Anda di halaman 1dari 4

Misi Kenabian dalam Lembaran Hadis

Oleh: Ustadz Faqihuddin Abdul Kodir, MA

Tepat pada umur 40 tahun, Muhammad bin Abdullah, suami dari Siti Khadijah, menerima
tugas kenabian yang harus disampaikan ke seluruh umat manusia. Tugas yang tentu saja tidak
mudah, sehingga Nabi Muhammad SAW sendiri pada awalnya sempat ragu, apakah benar yang
diterima adalah wahyu, dan apakah juga merupakan pengangkatan sebagai Nabi (yang
menerima wahyu) dan Rasul (yang diutus menyampaikan misi). Tetapi sang pendamping Siti
Khadijah, yang teguh hati, menenangkan, menentramkan, menguatkan dan memastikan bahwa
yang diterima benar wahyu dan baginda benar-benar diangkat menjadi Nabi dan Rasul.

Kita membaca salah satu dialog yang terjadi antara Nabi Muhammad SAW dan Siti Khadijah RA,
pada awal penerimaan wahyu. Nabi Muhammad SAW pernah berkeluh kesah dan berkata pada
Khadijah RA: “Wahai Khadijah, tidak ada sesuatu yang paling aku benci kecuali berhala dan para
peramal itu, aku khawatir aku akan diangkat menjadi peramal”. “Tidak”, kata Khadijah. “Demi
Allah, Dia tidak akan menghinamu, karena kamu adalah orang yang baik terhadap keluarga, suka
menjamu tamu, berani mengambil tanggung jawab besar, memberi orang yang kekurangan, dan
membantu orang-orang kesusahan. Kamu memiliki banyak sifat-sifat yang baik, yang dengan itu,
kamu sama sekali tidak akan didatangi setan”, sambung Khadijah. (Amin Duwaidar, Shuwarun
min Hayat ar-Rasul, hal. 123). (Teks hadis diriwayatkan Imam Bukhari, lihat pada Kitab Nikâh,
bab Man Qâla Lâ Nikâha illâ bi-Waliyyin).

Pada kesempatan lain, Siti Khadijah memastikan dan meyakinkan: “Tenanglah wahai anak
pamanku, dan tabahlah. Demi Dzat yang menguasai Khadijah, aku yakin kamu terpilih menjadi
Nabi bagi umat ini”. (Ibn Hisyam, As-Sirah an-Nabawiyyah, I/191). Khadijah RA pun kemudian
menenangkan Nabi SAW, dengan membawa beliau bertemu Pendeta Waraqah bin Nawfal, yang
bisa meyakinkan bahwa yang ditemui Nabi SAW adalah benar Malaikat Jibril seperti yang juga
datang kepada Nabi Musa AS.

Kekhawatiran Nabi ini mungkin muncul karena kebesaran misi kenabian yang harus diemban.
Misi untuk melakukan perubahan besar pada kehidupan manusia, yang dalam bahasa al-Qur’an
dilukiskan sebagai misi ‘yukhrijuhum min azh-zhulumât ilâ an-nûr’ atau mengeluarkan manusia
dari kehidupan yang penuh kegelapan menuju kehidupan yang penuh cahaya. Dari kegelapan
kemusyrikkan dan kezaliman, menuju cahaya ketauhidan dan keadilan. Dari kegelapan karena
kerusakan dan kekerasan, menuju cahaya kebaikan dan kasih sayang.

“Alif Lâm Râ, (ini) adalah kitab yang Kami turunkan kepadamu, agar kamu (dapat) mengeluarkan
manusia dari kegelapan menuju cahaya, dengan izin Tuhanmu, yaitu ke jalan (Tuhan) Yang
Maha Agung dan Amat Terpuji”. (QS. Ibrahim, 14: 1).

Lebih tegas lagi, misi kenabian itu dilukiskan al-Qur’an surat al-A’râf ayat ke-157:
“Mereka orang-orang yang mengikuti Nabi yang buta huruf, mereka temukan namanya tertulis
dalam Kitab Taurat dan Injil, (misinya) menyeru mereka pada kebaikan, melarang kemungkaran,
menghalalkan sesuatu yang baik bagi mereka, mengharamkan mereka (mengkonsumsi) sesuatu
yang kotor, melepaskan mereka dari beban berat dan belenggu-belenggu yang (menggelayuti)
mereka”. (QS. Al-A’râf, 7: 157).

