Fenoterol (Berotec)
Efek samping meliputi tremor ringan pada otot rangka, palpitasi, takikardi, sakit kepala, batuk,
berkeringat.
Diberikan dalam bentuk MDI atau juga cairan untuk inhalasi (dihirup lewat nebulizer).
Terbutaline (Bricasma)
Dapat diberikan dalam bentuk tablet, infus, respule, atau juga turbuhaler.
Orciprenaline/metaproterenol (Alupent)
Waktu kerja lebih lama (12 jam) daripada salbutamol (4-6 jam)
Hanya digunakan utk kasus severe persistent asthma yg sebelumnya pernah diterapi dg
salbutamol.
Biasanya salmeterol dikombinasikan dg kortikosteroid.
Formoterol
(Symbicort,
suatu
kombinasi
budesonide
(golongan
kortikosteroid)
dg
formoterol)
mAChR
(reseptor
asetilkolin
muskarinik),
shg
terjadi
bronkodilasi.
Efek samping: mengantuk, mulut kering.
Biasanya diberikan dalam bentuk MDI, atau juga larutan inhalasi (hirup) utk nebulizer.
kronik.
Mekanisme kerja sama dg ipatropium bromida, juga memiliki efek samping yang sama.
Glukokortikoid
Budesonide (Pulmicort)
Tidak seperti steroid lainnya, budesonide memiliki efek sedikit pada poros hipotalamikpituitari-adrenal, hal ini menyebabkan budesonide tidak begitu memerlukan tapering of
(dikurangi perlahan) dosisnya sebelum dihentikan.
Deksametason
kekebalan tubuh. Leukotriene menyebabkan inflamasi pada asma dan bronkitis, serta mengecilkan
jalan pernafasan.
Antagonis leukotriene kurang efektif dibandingkan kortikosteroid dlm menangani asma, shg
kurang disukai.
Zafirlukast (Accolate
Montelukast
ANTIHISTAMIN
Antihistamin adalah obat dengan efek antagonis terhadap histamin. Di pasaran banyak
dijumpai berbagai jenis antihistamin dengan berbagai macam indikasinya. Antihistamin terutama
dipergunakan untuk terapi simtomatik terhadap reaksi alergi atau keadaan lain yang disertai
pelepasan histamin berlebih. Penggunaan antihistamin secara rasional perlu dipelajari untuk lebih
menjelaskan perannya dalam terapi karena pada saat ini banyak antihistamin generasi baru yang
diajukan sebagai obat yang banyak menjanjikan keuntungan.
Pada garis besarnya antihistamin dibagi dalam 2 golongan besar, yang menghambat reseptor
H1 dan yang menghambat reseptor H2. Yang lazim disebut antihistamin adalah antagonis reseptor
histamin H1 (AH1). Semua kelas antihistamin H1 struktur kimianya menyerupai histamin.
Antihistamin H1 dikelompokkan dalam AH1 tradisional atau konvensional (generasi I), dan AH1
non-sedatif (generasi I). Mereka dibagi dalam beberapa subkelas.
EtilendiaminAntazolin, tripelanamin, pirilamin.
EtanolaminKarbinoksamin, difenhidramin, doksilamin.
AlkilaminKlorfeniramin, deksklorfeniramin, dimetinden, feniramin.
PiperazinSetirizin, homoklorsiklizin, hidroksizin, oksatomid.
PiperidinSiproheptadin.
FenotiasinPrometasin.
Lain-LainAkrivastin, astemizol, azatadin, klemastin, levokobastin, loratadin, mebhidrolin,
terfenadin, ketotifen.
Yang termasuk golongan antihistamin generasi baru adalah setirizin, akrivastin, astemizol,
Mekanisme kerja Antihistamin bekerja dengan cara kompetisi dengan histamin untuk suatu
reseptor yang spesifik pada permukaan sel. Hampir semua AH1 mempunyai kemampuan yang
sama dalam memblok histamin. Pemilihan antihistamin terutama adalah berkenaan dengan efek
sampingnya. Antihistamin juga lebih baik sebagai pengobatan profilaksis daripada untuk
mengatasi serangan. Mula kerja AH1 nonsedatif relatif lebih lambat; afinitas terhadap reseptor AH1
lebih kuat dan masa kerjanya lebih lama. Astemizol, loratadin dan setirizin merupakan preparat
dengan masa kerja lama sehingga cukup diberi 1 kali sehari. Beberapa jenis AH1 golongan baru
dan ketotifen dapat menstabilkan sel mast sehingga dapat mencegah pelepasan histamin dan
mediator kimia lainnya; juga ada yang menunjukkan penghambatan terhadap ekspresi molekul
adhesi (ICAM-1) dan penghambatan adhesi antara eosinofil dan neutrofil pada sel endotel. Oleh
karena dapat mencegah pelepasan mediator kimia dari sel mast, maka ketotifen dan beberapa
jenis AH1 generasi baru dapat digunakan sebagai terapi profilaksis yang lebih kuat untuk reaksi
alergi yang bersifat kronik.
