Chapter II PDF
Chapter II PDF
BAB II
LANDASAN TEORI
A. KESEHATAN MENTAL
1. Definisi Kesehatan Mental
Dalam mendefinisikan kesehatan mental, sangat dipengaruhi oleh kultur
dimana seseorang tersebut tinggal. Apa yang boleh dilakukan dalam suatu budaya
tertentu, bisa saja menjadi hal yang aneh dan tidak normal dalam budaya lain, dan
demikian pula sebaliknya (Sias, 2006). Menurut
25
26
lingkungannya
Michael dan Kirk Patrick (dalam Notosudirjo & Latipun, 2005)
memandang bahwa individu yang sehat mentalnya jika terbebas dari gejala
psikiatris dan individu itu berfungsi secara optimal dalam lingkungan sosialnya.
Pengertian ini terdapat aspek individu dan aspek lingkungan. Seseorang yang
26
27
sehat mental itu jika sesuai dengan kapasitasnya diri sendiri, dan hidup tepat yang
selaras dengan lingkungannya.
4. Sehat mental karena tumbuh dan berkembang secara positif
Frank, L. K. (dalam Notosudirjo & Latipun, 2005)
merumuskan
sebagai
akibat
dari
pengaturan
yang
aktif.
(c)
Seseorang
27
28
secara fisik, intelektual dan emosional, sepanjang hal itu sesuai dengan keadaan
orang lain. (2) Sebuah masyarakat yang baik adalah masyarakat yang
membolehkan perkembangan ini pada anggota masyarakatnya selain pada saat
yang sama menjamin dirinya berkembang dan toleran terhadap masyarakat yang
lain. Dalam konteks Federasi Kesehatan Mental Dunia ini jelas bahwa kesehatan
mental itu tidak cukup dalam pandangan individual belaka tetapi sekaligus
mendapatkan dukungan dari masyarakatnya untuk berekembang secara optimal.
Dengan demikian, pengertian kesehatan mental beragam, namun demikian
merumuskan pengertian kesehatan mental secara komprehensif adalah bukan
suatu hal yang mudah dilakukan. Untuk membantu memahami makna kesehatan
mental, terdapat prinsip-prinsip yang dapat dijadikan sebagai pegangan bagi kita.
Prinsip-prinsip pengertian kesehatan mental adalah sebagai berikut:
1. Kesehatan mental adalah lebih dari tiadanya perilaku abnormal.
Prinsip ini menegaskan bahwa yang dikatakan sehat mentalnya tidak
cukup kalau dikatakan sebagai orang yang tidak megalami abnormalitas atau
orang yang normal. Karena pendekatan statistik memberikan kelemahan
pemahaman normalitas itu. Konsep kesehatan mental lebih bermakna positif
daripada makna keadaan umum atau normalitas sebagaimana konsep statistik.
2. Kesehatan mental adalah konsep yang ideal.
Prinsip ini menegaskan bahwa kesehatan mental menjadi tujuan yang amat
tinggi bagi seseorang. Apalagi disadari bahwa kesehatan mental itu bersifat
kontinum. Jadi sedapat mungkin orang mendapatkan kondisi sehat yang paling
optimal dan berusaha terus untuk mencapai kondisi sehat yang setingi-tingginya.
28
29
dan
stressor,
menjalankan
kapasitasnya
selaras
dengan
29
30
dan
cinta,
mampu
mengekspresikan
ketidaksukaan
30
31
angan) yang berlebihan, (b) Mempunyai pandangan yang realistis dan luas
terhadap dunia, yang disertai dengan kemampuan menghadapi kesulitan hidup
sehari-hari, misalnya sakit dan kegagalan, dan (c) Kemampuan untuk merubah
diri sendiri jika situasi eksternal (lingkungan) tidak dapat dimodifikasi
(dirubah) dan dapat bekerjasama tanpa merasa tertekan (cooperation with the
inevitable)
5. Adequate bodily desires and ability to gratify them (keinginan-keinginan
jasmani yang memadai dan kemampuan untuk memuaskannya). Hal ini
ditandai dengan (a) Suatu sikap yang sehat terhadap fungsi jasmani, dalam arti
menerima fungsi jasmani tetapi bukan dikuasai oleh fungsi jasmani tersebut,
(b) Kemampuan memperoleh kenikmatan dan kebahagiaan dari dunia fisik
dalam kehidupan seperti makan, tidur, dan pulih kembali dari kelelahan, (c)
Kehidupan
seksual
yang
wajar
dan
keinginan
yang
sehat
untuk
memuaskannya tanpa rasa takut dan konflik, (d) Kemampuan bekerja, (e)
Tidak adanya kebutuhan yang berlebihan untuk mengikuti dalam berbagai
aktivitas.