Ini tentu saja, bukan misi yang ringan dan mudah. Hanya karena taufiq dan ma’unah
(pertolongan) dari Allah SWT, serta keteguhan hati dan kekuatan moralitas Nabi SAW, yang
membuat misi itu bisa diselesaikan dalam jangka waktu yang tidak begitu lama, 23 tahun. Tidak
heran, sehingga saat sebelum Nabi SAW wafat, turunlah ayat “al-yawma akmaltu lakum dînakum
wa atmamtu ‘alaikum ni’matî wa radhitu lakum al-islâma dînan” (Pada hari ini, telah Aku
lengkapkan agamamu, dan Aku sempurnakan nikmatku kepadamu, dan Aku rela Islam sebagai
agamamu).
Tentu saja, kesempurnaan yang dimaksud adalah dalam hal prinsip untuk menegaskan
ketauhidan dan keadilan, serta menegasikan kemusyrikan dan kezaliman. Karena dalam tataran
praktis, ayat ‘kesempurnaan’ ini bukan ayat terakhir. Masih ada jeda waktu enam bulan paska
turunnya ayat ini. Di mana Nabi SAW - pun, masih menerima wahyu ayat-ayat al-Qur’an. Di
samping kesempurnaan al-Qur’an juga masih harus dijelaskan dengan teks-teks hadis, ijma’,
qiyas, kajian bahasa dan pendekatan-pendekatan ijtihad yang lain.

Misi Kenabian dalam Teks Hadis


Jika bicara misi kenabian dalam teks hadis, hampir ingatan orang tertuju pada sebuah hadis yang
sangat terkenal: “Bu’itstu li-utammima makârim al-akhlâq” (Bahwa aku diutus (ke dunia ini), untuk
menyempurnakan (misi) akhlaq mulia). Tetapi tidak semua orang tahu persis makna akhlak yang
dimaksud. Hampir kebanyakan orang memaknai akhlak hanya sebatas sopan santun, adab, dan
tata krama. Atau memaknai dengan cara makan, cara berpakaian, cara berjalan, atau berbicara.
Padahal, akhlaq lebih dasar dari itu. Dalam kamus Lisân al-‘Arab, kata akhlaq berasal dari al-
khuluq, yang masih satu dasar dengan al-khalq. Akhlaq berarti sesuatu yang alami dan melekat
dalam kepribadian seseorang (as-sajiyyah). Kalau al-khalq berarti penciptaan yang bersifat fisik
pada diri seseorang, maka al-khuluq adalah penciptaan (yang melekat) yang bersifat non-fisik
pada seseorang. Secara lebih sederhana, akhlaq bisa didefinisikan sebagai sesuatu yang
melekat pada setiap orang secara mendasar. Akhlaq baik, ketika membuat seseorang yang
memilikinya terhormat sebagai manusia. Sedangkan akhlaq buruk, ketika sebaliknya hanya
menistakan orang sekitar dan membuat dirinya tidak lagi terhormat sebagai manusia.

Redaksi hadis di atas, yang lebih tepat, seperti dituturkan Ibn al-Atsir dalam Jâmi’ al-Ushûl adalah
sebagai berikut:

Dari Malik bin Anas ra, disampaikan kepadanya bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Aku diutus
untuk menyempurnakan akhlaq yang baik/bu’itstu li utammima husn al-akhlâq”. (Riwayat Imam
Malik dalam al-Muwaththa`, lihat; Ibn al-Atsîr, Jâmi’ al-Ushûl, jilid IV, hal. 413, no. hadis: 1974).
Kebaikan akhlaq adalah misi utama kenabian yang diemban Rasulullah SAW.

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai akhlaq yang baik; posisi dan definisinya dalam Islam,
kita bisa lebih lanjut membaca seluruh teks hadis yang dihadirkan Ibn al-Atsîr dalam kitab Jâmi’
al-Ushûl tersebut.

Akhlaq baik adalah pangkal kebaikan dan pahala (al-birr), sebaliknya akhlaq buruk adalah
pangkal kejahatan dan dosa (al-itsm). Sahabat Nawas bin Sam’an pernah bertanya kepada
Rasulullah SAW mengenai kebaikan (al-birr) dan dosa (al-itsm). Nabi Saw menjawab: “Perbuatan
al-birr adalah akhlaq yang baik, dan perbuatan dosa adalah sesuatu yang di dadamu terasa ragu
dan karenanya kamu tidak suka dilihat orang lain”. (Riwayat Muslim dan Turmudzi, Ibid, jilid IV,
hal. 416, no. hadis: 1980).

Akhlaq baik merupakan wasiat Nabi SAW yang paling akhir sekali disampaikan terhadap Mu’adz
bin Jabal RA. (lihat: Ibid, no. hadis: 1973). Juga, sebagai sesuatu yang paling memberatkan
timbangan amal, kelak di hari kiamat. Sahabat Abu Darda RA., mendengar dari Rasulullah SAW
bersabda: “Bahwa tidak ada sesuatu yang paling memberatkan timbangan seorang mukmin di
hari kiamat, kecuali akhlaq yang baik. Dan Allah membenci orang yang buruk perangai, kotor
perilaku dan kasar”. “Bahwa orang yang berakhlaq mulia, bisa sederajat dengan mereka yang
tekun berpuasa dan shalat”. (lihat: Ibid, no. hadis: 1976).

Dari Jabir bin Abdillah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang aku cintai, paling
dekat denganku kelak di hari kiamat, adalah mereka yang berakhlaq baik. Dan orang yang paling
aku benci dan kelak paling jauh denganku di hari kiamat, adalah mereka yang keras, kasar, dan
sombong”. (Lihta: Ibid, no. hadis: 1979).

Dengan demikian, misi kenabian bagi kemanusiaan adalah bagaimana menciptakan kehidupan
yang penuh kasih sayang, tanpa kekerasan, kekasaran dan kesombongan. Dalam salah satu
teks hadis lain, lebih tegas disebutkan: “Sesungguhnya, aku hanyalah diutus untuk menebar
kasih sayang, dan tidak untuk pelaknatan”. (Riwayat Imam Muslim, lihat: Ibid, jilid XI, hal. 324, no.
hadis: 8401).

Akhlaq dan Misi Keadilan bagi Perempuan


Masih dalam lembaran bab yang sama, Ibn al-Atsîr menyitir dua teks hadis mengenai akhlaq
terhadap perempuan (istri), sebagai implementasi dari misi kenabian untuk menebar akhlaq
mulia. Pertama, yang diriwayatkan Aisyah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya, orang yang paling sempurna keimanannya, adalah orang yang paling baik
akhlaqnya, dan yang paling ramah terhadap istrinya”. (lihat: Ibid, jilid IV, hal. 414, no. hadis:
1976). Kedua, yang diriwayatkan Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Orang-
orang beriman yang paling sempurna, adalah mereka yang paling baik berakhlaq, dan orang
yang paling baik (dari semua itu), adalah mereka yang paling baik terhadap istrinya”. (lihat: Ibid,
no. hadis 1977).

Berbuat baik terhadap perempuan, atau istri, adalah dengan menempatkan mereka sebagai
manusia yang sederajat, yang memiliki hak, perasaan, dan harapan sebagai manusia.
Memberikan peluang dan kesempatan yang cukup, agar mereka menjadi manusia terhormat,
sehingga tidak dijadikan sebagai obyek kekerasan dan pelecehan oleh individu maupun sistem
sosial. Ketika mereka melakukan tuntutan keadilan, maka semua sistem harus memberikan
peluang agar tuntutan itu bisa dipenuhi. Banyak peristiwa dalam teks-teks hadis, yang
mendiskripsikan kepada kita, bagaimana perempuan melakukan tuntutan atas tindakan-tindakan
yang menimpa diri mereka. Termasuk yang dilakukan para suami mereka, atau keluarga mereka.
Mereka tidak segan datang kepada Nabi SAW, menceritakan dan melaporkan, bahkan
melakukan tuntutan.

Adalah Khansa bint Khidam RA, yang datang ke Rasulullah SAW melaporkan tindakan ayahnya
yang menikahkan dirinya dengan orang yang tidak ia cintai. Nabi SAW kemudian menyatakan
kepada Khansa RA: “Kamu yang berhak untuk menikah dengan seseorang yang kamu
kehendaki”. Khansa pun pada akhirnya kawin dengan laki-laki pilihannya Abu Lubabah bin Abd
al-Mundzir RA. Dari perkawinan ini ia dikarunia anak bernama Saib bin Abu Lubabah. (Lihat: az-
Zayla’i, Nashb ar-Râyah Takhrîj Ahâdîts al-Hidâyah, , juz III, hal. 237).

Hampir semua pengkaji Islam mendengar hadis khulu’. Yaitu, kisah perempuan yang sudah tidak
bisa lagi hidup dengan suaminya, sekalipun suaminya baik dan taat beragama. Kemudian Nabi
SAW memberi pilihan itu (khulu’) kepada perempuan, dengan syarat ia mengembalikan mahar
yang diberikan oleh sang suami. Dan Nabi pun tidak melecehkan perempuan, tidak juga
menganggap sebagai perempuan tak berbakti, atau menyalahkan karena melaporkan keadaan
rumah tangga yang seharusnya (secara umum) ditutup rapat-rapat.

Adalah Jamilah RA, istri Tsabit bin Qays RA, yang bertandang kepada Rasulullah SAW dan
berkata: “Wahai Rasul, aku tidak merendahkan akhlaq dan ketakwaan suamiku, tetapi aku tidak
ingin melakukan kekufuran (karena serumah dengannya)”. Nabi SAW lalu bertanya: “Kamu mau
mengembalikan kebun yang ia berikan kepadamu?. “Ya, aku mau”, kata Jamilah. Lalu Nabi SAW
berkata kepada suaminya, Tsabit bin Qays RA, “Terimalah kebun itu, dan ceraikan dia”. (Riwayat
al-Bukhari, lihat: Subulussalam, III/166).

Asbabunnuzûl ayat ke-34 dari surat an-Nisa, hampir diketahui semua pengkaji Islam, bahwa ada
seorang perempuan yang melaporkan kekerasan yang dilakukan suaminya terhadap dirinya.
Nabi SAW mendengar laporan itu, menerima dan bermaksud membalaskan untuknya, tetapi ayat
al-Qur’an berbicara lain. Pada akhirnya, Nabi SAW tetap membela si perempuan dan
menyatakan untuk tidak memukul perempuan. Dalam suatu teks hadis, bahkan disebutkan
bahwa mereka yang masih suka memukul perempuan adalah bukan orang-orang yang baik.
(Lihat: Jâmi’ al-Ushûl, juz VII, hal. 330, no. hadis: 4719).
Pelajaran yang bisa dipetik di sini, bahwa misi utama kenabian adalah ketauhidan dan keadilan.
Untuk konteks kemanusiaan, misi kenabian adalah menghidupkan akhlaq mulia. Karenanya,
siapapun, laki-laki atau perempuan berkewajiban menegakkan akhlaq mulia, dengan
memuliakan, menghormati dan berbuat baik terhadap semua manusia, bahkan kepada seluruh
makhluk di muka bumi ini. Pada saat yang sama, setiap orang berhak untuk menuntut keadilan.
Terutama ketika mereka menjadi korban kekerasan, baik dari individu maupun dari sistim sosial
yang tidak bersahabat. Tuntutan ini tentu saja, agar setiap orang di muka bumi menjadi orang
yang terhormat, bertanggung jawab, memiliki hak dan kewajiban secara manusiawi dan terbebas
dari segala bentuk kezaliman dan penistaan. Wallahu a’lam bi ash-shawâb.]

Rahima Jl. Pancoran Timur IIA No. 10 Perdatam Pasar Minggu Jakarta Selatan
Telp./Fax. +62.21. 798 4165 e-mail: rahima2000@cbn.net.id CopyRight © Rahima 2001
http://www.rahima.or.id/SR/18-06/Dirasah.htm

Anda mungkin juga menyukai