Penggunaan klinis Antihistamin adalah obat yang paling banyak dipakai sebagai terapi
simtomatik untuk reaksi alergi yang terjadi. Semua jenis antihistamin sangat mirip aktivitas
farmakologinya. Pemilihan antihistamin terutama terhadap efek sampingnya dan bersifat
individual. Pada seorang pasien yang memberikan hasil kurang memuaskan dengan satu jenis
antihistamin dapat ditukar dengan jenis lain, terutama dari subkelas yang berbeda
Mengantuk Antihistamin termasuk dalam golongan obat yang sangat aman pemakaiannya.
Efek samping yang sering terjadi adalah rasa mengantuk dan gangguan kesadaran yang ringan
(somnolen).
Efek antikolinergikPada pasien yang sensitif atau kalau diberikan dalam dosis besar.
Eksitasi, kegelisahan, mulut kering, palpitasi dan retensi urin dapat terjadi. Pada pasien dengan
gangguan saraf pusat dapat terjadi kejang.
DiskrasiaMeskipun efek samping ini jarang, tetapi kadang-kadang dapat menimbulkan
OBAT ADRENERGIK
Obat ini disebut juga golongan simpatomimetik amin. Efeknya paling sedikit melalui 2 sistem yang berbeda. Reseptor
adrenergik berperan dalam konstriksi otot polos arteri, vena, bronkus, sfingter kandung kencing serta relaksasi otot
usus halus. Reseptor adrenergik berperan sebaliknya dalam relasaksi otot polos bronkus, uterus, dan pembuluh
darah. Konsep adrenergik telah membedakan agonis 1 yang menimbulkan lipolisis dan stimulasi jantung serta
agonis 2 yang berperan pada bronkodilatasi, vasodilatasi, inhibisi pelepasan histamin, tremor otot rangka.
Agonis Adrenergik Obat ini terutama dipakai sebagai dekongestan hidung karena efek
vasokonstriksinya pada arteriol mukosa hidung yang melebar sehinga memperbaiki ventilasi nasal
dan jalan sinus. Dekongestan hidung hanya memperbaiki gejala sementara pada rinitis alergik,
vasomotor atau infeksi. Efeknya dapat membantu kerja antibiotik pada otitis media. Indikasi lain
adalah pada otitis media serosa untuk menghilangkan obstruksi pada ostia tuba Eustachii. Pada
waktu akut diberikan dalam bentuk dekongestan topikal (uap, semprotan, atau tetes); lebih efektif
darpada preparat oral. Diberikan tidak lebih dari lima hari. Pada keadaan yang kronis diberikan
preparat oral, karena pemberian topikal lebih dari lima hari sel menimbulkan efek kebalikan.
METILXANTIN
Teofilin merupakan salah satu obat utama untuk pengobatan asma akut maupun kronik.
Bekerja dengan menghalangi kerja enzim fosfodiesterase sehingga menghindari perusakan cAMP
dalam sel, antagonis adenosin, stimulasi pelepasan katekolamin dari medula adrenal, mengurang;
konsentrasi Ca bebas di otot polos, menghalangi pembentukan prostaglandin, dan memperbaiki
kontraktilitas diafragma. Preparat cair diserap kurang lebih l/2 sampai 1 jam, tablet yang tak
berlapis 2 jam, dan preparat lepas lambat 4 sampai 6 jam.Teofilin dieliminasi dalam hati dan
disekresi dalam urin. Terdapat variasi individual dalam eliminasi teofilin. Harus diperhatikan umur
dan gemuknya seseorang.