6. Adequate self knowledge (mempunyai kemampuan pengetahuan yang wajar).
Termasuk di dalamnya (a) Cukup mengetahui tentang: motif, keinginan,
tujuan, ambisi, hambatan, kompetensi, pembelaan, dan perasaan rendah diri,
(b) Penilaian yang realistis terhadap diri sendiri baik kelebihan maupun
kekurangan, (c)Mampu menilai diri secara jujur (jujur pada diri sendiri),
mampu untuk menerima diri sendiri apa adanya, dan mengakui serta
31
32
menerima sejumlah hasrat atau pikiran meskipun beberapa diantara hasrathasrat itu secara sosial dan personal tidak dapat diterima.
7. Integration and consistency of personality (kepribadian yang utuh dan
konsisten).
Cukup baik
32
33
dan hasrat diri sendiri yang dilarang oleh kelompoknya, (d) Mau berusaha
untuk memenuhi tuntutan dan harapan kelompoknya: ambisi, ketepatan,
persahabatan, rasa tanggung jawab, dan kesetiaan, serta (e) Berminat untuk
melakukan aktivitas atau kegiatan yang disenangi oleh kelompoknya.
11. Adequate emancipation from the group or culture (mempunyai emansipasi
yang memadai dari kelompok atau budaya). Hal ini mencakup: (a)
Kemampuan untuk menilai sesuatu itu baik dan yang lain adalah buruk
berdasarkan penilaian diri sendiri tanpa terlalu dipengaruhi oleh kebiasaankebiasaan dan budaya serta kelompok, (b) Dalam beberapa hal bergantung
pada pandangan kelompok, (c) Tidak ada kebutuhan yang berlebihan untuk
membujuk (menjilat), mendorong, atau menyetujui kelompok, dan (d) Mampu
menghargai perbedaan budaya.
Carl Rogers mengenalkan konsep fully functioning (pribadi yang berfungsi
sepenuhnya) sebagi bentuk kondisi mental yang sehat (Pieper & Uden, 2006).
Secara singkat fully functioning person ditandai (1) Terbuka terhadap
pengalaman; (2) Ada kehidupan pada dirinya; (3) Kepercayaan kepada
organismenya; (4) Kebebasan berpengalaman; dan (5) Kreativitas.
Golden Allport (dalam Notosoedirdjo & Latipun, 2005) menyebut mental
yang sehat dengan maturity personality. Dikatakan bahwa untuk mencapai kondisi
yang matang itu melalui proses hidup yang disebutnya dengan proses becoming.
Orang yang matang jika: (1) Memiliki kepekaan pada diri secara luas, (2) Hangat
dalam berhubungan dengan orang lain, (3) Keamanan emosional atau penerimaan
33
34
diri, (4) Persepsi yang realistik, keterampilan dan pekerjaan, (5) Mampu menilai
diri secara objektif dan memahami humor, dan (6) Menyatunya filosofi hidup.
