Anda di halaman 1dari 24

BAB II

PERANAN NANO PARTIKEL PERAK DALAM MENCEGAH PENULARAN


HIV/AIDS DITINJAU DARI KEDOKTERAN

2.1. HIV/AIDS
2.1.1. ETIOPATOGENESIS
HIV merupakan virus RNA berbentuk sferis yang termasuk retrovirus famili
Lentivirus. Secara morfologik, virus ini berbentuk bulat, terdiri dari bagian inti (core) yang
berbentuk silindris dan selubung (envelope) yang berstruktur lipid bilayer yang membungkus
bagian core, dimana didalam core terdapat RNA virus. Karena informasi genetik virus ini
berupa RNA, maka virus ini harus mentransfer informasi genetiknya yang berupa RNA
menjadi DNA sebelum diterjemahkan menjadi protein-protein. Dan untuk tujuan ini HIV
memerlukan enzim reverse transkriptase (Parwati,2006)
Pada envelope terdapat glikoprotein permukaan, terdiri dari dua protein yang
mengkordinasi masuknya HIV kedalam sel. Glikoprotein yang lebih besar dinamakan gp 120,
adalah komponen yang menspesifikasi sel yang diinfeksi. Glikoprotein gp 120 terutama akan
berikatan dengan reseptor CD4, yaitu suatu reseptor yang terdapat pada permukaan sel T
helper, makrofag, monosit, sel-sel langerhans pada kulit, sel-sel glial, dan epitel usus.
Glikoprotein ini merupakan target utama dari respon imun terhadap berbagai sel yang
terinfeksi. Glikoprotein yang lebih kecil, dinamai gp 41 atau disebut juga protein
transmembran, dapat bekerja sebagai protein fusi yaitu protein yang dapat berikatan dengan
reseptor sel lain yang berdekatan sehingga sel-sel yang berdekatan tersebut bersatu
membentuk sinsitium (Djauzi,2003)
Gambar 1: struktur virus HIV-1

Sumber : Fauci AS at al, 2005

HIV memiliki target utama yaitu sel limfosit T4 dengan reseptor CD4. Setelah masuk
dalam tubuh, HIV akan menempel pada sel yang mempunyai molekul CD4 pada
permukaannya. Molekul CD4 ini mempunyai afinitas tinggi terhadap HIV, terutama terhadap
molekul gp 120 dari selubung virus. Diantara sel tubuh yang memiliki CD4, sel limfosit T
memiliki molekul CD4 yang paling banyak. Oleh karena itu, infeksi HIV dimulai dengan
penempelan virus pada limfosit T. Setelah penempelan, terjadi diskontinuitas dari membran
sel limfosit T yang disebabkan oleh protein gp41 dari HIV, sehingga seluruh komponen virus
harus masuk ke dalam sitoplasma sel limfosit-T, kecuali selubungnya (Parwati,2006).
Setelah masuk dalam sel, akan dihasilkan enzim reverse transcriptase. Dengan
bantuan enzim reverse transcriptase, RNA virus akan diubah menjadi DNA. Karena reverse
transcriptase tidak mempunyai mekanisme proofreading (mekanisme baca ulang DNA)
maka terjadi mutasi yang tinggi dalam proses penerjemahan RNA menjadi DNA ini.
Dikombinasi dengan tingkat reproduktif virus yang tinggi, mutasi ini menyebabkan HIV
cepat mengalami evolusi dan sering terjadi resistensi terhadap pengobatan (Sylvia,2005).
Bersamaan dengan enzim reverse trancriptase, akan dibentuk RNAse. Akibat aktivitas
enzim ini, maka RNA yang asli dihancurkan. Sedangkan seuntai DNA yang tadi telah
terbentuk akan mengalami polimerisasi menjadi dua untai DNA dengan bantuan enzim
polymerase. DNA yang terbentuk ini kemudian pindah dari sitoplasma ke dalam inti sel
limfosit T dan menyisip ke dalam DNA sel penjamu dangan bantuan enzim integrase, dan
DNA ini disebut sebagai provirus. Provirus yang terbentuk ini tinggal dalam keadaan laten
atau dalam keadaan replikasi lambat, tergantung pada aktivitas dan diferensiasi sel penjamu
(T-CD4) yang diinfeksinya, sampai kelak terjadi suatu stimulasi yang dapat memicu DNA ini
untuk keluar dari DNA inang dan menjadi aktif, serta selanjutnya terjadi replikasi dalam
kecepatan tinggi. Keadaan laten ini dapat berlangsung selama 1 sampai 12 tahun dari infeksi
awal HIV dan dalam keadaan ini pasien tidak mempunyai gejala (Sylvia,2005).

Gambar 2 : Visualisasi siklus HIV

2.1.2. CARA PENULARAN

Penularan HIV dapat terjadi melalui hubungan seksual, secara horizontal maupun
vertikal dari ibu ke anak (Murati,1996).
1. Melalui hubungan seksual
Baik secara vaginal, oral ataupun anal dengan seorang pengidap. Ini adalah cara yang
umum terjadi, meliputi 80-90% dari total kasus sedunia. Lebih mudah terjadi penularan bila
terdapat lesi penyakit kelamin dengan ulkus atau peradangan jaringan seperti herpes genitalis,
sifilis, gonore. Resiko pada seks anal lebih besar dibandingkan seks vaginal. Diketahui juga
epitel silindris pada mukosa rektum, mukosa uretra laki-laki dan kanalis servikalis ternyata
mempunyai reseptor CD4 yang merupakan target utama HIV (UNAIDS,2010).
2. Transmisi horizontal (kontak langsung dengan darah/produk darah/jarum suntik):
o Tranfusi darah/produk darah yang tercemar HIV, risikonya sekitar 0,5-1% dan telah
terdapat 5-10% dari total kasus sedunia.
o Pemakaian jarum tidak steril/pemakaian bersama jarum suntik pada para pecandu
narkotik suntik. Resikonya sangat tinggi sampai lebih dari 90%. Ditemukan sekitar 3-5%
dari total kasus sedunia.
o Penularan lewat kecelakaan tertusuk jarum pada petugas kesehatan. Resikonya sekitar
kurang dari 0,5% dan telah terdapat kurang dari 0,1% dari total kasus sedunia
(UNAIDS,2010).
3. Infeksi HIV secara vertikal terjadi pada satu dari tiga periode berikut :