Dosis oral. Oleh karena terdapat variasi antara setiap individu maka dosis harus disesuaikan
dengan melihat perbaikan klinis, efek samping, dan kadar pemeliharaan dalam darah antara 10-20
g/ml. Dosis permulaan yang umum antara 10-16 mg/kgBB/hari, bilamana dosis akan ditingkatkan
maka perlu monitorkadar teofilin dalam plasma. Untuk preparat lepas lambat dosis seharinya lebih
rendah dari preparat biasa Bila tampak tanda intoksikasi maka dosis harus segera diturunkan.
Dosis intravena. Tujuan utama pemberian teofilin intravena adalah untuk secara cepat
mendapatkan kadar dalam plasma antara 10-20 sel/ml. Bila pasien belum mendapat teofilin
sebelumnya, diberikan loading dose 6 mg/kgBB selama 20-30 menit melaui infus, selanjutnya
diteruskan dengan dosis pemeliharaan.
Terdapat beberapa jenis preparat teofilin, yaitu dalam bentuk sirop yang bekerja cepat, tablet,
kapsul, tablet lepas lambat, dan kombinasi teofilin dengan obat lainnya. Dalam memilih preparat
yang akan dipakai, pertimbangkan hal seperti berikut. Adanya alkohol dalam sirop dapat
mengakibatkan efek samping bila dipakai terus-menerus, jadi preparat ini sebaiknya hanya dipakai
sebagai terapi permulaan untuk mengatasi keadaan akut. Hindari kombinasi teofilin dengan obat
lain dalam satu preparat karena preparat jenis ini sering terjadi efek samping. Preparat lepas
lambat sangat berguna untuk pengobatan asma kronik sebab dapat diberikan dosis dua kali sehari
sehingga meningkatkan kepatuhan pasien.
Reaksi yang merugikan mulai timbul bila dosis teofilin dalam darah telah melebihi 15 g/ml.
Efek samping yang sering terjadi adalah muntah dan gangguan saraf pusat.
NATRIUM KROMOLAT
Obat ini mampu menghambat pelepasan mediator dari sel mast dan basofil sehingga alergen
yang masuk ke dalam badan tidak lagi menimbulkan reaksi alergi. Diperlukan waktu 2-3 bulan
untuk evaluasi efek natrium kromolat. Telah dilaporkan bahwa pada waktu penghirupan obat ini
dapat terjadi bronkokonstriksi, oleh karena itu dianjurkan untuk memakai inhalasi 2 terlebih
dahulu sebelum penggunaan obat ini.
Indikasi adalah untuk asma, rinitis alergik, konjungtivitis alergik, alergi makanan, ulserasi
mukosa (protokolitis, sariawan). Untuk rinitis alergik diberikan dalam bentuk tetes hidung, untuk
konyungtivitis alergik dalam bentuk tetes mata, dan untuk alergi makanan diberikan peroral 30
menit sebelum makan.
OBAT ANTIKOLINERGIK
Asetilkolin berperan dalam bronkospasme. Atropin sulfat, beladona, dan skopolamin efektif
untuk mencegah bronkospame oleh metakolin, tetapi tidak untuk bronkospasme oleh histamin.
Pada mulanya pemakaian aerosol atropin sangat terbatas oleh karena efek samping seperti
peninggian viskositas dan menurunnya jumlah sputum, orofaring jadi kering, denyut jantung
meningkat, sedasi, dan gangguan visus. Tetapi dengan preparat baru (ipratropium bromide) yang
dapat mengurangi efek samping tersebut maka obat ini mulai banyak lagi dipakai, terutama untuk
orang dewasa yang menderita asma intrinsik atau asma bronkitis yang bronkospasmenya
dipengaruhi oleh asetilkolin.
KORTIKOSTEROID
Kortikosteroid dikenal mempunyai efek yang kuat sebagai anti-inflamasi pada penyakit artritis
reumatoid, asma berat, asma kronik, penyakit inflamasi kronik dan berbagai kelainan imunologik.
Oleh karena efek anti inflamasi dan sebagai immunoregulator, kortikosteroid memegang peranan
penting pada pengobatan medikamentosa penyakit alergi baik yang akut maupun kronik. Tetapi di
samping manfaatnya, karena efek sampingnya yang banyak juga menyebabkan penggunaan
kortikosteroid ini harus tepat guna dan tepat cara.
Kortikosteroid alamiah dan buatan secara garis besar terbagi dalam mineralokortikoid dan
glukokortikoid. Walaupun pada saat ini pada preparat yang baru semakin diusahakan untuk hanya
mempunyai efek glukokortikoid, tetap masih mempunyai efek minerelokortikoid walaupun sedikit.