D.S. Wright dan A Taylor (dalam Notosoedirdjo & Latipun, 2005)
mengemukakan tanda-tanda orang yang sehat mentalnya adalah sebagai berikut:
(1) Bahagia (happiness) dan terhindar dari ketidakbahagiaan, (2) Efisien dalam
menerapkan dorongannya untuk kepuasan kebutuhannya, (3) Kurang dari
kecemasan, (4) Kurang dari rasa berdosa (rasa berdosa merupakan refleks dari
kebutuhan self-punshment), (5) Matang, sejalan dengan perkembangan yang
sewajarnya, (6) Mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungannya, (7) Memiliki
otonomi dan harga diri, (8) Mampu membangun hubungan emosional dengan
orang lain, dan (9) Dapat melakukan kontak dengan realita.
3. Prinsip dalam Kesehatan Mental
Menurut Schbeiders (dalam Notosoedirdjo & Latipun, 2005) ada lima
belas prinsip yang harus diperhatikan dalam memahami kesehatan mental. Prinsip
ini berguna dalam upaya pemeliharaan dan peningkatan kesehatan mental serta
pencegahan terhadap gangguan-gangguan mental. Prinsip-prinsip tersebut adalah
sebagai berikut:
2. Prinsip yang didasarkan atas sifat manusia, meliputi:
a. Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan atau bagian yang tidak
terlepas dari kesehatan fisik dan integritas organisme.
b. Untuk memelihara kesehatan mental dan penyesuaian yang baik, perilaku
manusai harus sesuai dengan sifat manusia sebagai pribadi yang bermoral,
intelektual, religius, emosional dan sosial.
34
35
c. Kesehatan
dan
penyesuaian
mental
memerlukan
integrasi
dan
pencapaian
khususnya
dalam
memelihara
kesehatan
dan
35
36
j.
36
37
37
38
38
39
karena tidak normal dalam hal jumlah dan struktur kromosom. Jumlah
kromosom yang berlebihan atau berkurang dapat menyebabkan individu
mengalami gangguan mental.
4. Sensori
Sensori merupakan aspek penting dari manusia. Sensori merupakan
alat yang menagkap segenap stimuli dari luar. Sensori termasuk:
pendengaran,
penglihatan,
perabaan,
pengecapan
dan
penciuman.
39
40
aspek kemanusiaan. Karena itulah aspek psikis tidak dapat dipisahkan dari aspek
yang lain dalam kehidupan manusia.
1. Pengalaman Awal
Pengalaman awal merupakan segenap pengalaman-pengalaman
yang terjadi pada individu
40
41
g. Sosial Budaya
Lingkungan sosial sangat besar pengaruhnya terhadap kesehatan mental.
Lingkungan sosial tertentu dapat menopang bagi kuatnya kesehatan mental
sehingga membentuk kesehatan mental yang positif, tetapi pada aspek lain
kehidupan sosial itu dapat pulan menjadi stressor yang dapat mengganggu
kesehatan mental. Dibawah ini akan dijelaskan beberapa lingkungan sosial
yang berpengaruh terhadap kesehatan mental adalah sebagai berikut:
1. Stratifikasi sosial
Masyarakat kita terbagi dalam kelompok-kelompok tertentu.
Pengelompokan itu dapat dilakukan secara demografis diantaranya jenis
kelamin, usia, tingkat pendidikan dan status sosial. Stratifikasi sosial ini
dapat mempengaruhi kesehatan mental seseorang, misalnya kaum
minoritas memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk mengalami
gangguan mental.
2.
Interaksi sosial
Interaksi sosial banyak dikaji kaitannya dengan gangguan
41
42
3. Keluarga
Keluarga
yang
lengkap
dan
fungsional
serta
mampu
terhadap
perubahan
itu,
akibatnya
mereka
masyarakat
melakukan
tindakan
pengrusakan
dan
penjarahan.