Intra uterin :Terjadi sebelum kelahiran atau pada masa awal kehamilan
sampai trimester kedua, yang mencakup kira-kira 30-50% dari penularan
secara vertikal. Janin dapat terinfeksi melalui transmisi virus lewat plasenta
dan melewati selaput amnion, khususnya bila selaput amnion mengalami
peradangan atau infeksi (Walker,2000)

Intra partum: Transmisi vertikal paling sering terjadi selama persalinan,


kurang lebih 50-60%, dan banyak faktor-faktor mempengaruhi resiko untuk
terinfeksi pada periode ini. Secara umum, semakin lama dan semakin
banyak jumlah kontak neonatus dengan darah ibu dan sekresi serviks dan
vagina, maka semakin besar risiko penularan. Bayi prematur dan BBLR
mempunyai resiko terinfeksi lebih tinggi selama persalinan karena barier

kulitnya yang lebih tipis dan pertahanan imunologis pada mereka lebih
lemah (Walker,2000).

Post partum : Bayi baru lahir terpajan oleh cairan ibu yang terinfeksi dan
bayi dapat tertular melalui pemberian air susu ibu yang terinfeksi HIV kirakira 7-22% (Walker,2000).

2.1.3. DIAGNOSIS
Dari Anamnesis, perlu digali faktor resiko HIV AIDS, Berikut ini
mencantumkan, daftar tilik riwayat penyakit pasien dengan tersangka ODHA .
Tabel 2. Faktor risiko infeksi HIV
-

Penjaja seks laki-laki atau perempuan

Pengguna napza suntik (dahulu atau sekarang)

Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki (LSL) dan transgender (waria)

Pernah berhubungan seks tanpa pelindung dengan penjaja seks komersial

Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)

Pernah mendapatkan transfusi darah atau resipient produk darah

Suntikan, tato, tindik, dengan menggunakan alat non steril.


Sumber : Depkes RI 2007

Table 3: Daftar tilik riwayat pasien

Sumber :Depkes RI 2007

Tabel 4 Daftar tilik pemeriksaan fisik

Sumber :Depkes RI 2007

Pemeriksaan penunjang
Untuk memastikan diagnosis terinfeksi HIV, dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium
yang tepat. Pemeriksaan dapat dilakukan antara lain dengan pemeriksaan antibodi terhadap
HIV, deteksi virus atau komponen virus HIV (umumnya DNA atau RNA virus) di dalam

tubuh yakni melalui pemeriksaan PCR untuk menentukan viral load, dan tes hitung jumlah
limfosit Sedangkan untuk kepentingan surveilans, diagnosis HIV ditegakkan apabila terdapat
infeksi oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm 3 (Tabel 7) . ( Depkes RI,
2007)
Tabel 7. Anjuran pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan pada odha
Tes antibodi terhadap HIV (AI);
Tes Hitung jumlah sel T CD4 T (AI);
HIV RNA plasma (viral load) (AI);
Pemeriksaan darah perifer lengkap, profil kimia, SGOT, SGPT, BUN dan kreatinin, urinalisis, tes
mantux, serologi hepatitis A, B, dan C, anti-Toxoplasma gondii IgG, dan pemeriksaan Pap-smear
pada perempuan (AIII);
Pemeriksaan kadar gula darah puasa dan profil lipid pada pasien dengan risiko penyakit
kardiovaskular dan sebagai penilaian awal sebelum inisasi kombinasi terapi (AIII);
Sumber : Yayasan Spiritia 2006.
Pemeriksaan anti HIV dilakukan setelah dilakukan konseling pra-tes dan biasanya dilakukan
jika ada riwayat perilaku risiko (terutama hubungan seks yang tidak aman atau penggunaan
narkotika suntikan). Tes HIV juga dapat ditawarkan pada mereka dengan infeksi menular
seksual, hamil, mengalami tuberkulosis aktif, serta gejala dan tanda yang mengarah adanya
infeksi HIV. Hasil pemeriksaan pada akhirnya akan diberitahukan, untuk itu, konseling pasca
tes juga diperlukan. Jadi, pemeriksaan HIV sebaiknya dilakukan dengan memenuhi 3C yakni
confidential (rahasia), disertai dengan counselling (konseling), dan hanya dilakukan dengan
informed consent. (Djoerban Z dkk,2006)
Tes penyaring standar anti-HIV menggunakan metode ELISA yang memiliki
sensitivitas tinggi (> 99%). Jika pemeriksaan penyaring ini menyatakan hasil yang reaktif,
maka pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi untuk memastikan
adanya infeksi oleh HIV. Uji konfirmasi yang sering dilakukan saat ini adalah dengan teknik
Western Blot (WB). Hasil tes positif palsu dapat disebabkan adanya otoantibodi, penerima
vaksin HIV, dan kesalahan teknik pemeriksaan. Hasil tes positif pada bayi yang lahir dari ibu
HIV positif belum tentu berarti tertular mengingat adanya IgG terhadap HIV yang berasal
dari darah ibu. IgG ini dapat bertahan selama 18 bulan sehingga pada kondisi ini, tes perlu
diulang pada usia anak > 18 bulan. (Djoerban Z dkk,2006)