Walaupun tampaknya ada bermacam efek pada fungsi fisiologik, kortikosteroid tampaknya
mempengaruhi produksi protein tertentu dari sel. Molekul steroid memasuki sel dan berikatan
dengan protein spesifik dalam sitoplasma. Kompleks yang terjadi dibawa ke dalam nukleus, lalu
menimbulkan terbentuknya mRNA yang kemudian dikembalikan ke dalam sitoplasma untuk
membantu pembentukan protein baru, terutama enzim, sehingga melalui jalan ini kortikosteroid
dapat mempengaruhi berbagai proses. Kortikosteroid juga mempunyai efek terhadap eosinofil,
mengurangi jumlah dan menghalangi terhadap stimulus. Pada pemakaian topikal juga dapat
mengurangi jumlah sel mast di mukosa. Kortikosteroid juga bekerja sinergistik dengan agonis 2
dalam menaikkan kadar cAMP dalam sel.
Indikasi utama adalah untuk reaksi alergi akut berat yang dapat membahayakan kehidupan,
seperti status asmatikus, anafilaksis, dan dermalitis exfoliativa. Selain itu, juga untuk reaksi alergi
berat yang tidak membahayakan kehidupan tetapi sangat mengganggu, misalnya dermatitis
kontak berat, serum sickness, dan asma akut yang berat. Indikasi lain adalah untuk penyakit alergi
kronik berat sambil menunggu hasil pengobatan konvensional, atau untuk mengatasi keadaan
eksaserbasi akut pada pasien yang memakai kortikosteroid dosis rendah jangka panjang, harus
dinaikkan dosisnya bila terjadi eksaserbasi.
TBC
Oral antihistamin
Antihistamin diklasifikasikan dalam beberapa cara, termasuk penenang dan
nonsedating, lebih baru dan lebih tua, dan pertama-dan antihistamin
generasi kedua (paling banyak diterima klasifikasi). Antihistamin generasi
pertama terutama atas meja dan termasuk dalam produk kombinasi banyak
batuk, pilek, dan alergi. Ini termasuk brompheniramine, chlorpheniramine
Ciclesonide (Omnaris)
Kortikosteroid nasal spray diindikasikan untuk AR. Prodrug yang
dihidrolisis secara enzimatik farmakologis metabolit aktif aplikasi C21-
Flunisolide (AeroBid)
Dapat menurunkan jumlah dan aktivitas sel-sel inflamasi, yang
mengakibatkan peradangan hidung menurun.
Mometasone (NASONEX)
Dapat menurunkan jumlah dan aktivitas sel-sel inflamasi, yang
mengakibatkan peradangan hidung menurun. Menunjukkan tidak ada,
mineralokortikoid androgenik, aktivitas antiandrogenic, atau estrogenik
dalam uji praklinis. Mengurangi rhinovirus-diinduksi up-regulasi pada sel
epitel pernapasan dan memodulasi mekanisme pretranscriptional.
Mengurangi eosinofilia intraepithelial dan infiltrasi sel inflamasi
(misalnya, eosinofil, limfosit, monosit, neutrofil, sel plasma).
Intranasal dekongestan
Dekongestan yang efektif untuk jangka pendek kontrol gejala. Mereka
menurunkan debit hidung dan kemacetan dan tersedia tanpa resep. The 2
obat dalam kelompok ini adalah hidroklorida oxymetazoline (Afrin) dan
ipratropium bromide (Atrovent). Hidroklorida oxymetazoline adalah obat
adiktif yang efektif dalam menyusut membran hidung dan tidak
Antileukotrienes
Montelukast telah disetujui sebagai monoterapi untuk rhinitis alergi. Telah
terbukti paling efektif pada pasien yang signifikan kemacetan adalah keluhan
utama. Ini juga telah terbukti bekerja sebagai terapi tambahan dengan hadir
antihistamin generasi kedua untuk memberikan bantuan lebih besar dari
gejala dibandingkan antihistamin saja. Hal ini bermanfaat pada pasien
dengan gejala pada siapa antihistamin hadir tidak memadai. Sebuah studi
Montelukast (Singulair)
Menghambat saluran napas cysteinyl reseptor leukotriene. Karena
reseptor yang ditemukan di seluruh jalan napas, obat dapat memediasi
efek pada saluran napas atas dan bawah.