5. Sosial budaya
Sosial budaya memiliki makna yang sangat luas. Namun dalam
konteks ini budaya lebih dikhususkan pada aspek nilai, norma, dan
religiusitas dan segenap aspeknya. Dalam konteks ini, kebudayaan
yang ada di masyarakat selalu mengatur bagaimana orang seharusnya
42
43
43
44
manusia
dengan
lingkungannya
berhubungan
dengan
B. PERILAKU RELIGIUS
1. Definisi Perilaku Religius
Steadmen, Palmer, dan Ellsworth (dalam Feierman, 2009) mendefinisikan
perilaku religius adalah seperangkat perilaku yang merupakan ekspresi dari
religiusitas seseorang yang tercakup didalamnya pelaksanan ritual agama,
pelaksanaan ibadah, dan berdoa. Sementara menurut Argyle (2000), bahwa
perilaku religius adalah perilaku yang menunjukkan seberapa sering seseorang
datang beribadah ke gereja (frekwensi menghadiri gereja), berdoa, dan derajat
keterlibatan seseorang dalam menghadiri kegiatan keagamaan.
Feierman (2009) mengatakan bahwa perilaku religius mencerminkan
keyakinan terhadap agama yang ditampilkan atau didemonstrasikan dalam bentuk
perilaku. Sias (2006) berpendapat bahwa perilaku religius adalah tingkatan sejauh
mana seseorang mengerjakan kewajiban ajaran agamanya yang dapat dilihat dari
frekwensi kehadiran dan pelaksanaan kegiatan keagaman. Koenig (2009)
memberikan batasan terhadap perilaku religius sebagai tingkatan sejauh mana
44
45
frekwensi
melakukan
ibadah
45
46
46
47
2. Linguistic Features
Seseorang yang bedoa dengan menggunakan bahasa, berkata-kata (verbal
prayer). Bahasa yang digunakan bisa saja diungkapkan denga suara yang keras,
diam, atau berdoa di dalam hati (contemplative prayer).
3. Cognitive Features
Berdoa dilakukan dengan penuh dengan tujuan dan pemaknaan terhadap
doa yang diungkapkan oleh seseorang tersebut.
4. Emotional Features
Berdoa pada dasarnya diiringi oleh perasaan kedekatan dengan Tuhan, dan
disertai dengan perasaan nyaman dan tenteram.
a.1. Tipe-tipe doa
Menurut Loewenthal (2009) ada lima tipe berdoa, yakni sebagai berikut:
47
48
Objective prayer: adalah tipe dari berdoa yang fokus pada penyembahan,
mengagungkan, dan memuliakan Tuhan.
Subjective prayer: adalah tipe dari berdoa yang fokus pada penyerahan diri
dan memasrahkan diri pada kuasa Tuhan, berdoa yang fokus pada
pergumulan atau permasalahan hidup, rintangan hidup dan permohonan
supaya Tuhan memimpin hidupnya.
Less mature form of prayer: adalah tipe dari berdoa dimana seseorang
mengharapkan bahwa Tuhan akan menjawab doa mereka (petitionary
prayer)
More mature form of prayer: adalah tipe dari berdoa dimana seseorang
berdoa untuk mendekatkan diri pada Tuhan dan menjalin hubungan yang
lebih erat dengan Tuhan.
b. Ritual
Paloutzian dan Park (2009), mengatakan bahwa pelaksanan ritual agama
adalah salah satu hal yang mendasar dalam kehidupan beragama seseorang.
Pelaksanaan ritual agama adalah merupakan cerminan dari keyakinan seseorang
akan ajaran agama. Ritual adalah secara fundamental merupakan pola perilaku,
dimana perilaku terstruktur yang dilakukan baik secara perorangan maupun secara
bersama-sama dengan orang lain, yang dilakukan secara berulang dan bertujuan.
Menurut Paloutzian dan Park (2009), pelaksanaan ritual agama berbeda antara
48
49
agama yang satu dengan yang lainnya. Perilaku religius yang tercakup dalam
ritual agama adalah pelaksanaan seremonial agama.
c. Praktik Religius
Menurut James (dalam Paloutzian & Park, 2009) praktik religius
mencakup membaca kitab suci, ibadah dan berpuasa. Berikut ini akan dijelaskan
ketiga jenis praktik religius tersebut:
c.1 ibadah (sembayang)
Ibadah atau sembayang
seseorang baik secara individu atau dalam suatu kelompok atau grup tertentu
(melibatkan banyak orang) sehingga membentuk suatu komunitas ibadah tertentu.
Dalam pelaksanaan ibadah atau sembayang ini dapat dilakukan di gereja, di
tempat-tempat ibadah tertentu, di rumah-rumah atau dengan menonton ritual
keagamaan melalui media elektronik seperti televisi dan radio.
c.2. Membaca Kitab Suci
Membaca kitab suci adalah pelaksanaan praktik keagamaan dimana
individu komitmen untuk membaca untuk memahami ajaran agama yang
dianutnya sebagimana tercantum dalam kitab suci mereka.
c.3. Puasa
Puasa adalah salah satu jenis praktik religius, dimana individu yang
menganut agamanya memberhentikan diri dari aktivitas kesehariannya seperti
makan, minum, melakukan hubungan intim, dan dari perilaku duniawi lainnya
yang dilakukan dalam waktu temporal. Ketentuan dalam pelaksanaan puasa ini
tergantung dari ajaran agama yang mereka anut.
49
50
50
51
51
52
b. Pendidikan
Seseorang yang diberikan didikan agama seperti doktrin (ajaran agama)
akan mengarahkan dan membantu manusia untuk mengmbangkan perilaku
religiusnya. Didikan yang diberikan seperti belajar Alkitab, belajar Al-Quran,
teologi dan ritual agama dapat manumbuhkan perilaku religiusnya.
c. Keluarga
Keluarga adalah tempat pertama dimana seseorang belajar segala sesuatu
tentang dunia termasuk agama. Di dalam keluarga pertama sekali seorang anak
akan mengenal dan mengerti keyakinan terhadap agama. Perilaku religius seorang
anak terbentuk dalam pola bagaimana orangtua mereka bersikap dan berperilaku
terhadap anak mereka dalam kaitannya dengan keyakinan agama yang mereka
anut.
Hubungan anak dan orangtua menjadi hal yang sangat penting bagi
berkembangnya perilaku religius anak. Hood (dalam Argyle, 2000) mengatakan
bahwa perilaku religius berkembang dan mengalir dalam keluarga. Orangtua
adalah orang yang paling berpengaruh besar terhadap berkembang dan
terbentuknya perilaku religius anak. Ibu memiliki pengaruh yang lebih besar
daripada ayah terhadap pembentukan religius anak.
d. Sosial Learning
Perilaku religius dapat berkembang seiring dengan pengalaman seseorang
tersebut dalam lingkungan kehidupan sosialnya. Meniru orang lain dalam tata cara
berperilaku tertentu adalah cenderung dilakukan oleh manusia, termasuk perilaku
religius. Orangtua, nenek, tetangga, atau orang lain yang menunjukkan perilaku
52
53
53
54
perempuan lebih banyak terlibat dalam aktivitas pelayanan agama daripada lakilaki
4. Efek / Pengaruh Perilaku Religius
Leowenthal (2008) mengatakan bahwa perilaku religius seseorang
berpengaruh terhadap banyak dimensi kehidupan manusia. Sementara Nelson
(2009) meyakini bahwa perilaku religius seseorang berpengaruh terhadap
kehidupan psikologis dan fisik manusia. Berikut ini akan dijelaskan beberapa
pengaruh perilaku religius terhadap kehidupan manusia:
1. Kesehatan Fisik (physical health)
Leowenthal (2008)
dari
54
55
55
56
(2000),
mengatakan
bahwa
perilaku
religius
individu
C. GAY
Menurut Carroll (2005), bahwa gay adalah laki-laki yang secara seksual
tertarik kepada sesama jenisnya. Sementara Kinsey (dalam Carroll, 2005)
mengatakan
bahwa
ketertarikan
secara
seksual
tidak
cukup
dalam
mendeskripsikaan orientasi seksual. Orientasi seksual (dalam hai ini gay) meliputi
56
57
(1). Perilaku seksual, (2). fantasi seksual, (3). Ketertarikan secara emosional, (4).