Hasil tes dinyatakan positif bila tes penyaring dua kali positif ditambah dengan tes
konfirmasi dengan WB positif. Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia,
pemeriksaan WB masih relatif mahal sehingga tidak mungkin dilakukan secara rutin. WHO
menganjurkan strategi pemeriksaan dengan kombinasi dari pemeriksaan penyaring yang tidak
melibatkan pemeriksaan WB sebagai konfirmasi. Di Indonesia, kombinasi yang digunakan
adalah tiga kali positif pemeriksaan penyaring dengan menggunakan strategi 3. Bila hasil tes
tidak sama missal hasil tes pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan yang ketiga non-reaktif atau
apabila hasil tes pertama reaktif, kedua dan ketiga non-reaktif, maka keadaan ini disebut
sebagai indeterminate dengan catatan orang tersebut memiliki riwayat pajanan atau berisiko
tinggi tertular HIV. Bila orang tersebut tanpa riwayat pajanan atau tidak memiliki risiko
tertular, maka hasil pemeriksaan dilaporkan sebagai non-reaktif. (Djoerban Z dkk,2006).
Table 8 : Algoritma pemeriksaan HIV

Sumber : Depkes,2007

Dicurigai AIDS pada orang dewasa bila ada paling sedikit dua gejala mayor dan satu gejala
minor dan tidak ada sebab-sebab imunosupresi yang lain seperti kanker,malnutrisi berat atau
pemakaian kortikosteroid yang lama.
1.
Gejala Mayor
Penurunan berat badan lebih dari 10%
Diare kronik lebih dari satu bulan
Demam lebih dari satu bulan

2.

Gejala Minor
Batuk lebih dari satu bulan
Dermatitis preuritik umum
Herpes zoster recurrens
Kandidias orofaring
Limfadenopati generalisata
Herpes simplek diseminata yang kronik progresif

Tabel 9. Stadium klinis HIV


Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten
Stadium 2 Sakit ringan
Penurunan BB 5-10%
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku
Stadium 3 Sakit sedang
Penurunan berat badan > 10%
Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)
TB limfadenopati
Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis
(<50.000/ml)
Stadium 4 Sakit berat (AIDS)

Sindroma wasting HIV


Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang
Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.
Kandidosis esophageal
TB Extraparu*
Sarkoma kaposi
Retinitis CMV*
Abses otak Toksoplasmosis*
Encefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus*
Infeksi mikobakteria non-TB meluas
Sumber : Depkes RI, 2007
2.1.4. PENATALAKSANAAN
Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu (Depkes,2007):
a. Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV).
b. Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai
infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, toksoplasmosis, sarkoma
kaposi, limfoma, kanker serviks.
c. Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik dan
pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama serta
juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yang
lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan
kejadian infeksi oportunistik amat berkurang.
Obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakni (Djoerban,2014):

Nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) :


Abacavir (ABC), didanosine (ddI), emtricitabine (FTC), lamivudine (3TC), stavudine
(d4T), zidovudine (AZT) .

Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) :


Efavirenz (EFV), etravirine (ETV), nevirapine (NVP)

Protease inhibitors (PI):


Atazanavir (ATV), ritonavir (RTV), lopinavir (LPV), darunavir (DRV)

Anjuran pemilihan obat ARV lini pertama (Depkes,2011):

Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 (bila
tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut adalah untuk
menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi antiretroviral atau belum.
Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai terapi ARV pada ODHA dewasa
(Dzoerban,2014):
a. Tidak tersedia pemeriksaan CD4 (Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka
penentuan mulai terapi ARV adalah didasarkan pada penilaian klinis.)
b. Tersedia pemeriksaan CD4
Rekomendasi (Depkes,2011):
1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 < 350 sel/mm3 tanpa

memandang stadium klinisnya.


2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan koinfeksi
Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.

Panduan obat ARV yang tidak dianjurkan (Depkes,2011):

J
J
2.1.5. PENCEGAHAN
Pencegahan Penularan HIV (Djoerban,2014) :
1. Ubah perilaku seks bebas berganti-ganti pasangan
2. Gunakan kondom

3. Konsultasi dan tes HIV


4. Kewaspadaan universal standart
5. Hindari penggunaan jarum suntik bersama
6. Pencegahan khusus bagi ibu ODHA :
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Cegah kehamilan yang tidak diinginkan


Tunda kehamilan berikutnya
Penggunaan ART selama kehamilan
Penggunaan ART saat persalinan dan bayi yang baru dilahirkan
Penanganan obstetrik selama persalinan
Penatalaksanaan saat menyusui

Kebijakan-Kebijakan, terkait dengan Penanggulangan IMS, HIV dan AIDS


Pemerintah memilki kebijakan dan program-program terkait dengan penanggulangan
HIV/AIDS, yang bertujuan untuk mencegah dan mengurangi penularan HIV, meningkatkan
kualitas hidup ODHA serta mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat HIV/AIDS pada
individu, keluargadan masyarakat (Depkes,2009).
Kegiatan Teknis Program (Depkes,2009):
1. Intervensi Perubahan Perilaku.
2. Konseling dan Tes HIV.
3. Perawatan, Dukungan dan Pengobatan.
4. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak.
5. Pengendalian IMS.
6. Pengurangan Dampak Buruk NAPZA Suntik.
7. Kolaborasi TB-HIV.
8. Kewaspadaan Universal.
9. Pengamanan Darah.
Diantara kebijakan umum yang mendukung Pelaksanaan Program Intervensi
Perubahan Perilaku dalam Pencegahan IMS dan HIV Melalui Hubungan Seksual
adalah(Depkes,2009) :
1. Upaya pengendalian HIV dan AIDS diutamakan pada kelompok masyarakat berperilaku
risiko tinggi tetapi harus memperhatikan kelompok masyarakat yang rawan, termasuk yang
berkaitan dengan pekerjaannya dan kelompok marjinal terhadap penularan HIV dan AIDS.
2. Upaya pencegahan yang efektif termasuk pengendalian IMS pada sub populasi berisiko
tertentu dan promosi alat/jarum suntik steril serta terapi rumatan metadon bertujuan untuk
memutus rantai penularan HIV. Pelaksanaan kegiatan program pengendalian IMS, HIV dan
AIDS menggunakan standar, pedoman dan petunjuk teknis yang diberlakukan Departemen
Kesehatan.
4. Layanan kesehatan terkait IMS, HIV dan AIDS tanpa diskriminasi dan menerapkan prinsip
keberpihakan kepada pasien dan masyarakat ( patient and community centered).
5. Upaya pengendalian HIV dan AIDS harus menghormati harkat dan martabat manusia serta
memperhatikan keadilan dan kesetaraan jender.
6. Upaya pencegahan HIV dan AIDS pada anak sekolah, remaja dan masyarakat umum
diselenggarakan melalui kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi guna mendorong
kehidupan yang lebih sehat.
7.Upaya pencegahan yang efektif termasuk penggunaan kondom 100% pada setiap hubungan
seks berisiko, semata-mata hanya untuk memutus rantai penularan HIV.

8. Upaya pengendalian HIV dan AIDS diselenggarakan oleh masyarakat, pemerintah, dan
LSM berdasarkan prinsip kemitraan. Masyarakat dan LSM menjadi pelaku utama sedangkan
pemerintah berkewajiban mengarahkan, membimbing dan menciptakan suasana yang
mendukung terselenggaranya upaya pengendalian HIV dan AIDS.
9. Upaya pengendalian HIV dan AIDS diutamakan pada kelompok masyarakat berperilaku
risiko tinggi tetapi harus pula memperhatikan kelompok masyarakat yang rentan, termasuk
yang berkaitan dengan pekerjaannya dan kelompok marjinal terhadap penularan HIV and
AIDS.
2.2.

SISTEM DAYA TAHAN TUBUH


2.2.1. SEL YANG TERLIBAT DALAM IMUNITAS

Sel yang terlibat dalam sistem imun normalnya berupa sel yang bersirkulasi dalam
darah juga pada cairan lymph. Sel-sel tersebut dapat dijumpai dalam jumlah yang besar pada
organ limfoid, dan dapat ditemukan pula dalam keadaan tersebar pada seluruh jaringan tubuh
kecuali pada central nervous system (CNS).
Antigen
Antigen merupakan substansi yang mampu bereaksi terhadap antibodi yang diproduksi atas
rangsangan imunogen. Secara umum antigen digolongkan dalam antigen eksogen yaitu
antigen yang berasal dari luar tubuh,misalnya bakteri,virus,obat,dan antigen endogen yang
terdapat di dalam tubuh.
Progenitor Myeloid.
Progenitor myeloid adalah prekursor dari granulosit, makrofag, sel dendritik, dan sel
mast. Makrofag merupakan salah satu dari tipe sel fagosit dalam sistem imun yang
terdistribusi secara luas di dalam berbagai jaringan. Makrofag memiliki kemampuan untuk
bergerak keluar masuk suatu jaringan terutama ketika melaksanakan fungsinya sebagai
efektor pada imunitas innate. Makrofag merupakan bentuk perkembangan dari monosit.
Selama berada pada tahap monosit, sel ini berada dalam sirkulasi darah namun begitu tumbuh
menjadi makrofag segera melakukan migrasi ke dalam jaringanjaringan.
Sel Dendritik.
Sel dendritik (DC) mempunyai tugas untuk menelan antigen dan mempresentasikan
kembali antigen yang telah disederhanakan ke permukaan sel. Presentasi antigen yang telah
sederhana pada permukaan sel dendritik sangat penting maknanya, karena dengan itu sel-sel
limfosit bisa mengenal dan selanjutnya reaksi sistem imun secara bertahap akan
dilaksanakan.
Sel Mast.
Peranan utama sel mast sejauh ini diketahui berhubungan dengan respon alergi dan
dipercaya mampu memberi perlindungan terhadap patogen pada permukaan jaringan mukosa.
Sel Granulosit.
Ada tiga macam granulosit, yaitu, neutrofil, eosinofil, dan basofil. Neutrofil
merupakan fagosit yang paling banyak jumlahnya dalam tubuh kita, sehingga bisa dikatakan
sebagai komponen selluler terpenting dalam imunitas innate. Penyakit genetik yang mana
neutrofil tidak berfungsi sebagaimana mestinya, menyebabkan ledakan jumlah bakteri
penginfeksi pada tubuh penderita dan menyebabkan kematian jika tidak mendapatkan
penanganan yang baik dengan cepat. Eosinofil sangat penting terutama berhubungan dengan
pertahanan terhadap infeksi parasit. Eosinofil akan meningkat jumlahnya dengan drastis jika

