

(dalam

Argyle,

2000)

menyimpulkan bahwa 75% dari partisipan penelitiannya, setelah diberikan angket


perilaku religius dan diukur kesehatan mentalnya ditemukan bahwa ada hubungan
yang signifikan bahwa perilaku religius memberikan dampak yang positif, seperti
penyakit yang diderita lebih rendah daripada yang tidak memiliki perilaku
religius, memiliki kebahagiaan dalam hidup, serta kesejahteraan psikologis yang
lebih baik.
Senada dengan pernyataan di atas, Almeida (2006) melakukan riset
terhadap 850 orang kaum gay dan memberikan kesimpulan bahwa perilaku
religius berhubungan positif dengan kesehatan mental yakni, bahwa orang yang
memiliki perilaku religius mempengaruhi kepuasan hidup, kebahagiaan, perasaan
yang positif, dan tingginya penalaran moral. Selain itu perilaku religius juga
berhubungan dengan dimensi lain dari kesehatan mental, dimana orang yang
memiliki perilaku religius berhubungan dengan rendahnya kecenderungan untuk
mengalami depresi, pemikiran untuk melakukan bunuh diri dan gangguan
perilaku.

Almeida (2006)

juga

menambahkan

bahwa perilaku religius

berhubungan dengan perilaku yang sehat, merasa memiliki dukungan sosial,


dimana dukungan sosial berhubungan dengan tingginya tingkat kesehatan mental
pada gay itu sendiri.

61

Universitas Sumatera Utara

62

Chapple (2003) melakukan studi kualitatif terhadap sejumlah gay dan


berdasarkan temuannya dapat disimpulkan bahwa dimensi perilaku religius adalah
sebagai prediktor dalam memahami kesehatan mental mereka. Temuan Lee
(2005) memperkuat hasil studi Chapple dan mengutarakan bahwa perilaku religius
berasosiasi dengan rendahnya tingkat depresi pada gay, level kecemasan yang
rendah, perasaan positif yang tinggi, dan rasa berharga serta tingkat harga diri
yang tinggi.
Ellison (2008) juga mengatakan bahwa perilaku religius adalah sebagi
indikator kesehatan mental, dimana perilaku religius menjadikan seseorang
merasa menikmati hidup, sedikit mengalami psychological distress, dan
rendahnya gejala psikiatrik seperti gangguan kecemasan umum (generalized
anxiety disorder) dan mayor depresi (major depressive).
Kehidupan yang religius tercermin dari perilaku yang religius yang dapat
mempengaruhi keyakinan dan proses kognitif seseorang, sehingga kaum gay yang
memiliki perilaku religius dapat mengatasi konflik, psychological distress,
penderitaan, dan masalah hidup mereka. Perilaku religius kaum gay menyiapkan
mereka untuk lebih menerima diri sendiri, memiliki ketahanan diri, resiliensi,
merasa damai dalam hidupnya, percaya diri, memiliki tujuan hidup, memiliki self
image yang positif, dan memaafkan diri sendiri ketika mengalami kegagalan
(Almeida, 2006).
Fredrickson (2006), berpendapat bahwa perilaku religius pada gay
berpengaruh pada bagaiman kaum gay menilai dirinya seperti merasa dirinya
berharga, menilai diri secara positif, mau menerima kekurangan dan kegagalnya

62

Universitas Sumatera Utara

63

dalam hidup. Fredrickson meyakini bahwa hal ini merupakan akar atau modal
dalam membentuk kesehatan mental yang baik. Perilaku religius berhubungan
dengan rendahnya risiko untuk mengalami gangguan kecemasan (anxiety
disorder), depresi, gangguan mood (mood disorder), dan stress (Sias 2006).
Bahkan perilaku religius individu diyakini oleh Dein (2006) sebagai coping untuk
menyelesaikan masalah gangguan mental seperti kecemasan dan depresi.
Mekanisme lain yang dilakukan oleh kaum gay dalam mengatasi masalah
psychological distress yang mereka alami adalah dengan menghindari diri untuk
berperilaku religius (Wolkomir, 2006). Dengan demikian, kaum gay menghindari
melakukan ajaran agama, ritual agama, berdoa, beribadah dan segala hal yang
berkaitan dengan kehidupan religius. Singkatnya bahwa kaum gay tidak
berperilaku religius (Barbara, 2005; Wolkomir, 2006).
Kaum gay mengabaikan kehidupan religiusnya supaya bebas dari rasa
bersalah dan bebas dari aturan-aturan agama yang mengikat sehingga mereka
dapat hidup lebih leluasa dalam mengekspresikan diri mereka sebagai
homoseksual. Namun menurut Barbara (2006) yang selanjutnya dipertegas oleh
Ellison (2008) bahwa menjauhkan diri dari kehidupan beragama merupakan faktor
risiko mengalami gangguan mental. Koenig (2009), juga berpendapat yang sama
bahwa orang yang nonreligius adalah salah satu faktor risiko untuk memiliki
gagngguan psikologis yang patologis.
Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Argyle pada tahun 2000
terhadap 1760 subjek penelitiannya, memberikan kesimpulan bahwa orang yang
tidak berperilaku religius seperti kehadiran ke gereja yang rendah dan frekwensi