Ketertarikan secara sosial, (5). Ketertarikan gaya hidup, (6). Ketertarikan secara
seksual, dan (7). Identifikasi diri. Sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
gay adalah laki-laki yang secara seksual tertarik kepada laki-laki, perilaku seksual
diarahkan pada laki-laki, memiliki fantasi seksual terhadap laki-laki, memiliki
ketertarikan secara emosional terhadap laki-laki, ketertarikan secara sosial
diarahkan pada laki-laki, memiliki gaya hidup yang tertarik kepada sesama jenis,
dan mengidentifikasi dirinya sebagai orang yang menyukai sesama jenisnya.
57
58
Rodgers, Jacomb, & Christensen, 2002; MacDonald, 2006; McNair, 2003; Meyer
& Northridge, 2007; Paul, Korten, 2003).
Saroglou (2003), mengatakan bahwa setiap orang pasti melakukan suatu
mekanisme dalam usaha mengatasi masalah psikologisnya. Saroglou juga
mengatakan bahwa kaum gay melakukan mekanisme coping dan mencari
perlindungan diri dari psychological distress, depresi, gangguan kecemasan dan
masalah kesehatan mental seperti yang dipaparkan di atas. Adapun bentuk
mekanisme coping yang dilakukan oleh kaum gay untuk mengatasi masalah
kesehatan mental yang mereka alami adalah dengan berperilaku religius
(Arenofsky, 2000; Barker, 2001; Bei-hung, Skinner, Zhou,
58
59
individu
59
60
yang kuat dengan orang lain, dan kehidupan seksual yang wajar sehingga dengan
demikian, perilalu religius dapat memperbaiki tingkat kesehatan mental pada gay.
Glenn (1997), mengatakan bahwa perilaku religius diasosiasikan dengan
kesehatan mental yang baik. Perilaku religius pada gay berhubungan dengan
kepuasan hidup yang lebih besar, meningkatkan kesehatan psikologis, rendahnya
tingkat depresi, rendahnya menderita gangguan psikiatrik, dan harga diri yang
tinggi. Hasil temuan Francis (2008) memperkuat pernyataan Glenn dimana
perilaku religius memperkuat kontribusi terhadap kesehatan mental, kebahagiaan
hidup, merasa berharga, memiliki harga diri yang lebih tinggi, pengalaman emosi
yang positif, kecemasan yang lebih sedikit, dan terhindar dari ketakutan.
Wolkomir (2006) melakukan penelitian di Amerika Serikat terhadap
sejumlah kaum gay dan ditemukan bahwa 94% dari kaum gay tersebut yang
berperilaku religius seperti frekwensi kehadiran di gereja, berdoa dan melakukan
ritual agama memiliki pengalaman hidup yang lebih menyenangkan dan lebih
banyak mengalami kebahagiaan dalam kehidupan mereka, dimana hal ini
diasosiasikan dengan tingkat kesehatan mental yang lebih baik. Berperilaku
religius menjadikan kaum gay bebas dari tekanan, dan merasa bebas dalam
mengaktualisasikan dirinya akan tetapi tetap berserah kepada kuasa Ilahi, dan
dapat menikmati kehidupannya.
Argyle (dalam Pieper & Uden, 2006) juga mengetengahkan bahwa efek
perilaku religius dan kesehatan mental adalah berhubungan positif, dimana
perilaku religius kaum gay tersebut dapat memperbaiki dan meningkatkan
kesehatan mental mereka. Suatu studi yang dilakukan oleh Den Draaks (1990)
60
61
lain
yang
dilakukan
Batson
(dalam
Argyle,
2000)
Almeida (2006)
juga
menambahkan
61
62
62
63
dalam hidup. Fredrickson meyakini bahwa hal ini merupakan akar atau modal
dalam membentuk kesehatan mental yang baik. Perilaku religius berhubungan
dengan rendahnya risiko untuk mengalami gangguan kecemasan (anxiety
disorder), depresi, gangguan mood (mood disorder), dan stress (Sias 2006).
Bahkan perilaku religius individu diyakini oleh Dein (2006) sebagai coping untuk
menyelesaikan masalah gangguan mental seperti kecemasan dan depresi.
Mekanisme lain yang dilakukan oleh kaum gay dalam mengatasi masalah
psychological distress yang mereka alami adalah dengan menghindari diri untuk
berperilaku religius (Wolkomir, 2006). Dengan demikian, kaum gay menghindari
melakukan ajaran agama, ritual agama, berdoa, beribadah dan segala hal yang
berkaitan dengan kehidupan religius. Singkatnya bahwa kaum gay tidak
berperilaku religius (Barbara, 2005; Wolkomir, 2006).
Kaum gay mengabaikan kehidupan religiusnya supaya bebas dari rasa
bersalah dan bebas dari aturan-aturan agama yang mengikat sehingga mereka
dapat hidup lebih leluasa dalam mengekspresikan diri mereka sebagai
homoseksual. Namun menurut Barbara (2006) yang selanjutnya dipertegas oleh
Ellison (2008) bahwa menjauhkan diri dari kehidupan beragama merupakan faktor
risiko mengalami gangguan mental. Koenig (2009), juga berpendapat yang sama
bahwa orang yang nonreligius adalah salah satu faktor risiko untuk memiliki
gagngguan psikologis yang patologis.
Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Argyle pada tahun 2000
terhadap 1760 subjek penelitiannya, memberikan kesimpulan bahwa orang yang
tidak berperilaku religius seperti kehadiran ke gereja yang rendah dan frekwensi
63
64
berdoa yang jarang mengalami tingkat kesehatan mental yang rendah, sementara
subjek yang memiliki perilaku religius setelah diukur tingkat kesehatan
mentalnya, mereka memiliki perbedaan yang signifikan dalam tingkat kesehatan
mental, dimana orang yang kehadiran dan frekwensi melakukan ibadah dan
berdoa yang lebih tinggi memiliki tingkat kesehatan mental yang lebih tinggi pula
(Argyle, 2000).
Individu yang tidak berperilaku religius seperti frekwensi berdoa yang
rendah, jarang melakukan ibadah atau sembayang akan memiliki kecenderungan
yang lebih besar untuk mengalami psychological distres, gangguan kecemasan
(anxiety disorder), depresi, perasaan bersalah, perasaan malu yang berlebihan,
memiliki pemikiran yang negatif terhadap diri sendiri, orang lain, dan
lingkungannya, gangguan paranoid sehingga hal ini bermuara kepada tingkat
kesehatan mental yang rendah (Sanua, 1999).
MacDonald (2008) mengatakan bahwa menghindari perilaku religius
merupakan pemicu seseorang cenderung menderita gangguan psikologis seperti
mengalami affect yang negatif, kondisi emosional yang negatif, penilaian diri
yang kurang realistik dan kondisi mood yang negatif. Pendapat lain
mengetengahkan hal yang serupa bahwa individu yang tidak berperilaku religius
cenderung mengalami ketegangan psikis dan konflik dengan dirinya sendiri,
kurang menerima diri sendiri, penilaian yang buruk terhadap kehidupannya
sehingga mereka cenderung merasa tidak bahagia dalam hidupnya, merasa rendah
diri, tidak puas dengan kehidupannya, ketidakstabilan emosional, menjadi otoriter,
dan kaku dengan diri sendiri. Intinya bahwa orang yang tidak berperilaku religius
64
65
Gay
Fenomena Psikologis
Sumber stress
(STRESSOR)
65
66
Kesehatan Mental
KM
Rendah
KM
Tinggi
COPING MECHANISM
Tidak Berperilaku
Religius
Berperilaku Religius
Risiko Mengalami
Masalah Psikologis dan
Gangguan Mental
-Healer (Penyembuh)
Masalah Psikologis
-Dapat Membentuk
Mentalitas yang baik
E. Hipotesa Penelitian
Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang diajukan dan yang akan
diuji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Ho: tidak ada perbedaan kesehatan mental pada gay ditinjau dari perilaku religius
Ha: ada perbedaan kesehatan mental pada gay ditinjau dari perilaku religius
66