terdapat infeksi parasit. Basofil mempunyai fungsi yang sama dengan eosinofil dan sel mast.
Basofil juga memiliki fungsi terkait dengan alergi dan inflamasi.
Progenitor Limfoid.
Progenitor limfoid pada akhirnya berkembang menjadi sel-sel limfosit. Limfosit dibagi
menjadi dua golongan penting, yaitu limfosit B dan limfosit T, yang selanjutnya lebih dikenal
sebagai sel B dan sel T. Sel T dibagi menjadi dua kelas, kelas pertama disebut sel T sitotoksik
(cytotoxic T cell), yang memiliki peranan membunuh sel-sel yang terinfeksi virus. Sel T
sitotoksik ini mengekspresikan molekul permukaan CD8. CD8 sendiri merupakan protein
yang mempunyai kompetensi berikatan dengan molekul major hystocompatibility complex
(MHC) kelas I.
Kelas kedua disebut sel T helper, yang berfungsi membantu aktivitasi sel B dan makrofag.
Sel T helper mempunyai ciri mengekspresikan molekul CD4 pada permukaan sel. CD4 ini
mempunyai kompetensi berikatan dengan molekul MHC kelas II. Limfosit tidak memiliki
fungsi jika tidak ada antigen yang masuk. Reseptor antigen sel B (B-cell antigen receptor,
BCR) merupakan bentuk antibodi yang terikat pada membran sel. Antibodi yang disekresikan
oleh sel B sesungguhnya merupakan reseptor antigen, dan setiap satu sel B hanya
mensekresikan satu macam antibodi. Antibodi berupa molekul imunoglobulin dan sering
disingkat dengan Ig. Reseptor antigen sel T sangat berbeda dengan reseptor antigen sel B.
Reseptor antigen sel T telah terspesifikasi untuk mendeteksi protein asing atau patogen yang
telah masuk ke dalam sel host.
Sel limfoid ke tiga yang diketahui punya peranan sebagai imunitas innate adalah sel natural
killer. Sel ini tidak memiliki reseptor yang spesifik sebagaimana sel B dan sel T. Sel natural
killer memiliki kemampuan mengenali dan membunuh sel abnormal seperti sel-sel tumor dan
sel yang telah terinfeksi virus dengan cara mendeteksi perubahan level MHC. Sel NK ini
pada prinsipnya merupakan sel yang terlibat pada sistem imunitas innate karena sel ini tidak
mempunyai spesifikasi terhadap antigen.
2.2.2. MEKANISME SISTEM IMUN
Tubuh manusia memiliki suatu sistem pertahanan terhadap benda asing dan patogen
yang disebut sebagai sistem imun. Respon imun timbul karena adanya reaksi yang
dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul terhadap mikroba dan bahan lainnya.Sistem imun
terdiri atas sistem imun alamiah atau non spesifik (natural/innate/native)dan didapat atau
spesifik (adaptive/acquired). Baik sistem imun non spesifik maupun spesifik memiliki peran
masing-masing, keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan namun sebenarnya ke dua
sistem tersebut memiliki kerja sama yang erat.

Mekanisme pertahanan non spesifik


Mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga komponen nonadaptif atau innate, atau

imunitas alamiah, artinya mekanisme pertahanan yang tidak ditujukan hanya untuk satu jenis
antigen, tetapi untuk berbagai macam antigen. Imunitas alamiah sudah ada sejak bayi lahir dan
terdiri atas berbagai macam elemen non spesifik. Jadi bukan merupakan pertahanan khusus
untuk antigen tertentu.
Ciri-cirinya :

Sistem ini tidak selektif,artinya semua benda asing yangmasuk ke dalam tubuh akan diserang dan

dihancurkantanpa seleksi
Tidak memiliki kemampuan untuk mengingat infeksi yanterjadi sebelumnya
Eksposur menyebabkan respon maksimal segara

Dilihat dari caranya diperoleh, mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga respons
imun alamiah. Yang merupakan mekanisme pertahanan non spesifik tubuh kita adalah kulit
dengan kelenjarnya, lapisan mukosa dengan enzimnya, serta kelenjar lain dengan enzimnya
seperti kelenjar air mata. Demikian pula sel fagosit (sel makrofag, monosit, polimorfonuklear)
dan komplemen merupakan komponen mekanisme pertahanan non spesifik.
1

Permukaan tubuh, mukosa dan kulit

Permukaan tubuh merupakan pertahanan pertama terhadap penetrasi mikroorganisme.


Bila penetrasi mikroorganisme terjadi juga, maka mikroorganisme yang masuk akan
berjumpa dengan pelbagai elemen lain dari sistem imunitas alamiah.
2

Kelenjar dengan enzim dan silia yang ada pada mukosa dan kulit

Produk kelenjar menghambat penetrasi mikroorganisme, demikian pula silia pada


mukosa. Enzim seperti lisozim dapat pula merusak dinding sel mikroorganisme
3

Komplemen dan makrofag

Jalur alternatif komplemen dapat diaktivasi oleh berbagai macam bakteri secara
langsung sehingga eliminasi terjadi melalui proses lisis atau fagositosis oleh makrofag atau
leukosit yang distimulasi oleh opsonin dan zat kemotaktik, karena sel-sel ini mempunyai
reseptor untuk komponen komplemen (C3b) dan reseptor kemotaktik. Zat kemotaktik akan
memanggil sel monosit dan polimorfonuklear ke tempat mikroorganisme dan memfagositnya.
4

Protein fase akut

Protein fase akut adalah protein plasma yang dibentuk tubuh akibat adanya kerusakan
jaringan. Hati merupakan tempat utama sintesis protein fase akut. C-reactive protein (CRP)
merupakan salah satu protein fase akut. Dinamakan CRP oleh karena pertama kali protein
khas ini dikenal karena sifatnya yang dapat mengikat protein C dari pneumokok. Interaksi
CRP ini juga akan mengaktivasi komplemen jalur alternatif yang akan melisis antigen.
5

Sel natural killer (NK) dan interferon

Sel NK adalah sel limfosit yang dapat membunuh sel yang dihuni virus atau sel tumor.
Interferon adalah zat yang diproduksi oleh sel leukosit dan sel yang terinfeksi virus, yang
bersifat dapat menghambat replikasi virus di dalam sel dan meningkatkan aktivasi sel NK.

Mekanisme pertahanan spesifik


Bila pertahanan non spesifik belum dapat mengatasi invasi mikroorganisme maka

imunitas spesifik

akan

terangsang.

Mekanisme

pertahanan

spesifik

adalah

mekanisme

pertahanan yang diperankan oleh sel limfosit, dengan atau tanpa bantuan komponen sistem imun

lainnya seperti sel makrofag dan komplemen. Dilihat dari caranya diperoleh maka mekanisme
pertahanan spesifik disebut juga respons imun didapat.
Imunitas spesifik hanya ditujukan terhadap antigen tertentu yaitu antigen yang merupakan
ligannya. Di samping itu, respons imun spesifik juga menimbulkan memori imunologis yang
akan cepat bereaksi bila host terpajan lagi dengan antigen yang sama di kemudian hari. Pada
imunitas didapat, akan terbentuk antibodi dan limfosit efektor yang spesifik terhadap antigen
yang merangsangnya, sehingga terjadi eliminasi antigen.
Ciri-cirinya :

Bersifat selektif terhadap bendaasing yang masuk kedalam tubuh.


Sistem reaksi ini tidak memiliki reaksi yang samaterhadap semua jenis benda asing
Memiliki kemampuan untuk mengingat infeksisebelumnya
Melibatkan pembentukan sel-sel tertentu dan zat kimia (antibody )
Perlambatan waktu antara eksposur dan responmaksimal

Sel yang berperan dalam imunitas didapat ini adalah sel yang mempresentasikan antigen
(APC = antigen presenting cell = makrofag) sel limfosit T dan sel limfosit B. Sel limfosit T dan
limfosit B masing-masing berperan pada imunitas selular dan imunitas humoral. Sel limfosit T
akan meregulasi respons imun dan melisis sel target yang dihuni antigen. Sel limfosit B akan
berdiferensiasi menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi yang akan menetralkan atau
meningkatkan fagositosis antigen dan lisis antigen oleh komplemen, serta meningkatkan
sitotoksisitas sel yang mengandung antigen yang dinamakan proses antibody dependent cell
mediated cytotoxicy (ADCC).
1

Imunitas selular

Imunitas selular adalah imunitas yang diperankan oleh limfosit T dengan atau tanpa
bantuan komponen sistem imun lainnya. Limfosit T adalah limfosit yang berasal dari sel
pluripotensial yang pada embrio terdapat pada yolk sac; kemudian pada hati dan limpa, lalu
pada sumsum tulang. Dalam perkembangannya sel pluripotensial yang akan menjadi
limfosit T memerlukan lingkungan timus untuk menjadi limfosit T matur.
Di dalam timus, sel prekusor limfosit T akan mengekspresikan molekul tertentu pada
permukaan membrannya yang akan menjadi ciri limfosit T. Molekul-molekul pada
permukaan membran ini dinamakan juga petanda permukaan atau surface marker, dan dapat
dideteksi oleh antibodi monoklonal yang oleh WHO diberi nama dengan huruf CD, artinya
cluster of differentiation. Secara garis besar, limfosit T yang meninggalkan timus dan
masuk ke darah perifer (limfosit T matur) terdiri atas limfosit T dengan petanda permukaan
molekul CD4 dan limfosit T dengan petanda permukaan molekul CD8. Sel limfosit CD4
sering juga dinamakan sel T4 dan sel limfosit CD8 dinamakan sel T8 (bila antibodi
monoklonal yang dipakai adalah keluaran Coulter Elektronics).
Di samping munculnya petanda permukaan, di dalam timus juga terjadi penataan
kembali gen (gene rearrangement) untuk nantinya dapat memproduksi molekul yang

merupakan reseptor antigen dari sel limfosit T (TCR). Jadi pada waktu meninggalkan timus,
setiap limfosit T sudah memperlihatkan reseptor terhadap antigen diri (self antigen)
biasanya mengalami aborsi dalam timus sehingga umumnya limfosit yang keluar dari timus
tidak bereaksi terhadap antigen diri. Secara fungsional, sel limfosit T dibagi atas limfosit T
regulator dan limfosit T efektor. Limfosit T regulator terdiri atas limfosit T penolong (Th =
CD4) yang akan menolong meningkatkan aktivasi sel imunokompeten lainnya, dan limfosit
T penekan (Ts = CD8) yang akan menekan aktivasi sel imunokompeten lainnya bila antigen
mulai tereliminasi. Sedangkan limfosit T efektor terdiri atas limfosit T sitotoksik (Tc =
CD8) yang melisis sel target, dan limfosit T yang berperan pada hipersensitivitas lambat
(Td = CD4) yang merekrut sel radang ke tempat antigen berada.

Pajanan antigen pada sel T

Umumnya antigen bersifat tergantung pada sel T (TD = T dependent antigen), artinya
antigen akan mengaktifkan sel imunokompeten bila sel ini mendapat bantuan dari sel Th
melalui zat yang dilepaskan oleh sel Th aktif. TD adalah antigen yang kompleks seperti
bakteri, virus dan antigen yang bersifat hapten. Sedangkan antigen yang tidak tergantung
pada sel T (TI = T independent antigen) adalah antigen yang strukturnya sederhana dan
berulang-ulang, biasanya bermolekul besar. Limfosit Th umumnya baru mengenal antigen
bila dipresentasikan bersama molekul produk MHC (major histocompatibility complex)
kelas II yaitu molekul yang antara lain terdapat pada membran sel makrofag. Setelah
diproses oleh makrofag, antigen akan dipresentasikan bersama molekul kelas II MHC
kepada sel Th sehingga terjadi ikatan antara TCR dengan antigen. Ikatan tersebut terjadi
sedemikian rupa dan menimbulkan aktivasi enzim dalam sel limfosit T sehingga terjadi
transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel Th aktif dan sel Tc memori. Sel
Th aktif ini dapat merangsang sel Tc untuk mengenal antigen dan mengalami transformasi
blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel Tc memori dan sel Tc aktif yang melisis sel
target yang telah dihuni antigen. Sel Tc akan mengenal antigen pada sel target bila
berasosiasi dengan molekul MHC kelas I (lihat Gambar 3-2). Sel Th aktif juga dapat
merangsang sel Td untuk mengalami transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi
menjadi sel Td memori dan sel Td aktif yang melepaskan limfokin yang dapat merekrut
makrofag ke tempat antigen.
b

Limfokin

Limfokin akan mengaktifkan makrofag dengan menginduksi pembentukan reseptor


Fc dan C3B pada permukaan makrofag sehingga mempermudah melihat antigen yang telah
berikatan dengan antibodi atau komplemen, dan dengan sendirinya mempermudah
fagositosis. Selain itu limfokin merangsang produksi dan sekresi berbagai enzim serta
metabolit oksigen yang bersifat bakterisid atau sitotoksik terhadap antigen (bakteri, parasit,
dan lain-lain) sehingga meningkatkan daya penghancuran antigen oleh makrofag.
2

Aktivitas lain untuk eliminasi antigen

Bila antigen belum dapat dilenyapkan maka makrofag dirangsang untuk melepaskan
faktor fibrogenik dan terjadi pembentukan jaringan granuloma serta fibrosis, sehingga
penyebaran dapat dibatasi. Sel Th aktif juga akan merangsang sel B untuk berproliferasi dan
berdiferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi (lihat bab tentang imunitas
humoral). Sebagai hasil akhir aktivasi ini adalah eliminasi antigen. Selain eliminasi antigen,
pemajanan ini juga menimbulkan sel memori yang kelak bila terpajan lagi dengan antigen
serupa akan cepat berproliferasi dan berdiferensiasi.
3

Imunitas humoral

Imunitas humoral adalah imunitas yang diperankan oleh sel limfosit B dengan atau
tanpa bantuan sel imunokompeten lainnya. Tugas sel B akan dilaksanakan oleh
imunoglobulin yang disekresi oleh sel plasma. Terdapat lima kelas imunoglobulin yang kita
kenal, yaitu IgM, IgG, IgA, IgD, dan IgE. Limfosit B juga berasal dari sel pluripotensial
yang perkembangannya pada mamalia dipengaruhi oleh lingkungan bursa fabricius dan pada
manusia oleh lingkungan hati, sumsum tulang dan lingkungan yang dinamakan gutassociated lymphoid tissue (GALT). Dalam perkembangan ini terjadi penataan kembali gen
yang produknya merupakan reseptor antigen pada permukaan membran. Pada sel B ini
reseptor antigen merupakan imunoglobulin permukaan (surface immunoglobulin). Pada
mulanya imunoglobulin permukaan ini adalah kelas IgM, dan pada perkembangan
selanjutnya sel B juga memperlihatkan IgG, IgA dan IgD pada membrannya dengan bagian
F(ab) yang serupa. Perkembangan ini tidak perlu rangsangan antigen hingga semua sel B
matur mempunyai reseptor antigen tertentu.
a

Pajanan antigen pada sel B

Antigen akan berikatan dengan imunoglobulin permukaan sel B dan dengan bantuan
sel Th (bagi antigen TD) akan terjadi aktivasi enzim dalam sel B sedemikian rupa hingga
terjadilah transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel plasma yang
mensekresi antibodi dan membentuk sel B memori. Selain itu, antigen TI dapat secara
langsung mengaktivasi sel B tanpa bantuan sel Th.
Antibodi yang disekresi dapat menetralkan antigen sehingga infektivitasnya hilang,
atau berikatan dengan antigen sehingga lebih mudah difagosit oleh makrofag dalam proses
yang dinamakan opsonisasi. Kadang fagositosis dapat pula dibantu dengan melibatkan
komplemen yang akan berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga adhesi kompleks
antigen-antibodi pada sel makrofag lebih erat, dan terjadi endositos serta penghancuran
antigen oleh makrofag. Adhesi kompleks antigen-antibodi komplemen dapat lebih erat
karena makrofag selain mempunyai reseptor Fc juga mempunyai reseptor C3B yang
merupakan hasil aktivasi komplemen.
Selain itu, ikatan antibodi dengan antigen juga mempermudah lisis oleh sel Tc yang
mempunyai reseptor Fc pada permukaannya. Peristiwa ini disebut antibody-dependent
cellular mediated cytotoxicity (ADCC). Lisis antigen dapat pula terjadi karena aktivasi
komplemen. Komplemen berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga terjadi aktivasi
komplemen yang menyebabkan terjadinya lisis antigen.

Hasil akhir aktivasi sel B adalah eliminasi antigen dan pembentukan sel memori
yang kelak bila terpapar lagi dengan antigen serupa akan cepat berproliferasi dan
berdiferensiasi. Hal inilah yang diharapkan pada imunisasi. Walaupun sel plasma yang
terbentuk tidak berumur panjang, kadar antibodi spesifik yang cukup tinggi mencapai kadar
protektif dan berlangsung dalam waktu cukup lama dapat diperoleh dengan vaksinasi
tertentu atau infeksi alamiah. Hal ini disebabkan karena adanya antigen yang tersimpan
dalam sel dendrit dalam kelenjar limfe yang akan dipresentasikan pada sel memori sewaktuwaktu di kemudian hari.

2.2.3. IMUNODIAGNOSTIK
Uji Respon Imun Non-Spesifik
Uji respons imun non-spesifik menggambarkan respons tubuh terhadap zat asing
secara non-spesifik. Pada umunya fagosit yang terdiri atas makrofag/monosit
dan sel-sel polimorfonuklear (PMN) memegang peranan penting sebagai sel
efektor dalam respons imun non-spesifik. Ciri imunitas non-spesifik adalah sel-sel
efektor mempunyai keterbatasan dalam membedakan satu mikroba dengan
mikroba lain dan sifatnya stereotip, yaitu fungsinya terhadap berbagai jenis
mikroorganisme selalu sama.
Gangguan respon simun non-spesifik dapat digolongkan dalam: 1)
gangguan kuantitatif

yang ditandai dengan jumlah sel PMN di bawah jumlah

normal; 2) gangguan kualitatif pada sel PMN yang ditandai dengan gangguan
berbagai fungsi efektor. Berdasarkan hal itu, maka test laboratoriumuntuk
menguji respons imun non-spesifik digolongkan dalam:
1. Uji Kuantitatif
Menghitung jumlah dan menghitung jenis leukosit dalam darah tepi.
Makrofag/monosit dalam sirkulasi dapat ditentukan dengan menggunakan
pewarnaan NSE dan dilihat di bawah mikroskop atau menggunakan antibodi
monoklonal terhadap CD14 yang berlabel fluorokrom dan kemudian jumlah sel
yang berwarna fluorokrom diukur dengan teknik flowsitometri.
2. Uji Kualitatif

Uji Fungsi Leukosit

Indikasi untuk melakukan uji fungsi leukosit adalah untuk mengevaluasi dan
memantau pasien yang diduga menderita defisiensi imunologik seluler atau
menunjukkan gejala infeksi yang tidak lazim.
a. Pengukuran kemampuan fagositosis dan metabolisme oksidatif
Prinsip : mengukur jumlah partikel yang difagositosis oleh neutrofil
setelah inkubasi selama waktu tertentu. Pengukuran partikel yang
difagositosis dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya
menghitung proporsi neutrofil yang mengandung partikeldi bawah
mikroskop, atau dengan menggunakan flowsitometri.

b. Kemampuan sintesis dan sekresi sitokin


Prinsip : leukosit normal mampu memproduksi berbagai sitokin atau
monokin apabila dirangsang secara tepat, sehingga pengukuran kadar
sitokin dalam serum atau sitokin intraseluler dapat digunakan untuk
mengevaluasi fungsi leukosit. Beberapa jenis sitokin yang diproduksi
oleh PMN adalah IL-1, IL-6, GM-CSF, dan TNF.
Contoh uji : bioassay, metode ELISA atau RIA

Uji Respon Imun Spesifik


Uji respon imun spesifik dilakukan apabila ada indikasi defisiensi atau
disfungsi limfosit ynag merupakan latar belakang kelainan imunopatologik.
Uji Respon Seluler
1.

Uji Kuantitatif

Mengukur jumlah limfosit termasuk subsetnya.

2.

Uji Kualitatif
Uji kualitatif mengevaluasi fungsi limfosit T maupun B

Uji Proliferasi limfosit


Mengukur fraksi fase-S dari siklus sel setelah distimulasi. Fraksi Fase-S
merupakan ukuran banyaknya sel yang mensintesis DNA. Kemampuan sel
untuk mensintesis DNA setelah distimulasi merupakan ukuran untuk
fungsi sel tersebut.

Uji kemampuan produksi sitokin


Metode ELISA dan teknik PCR untuk mengukur kadar mRNA sitokin
yang dihasilkan oleh kultur limfosit . akhir-akhir ini diperkenalkan metode
yang dapat mengukur produksi sitokin oleh sel individual secara kuantitatif
melalui teknik pewarnaan sitokin intraseluler yang kemudian diidentifikasi
dan dianalisis dengan teknik flowsitometri.

Uji fungsi sitotoksisitas


Uji fungsi sitotoksisitaspada umumnya dilakukan dengan Cr-release
assay, yang mengukur fungsi CTL dan NK melalui lisis target yang dilabel
radioisotope. Namun, saat ini telah dikembangkan metode yang leboih
sederhana dan tidak memerlukan zat radioaktif. Salah satu diantaranya
adalah mengukur granzyme dan atau perforin intraseluler dengan
flowsitometri

LDH

release

assay

atau

mengukur

granzyme

yang

dilepaskan oleh sel T-sitotoksik dengan cara Granzyme B Elispot assay.


Prinsip dari test ini adalah menginkubasikan sel efektor spesifik
antigen dengan sel sasaran yang telah diinkubasi dengan antigen spesifik
(target) yang akan merangsang sel efektor untuk menjadi aktif dan
mensekresikan granzyme atau IFN-

Uji Respon Humoral


Produk

utama

imunoglobulin

limfosit

setelah

stimulasi

adalah

imunoglobulin

merupakan

penanda

sehingga
atau

kadar

parameter

imunokompetensi limfosit B. Imunodefisiensi primer yang paling sering terjadi

adalah defisiensi produksi antibodi, yang bervariasi mulai dari tidak ada sel B
dan atau imunoglobulin serum sama sekali.

Pengukuran kadar imunoglobulin


Respon imun humoral umunya diuji dengan menilai fungsi produksi
imunoglobulin yang menggambarkan kemampuan fungsional limfosit B.
Kemampuan produksi imunoglobulin dapat diukur dengan menggunakan
titer isohemaglutinin yang merupakan natural antibody atau menentukan
titer antibodi lain yang umunya terdapat pada hampir setiap orang,
misalnya anti-streptolisin O. Gangguan respon imun humoral juga dapat
diuji in vivo dengan mengukur kadar antibodi dalam darah setelah
dirangsang dengan antigen tertentu, misalnya dengan menggunakan
vaksin.

2.3.

HUBUNGAN SISTEM DAYA TAHAN TUBUH DAN HIV

Anda mungkin juga menyukai