63

Universitas Sumatera Utara

64

berdoa yang jarang mengalami tingkat kesehatan mental yang rendah, sementara
subjek yang memiliki perilaku religius setelah diukur tingkat kesehatan
mentalnya, mereka memiliki perbedaan yang signifikan dalam tingkat kesehatan
mental, dimana orang yang kehadiran dan frekwensi melakukan ibadah dan
berdoa yang lebih tinggi memiliki tingkat kesehatan mental yang lebih tinggi pula
(Argyle, 2000).
Individu yang tidak berperilaku religius seperti frekwensi berdoa yang
rendah, jarang melakukan ibadah atau sembayang akan memiliki kecenderungan
yang lebih besar untuk mengalami psychological distres, gangguan kecemasan
(anxiety disorder), depresi, perasaan bersalah, perasaan malu yang berlebihan,
memiliki pemikiran yang negatif terhadap diri sendiri, orang lain, dan
lingkungannya, gangguan paranoid sehingga hal ini bermuara kepada tingkat
kesehatan mental yang rendah (Sanua, 1999).
MacDonald (2008) mengatakan bahwa menghindari perilaku religius
merupakan pemicu seseorang cenderung menderita gangguan psikologis seperti
mengalami affect yang negatif, kondisi emosional yang negatif, penilaian diri
yang kurang realistik dan kondisi mood yang negatif. Pendapat lain
mengetengahkan hal yang serupa bahwa individu yang tidak berperilaku religius
cenderung mengalami ketegangan psikis dan konflik dengan dirinya sendiri,
kurang menerima diri sendiri, penilaian yang buruk terhadap kehidupannya
sehingga mereka cenderung merasa tidak bahagia dalam hidupnya, merasa rendah
diri, tidak puas dengan kehidupannya, ketidakstabilan emosional, menjadi otoriter,
dan kaku dengan diri sendiri. Intinya bahwa orang yang tidak berperilaku religius

64

Universitas Sumatera Utara

65

memiliki kecenderungan yang tinggi untuk mengalami tingkat kesehatan mental


yang rendah (Jorm, Korten, Rodgers, Jacomb, & Christensen, 2002; MacDonald,
2008).

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disusun kerangka penelitian ini


adalah sebagai berikut:

Gay

Distigma, ditolak, dikecam, diprejudice, diejek,


diolok-olok, dipermalukan, dilecehkan, diisolasi,
diusir dari rumah, didiskriminasikan, dihina, ditekan,
dikutuk, diharamkan, dihujat, dianiaya secara fisik
dan verbal, dibantai, disiksa, bahkan dibunuh

Fenomena Psikologis

Sumber stress
(STRESSOR)
65

Universitas Sumatera Utara

66

Mengalami gangguan kecemasan (anxiety


disorder), kesepian, merasa terisolasi, depresi,
harga diri rendah, ketidakstabilan emosional,
kurang responsif secara emosional, mood
disorder, hopeless, mengalami serangan panic
(panic attack), mengalami generalized anxiety
disorder, malu dengan diri sendiri, tidak puas
dalam hidupnya, jijik dengan dirinya sendiri,
mengalami gangguan kepribadian, menyalahkan
diri sendiri, merasa berdosa, dan mengalami
ketegangan psikologis.

Kesehatan Mental

KM
Rendah

KM
Tinggi

COPING MECHANISM

Tidak Berperilaku
Religius

Berperilaku Religius

Risiko Mengalami
Masalah Psikologis dan
Gangguan Mental

-Healer (Penyembuh)
Masalah Psikologis
-Dapat Membentuk
Mentalitas yang baik

E. Hipotesa Penelitian
Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang diajukan dan yang akan
diuji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Ho: tidak ada perbedaan kesehatan mental pada gay ditinjau dari perilaku religius
Ha: ada perbedaan kesehatan mental pada gay ditinjau dari perilaku religius

66

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai